HEMATOM SUBDURAL

download HEMATOM SUBDURAL

of 9

Transcript of HEMATOM SUBDURAL

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    1/9

    PendahuluanCedera otak yang akan dibicarakan dalam makalah ini adalah cedera akibat rudapaksa kepala

    (trauma kapitis). Di negara maju, kecelakan lalu lintas merupakan penyebab kematian utama

    pada umur antara 2 44 tahun, dimana 70% diantaranya mengalami rudapaksa kepala 1-3 Di

    Surabaya, frekuensi trauma kapitismeningkat dengan 18% setiap tahunnya 4

    Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri. Pada komosio

    serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada kontusio serebri

    terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti kerusakan otak disertai

    robekan duramater. Pembagian lain menyebutkan bahwa pada komosio serebri, penurunan

    kesadaran kurang dari 15 menit danpost traumaticamnesia kurang dari 1 jam. Bila penurunan

    kesadaran melebihi 1 jam danpost traumatic amnesia melebihi 24 jam berarti telah terjadi

    kontusio serebri. Perlu ditambahkan juga ada atau tidaknya gejala cedera otak fokal yang dini,

    dan hasil rekaman EEG. 5

    Pembagian seperti di atas ternyata tidak memuaskan, karena batas antara kontusio dan komosio

    serebri sering kali sulit dipastikan. 5,6

    MEKANISMERudapaksa kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi dan

    rotasi

    dari kepala dan isinya. 1,7,8 Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya, bila ada

    aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh

    otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam

    tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater. Bita terjadi deselerasi (pelambatan

    gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak

    lambat atau berhenti.

    Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini

    menyebabkan

    cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran

    suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama

    atau berturutan. 7 Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di

    tempat yang berlawanan(countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang tekanan

    dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis

    pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan se-ring kali negatif hingga

    timbul kavitasi dengan robekan jaringan.

    Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab

    utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam tengkorak

    maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. 1,7,8,9 Yang seringkali

    menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis.

    PATOFISIOLOGITrauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi primer ini dapat

    dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak maupun

    pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar otak.

    Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (70% dari fraktur tengkorak), fraktur impresi

    maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala menunjukkan bahwa

    hanya 18% penderita yang mengalami fraktur tengkorak.10 Fraktur tanpa kelainan neurologik,

    secara klinis tidak banyak berarti.

    Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkananeurisma pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    2/9

    dasar tengkorak dapat merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotisinterna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan telinga. Frakturyang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapatmenimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal lewathidung atau telinga.

    Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak,hingga menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum.7,11Juga secara langsung menyebabkan kerusakan pada meningen danjaringan otak di bawahnya akibat penekanan. Pada jaringan otak akanterdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup dancountre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robekpada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dantemporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intraserebral yang akut. 9Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak

    kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombangtekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadigerakan ke bawah daribatang otak secara mendadak, hinggamengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak. 7Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf,kerusakan pada batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis ataukenaikan tekanan intrakranial. 7 Kerusakan pada saraf otak I kebanyakandisebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar fosa anteriormaupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguanyang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. 2

    Dinyatakan bahwa 5% penderita tauma kapitis menderita gangguan ini.7 Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal.Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak) 2 ,dan tidak banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramenoptikum. 7Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VIkarena letaknya di dasar tengkorak. 11 Ini menyebabkan diplopia yangdapat segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hariakibat dari edema otak.Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan

    refleks cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii 2,7,11Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya,tapi sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hinggaterlewatkan pada pemeriksaan.Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapahari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulihkembali, karena penyebabnya adalah edema 2,7 Kerusakannya terjadi dikanalis fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga.Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnyagangguan pendengaran maupun keseimbangan. 2 Edema juga

    merupakan salah satu penyebab gangguan. 7

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    3/9

    Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karenakebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapatmenimbulkan gangguan pada saraf- saraf tersebut. Akibatdari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapatlangsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul

    kelemahan dinding arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadianeurisma. Ini sering terjadipada arteri karotis interna pada tempatmasuknya di dasar tengkorak. Aneurisma arteri karotis interim ini suatusaat dapat pecah dan timbul fistula karotiko kavernosa.7Aneurisma pasca traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, danpotensial untuk nantinya menimbulkan perdarahan subaraknoid. Robekanlangsung pembuluh darah akibat gaya geseran antar jaringan di otaksewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid, maupunintra serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks kesinus venosus (bridging veins) akan menyebabkan suatu subdural

    hematoma.

    Subdural HematomHematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan

    arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah

    vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai frekuensi

    jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan vena yang

    menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.

    a)Hematoma Subdural AkutFigure SEQ Figure \* ARABIC 1 Acute subdural hematoma. Noncontrast CT scan reveals a

    hyperdense clot which has an irregular border

    with the brain and causes more horizontal displacement (mass effect) than might be expected

    from its

    thickness. The disproportionate mass effect is the result of the large rostral-caudal extent of

    these hematomas.

    Compare to Fig. 373-4.

    Trauma yang merobek duramater dan

    arachnoid sehingga darah dan CSS masuk

    ke dalam ruang subdural. Gangguan

    neurologik progresif disebabkan oleh

    tekanan pada jaringan otak dan herniasi

    batang otak. Keadaan ini menimbulkan

    berhentinya pernafasan dan hilangnya

    kontrol denyut nadi dan tekanan darah.

    Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24

    48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    4/9

    dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan. Pengobatan terutama tindakan

    bedah.

    Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan

    jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial

    langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutamapada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi

    sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri

    kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak

    seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari

    hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy

    dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak

    membutuhkan evakuasi.

    b)Hematoma Subdural SubakutPerdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48

    jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akanmenimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda tanda neurologik

    dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah.

    Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul

    berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal

    ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah

    trauma minor

    Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada

    satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan

    sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric,

    posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit

    untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap

    kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat

    menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun

    perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi

    dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.

    c)Hematoma subdural KronikFigure SEQ Figure \* ARABIC 2CT scan of chronic

    bilateral subdural hematomas of different ages. The

    collections began as acute hematomas and have become

    hypodense in comparison to the adjacent brain after a

    period during which they were isodense and difficult to

    appreciate. Some areas of resolving blood are contained

    on the more recently formed collection on the left

    (arrows).

    Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera

    pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    5/9

    kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan

    arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tandatanda neurologik, maka tindakan

    pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan

    neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah

    pembedahan

    Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan

    yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit.

    Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi

    evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari

    dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk

    mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang

    tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma

    subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana

    pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana

    disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik

    dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.

    Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka triage maka lebih

    realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan

    yaitu :

    1. Cedera Kepala Berat (GCS : 3-8)

    2. Cedera Kepala Sedang (GCS : 9-12)

    3. Cedera Kepala Ringan (GCS : 13-15)

    4. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala

    berat.

    Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi

    yang dihasilkan di dalam selsel syaraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak

    punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak tidak punya cadangan oksigen, jadi

    kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.

    Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh

    kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari

    seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan

    terjadi gejala gejala permulaan disfungsi serebral.

    Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses

    metabolik anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,

    hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik asidosis.

    Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF) adalah 50 60 ml/menit/gr jaringan otak,

    yang merupakan 15 % dari curah jantung. (CO).

    Oedema otak disebabkan karena adanya penumpukkan cairan yang berlebihan pada jaringan otak.

    Pada klien dengan cedera akibat contusio cerebri, pembuluh kapiler sobek, cairan traumatik

    mengandung protein eksudat yang berisi albumin dan cairan interstitial. Otak pada kondisi normal

    tidak mengalami oedema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan

    jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak, oedema jaringan otak akan

    mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial yang dapat menyebabkan herniasi dan

    penekanan pada batang otak.

    Dampak cedera kepala

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    6/9

    a. Faktor pernafasan

    Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru, hypertensi paru,

    dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan bronkokonstriksi. Sensitifitas yang

    meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap karbondioksida dan periode setelah

    hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan chynestoke.

    b. Faktor kardiovaskulerCedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas atycikal

    myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel /

    perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium dan ventrikel

    tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan frekuensi jantung dan

    menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya endogenous stimulus saraf

    simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini mengakibatkan

    terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.

    c. Faktor gastrointestinal

    Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan, tetapi setelah

    3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas hypthalamus dan

    stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium. Hypothalamus merangsanganterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh dalam

    mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena

    adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi

    produksi asam lambung.

    d. Faktor metabolisme.

    Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma tubuh lainnya,

    yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen.

    Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang dapat

    menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses

    hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium keluar bersama urine, halini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya retensi natrium. Pada pasca

    hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon metabolik terhadap cedera,

    karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk menangani perubahan seluruh sistem,

    tetapi makanan yang masuk kurang sehingga terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber

    nitrogen utama, demikian pula respon hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi

    kortisol, hormon pertumbuhan dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis

    metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa

    TerapiPerawatan Medis

    Meskipun SDH secara signifikan membutuhkan terapi pembedahan, maneuvermedis sewaktu dapat digunakan preoperative untuk menurunkan tekanan

    intracranial yang meningkat. Pengukuran ini merupakan pintu untuk setiap lesi

    massa akut dan telah distandardisasi oleh komunitas bedah saraf.

    Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway,

    breathing, circulation).

    o Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk

    perlindungan jalan nafas.

    o Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis.

    Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari hipoksia.

    Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak.

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    7/9

    o Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan

    menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi, dimana

    penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang independen

    untuk hasil yang buruk.

    SSedatif kerja singkat dan paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi

    ventilasi adekuat atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien

    menampakkan tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1grkg dengan cepat melalui

    intravena

    Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 ~30-35 mm Hg).

    Pemberian antikonvulsan untuk mencegah kejang yang disebabkan iskemia dan

    selanjutnya jaga tekanan intracranial.

    Jangan memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif pada

    pasien dengan trauma kepala.

    Perawatan PembedahanTindakan bedah darurat.

    Dari segi bedah saraf sangat penting adalah komplikasi intrakranial, lesi massa, khususnya

    hematoma intrakranial

    Hematoma subdural

    Yang terpenting dalam hal gawat darurat adalah hematoma subdural akut (yang terjadi dalam

    waktu 72 jam sesudah trauma). Hematoma subdural, khususnya yang berkomplikasi, gejalanya

    tak dapat dipisahkan dari kerusakan jaringan otak yang menyertainya; yang berupa gangguan

    kesadaran yang berkelanjutan sejak trauma (tanpa lusid interval) yang sering bersamaan dengan

    gejala-gejala lesi massa, yaitu hemiparesis, deserebrasi satu sisi, atau pelebaran pupil.

    Dalam hal hematoma subdural yang simple dapat terjadi lusid interval bahkan dapat tanpa

    gangguan kesadaran. Sering terdapat lesi multiple. Maka, tindakan CT Scan adalah ideal, karena

    juga menetapkan apakah lesi multiple atau single.Angiografi karotis cukup bila hanya hematoma

    subdural yang didapatkan.

    Bila kedua hal tersebut tak mungkin dikerjakan, sedang gejala dan perjalanan penyakit mengarah

    pada timbulnya lesi massa intrakranial, maka dipilih tindakan pembedahan. Tindakan

    eksploratifburrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura, evakuasi hematoma

    dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak jaringan otak edematous.

    Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga kedap air.

    Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada faktor-faktor

    sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.

    Fraktur impresi.

    Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi operasi terutama

    adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan. Dianjurkan sebelum lewat

    24 jam pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak mutlak kecuali bila terdapat

    kemungkinan lesi massa dibawah fraktur atau penekanan daerah motorik (hemiparesis dan lain-

    lain).

    Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan dura. Diagnosis dengan

    x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial. Impresi lebih dari tebal tulang

    kepala pada x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan robekan dura. X foto juga diperlukan

    untuk menentukan letak fragmen-fragmen dan perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula

    apakah fraktur menyilang

    sinus venosus. Impresi fraktur tertutup yang menyilang garis tengah merupakan kontra indikasi

    relatif untuk operasi, dalam arti sebaiknya tidak diangkat bila tidak terdapat gejalayang mengarah

    pada kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.

    Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk operasi

    bertambah dengan :

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    8/9

    bila luka sangat kotor.

    bila angulasi besar.

    bila terdapat persediaan darah cukup.

    bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.

    Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan sebelumnya,

    dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas. Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar

    terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.

    o Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan

    bahu ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan

    pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil.

    o Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan

    intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.

    Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai

    pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat

    ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan

    eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk

    dekompresi mendesak pada apsien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi

    radiografi tidak ada.

    SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi

    cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan

    terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk

    dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi.

    Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.

    PROGNOSISHal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis : Usia dan lamanya koma pasca traumatik,

    makin muda usia, makin berkurang pengaruh lamanya koma terhadap restitusi mental. Tekanan

    darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis. Pupil lebar dengan fefleks

    cahaya negatif, prognosis jelek. Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda

    penyembuhan akan tidak sempurna.

    Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetative Apnea,

    pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun merupakan

    tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik.

    RINGKASANDibicarakan mengenai cedera otak dan dasar-dasar pengelolaannya, sehubungan dengan makin

    meningkatnya korban kecelakaan lalu lintas dimana banyak diantaranya mengalami cedera otak.

    Akibat benturan kepala, terjadi cedera pada otak dan jaringan sekitarnya yang disebut dengan lesi

    primer. Bila korban dapat tetap bertahan, terjadi proses lebih lanjut yang dipengaruhi oleh faktor-

    faktor intrakranial maupun sistemik. Proses ini akan menghasilkan kerusakan-kerusakan yang

    disebut lesi sekunder.

    Mekanisme terjadinya cedera akibat benturan kepala dan patofisiologik proses selanjutnya telah

    dibicarakan; juga kerusakan-kerusakan pada jaringan sekitar otak. Pengelolaan meliputi

    pemeriksaan, observasi dan pengobatan penderita baik secara konservatif maupun yang

    memerlukan tindakan operasi darurat. Dengan pengelolaan yang cepat, terutama pada saat

    proses terjadinya lesi-lesi sekunder, diharapkan dapat diperoleh hasil yang sebaik-baiknya bagi

    penderita

    DAFTAR PUSTAKA

  • 7/29/2019 HEMATOM SUBDURAL

    9/9

    1. Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical

    Care. Guidelines for the management of severe head injury.J

    Neurotrauma. Nov 1996;13(11):641-734.[Medline].

    2. Brown CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography

    of the head influence management of traumatic brain injury? Aprospective evaluation.J Trauma. Nov 2004;57(5):939-43. [Medline].

    3. Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute

    subdural hematomas. Neurosurgery. Mar 2006;58(3 Suppl):S16-24;

    discussion Si-iv.

    4. Camel M, Grubb RL Jr. Treatment of chronic subdural hematoma by twist-

    drill craniotomy with continuous catheter drainage.J

    Neurosurg. Aug 1986;65(2):183-7. [Medline].

    5. Cameron MM. Chronic subdural haematoma: a review of 114 cases.J

    Neurol Neurosurg Psychiatry. Sep 1978;41(9):834-9. [Medline].

    6. Chesnut RM, Marshall LF, Klauber MR, et al. The role of secondary brain

    injury in determining outcome from severe head injury.J

    Trauma. Feb 1993;34(2):216-22. [Medline].

    7. Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry

    in pupillary size in severe head injury: relation to lesion type and

    location. Neurosurgery. May 1994;34(5):840-5; discussion 845-

    6. [Medline].

    8. Foelholm R, Waltimo O. Epidemiology of chronic subduralhaematoma.Acta Neurochir (Wien). 1975;32(3-4):247-50.[Medline].

    9. Gennarelli TA, Thibault LE. Biomechanics of acute subdural hematoma.J

    Trauma. Aug 1982;22(8):680-6. [Medline].

    10. Guilburd JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural

    hematoma.J Neurosurg. Aug 2001;95(2):263-7.[Medline].

    11. Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the

    role for craniotomy reevaluated. Neurosurgery. Jul 1993;33(1):67-

    72. [Medline].

    12. Hesselbrock R, Sawaya R, Means ED. Acute spontaneous subdural

    hematoma. Surg Neurol. Apr 1984;21(4):363-6.[Medline].

    13. Hlatky R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS. Evolution of brain

    tissue injury after evacuation of acute traumatic subdural

    hematomas. Neurosurgery. Dec 2004;55(6):1318-23; discussion

    1324. [Medline].

    http://www.medscape.com/medline/abstract/8941879http://www.medscape.com/medline/abstract/15580014http://www.medscape.com/medline/abstract/3723175http://www.medscape.com/medline/abstract/690655http://www.medscape.com/medline/abstract/8459458http://www.medscape.com/medline/abstract/8052380http://www.medscape.com/medline/abstract/1225014http://www.medscape.com/medline/abstract/7108984http://www.medscape.com/medline/abstract/11780896http://www.medscape.com/medline/abstract/8355849http://www.medscape.com/medline/abstract/6701770http://www.medscape.com/medline/abstract/15574213http://www.medscape.com/medline/abstract/15580014http://www.medscape.com/medline/abstract/3723175http://www.medscape.com/medline/abstract/690655http://www.medscape.com/medline/abstract/8459458http://www.medscape.com/medline/abstract/8052380http://www.medscape.com/medline/abstract/1225014http://www.medscape.com/medline/abstract/7108984http://www.medscape.com/medline/abstract/11780896http://www.medscape.com/medline/abstract/8355849http://www.medscape.com/medline/abstract/6701770http://www.medscape.com/medline/abstract/15574213http://www.medscape.com/medline/abstract/8941879