Hemiparese Dd Dead Line
-
Upload
rahma-larasati-syaheeda -
Category
Documents
-
view
565 -
download
15
description
Transcript of Hemiparese Dd Dead Line
BAB I
PENDAHULUAN
Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada suatu sisi. Pada
hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih ringan pada hemiplegi.
Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu stroke akibat infark serebral atau
perdarahan. Hemiparese yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi
sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah,
kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi ataupun penekanan langsung dan tidak langsung
oleh massa (hematoma, abses, tumor). Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan adanya
gangguan pada traktus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak
atas atau bawah.
Lesi yang mengenai daerah kortek serebri, seperti pada tumor, infark, atau trauma
menyebabkan kelemahan sebagian tubuh pada sisi kontralateral. Hemiparesis yang terlibat
pada wajah dan tangan (hemiparese brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di daerah
lain karena bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas.
Lesi setingkat pedinkulus serebri, seperti prosses vaskular, perdarahan atau tumor
menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh elumpuhan nervus
okulomotorius ipsilateral. Lesi pada pons yang melibatkan traktus piramidalis karena tumor,
iskemia pada batang otak atau perdarahan dapat menyebabkan hemiparesis kontralateral atau
mungkin bilateral. Lesi pada pyramid medulla biasanya karena tumor dapat merusak serabut-
serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut non piramidal terletak
lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya dapat terjadi hemiparesis flasid kontralateral.
Kelemahan tidak bersifat total karena jaras desenden lain tidak terganggu.
BAB II
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS HEMIPARESE
1. STROKE
A. DEFINISI
Kata stroke berasal dari bahasa Yunani yang berarti suatu serangan mendadak
seperti disambar petir . Stroke adalah serangan otak yang terjadi secara tiba-tiba
dengan akibat kematian atau kelumpuhan bagian tubuh. Karena sifatnya yang
menyerang itu, sindrom ini diberi nama stroke yang artinya kurang lebih pukulan
telak dan mendadak. Stroke disebut juga sebagai CVA (cerebro-vaskuler accident).
Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler.
Menurut WHO, penyakit serebrovaskular termasuk stroke adalah pembunuh
nomor 2 di dunia. WHO memperkirakan 5,7 juta kematian terjadi akibat stroke pada
tahun 2005 dan itu sama dengan 9,9 % dari seluruh kematian. di Indonesia dari data
Departemen Kesehatan R.I. (2009), prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000
penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh
Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000
penduduk).
B. KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi yang telah dibuat untuk memudahkan penggolongan stroke.
Menurut modifikasi marshall, stroke dapat diklasifikasikan
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
a. Stroke iskemik
Transient Ischemic Attack (TIA)
Trombosis serebri
Emboli serebri
b. Stroke hemoragik
Perdarahan intraserebral
Perdarahan subarakhnoid
2. Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu :
Transient Ischemic Attack (TIA)
Stroke in evolution
Completed stroke
3. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah):
Tipe karotis
Tipe vertebrobasiler
4. berdasarkan sindroma klinis yang berhubungan dengan lokasi lesi otak,
bamford dkk mengemukakan klasifikasi stoke menjadi 4 sub tipe :
Total anterior circulation infarct (TACI)
Partial Anterior circulation infarct (PACI)
Posterior Circulation Infarct (POCI)
Lacunar infarct ( LACI)
C. Faktor Resiko
Faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well documented)
(Goldstein,2006).
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Berat badan lahir rendah
d. Ras/etnis
e. genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
Hipertensi
Paparan asap rokok
Diabetes
Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi
jantung tertentu
Dislipidemia
Stenosis arteri karotis
Sickle cell disease
Terapi hormonal pasca
menopause
Diet yang buruk
Inaktivitas fisik
Obesitas
b. Less well-documented and modifiable risk factors
Sindroma metabolik Penyalahgunaan alkohol
Penggunaan kontrasepsi oral
Sleep-disordered breathing
Nyeri kepala migren
Hiperhomosisteinemia
Peningkatan lipoprotein (a)
Peningkatan lipoprotein-
associated phospholipase
Hypercoagulability
Inflamasi
InfeksI
D. Patofisiologi 1. Stroke Iskemik
Proses patofisiologi pada cedera SSP akut sangat kompleks dan melibatkan permeabilitas patologis dari sawar darah otak, kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstraseluler, eksitotoksisitas dan toksisitas yang diperantarai oleh radikal bebas.
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap
an oxic depolarization - infarction
glutamat excitotoxicity
lactic asidosis - cytotoxic oedema
decrease in protein sintesis - selectif gene ekspresion
normal state
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Brain tisue responses to cerebral blood flow (CBF) decrease
Tahap 1 : a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 : a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
2. Stroke Hemoragik
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan
pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan
patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis
fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien,
peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating
arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek
penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh
ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular
atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
E. Manifestasi KlinisManifestasi yang muncul dapat berupa gangguan neurologis fokal maupun global yang akan di jelaskan berikut ini:
Gejala defisit neurologis fokal Gejala defisit neurologis globalGejala motorik kelemahan atau kekakuan tubuh satu sisi ganguan menelan gangguan keseimbangan tubuh
Gangguan Berbicara atau Berbahasa kesulitan pemahaman atau ekspresi berbahasa kesulitan membaca (dsylexia) atau menulis gangguan keseimbangan tubuh
Gangguan Sensorik perubahan kemampuan sensorik
Gejala Visual pandangan ganda gangguan penglihatan
Gejala Vestibular vertigo
Gejala Kognitif gangguan memori gangguan aktifitas sehari-hari
kelumpuhan seluruh tubuhpingsan light-headedness’ blackouts’ dengan gangguan kesadaran inkontinensia urin maupun feses bingung tinnitus
F. KOMPLIKASI STROKE
Komplikasi pada penderita stroke selama menjalani perawatan di RS, pasien
stroke dapat mengalami komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum
terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama
setelah stroke.
Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
- Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan.
Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik
- Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan
membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
- Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada
stroke batang otak, bila menetap carI penyebab lain seperti uremia dan iritasi
diafragma.
- Selain itu harus diwaspadai adanya:
- Transformasi hemoragik dari infark
- Hidrosefalus obstruktif
- Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun
beberapa hari kemudian.
- Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
Bila ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
- Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu,
pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
- Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke
menderita komplikasi gangguan ritme jantung.
- Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi
ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan.
Penyebab terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan
lain seperti imobilitas, hipersekresi dll.
- Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut
terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi
penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan
gastrointestinal dan abnormalitas metabolisme tulang.
- Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer,
atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat
stroke.
- Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke.
Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
- Dehidrasi : Penyebabnya dapat gangguan menelan
- Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
- Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya
diabetes melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang
tidak baik.
- Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.
G. PROGNOSIS
• Sekitar 50% penderita yang mengalami kesembuhan dan kembali menjalankan
fungsi normalnya.
• Penderita lainnya mengalami kelumpuhan fisik dan mental dan tidak mampu
bergerak, berbicara atau makan secara normal.
• Sekitar 20% penderita meninggal di rumah sakit.
• Yang berbahaya adalah stroke yang disertai dengan penurunan kesadaran dan
gangguan pernafasan atau gangguan fungsi jantung.
• Kelainan neurologis yang menetap setelah 6 bulan cenderung akan terus menetap,
meskipun beberapa mengalami perbaikan.
H. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh
dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan
ogsigen sesuai kebutuhan
3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4. Bed rest
5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan
glukosa murni atau cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat
meningkatkan TIK
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun
atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11. Penatalaksanaan spesifik berupa:
Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi
2. TUMOR OTAK
A. DEFINISI
—-Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun
ganas (maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial)
atau di sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak
dan selaputnya dapat berupa tumor primer maupun metastase
B. ETIOLOGI
—-Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti, walaupun
telah banyak penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau,
yaitu :
1. Herediter
2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest).
3. Radiasi
4. Virus
5. Substansi-substansi Karsinogenik—-
C. KLASIFIKASI
—-Berdasarkan gambaran histopatologi,klasifikasi tumor otak yang penting dari segi
klinis, dapat dilihat pada Tabel-1 (dikutip dari Black 199)
D. GAMBARAN KLINIS
—-Tumor otak merupakan penyakit yang sukar terdoagnosa secara dini, karena pada
awalnya menunjukkan berbagai gejala yang menyesatkan dan eragukan tapi
umumnya berjalan progresif. Manifestasi klinis tumor otak dapat berupa:
Gejala Serebral Umum
—-Dapat berupa perubahan mental yang ringan (Psikomotor asthenia), yang dapat
dirasakan oleh keluarga dekat penderita berupa: mudah tersinggung, emosi, labil,
pelupa, perlambatan aktivitas mental dan sosial, kehilangan inisiatif dan spontanitas,
mungkin diketemukan ansietas dan depresi. Gejala ini berjalan progresif dan dapat
dijumpai pada 2/3 kasus.
1. Nyeri Kepala
—-Diperkirakan 1% penyebab nyeri kepala adalah tumor otak dan 30% gejala
awal tumor otak adalah nyeri kepala. Sedangkan gejala lanjut diketemukan 70%
kasus. Sifat nyeri kepala bervariasi dari ringan dan episodik sampai berat dan
berdenyut, umumnya bertambah berat pada malam hari dan pada saat bangun
tidur pagi serta pada keadaan dimana terjadi peninggian tekanan tinggi
intrakranial. Adanya nyeri kepala dengan psikomotor asthenia perlu dicurigai
tumor otak.
2. Muntah
—-Terdapat pada 30% kasus dan umumnya meyertai nyeri kepala. Lebih sering
dijumpai pada tumor di fossa posterior, umumnya muntah bersifat proyektif dan
tak disertai dengan mual.
3. Kejang
—-Bangkitan kejang dapat merupakan gejala awal dari tumor otak pada 25%
kasus, dan lebih dari 35% kasus pada stadium lanjut. Diperkirakan 2% penyebab
bangkitan kejang adalah tumor otak. Perlu dicurigai penyebab bangkitan kejang
adalah tumor otak bila:
Bangkitan kejang pertama kali pada usia lebih dari 25 tahun
Mengalami post iktal paralisis
Mengalami status epilepsi
Resisten terhadap obat-obat epilepsi
Bangkitan disertai dengan gejala TTIK lain
Bangkitan kejang ditemui pada 70% tumor otak dikorteks, 50% pasen dengan
astrositoma, 40% pada pasen meningioma, dan 25% pada glioblastoma.
4. Gejala Tekanan Tinggi Intrakranial
—-Berupa keluhan nyeri kepala di daerah frontal dan oksipital yang timbul pada
pagi hari dan malam hari, muntah proyektil dan enurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan ditemukan papil udem. Keadaan ini perlu tindakan segera karena
setiap saat dapat timbul ancaman herniasi. Selain itu dapat dijumpai parese N.VI
akibat teregangnya N.VI oleh TTIK. Tumor-tumor yang sering memberikan
gejala TTIK tanpa gejala-gejala fokal maupun lateralisasi adalah meduloblatoma,
spendimoma dari ventrikel III, haemangioblastoma serebelum dan
craniopharingioma.
Gejala Spesifik Tumor Otak
1. Lobus frontal
Menimbulkan gejala perubahan kepribadian
Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang
fokal
Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy
Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia
2. Lobus parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonym
Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus
angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s
3. Lobus temporal
Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului
dengan aura atau halusinasi
Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese
Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala
choreoathetosis, parkinsonism.
4. Lobus oksipital
Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi
hemianopsia, objeckagnosia
5. Tumor di ventrikel ke III
Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan
obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial
mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran
6. Tumor di cerebello pontin angel
Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma
Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan
fungsi pendengaran
Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah pontin angel
7. Tumor Hipotalamus
Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan
seksuil pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit,
bangkitan
8. Tumor di cerebelum
Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat erjadi disertai
dengan papil udem
Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-
otot servikal
9. Tumor fosa posterior
Diketemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan
nystacmus, biasanya merupakan gejala awal dari medulloblastoma
E. DIAGNOSIS
—-Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderita tumor otak
yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti, adapun
pemeriksaan penunjang yang dapat membantu yaitu CT-Scan dan MRI. Dari anamnesis
kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita yang mungkin sesuai
dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya ada tidaknya nyeri kepala,
muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan fisik neurologik mungkin
ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan defisit lapangan pandang.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
—-Setelah diagnosa klinik ditentukan, harus dilakukan pemeriksaan yang spesifik untuk
memperkuat diagnosa dan mengetahui letak tumor.
Elektroensefalografi (EEG)
Foto polos kepala
Arteriografi
Computerized Tomografi (CT Scan)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
G. TERAPI
—-Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara lain :
kondisi umum penderita
tersedianya alat yang lengkap
pengertian penderita dan keluarganya
luasnya metastasis.
—-Adapun terapi yang dilakukan, meliputi Terapi Steroid, pembedahan, radioterapi dan
kemoterapi.
Terapi Steroid
—-Steroid secara dramatis mengurangi edema sekeliling tumor intrakranial, namun tidak
berefek langsung terhadap tumor.
Pembedahan
—-Pembedahan dilaksanakan untuk menegakkan diagnosis histologik dan untuk
mengurangi efek akibat massa tumor. Kecuali pada tipe-tipe tumor tertentu yang tidak
dapat direseksi.
—-Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pembedahan tumor otak yakni:
diagnosis yang tepat, rinci dan seksama, perencanaan dan persiapan pra bedah yang
lengkap, teknik neuroanastesi yang baik, kecermatan dan keterampilan dalam
pengangkatan tumor, serta perawatan pasca bedah yang baik, Berbagai cara dan teknik
operasi dengan menggunakan kemajuan teknologi seperti mikroskop, sinar laser,
ultrasound aspirator, bipolar coagulator, realtime ultrasound yang membantu ahli bedah
saraf mengeluarkan massa tumor otak dengan aman.
Radioterapi
—-Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar 5000-
6000 cGy tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi hiperfraksi ini
didasarkan pada alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan
subletal dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih efisien
jika dikombinasikan dengan kemoterapi intensif.
Kemoterapi
—-Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi tetap
diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-tumor
tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke batang
otak, terapi tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat membantu sebagai
terapi paliatif
H. PROGNOSIS
—-Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-negara
maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan
dilanjutkan dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar
50-60% dan angka ketahanan hidup 10 tahaun (10 years survival) berkisar 30-40%.—-
3. MENINGITIS TB
A. DEFINISI
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis (en.wikipedia.org).
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada
penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar
secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti
perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis.
B. PATOFISIOLOGI
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran
tuberkulosis primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat
juga ditemukan di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan
adanya fokus primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah
melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi
berat berupa tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase
yang biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput
otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa
inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang
(Darto Saharso, 1999). Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka
akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan
meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari
fokus tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut
adalah trauma kepala.
Primernya Di Paru-Paru
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang
yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh
akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
3. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit
dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi.
Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis
dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri.
Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat.
Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan
terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena,
ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan
tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan,
hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima,
degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan
anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak
dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak
jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
Adapun perlengketan yang terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis
akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur,
berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang
diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Lincoln, manifestasi klinis dari meningitis tuberculosa dikelompokkan dalam
tiga stadium:
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis
Gejala:
demam (tidak terlalu tinggi)
rasa lemah
anorexia
nyeri perut
sakit kepala
tidur terganggu
mual, muntah
konstipasi
apatis irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten.
Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk
diatas lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada
bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak " menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan
fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala
utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak
yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya
makin menurun.
Gejala:
Akibat rangsang meningen " sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama)
Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
disorientasi
bingung
kejang
tremor
hemibalismus / hemikorea
hemiparesis / quadriparesis
penurunan kesadara
Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
ptosis - reaksi pupil lambat
gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama ± 2-3 minggu
Gangguan fungsi otak semakin jelas.
Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala:
Nadi dan pernapasan
irregular
demam tinggi
(hiperpireksia)
edema papil
hiperglikemia
kesadaran makin menurun,
irritable dan apatik, mengantuk,
stupor, koma.
otot ekstensor menjadi kaku dan
spasme, opistotonus.
pupil melebar dan tidak bereaksi
sama sekali. akhirnya, pasien
dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu
dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum
pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1
minggu.
Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila
pengobatan terlambat atau tidak adekuat.
D. KRITERIA DIAGNOSIS
namnesa
pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti
kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun.
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium
o Darah: anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
o Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi
lumbal) :
Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung
lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih
banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut
dapat mencapai 1000 / mm3.
Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen (Iskandar Japardi, 2002).
Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman
Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
Pemeriksaan EEG (electroencephalography)
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
E. PENGOBATAN
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan
pada terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam
satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di
darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan
menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid
mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan
dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis
satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/
kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan
warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye
kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam.. Efek samping
pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Streptomisin diberikan secara intramuskular
dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak
45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati selaput
otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII
yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinismus) dan pusing.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25
gram / hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada
keadaan meningitis. Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis
optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari
pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.. Rekomendasi WHO
yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan
penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai
dengan lamanya pemberian regimen.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,
dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,
nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada
mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan
keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan
kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin.
G. PROGNOSIS
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat
meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur
kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih
tua usianya.
4. TODD’S PARALISIS
Todd paralisis adalah kondisi neurologis yang ditandai dengan periode singkat
kelumpuhan setelah kejang. Kelumpuhan yang mungkin sebagian atau lengkap
umumnya pada suaty sisi tubuh dan biasanya reda sepenuhnya dalam waktu 48 jam.
Todds paralise pada mulanya dapat terancukan dengan stroke. Hemipharese menyertai kejang-kejang setempat, namun tanda kelemahan dan neurologis hilang secara sempurna dalam 24 jam dari konvulsi. Meskipun penyebab todds paralisis belum diketahui secara pasti, hemiparese mungkin karena akibat dari penomena penghambat, mungkin terkait dengan disfungsi neurotransmiter.
Sebenarnya dengan riwayat hipertensi yang diderita kita bisa curiga ada gangguan vaskuler — membentuk epileptic area di otak yang mendasari terjadinya kejang pada pasien. Serangan sebelumnya menunjukkan kemungkinan pasien mengalami epilepsi parsial. Keadaan yang lemas pada saat dirawat hari-hari pertama menunjukkan Todd’s Paralysis yang biasa terjadi pada pasien post convulsion. Terapi dengan antiepilepsi dan suportif untuk kelemahan seluruh tubuh yang dialami.
Todd paralisis dapat memperngaaruhi kemampuan berbicara dan penglihatan.
Penyebab paralisis todd tidak diketahui. Teori lain menyebutkan kelainan dari korteks
motorik primer. Pemeriksaan dari seorang individu yang mengalani atau yang baru saja
mengalami kondisi ini dapat membantu dokter mengidentifikasi asal kejang. Hal ini
penting untuk membedakan kondisi dari suatu stroke yang membutuhkan perawatan
berbeda.
5. TRAUMA KAPITIS
Hematoma epidural : Perdarahan epidural terjadi diantara duramater dan tulang
tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena robekanya salah satu cabang arteria diploica.
Robekan ini sering akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala yang dapat dijumpai
adalah adanya suatu lucid interval ( masa sadar setelah pingsan sehingga kesadaran
menurun lagi), tensi yang semakin tinggi, nadi yang semakin bertambah lambat,
hemipharese, dan terjadi anisokor pupil.