Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

11

Click here to load reader

description

Melihat kasus korupsi anggota DPR RI dari perspektif hati nurani dan etika.

Transcript of Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

Page 1: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

1

Hati Nurani dan Etika Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

Tugas mata kuliah Etika

Semester Ganjil 2008/2009

Dosen: Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo

Oleh: Satrio Arismunandar

NPM: 0806401916

Program S3 Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Indonesia

Oktober 2008

Page 2: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

2

I. Pendahuluan

Pertengahan 2008 ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh terungkapnya

sejumlah kasus korupsi, yang melibatkan banyak anggota DPR-RI. Para anggota

Dewan ini secara “berjamaah” menerima suap dari berbagai kalangan, yang

menginginkan agar kepentingan mereka diakomodir, didukung, atau digolkan lewat

produk undang-undang oleh anggota DPR.

Maklum, berbeda dengan zaman Orde Baru, di mana anggota DPR kalah

pengaruh oleh eksekutif, di era reformasi ini anggota DPR berperan cukup signifikan.

Mereka dapat mensahkan rancangan undang-undang (yang dampaknya bisa

menguntungkan/merugikan pihak tertentu), atau menyetujui/menolak usulan

pengangkatan pejabat negara tertentu.

Contohnya, seorang anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Agus

Condro Prayitno, belum lama ini terang-terangan mengaku telah menerima uang Rp

500 juta, sebagai imbalan atas dukungan terhadap pemilihan Miranda Goeltom

sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.

Agus mengklaim, banyak temannya sesama anggota DPR-RI di Komisi IX

juga telah menerima uang suap. Total uang yang digelontorkan untuk menyuap

puluhan anggota DPR ini mencapai puluhan miliar rupiah. Kasusnya kini mulai

ditangani oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).1

Fenomena “korupsi berjamaah” di berbagai tingkatan, dan kasus-kasus

konkret seperti tersebut di atas, mendorong penulis, untuk mengangkatnya menjadi

suatu permasalahan, yang akan dibahas dari aspek etika, khususnya dengan konsep

“hati nurani.”

II. Permasalahan

Perilaku “korupsi berjamaah” di lingkungan anggota DPR itu menimbulkan

sejumlah pertanyaan. Seperti: Bagaimana sebenarnya etika, moral, dan hati nurani

para anggota DPR itu, yang notabene bukanlah orang sembarangan, sehingga mereka

sampai hati menerima suap dan mengkhianati kepercayaan rakyat terhadapnya?

1 Kompas, 29 September 2008, hlm.8. Uang suap itu diberikan dalam bentuk traveler’s cheque, yang

masing-masing cek bernilai Rp 50 juta. Atas permintaan KPK, Ditjen Imigrasi telah mencekal tiga

pengusaha, yaitu Andi Kasih, Hidayat Lukman, dan Budi Santoso, yang dianggap terlibat dan

mengetahui penyaluran cek untuk para anggota DPR-RI itu.

Page 3: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

3

Mereka orang yang cukup terdidik, cukup cerdas, tidak kekurangan secara

material (gaji anggota DPR sudah puluhan juta rupiah per bulan). Selain itu, mereka

semua secara formal adalah penganut agama tertentu, yang secara tegas

mengharamkan perilaku korupsi. Setidaknya identitas keagamaan itu tertera jelas di

KTP mereka.

Jadi, tidaklah masuk akal jika dikatakan bahwa mereka melakukan korupsi

karena tidak tahu bahwa korupsi itu salah. Mereka pasti tahu, korupsi itu melanggar

hukum dan undang-undang. Korupsi itu melanggar sumpah jabatan sebagai pejabat

negara. Korupsi itu bertentangan dengan ajaran moral agama. Korupsi itu juga berarti

mengkhianati rakyat dan konstituen mereka, yang dalam pemilu sebelumnya telah

memberikan suara pada mereka, sehingga mereka bisa terpilih menjadi anggota DPR.

Pertanyaan yang lebih spesifik adalah: Di manakah “suara hati nurani” para

anggota DPR tersebut, ketika mereka dengan sadar melakukan korupsi, sementara

mereka tahu bahwa perilaku korupsi itu salah?

III. Pemahaman Konsep

Hati Nurani:

Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani2, dan mungkin

pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai

kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang

menyingkapkan dimensi etis dalam hidup kita. Maka, pengalaman tentang hati nurani

itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi tentang etika.

Yang dimaksud dengan “hati nurani” adalah penghayatan tentang baik atau

buruk, berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan

atau melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia berbicara tentang

situasi yang sangat konkret, bukan sesuatu yang bersifat umum atau di awang-awang.

Jadi, di dalam diri kita seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral

perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi’

tentang perbuatan-perbuatan moral kita.

2 Dalam bahasa Indonesia, terkadang orang menggunakan suara hati, kata hati, atau suara batin, untuk

menunjukkan hati nurani.

Page 4: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

4

Kesadaran dan Pengenalan:

Hati nurani berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki kesadaran

(consciousness). Yang dimaksud dengan “kesadaran” di sini adalah kesanggupan

manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang dirinya.

Hanya manusia yang memiliki kesadaran. Binatang tidak memilikinya.

Binatang hanya memiliki pengenalan (knowledge), melalui inderanya. Binatang bisa

melihat, mencium, dan mendengar, seperti manusia. Binatang juga bisa merasa takut,

berahi, marah, dan sebagainya. Tetapi binatang tidak bisa berpikir atau berefleksi

tentang dirinya sendiri.

Sedangkan manusia bisa menjadi subyek, sekaligus menjadikan dirinya sendiri

sebagai obyek pengenalannya. Seorang manusia sadar bahwa dirinya adalah manusia.

Sedangkan seekor gajah tidak menyadari bahwa dirinya adalah seekor gajah.3

Dua Macam Hati Nurani:

Hati Nurani Restrospektif:

Ada dua bentuk hati nurani: hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif.

Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah

berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang, dan

menilai perbuatan-perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan, apakah perbuatan-

perbuatan yang sudah dilakukan itu baik atau tidak baik.

Hati nurani akan menuduh atau mencela, jika perbuatannya jelek; dan akan

memuji atau memberi rasa puas, jika perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini

merupakan instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah

berlangsung.

Jika hati nurani menghukum dan menuduh kita, batin kita merasa gelisah, atau

kita mempunyai a bad conscience. Sebaliknya, jika telah bertingkah laku dengan baik,

3 Perbedaan yang digunakan dalam tulisan ini adalah antara kesadaran (consciousness) dan pengenalan

(knowledge). Tetapi dalam literature lain, perbedaan ini kadang-kadang juga diungkapkan dengan

istilah perbedaan antara kesadaran (consciousness) dan kesadaran-diri (self-consciousness). Jika kita

menggunakan pembagian yang terakhir ini, maka kita katakan binatang juga mempunyai kesadaran

(binatang bisa mendengar bunyi, mencium bau busuk, dan sebagainya, seperti juga manusia), tetapi

hanya manusia yang memiliki kesadaran-diri. Bertens, dan juga tulisan ini, mengikuti tradisi yang lebih

luas yang menyamakan kesadaran dengan kesadaran-diri, sehingga hanya manusialah yang memiliki

kesadaran.

Page 5: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

5

kita mempunyai a good conscience atau a clear conscience. Hati nurani kita dalam

keadaan tenang dan puas, dan kita mengalami kedamaian batin.

Hati Nurani Prospektif:

Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-

perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk

melakukan sesuatu, atau mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan

sesuatu.

Dalam hati nurani prospektif ini terkandung semacam ramalan. Ia

menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum kita, jika kita memilih terus

melakukan perbuatan itu. Dalam arti ini, hati nurani prospektif menunjuk kepada hati

nurani retrospektif yang akan datang, jika (niat) perbuatan menjadi kenyataan.

Pembedaan hati nurani retrospektif dan prospektif itu menimbulkan kesan

seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lalu dan masa depan. Padahal, hati

nurani dalam arti sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang berlangsung

kini dan di sini. Hati nurani terutama adalah conscience, “turut mengetahui”, pada

ketika perbuatan itu berlangsung. Dalam perbuatan itu sendiri, si pelaku telah

mengalami –atas dasar hati nurani-- bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau

buruk.

Hati Nurani Personal dan Adipersonal

Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi

bersangkutan. Karena tak ada manusia yang sama, maka tidak ada dua hati nurani

yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan

berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita. Hati nurani

seseorang ketika masih remaja tentu berbeda dengan ketika dia sudah dewasa.

Hati nurani hanya memberi penilaian atas perbuatan saya sendiri, bukan

perbuatan orang lain. Maka, jika ada yang menggunakan istilah “hati nurani bangsa,”

seolah-olah ada kolektivitas dalam kepemilikan hati nurani. Namun, ungkapan itu

sebenarnya hanya bersifat kiasan.

Namun, hati nurani menunjukkan juga suatu aspek adipersonal. Selain bersifat

pribadi, hati nurani seolah-olah melebihi pribadi kita, seolah-olah merupakan instansi

di atas kita. Hati nurani memiliki suatu aspek transenden, artinya melebihi pribadi

Page 6: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

6

kita. Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap menyatakan, hati nurani

adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati nurani.4

Bagi orang beragama, hati nurani memang memiliki dimensi religius.

Mungkin, malah tidak ada cara yang lebih jelas untuk menghayati hubungan antara

moral dan agama daripada justru pengalaman hati nurani ini. Tetapi, adalah sangat

naif dan berbahaya, jika orang menganggap bahwa melalui hati nurani Tuhan

berbisik-bisik dalam hatinya. Seorang fanatik beragama bisa saja meyakini tindakan

mereka atas perintah Tuhan, padahal bagi masyarakat luas tindakan itu tak lain adalah

kejahatan.

Hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan

mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif. Bahkan, orang

yang tidak mengakui adanya Tuhan pun memiliki hati nurani, yang mengikat mereka

sama seperti orang beragama.

Hati Nurani sebagai Norma Moral yang Subyektif

Dalam sejarah filsafat, sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk

perasaan, kehendak, atau rasio. Namun, dalam filsafat sekarang, diyakini bahwa

manusia tak bisa dipisahkan dalam pelbagai fungsi atau daya. Kita harus bertolak dari

kesatuan manusia, di mana pelbagai fungsi dapat dibedakan, tetapi tidak boleh

dipisahkan.

Dalam hati nurani pula, perasaan, kehendak, dan rasio tersebut memainkan

peranan. Namun, ada kecenderungan kuat untuk mengakui bahwa hati nurani secara

khusus harus dikaitkan dengan rasio. Alasannya, hati nurani memberi suatu penilaian,

artinya, suatu putusan (judgment). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau

itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas adalah suatu fungsi

dari rasio.

Ada dua macam rasio: rasio teoretis dan rasio praktis. Rasio teoretis bersifat

abstrak, dan merupakan sumber pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Sedangkan rasio

praktis bersifat konkret, terarah pada tingkah laku manusia. Rasio praktis menjawab

4 Sangat menarik untuk melihat bahwa di Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) maupun

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) menjelaskan kata “hati nurani” begitu saja sebagai: “hati yang

telah mendapat cahaya Tuhan.” Kata “nur” (bahasa Arab) sendiri berarti “cahaya.”

Page 7: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

7

pertanyaan seperti: Apa yang harus saya lakukan? Maka, hati nurani yang bersifat

konkret, terkait dengan rasio praktis.

Meski putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti bahwa ia

mengemukakan suatu penalaran logis (reasoning). Ucapan hati nurani umumnya

bersifat intuitif, artinya, langsung menyatakan: ini baik dan terpuji atau itu buruk dan

tercela. Pemikiran intuitif berlangsung “satu kali tembak,” tidak melalui tahapan-

tahapan perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi. Meski begitu, kadang-

kadang putusan hati nurani bisa memiliki sifat-sifat yang mengingatkan kita pada

suatu argumentasi, terutama hati nurani prospektif.

Mengikuti hati nurani merupakan hak dasar setiap manusia. Dalam Deklarasi

Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948) disebutkan juga “hak atas

kebebasan hati nurani” (pasal 18). Konsekuensinya, negara harus menghormati

putusan hati nurani para warganya, bahkan sekalipun kewajiban itu menimbulkan

konflik dengan kepentingan lain.5

Maka bisa disimpulkan, hati nurani memiliki kedudukan kuat dalam hidup

moral kita. Bahkan bisa dikatakan: dipandang dari sudut subyek, hati nurani adalah

norma terakhir untuk perbuatan-perbuatan kita. Atau dengan kata lain, putusan hati

nurani adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku kita.

Meski demikian, belum tentu perbuatan yang sesuai dengan hati nurani adalah

baik juga secara obyektif. Hati nurani bisa keliru. Bisa saja hati nurani menyatakan

sesuatu adalah baik, bahkan wajib dilakukan, padahal secara obyektif perbuatan itu

adalah buruk.

Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan

subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya.

Pada orang semacam itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik

secara obyektif. Maka manusia wajib mengembangkan hati nurani dan seluruh

kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.

5 Konsekuensinya, negara harus menghormati hak dari conscientious objector, yaitu orang yang

berkeberatan memenuhi suatu kewajiban sebagai warga negara karena alasan hati nurani. Misalnya, di

negara yang mempraktikkan wajib militer, tak jarang ada pemuda yang menolak menjalani wajib

militer dengan alasan hati nurani. Hati nurani melarang mereka mengikuti latihan militer yang

bertujuan membunuh sesama manusia. Di sini negara dihadapkan pada pilihan yang sulit. Terkadang

negara mendahulukan kepentingan militer di atas hati nurani. Petinju Amerika, Muhammad Ali, dulu

pernah dipenjara karena menolak wajib militer, dan gelar juara tinjunya dicopot.

Page 8: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

8

IV. Pembahasan

Dalam kasus korupsi oleh anggota DPR yang mengemuka dalam pemberitaan

media massa akhir-akhir ini, bisa kita katakan, bahwa konsep hati nurani yang terkait

di sini adalah hati nurani retrospektif, sebab perilaku atau tindakan korupsi itu sudah

selesai dilakukan. Di sini para anggota DPR bersangkutan melihat ke belakang,

menilai tindakan (korupsi) yang sudah mereka lakukan di masa lalu. Apakah tindakan

itu benar, atau salah?

Namun, bukan berarti selesai sampai di situ. Para anggota DPR ini juga

memikirkan apa yang akan mereka lakukan sekarang dan di masa depan. Dalam

konteks masa depan ini, terkait konsep hati nurani prospektif.

Ketika kasus korupsi ini sedikit demi sedikit mulai terungkap, apa yang

sebaiknya mereka lakukan? Apakah mereka akan mengaku terus terang, seperti yang

sudah dilakukan Agus Condro, bahwa betul mereka sudah menerimsa uang suap?

Atau apakah mereka terus bertahan dengan versi kebohongan yang sudah ada, secara

konsisten (dalam kebohongan), dengan segala risikonya?

Kemudian, apabila kasus yang ada sekarang bisa terselesaikan (dalam arti

kasus korupsi mereka tidak terungkap dan posisi mereka sudah aman), apakah mereka

masih akan melakukan korupsi baru di masa depan, manakala ada peluang, atau

situasi memungkinkan?

Faktanya, mereka masih menjabat sebagai anggota DPR, sampai hasil pemilu

2009 menentukan anggota-anggota DPR yang baru. Bahkan sebagian anggota DPR,

yang dituduh menerima suap sekarang, juga masih terdaftar sebagai caleg dalam

pemilu 2009. Artinya, ada peluang mereka akan terpilih lagi sebagai anggota DPR-RI

untuk masa jabatan 2009-2014.

Tentu saja, kita sulit mengetahui jawaban semua pertanyaan itu, karena semua

itu berlangsung internal pada hati nurani setiap anggota DPR. Hanya para anggota

DPR bersangkutan yang bisa menjawabnya.

Yang bisa kita analisis di sini adalah para anggota DPR itu tampaknya sudah

“melangkahi” sejumlah tahapan gugatan hati nurani, sehingga mereka bisa melakukan

korupsi. Tahapan itu bisa ditunjukkan dari sejumlah “pelanggaran moral” yang sudah

mereka lakukan, yang tentunya melalui suatu pergulatan tertentu di dalam batin.

Tahapan-tahapan itu adalah, bahwa dengan menerima suap atau melakukan

korupsi, mereka telah:

Page 9: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

9

1. Mengingkari janji atau berbohong kepada rakyat/konstituen dalam kampanye

pemilu sebelumnya (2004), bahwa mereka akan membela kepentingan rakyat,

dan tidak akan mendahulukan kepentingan pribadi.

2. Melanggar komitmen moral partai politik, untuk mengedepankan politik yang

bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Meskipun mungkin

komitmen partai ini dalam praktiknya lebih bersifat basa-basi, secara normatif

dan dalam program resmi yang tertulis dan dikampanyekan, setiap partai

politik mengklaim akan serius mendukung gerakan antikorupsi.

3. Melanggar peraturan kelembagaan yang berlaku di lembaga tinggi negara

(parlemen), bahwa anggota DPR tidak boleh menerima suap.

4. Melanggar sumpah kepada Tuhan, bahwa mereka akan menjalankan amanat

sebagai anggota DPR dengan sebaik-baiknya. Sumpah jabatan itu mereka

bacakan, ketika mereka dilantik sebagai anggota DPR tahun 2004.

5. Melanggar ajaran agama yang mereka anut, yang secara tegas mengharamkan

korupsi, suap, dan berbagai penyimpangan keuangan lainnya.

Jika melihat begitu banyaknya janji, sumpah, dan norma yang telah dilanggar,

sehingga terjadi kasus suap/korupsi besar-besaran tersebut, tindakan “pengabaian

suara hati nurani” yang dilakukan oleh para anggota DPR tersebut betul-betul telah

mencapai tingkatan yang luar biasa.

V. Kesimpulan

1. Pengalaman tentang hati nurani dapat menjadi jalan masuk yang tepat, untuk

suatu studi tentang etika.

2. “Hati nurani” adalah penghayatan tentang baik atau buruk, berhubungan

dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan atau

melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Hati nurani

merupakan semacam “saksi’ tentang perbuatan-perbuatan moral kita.

3. Hati nurani berkaitan dengan kesadaran (consciousness), yaitu kesanggupan

manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu berefleksi tentang

dirinya.

Page 10: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

10

4. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah

berlangsung di masa lampau. Sedangkan, nurani prospektif melihat ke masa

depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita yang akan datang.

5. Namun, hati nurani dalam arti sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang

sedang berlangsung kini dan di sini. Hati nurani terutama adalah conscience,

“turut mengetahui”, pada ketika perbuatan itu berlangsung.

6. Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi

bersangkutan. Karena tak ada manusia yang sama, maka tidak ada dua hati

nurani yang persis sama.

7. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian. Hati nurani akan berkembang bersama

dengan perkembangan seluruh kepribadian kita.

8. Hati nurani hanya memberi penilaian atas perbuatan saya sendiri, bukan

perbuatan orang lain.

9. Selain bersifat pribadi, hati nurani memiliki suatu aspek transenden, artinya

melebihi pribadi kita. Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap

menyatakan, hati nurani adalah suara Tuhan.

10. Hati nurani tidak melepaskan kita dari kewajiban untuk bersikap kritis dan

mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kita secara obyektif.

11. Perasaan, kehendak, dan rasio memainkan peranan dalam hati nurani. Namun,

hati nurani secara khusus dikaitkan dengan rasio, karena hati nurani memberi

suatu penilaian, artinya, suatu putusan. Mengemukakan putusan jelas adalah

fungsi dari rasio.

12. Meski putusan hati nurani bersifat rasional, itu tidak berarti ia mengemukakan

suatu penalaran logis. Ucapan hati nurani umumnya bersifat intuitif, tidak

melalui tahapan-tahapan perkembangan seperti dalam sebuah argumentasi.

13. Hati nurani memiliki kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Dipandang dari

sudut subyek, hati nurani adalah norma terakhir untuk perbuatan kita. Atau,

putusan hati nurani adalah norma moral yang subyektif bagi tingkah laku kita.

14. Hati nurani bisa keliru. Belum tentu perbuatan yang sesuai dengan hati nurani

adalah baik juga secara obyektif.

15. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan

subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari

perbuatannya. Maka manusia wajib mengembangkan hati nurani dan seluruh

kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.

Page 11: Hati Nurani dan Etika: Kasus “korupsi berjamaah” anggota DPR-RI

11

16. Dalam kasus suap dan “korupsi berjamaah”, yang melibatkan sejumlah

anggota DPR-RI belum lama ini, patut diduga telah terjadi “pengabaian hati

nurani” dalam tingkatan yang luar biasa, mengingat begitu banyak janji,

norma, aturan moral, dan peraturan yang dilanggar.

Depok, Oktober 2008

Referensi:

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah

Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Bertens, K. Etika. 2004. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New

York: Oxford University Press.

Kompas, 29 September 2008.