hdk1

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bias lebih awal terjadi. Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma. Preeklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bias menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Kasus pre-eklampsia dan eklampsia terjadi pada 6-8% wanita hamil di Indonesia. Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerap kali muncul selama kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 % kehamilan. Wanita hamil yang menderita hipertensi dimulai sebelum hamil, memiliki kemungkinan komplikasi pada kehamilannya lebih besar dibandingkan dengan wanita hamil yang menderita hipertensi ketika sudah hamil. 1

description

hipertensi dalam kehamilan

Transcript of hdk1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bias lebih awal terjadi. Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma. Preeklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bias menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Kasus pre-eklampsia dan eklampsia terjadi pada 6-8% wanita hamil di Indonesia. Hipertensi merupakan salah satu masalah medis yang kerap kali muncul selama kehamilan dan dapat menimbulkan komplikasi pada 2-3 % kehamilan.Wanita hamil yang menderita hipertensi dimulai sebelum hamil, memiliki kemungkinan komplikasi pada kehamilannya lebih besar dibandingkan dengan wanita hamil yang menderita hipertensi ketika sudah hamil. Hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan morbiditas / kesakitan pada ibu (termasuk kejang eklamsia, perdarahan otak, edema paru (cairan di dalam paru), gagal ginjal akut, dan penggumpalan / pengentalan darah di dalam pembuluh darah) serta morbiditas pada janin (termasuk pertumbuhan janin terhambat di dalam rahim, kematian janin di dalam rahim, solusio plasenta / plasenta terlepas dari tempat melekatnya di rahim, dan kelahiran prematur). Selain itu, hipertensi pada kehamilan juga masih merupakan sumber utama penyebab kematian pada ibu.Lebih lanjut data kejadian hipertensi pada kehamilan juga diungkapkan oleh WHO bahwa secara sistematis, 16% kematian ibu di negara-negara maju di seluruh dunia disebabkan karena hipertensi. Persentase ini lebih besar dari tiga penyebab utama lainnya yaitu perdarahan 13 %, aborsi 8 %, dan sepsis 2 %. Di Amerika Serikat pada tahun 1991-1997, Berg dan rekan dalam Cuningham (1995) melaporkan bahwa hampir 16 % dari 3.201 kematian ibu berasal dari komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.Dalam Profil Kesehatan Indonesia (2008) diketahui bahwa eklampsia (24%) adalah persentase tertinggi kedua penyebab kematian ibu setelah perdarahan (28%). Kejang bias terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan. Hipertensi ini dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun, ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Hipertensi merupakan problem yang paling sering terjadi pada kehamilan. Bahkan, kelainan hipertensi pada kehamilan beresiko terhadap kematian janin dan ibu. Karena itu, deteksi dini terhadap hipertensi pada ibu hamil diperlukan agar tidak menimbulkan kelainan serius dan menganggu kehidupan serta kesehatan janin di dalam rahim.

1.2TujuanUntuk mengetahui pengertian tentang hipertensi pada kehamilan dan gejala-gejala yang dialami ibu hamil yang mengalami hipertensi pada kehamilan guna melakukan deteksi dini.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hipertensi dalam Kehamilan2.1.1Terminologi dan klasifikasiKlasifikasi hipertensi dalam kehamilan berdasarkan Report of the National High Blood Pessure Education Program Working Group On High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001 terdiri dari :a. Hipertensi kronik Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.b. Preeklamsia-eklamsiaPreeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma.c. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsiaHipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.d. Hipertensi gestasionalHipertensi gestasional (disebut juga transient hypertension) adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi tanpa proteinuria. (Prawirohardjo, S., 2010).

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg. Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan selang 4 jam.Proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin selama 24 jam atau sama dengan 1= dipstick.Edema, dahulu edema tungkai, dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsia, tetapi sekarang edema tungkai tidak dipakai lagi, kecuali edema anasarka. Perlu dipertimbangkan faktor resiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan bila didapatkan edema anasarka, atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.1.2Faktor resikoBanyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yaitu:a. Primigravida, primipaternitas.b. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.c. Umur yang ekstrim.d. Riwayat keluarga pernah preeklamsia / eklamsia.e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil.f. Obesitas. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.1.3PatofisiologiPenyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah teori kelainan vaskularisasi plasenta, teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotel, teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, teori adaptasi kardiovaskular, teori genetik, teori defisiensi gizi, dan teori inflamasi. (Prawirohardjo, S., 2010).

a. Teori kelainan vaskularisasi plasentaPada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa arteri arkuata dan arteri arkuata member canag arteri radialis. Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis member cabang arteri spiralis.Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam kapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini member dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vascular dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan remodeling arteri spiralis.Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relative mengalami vasokonstriksi dan mterjadi kegagalan remodeling arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis HDK selanjutnya.Diameter rata-rata arteri spiralis pada kehamilan normal adalah 500 mikron, sedangkan pada preeklamsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah uteroplasenta. (Prawirohardjo, S., 2010).

b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas dan disfungsi endotelSebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, dengan akibat plasenta mengalami iskemia dan akan menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul yang mempunyai elektro yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksik, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan merusak membrane sel, juga akan merusak nucleus dan protein sel endotel.Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, missal vitamin E, pada hipertensi dalam kehamilan menurun. Akhirnya terjadi dominasi kadar oksidan peroksida lemak yang relative tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan / radikal yang sangat toksik ini akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel. Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi: Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan vasodilator kuat. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit terjadi untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) yang merupakan vasokonstriktor kuat. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis). Peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat. Peningkatan factor koagulasi. (Prawirohardjo, S., 2010).

c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janinDugaan bahwa factor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan terbukti dalam fakta berikut: Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami sebelumnya. Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan memperkecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis sel Natural Killer (NK) ibu. Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu. Pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G pada plasenta. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklamsia ternyata memiliki proporsi sel T-Helper yang lebih rendah dibandingkan pada normotensif. (Prawirohardjo, S., 2010).

d. Teori adaptasi kardiovaskularPada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan vasopersor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon vasokonstriksi. Pada kehamilan normal, terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintesa inhibitor. Pada hipertensi dalam kehamilan, kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor. Banyak peneliti membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada trimester pertama kehamilan. (Prawirohardjo, S., 2010).

e. Teori genetikAdanya factor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsia pula. Sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklamsia. (Prawirohardjo, S., 2010).

f. Teori defisiensi giziBeberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris adalah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklamsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan.Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hari halibut, dapat mengurangi resiko preeklamsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenug yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan resiko terjadinya preeklamsia / eklamsia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium yang cukup, kasus yang mengalami preeklamsia adalah 14%. (Prawirohardjo, S., 2010).

g. Teori inflamasiTeori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah merupkan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas wajar. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklamsia, dimana terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada kehamilan ganda, maka stres oksidatif akan sangat meningkat sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga semakin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar dibandingkan reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Reaksi inflamasi ini akan mengaktivasi sel endotel dan sel-sel makrofag / granulosit, yang lebih besar pula sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada ibu. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.2Preeklasia2.2.1DefinisiPreeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dapat terjadi ante, intra dan postpartum. Berdasarkan gejala kliniknya, preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.2.2Perubahan sistem dan organ pada preeklamsiaa. Volume PlasmaPada kehamilan normal akan terjadi peningkatan volume plasma untuk memenuhi kebutuhan janin. Tetapi pada preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30%-40% disebut hipovolemia. Hipovolemia diimbangi vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak besar pada organ-organ penting.b. HipertensiPada preeklampsia peningkatan reaktivitas vascular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi umumnya dideteksi pada trimester II.c. Fungsi ginjal Akibat hipovolemia maka perfusi ke ginjal berkurang sehingga terjadinya oliguria atau bahkan sampai anuria. Karena terjadi peningkatan permeabilitas membran maka terjadi kebocoran plasma sehingga mengakibatkan proteinuria. Proteinuria yang timbul sebelum kehamilan, maka kemungkinan adalah penyakit ginjal. Akan terjadi peningkatan asam urat serum dan kreatinin plasma, akibat oleh hipovolemia, yang menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal dan menurunnya filtrasi glomerulus. Asam urat serum umumnya meningkat 5mg/cc yang dapat disebabkan juga karena iskemia jaringan. Kreatinin plasma meningkat sehingga mencapai 1 mg/cc, dan biasanya terjadi pada preeklampsia berat dengan penyulit ginjal.d. ElektrolitPada PEB yang mengalami hipoksia akan terjadi gangguan keseimbangan asam basa. Pada saat kejang kadar bikarbonat menurun akibat asidosis laktat dan akibat kompensasi karbondioksida. Kadar natrium dan kalium pada preeklampsia sama dengan kadar hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh, jadi tidak diperlukan restriksi konsumsi garam.e. Tekanan osmotic koloid plasma atau tekanan onkotikPada preeklampsia tekanan onkotik menurun karena kebocoran plasma dan peningkatan permeabilitas vascular.

f. Koagulasi dan fibrinolisisTrombositopenia jarang dijumpai namun terjadi peningkatan FDP dan fibronektin, serta penurunan anti-thrombin III pada preeklampsia.Disebut trombositopenia bila trombosit 37 minggu), persalinan ditunggu sampai tejadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu memperpendek kala II. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.4Preeklampsia Berat2.4.1DefinisiPreeklampsia berat merupakan preeklampsia dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg disertai protenuria lebih dari 5 g/ 24 jam. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.4.2DiagnosisDitegakkan berdasarkan kriteria preeklampsia berat, dikatakan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih tanda- tanda: Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan tekanan darah diastolik 110 mmHg, yang tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring. Proteinuria lebih 5g/ 24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif Oliguria (< 500 cc/ 24 jam) Kenaikan kadar kreatinin plasma Gangguan visus dan cerebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teragangnya kapsula glisson) Edema paru dan sianosis Hemolisis mikroangioptaik Trombositopenia berat: < 100.000 sel/ mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin dan aspartat aminotransferase Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat Sindrom HELLP. (Prawirohardjo, S., 2010).

2.4.3PembagianPreeklampsia berat dibagi menjadi:a. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsiab. Preeklampsia berat dengan impending eklampsia, ditandai dengan gejala-gejala subjektif yaitu nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, kenaikan progresif tekanan darah. (Prawirohardjo, S., 2010).

Tabel 2.1 Perbandingan preeklampsia ringan dan berat (Cunningham, 2005)

2.4.4ManajemenPengelolaan preeklampsia mencangkup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti dengan diikuti observasi harian tentang tanda-tanda klinik yaitu: nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan berat badan yang cepat. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan USG dan NST. Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan dibagi menjadi dua unsur yaitu sikap terhadap penyakitnya dengan pemberian obat-obat atau terapi medikamentosa dan sikap terhadap kehamilannya dengan managemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil. (Angsar, D., 2007).

2.4.4.1 Sikap terhadap penyakitnya: pengobatan medikamentosaPenderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia beresiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral maupun infus) dan output cairan (melalui urin) harus diperhitungkan secara tepat. Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan berupa: 5% Ringer Dextrose atau cairan garam faali jumlah tetesan < 125 cc/jam atau infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer Laktat (60-125 cc/jam) 500 cc. (Angsar, D., 2007).Pemasangan Foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida untuk menetralisir lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam. (Angsar, D., 2007).Selain itu diberikan obat anti kejang yaitu MgSO4, Diazepam dan Fenitoin.Pemberian magnesium sulfat sebagai anti kejang lebih efektif disbanding fenitoin.Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat.Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan saraf dengan menghambat neuromuscular. Transmisi neuromuscular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan ion magnesium). (Angsar, D., 2007).Adapun carapemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut: Loading dose: initial dose4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10 cc) selama 15 menit.

Maintenance doseDiberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4-6 jam. Syarat-syarat pemberian MgSO4: Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit. Refleks patella (+) kuat Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit tidak ada tanda-tanda distress napas Dihentikan bila: Ada tanda-tanda intoksikasi Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir Dosis terapeutik dan toksis: Dosis terapeutik 4-7 mEq/l4,8-8,4 mg/dl Hilangnya reflex tendon10 mEq/l12 mg/dl Terhentinya pernapasan15 mEq/l18 mg/dl Terhentinya jantung> 30 mEq/l> 36 mg/dl

Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas). Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah satu obat berikut thiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam atau fenitoin. (Angsar, D., 2007).Diuretikum tidak diberikan, kecuali bila ada edema paru, gagal jantung kongestif dan anasarka.Diuretikum yang digunakan adalah furosemide.Pemberian diuretikum memberikan kerugian yaitu dapat memperberat hipovolemi, memperburuk perfusi utero plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi dan menimbulkan dehidrasi pada janin dan penurunan berat janin. (Angsar, D., 2007).Untuk menurunkan tekanan darah diberikan antihipertensi.Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas tekanan darah untuk pemberian antihipertensi.Di Indonesia batas tekanan darah untuk pemberian antihipertensi apabila tekanan sistolik 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik 110 mmHg.Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. (Angsar, D., 2007).Obat-obat antihipertensi yang digunakan meliputi: Antihipertensi lini pertamaNifedipin dengan dosis 10-20 gram per oral diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam Antihipertensi lini keduaSodium nitroprusside dengan dosis 0,25g i.v./kg/menit, ditingkatkan 0,25 g i.v./kg/5 menit.Diazokside dengan dosis 30-60 mg i.v./5 menit atau i.v. infus 10 mg/menit ditritasi. Jenis obat antihipertensi yang digunakan di Indonesia adalah Nifedipin dengan dosis awal 10-20 mg diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimum 120 mg per 24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberika per oral. (Angsar, D., 2007).Pada preeklampsia berat dapat terjadi akibat kardiogenik (payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah kapiler paru).Pada preeklampsia berat dapat diberikan obat antipiretik bila suhu rektal di atas 38.50C dan dapat dibantu dengan kompres dingin atau alcohol, antibiotic diberikan atas indikasi dan anti nyeri bila penderita kesakitan atau gelisah karena konstraksi rahim dapat diberikan pethidin HCl 50-75 mg sekali saja (selambat-lambatnya 2 jam sebelum janin keluar). Pemberian glucocorticoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu, diberikan pada kehamilan 32-34 minggu sebanyak 2x24 jam.

20