Hellp Synd makalah

download Hellp Synd makalah

of 31

description

hellp

Transcript of Hellp Synd makalah

BAB IPENDAHULUAN

Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan telah dilakukan pula berbagai peneltian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga masih menjadi kendala dalam penanganannya. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain. Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi sekitar 5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia, dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru menjelaskan mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama perkembangan abnormal, hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Pada ibu dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati, stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan persalinan preterm, hipoksia neurogenik, dan kematian.Preeklampsia dikelompokkan menjadi preeklampsia berat dan ringan. Preeklampsia ringan dipandang tidak memiliki resiko bagi ibu dan janin, tetapi tidaklah lepas dari kemungkinan terjadinya berbagai masalah akibat dari preeklampsia itu sendiri. Preeklampsia berat membawa resiko bagi ibu janin yang lebih besar yang membutuhkan penanganan medicinal atau bahkan sampai pada pertimbangan untuk terminasi kehamilan. Berbagai keadaan dapat membawa ibu atau janin menjadi keadaan yang lebih buruk dan membahayakan keduanya. Bagi ibu sendiri dapat terjadi ablation retina, DIC, gagal ginjal, pendarahan otak, edema paru atau gagal jantung. Sehingga dalam pengawasan menjadi hal terpenting untuk diperhatikan benar terhadap keluhan dan gejala ynag mengarah kepada keadaan di atas untuk mencegah komplikasi lebih buruk.Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay 1972). Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II, MacKennan dkk. menganggapnya sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi,sedangkan penulis lain menyebutkannya sebagai bentuk awal preeklampsi berat, variasi unik dari preeklampsi.Pada 1982, Weinstein melaporkan 29 kasus preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan sediaan apus darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Ia menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala ini benar-benar terpisah dari preeklampsi berat dan membentuk satu istilah: Sindrom HELLP;H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelet.Sibai dkk. menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam hal terminologi, insidens, penyebab, diagnosis dan penatalaksanaan sindrom ini. Insidens dilaporkan sekitar 2-12%, kisaran ini menggambarkan perbedaan kriteria diagnosis dan metode yang digunakan. Ada perbedaan besar mengenai saat terjadi, tipe, dan derajat kelainan laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosis sindrom ini. Ada yang mendiagnosis jika pasien saat masuk sudah ada kelainan, ada yang jika kelainannya timbul selama penanganan konservatif; yang lain jika kelainannya muncul post partum. Bukti adanya hemolisis telah dilaporkan pada beberapa studi dan definisi trombositopeni berkisar dari 140 mmHg atau diastolik > 90 mmHg pada wanita yang normotensi sebelum kehamilan 20 minggu. Pada keadaan tanpa proteinuria, tetap dicurigai sebagai preeklamsia jika peningkatan tekanan darah disertai gejala : sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri abdomen, atau hasil laboratorium yang tidak normal terutama bila ada trombositopenia dan peningkatan tes fungsi hati. ( Cunningham, et al., 2002, Noris M, et al., 2005). Preeklamsia berat ialah preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala dibawah ini : ( Noris,et al.,2005)-Desakan darah : pasien dalam keadaan istirahat, desakan sistolik > 160 mmHg dan desakan diastolik 110 mmHg.-Proteinuria : 3 gr/jumlah urin selama 24 jam atau dipstik : 3+-Peningkatan kadar enzim hati atau ikterus-Hemolisis mikroangioptik (peningkatan LDL)-Oliguria : produksi urin < 400 cc/24 jam-Trombositopenia : < 100.000/mm2-Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen-Edema pulmonum-Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran, nyeri kepala,skotoma dan pandangan kabur.HELLP syndrome merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda : hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel sistemik. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus perabdominam.Pada penderita preeklampsia, Sindroma HELLP merupakan suatu gambaran adanya Hemolisis (H), Peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzym-EL), dan trombositopeni (Low Platelets-LP). Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.

II. 2INSIDENInsidens sindroma hellp pada kehamilan berkisar antara 0,2-0,6 %, 4-12% pada preeklampsia berat, dan menyebabkan mortalitas maternal yang cukup tinggi (24 %), serta mortalitas perinatal antara 7,7%-60%. Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering terlambat.

II.3FAKTOR RESIKOFaktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi. Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara lain juga mempunyai observasi serupa.Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada umur kehamilan 3 kali lipat. Ibu hamil dengan kehamilan kembar. Ibu hamil yang sebelum kehamilannya memiliki penyakit darah tinggi atau penyakit ginjal. Riwayat preeklamsia pada keluarga, yaitu ibunya atau saudara perempuannya pernah mengalami preeklamsia. Jika ada riwayat preeklamsia pada ibu/nenek penderita, factor risiko meningkat sampai 25%. Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya. Ras kulit hitam. Diet / gizi. Tidak ada hubungan bermakna antara menu / pola diet tertentu (WHO). Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight. Iklim / musim. Di daerah tropis insidens lebih tinggi. Kebiasaan merokok. Insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil. Istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan / insidens hipertensi dalam kehamilan. Hidrops fetalis : berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus. Diabetes mellitus : angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan preeclampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal / vaskular primer akibat diabetesnya. Mola hidatidosa : diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini / pada usia kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada pre-eklampsia. Nullipara. Kondisi medis khusus : diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi kronis,penyakit ginjal, trombofilia. Stress. Faktor risiko preeklamsia yang khusus berhubungan dengan paternal : Primipatemitas Patner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsia

Tabel. Faktor resikoSindroma HELLPPreeklampsia

MultiparaUsia ibu > 25 tahunRas kulit putihRiwayat keluarga kehamilan yang jelekNulliparaUsia ibu < 20 tahun atau > 40 tahunRiwayat keluarga preeklampsiAsuhan mental (ANC) yang minimalDiabetes MelitusHipertensi kronikKehamilan multiple

II.4ETIOLOGI DAN PATOGENESISSampai saat ini etiologinya yang pasti belum diketahui. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeclampsia.Pada saat ini ada 4 hipotesa patogenesis dari preeklampsia, sebagai berikut (Dekker GA., Sibai BM., 1998 cit Roeshadi RH., 2006). :1. Iskemia Plasenta.Peningkatan deportasi sel tropoblast yang menyebabkan kegagalan invasi ke arteri spiralis dan akan mengakibatkan iskemia pada plasenta.2. Mal Adaptasi Imun.Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel tropoblast pada arteri spiralis, dan terjadinya disfungsi endotel di picu oleh pembentukkan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.3. Genetik Inpreting.Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung pada genotip janin.4. Perbandingan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) dan TxPA (Toxicity Preventing Activity).Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak kedalam hepar akan menurunkan aktifitas antitoksin albumin sampai pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul.

Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia (Dekker GA., Sibai BM., 1998 cit Roeshadi RH., 2006). Tahap pertama terjadinya hipoksia plasenta oleh karena berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal dan trimester kedua kehamilan sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruang intervilus di plasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta.Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidative stress yaitu suatu keadaan, dimana radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibanding antioksidan. Oxidative stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah yang disebut sebagai disfungsi endotel, dimana dapat terjadi kerusakan pada seluruh permukaan endotel pembuluh darah dan organ-organ penderita preeclampsia.Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah terjadi disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia, jika prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi endotel dan kegagalan organ seperti pada : Ginjal : hiperuricemia, proteinuria dan gagal ginjal Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema menyeluruh Pada darah dapat terjadi trombositopeni dan coagulopathi Pada hepar dapat terjadi perdarahan dan gangguan fungsi hati Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina, dan perdarahan Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin, dan solusio plasenta

Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan hapusan darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan.

Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split product > 40 g/ml. Semua pasien sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.

Skema 1 : Garis Besar Patofisiologi pre eclampsia berdasar teori pre eclampsia.

II.5KLASIFIKASI Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi konservatif. Klasifikasi kedua HELLP syndrome menurut klasifikasi Mississippi berdasar kadar trombosit darah terdiri dari : Klas 1 : Kadar trombosit : 50.000/ml LDH 600 IU/l AST dan/atau ALT 40 IU/l Klas 2 : Kadar trombosit > 50.000 100.000/ml LDH 600 IU/l AST dan/atau ALT 40 IU/l Klas 3 : Kadar trombosit > 100.000 150.000/ml LDH 600 IU/l AST dan/atau ALT 40 IU/lKlasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.

II. 6MANIFESTASI KLINISPasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP. Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan oedem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolik 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolik 90 mmHg.Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah (13 pasien) mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat timbul dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis, glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.Perlemakan hati akut (AFLP) jarang terjadi tapi potensial menjadi komplikasi yang fatal pada kehamilan trimester ke tiga. Pada awalnya, perlemakan hati akut dalam kehamilan sukar dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP mempunyai gejala khas berupa : mual, muntah, nyeri abdomen, dan ikterus. Sindrom HELLP dan AFLP keduanya ditandai dengan peningkatan tes fungsi hati, tapi pada sindrom HELLP peningkatannya cenderung lebih besar. PT dan PTT biasanva memanjang pada AFLP tapi normal pada sindrom HELLP. Pemeriksaan mikroskopik hati merupakan tes diagnosis untuk menentukan AFLP. Panlobular microvesicular fatty change (steatosis) difus derajat rendah merupakan gambaran patognomonik AFLP. Penanganan AFLP meliputi pengakhiran kehamilan segera, atasi hiperglikemi atau koagulopati bila timbul.

II.7DIAGNOSISDiagnosis Sindroma HELLP secara obyektif lebih berdasarkan hasil laboratorium, sedangkan manifestasi klinis bersifat subyektif, kecuali jika keadaan sindroma HELLP semakin berat. Berdasarkan hasil laboratorium dapat ditemukan anemia hemolisis, disfungsi hepar, dan trombositopeni.Sampai saat ini diagnosis Sindroma hellp lebih berdasarkan parameter laboratorium, dan parameter yang digunakan selama ini lebih mengarah pada keadaan sindroma hellp lanjut, dimana morbiditas dan mortalitas ibu mau pun janin cukup tinggi.Sindrom HELLP ditandai:1. Hemolisis Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara laboratorik adanya Burr cells pada apusan darah tepi.2. Elevated liver enzymesDengan meningkatnya SGOT, SGPT (> 70 iu) dan LDH (> 600 iu) maka merupakan tanda degenerasi hati akibat vasospasme luas. LDH > 1400 iu, merupakan tanda spesifik akan kelainan klinik.3. Low plateletsJumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi intravaskuler.

Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing rumah sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.

Tabel. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee, Memphis) Hemolisis -kelainan hapusan darah tepi-total bilirubin >1,2 mg/dl-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/LPeningkatan fungsi hati-serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/LJumlah trombosit yang rendah-hitung trombosit < 100.000/mm

II.8DIAGNOSIS BANDINGPasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:- Perlemakan hati akut dalam kehamilan - Apendistis - Gastroenteritis - Kolesistitis - Batu ginjal - Pielonefritis - Ulkus peptikum - Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik - Trombositipeni purpura tromboti- Sindrom hemolitik uremia - Ensefalopati dengan berbagai etiologi - Sistemik lupus eritematosus (SLE)

II.9KOAGULOPATI DAN HELLP SYNDROMEPada preeklampsia, endotel injury menjadi manifestasi dari koagulopati derajat rendah dengan peningkatan fibronektin, agregasi platelet, pemendekan kemampuan hidup platelet, dan penekanan derajat antitrombin III. HELLP syndrome berkembang lebih dari 10% kehamilan dengan preeklampsia berat, bukti keberadaannya memberi kesan bahwa fenomena hipertensi berat pada kehamilan ini tidaklah sederhana. Konsentrasi plasma sel fibronektin menetap lebih tinggi selama kehamilan pada ibu yang berkembang menjadi preeklampsia (Hladunewich M. et al.,2007).

II.10KOMPLIKASIAngka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan hepatorenal, oedem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati.

Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernapasan (RDS).

II.11PENCEGAHANUntuk dapat mencegah suatu penyakit harus diketahui etiologi, pathogenesis dan factor-faktor resikonya. Mengingat etiologi pre eklampsia belum diketahui, maka metode untuk memprediksi terjadinya pre-eclampsia juga masih rendah.Beberapa metode dibawah ini dapat menggambarkan cara-cara pencegahan preeclampsia:a. Istirahat tirah baringIstirahat tirah baring pada wanita hamil tidak mencegah preeclampsia ringan. Namun istirahat baring dapat mencegah pre eklampsia ringan menjadi pre eklampsia berat.b. Diet rendah garam dan pemberian diuretikRestriksi garam pada kehamilan tidak mencegah terjadinya pre eklampsia. Pemberian diuretik juga tidak dapat mencegah terjadinya pre eklampsia, sekedar menghilangkan edema dan penurunan tekanan darah. c. Suplementasi MagnesiumPeranan magnesium dalam pencegahan terjadinya pre eklampsia masih kontroversi.d. Defisiensi ZincDefisiensi zinc mempunyai hubungan dengan pathogenesis pre eklampsia. Hal ini terbukti bahwa pada pre eklampsia kadar zinc dalam plasma, leukosit, dan plasenta menurun. e. Suplementasi Minyak IkanTelah dilakukan penelitian pemberian minyak ikan pada wanita hamil yang secara teoritis dapat memungkinkan terjadinya insidens pre eklampsia. Minyak ikan ini mengandung asam lemak tidak jenuh yang berpengaruh terhadap metabolisme prostaglandin sehingga tidak terbentuk thromboxane A2, tetapi terbentuk thromboxane A3 yang merupakan vasokonstriktor lemah.f. Suplementasi KalsiumPada pre eklampsia terjadi penurunan eskresi kalsium dalam urine. Namun terjadi hal yang sebaliknya bila terjadi defisiensi kalsium maka resiko terjadinya pre eklampsia lebih besar. g. Pemberian Aspirin Dosis RendahBeberapa peneliti telah melaporakan bahwa pemberian anti thrombotik berupa Aspirin dosis rendah, dapat menurunkan insidens pre eklampsia dan pertumbuhan janin terlambat. Dosis yang diberikan berkisar antara 50 mg 150 mg/hari. Hasil penelitian dari beberapa center menggambarkan hasil yang kontroversi. Hasil uji klinik ini membuktikan tidak ada perbedaan bahwa antara pemberian aspirin dan pemberian placebo setelah terjadinya preeclampsia, pertumbuhan janin terhambat dan penyulit ibu yang lain (misal: solusio plasenta).h. Pemberian AntioksidantVitamin C, vitamin E, dan carotine

Tirah baring posisi miring

Hilangnya tekanan uterus pada aorta dan vena cava

Aliran darah balik Cardiac Output

Aliran darah ginjal GFR Diuresis Aliran darah utero plasenta Norepinephrine

Reaktivitas vaskuler Vasospasme

Pengeluaran garam

Perbaikan Janin

Skema : Manfaat tirah baring posisi miring.

II.12PENATALAKSANAANPrinsip penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit pre eklampsia penatalaksanaan pre eklampsia antara lain:1. melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah2. mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia3.mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)4. melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau ibu akan lebih berat jika persalinan ditunda lebih lama.Sindroma HELLP merupakan salah satu keadaan preeklampsia yang memburuk yang dapat didiagnosis dengan parameter laboratorium, sementara proses kerusakan endotel juga terjadi diseluruh sistem tubuh, karenanya diperlukan suatu parameter yang lebih dini dimana preeklampsia belum sampai menjadi perburukan, dan dapat ditatalaksana lebih awal yang akan menurunkan terutama morbiditas dan mortalitas ibu, dan mendapatkan janin se-viable mungkin.Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.Pada pemeriksaan darah tepi terdapat bukti-bukti hemolisis dengan adanya kerusakan sel eritrosit, antara lain burr cells, helmet cells. Hemolisis ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH). Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate transaminase (AST/GOT), Alanin Transaminase (ALT/GPT), dan juga peningkatan LDH. Semakin lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi dan hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, bila keadaan semakin parah dimana trombosit sampai dibawah 50.000 /ml biasanya akan didapatkan hasil-hasil degradasi fibrin dan aktivasi antitrombin III yang mengarah terjadinya Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC). Insidens DIC pada sindroma hellp 4-38%.

Tabel. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur kehamilan 35 minggu). 1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibua. Jika ada DIC, atasi koagulopatib. Profilaksis anti kejang dengan MgSOc. Terapi hipertensi beratd. Rujuk ke pusat ksehatan tersiere. Computerized tomography (CT scan) atau ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati2) Evaluasi kesejahteraan janina. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)b. Profil biofisikc. USG3) Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan 160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol (Normodyne) dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSOdiberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.

Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.

Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian prednison atau betametason.

Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup; pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih dari 100.000/mm atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.

Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil 50 ml/jam.Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.

Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv (25-50 mg) intermiten. Anestesi lokal infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio sesarea. Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati.

Ruptur hematom subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang paling sering adalah ruptur lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya ditandai dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps sirkulasi. Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas atau efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah meninggal.

Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi segera. Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi : packing & draining, ligasi segmen yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.

Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara konservatif pada pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi : pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan koagulopati.

Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler, penanganan segera bila terjadi ruptur atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam penanganan konservatif adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti : palpasi abdomen, kejang atau muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan ruptur hematom subkapsular. Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik.

Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.

Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum. Penanganannya sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol hipertensi harus lebih ketat.

Umur kehamilan umur kehamilan umur kehamilan 34 minggu

Pemberian kortikosteroid kortikosteroid

Observasi respon klinik penanganan konservatif terminasi tidak ya konsul pasien untuk mendapatkan kondisi pasien kondisi pasien pertolongan jika kehamilan dilanjutkan menburuk stabil 2minggu/lebih untuk kematangan paru janin

terminasi pantau pasien di transfer pasien ke fasilitas pusat fasilitas pusat pe- perawatan tersier yang mempunyai NICU rawatan tersier kondisi pasien kondisi pasien memburuk baik

terminasi pantau pasien di fasilitas perawatan tersier

Skema penanganan sindroma HELLPBAB IIIKESIMPULAN

1. Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang ditandai dengan hipertensi, edema dan proteinuria. Pada penderita preeklampsia, Sindroma HELLP merupakan suatu gambaran adanya Hemolisis (H), Peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzym-EL), dan trombositopeni (Low Platelets-LP). Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus perabdominam.2. Faktor resiko terjadinya pre eklampsia antara lain: Usia, Paritas, Ras atau golongan etnik, faktor keturunan, faktor gen, diet atau gizi, iklim atau musim, tingkah laku, sosioekonomi, dan hiperplasentosis.3. Diagnosis Sindroma hellp lebih berdasarkan parameter laboratorium, dan parameter yang digunakan selama ini lebih mengarah pada keadaan sindroma hellp lanjut, dimana morbiditas dan mortalitas ibu mau pun janin cukup tinggi. 4. Prioritas pertama penangan sindrom adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah. Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

1. C.P.J. Witsenburga, F.R. Rosendaal, J.M. Middeldorp, F.J.M. Van der Meer, S.A. Scherjona,*Department of Obstetrics, Leiden University Medical Center, K6-27, PO Box 9600 2300 RC Leiden, The Netherlands Department of Clinical Epidemiology, Leiden University Medical Center, Leiden, The Netherlands Haemostasis and Thrombosis Research Centre, Leiden University Medical Center, Leiden, The Netherlands Received 22 March 2004; received in revised form 15 September 2004; accepted 15 September 2004. Available online 12 October 2004.

2. Jesmin Ara Begum. Department of Gynaecology & Obstetrics, Kumudini Womens Medical College & Hospital (KWMCH), Mirjapur 1940, Tangail, Bangladesh.

3. Ching-Ming Liu, Shuenn-Dyh Chang, Po-Jen Cheng and An-Shine Chao. Department of Obstetrics and Gynecology, Chang Gung Memorial Hospital, Chang Gung University College of Medicine,Taoyuan, Taiwan.

4. Gonca mir Yenicesu, clal zdemir Kol, Cem Yenicesu, Ali etin. Departments of Obstetrics and Gynecology (Prof. A. etin, MD, Assist. Prof. A. G. . Yenicesu, MD) and Anesthesiology and Reanimation (Assist. Prof. . zdemir Kol, MD), Cumhuriyet University School of Medicine, TR-58140 Sivas; Department of Family Medicine (Cem Yenicesu, MD, Specialist in Family Medicine), Cayiralan State Hospital, Yozgat.

5. Murat Kapana, Mehmet Siddik Evsen, Metehan Gumus, Akn Onder, Guven Tekbas. Manuscript accepted for publication April 16, 2010. Department of General Surgery, Dicle University Medical Faculty, Diyarbakr, Turkey. Department of Obstetric and Gynaecology, Dicle University Medical Faculty, Diyarbakr, Turkey. Department of Radiology, Dicle University Medical Faculty, Diyarbakr, Turkey. Corresponding author: Dicle University, Tip Fakultesi, Genel Cerrahi AD., 21280, Diyarbakr, Turkey. Email: [email protected].

6. Ziya BAYRAKTAROLU, Fikret DEMRC, Ozcan BALAT, rfan KUTLAR, Vahap OKAN,Gurol UUR. Departments of Pediatrics and Transfusion Medicine, Gastroenterology, Obstetrics and Gynecology and Internal Medicine,Gaziantep University, School of Medicine, Gaziantep.

7. Jrat Kondrackien, Limas Kupinskas. Department of Gastroenterology, Kaunas University of Medicine, Lithuania. Correspondence to J. Kondrackien, Department of Gastroenterology, Kaunas University of Medicine, Eiveni 2,50009 Kaunas, Lithuania. E-mail: [email protected]

8. Lawrence A. Zeidman, MD; Aleksandar Videnovic, MD; Lawrence P. Bernstein, MD; Chimene A. Pellar, MD. Department of Neurology,Feinberg School of Medicine,Northwestern University,Chicago, Ill (Drs Zeidman,Videnovic, and Bernstein); and Departments of Neurology (Dr Bernstein) and Obstetrics-Gynecology (Dr Pellar), Evanston Northwestern Healthcare, Evanston, Ill.

9. John O. Nunes, Mary Ann Turner, Ann S. Fulcher. Department of Radiology, Virginia Commonwealth University/Medical College of VirginiaHospitals and Physicians, 1101 E Marshall St., Sanger Hall, Rm. 4-050, PO Box 980470, Richmond, VA 23298-0470. Address correspondence to A. S. Fulcher.

10. Denise HJ Delahaije, Sander MJ van Kuijk, Carmen D Dirksen, Simone JS Sep, Louis L Peeters,Marc E Spaanderman, Hein W Bruinse, Laura D de Wit-Zuurendonk, Joris AM van der Post, Johannes J Duvekot, Jim van Eyck, Marille G van Pampus, Mark ABHM van der Hoeven, Luc J Smits.

11. Pre-eclampsie en het HELLP-syndroom Engels Pre-eclampsia and HELLP-syndrome. www.isala.nl

12. Mehmet Armagan Osmanagaoglu, Selen Osmanagaoglu, Hlya Ulusoy, Hasan Bozkaya. Department of Obstetrics and Gynecology, and Department of Anesthesiology and Reanimation, Karadeniz Technical University, Trabzon, Turkey.

13. Dan Mihu, Nicolae Costin, Carmen Mihaela Mihu, Andrada Seicean, Rzvan Ciortea. 1) Clinic of Obstetrics-Gynecology. 2) Department of Histology. 3) 3rd Medical Clinic, University of Medicine and Pharmacy, Cluj-Napoca.

14. Brigitte LEENERS, Werner RATH, Sabine KUSE, Claudia IRAWAN, Bruno IMTHURN and Peruka NEUMAIER-WAGNER. Department of Gynecology and Obstetrics, University Hospital Aachen, Pauwelsstr. 30, 52074 Aachen, Germany, Department of Gynecology and Obstetrics, University Hospital Zurich, Frauenklinikstr. 10, CH 8910 Zurich, Switzerland, and German pre-eclampsia self-help group (Arbeitsgemeinschaft Gestose-Frauen e.V.), Geldener Strasse 45, 47661 Issum, Germany.

15. Attila Molvarec; Jnos Rig Jr.; Tams Bze; Zoltn Derzsy; Lszl Cervenak; Veronika Mak; Tmea Gombos; Mikls Lszl Udvardy; Joln Hrsfalvi; Zoltn Prohszka. Department of Obstetrics and Gynecology, Semmelweis University, Budapest, Hungary; Research Group of Inflammation Biology and Immunogenomics, Hungarian Academy of Sciences, Budapest, Hungary; Department of Internal Medicine and Szentgothai Knowledge Center, Semmelweis University, Budapest, Hungary; Clinical Research Center, University of Debrecen, Debrecen, Hungary.

16. WANG Yong-qing, WANG Jing, YE Rong-hua and ZHAO Yang-yu. Department of Obstetrics and Gynecology, Peking University Third Hospital, Beijing 100191, China (Wang YQ, Wang J, Ye RH and Zhao YY).

17. C.A. Kirkpatrick. Service de Gynecologie-Obstetrique, Erasme, Brussels.

18. Yinon Gilboa MD, Ron Bardin MD, Dov Feldberg MD and Gill N. Bachar MD. Departments of Obstetrics and Gynecology and Radiology, Rabin Medical Center (Beilinson Campus), Petah Tiqwa, Israel Affiliated to Sackler Faculty of Medicine, Tel Aviv University, Ramat Aviv, Israel.

19. E. Gutirrez-Cafranga, F. J. Garca-Molina, R. Len-del-Pino, E.Montes-Posada, J. D. Franco-Osorio and F. J.Mateo-Vallejo. Service of General and Digestive Surgery. Hospital de Jerez.Cdiz, Spain.

20. Balint Nagy, Tibor Varkonyi, Attila Molvarec, Levente Lazar, Petronella Hupuczi, Nandor Gabor Than and Janos Rigo Jr. First Department of Obstetrics and Gynecology, Semmelweis University, Budapest, Hungary.

21. Woudstra DM, Chandra S, Hofmeyr GJ, Dowswell T. http://www.thecochranelibrary.com.

22. Andrea Luigi Tranquilli1, Alessandra Corradetti, Stefano Raffaele Giannubilo, Beatrice Landi, Francesca Orici and Monica Emanuelli. Institute for Maternal and Child Sciences and Institute for Biochemical Biotechnologies, Universit Politecnica delle Marche, Ancona, Italy.

23. EMORY UNIVERSITY SCHOOL OF MEDICINE. Department of Human Genetics Division of Medical Genetics www.genetics.emory.edu

24. Grgic, O., Radakovic, B., Bariic, D. (2008) Hyperreactio luteinalis could be a risk factor for development of HELLP syndrome: case report. Fertility and Sterility, 90 (5). e13-e16. http://medlib.mef.hr/.

25. ARUP LABORATORIES | 500 Chipeta Way | Salt Lake City, Utah 84108-1221 | (800) 522-2787 | www.arupconsult.com | www.aruplab.com.

26. J. Eileen Hay, Mayo Clinic, 200 First Street SW, Rochester, MN 55905. E-mail: [email protected]; fax: 507-266-2810.

27. Marie-Therese Vinnars, Liliane C.D. Wijnaendts, Magnus Westgren, Annemieke C. Bolte, Nikos Papadogiannakis and Josefine Nasiell. http://hyper.ahajournals.org.

28. Hypertensive Emergencies. Baha M. Sibai.

29. Satpathy Hemant K, Satpathy Chabi, Donald Frey. Fellow, Division of MFM/OBGYN, Assistant Professor Chairman. Department of family medicine, CUMC, Omaha, NE, USA.

30. Ratcharat Khumsat MD, Thanyarat Wongwananurak MD, Dittakarn Boriboonhirunsarn MD, M.P.H., Ph.D. Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine Siriraj Hospital, Mahidol University, Bangkok 10700, Thailand.

31. Jun Hyeon Kim, M.D., Jang Su Park, M.D., Dong Jin Baek, M.D., Sang Il Lee, M.D., Ji Yeon Kim, M.D., Won Joo Choe, M.D., Kyung Tae Kim, M.D., and Jung Won Kim, M.D. Department of Anesthesiology and Pain Medicine, Ilsan Paik Hospital, College of Medicine, Inje University, Goyang, Korea.

32. Wg Cdr RM Sharma, Wg Cdr GS Sandhu, VSM. Reader (Department of Anaesthesiology & Critical Care), Reader (Department of Obstetrics & Gynaecology), AFMC, Pune-40.

33. Lt Col Y Singh, Col SPS Kochar, Col M Biswas, Lt Col KJ Singh. Associate Professor, Professor & Head, Professor (Department of Obstetrics & Gynaecology), Associate Professor (Department of Surgery), AFMC, Pune. [email protected].

34. Haram, K, Svendson E, and Abildgaard U. The HELLP Syndrome: Clinical Issues and Management. A review. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:8 doi:10.1186/1471-2393-9-8 and available at http://www.biomedcentral.com/1471-2393/9/8.

35. Vidaeff AC. Division of Maternal-Fetal Medicine, University of Texas Houston Medical School USA.

36. Bas B. van Rijn, Arie Franx, Eric A. P. Steegers, Christianne J. M. de Groot, Rogier M. Bertina, Gerard Pasterkamp, Hieronymus A. M. Voorbij, Hein W. Bruinse, Mark Roest. Division of Perinatology and Gynecology, University Medical Center Utrecht, Utrecht, The Netherlands, Laboratory for Clinical Chemistry and Hematology, University Medical Center Utrecht, Utrecht, The Netherlands, Department of Experimental Cardiology, University Medical Center Utrecht, Utrecht, The Netherlands, Department of Obstetrics and Gynecology, St Elisabeth Hospital Tilburg, Tilburg, The Netherlands, Division of Obstetrics and Prenatal Medicine, Erasmus Medical Center Rotterdam, Rotterdam, The Netherlands, Department of Obstetrics and Gynecology, Medical Center Haaglanden, The Hague, The Netherlands, Department of Hematology, Leiden University Medical Center, Leiden, The Netherlands.

37. SM Pokharel, SK Chattopadhyay, R Jaiswal and P Shakya. Department of Obstetrics and Gynaecology, College of medical sciences, Bharatpur, Chitwan, Nepal.

38. Dr D Le Thi Thuong, Departments of Internal Medicine, Groupe Hospitalier Pitie-Salpetrie`re, 47-83 Boulevard de lHopital, 75651 Paris cedex 13, France; [email protected]

39. Hye Yeon Kim, Yong Seok Sohn, Jae Hak Lim, Euy Hyuk Kim, Ja Young Kwon, Yong Won Park, and Young Han Kim. Department of Obstetrics and Gynecology, 2Women's Life Science Institute, Yonsei University College of Medicine, Seoul, Korea.

40. Katelyn Saltarelli. Smith_June_2008.doc.

29