Heaptitis b

49
REFERAT HEPATITIS B PADA ANAK Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono Disusun oleh : MARGARETH SILAEN 1120221179 Pembimbing : Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A. KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2014

description

hep b

Transcript of Heaptitis b

REFERATHEPATITIS B PADA ANAKDisusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono

Disusun oleh :

MARGARETH SILAEN

1120221179

Pembimbing :

Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A.

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2014

LEMBAR PENGESAHAN

REFERATHEPATITIS B PADA ANAKDisusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono

Disusun oleh :

MARGARETH SILAEN

1120221179

Telah disetujui dan disahkan oleh :

Dokter pembimbing,

Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko, Sp.A.

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan Referat yang berjudul HEPATITIS B PADA ANAK yang merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RST. Tingkat II 04.05.01 dr. Soedjono Magelang

Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada Letkol CKM dr. Roedi Djatmiko,SpA selaku dokter pembimbing dalam pembuatan laporan ini dan teman-teman Co-Ass yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pada khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran pada umumnya. Amin.

Magelang, April 2014Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hepatitis virus adalah infeksi virus sistemik pada hepar dimana terdapatnya nekrosis dan inflamasi sel hepar yang memberikan gambaran klinis, biokimiawi, imunoserologi, dan morfologi yang khas. Salah satu penyebab hepatitis adalah virus Hepatitis B.1 Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan masalah kesehatan universal yang dapat menyebabkan hepatitis akut, fulminan, kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoselular (KHS).2,3,4,5,6

Enam juta penduduk US terinfeksi virus Hepatitis B, dengan 300.000 kasus baru per tahun, dimana insiden tertinggi pada usia dewasa yaitu umur 20-39 tahun.1 Sedangkan jumlah kasus baru pada anak tiap tahunnya hanya bisa diperkirakan lebih rendah karena kebanyakan infeksi pada anak tidak bergejala. Meskipun pada anak infeksi ini kurang dari 10%, namun jumlah ini merupakan 20-30% dari seluruh kasus penyakit kronik pada anak. 1,6

Angka prevalensi di Indonesia berkisar antara 5-20% yang termasuk negara dengan endemisitas sedang hingga tinggi. Prevalensi diantara wanita hamil berkaisar antara 3-8% dengan potensi penularan perinatal yang tinggi dari ibu penderita hepatitis B kepada bayinya.4 Suparyatmo melaporkan pada tahun 1993 prevalensi HBsAg dan HBeAg pada 9875 wanita hamil dengan hasil sebagai berikut: HbsAg positif 3,6 % dan dari HBeAg positif 45,7 %.4,7

Infeksi HBV yang terjadi pada masa bayi dan anak umumnya tidak memberikan gejala klinis (asimptomatik) sehingga dapat dimengerti bila angka laporan mengenai jumlah penderita jauh di bawah angka yang sebenarnya. 4,6 Pada bayi dan anak terdapat masalah hepatitis B yang serius karena risiko untuk terjadinya infeksi hepatitis B kronis berbanding terbalik dengan usia saat terjadinya infeksi. 1,3,4 Data-data menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi HBV sebelum usia satu tahun mempunyai risiko kronisitas sampai 90 %, sedangkan bila infeksi HBV terjadi pada usia antara 2-5 tahun, risikonya menurun menjadi 50 %, bahkan bila infeksi terjadi pada anak usia di atas lima tahun hanya berisiko 5-10 % untuk terjadinya kronisitas.1,4

Risiko timbulnya infeksi HBV pada anak adalah transmisi ibu-anak, yaitu eksposur perinatal dengan ibu yang memiliki HbsAg positif. Risiko transmisi akan lebih besar jika ibu juga HBeAg positif; 70-90 % menjadi kronis jika tidak diobati. 1,4

Tingginya angka prevalensi hepatitis B di Indonesia terkait dengan terjadinya infeksi HBV pada periode perinatal. Pengobatan infeksi virus hepatitis B sampai saat ini belum memuaskan. Oleh sebab itu diperlukan usaha untuk memutuskan mata rantai penularan sedini mungkin.4,8,9,101.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis B pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan menambah pengetahuan dan pemahaman tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan hepatitis B pada anak.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada beberapa literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus dimana hati sebagai organ target utama dimana lesi hepatik yang utama terjadi berupa nekrosis hepatosit dan infiltrasi mononuklear sel pada panlobular hepar. Klasifikasi hepatitis adalah berdasarkan:11 penyebab, terbagi atas hepatitis oleh virus, hepatitis oleh bakteri, hepatitis oleh obat-obatan.

perjalanan penyakitnya, terbagi atas hepatitis akut, hepatitis kronik

Hepatitis virus adalah infeksi virus sistemik pada hepar dimana terdapatnya nekrosis dan inflamasi sel hepar yang memberikan gambaran klinis, biokimiawi, imunoserologi, dan morfologi yang khas yang disebabkan oleh sedikitnya 6 jenis virus. 1,2Hepatitis virus B adalah hepatitis virus yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, yang terdiri dari:1,2 Hepatitis virus B akut. Hepatitis virus B kronik: yaitu apabila selama lebih dari 6 bulan gejala klinis dan kelainan biokimiawi masih menetap. Secara histopatologik, dibagi atas hepatitis kronik persisten yang secara histologik menunjukkan infiltrasi leukosit di daerah portal dengan bentuk lobus yang masih utuh tanpa dijumpai jaringan fibrotik, dan hepatitis kronik aktif dengan ciri adanya infiltrasi yang menjalar ke periportal, terdapatnya piece meal necrosis dan nekrosis antara 2 lobus ( bridges necrosis ) dengan atau tanpa disertai jaringan fibrotik.

2.2 Epidemiologi

Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia tetapi distribusi karier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Terdapat lebih dari setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus Hepatitis B di area dengan prevalensi tinggi, dan lebih dari 8% populasi merupakan penderita kronik. Keadaan ini merupakan infeksi VHB pada usia dini.4Daerah dengan prevalensi tertinggi infeksi HVB di dunia adalah Sub Sahara Afrika, China, beberapa daerah Timur Tengah, Basin amazon, dan pulau Pasifik. Populasi Eskimo di Alaska, United States memiliki angka prevalensi tertinggi. Enam juta penduduk US terinfeksi, dengan 300.000 kasus baru per tahun, dimana insiden tertinggi pada usia dewasa yaitu umur 20-39 tahun.12 Sedangkan jumlah kasus baru pada anak tiap tahunnya hanya bisa diperkirakan lebih rendah karena kebanyakan infeksi pada anak tidak bergejala.3,4 Meskipun pada anak infeksi ini kurang dari 10%, namun jumlah ini merupakan 20-30% dari seluruh kasus penyakit kronik pada anak.1,6

Angka prevalensi di Indonesia berkisar antara 5-20%. Prevalensi diantara wanita hamil berkisar antara 3-8%.4 Distribusi umur pasien hepatitis B yang dirawat di Bagian IKA FKUI/ RSCM sejak Juli 1992-April 2000 didapatkan 28 pasien hepatitis B kronis, terdiri dari 19 laki-laki dan 9 perempuan. Umur pasien berkisar antara 43 hari sampai dengan 14 tahun. 4Tabel 2.1. Distribusi umur pasien hepatitis B yang dirawat di Bagian IKA FKUI/RSCM

UmurJumlah pasien

1-12 bulan

1-5 tahun

6-10 tahun

> 10 tahun7

5

7

9

2.3 Etiologi

2.3.1 Virologi

Virus Hepatitis B (VHB) merupakan virus DNA yang temasuk kelas Hepadna dengan ukuran 42 nm. Virus ini sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam jaringan. Virus yang utuh disebut partikel DANE yang terdiri dari lapisan luar (HBsAg) dan inti atau Core (HBcAg). Di dalam inti selain HBcAg terdapat juga genom VHB yang terdiri dari 12 rantai DNA. 1,2,12

Gambar 2.1. Struktur virus Hepatitis B2.3.2 Transmisi

Transmisi utama VHB terjadi melalui jalur parenteral. Pola transmisi yang banyak berperan di Asia dengan tingkat endemisitas VHB yang tinggi adalah transmisi perinatal dan transmisi karena kontak erat antar anggota keluarga.4, 132.3.2.1 Transmisi perinatal (vertikal)

Transmisi dari ibu (vertikal) ke bayi dapat terjadi pada saat intra uterin (pranatal), saat lahir (intranatal), dan setelah lahir (pasca natal). Umumnya transmisi perinatal diyakini terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh ibu yang terkontaminasi.VHB saat kelahiran. Infeksi intra uterin lebih jarang terjadi (sekitar 2,4 % dari seluruh kejadian transmisi perinatal). Infeksi ini diduga karena adanya defek plasenta sehingga barier plasenta yang seharusnya dapat mencegah HBsAg masuk ke darah janin tidak dapat berfungsi dengan baik. 1,2,4,12

Faktor risiko yang paling penting untuk mendapat infeksi hepatitis B pada anak adalah pemajanan perinatal terhadap ibu positif HBsAg. HBsAg terjadi pada saat terjadinya replikasi virus sehingga dapat dipakai sebagai ukuran tinggi daya tularnya.12 Jika hanya HBsAg saja yang terdeteksi, maka kemungkinan transmisinya berkisar antara 22-67 %. Risiko penularan adalah paling besar jika ibu juga HBeAg positif, 70-90 % dari bayinya menjadi terinfeksi secara kronis jika tidak diobati.1,2,4,12

Ibu hamil yang menderita hepatitis B akut pada trimester pertama dan kedua umumnya membaik dan tidak mentransmisikannya pada bayi yang dilahirkannya, tetapi bila hepatitis akut tersebut terjadi pada trimester ketiga dengan titer VHB yang tinggi dapat terjadi transmisi VHB pada bayinya. 12,13,14,152.3.2.2 Transmisi horizontal

Transmisi horizontal dapat terjadi melalui kontak erat antar anggota keluarga. Pola transmisi ini juga penting di daerah endemisitas tinggi seperti Indonesia. Pada penelitian terhadap anak pengungsi di Asia Tenggara yang dilahirkan di Amerika Serikat didapatkan bahwa 15 dari 226 (6,6 % ) anak yang ibunya tidak terinfeksi VHB, ternyata mengalami infeksi VHB. Selanjutnya disebutkan bahwa risiko seorang anak terkena infeksi VHB 4,6 kali lebih tinggi bila ia hidup bersama anak berumur 1-5 tahun dibandingkan dengan yang hidup bersama anak yang lebih tua. 4,13,16BAB III

PATOGENESISHati merupakan salah satu target organ utama virus hepatitis B pada manusia. Hati juga merupakan tempat utama bahkan mungkin tempat satu-satunya bagi replikasi virus hepatitis B. 13 Mula-mula virus tersebut melekatkan diri pada reseptor-reseptor spesifik yang terletak pada membran sel hepar. Setelah perlekatan tersebut virus melakukan penetrasi dan memasuki sitoplasma sel hepar. Didalam sitoplasma sel hepar virus melepaskan kapsulnya dan terbentuk nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid tersebut menembus dinding sel hati, sampai memasuki inti hati tersebut. Di dalam inti sel hati asam nukleat virus akan keluar dari nukleokapsid dan menempel pada DNA. DNA HBV akan merangsang hepar untuk membentuk protein dan asam nukleat bagi virus. Pada akhirnya terbentuk virus baru dan akibat nekrosis sel-sel hepar maka virus baru ini akan dilepaskan kedalam peredaran darah. 12

Gambar 3.1. Replikasi virus dalam sel hepar

Gejala ikterus timbul sebagai akibat adanya obstruksi duktus bilier maupun kerusakan sel-sel parenkim, sehingga terdapat peningkatan bilirubin direk maupun indirek. Obstruksi hepatik dapat menyebabkan feses akolik. Urobilonogen merupakan suatu metabolit dari bilirubin biasanya diresorbsi dan diekskresi melalui urine dan akibat sel-sel parenkim hepar yang rusak maka urobilinogen tidak dapat diekskresi dalam urine. Bukti lain menandakan adanya obstuksi bilier ialah terjadinya peningkatan serum alkali fosfatase, 5 nukleotidase atau glutamil transpeptidase. Pelepasan enzim-enzim dari sel hati yang rusak kedalam aliran darah ikut menentukan luasnya infeksi.13Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadan ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Komplek imun yang sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pad penderita yang mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika, dan sindrom Guillan-barre. 12Peningkatan waktu protrombin dapat disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel hati membentuk protein yang diperlukan bagi pembekuan, disertai adanya penurunan absorbsi vitamin K atau keduanya.13Perjalanan klinis VHB umumnya dibagi menjadi 4 stadium. Stadium pertama bersifat imun toleran. Pada neonatus, stadium ini dapat berlangsung beberapa dekade. Pada orang dewasa periode ini dapat berlangsung hanya 2-4 minggu saja. Pada periode ini, replikasi virus dapat terus berlangsung walaupun serum ALT hanya sedikir atau bahkan tidak meningkat sama sekali serta tidak menimbulkan gejala klinis. 4,17Pada stadium 2 mulai muncul respons imun dan berkembang. Hal ini akan mcngakibatkan stimulasi sitokin dan menyebabkan sitolisis hepatosir secara langsung dan terjadi proses inflamasi. Pada stadium ini HBeAg tetap diproduksi, tetapi serum DNA-VHB rnenurun jumlahnya karena sel yang terinfeksi juga menurun. Pada hepatitis B akut, stadium ini merupakan periode simtomatik dan umumnya berlangsung selama 3-4 minggu. Pada pasien dengan hepatitis kronis stadium ini dapat berlangsung selama 10 tahun atau lebih, yang kemudian akan melanjut menjadi sirosis dan komplikasinya.4,17Stadium 3 dimulai ketika pejamu mampu mempertahankan respons imunnya dan mampu mengeliminasi sel hepatosit yang terinfeksi sehingga sel yang terinfeksi menurun jumlahnya dan replikasi virus aktif berakhir. Pada stadium ini tidak terdapat lagi HBeAg dan kemudian muncul antibodi terhadap HBeAg. Penurunan jumlah DNA virus yang bermakna ditemukan walaupun DNA-VHB pasien tetap positif. 4Di Taiwan, untuk mengetahui kemaknaan serokonversi HBeAg pada anak telah dilakukan penelitian prospektif jangka panjang pada 415 anak dengan HBsAg positif yang berumur dan 0-15 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya serokonversi dan HBeAg osirif ke anti-HBe posirif tidaklah merupakan indikator prognosis yang lebih baik, sejumlah kecil anak akan berkembang menjadi sirosis bahkan KHS. Penelitian lain di Itali juga mendukung pendapat bahwa pada keadaan serokonversi HBeAg dengan kadar ALT yang normal bahkan dengan HBsAg negatif, kerusakan hati tetap berlangsung.4Selanjutnya pada stadium 4 HBsAg menghilang dan timbul antibodi terhadap HBsAg (anti-HBs). Faktor yang dapat berperan dalam evolusi ke-4 stadium di atas adalah predisposisi genetik (ras Asia), adanya virus lain (virus hepatitis D, virus hepatitis C), pengobatan menggunakan imunosupresif, jenis kelamin (lelaki lebih buruk dibanding perempuan), dan timbulnyaVHB mutan.4

Tabel 3.1. Stadium infeksi hepatitis B

PertandaStadium IStadium IIStadium IIIStadium IV

HBsAgPositifPositifPositifNegatif

Anti-HBsNegatifNegatifNegatifPositif

DNA-VHBPositif kuatPositifNegatifNegatif

Anti HbsPositifPositifPositifPositif

HBeAgPositifPositifNegatifNegatif

Anti-HBeNegatifNegatifPositifPositif

AST & AltNormalMeningkatNormalNormal

Ket: DNA virus negatif diperiksa dengan teknik hibridisasi, masih mungkin positif bila diperiksa dengan metode PCRSeorang bayi dengan infeksi perinatal oleh VHB mempunyai predisposisi untuk mengalami infeksi HVB kronis. Hal ini terjadi pada neonatus sistem imunnya belum sempurna. Di samping itu diduga HBeA ibu akan melewati barier plasenta dan HBeAg ini akan menyebabkan sel T helper tidak responsif terhadap HBCAg dan HBeAg pada neonatus yang lahir dari ibu pengidap dengan HBeAg positif. Selain itu adanya IgG anti-HBc ibu yang secara pasif masuk dalam sirkulasi bayi akan menutupi ekspresi HBcAg di permukaan hepatosit bayi, sehingga akan mengganggu pengenalan dan penghancuran hepatosit oleh sel T sitotoksik.4BAB 1V

DIAGNOSIS

4.1. Manifestasi Klinis

Secara umum, hepatitis virus terbagi dalam 2 bentuk infeksi yaitu simtomatik dan asimtomatik. Pada kasus yang simtomatik umumnya ditemukan malaise, anoreksia, rasa tidak enak di perut yang biasanya mendahului timbulnya ikterus, dan timbulnya dalam beberapa minggu sampai bulan setelah terpapar virus. 13

Pada infeksi asimtomatik dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu subclinical dan inapparent. Pada infeksi subclinical, tidak terdapat gejala-gejala klinis dan jaundice, tetapi pada pemeriksaan biokimia ditemukan peningkatan kadar aminotransferase serum. Sedangkan pada infeksi inapperent, hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan serologi. 134.1.1. Infeksi Akut

Gejala HVB akut pada anak sangat jarang dijumpai. Gejala umumnya menetap selama 1-2 bulan. Biasanya infeksi akut ini jarang bermanifestasi berat, makin berat gejalanya, makin kecil kemungkinannya untuk berlanjut menjadi kronis. Komplikasinya adalah bentuk fulminan atau hepatitis kronis. 18,194.1.2. Infeksi Kronis

Hepatitis B virus umumnya tidak menimbulkan gejala, atau hanya anoreksia atau lesu. Gejala klinis menjadi lebih jelas bila sudah terjadi sirosis (3-5 kasus) dan hipertensi portal atau karsinoma hepatoseluler. 20 Penderita VHB kronis biasanya asimptomatik, tetapi mungkin ditemukan fatique, nausea, vomiting, anorexia, sakit kepala, gejala-gejala seperti flu, dan batuk. Satu-satunya pemeriksaan biokimia yang dapat ditemukan tidak normal adalah peningkatan enzim transaminase yang tidak begitu tinggi. Gejala klinis pada pasien asimtomatis dapat timbul kemudian pada saat telah terjadi sirosis dan hipertensi portal atau karsinoma hepatoseluler.19,20,21Pada pemeriksaan fisik kulit dan membran mukosa ikterik, terutama sklera dan mukosa dibawah lidah. dapat ditemukan nyeri palpasi di atas hepar karena pembesaran hepar. Biasanya titak ditemukan nodul pada palpasi heparnya. Bila hati tidak dapat teraba di bawah tepi costa, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan lembut di atas hati dengan tinju menggemgam. Sekitar 10 sampai 15 persen pasien limpa dapat teraba dan limfadenopati cervical posterior dapat terdeteksi. 11,12Pada periksaan biokimia, dapat ditemukan peningkatan enzim transaminase serum dan petanda serologis virus dapat dideteksi. Infeksi VHB tidak dapat dibedakan dengan penyakit lainnya dengan hanya melihat gejala klinis saja. Diagnosis definitif didasarkan pada pemeriksaan serologis. 4,144.2. Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan HBsAg merupakan tes yang paling sering digunakan untuk mendeteksi infeksi VHB akut atau pejamu kronis. HBsAg dapat dideteksi paling cepat 1-2 minggu dan paling lambat 11-12 minggu setelah terpapar.4

Gambar 4.1. Pola respon terhadap infeksi virus Hepatitis B akut

Bila terjadi antigenemia VHB lebih dari 6 bulan maka pasien dikatakan sebagai pengidap kronis. Adanya HBsAg umumnya menunjukkan bahwa seseorang itu infeksius. Hilangnya HBsAg dan timbulnya antiHBs tidak selalu berarti hilangnya virus dari tubuh seseorang. Pada keadaan tersebut masih dapat dideteksi adanya DNA-VHB dalam darah orang tersebut. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati untuk mengatakan seseorang telah sembuh dari hepatitis B.4

Tabel 4.1. Petanda serologis infeksi VHB kronis

Status PejamuDNA-VHBcABsAgsAbeAgeAb

Infeksi akutterdeteksiIgM lalu IgG+ lalu --+

- (jikamuntah)-

Infeksi membaiktak terdeteksiIgG-+-+

- (jika muntah)

Pengidap kronis

(infektivitas rendah)tak terdeteksiIgG+--+

- (jika muntah)

Pengidap kronis

(virus bereplikasi)terdeteksiIgG+S-+

- (jika muntah)-

Singkatan: cAb: antibodi terhadap HbcAg; sAg: HbsAg: sAb: antibodi terhadap sAg; eAg: antigen e virus; eAb: antibodi terhadap eAg

AntiHBc terbentuk pada semua infeksi VHB. Antibodi ini muncul segera setelah HBsAg timbul. Antibodi ini merupakan petanda infeksi sebelumnya. Antibodi ini merupakan petanda infeksi sebelumnya. Antibodi ini tidak ditemukan setelah vaksinasi. AntiHBc akan menetap seumur hidup. IgM anti HBc muncul lebih dahulu daripada IgG antiHBc. IgM antiHBc titer tinggi (>600) mungkin merupakan petanda infeksi akut, sedangkan titer rendah dapat ditemukan pada infeksi kronis.4,14,15HBeAg merupakan petanda virus yang berhubungan dengan tingkat replikasi virus yang berhubungan dengan risiko transmisi. Pada keadaan HBeAg negatif karena adanya mutan virus, untuk mengetahui tingkat replikasi virus digunakan pemeriksaan DNA-VHB. 4,14,15

Gambar 4.2. Pola respon terhadap infeksi virus Hepatitis B kronis

4.3. Gambaran Patologi Anatomi

Pada Hepatitis virus B, terdapat semua gambaran patologi anatomik hepatitis virus. Gambaran patologi anatomik tersebut adalah :11 Perbaikan kelainan histologik

Perbaikan dengan berbekas

Hepatitis persisten

Hepatitis aktif kronik

Sirosis

Nekrosis submasif

Nekrosis Masif (fulminan)

BAB V

TATA LAKSANAPokok utama penanganan penderita hepatitis mencakup: konfirmasi diagnosis yang tepat, pengobatan suportif dan pemantauan masa akut, pencarian ke arah penyakit dan pencegahan.115.1 Tatalaksana Umum

Prinsip tatalaksana pada HVB akut adalah suportif dan pemantauan perjalanan penyakit. Pada awal periode simtomatik, dianjurkan tirah baring.10 Namun tirah baring total tidak diajurkan kecuali pada keadaan gawat. Manakala penderita sudah dapat berjalan boleh melakukan pekerjaan yang tidak melelahkan. Makanan yang diberikan sesuai dengan daya terima anak/bayi.11Pada tatalaksana HVB kronik, orang tua harus memiliki pemahaman mengenai penyakit anak, serta resiko sirosis dan KHS yang ditimbulkannya, sehingga ditekankan pentingnya pemantauan perjalanan penyakit secara berkala. Pemantauan berkala seperti di bawah ini;41. Setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan HBsAg, HBeAg, SGOT/PT, USG hati, dan a-feto protein

2. Pemeriksaan HBV DNA tidak rutin, tetapi ideal bila dilakukan setiap 1-2 tahun. Bila terindikasi terapi antivirus, pemeriksaan ini merupakan keharusan untuk memprediksi keberhasilan terapi dan untuk memantau respons terapi.

3. Bila selama pemantauan, HBsAg tetap positif tetapi SGOT/PT senantiasa dalam batas normal, anak dipantau secara berkala seperti pada butir 1.

4. Bila HBsAg tetap positif dan SGOT/PT meningkat lebih dari 1,5 kali batas atas normal pada > 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan interval minimal 2 bulan, perlu dipertimbangkan pemberian terapi antivirus.

5. Pada anak yang memenuhi deskripsi butir nomor 4, dilakukan biopsi hati. Biopsi perlu diulang untuk menilai respons terapi.

5.2 Tatalaksana Khusus

Beberapa pilihan dalam penanganan hepatitis kronik yaitu:4 Interferon

Antiviral terapi:

Nucleoside analog

Antisense oligonucleoside

Gene theraphy

Imunno modulatory therapy: Thymosine, DNA vaccine Combination theraphy

Tatalaksana khusus kuratif VHB terdiri dari dua bagian yaitu tatalaksana pemberian antivirus pada penderita hepatitis B kronik, serta tatalaksana KHS akibat VHB Sampai saat ini belum ditemukan obat antivirus yang benar-benar mampu menghilangkan virus (sustained response). Namun laporan pemakaian antivirus terhadap anakVHB kronik, masih sangat terbatas.45.2.1 Terapi antivirus

Dasar mekanisme kerja obat antivirus pada HVB kronik dan HVC adalah anti replikasi virus, imunomodulator, dan anti proliferasi. Oleh karena itu, tujuan terapi antivirus adalah sebagai berikut.:4,10,151. Menekan replikasi virus (HBeAg, HBVDNA, HBsAg) sehingga mengurangi resiko transmisi HVB.

2. Normalisasi aminotransferase dan perbaikan histologis hati.

3. Mengurangi derajat infektivitas virus.

4. Menghilangkan atau mengurangi gejala.

5. Mencegah progresivitas, menurunkan insidens KHS, memperbaiki survival.

Indikasi pemberian terapi antivirus adalah pada penderita HVB kronik, dimana berdasarkan imunopatogenesis HVB kronik dan mekanisme kerja antivirus didapatkan HBsAg (+), HBVDNA (+), dan kadar SGOT-SGPT meningkat minimal 2,5 kali batas atas nilai normal. Pengobatan yang lebih awal pada penderita HVB kronik, dapat menghambat atau mencegah integrasi kromosom HBVDNA dan terjadinya gejala sisa yang menetap.4,10Interferon 2b dan lamivudine merupakan terapi yang digunakan saat ini pada penderita hepatitis B kronik pada orang dewasa. Saat ini, terapi ini mulai digunakan pada anak, dimana hanya 25-40% saja yang menunjukkan respons eradikasi virus jangka panjang. Interferon rekombinan memiliki efek sebagai antivirus dan imunomodulator, sedangkan lamivudine, suatu analog nukleosida bekerja dalam menghambat enzim reverse transkriptase. 11 HBsAg dan HBVDNA akan kembali muncul setelah terapi dihentikan. Kegagalan ini diperkirakan karena ketidakmampuan obat antivirus untuk menghambat produk ekspresi gen setelah DNA virus berintegrasi dengan DNA pejamu. Selain itu, munculnya mutan sebagai mekanisme untuk mempertahankan viremia, dapat mengubah perjalanan penyakit dan respons terhadap antivirus.4,10Mengingat tingkat keberhasilan terapi yang sangat rendah, berbagai efek samping dapat yang ditimbulkannya, serta harganya yang tinggi, diperlukan parameter penentuan kandidat terapi dan prediksi keberhasilan terapi. Hasil prediksi tersebut akan sangat menentukan arah kebijakan selanjutnya 4BAB VI

KOMPLIKASI, PENCEGAHAN DAN PROGNOSIS6.1 Komplikasi

Hepatitis akut fulminan dengan koagulopati, ensefalopati, dan edema serebri terjadi lebih sering pada VHB dibandingkan hepatitis oleh jenis virus lainnya. Resiko hepatitis fulminan jauh lebih meningkat jika terdapat infeksi VHB yang bersamaan dengan VHD. Tingkat kematian karena hepatitis fulminan mencapai 30%. Dalam hal ini, transplantasi hepar adalah intervensi yang efektif. Alternatif lain adalah penanganan suportif yang bertujuan menopang hidup penderita dalam menyediakan waktu untuk regenerasi sel hepar. 11

Infeksi VHB dapat menjadi kronis, yang dapat mengarah pada terjadinya sirosis dan karsinoma hepatoseluler (KHS). Glomerulonefritis membranosa dengan deposit komplemen dan terdapatnya HBeAg di kapiler glomerulus merupakan komplikasi yang jarang dari VHB.16.2 Pencegahan

Transmisi infeksi VHB pada usia dini menimbulkan dampak epidemiologi yang besar terhadap rantai penularan VHB. Tujuan utama tatalaksana VHB adalah memotong jalur transmisi pada usia dini karena hepatitis B kronik yang ditemukan pada masa dewasa umumnya berawal dari infeksi dini masa bayi. 4,5,22,23,24

Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dari preventif umum dan preventif khusus yaitu imunisasi VHB aktif dan pasif. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberi proteksi meskipun hanya untuk jangka waktu pendek (3-6 bulan), dimana hanya diberikan pada kondisi paska paparan (needle stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu HVB, terciprat darah ke mukosa atau mata) dan sebaiknya diberikan bersamaan dengan vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama.22

Imunisasi aktif berupa vaksinasi dengan vaksin VHB, dimana yang menjadi sasaranya adalah seluruh bayi lahir sedini mungkin, karena mengingat penularan VHB secara vertikal cukup tinggi. Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HBV berkisar antara 5-20 % dengan transmisi vertikal 48 %. Oleh karena itu, strategi yang paling tepat untuk Indonesia adalah vaksinasi bayi secepat mungkin setelah dilahirkan.236.2.1 Prinsip Vaksinasi

Pemberian vaksin bertujuan untuk merangsang sistem imun agar terbentuk kekebalan humoral (antigen-specific humoral antibody) dan kekebalan seluler. Vaksin akan berinteraksi dengan sistem imun dan umumnya menghasilkan respon imun yang sama dengan yang dihasilkan oleh infeksi alami, tetapi penerima vaksin tidak menjadi sakit atau terserang komplikasi. Vaksin juga menimbulkan immunologic memory yang serupa dengan yang didapat dari infeksi alami.23

6.2.2 Vaksin hepatitis B

Vaksin VHB termasuk kelompok vaksin inactivated, yaitu vaksin yang terdiri dari bagian dari virus dan tidak mengandung virus hidup. Oleh karena itu, vaksin HB tidak menyebabkan replikasi virus hepatitis dan tidak menyebabkan penyakit. Ia juga tidak dapat bermutasi ke arah lebih patogen. 23

Imunisasi hepatitis B minimal diberikan 3 kali, dimana imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir dan dilajutkan pada usia 1 dan 6 bulan, karena respon antibodinya paling optimal. Daya proteksi mencapai 100% pada anak yang mendapat suntikan 3 kali dan timbul anti HBs, dimana pada umunya kadar puncak anti HBs didapat setelah suntikan ketiga.23 Sedangkan pada bayi prematur, jika ibu HBsAg (-), maka imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau berat badan sudah mencapai 2000 gram.226.3 Prognosis

Prognosis penyakit hati berbeda untuk tiap individu. Dalam perjalanannya Hepatitis B dapat menjadi menahun (kronis), dimana hepatitis kronis persisten mempunyai prognosis yang lebih baik akan sembuh sempurna, sedangkan hepatitis kronik aktif umumnya akan menjadi sirosis hepatis, kerusakan sel-sel hati, hati menjadi mengkerut, dan keadaan akan menjadi lebih parah.27

Diperkirakan 15%-25% orang dengan infeksi HBV kronis akan meninggal lebih awal dengan cirrhosis atau carcinoma hepatocellular. HBV mungkin sebagai akibat sampai 80% dari semua kasus carcinoma hepatocellular di dunia. Respon pengobatan tergantung dari keadaan pasien sendiri. Sejak awal Hepatitis kronik bersifat menahun, maka penyembuhannya juga memerlukan waktu berbulan-bulan. 27

BAB VII

PENUTUP7.1 Kesimpulan

1. Hepatitis virus B adalah infeksi virus Hepatitis B secara sistemik yang menyebabkan nekrosis dan inflamasi sel hepar, dimana Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat endemisitas sedang-tinggi.2. Infeksi VHB pada bayi dan anak merupakan masalah hepatitis B yang serius karena meningkatnya risiko kronisitas VHB, dimana jalur transmisi yang utama adalah infeksi perinatal. 3. Patogenesis terjadinya Hepatitis virus B yaitu adanya replikasi virus pada sel hepar yang mengakibatkan terjadinya nekrosis sel hepar dan virus masuk ke dalam peredaran darah, yang terbagi atas 4 stadium.4. Diagnosis dinilai berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan serologi dan pemeriksaan Patologi Anatomi.5. Tatalaksana Hepatitis virus B terbagi atas: tatalaksana umum yang bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa terapi antivirus.6. Komplikasi dari Hepatitis Virus B yaitu adanya kronisitas yang mengarah pada sirosis hepatis dan KHS. Pencegahan yang efektif pada infeksi VHB yaitu imunisasi aktif/ vaksinasi HVB. Prognosis infeksi VHB kronik aktif lebih buruk dibandingkan infeksi VHB akut atau VHB kronik persisten.7.2 Saran

1. Diperlukan upaya pencegahan untuk menekan tinggiya prevalensi Hepatitis B di Indonesia, yaitu dengan program imunisasi, terutama pada bayi baru lahir, sehingga dibutuhkan kerja keras yang serius oleh para penyedia kesehatan di Indonesia.2. Diharapkan kepada para dokter agar dapat lebih tepat dalam menegakkan diagnosis dan memantau perjalanan penyakit Hepatitis Virus B, sehingga kronisitas yang mengarah pada sirosis hepatis dan KHS dapat ditekan.DAFTAR PUSTAKA1. Koff RS. Viral hepatitis. In : Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the liver; 7th ed. Philadelphia : Lippincott, 1993;4922. Koff RS. Viral hepatitis. In : ,eds. Pediatric gastrointestinal disease : pathophisiology, diagnosis, and management; 2th vol. Philadelphia : B.C. Decker, 1991;8578703. Chang MH. Hepatitis B virus infection. Semin Fetal Neonatal Med. 2007 Jun;12(3):160-7. Epub 2007 Feb 28.

4. Oswari H. Tinjauan multi aspek Hepatitis virus B pada anak. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.5. Mahoney F7, Lowrence M, Scott C, Le Q, Lambert S, Farley TA. Continuing risk for Hepatitis B virus transmission among Southeast Asian infants in Louisiana. AAP 1995;96:11131116.6. Poovorawan Y, Sanpavat S, Chumdermpadetsuk S, Safary A. Longterm Hepatitis B vaccine in infants born to hepatitis B e antigen positive mothers. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1997;77: 47 51.7. Julita S, Fahmi U. Permasalahn penyakit hepatitis virus di Indonesia. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.8. Hahne S, Ramsay M, Soldan K, Balogun K, Mortimer P. Hepatitis B incidence among South Asian children in England and Wales : Implication for immunisation policy. Arch Dis child 2003; 88 : 1082 1083.9. Soemara LH. Vaksin Hepatitis B. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.10. Pujiarti PS. Kebijakan tatalaksan Hepatitis virus A, B, C pada anak di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.11. Markum AH. Hati dan saluran empedu. Dalam: Markum AH, sofyan I, Husein A, Arwin A, agus F, Sudigdo S, eds. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Indonesia, 1991; 522-527.

12. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In: Berhman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of pediatrics; 17th ed. Philadelphia: Saunders, 2004; 1324-13. Rampengan TH, Laurentz IR. Infeksi tropik penyakit pada anak. Menado; Gunung Wenang, 1992;

14. Thomas HC. Immunological aspects of liver disease. In : Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the liver; 7th ed. Philadelphia : Lippincott, 1993;638-15. Hidayat B. Imunopatologi virus. Dalam: Zuraida Z, Julfina B, Purnawati SP, Hanifah O, eds. Tinjauan komprehensif Hepatitis virus pada anak. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLII. FKUI; 2000 31 Mei ; Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2000.16. Lodha R, Jain Y, Anand K, Kabra SK, Pandav CS. Hepatitis B in India : A review of disease epidemiology. Indian pediatrics 2001;38:349 371.17. Peters M. Pathogenesis of chronic hepatitis B18. Davison S. Acute Hepatitis. In: Kelly DA, eds. Disease of the liver and biliary system in children. London: Blackwel science, 1999; 97-137.

19. Pall H, Jonas M. Acute and chronic hepatitis. In: Willy R, Hyams JS, eds. Pediatric gastrointestinal and liver disease: patophysiologi, diagnosis, management; 3rd. Saunders elsvier, 2006; 925-49.

20. Davison S.Chronic hepatitis. In: KellyDA,eds. Disease of the liver and biliary system in children; 1st ed. Oxford: Blackwel Science, 1999; 97-12321. Bayer JL, Reuben A. Chronic hepatitis. In : Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the liver; 7th ed. Philadelphia : Lippincott, 1993;586-22. Boerhan H, Purnamawati SP. Hepatitis B. Dalam: IGN Ranuh, hariyono S, Sri RSH, Cissy BK, eds. Pedoman imunisasi di Indonesia; ed 2. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005; 92-7.

23. Sjamsul A. Permasalahan vaksinasi hepatitis B. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. BKGAI 2003 3-5 Juli, Bandung: BKGAI; 283-8.

24. Boxall EH, Sira J, Standish RA, et al. Natural history of hepatitis B in perinatally infected carriers. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2004; 89: F456 F460.25. Yusharmen. Upaya pencegahan nasional Hepatitis B dan permasalahannya. Dalam Arief S, Firmansyah A, eds. Penanganan masalah saluran cerna dan hati pada anak. Naskah Lengkap Kongres Nasional III Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. BKGAI 2007 6-8 Desember , Jakarta: BKGAI; 26. Wen W, Chang M, Hsu H, et al. The development of hepatoseluler carcinoma among prospectively followed children with chronic hepatitis B infection. J Peditric .2004;144:397-9

27. DitJen PP dan PL. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.Artikel.2005:halaman 1.