HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK -...

157
HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK (Studi Kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram dan Kupang) Disusun oleh: Tim Peneliti Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch Jakarta, 2000

Transcript of HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK -...

Page 1: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

HASIL SURVEY

KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK

(Studi Kasus di Lima Kota: Jakarta, Palangkaraya, Samarinda, Mataram dan Kupang)

Disusun oleh:

Tim Peneliti

Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch

Jakarta, 2000

Page 2: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

i

Kata Pengantar

Wacana anti korupsi mulai muncul kembali di Indonesia bersamaan dengan runtuhnya rejim Suharto. Korupsi, bersama dengan kolusi dan nepotisme, kemudian menjadi wacana baru yang menjadi dagangan politik utama di kalangan politisi. Secara deterministis KKN tersebut ditempatkan sebagai sumber utama krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.

Wacana anti korupsi tersebut semakin berkembang pula dengan adanya organisasi-

organisasi yang bergerak untuk memberantas korupsi. Dari wacana yang berkembang tersebut tersebut kemudian muncul gagasan untuk melakukan pendekatan legal dalam pemberantasan korupsi seperti perbaikan UU Anti Korupsi, UU Perlindungan Saksi, Ombudsman, dan lain-lain. Selain itu lahir pula ide-ide dari organisasi-organisasi anti korupsi untuk menempatkan gerakan anti korupsi sebagai sebuah gerakan sosial. Artinya, gerakan anti korupsi harus berjalan linier dengan demokratisasi. Gagasan ini mempercayai bahwa apabila masyarakat sipil terbentuk maka korupsi akan jauh lebih mudah diberantas. Transparansi dan demokratisasi sekaligus juga melahirkan elemen kontrol terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Namun harus diakui bahwa segala gagasan untuk memberantas korupsi tersebut masih

belum memiliki basis teoritis yang jelas. Teori mengenai korupsi yang berdasar pada realitas sosial yang ada di Indonesia masih kurang dalam memberikan semacam pemahaman yang jelas. Kurangnya pemahaman yang memadai dapat terlihat dari masih munculnya perdebatan mengenai target pemberantasan, apakah koruptor-koruptor kelas kakap yang melakukan korupsi padahal hidup mereka sudah berkecukupan atau koruptor-koruptor kecil yang tindakannya langsung bersentuhan dengan masyarakat. Padahal untuk menyusun langkah-langkah strategis maupun taktis dalam memberantas korupsi, perlu ada kajian yang mendalam mengenai pola-pola korupsi di Indonesia.

Berdasarkan latar pemikiran tersebut, perlu dilakukan suatu kajian mengenai pola-pola

korupsi di Indonesia. Di sini, Indonesia Corruption Watch bekerja sama dengan The Asia Foundations melakukan riset mengenai pola-pola korupsi di Indonesia. Tujuan dari riset ini adalah untuk mengembangkan sedikit pemikiran mengenai kompleksitas korupsi agar langkah-langkah strategis maupun taktis dapat dirumuskan. Korupsi di Indonesia melibatkan tiga elemen utama, yaitu negara, sektor bisnis dan sektor rakyat. Korupsi muncul dalam relasi diantara ketiga elemen tersebut. Namun kami menyadari bahwa korupsi merupakan persoalan yang kompleks, maka penelitian ini lebih difokuskan pada korupsi yang terjadi dalam relasi antara negara dengan rakyat. Relasi antara negara dengan rakyat, dengan rakyat yang seringkali berposisi sebagai korban dapat dilihat pada kehidupan seharihari pada sektor pelayanan publik (public service).

Korupsi yang terjadi dalam relasi rakyat-negara ini menjadi penting, pertama karena

persoalan korupsi tersebut langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat. Kedua, kajian terhadap korupsi dalam pelayanan publik ini mencoba mengelaborasi lebih jauh argumentasi bahwa korupsi yang dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah, yang tentunya secara langsung merugikan rakyat, tetap tidak dapat diterima dengan justifikasi-justifikasi yang bersifat hanya ekonomis.

Dalam penelitian ini, sektor pelayan publik yang begitu luas dibatasi pada pelayanan

publik yang relatif rutin berinteraksi dengan rakyat, yaitu PLN, PAM/PDAM, Pembuatan SIM

Page 3: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

ii

dan Perpajakan, khususnya dalam proses pemeriksaan dan pemungutan pajak. PLN dan PAM/PDAM diambil sebagai representasi dari BUMN yang produknya langsung dikonsumsi oleh publik. Pembuatan SIM sebagai perwakilan dari pelayanan publik yang dilakukan oleh institusi POLRI. Sedangkan Perpajakan diasumsikan mewakili pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat birokrasi.

Sebagai sebuah tinjauan awal, tentunya banyak kelemahan yang muncul dalam penelitian

ini. Di sini kami mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca sebagai bagian dari dialektika yang berkembang demi perumusan strategi anti korupsi yang lebih substantif, struktural dan bersifat strategis.

Tidak lupa kami atas nama tim peneliti “Pola-Pola Korupsi di Indonesia” ICW-TAF

mengucapkan terimakasih kepada kawan-kawan di Badan Pekerja ICW, The Asia Foundations, para informan dan responden yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, serta para sukarelawan yang bersedia membantu menjadi interviewer. Karena tanpa mereka, penelitian ini tidak akan bisa terlaksanan dengan baik.

Jakarta, November 2000 Tim Peneliti

Page 4: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

iii

TIM PENELITI POLA-POLA KORUPSI DI INDONESIA

Koordinator: Donny Ardyanto

Asisten Koordinator : Joko Oetoro Oemaryono

Abdullah Kamil/Wasingatu Zakiah

Adminstrasi: Fauziaa Binawati

Rita Novela

Staf Ahli: Hari Nugroho (Sosiolog, Staf Pengajar FISIP UI)

Merly Khow (Kriminolog, Staf Ahli BPPN) M. Nawir Mesy (Ekonom, Peneliti INDEF) Rudy M. Harahap (Public Finance, Staf BPKP)

Topo Santoso (Ahli Hukum, Staf Pengajar FH UI)

Peneliti: Agam Fatchurrochman Y. Wasi Gede Puraka

Asisten Peneliti: Ahmad Deni Murdani

Dara Meutia Uning Dera Eharlina

Dery Irmantara Satya B. Utama

Sonny P. Wibisono

Page 5: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

iv

Daftar Isi Kata Pengantar............................................................................................................................ i TIM PENELITI ........................................................................................................................ iii POLA-POLA KORUPSI DI INDONESIA.............................................................................. iii Daftar Isi ................................................................................................................................... iv Daftar Tabel.............................................................................................................................. vi Daftar Gambar ......................................................................................................................... vii BAB I......................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1

I.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1 I.2 Permasalahan.................................................................................................................... 4 I.3 Kerangka Pemikiran......................................................................................................... 9

I.3.1 Menuju Pemahaman Ekonomi-Politik Korupsi ........................................................ 9 I.3.2 Birokrasi .................................................................................................................. 16 I.3.3. Sektor Pelayanan Publik ........................................................................................ 18

I.4. Tujuan dan Signifikansi Penelitian ............................................................................... 21 I.5. Metode Penelitian.......................................................................................................... 21

Bab II ....................................................................................................................................... 24 Sekilas Sejarah Korupsi Kontemporer di Republik Indonesia ................................................ 24

II.1 Periode Pasca-Kolonial 1945-1957............................................................................... 24 II.2 Demokrasi Terpimpin 1958-1965 dan Keruntuhannya. ............................................... 27 II.3 Periode Pemulihan Ekonomi Negara dan Politik Dua-Jalur 1966-1974 ...................... 29 II.4 Periode 1974 – 1982 Penguatan Negara dan Kebangkitan Politik Teknokrat.............. 33 II.5 Periode 1978 – 1986: Deregulasi Dan Arah Menuju Institusionalisasi Korupsi. ......... 37 II.6 Periode 1986-1997 : Transformasi Patronase Individu Menuju Patronase Negara...... 41

Bab III...................................................................................................................................... 44 Korupsi Pada Sektor Pelayanan Publik Sebagai Warisan Orde Baru ..................................... 44

III.1. Deskripsi Korupsi Dalam Proses Pengelolaan Pembuatan SIM ................................ 44 III.1.1 Organisasi dan Pengelolaan SIM.......................................................................... 47 III.1.2. Pengelolaan dan Proses Produksi Surat Ijin Mengemudi.................................... 53 III.1.2. Prosedur Formal Pengurusan SIM....................................................................... 56 III.1.3. Korupsi dalam Pengelolaan Pembuatan SIM ...................................................... 58

III.1.3.1. Percaloan ...................................................................................................... 58 III.1.3.2. Celah-Celah Korupsi Pada Proses Pengurusan SIM .................................... 61 III.1.3.3. Aliran Dana dalam Jaringan Patronase Pada SIM........................................ 64

III.2 Deskripsi Korupsi Pada Sektor Perpajakan................................................................. 71 III.2.1. Personalia ............................................................................................................ 72 III.2.2. Pembayaran Untuk Jasa-Jasa Wajib .................................................................... 74 III.2.3. Negosiasi Pajak ................................................................................................... 75 III.2.4. Celah-Celah Korupsi Pada Proses Pemungutan Pajak ........................................ 77

III.2.4.1. Sistim Pemungutan Pajak ............................................................................. 77 III.2.4.2 Model Pemeriksaan Pajak ............................................................................. 79 III.2.4.3. Sistem Pelaporan Pajak ................................................................................ 87

III.3 Deskripsi Korupsi Pada Sektor Penyediaan Sumber Daya Strategis : Kasus PLN dan PAM Jaya ............................................................................................................................ 88

III.3.1. Konteks Historis Keberadaan Usaha Ekonomi Negara (BUMN/D) ................... 88

Page 6: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

v

III.3.2. Perusahaan Listrik Negara Sebagai Sapi Perah................................................... 94 III.3.2.1. Pengadaan Tingkat Manajemen Tinggi: Kasus Listrik Swasta .................... 96 III.3.2.2. Pengadaan Tingkat Manajemen Menengah Dan Bawah/Operasional ....... 106 III.3.2.3. Pencurian Listrik ........................................................................................ 108

III.3.3. Deskripsi Korupsi pada sektor PAM Jaya......................................................... 111 III.3.3.1. Gambaran Singkat Mengenai Proyeksi Perusahaan Air Minum (PAM).... 111 III.3.3.2. Sekilas tentang PAM Jaya .......................................................................... 114 III.3.3.3. Bentuk Pola Korupsi Dalam Tubuh PAM Jaya......................................... 118

BAB IV.................................................................................................................................. 133 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.............................................................................. 133

IV.1. Pengelolaan SIM dan Kultur Birokratik Militer....................................................... 134 IV.2. Korupsi di Sektor Pajak............................................................................................ 136 IV.3. Pola Korupsi di BUMN (PLN dan PAM Jaya) ........................................................ 138

IV.3.1. PLN: Swastanisasi dan Korupsi ........................................................................ 138 IV.3.2. PAM Jaya : Kolusi Negara - Modal .................................................................. 140

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 144

Page 7: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

vi

Daftar Tabel Tabel 1. ...................................................................................................................................... 3 Kaitan Korupsi dengan Perubahan Sistemik dan Dampak Politik yang Utama per Negara Sejak Pertengahan Tahun 1970 ................................................................................................ 3 Tabel. 2 ...................................................................................................................................... 5 Pertumbuhan Ekonomi dan GNP per kapita ............................................................................. 5 Tabel 3 ....................................................................................................................................... 5 Tingkat Penurunan Nilai Mata Uang Asia 2 Januari 1997-Februari 1998 ............................... 5 Tabel 4 ....................................................................................................................................... 6 Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar AS ..................................................................... 6 Tabel 5. .................................................................................................................................... 64 Perkiraan Rentang Harga/Paket Pembuatan SIM A,B,C ........................................................ 64 Tabel 6 ..................................................................................................................................... 68 Hasil Produksi SIM Kepolisian Republik Indonesia Oktober 1992 s/d 31 Januari 2000........ 68 Tabel 7 ..................................................................................................................................... 71 Tipe Pola Korupsi Pengelolaan dan Penerbitan SIM Polda Metro Jaya ................................. 71 Tabel 8 ..................................................................................................................................... 88 Tipe Pola Korupsi Pemungutan Pajak..................................................................................... 88 Tabel 9 .................................................................................................................................... 92 Ciri-ciri Pokok Usaha Negara Menurut UU No.9 Tahun 1969............................................... 92 Tabel 10 ................................................................................................................................... 97 Tingkat Pertumbuhan Kebutuhan Listrik Versi RUKN Dan PLN.......................................... 97 Tabel 11 ................................................................................................................................... 99 Sebagian Pihak Yang Terlibat Dalam Perencanaan Pengembangan Sistem Ketenagalistrikan................................................................................................................................................. 99 Tabel 12 ................................................................................................................................. 101 Peraturan Perundangan Yang Menghambat Investasi Listrik Oleh Swasta & PMA ............ 101 Tabel 13 ................................................................................................................................. 101 Peraturan Perundangan Yang Dikeluarkan Untuk Melancarkan Investasi Listrik Swasta ... 101 Tabel 14 ................................................................................................................................. 102 Sebagian Proses Yang Menggambarkan Perlakuan Istimewa Pemerintah Kepada BMMG/PEC .......................................................................................................................... 102 Tabel 15 ................................................................................................................................. 105 Posisi Utang Luar Negeri Jangka Panjang PLN Berdasarkan Skema Two Step Loans Tahun 1996 ....................................................................................................................................... 105 Tabel 16 ................................................................................................................................. 110 Tipe Pola Korupsi Pada Penyediaan Kelistrikan................................................................... 110 Tabel 17 ................................................................................................................................. 117 Komposisi Penyebaran Pegawai PAM Jaya berdasarkan jenis kelamin .............................. 117 Tabel 18 ................................................................................................................................. 117 Komposisi Penyebaran Pegawai PAM Jaya berdasarkan status .......................................... 117 Tabel 19 ................................................................................................................................. 131 Tipe Pola Korupsi Pada Penyediaan Air Minum .................................................................. 131

Page 8: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

vii

Daftar Gambar

Gambar 1 ................................................................................................................................. 48 Struktur Kepolisian Yang Berhubungan Dengan Wewenang Dibidang Lalu Lintas Di Tiap Daerah Tingkat Satu ................................................................................................................ 48 Gambar 2 ................................................................................................................................. 50 Struktur Organisasi Pengelolaan SIM di Bawah Subbag. SIM............................................... 50 Gambar 3 ................................................................................................................................. 54 Struktur Pengelolaan SIM dan Kantor Pelayanan di Bawah Kabagregident .......................... 54 Gambar 4 ................................................................................................................................. 58 Proses Permohonan dan Pembuatan SIM................................................................................ 58 Gambar 5 ................................................................................................................................. 66 Garis Perintah dalam Memungut Kutipan............................................................................... 66 Gambar 6 ................................................................................................................................. 98 Rekayasa Perencanaan Pengembangan Sistem Ketenagalistrikan .......................................... 98 Gambar 7 ............................................................................................................................... 107 Jalur Unit Operasional PLN .................................................................................................. 107 Gambar 8 ............................................................................................................................... 108 Pola-Pola Korupsi Pada Aspek Perencanaan Operasional PLN............................................ 108 Gambar 9 ............................................................................................................................... 110 Pola-Pola Pencurian/Manipulasi Pemakaian Listrik ............................................................. 110 Gambar 10 ............................................................................................................................. 115 Gambaran jumlah pelanggan PAM Jaya dalam ribuan ......................................................... 115 Gambar 11 ............................................................................................................................. 116 Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta .............................. 116 Gambar 12 ............................................................................................................................. 120 Proses Persiapan Kerjasama/Swastanisasi............................................................................. 120 Gambar 13 ............................................................................................................................. 141 Proses Korupsi PAM JAYA.................................................................................................. 141

Page 9: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam pemahaman yang luas, situasi dunia yang semakin mengarah pada globalisasi membuat isu-isu sosial yang sebelumnya terpendam kini mencuat ke permukaan. Liberalisasi politik dan ekonomi telah menyingkap masalah-masalah yang sebelumnya tersembunyi ke permukaan seperti pelanggaran HAM dimasa lalu dan korupsi. Kurang lebih seperempat abad terakhir dan beriringan dengan semakin masifnya proses globalisasi tersebut, gerakan-gerakan anti-korupsi dewasa ini merupakan bagian dari proses delegitimasi terhadap keberadaan negara. Dari negara demokratis yang paling maju sampai negara yang paling menindas, perimbangan kekuatan-kekuatan ekonomi maupun politik dalam negeri suatu negara selalu mengalami pergeseran atau perpindahan. Pergeseran dan perpindahan ini tentunya memuat kandungan gagasan akan pentingnya cara pemerintahan yang semakin credible (dapat dipercaya) dan sistem politik yang semakin demokratis. Proses perubahan ini didorong pula oleh peningkatan kemakmuran secara relatif, dan tingginya tingkat pendidikan, serta kemajuan teknologi informasi. Sebagian perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi kapasitas masyarakat dalam memperoleh informasi yang akhirnya memaksa para pemimpin mempertanggungjawabkan sepak terjang mereka dalam menjalankan roda pemerintahan secara lebih penuh kepada publik.

Dengan berakhirnya perang dingin maka manipulasi informasi dengan politik Orwellian

sebagai salah satu sendi pemerintahan otoriter menjadi semakin sulit dipertahankan. Beberapa negara yang merupakan front terdepan dalam Perang Dingin seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Meksiko, Italia, serta Jepang sebelumnya menganggap bahwa lebih penting mempertahankan garis batas dengan komunisme dibandingkan dengan pelembagaan persaingan pasar dan politik yang sesungguhnya1, kini mulai mengalami guncangan sistem pertahanan ideologis. Karena gagasan tersebut pada kenyataannya sering kali dipertahankan dengan cara-cara yang seringkali koersif, manipulatif, tertutup, sehingga memonopoli partisipasi. Penyebarluasan informasi yang semakin cepat pada akhirnya turut menyumbangkan pengetahuan banyak orang akan perlunya partisipasi dalam pemerintahan. Seiring dengan perkembangan di atas, salah bentuk keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan antara lain melalui isu korupsi. Misalnya di Indonesia isu korupsi telah menjadi salah satu tenaga pendorong kejatuhan rejim pemerintahan Soeharto tahun 1997-1998 setelah sekian lama menancapkan kukunya pada hampir setiap aspek kehidupan sosial-ekonomi-politik-kebudayaan-ideologi.

Pada dekade awal 90-an beberapa negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara, yang juga

menjadi front terdepan Perang Dingin, mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Namun tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut justru memiliki korelasi dengan tingginya derajat korupsi misalnya seperti di Indonesia, Thailand, dan Filipina. Selain di negara-negara berkembang seperti Indonesia, korupsi juga dapat terjadi di negara yang relatif maju seperti Italia tahun 1990 dan Korea Selatan pasca-Kwangju tahun 1982.2 Di Italia ketakutan akan bahaya komunisme turut membuat toleransi publik terhadap tingginya tingkat korupsi jadi sangat menonjol. Demikian pula di Korea Selatan dimana praktek-praktek kolusi dan korupsi

1 Business Week, 18 Desember 1995 2 Patrick Glynn et.al, Globalisasi Korupsi, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hal.12-13

Page 10: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

2

antara para politisi dan para chaebol yang dianggap anti-demokrasi dan korup juga turut mendorong tingginya derajat radikalisasi para buruh terhadap negara dan para chaebol.

Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut sering kali dipergunakan sebagai

dasar pembenaran toleransi aparat negara dan sebagian masyarakat tentang tindak korupsi. Dasar pemikiran bahwa negara yang korup dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mentoleransi penyelewengan dana sebagai hal yang normal patut ditentang berdasar tiga pertimbangan.3 Pertama, negara-negara yang korupsinya telah sistematis namun mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka pendek hingga panjang beresiko untuk terbenam ke dalam spiral krisis yang terus menerus. Kedua, korupsi yang menyertai tingkat pertumbuhan ekonomi cenderung merusak alokasi keuntungan ekonomi dengan hanya menguntungkan pihak-pihak yang memiliki akses pada distribusi sumber daya dan merugikan masyarakat banyak, terutama kelas bawah. Ketiga, gagasan tentang toleransi korupsi berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi sama ditolaknya ketika muncul gagasan yang menyatakan bahwa rendahnya tingkat pendapatan mewajarkan tindakan korupsi. Karena pada titik tertentu ketimpangan distribusi pendapatan akibat korupsi oleh para pejabat negara juga mempengaruhi dan mendorong masyarakat kebanyakan untuk turut menaikkan tingkat pendapatan mereka lewat cara-cara yang koruptif pula. Implikasi dari pembenaran terhadap praktek korupsi adalah cepat meresapnya patologi korupsi ke dalam hampir seluruh unsur aktivitas masyarakat sehingga semakin memperberat usaha pemulihan ekonomi dari spiral krisis atau peningkatan pertumbuhan secara signifikan. Oleh karena itu distribusi pendapatan yang tidak adil akibat korupsi akhirnya sangat berpotensi menggerogoti stabilitas politik negara dan mekanisme sosial institusi masyarakat, serta kepercayaan.

Tabel dibawah ini dapat memberikan gambaran hubungan antara korupsi dengan

perubahan politik yang ditandai oleh kejatuhan berbagai rejim pemerintahan semenjak pertengahan tahun 1970-an. Dalam tabel dibawah ini negara-negara yang mengalami perubahan, baik melalui revolusi politik maupun reformasi, hingga saat ini tidak seluruhnya terlepas dari spiral krisis ekonomi karena kemampuan setiap negara dalam melakukan pemulihan berbeda-beda, misalnya Indonesia yang kini tersendat-sendat dalam memulihkan perekonomian negara apabila dibandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Filipina. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat kedalaman suatu krisis ekonomi yang dipengaruhi korupsi dan kemampuan suatu negara untuk keluar dari krisis tersebut ditentukan oleh kemampuan dan kapasitas berbagai jenis kelompok masyarakat dalam mengontrol, mengawasi, dan berpartisipasi, serta terlibat dalam gerakan anti-korupsi sebagai jenis gerakan yang menuju pada demokratisasi sistim ekonomi dan politik.

3 Susan Rose-Ackerman, Ekonomi Politik Korupsi, dalam Kimberly Ann Elliott, 1999, op.cit., hal 48

Page 11: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

3

Tabel 1. Kaitan Korupsi dengan Perubahan Sistemik dan Dampak Politik yang Utama per

Negara Sejak Pertengahan Tahun 1970 4 Perubahan Sistemik a) Dampak Politik Yang Utama b) Jerman Timur Liberia Mauritania Nikaragua Nigeria Panama Filipina Bekas Uni Soviet Sierra Leone Sudan Uganda

Argentina Brasil Cina Gabon India Italia Jepang Malaysia Meksiko Paraguay Korea Selatan Tanzania Venezuela Zambia

Bangladesh Burkina Faso Kolombia Yunani Indonesia Pantai Gading Kenya Mali Pakistan Peru Spanyol Thailand Zaire

a) Termasuk Kejatuhan Total b) Terbentang sejak dari pemeliharaan rejim sampai penataan kembali dunia politik secara signifikan Jatuhnya sebagian rejim otoriter pada beberapa negara yang korup didukung oleh

masifnya tingkat akselerasi tuntutan masyarakat kepada pemerintah agar menghilangkan distorsi-distorsi ekonomi dengan melakukan pemberantasan korupsi. Tuntutan-tuntutan itu diartikulasikan antara lain melalui media-media massa, gerakan-gerakan massa, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, maupun oleh lembaga-lembaga internasional. Ternyata keberhasilan akselerasi tuntutan-tuntutan masyarakat masih menemukan banyak kendala. Kendala yang menghambat antara lain pemahaman masyarakat sendiri akan pentingnya keterlibatan mereka dalam gerakan anti-korupsi baik di pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari. Akhirnya ketiadaan basis pengetahuan yang memadai untuk memberikan landasan bagi suatu aksi pemberantasan korupsi dapat membuat penyusunan langkah strategis dan taktis menjadi terhambat.

Terhambatnya gerakan anti-korupsi karena keterbatasan pengetahuan dapat dihindari

apabila korupsi diposisikan di dalam relasi antara tiga elemen yaitu negara lewat instrumen-instrumen kebijakan dan institusinya. Lalu kelompok-kelompok bisnis lewat kolusi demi tercapainya monopoli, serta masyarakat kebanyakan lewat suap demi terpenuhinya syarat-syarat administratif kewarganegaraan dalam rangka memperoleh akses bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam hubungannya dengan penguatan partisipasi masyarakat sipil dalam pemerintahan maka relasi yang signifikan dan kontekstual untuk dikritisi yaitu relasi antara negara dengan rakyat. Dengan memperhatikan relasi antara ketiga elemen tersebut maka kompleksitas korupsi menjadi relatif lebih nampak.

Relasi antara ketiga elemen tersebut paling jelas terlihat pada beberapa negara

berkembang, baik yang belum maupun sedang mengalami masa transisi politik, dimana masyarakat miskin seringkali menjadi korban. Salah satu contoh adalah Indonesia dimana kuatnya posisi negara atas masyarakat terus menerus ditunjang oleh strategi dominasi lewat cara-cara koersif, hegemonik, korporatis dan manipulatif terhadap kelompok-kelompok di masyarakat 4 Michael Johnston. Pejabat Pemerintah, Kepentingan Swasta, dan Demokrasi yang Berkelanjutan: Ketika Politik dan Korupsi Bertemu, dalam Kimberly Ann Elliott, 1999, ibid., hal 105

Page 12: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

4

melalui instrumen birokrasi pemerintahan. Akibatnya berbagai jenis kelompok masyarakat menjadi lemah dan takut dalam mengemukakan tuntutan yang relevan dengan kepentingan mereka, dan menjadi sangat tergantung pada pemerintah (dirigism) dalam menyelesaikan masalah-masalah mereka. Kemudian posisi mereka sebagai konsumen pun juga lemah apabila berhadapan dengan logika akumulasi modal yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi mulai dari pelaku ekonomi kecil, seperti pedagang eceran, hingga pelaku ekonomi besar, seperti para TNC dan MNC.

Namun demikian posisi dan relasi antara negara, kelompok bisnis, serta masyarakat

kebanyakan berikut kendala-kendala penguatannya dalam kegiatan anti-korupsi merupakan bagian dari dinamika perubahan global saat ini. Dinamika perubahan tersebut mengartikulasikan gerak dari masing-masing elemen tersebut ke dalam konteks sistem ekonomi modern (kapitalisme) dan sistem politik modern (demokrasi). Keberadaan korupsi di dalam relasi negara-rakyat ini menjadi penting ketika karakteristik yang khas dari bentuk peran negara dalam memacu tingkat pertumbuhan ekonomi turut mempengaruhi hubungan keduanya.

I.2 Permasalahan

Di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia merupakan sebuah negeri yang relatif miskin.5 Seperti banyak negeri-negeri miskin lainnya yang ingin mengejar ketertinggalan dalam pertumbuhan ekonomi sekaligus membentuk identitas politiknya, Indonesia di bawah rejim Orde Baru selama 30 tahun terus menerus dikonsolidasikan secara politik untuk mencapai kedua strategi tersebut.

Selama tiga puluh tahun di bawah pemerintahan Soeharto sejak tahun 1967 hingga 1997,

terlihat bahwa lambat laun perekonomian Indonesia semakin terikat pada jaringan perekonomian global. Salah satu ciri khas dari proses ini di kebanyakan negara berkembang adalah semakin diandalkannya modal asing bagi perekonomian Indonesia. Dalam konteks global, jenis-jenis modal asing yang masuk ke Indonesia antara lain hutang luar negeri, penanaman modal langsung (foreign direct investment) ke dalam sektor-sektor perekonomian tertentu, modal portfolio lewat pasar modal, maupun modal asing yang masuk melalui pasar uang yang memanfaatkan tingginya tingkat suku bunga di Indonesia. Pada gilirannya semua itu turut mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi terutama pada tahun-tahun awal dan pertengahan 1990-an.

5 Kontribusi rejim pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto terhadap proses terjadinya kemiskinan itu ditunjukkan oleh Alexander Irwan antara lain dengan menyebutkan beberapa kesalahan dalam menentukan indikator-indikator kesuksesan pembangunan yang ternyata sarat muatan politisnya dibandingkan dengan perlunya rangsangan untuk mengembangkan industri dan kelas kapitalis yang kuat. Lihat dalam Alexander Irwan, "Bad Governance" dan Keruntuhan Ekonomi di Indonesia, dalam Alexander Irwan, Jejak-jejak Krisis di Asia: Ekonomi Politik Industrialisasi, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal. 201-206.

Page 13: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

5

Tabel. 2 Pertumbuhan Ekonomi dan GNP per kapita 6

Tahun Pertumbuhan (%) GNP per kapita (US $) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998

7,2 6,9 6,3 7,3 7,5 8,2 8,0 4,7 0,0

561,3 595,0 649,7 842,0 886,0 978,0 1.155,0 1.089,0 610,0

Semakin terkaitnya perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global sayangnya

tidak diikuti oleh kedisiplinan dan transparansi manajemen ekonomi makro. Sejak tahun 1967 hingga tahun 1997, pemerintahan Soeharto sangat mengandalkan indikator-indikator ekonomi untuk menunjukkan keberhasilan pembangunan seperti angka kemiskinan dan tingkat inflasi. Indikator-indikator tersebut dipandang sangat penting dalam upaya untuk mempertahankan kedudukan politik Soeharto di mata pengikut serta rakyat Indonesia pada umumnya. Indikator-indikator kemajuan ekonomi tersebut kembali dipertanyakan ketika Indonesia terpuruk ke dalam krisis ekonomi yang hingga kini masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat kelas bawah. Salah satu indikator pembanding pertumbuhan perekonomian negara yang dapat memberikan gambaran krisis adalah penurunan nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS.

Tabel 3

Tingkat Penurunan Nilai Mata Uang Asia 2 Januari 1997-Februari 1998 7 Mata Uang Tingkat Penurunan

(%) Indonesia US$ 1 = Rp 9.000 US$ 1 = Rp 10.000 Baht Thailand Ringgit Malaysia Peso Filipina Dollar Singapura

281 323 114 79 67 26

Tingkat penurunan nilai mata uang di atas dapat dibandingkan dengan perkiraan nilai riil

rupiah terhadap dollar AS dalam kurun waktu kurang lebih satu dekade terakhir sebagai bukti dari ketidakdispilinan tersebut.

6 Lihat Alexander Irwan, 1999, ibid., hal.199 7 Endi Subiantoro, The Draft State Budget 1998/1999: Neither an Engine of Economic Growth nor a Means to Redistribute Income, dalam Indonesia Economic Almanac 1998, 1998

Page 14: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

6

Tabel 4 Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar AS 8

Tahun Nilai Resmi Rupiah

Depresiasi (%) Tingkat Inflasi Resmi

(%)

Perkiraan Nilai Riil Rupiah a)

1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996

1.643 1.722 1.800 1.901 1.992 2.062 2.110 2.200 2.308 2.383

- 4,8 4,5 5,6 4,7 3,5 2,3 4,2 4,9 3,2

8,55 7,45 6,80 9,53 9,52 4,94 9,57 9,24 8,64 6,47

1.862 1.862 2.085 2.343 2.677 3.025 3.244 3.690 4.213 4.711

a) Dihitung berdasarkan asumsi bahwa tingkat inflasi riil adalah dua kali tingkat inflasi resmi Seorang akademisi menyebutkan bahwa faktor penting yang mempengaruhi tingkat

pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin menurun adalah korupsi yang dilakukan sebagian besar pejabat pemerintah pada sebagian besar tahapan prosedur pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.9 Dengan demikian titik awal untuk berangkat dalam menganalisa permasalahan korupsi dapat dimulai dari birokrasi melalui analisa terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan.

Birokrasi merupakan faktor penting dalam melakukan analisa atas peranan negara dalam

perekonomian Indonesia. Ada dua alasan10, pertama, birokrasi merupakan medium yang berfungsi bagi pencapaian tujuan kebijakan negara jangka panjang. Kegagalan atau keberhasilan implementasi kebijakan dengan demikian merupakan sebagian dari performance yang ditunjukkan oleh birokrasi. Kedua, birokrasi merupakan salah satu target pembenahan kelompok teknokrat reformis dan kritikus ekonomi sejak resesi menerpa ekonomi Indonesia awal tahun 1980. Upaya pembenahan yang berjalan lambat dan terbatas ini menunjukkan bahwa birokrasi menempati posisi yang penting dalam kepemimpinan Orde Baru. Lambatnya pembenahan birokrasi di Indonesia hendaknya dilihat sebagai upaya mempertahankan mesin politik rejim Orde Baru dimana kedudukan atau jabatan kunci diisi oleh para politiko-birokrat yang setia dan mampu mendukung keberlanjutan rejim pemerintahan Soeharto. Kelompok politiko-birokrat Orde Baru pada awalnya didominasi oleh perwira-perwira tinggi militer angkatan darat yang dekat dengan Soeharto. Penyerahan jabatan kepada kelompok militer merupakan kelanjutan dari perluasan pengaruh militer didalam politik Indonesia yang jelas terlihat sejak periode nasionalisasi perusahaan asing tahun 1957. Pada periode pemerintahan Soeharto selanjutnya, kelompok lain yang terdiri dari para teknokrat sipil, ahli-ahli ekonomi, dan anak-anak mantan pejabat Orde Baru secara perlahan mulai menduduki jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan Indonesia. Duduknya para politiko-birokrat sipil pada beberapa jabatan penting menandai adanya sedikit pergeseran orientasi dalam struktur politik Orde Baru yang dasar-dasar pijakannya melalui

8 Alexander Irwan, 1999, op.cit, hal.203 9 Kastorius Sinaga, Sebelas Titik Rawan Penyebab Kebocoran Dana Pembangunan, dalam Media Indonesia, 27 Juli 1995. Sebelas titik rawan itu adalah penyusunan Daftar Usulan Proyek (DUP), pengusulan DUP, pembahasan DUP, proses Tender/Lelang, penyiapan referensi bank, realisasi proyek, pembayaran proyek, komisi untuk pimpinan proyek, komisi untuk aparat KPN, proses pengiriman barang, dan pengawasan oleh aparat institusi eksternal. 10 Yoon Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State : Political Patronage, Bureaucratic Interest, and Capitalist-In-Formation in Soeharto’s Indonesia, Disertasi Tidak Diterbitkan, Yale University, 1989

Page 15: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

7

dominasi dan hegemoni telah dimantapkan oleh beberapa tokoh militer hingga tahun 1982. Meski beberapa kelompok militer penting tersingkir dari arena politik oleh manuver kelompok politiko-birokrat sipil namun struktur dominasi dan hegemoni telah mantap dan tetap bekerja melalui aktor-aktor yang berbeda.11 Operasionalisasi kekuasaan melalui struktur dominasi dan hegemoni oleh kelompok-kelompok tersebut dapat kita kategorikan sebagai peran negara dalam pembangunan.

Semenjak peristiwa politik tahun 1965, Soeharto melancarkan program pembersihan

(rasionalisasi) birokrasi dari unsur komunis. Namun akhirnya terdapat tiga alasan yang menghalangi rasionaliasi dalam tubuh birokrasi. Pertama, menjalankan efisiensi birokrasi bukanlah motif utama politik Orde Baru. Motif utama yang melandasi tahun-tahun awal Orde Baru adalah depolitisasi dari kekuatan-kekuatan politik Orde Lama dan pada saat yang sama mengarahkan birokrasi pada monoloyalitas terhadap kepemimpinan nasional yang baru (repolitisasi). Sejauh para anggota birokrasi menunjukkan kesetiaannya pada kepemimpinan yang baru maka pengurangan jumlah yang signifikan dianggap tidak perlu dilakukan. Akibatnya sisa-sisa pegawai birokrasi yang korup masih tetap ada. Kedua, tekanan-tekanan keuangan berupa krisis anggaran terjadi akibat besarnya tubuh birokrasi. Krisis anggaran tidak dihiraukan oleh Soeharto mengingat hasil-hasil yang diperoleh dari boom minyak telah membuat perekonomian negara tumbuh pesat baik sisi pertumbuhan pembangunan fisik maupun fiskal. Ketiga, perubahan-perubahan internal rejim Orde Baru pasca-1974 telah merangsang faksionalisasi politik sehingga kembali memperkuat kecenderungan pada birokrasi pemerintahan yang kuat dan besar. Berbagai macam faksi militer dan birokrat sibuk mencari posisi tawar dihadapan Soeharto agar tujuan dari masing-masing faksi politik dapat tercapai. Tiap faksi membutuhkan kuantitas sumber daya manusia yang banyak agar kedudukan politik masing-masing faksi tetap dapat bertahan walaupun membutuhkan sumber keuangan yang besar bagi penguatan dukungan politik tersebut.

Jumlah birokrat melonjak tajam dibandingkan dengan lonjakan jumlah penduduk

sepanjang era pemerintahan Orde Baru. Sepanjang tahun 1974-1983 jumlah birokrat bertambah sebesar 56,9% dari 1,67 juta orang menjadi 2,63 juta orang. Perluasan penguasaan sektor-sektor milik Belanda dengan cara nasionalisasi membutuhkan kendali pemerintah, sehingga hal itu semakin menambah jumlah pegawai. Sementara lonjakan jumlah populasi pada periode yang sama hanya sebesar 23,7% antara tahun 1971-1980.12 Ketika situasi ekonomi memburuk diawal tahun 1980 negara mulai menghadapi masalah serius atas berlebihnya pegawai negeri sipil dan birokrasi yang tidak efisien akibat negara mengalami krisis anggaran. Penyebab krisis adalah ketidakmampuan pemerintah Soeharto memperbaiki mekanisme kerja jajaran birokrasinya karena maraknya berbagai aktivitas korupsi pada titik-titik rawan proyek pembangunan yang mulai didukung melalui instrumen-instrumen berdimensi legal. Rejim pemerintahan ini sering menjadi obyek kritikan berkaitan dengan meluasnya korupsi dari pejabat tingkat atas hingga tingkat bawah pada struktur birokrasi. Hingga kini belum ada satu indikasi yang menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan derajat korupsi di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat pada masa boom minyak tahun 1970 hingga awal 1980-

an menjadikan Indonesia sebagai negara sangat otonom secara finansial dalam membiayai

11 Secara sederhana, Alexander Irwan menyebutkan bahwa negara didalamnya termasuk kelompok-kelompok politiko-birokrat dan militer sebagai aktor yang penting dalam membentuk peran negara Orde Baru. Lihat Alexander Irwan, 1999, op.cit, hal.70. 12 Yoon Hwan Shin,1989, op.cit., hal.164

Page 16: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

8

pembangunannya. Otonomi relatif negara dalam membiayai pembangunan turut memperburuk tingkat korupsi karena para aparat negara tidak merasa saling tergantung terhadap partisipasi masyarakat lewat public invesment dari pemasukan sektor perpajakan. Asumsi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara mekanis akan meminimalisir tingkat korupsi tampaknya tidak berlaku bagi dinamika ekonomi dan politik korupsi di sebagian Asia Tenggara. Pengaruh model birokrasi modern tipe Weberian yang dicangkokkan oleh Belanda-Kolonial kedalam birokrasi tradisional kerajaan di Nusantara berpengaruh pada menguatnya ambivalensi antara tuntutan rasional dari wewenang jabatan dan institusi dengan kepentingan pribadi. Oleh karena itu pertambahan jumlah pegawai pemerintah tidak secara otomatis merangsang pertumbuhan pengawasan birokratis atas kehidupan seluruh anggota masyarakat, atau pun rasionalitas atas penggunaan wewenang formal yang semakin tumbuh dalam proses administrasi.13 Ambivalensi yang semakin menguat akhirnya memunculkan dilema mendasar yang terus menerus dihadapi oleh birokrasi, khususnya di Indonesia. Dilema tersebut adalah apakah birokrasi merupakan tuan atau pelayan? sebagai lembaga yang independen atau sebagai alat?, jika sebagai alat, perwujudan kepentingan siapakah yang dapat dilayani oleh alat tersebut? 14

Perkawinan birokrasi modern dan birokrasi patrimonial oleh Orde Baru digunakan untuk

meningkatkan pengawasan atas masyarakat sehingga birokrasi akhirnya menjadi mesin pemerintahan sekaligus pelaku politik dari kelompok tertentu. Masing-masing kelompok politik sibuk membentuk aliansi-aliansi kelompok kepentingan dan membangun jaringan patronase dengan menggunakan birokrasi sebagai sarana apropriasi sumber-sumber daya ekonomi maupun politik. Model birokrasi patrimonial yang demikian membuat seluruh strata dalam birokrasi dikendarai oleh keinginan selalu mendapatkan semacam tips, memberikan uang tambahan diluar biaya resmi, transaksi bisnis secara gelap, pemaksaan dengan sogokan, dan meminta komisi. Bentuk lain korupsi yang dilakukan oleh pejabat birokrasi pemerintahan di tingkat paling bawah adalah pungutan liar (pungli) dengan skala nilai nominal yang dialokasikan lebih kecil namun konstan. Praktek pungli tidak hanya sudah meluas melainkan juga sudah menjadi hal yang dianggap normal dalam interaksi antara anggota masyarakat dengan birokrasi pemerintahan yang berfungsi memenuhi pelayanan publik. Dalam relasi negara dengan warga negaranya, pungli biasanya terjadi pada proses pengurusan kebutuhan administratif yang diperlukan masyarakat sebagai syarat diakuinya sebagian hak kewarganegaraan mereka seperti Ijin Mendirikan Bangunan, Sertifikat Hak Milik Tanah, Ijin Usaha, Keterangan Domisili, dan lain-lain. Dampak apropriasi pungli secara simbolik menunjukkan masyarakat kebanyakan selalu dihadapkan pada ketiadaan alternatif untuk mendapat hak kewarganegaraannya tanpa terlebih dahulu memberikan sejumlah uang.

Apabila masyarakat menyadari bahwa hampir tiap perbuatan korupsi juga melibatkan

anggotanya sendiri maka diharapkan segenap unsur komunitas sosial tersebut juga melakukan tindakan saling mengawasi antar sesama anggota masyarakat. Tindakan saling mencegah dan mengingatkan anggota masyarakat yang ikut terlibat atau memberikan kontribusi terhadap terjadinya perbuatan korupsi merupakan usaha minimal yang dapat dilakukan.15 Korupsi paling tidak akhirnya akan membuat individu-individu anggota masyarakat mengalami efek pemiskinan secara perlahan, namun akumulatif serta konstan. Hal tersebut ditegaskan oleh Transparency 13 Lihat Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992,hal.228 14 S.N Eisenstadt, Essays on Comparative Intitutions, Wiley and Sons, New York, 1965 15 BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Cetakan Pertama, Jakarta, 1999, hal. 96

Page 17: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

9

International yang menyatakan : Most of the corruption in a society involves two principal actors, the government and the private sector.

Civil society is, typically, the major victim. And as power devolves from the centre to local authorities, opportunity of corruption shift towards new actors who are in more direct contact with civil society. This means that the ability of civil society to monitor, detect, and reverse the activities of the public officials in their midst is enhanced by proximity and familiarity with local issues.16

Melihat kenyataan pada umumnya dimana dampak korupsi secara langsung ditemukan

pada sektor pelayanan umum. Pada sektor inilah dinamika korupsi antara sektor pemerintah dan swasta biasanya dapat lebih terlihat karena adanya kontak langsung dengan masyarakat. Menyadari pentingnya sektor pelayanan umum sebagai salah satu indikator dalam melihat hubungan antara kepercayaan masyarakat terhadap aparat birokrasi, dan lebih penting lagi terhadap pemerintah, maka dalam penelitian ini pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah

1. Bagaimana tipe-tipe pola korupsi dalam interaksi antara anggota masyarakat dengan

aparat birokrasi sektor pelayanan umum di perkotaan, khususnya pada bidang pengadaan air minum dan listrik, lisensi berkendaraan, dan pemungutan pajak sebelum jatuhnya pemerintahan Soeharto?

2. Apakah tipe-tipe pola korupsi hanya terdapat pada suatu unit/bagian tertentu saja atau justru seluruh unit dalam sistim birokrasi sektor pelayanan umum yang telah disebutkan di atas?

3. Instrumen-instrumen apa saja yang dipergunakan sebagai sarana interaksi antara aktor-aktor yang terlibat suatu tindak korupsi?

I.3 Kerangka Pemikiran

Untuk menganalisa permasalahan penelitian ini, ada beberapa konsep yang harus diperjelas terlebih dahulu seperti korupsi, negara otoriter-birokratik, dan sektor pelayanan publik. Definisi-definisi dan penjelasan konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut :

I.3.1 Menuju Pemahaman Ekonomi-Politik Korupsi

Korupsi merupakan fenomena modern17 yang masih menimbulkan perdebatan baik

dikalangan akademisi, politisi, pelaku ekonomi, dan masyarakat sendiri. Dibidang akademik, beberapa kalangan akademisi dari berbagai disiplin ilmu telah mengadakan penelitian mengenai korupsi, namun demikian perumusan akhir mengenai korupsi masih berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut muncul dari kayanya kompleksitas fenomena korupsi itu sendiri. Disamping itu perbedaan pendekatan yang dipergunakan dan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian-penelitian tersebut juga membuat pemahaman tentang korupsi menjadi berbeda-beda.18 Walau 16 Jeremy Pope (ed.), The Transparency International Sourcebook, Transparency International, Berlin, 1996, Bab VI, hal.2 17 Konsepsi korupsi secara modern terjadi ketika ada pemisahan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik. Perkembangan sistim perekonomian dunia merangsang munculnya pembagian fungsi didalam masyarakat itu sendiri sehingga diperlukan adanya pemisahan antara matra pribadi dan matra publik sebagai dasar pemerintahan modern. Tampaknya Onghokham hanya melihat konsepsi korupsi secara statis berdasarkan periode Mataram hingga periode kolonialisme VOC tanpa lebih lanjut melihat perubahan-perubahannya terutama periode pasca-Hindia Belanda, terutama dampak periode Tanam Paksa. Lihat Onghokham, Tradisi dan Korupsi, dalam Prisma, 2 Februari 1983, hal.3-13. 18 Lihat karya Pasuk Phongpaichit dan Sungsidh Piriyarangsan, Corruption and Democracy in Tahiland, Silkworm Books, Bangkok, Tahiland, 1996 dan Daniel Kaufmann, Corruption: The Facts, Foreign Policy, Summer 1997

Page 18: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

10

demikian kesamaan sudut pandang dari perspektif yang berbeda terletak pada nilai-nilai yang terkandung dalam term korupsi. Kesamaan nilai-nilai itu mengacu pada penilaian sosial yang dianggap “haram” atau secara politik dianggap ilegal.

Analisa korupsi dapat dimulai dari definisi yang relatif umum dipakai yaitu korupsi sebagai

penyalahgunaan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi. Namun dalam situasi dimana korupsi dianggap sudah menyebarluas (endemik) kita tetap penting untuk membedakannya berdasarkan karakteristik tertentu dimana korupsi terjadi, seperti antara negara satu dengan yang lain, antar institusi yang berbeda dalam negara yang sama, dan lain-lain. Selain itu menyajikan suatu teori korupsi yang dapat memuaskan pertama-tama bukan merupakan fokus yang ingin dituju dalam penelitian ini. Oleh karena itu tampaknya lebih berguna bila pendekatan politik dipakai untuk melihat bagaimana peran negara dalam menyediakan kondisi-kondisi bagi terciptanya korupsi sehingga mempengaruhi perilaku para pemegang jabatan publik? apakah korupsi hanya merupakan ekses dari seluruh proses pembuatan suatu kebijakan. Dengan demikian intervensi politik dipakai oleh pendekatan ini sebagai kendaraan utama dalam usaha-usaha pencegahan anti-korupsi.19

Disamping itu sintesis pendekatan politik yang bersifat historis dan interpretatif lebih

memadai untuk melakukan studi pada masyarakat tertentu.20 Teori umum korupsi dari pendekatan ekonomi-politik korupsi yang digunakan sebagai alat analisa muncul dari premis yaitu adanya ketidakcocokan secara substansial antara sistem politik dengan sistem ekonomi yang dalam term ilmu sosial: tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) antara kapitalisme dan demokrasi.21 Untuk mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut, atau ‘untuk membuat sistem tetap berjalan’, maka para politisi atau para pemegang jabatan publik melalui sarana kelembagaan berkolusi dengan pelaku bisnis atau masyarakat pada umumnya untuk mencapai keuntungan-keuntungan bersama. Misalnya di Jepang dan Italia pasca-PD II dimana kesempatan bagi munculnya kekuasaan yang tidak terkontrol pada periode yang sangat lama telah menciptakan benih budaya korupsi. Di sisi lain, pihak pemerintah, bisnis, dan birokrasi bersatu membentuk aliansi segi-tiga dalam suatu strategi yang sangat menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pada titik itulah sebuah situasi yang kondusif bagi munculnya perluasan bentuk manipulasi politik, berupa korupsi, kemudian muncul. Dalam pandangan teoritisi institusionalis, dua faktor yang diduga secara signifikan turut menyumbangkan kondisi tersebut adalah lemahnya keberadaan faksionalisasi partai politik, dan ketiadaan, serta ketidakmatangan birokrasi pemerintahan yang profesional dalam pemahaman Weberian.22 Sementara teoritisi yang lebih revisionis memandang korupsi dari sudut pandang apakah korupsi membuat sub-sub sistem yang ada menjadi fungsional bagi keseluruhan sistem secara lebih luas atau justru malah membuat sistem keseluruhan menjadi disfungsi. Ahli-ahli yang menekankan bahwa korupsi fungsional bagi sistem yang lebih luas didasarkan pada argumentasi bahwa dalam kondisi pasar tidak sempurna atau intervensi politik yang berlebihan maka korupsi dapat memperbaiki ‘performance’ ekonomi negara tersebut disamping menghindari efek yang merugikan dari kontrol negara. Sementara ahli yang menekankan bahwa tindak korupsi itu disfungsional berargumentasi bahwa tindakan itu

19 Mark Robinson, 1998, loc.cit., hal. 5 20 Corruption is such a diverse phenomenon, occuring in so many different forms in so many diverse setting, that is extremely unlikely that all its manifestation have some irreducible set of shared consequences—as implied by abstract formulations, or models. Lihat John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy, Routledge, London, 1997, hal. 12 21 John Girling, 1997, ibid., hal. 30 22 John Girling, 1997, ibid., hal. 13

Page 19: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

11

akan mendistorsi operasionalisasi mekanisme pasar.23 Kedua pandangan tersebut dirasakan masih kurang menjawab kompleksitas masalah

korupsi. Oleh karena itu John Girling memberikan dimensi-dimensi analitis yang dapat dipergunakan. Dimensi-dimensi itu adalah24 :

1. Luas penyebaran korupsi, yaitu 25:

a) Insidental-Individual, Korupsi insidental/individual ini dilakukan oleh si pelaku secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu dimana sebenarnya lembaga tersebut relatif termasuk ‘bersih’ dalam hal korupsi. Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara dengan tingkat korupsi yang sangat rendah misalnya Selandia Baru, Denmark, dan Swedia.

b) Institusional-Kelembagaan, Korupsi disebut institusional apabila melanda suatu lembaga atau suatu sektor kegiatan tertentu dimana sebenarnya keseluruhan sektor atau lembaga secara lebih luas tidak korup.

c) Sistemik-Sosial, pada kasus semacam ini korupsi sudah menyerang seluruh lapisan masyarakat serta sistem kemasyarakatan. Karena dalam segala proses kerja sistem dari masyarakat, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal semacam ini disebut dengan korupsi sistemik karena sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi tingkah laku individu pada semua tingkatan sistem politik, sosial, dan ekonomi. Korupsi jenis ini mempunyai beberapa ciri, yaitu :

• Inklusif dengan lingkungan sosial-budayanya sehingga diterima sebagai kenyataan pada konteks sosial-budaya masyarakat itu sendiri.

• Cenderung monopolistik dimana korupsi sudah menguasai semua sistem kerja masyarakat itu sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan atau menentukan sistem kemasyarakatan yang wajar tanpa korupsi.

• Terorganisasi dan sulit dihindari karena korupsi sudah menjadi proses rutin dalam kehidupan sosio-ekonomi sehingga korupsi itu sendiri menjadi terorganisasi baik secara sadar atau tidak didalam seluruh sistem perilaku individu.

2. Locus dari perilaku korupsi, adalah : a) Fungsi dari pemegang jabatan publik, dalam hal ini para birokrat, berdasarkan orientasi

pelaksanaan fungsi institusi tersebut seperti apakah pejabat publik merupakan tuan atau pelayan? sebagai pejabat yang independen atau sebagai alat?, jika sebagai alat, perwujudan kepentingan siapakah yang dapat dilayani oleh alat tersebut?

b) Hubungan pertukaran antara kesejahteraan, dan kekuasaan, atau tujuan dari kepentingan publik. Dengan dimensi ini maka korupsi dapat diturunkan menjadi tiga sudut pandang definisi, yaitu berpusat pada pengabaian atas kewajiban pemegang jabatan publik, hubungan pertukaran antara kesejahteraan dan kekuasaan, atau konteks dimana korupsi terjadi dengan mengendarai apa yang menjadi perhatian kepentingan publik. Secara lebih spesifik maka definisinya adalah sebagai berikut:

23 John Girling, 1997, ibid., hal. 13 24 John Girling, 1997, ibid., hal. 14 25 Lihat Revrisond Baswir et.al, Persepsi Masyarakat Atas Korupsi di Kotamadya Yogyakarta dan Surakarta, laporan penelitian (tidak diterbitkan), IDEA dan PACT Indonesia, Yogyakarta, 1999, hal.20-21 dan Mark Robinson (ed.), loc.cit.

Page 20: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

12

• Corruption is a behavior which deviates from the formal duties of a public role because of

private regarding (personal, close family, private clique) pecuniary status gains, or violates rules against the exercise of certain type of private regarding influence. This include such behavior as bribery (use of reward to pervert the judgement of a person in a position of trust); nepotism (bestowal of patronage by reason as ascriptive relationship than merit); and misappropriation (illegal appropriation of public resources for private-regarding uses).26

• Corruption is an extralegal institution used by individuals or groups to gain influence over the action of the bureaucracy. As such the existence of corruption per se indicates only that these groups participate in the decisionmaking process to the greater extent than would otherwise be the case.27

• Corruption is a decomposition of the body politic through moral decay.28 Definisi yang ketiga ini lebih merupakan definisi yang berada di wilayah normatif tindak korupsi sehingga sistem menjadi disfungsi dan oleh karenanya secara moral sistem tersebut dianggap korup.

Definisi pertama berada pada wilayah analisa tentang perilaku individu, sementara yang

kedua menekankan pada institusi dan definisi yang ketiga menekankan pada tataran yang lebih makro yaitu sistem. Definisi yang dipergunakan sebagai titik pijak pengembangan berikutnya adalah definisi ketiga. Rumusan premis dari gagasan dasar definisi tersebut yaitu:

korupsi merupakan titik kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistemik antara pelaku institusi politik (baik politikus atau birokrat) dengan pelaku ekonomi (baik ekonomi privat atau masyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehingga menghasilkan semacam situasi dilematis (re-confusion) dalam menentukan batas-batas ruang lingkup ‘publik’ dan ‘privat’.29

Kata kolusi di atas merujuk pada pengertian adanya kesepakatan rahasia untuk

kepentingan kedua belah pihak yang biasanya bersifat ilegal atau pemalsuan30, sementara bentuk titik kulminasi di atas misalnya skandal terbuka, kebangkrutan ekonomi negara, bahkan kudeta, atau revolusi sosial.31 Artinya kolusi adalah pre-kondisi bagi kemunculan korupsi karena kolusi biasanya dirasionalkan agar sistem yang sudah ada tetap berjalan baik di sektor publik maupun bisnis.

3. Tingkat toleransi, nilai-nilai, gagasan-gagasan yang diperkenankan oleh publik terhadap

korupsi. Dalam kata lain faktor-faktor tertentu untuk menggambarkan kehidupan integritas publik suatu negara pada di waktu-waktu tertentu walau pemahaman mengenai korupsi

26 J.S Nye, Political Corruption: A Cost-Benefit Analysis, dalam Heidenheimer, et.al (ed.), Political Corruption: A Handbook, New Brunswick Transaction, 1997, hal. 966 27 Nathaniel Leff, Economic Development through Corruption, dalam Heidenheimer, et.al (ed.), op.cit., hal 389 28 John Girling, 1997, op.cit., hal.20 29 Terjemahan bebas dari peneliti. Lihat John Girling, 1997, ibid., hal. 1 30 Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary, 3rd College Edition, Simon and Schuster Inc., 1988, New York. Didalamnya kata collusion disinonimkan dengan conspiracy atau persekongkolan. 31 “Masalah itu (korupsi) merupakan permasalahan penting bagi pemerintahan di kawasan Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran telah membuka jalan bagi lahirnya penguasa otoriter yang membenarkan dirinya dengan jalan mengangkat isu korupsi ke permukaan dan kemudian mengambil jalan penyelesaiannya dengan menghukum si pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer.” Lihat Gunnar Myrdal, Asian Drama, An Inquiry into the Poverty of Nations, Vol.II, Pantheon Books, New York, 1968, hal. 938. Terjemahan bebas dan kata dalam kurung tambahan dari peneliti.

Page 21: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

13

merupakan kebiasaan (custom) pemegang jabatan publik telah kita miliki. Dimensi ini muncul karena korupsi beroperasi melalui celah-celah dari ketidakcocokan antara sistem ekonomi dan sistem politik, terlepas apakah itu terjadi di negara-negara kapitalis atau komunis sekalipun.32

4. Konsekuensi-konsekuensinya pada ekonomi dan politik. Untuk membantu melihat dimensi

konsekuensi itu maka paling tidak ada dua sudut pandang, yaitu33 : • Dasar pemikiran bahwa korupsi ‘memperkenankan’ komunitas bisnis berdasarkan etnis atau

kelompok minoritas tertentu untuk dapat memotong langsung hambatan politik yang didesakkan kepada mereka. Di sini analisis mengenai kelompok-kelompok yang terlibat dalam formasi modal dan korupsi menjadi fokus utama.

• Dasar pemikiran bahwa korupsi ‘menyediakan’ semacam jasa yang menguntungkan bagi klien ketika berhadapan dengan rejim politik yang opresif.

5. Signifikansi sosial suatu tindak korupsi. Hal ini terletak di dalam dimensi simbolik yang ada pada publik.

Singkatnya, korupsi bukan hanya sejenis ‘penyimpangan’ dalam masyarakat dan

diidentifikasikan oleh institusi hukum. Melainkan tumbuh dari adanya ketidakcocokan, dalam tingkat tertentu, antara sistem kelembagaan politik dan sistem kelembagaan ekonomi. Kolusi antara elit politik dan elit ekonomi, dengan potensi korupsinya, berusaha untuk ‘melampaui’ (overcome) ketidakcocokan tersebut. Korupsi ketika muncul menjadi suatu ‘skandal’ menandakan bahwa tindakan itu lebih daripada sekedar kesalahan individu atau masalah kriminal belaka: tindakan itu lebih merupakan patologi sosial.34

Dari berbagai definisi di atas kita dapat melihat beberapa ciri korupsi35 yaitu (a)

pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta, dan masyarakat pada umumnya, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu, (e) melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, (f) adanya kewajiban atau keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain, (g) berpusat pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (h) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentruk pengesahan hukum, dan (i) menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Definisi yang disajikan di atas pada umumnya ditempatkan dalam kerangka sektor

pelayanan publik sebagai titik dimana fenomena korupsi dapat diamati. Gambaran tentang korupsi dapat berbeda-beda antara tataran institusi politik, pada tingkat birokrasi sektor pelayanan publik, atau pada sektor privat. Korupsi juga dapat didefinisikan sesuai dengan derajat intensitas, misalnya apakah itu sistemik atau terisolasi (sporadis), korupsi besar-besaran (grand) atau kecil-kecilan (petty), ruang lingkup lokal atau nasional, pelaku secara personal atau institusional, dan sifatnya yang tradisional atau modern.36

32 John Girling, 1997, op.cit., hal.22 33 John Girling, 1997, ibid., hal. 24 34 John Girling, 1997, op.cit., hal. 30 35 Syed Hussein Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987 36 Paul Heywood, Political Corruption: Problem and Perspectives, dalam Political Studies, Vol.45, No.3, Edisi khusus, 1997

Page 22: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

14

Sebagai alat untuk membantu melihat tipe pola korupsi sektor pelayanan publik maka

tipologi korupsi yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada tipologi yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas. Penggunaan tipologi yang dibuat oleh Syed Hussein Alatas didasarkan pada argumentasi bahwa alat analisa tersebut lebih menggambarkan variasi mengenai fenomena korupsi. Disamping tipologi, Alatas menawarkan definisi korupsi yang lebih mengena tanpa terlalu terikat pada aspek-aspek legalitas ataupun pada kecenderungan konvensi norma atau moral sosial tertentu. Kelebihan dari kerangka pemikiran tersebut dirasakan penting mengingat bahwa pada penelitian ini posisi tipologi dan definisi yang relatif netral dalam memandang suatu fenomena membuat proses analisa menjadi lebih berhati-hati terutama dalam menelaah kompleksitas aspek yang terkait dengan korupsi.

Syed Hussein Alatas mengembangkan dan mengidentifikasikan korupsi dari definisinya

yang terlihat minimalis37 ke dalam beberapa tipe38, yaitu :

1. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua belah pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut.

2. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap untuk mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orangnya, atau hal-hal yang dihargainya.

3. Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu yang diperoleh pemberi, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa datang.

4. Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku.

5. Korupsi autogenik yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahuinya seorang diri.

6. Korupsi suportif yaitu korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi.

7. Korupsi defensif yaitu suatu tindak korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan. Dengan beranjak dari tipologi korupsi tersebut di atas maka kita dapat memperoleh

kegunaan, dalam derajat tertentu, untuk mengidentifikasikan fenomena korupsi yang muncul pada sektor pelayanan publik. Walaupun tipologi itu cukup membantu namun akhirnya kemunculan tipologi itu antara lain tergantung dari faktor-faktor penentu terjadinya korupsi yang berbeda antar satu negeri (countries), ramuan-ramuan kebijakan nasional yang ada, tradisi birokrasi, perkembangan dinamika politik, dan sejarah sosial.39 Tipologi korupsi di atas tentunya bukan

37 Korupsi menurut Syed Hussein Alatas dimaksudkan sebagai penyalahgunaan kepercayaan dalam rangka kepentingan pribadi si pelaku. Lihat Amanda L. Morgan, Corruption: Causes, Consequences, and Policy Implications (A Theoritical Review), World Bank Working Paper (tidak diterbitkan), October 1998, hal.12. 38 Terjemahan bebas oleh peneliti. 39 World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, Poverty and Economic Management Network of the World Bank, September 1997, hal. 12

Page 23: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

15

tanpa kekurangan, salah satu kekurangan tipologi tersebut antara lain sifatnya yang relatif statis. Korupsi seringkali tidak terbatas pada satu tipe pola saja karena satu tipe pola korupsi tertentu muncul sebagai variabel antara bagi tujuan korupsi selanjutnya. Sehingga pada kasus-kasus tertentu tipologi tersebut lebih diposisikan sebagai medium bagi kemunculan tipe korupsi lainnya.

Selain itu teknik-teknik korupsi juga memainkan peranan penting dalam membentuk

tipologi tersebut karena masing-masing tipe korupsi tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara yang sama atau berbeda sama sekali. Beberapa cara korupsi yang biasa digunakan, yaitu :

• Pencurian aset,40 yang termasuk dalam cara ini antara lain privatisasi aset negara secara tiba-tiba oleh pelaku ekonomi dan pelaku politik dalam suatu masa transisi ekonomi, pencurian barang kecil-kecilan berupa perlengkapan kantor, alat-alat tulis kantor, manipulasi bahan bakar (dalam kasus tertentu biasanya cara ini dilakukan oleh pegawai tingkat rendah atau menengah dengan alasan sebagai kompensasi gaji yang diangap tidak memadai), dan pencurian terhadap sumber-sumber keuangan negara seperti pajak.41

• Penggunaan aset, dalam beberapa kasus tertentu cara ini beririsan dengan cara di atas dimana seorang individu melakukan pencurian uang dari dana operasional sehari-hari perusahaan (petty cash), dalam beberapa kasus lain cara ini tidak selalu diikuti dengan pencurian seperti penggunaan kendaraan organisasi tanpa melalui prosedur peminjaman resmi kemudian penggunaan uang kas tanpa ada kepastian pengembaliannya.42

• Bukti palsu43 digunakan dalam suatu tindak korupsi dengan membuat suatu catatan transaksi berbeda dari nilai dalam catatan yang sebenarnya atau membuat catatan transaksi atas barang/jasa yang tidak pernah ada, misalnya pembukuan keuangan suatu perusahaan untuk menghindari pajak. Salah satu varian dari cara ini adalah teknik mark up dimana salah satu pihak membuat suatu catatan transaksi berbeda (dikurangi atau dilebihkan) dari nilai transaksi yang sebenarnya.

• Menjegal order dimana salah satu pihak mempunyai bidang usaha yang sama dengan pihak lain menelikung order yang didapat kemudian melemparkannya kepada pihak rekanannya untuk dikerjakan.

• Pemberian upeti/suap dilakukan lazimnya oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang memiliki jabatan strategis dalam pengambilan keputusan atau kepastian berlanjut/lancarnya suatu usaha. Usaha yang dimaksud ini dapat berupa kegiatan ekonomi perusahaan atau tindakan korupsi itu sendiri. Yang kedua ini biasanya dilakukan oleh bawahan dengan harapan agar atasan tidak menghentikan tindak korupsi yang dilakukannya dimana dalam kasus ini atasan bertindak pasif. Sementara dalam kasus rekrutmen kepegawaian, upeti ini diberikan agar calon pegawai yang bersangkutan dapat diterima atau dinaikkan jenjang karirnya. World Bank menilai bahwa suap bukan hanya merupakan metode yang tersebar paling luas melainkan juga sebagai salah satu cara yang paling dasar (principal tools) dalam suatu tindak korupsi. Salah satu tujuannya adalah mempengaruhi/merubah proses-proses resmi yang telah ada.44

• Penarikan Komisi lazimnya dilakukan dengan memotong sejumlah nilai tertentu dari total nilai transaksi untuk diberikan kepada pihak yang dianggap berjasa dalam memuluskan

40 1999, loc.cit. hal.19-20 41 Amanda L. Morgan, 1998, loc.cit., hal.31 42 Amanda L. Morgan,1998, ibid., hal.31 43 Revrisond Baswir et.al, 1999, loc.cit., hal.19 44 Amanda L. Morgan, 1998, loc.cit., hal.28

Page 24: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

16

perolehan suatu usaha. Penarikan komisi ini biasanya berhubungan dengan teknik mark-up atau pemberian upeti.

Pendekatan, teori, definisi, dan tipologi, serta cara korupsi yang sedikit telah diuraikan di

atas dapat dikembangkan lebih lanjut dalam menganalisa hasil-hasil temuan sehingga kita dapat melihat kompleksitas aspek-aspek korupsi tersebut. Meskipun terdapat bermacam-macam definisi korupsi, pendekatan, tipologi korupsi-selain yang dikembangkan Alatas, dan cara atau teknik korupsi, penyebab, atau akibat yang ditimbulkan, banyak ahli sedikit banyak sepakat bahwa secara sederhana korupsi adalah penyalahgunaan sumber daya publik (public resources) untuk kepentingan pribadi (private benefit).

I.3.2 Birokrasi

Birokrasi dalam pandangan Max Weber dimaksudkan dengan semakin tumbuhnya

penggunaan peraturan-peraturan dan ketentuan yang dibangun secara formal dan rasional, pemisahan antara kehidupan umum dan pribadi, terjadinya bentuk legalitas baru yang beralasan rasional, meluasnya cara bertindak yang rasional dan pelembagaan semua faktor ini ke dalam sebuah administrasi modern.45

Dilain pihak, dengan semakin tumbuhnya birokratisasi dalam sebuah negara-pegawai

negeri (beamtenstaat) memunculkan kekhawatiran akan adanya pelanggaran HAM dan hilangnya kebebasan masing-masing individu karena birokrasi menjadi mesin yang sangat kuat dalam mengawasi tindak tanduk tiap anggota masyarakat. Beranjak dari kekhawatiran inilah kemudian George Orwell menulis roman yang berjudul 1984 sebagai gambaran yang menakutkan dari birokrasi. Konsep Orwellisasi inilah yang dipakai untuk mendefinisikan aspek birokratisasi dimana pengawasan yang menyeluruh merupakan aktivitas birokrasi yang dianggap menakutkan.

Sedangkan model Parkinson mengironiskan fenomena birokrasi dimana setiap organisasi

birokrasi memerlukan dua sifat dasar, yaitu setiap pejabat negara berkeinginan untuk meningkatkan jumlah bawahannya dan mereka saling memberi kerja yang tidak perlu. Akibatnya, birokrasi cenderung meningkatkan terus jumlah pegawainya tanpa memperhatikan tugas-tugas yang harus mereka lakukan.46 Jadi kita dapat membedakan tiga aspek birokrasi, yaitu :

• Birokrasi sebagai mesin pertumbuhan aparat negara (Birokrasi Parkinson = Bp) • Birokrasi sebagai pelaksanaan prinsip-prinsip organisasi yang rasional oleh administrasi

pemerintahan (Birokrasi Weberian = Bw) • Birokrasi sebagai pertambahan pengawasan oleh aparat yang umumnya bersifat birokratis

(Birokrasi Orwellian = Bo) Peter Blau berpendapat bahwa birokrasi adalah suatu mekanisme sosial tertentu yang

memaksimalkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi sosial dengan karakternya yang spesifik.47 Tingkat kompleksitas dan diferensiasi masyarakat modern yang tinggi membutuhkan suatu kordinasi antar bagian dan fungsi. Peran kordinasi inilah yang dijalankan oleh birokrasi. Birokrasi dalam pemahaman yang modern hanya dapat ditemukan dalam masyarakat yang 45 Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, 1992, op.cit., hal. 227 46 Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, 1992, ibid., hal. 228 47 Martin Albrow, Bureaucracy, Macmillan and Company Ltd, 1970, London, hal.87

Page 25: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

17

mendasarkan kehidupan perekonomiannya pada uang.48 Bentuk dan karakter birokrasi dari tiap negara tidaklah seragam. Ketidakseragaman itu merupakan hasil dari dinamika sejarah dimana birokrasi modern bertemu dengan ciri khas tiap daerah yang menjadi wailayah penyebarannya.

Salah satu bentuk birokrasi yang berbeda adalah birokrasi patrimonial. Bentuk birokrasi

demikian dipertahankan melalui pola hubungan patron-client dimana hubungan personal lebih menempati titik sentral kerja dibanding dengan hubungan yang rasional. Pada gilirannya pola hubungan demikian memungkinkan munculnya kebutuhan akan adanya patronase antara politiko-birokrat dengan pelaku bisnis. Konsep birokrasi patrimonial dipergunakan oleh para ahli ilmu politik dan pembangunan untuk menganalisa studi tentang pembangunan serta dinamika politik birokrasi di kebanyakan negara berkembang, khususnya beberapa negara di Asia Tenggara (antara lain Indonesia) dan Amerika Latin dimana kultur dan model produksi feodal masih kuat tertanam. 49

Birokrasi patrimonial pada dasarnya berkembang dari masyarakat yang tidak berdasarkan

pada ekonomi uang (monetary economy) atau dapat dikatakan sebagai masyarakat tradisional. Birokrasi ini adalah salah satu perluasan dari kosmologi konsentris yang muncul dalam konsep kekuasaan kerajaan. Dalam birokrasi patrimonial tidak ada pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi penguasa dengan fungsi-fungsi pengaturan pemerintahan yang seharusnya dijalankan birokrasi modern. Elit birokrasi terdiri dari kerabat penguasa, teman-teman dekat atau orang kepercayaan raja.50 Mereka ditunjuk dan patuh pada individu penguasa melalui pemberian konsesi atas jabatan birokrasi dan ekonomi. Perkawinan historis antara birokrasi patrimonial dan birokrasi modern dengan perlindungan penguasa kolonial bisa berarti bahwa administrator tersebut lemah secara politik tetapi kuat dalam hal budaya. Hans-Dieter Evers berpendapat bahwa kekuatan politik mereka berlandaskan pada nilai-nilai kultural.51 Sehingga jika mereka kehilangan kekuasaan politik, kehilangan itu tidak seberapa, namun model perilaku dan nilai-nilai mereka dialihkan dengan berhasil kepada pengganti birokrasi mereka.

Pengalihan model perilaku dan nilai-nilai birokrasi yang demikian dapat terlihat dari

sejarah birokrasi Indonesia. Menurut Clive Day, Dutch East-India Company memberikan pandangan yang negatif tentang tingkah laku korupsi yang dilakukan orang-orang pribumi yang bekerja pada kompeni Belanda.

“ Menerima gaji yang terlalu rendah dan mudah terkena tiap godaan yang diberikan oleh gabungan organisasi pribumi yang lemah, peluang yang luar biasa dalam perdagangan dan pengawasan yang hampir tidak ada sama sekali dari negara asal atau di Jawa…Pejabat menjadi kaya karena mencuri dari perusahaan. Beberapa bentuk pencurian datang pada waktunya untuk berhak mendapat nama yang kurang kasar, karena bentuk-bentuk itu begitu baru dan terbuka, sehingga dapat dianggap legal.”52

Lenyapnya kekuasaan VOC dan kedatangan gubernur jenderal Hindia-Belanda pada

48 Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Weber; UI Press, 1986, Jakarta, hal.289-293 49 Salah satu hasil studi lihat misalnya Guillermo O’Donnell, Modernization and Bureaucratic Authoritarianism, Institute of International Studies, Berkeley, 1973 50 Konsep “raja” di sini mengacu pada makna penguasa dan bukan pada kategori jenis penguasa. 51 Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, 1992, op.cit., hal. 242 52 Mochtar Lubis dan James C. Scott, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 52

Page 26: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

18

pergantian abad-19 berakibat pada semakin meluasnya praktek korupsi. Praktek korupsi tersebut terjadi ketika jasa dan pembayaran tradisional yang harus diberikan kepada para pejabat pribumi yang aristokratis dihapuskan dan diganti dengan gaji yang dibayar oleh Belanda. Dampaknya ialah pejabat pribumi tidak mempunyai pilihan lain kecuali memakai cara-cara yang tidak sah kalau mereka masih ingin mempertahankan taraf hidup yang sudah menjadi kebiasaan mereka. Novel “Max Havelaar” memberikan narasi yang baik tentang perilaku pejabat seperti Bupati Lebak. Orang-orang Jawa priyayi mencari jalan dengan suapan untuk mendapatkan kedudukan menguntungkan yang dibagi-bagikan oleh para pejabat Belanda. Dengan diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya melalui program Cultuurstelsel, pejabat pribumi setingkat kepala desa dan pembantu mereka memanfaatkan kesempatan dari peluang baru sebagai pengawas program di tingkat bawah untuk mengambil keuntungan terlalu banyak.53 Berdasarkan saksi pribumi mengenai penyalahgunaan yang mencolok selama penyelidikan tahun 1850, bentuk-bentuk pemerasan oleh pejabat pribumi dibiarkan dimana orang-orang kecil tidak pernah mengeluh secara terbuka.54 Singkatnya, tradisi birokrasi demikian hanya memberikan sedikit perbedaan antara uang pemerintah dan uang pribadi.

Berdasarkan sudut pandang pendekatan kultural maka pemahaman makna sistem nilai

tradisional yang berlanjut terus di Jawa juga membantu untuk menjelaskan mengapa gerakan anti-korupsi jarang bertahan lama. Untuk melakukan tuduhan langsung terhadap seseorang karena praktek korupsi menimbulkan keadaan perselisihan terbuka yang tidak menyenangkan sebagai biaya batiniahnya. Hal itu dinilai dapat memungkinkan terancamnya mata pencaharian dan status seseorang, keluarganya, stafnya dan mungkin organisasinya. Ketika perkembangan masyarakat sudah mencapai tahap ekonomi uang (masyarakat rasional tipe Weberian) namun tidak diimbangi oleh batas yang jelas dengan demokrasi modern, artinya masyarakat itu masih bercorak patrimonial maka yang terjadi akhirnya korupsi merupakan suatu tindakan yang masih dianggap wajar.

I.3.3. Sektor Pelayanan Publik

Kemunculan sektor ini berhubungan dengan bagaimana peningkatan kapasitas dan

kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan yang dianggap pokok bagi seluruh anggota masyarakat. Konsep kebutuhan pokok terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Artinya suatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang mewah dan terbatas kepemilikannya dapat berubah menjadi barang yang pokok diperlukan bagi sebagian besar lapisan masyarakat. Perkembangan konsep kebutuhan pokok dengan demikian terkait erat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik. Hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi pada gilirannya harus didistribusikan dan dialokasikan kepada tiap anggota masyarakat yang turut berpartisipasi dalam mendorong pertumbuhan tersebut. Fungsi distribusi dan alokasi tersebut dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan sebagai wujud dari fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayaninya. Konsep kepentingan publik itu sendiri didefinisikan melalui pemahaman dibawah ini.

53 Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1993, ibid., hal.52 54 Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1993, ibid., hal.53

Page 27: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

19

Something in which the public, the community at large, has some pecuniary interest, or some interest by which their legalrights or liabilities are affected. It does not mean anything so narrow as mere curiosity, or as the interest of particular localities.55

Dari pemahaman yang demikian kita melihat adanya hak dan pertanggungjawaban yang

melekat pada masyarakat banyak dimana pengertian umum disitu diartikan sebagai public. Perwujudan public interest itu muncul dalam kaitannya dengan sumber daya dan alokasinya. Proses pengalokasian itu terwujud dalam jasa pelayanan publik demi terciptanya pemenuhan kebutuhan masyarakat sehingga public service didefinisikan sebagai berikut :

Enterprises of certain kinds of corporations, which specially serve the needs of the general public or conduce to comfort and convenience of an entire community… A public service or quasi-public corporation is one private in its ownership, but which has an appropriate franchise from the state to provide necessity or convenience of the general public…owe a duty to the public which they may be complled to perform.56

Karena pelayanan publik terkait erat dengan jasa dan barang dipertukarkan maka penting

pula untuk memasukkan definisi dari public utilities sebagai pelayanan atas komoditi berupa barang atau jasa dengan mempergunakan sarana milik umum yang dapat dilakukan oleh orang/badan keperdataan.57

Pihak yang mengelola alokasi sumber daya bagi kepentingan publik dapat dilakukan oleh

badan birokrasi baik oleh negara maupun swasta melalui kedudukan dan wewenang public office dimana kedudukan tersebut merupakan bentuk pendelegasian kekuasaan pemerintahan negara kepada pejabat publik (public official) tertentu. Sementara yang dimaksud dengan pejabat publik (public official) adalah orang yang menjalankan kedudukan pada jabatan umum tersebut dengan posisinya sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara.58

Di Indonesia, banyak dari kantor-kantor pelayanan publik masih berada dibawah birokrasi

pemerintahan sehingga dalam situasi yang demikian birokrasi yang diacu lebih kepada birokrasi pemerintahan. Secara teoritik ada tiga fungsi yang dijalankan oleh birokrasi yaitu fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintah umum.59 Fungsi pelayanan berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatanya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan (service) langsung kepada masyarakat. Lalu fungsi pembangunan berhubungan dengan organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor khusus guna mencapai tujuan pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function. Yang ketiga adalah fungsi pemerintah umum berhubungan dengan rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan. Fungsinya lebih kepada fungsi pengaturan (regulative function). Dalam penelitian ini yang akan dilihat adalah sektor yang merupakan bagian dari fungsi pelayanan mengingat adanya keterkaitan langsung antara birokrasi sebagai organisasi pemerintahan dengan masyarakat sehingga paling tidak fenomena korupsi dapat lebih mudah diamati. 55 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St Paul-Minn, 1979. 56 Henry Campbell Black, 1979, ibid. 57 Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, hal.19 58 Ibrahim R, 1997, ibid., hal. 38-39 59 J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang, Gramedia, 1984, Jakarta, hal. 175

Page 28: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

20

Sektor pelayanan publik lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum

pemerintahan, kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial kepada masyarakat seperti penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya.60 Singkatnya pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur, metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.61 Apabila mengacu pada aturan pemerintah pelayanan umum didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan di lingkungan BUMN dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.62 Stiglitz memberikan dua elemen yang selalu ada pada setiap pelayanan publik. Pertama, adanya ketidakmungkinan untuk untuk menjatah (rationing) barang-barang atau jasa-jasa publik bagi tiap individu. Kedua, apabila hal tersebut mungkin dilakukan maka hal itu amatlah sulit.

Hal penting yang menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut adalah kemampuan dan

kapabilitas birokrasi pemerintah dalam mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi tersebut idealnya didasarkan pada prinsip equity yang artinya birokrasi pemerintahan tidak boleh memberikan pelayanan diskriminatif yang memandang masyarakat yang dilayani atas landasan status, pangkat, dan golongan, meskpun pada kenyataannya di banyak negara berkembang prinsip tersebut masih diabaikan karena adanya bias birokrasi dan kelas sosial.63

Secara ekonomi, pelayanan dan jasa-jasa publik terdiri dari kategori yang mencakup

barang-barang publik (public goods) dan barang-barang privat (private goods). Apabila barang dan jasa tersebut masuk dalam ketegori private goods, tetapi merupakan bagian dari jasa-jasa publik maka ia disebut publicly provided private goods, atau barang-barang privat yang disediakan negara seperti SIM, air minum, dan listrik.64 Sementara apabila barang dan jasa masuk kategori public good dan merupakan bagian dari jasa-jasa publik maka ia disebut pure public goods. Baik barang publik maupun privat di sektor permintaan (demand) ditentukan oleh selera konsumen. Hanya, bila di barang privat sektor persediaan (supply) ditentukan oleh produsen yang bertujuan mencari untung (profit motives), maka persediaan barang-barang publik ditetapkan melalui proses politik.65

Pada tingkat pelaksanaan tidak semua fungsi tersebut harus dikerjakan oleh pemerintah,

ada bagian dari fungsi-fungsi tersebut yang dilaksanakan oleh pihak swasta dengan pola kemitraan. Pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan oleh Osborne dan Gaebler.66 Oleh karenanya pola kemitraan dalam pelayanan publik tetap memperhatikan kepuasan dari publik dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang disediakan baik oleh swasta maupun pemerintah seperti gagasan dasar Osborne dan Gaebler.

60 M. Nawir Messi et.al, Birokrasi, Korupsi dan Reformasi : Kasus Pelayanan KTP, Indef, 1999, Jakarta, hal. 12 61 M. Nawir Messi et.al,1999, ibid., hal.14 62 Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81 tahun 1993. 63 M. Nawir Messi et.al,1999, Ibid., hal.13 64 Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 1st edition, W.W Norton Co., New York, 1986, hal. 107 65 Syahrir, Pelayanan dan Jasa-jasa Publik: Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik, dalam Prisma, No.12, LP3ES, Jakarta, Desember 1986, hal. 4 66 M. Nawir Messi et.al, 1999, Ibid., hal.13

Page 29: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

21

… A public service or quasi-public corporation is one private in its ownership, but which has an appropriate franchise from the state to provide necessity or convenience of the general public…owe a duty to the public which they may be complled to perform. 67

Karena posisi mitra atau rekanan tersebut diletakkan sebagai bagian dari seluruh proses

pemenuhan kebutuhan sektor pelayanan umum maka dalam penelitian ini pihak swasta diletakkan sebagai bagian dari seluruh sistem formal birokrasi pelayanan umum (franchise from the state).

I.4. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Memperoleh deskripsi mengenai tipe pola-pola korupsi di sektor layanan publik yaitu PAM, PLN, Polri, dan Dirjen Pajak, serta konteks historisnya di Indonesia .

2. Kajian ini diharapkan bisa membantu penyusunan langkah-langkah strategis bagi pemberantasan korupsi terutama di sektor pelayanan publik, khususnya oleh kelompok masyarakat bawah sebagai unsur warga negara yang paling terkena dampak korupsi. Adapun signifikansi penelitian ini terletak pada kontribusi pengetahuan bagi gerakan anti-

korupsi dalam memberikan gambaran dan basis teoritik dalam perumusan program anti-korupsi.

I.5. Metode Penelitian

Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang dipergunakan untuk menggambarkan

rutinitas, dan momen-momen, serta makna yang bersifat problematik dari kehidupan individu atau sekelompok individu. Pendekatan ini lebih bersifat induktif dengan menghubungkan antara fenomena yang diteliti pada konteks yang lebih luas dengan menekankan makna hubungan-hubungan sosial dalam situasi dan dunia sosial yang diselidiki.

Pendekatan kualitatif dipergunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang

bermaksud mencari gambaran tipe-tipe pola korupsi yang terjadi pada sektor pelayanan publik. Jadi paradigma yang menyertai pendekatan ini adalah paradigma konstruktivis yang mengasumsikan bahwa terdapat banyak realitas (multiple realities) dimana antara pelaku dan peneliti terdapat pemahaman yang relatif sama.68 Pendekatan ini dipergunakan karena kemampuannya untuk membantu memperjelas gambaran proses dan tipe pola korupsi yang ada yang tidak dapat tercapai hanya dengan pendekatan kuantitatif yang mencari hubungan antara penyebab korupsi dengan variabel-variabel yang mempengaruhinya.

Penelitian ini bersifat deskriptif atas dasar bahwa studi mengenai tipe pola-pola korupsi

sejauh ini kurang menyentuh aspek struktural-historis suatu sistem kelembagaan ekonomi dan kelembagaan politik dari peran negara. Kurangnya studi mengenai pola korupsi tersebut membuat penelitian ini pertama-tama dituntut selektif dalam memilih kasus sebagai bahan 67 Henry Campbell Black, 1979, op.cit. 68 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, 1994, London, hal. 14, 105-113

Page 30: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

22

analisa. Dalam sektor perpajakan, kasus-kasus yang diambil adalah jenis kasus yang dapat menunjukkan korupsi sebagai tindakan imbal balik yang dapat dilakukan baik oleh wajib pajak maupun petugas pajak sebagai bentuk kelemahan mendasar dari sistim perpajakan yang sebenarnya lebih mengarah pada aspek kelembagaan dibandingkan aspek hukum. Lalu kasus SIM dapat menunjukkan bahwa posisi konsumen yang lemah mengakibatkan efek pemiskinan secara langsung dalam hubungannya dengan aktivitas sosial-ekonomi mereka. Sementara kasus pengadaan PAM dan PLN berhubungan dengan bagaimana korupsi dilakukan pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur milik pemerintah, yang pada akhirnya dampak korupsi akan diberikan kepada masyarakat pengguna air atau listrik.

Lalu sumber data yang dipergunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas adalah

hasil wawancara mendalam (depth-interview) terhadap para informan yang mempunyai pengetahuan tentang tindak korupsi yang terjadi di instansi dimana ia pernah berhubungan. Data-data yang berupa hasil wawancara mendalam itu akan dikonfirmasikan kepada para gatekeeper agar hasil wawancara mendalam dapat mendekati validitas yang relevan dengan tujuan dan signifikansi penelitian. Disamping itu validitas data yang masih memiliki kekurangan dapat disempurnakan oleh fungsi gatekeeper tersebut. Informan target adalah individu yang bekerja atau masih menjalin hubungan (interaksi) dengan pegawai-pegawai birokrasi sektor pelayanan publik golongan menengah ke bawah pada empat instansi, yaitu PAM, PLN, Pajak, dan POLRI. Selain pegawai birokrasi, informan juga diambil dari anggota masyarakat kebanyakan yang menjadi konsumen atas barang atau jasa yang dialokasikan oleh para pelayan publik.

Dasar pemilihan informan yang demikian dilakukan atas pemikiran bahwa informan yang

bekerja atau menjalin interaksi kontraktual dengan pegawai-pegawai birokrasi sektor pelayanan publik dianggap cukup intensif memiliki pengalaman yang menjadi pengetahuan bersama. Dalam kenyataannya interaksi ini relatif lebih sering dilakukan oleh para pegawai golongan menengah sebagai manajer yang berfungsi sebagai implementator kebijakan yang ditetapkan dari atas dan bertugas menyelesaikan masalah-masalah teknis yang dihadapi oleh pegawai strata bawah. Strata bawah merupakan lapisan birokrasi yang berinteraksi dengan anggota masyarakat kebanyakan dimana langsung berurusan dengan barang atau jasa yang disediakan.

Metode pemilihan informan yang dipergunakan adalah metode snow ball dengan jumlah

informan yang berkisar antara 7 hingga 25 orang. Dengan metode ini diharapkan informasi yang ingin didapatkan dapat dilengkapi melalui sumber lain yang direkomendasikan oleh informan sebelumnya. Metode ini dipilih karena sulitnya mencari informan yang bersedia untuk menceritakan pengalaman dan mempunyai cukup pengetahuan tentang pola-pola korupsi yang ingin digambarkan oleh penelitian ini. Masalah sensitivitas isu korupsi yang cukup tinggi menjadikan metode ini dapat membantu memperoleh informasi yang dibutuhkan walaupun kekurangan yang cukup mendasar dari metode ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan dalam menggali informasi. Kemudian mengingat keterbatasan waktu dan belum berubahnya struktur sentralistis dari birokrasi sektor pelayan publik secara mendasar maka Jakarta dianggap representatif bagi permasalahan korupsi. Strategi penelitian yang dipilih adalah studi awal (preliminary study) yang bertujuan mencari penjabaran dan penjelasan keberadaan suatu fenomena sosial yang spesifik sebagai langkah awal untuk melakukan studi-studi lainnya secara lebih mendalam dan komprehensif.

Strategi penelitian ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa kurangnya studi mengenai

tipe pola-pola korupsi mengharuskan penelitian ini memanfaatkan semua data yang relevan untuk

Page 31: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

23

dapat menggambarkan masalah yang diteliti. Studi awal memungkinkan proses pengumpulan semua data tersebut dapat tercapai disamping pertimbangan bahwa data yang bersifat numerik maupun non-numerik mempunyai kemungkinan yang sama untuk menjadi data primer. Data-data yang akan dianalisa adalah informasi yang disampaikan oleh informan, terutama hasil wawancara mendalam (in-depth interview). Dengan demikian untuk sebagian besar kasus analisis akan difokuskan pada kata-kata sebagai bentuk dasar dimana data ditemukan.69

69 Lihat Matthew B. Miles et.al, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru, UI-Press, Jakarta, 1992, hal. 75

Page 32: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

24

Bab II Sekilas Sejarah Korupsi Kontemporer di Republik Indonesia

II.1 Periode Pasca-Kolonial 1945-1957

Kemerdekaan yang diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia tidak berarti segera merdekanya situasi umum perekonomian pasca-proklamasi. Kemerdekaan yang secara politik diperoleh dari kombinasi perang gerilya dan perang diplomasi tidak diikuti oleh peran politik kapitalis lokal. Kebanyakan perusahaan-perusahaan waktu itu masih dikuasai oleh perusahaan swasta Belanda. Sektor-sektor perekonomian perkebunan dan pertambangan masih merupakan sektor yang menguntungkan sementara modal investasi yang masuk ke sektor industri masih sangat kecil. Namun kecilnya modal investasi ini relatif melonjak dengan arus deras investasi tahun 1930-an yang ditandai dengan kemunculan pabrik perakitan General Motors, dua buah pabrik British American Tobacco, sebuah pabrik tekstil besar milik Belanda dan sebuah lagi milik Jerman, pabrik sabun dan margarin Unilever, pabrik ban Goodyear, dan perusahaan raksasa Belanda--Lindeteves, serta pabrik-pabrik lain seperti cat, tinta, sepeda, bola lampu listrik, radio, kosmetika, dan baterai. Menjelang akhir 1930-an pabrik-pabrik sudah mengalami mekanisasi dan menghasilkan separuh dari hasil industri serta hampir tiga juta tenaga kerja bekerja dalam industri sekunder dimana perusahaan Belanda dan Inggris mendominasi impor barang sekunder.1

Pengabaian atas peran manufaktur beserta modal asing membawa pengaruh pada cara

pandang politisi nasionalis yang memang pada dekade 1940-an kebanyakan menganut doktrin anti-imperialis untuk mengembangkan kewenangan negara dalam mengembangkan keseimbangan sektoral yang lebih beragam. Kedua, pengalaman kolonial itu kemudian memunculkan semacam keinginan untuk menggunakan kewenangan kekuasaan negara untuk melakukan proteksi kelas bisnis pribumi. Di pulau-pulau luar Jawa, khususnya Sumatera, kaum pengusaha pribumi umumnya mampu bersaing dengan kelompok bisnis non-pribumi dan hanya di Jawa saja resistensi mengambil bentuk yang lebih politis. Untuk kasus Jawa, bentuk resistensi tersebut antara lain diwujudkan dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam.2

Pada tahun-tahun awal kemerdekaan telah tumbuh beberapa embrio kapitalis lokal yang

relatif tangguh dalam industri manufaktur. Kapitalis-kapitalis lokal ini kebanyakan berasal dari luar Jawa, terutama Sumatera, yang kebanyakan bergerak diperdagangan lokal dengan usaha skala menengahnya seperti Agus Dasaad, Haji Abdul Ghani Azis, dan Rahman Tamin. Bidang usaha mereka adalah sektor pertanian seperti beras, karet, dan lada yang diperoleh dari Sumatera dan Sulawesi. Namun selepas deklarasi kemerdekaan para pemimpin politik terserap seluruh perhatiannya pada perlawanan politik terhadap Belanda sehingga sektor industri hanya ditengok sebelah mata. Perlahan-lahan kebutuhan akan rehabilitasi pasca perang memunculkan tekanan bagi strategi pembangunan menyeluruh dan nasionalisme ekonomi pun mulai diabadikan dalam kebijakan-kebijakan.

1 Ian Chalmers, 1996, op.cit., hal. 97 2 Keanggotaan organisasi ini terus membesar dalam upayanya membendung ekspansi pedagang Tionghoa yang berupaya memegang kendali atas bahan mentah lokal dalam industri batik. Gerakan ini akhirnya melemah dan hancur karena proses pembelahan didalam organisasi antara kelompok SI-Merah yang dipimpin oleh Semaun berkedudukan di Semarang dengan SI-Putih yang dipimpin oleh Tjokroaminoto berkedudukan di Solo. Secara keseluruhan gerakan akhirnya dihancurkan oleh pemerintah Belanda-Kolonial karena dianggap SI terlibat dalam pemberontakan 1926.

Page 33: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

25

Salah satu program terkenal dari periode ini adalah program Benteng yang diperkenalkan tahun 1950 oleh Dr. Juanda sebagai Menteri Kemakmuran Rakyat. Kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun basis modal bagi pengusaha-pengusaha pribumi yang dilindungi tembok proteksi dengan harapan bahwa pengusaha-pengusaha yang mendapatkan kredit lunak dari bank pemerintah dapat mengulangi kesuksesan para pedagang pribumi masa 1930-an agar berekspansi ke usaha manufaktur. Meski gagasan nasionalisme ekonomi sangat kental namun program tersebut dijiwai oleh cara pandang teknokratis yang dimunculkan oleh aparat-aparat negara pada paruh pertama dasawarsa 1950. Peran besar ini dimainkan oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo dari Partai Sosialis Indonesia dalam kabinet Natsir.

April 1951 diluncurkan Rencana Urgensi Perekonomian yang dikenal dengan 'Rencana

Soemitro' dengan dukungan pembentukan Biro Perancang Negara tahun 1952 di bawah kordinasi pengawasan Soemitro dengan bantuan PBB. Rencana ini mengedepankan industri skala besar yang prinsipnya berasal dari kebijakan Industrie-Plan 1941 Belanda-Kolonial. Bank Industri Negara (BIN) pun didirikan untuk mengelola dan membiayai proyek-proyek tersebut. Gagasan Soemitro selama tahun-tahun itu membuatnya terkenal sebagai penganut kebijakan yang nasionalis dan etatis sehingga pada periode selanjutnya dijadikan pembenaran bagi intervensi negara dalam perekonomian walau motivasi sebenarnya adalah mencapai tujuan membantu pengusaha pribumi. Kecenderungan keberpihakan terus berlanjut ketika ia diangkat menjadi Menteri Keuangan dalam kabinet Wilopo dimana waktu itu posisi tersebut menerima banyak pengaruh dari lobi bisnis untuk bantuan keuangan. Dalam jabatannya Soemitro bertanggungjawab atas pembengkakan jumlah impor yang tercakup dalam program Benteng dari 10 persen menjadi 25 persen. 3

Labilnya situasi politik dengan jatuh bangunnya kabinet dan perubahan personil lembaga-

lembaga yang bertugas mengakselerasi perekonomian menghambat kelancaran pelaksanaan program tersebut.4. Sebagian dari program Benteng gagal akibat pergeseran lokus kekuasaan politik selama era 1950-an dimana komunitas bisnis sealur dengan aliran-aliran partai politik dimana para importir beraliansi dengan partai-partai politik.5 Labilnya situasi politik juga dipengaruhi oleh faksionalisasi politik yang tinggi sehingga dapat dikatakan tidak ada kekuatan politik yang dominan dan cukup kuat mempengaruhi situasi kecuali PKI. Disamping itu banyaknya pemberontakan-pemberontakan di daerah, korupsi, dan ketidak-efektifan formula serta implementasi kebijakan membuat beberapa elit kunci militer mulai tidak puas. Peran serta mereka dalam menumpas berbagai pemberontakan menjadikan posisi tawar militer mulai menguat terutama seusai pemberontakan PRRI/Permesta 1957-1958. Hal itu disertai dengan konsolidasi internal pada struktur kewenangan yang sentralistik serta kohesif dibawah Jendral Abdul Haris Nasution.

Aktivitas jual beli lisensi impor oleh para importir yang dekat dengan sumbu kekuasan

kepada pengusaha yang memiliki modal cukup kuat turut memberikan sumbangan kegagalan 3 Ian Chalmers, 1996, op.cit, hal. 105 4 Faktor penghambat lainnya adalah masalah keberadaan modal asing yang masih bercokol di Indonesia. Keputusan tersebut merupakan sebagian hasil Konferensi Meja Bundar dimana jaminan terhadap keberadaan modal asing akan dihormati. 5 Dalam konteks ini terdapat dua kelompok dimana yang satu mendukung subsidi dan proteksi oleh negara sebagai wujud visi nasionalisme ekonomi. Kelompok ini diwakili oleh sayap kiri PNI, PKI, dan Soekarno, sedangkan kelompok yang condong kepada ekonomi pasar adalah sayap moderat PNI, Masyumi, dan PSI. Kebanyakan anggota sayap moderat PNI mendominasi kabinet pada awal 50-an seperti pada kabinet Natsir, Wilopo, Ali Sastroamijoyo I. Pengelompokan ini turut mempengaruhi afiliasi politik kelompok pengusaha pada tahun-tahun itu. Lihat Richard Robison, The Rise Of Capital, Allen and Unwin Pty Ltd, Australia, 1986, hal. 46 dan Ian Chalmers, 1996, ibid., hal.107

Page 34: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

26

program Benteng. Kedekatan tersebut adakalanya bersifat personal, misalnya kedekatan Agus Dasaad dengan Soekarno, maupun institusional, seperti posisi Dasaad sebagai anggota eksekutif PNI Jakarta. Hal tersebut membuat pengusaha-pengusaha kecil dan menengah yang tidak mempunyai kedekatan dengan birokrat, politisi atau partai terpaksa tersingkir terutama setelah pengetatan kredit tahun 1953-1954. Meski program ini telah menghasilkan beberapa kelas kapitalis pribumi namun pada tahun 1957 di bawah kabinet Djuanda program ini dihentikan.

Menurut Robison6, terdapat konsekuensi sosial politik yang penting dari keberadaan

proteksi negara dan subsidi bagi para kapitalis pribumi. Pertama, modal yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa merupakan bagian integral dari struktur perekonomian Indonesia. Kedua, embrio kapitalis pribumi pada umumnya dianggap lemah dalam memperluas usahanya melampaui sektor perdagangan dan produksi komoditi kecil-kecilan. Ketiga, sumber-sumber modal swasta dalam negeri yang didominasi pengusaha Tionghoa masih tidak mampu menandingi modal asing yang ditanamkan pada perusahaan besar penambangan dan industri. Konsekuensinya negara terpaksa memulai peranan sentralnya dalam mendanai, memiliki, dan mengalola investasi pada sektor tersebut. Pada titik ini negara beroperasi dalam dua tataran, yaitu level kebijakan publik seperti masalah fiskal, keuangan, dan hukum untuk terus menerus memapankan seluruh hubungan negara dan modal. Kedua, level dimana kebijakan publik diimplementasikan oleh para pejabat negara dan pengusaha atas dasar apropriasi pribadi terhadap sumber daya serta kekuasaan negara. Aspek patrimonial inilah yang sangat menandai siapa pengusaha yang berhasil dan yang jatuh dalam konteks seluruh kebijakan negara.

Kontrol atas alokasi kredit dari negara, lisensi, monopoli, kontrak-kontrak, dan konsesi-

konsesi lainnya kemudian menjadi obyek pertarungan antara pengelola negara (state managers), yang berkeinginan mempergunakan kontrol sebagai sarana mengatur strategi ekonomi, dengan faksi-faksi dari para politiko-birokrat, yang mempergunakan statusnya untuk mengamankan sumber-sumber pemasukan bagi kebutuhan politik dan pribadinya serta memapankan basis akumulasi modal oleh klien politik maupun bisnisnya. Hal ini bisa dilihat pada periode 1950-an dimana partai-partai politik mampu memapankan hegemoninya atas kantor-kantor pemerintahan yang aksesnya kepada ekonomi cukup strategis. Fasilitas-fasilitas tersebut di atas kemudian disalurkan kepada perusahaan-perusahaan yang secara langsung dimiliki oleh partai atau orang-orang yang mempunyai kedekatan politik dimana hubungan ini dibentuk di sekitar lingkaran partai politik, individu-individu politiko-birokrat, dan kelompok-kelompok bisnis terutama dari kalangan Tionghoa.

Dengan demikian kekuasaan negara dioperasionalkan melalui cara yang lebih bersifat

patrimonial dan merkantilis. Dikatakan patrimonial karena individu dan faksi-faksi politik secara pribadi menggunakan sarana-sarana aparat negara seperti departemen-departemen dan kewenangan jabatan negara sehingga mengaburkan perbedaan antara kekuasaan politik dan kewenangan birokratis. Kemudian dikatakan merkantilis karena upeti/pendapatan yang dikumpulkan oleh negara diperoleh melalui penciptaan dan penjualan monopoli dagang serta akses kontrol politik atas keuangan negara, kontrak, lisensi. Namun demikian mekanisme patronase tersebut akhirnya tidak menyediakan dasar bagi kemunculan dan konsolidasi kelompok kapitalis pribumi serta tidak mampu memapankan aliansi ekonomi politik yang mantap bagi munculnya kekuatan ekonomi nasional.

6 Richard Robison, 1986, Ibid., hal. 47

Page 35: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

27

II.2 Demokrasi Terpimpin 1958-1965 dan Keruntuhannya.

Instabilitas politik terus menerus terjadi baik diparlemen maupun dipemerintahan yang ditandai oleh jatuh bangunnya kabinet sehingga jarang bertahan lebih dari satu tahun. Soekarno kecewa melihat pertikaian-pertikaian politik tersebut semantara kedudukannya sebagai presiden hanya diposisikan secara simbolik berdasarkan UUDS 1950. Masalah lain yaitu munculnya banyak pemberontakan baik dari militer tahun 1952 maupun tekanan-tekanan politik dari sebagian partai Islam yang menuntut negara Islam bagi Indonesia. Keadaan ini juga dipandang menghalangi terwujudnya proyek anti-nekolim. Oleh karena itu kekuasaan politik yang besar dibutuhkan untuk menyelesaikan semua masalah tersebut di atas. Dengan popularitas yang dimilikinya serta dukungan dari PKI dan militer serta masyarakat luas maka ia pun segera melakukan langkah-langkah sepihak dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 1959.

Dengan dikeluarkannya dekrit tersebut maka lembaga konstituante hasil Pemilu 1955

dilikuidasi dan dijadikan simbol bagi kegagalan model demokrasi liberal. Sebagai gantinya ia membentuk parlemen baru yang anggota-anggotanya ditunjuk. Partai-partai politik lambat laun disingkirkan perannya dimana sebelumnya menguasai pentas politik nasional sejak awal hingga akhir tahun 1950. Soekarno kemudian membentuk beberapa badan yang mendukung visi politiknya yaitu Dewan Penasehat Tinggi, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) sebagai penanggung jawab pelaksanaan UU Darurat Perang, dan Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Tindakan-tindakan politik Soekarno dilakukan seiring dengan meningkatnya suhu politik di kawasan Asia Tenggara, khususnya Semenanjung Malaka. Konfrontasi dengan Malaysia dan masalah Papua membuat dukungan terhadap Soekarno semakin besar. Dalam kerangka inilah peran militer, khususnya angkatan darat, semakin kuat melalui kedudukannya di posisi-posisi penting.7 Kekuasaan yang semakin otoriter ditangan Soekarno juga dikemas dan diekspresikan dalam ideologi populisme korporatis dimana konflik sosial-politik antara partai-partai digantikan oleh sistem konsensus bersama melalui kendali kekuasaan presiden.

Militer sebagai salah satu kekuatan penggerak utama di masa Demokrasi Terpimpin

semakin tertarik pada prospek penguatan kekuasaan pemerintah dan pemilikan akses langsung pada otoritas kekuasaan. Tanggal 14 Maret 1957, militer melakukan upaya 'penyelamatan ' kekuasaan negara dengan memegang kendali atas UU Darurat termasuk dengan nasionalisasi perusahaan Belanda dan melarang aksi-aksi massa terutama mogok. Situasi Staat van Oorlog end Beleg (SOB) memberi dasar hukum dan legitimasi kepada militer untuk melakukan tindakan non-militer, terutama dalam hal pemerintahan. Peran politik ABRI tersebut semakin besar secara ekonomi ketika pada bulan Desember 1957 diadakan kampanye Sita Modal Asing oleh Soekarno. Posisi legal militer sebagai pelaksana SOB menjadi dasar legitimasi politik militer, sementara nasionalisasi perusahaan asing menjadi landasan ekonominya sehingga militer mempunyai sumber dana bagi operasi-operasinya. Kekuatan utama sebagai penghalang perwujudan tujuan tersebut adalah aksi-aksi buruh SOBSI dan petani BTI. Buruh-buruh SOBSI menuntut partisipasi penuh dalam mengoperasikan perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, sementara UU Land Reform yang diloloskan DPR tahun 1961 membuat BTI melakukan Gerakan Aksi Sepihak merebut kepemilikan tanah milik para tuan tanah dukungan militer dan kelompok Islam,

7 Kenyataan itu ditunjukkan dengan adanya perubahan orientasi politik dalam menempatkan anggota parlemen dimana kelompok fungsional mengisi sebagian besar komposisi parlemen bentukan Soekarno tahun 1960. 129 anggota merupakan perwakilan partai sementara 154 lainnya mewakili kelompok fungsional seperti militer, petani, wanita, dan kaum muda. Richard Robison, 1986, Ibid., hal. 70

Page 36: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

28

terutama di Jawa Timur.8 Pada tahun 1957 perusahaan Belanda dinasionalisasi dan tahun 1959 perusahaan-

perusahaan Cina yang dianggap punya kaitan dengan Kuomintang juga diambil alih.9 Dibawah Demokrasi Terpimpin Soekarno mengeluarkan program “Rentjana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun” 10 bulan Agustus 1960 dan pernyataan tentang Deklarasi Ekonomi (Dekon) Maret 1963. Pada intinya program ini memuat substansi sebagai berikut :

a) Regulasi dan kordinasi seluruh sektor perekonomian Indonesia oleh negara dengan mengintegrasikan investasi dan produksi kedalam kebutuhan dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Kepemimpinan negara dalam ekonomi diarahkan pada bentuk perencanaan terpusat dan kontrol atas distribusi, kredit, produksi, dan investasi-investasi langsung milik negara.

b) Penghapusan imperalisme dan subordinasi modal asing atas tujuan sosial dan ekonomi nasional. Ini dilakukan dengan melakukan pinjaman antar pemerintah sementara foreign direct investment dilakukan dengan cara joint venture dan pembagian hasil produksi.

c) Digantikannya perekonomian kolonial dengan perekonomian dan industrialisasi nasional, ditandai dengan gagasan Soekarno "Berdikari". Tahun 1963 perusahaan-perusahaan Inggris mulai diambil alih sehubungan dengan

konfrontasi Malaysia yang dianggap sebagai negara boneka buatan Inggris. Tahun 1965 perusahaan asing, termasuk milik Amerika Serikat, juga diambil alih. Sebanyak 90% dari hasil perusahaan perkebunan, 60% perdagangan luar negeri, 246 perusahaan industri dan penambangan, bank-bank, galangan kapal, dan berbegai macam industri jasa diambil alih, dikuasai, dan dikelola militer.11 Pada gilirannya pengambilan-alihan itu menimbulkan pelarian modal asing besar-besaran yang secara mendasar merubah struktur perekonomian Indonesia tahun-tahun berikutnya. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi tidak diserahkan pada perusahaan swasta dalam negeri melainkan ditransformasikan menjadi perusahaan-perusahaan milik negara sejalan dengan kecenderungan sentimen yang terdapat di dalam tubuh militer bahwa kepemilikan perusahaan oleh negara dirasakan penting mengingat prospeknya atas kontrol langsung terhadap akses sumber-sumber daya ekonomi. Walaupun terjadi nasionalisasi, pemerintah Indonesia saat itu tidak seluruhnya menghilangkan peran modal asing melainkan hanya mengubah bentuknya.

Menjelang 1965 keadaan ekonomi Indonesia ditandai dengan pembengkakan perusahaan-

perusahaan negara akibat politik nasionalisasi. Perusahaan-perusahaan ini menjadi tulang punggung negara dibawah kontrol dan pengelolaan Badan Pengawasan Pembangunan Daerah (Bappeda) pimpinan Jendral Baramuli dari Departemen Dalam Negeri. Sementara distribusi komoditi impor bagi perusahaan-perusahaan tersebut dikelola Organisasi Perusahaan Sejenis (OPS) dan Gabungan Perusahaan Sejenis (GPS) yang dikontrol oleh Finek (Finance and Economic Sections of the Military Commands). Pengelolaan perusahaan ini praktis ada ditangan militer demi menjalankan proyek pengambilalihan Papua Barat dan konfrontasi Malaysia. Di sektor swasta, bisnis masih dikuasai oleh pengusaha Tionghoa meski perusahaan pribumi besar masih berperan

8 Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000 9 Nasionalisasi perusahaan Cina yang dianggap terkait dengan Kuomintang ini seiring dengan pembentukan poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyongyang. 10 Lihat Yahya Muhaiman, Bisnis dan Politik, Jakarta: LP3ES, 1991, hal. 41-47. 11 Richard Robison, 1986, op.cit, hal. 72

Page 37: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

29

meski sangat tergantung dari negara. Pengelolaan perusahaan hasil nasionalisasi kemudian menimbulkan masalah adanya

konflik antara kepentingan politik dan pribadi para politiko-birokrat dengan kebijakan ekonomi yang ditetapkan negara. Kenyataan ini merupakan faktor yang memperburuk kinerja pengelolaan perusahaan-perusahaan negara dimana sebagian besar kontrolnya berada ditangan elit militer. Panglaykim menyebutkan bahwa keuntungan perusahaan-perusahaan dagang negara secara perlahan dikurangi dengan cara menjual barang-barang dengan harga pasar, pada saat yang sama mereka menyatakan bahwa barang-barang tersebut dijual dengan harga resmi yang ditetapkan pemerintah untuk kemudian mengambil keuntungan dari selisih antara harga pasar yang berlaku dan harga resmi yang ditetapkan. Teknik lain yaitu dengan menimbun barang-barang dan menjualnya kembali tanpa menyesuaikannya dengan inflasi yang bertujuan menarik komisi dari pembeli. Cara-cara manipulatif dan korup ditentang oleh sebagian elemen didalam tubuh militer sendiri yang menentang pengambilalihan keuntungan perusahaan negara dengan cara demikian. Salah satunya datang dari Jenderal Nasution melalui implementasi program pengurangan pengambilalihan keuntungan perusahaan negara ketangan pribadi dengan "Operasi Budhi" tahun 1964 yang mampu mengurangi kerugian perusahaan negara hingga 11 milyar rupiah.12

Penguasaan perusahaan negara dibawah kendali militer semakin mengintensifkan usaha

PKI dengan mengorganisir massa rakyat baik buruh di perkotaan maupun petani di pedesaan untuk mendukung program-program mereka. Salah satu propagandanya yaitu bahwa pengambilalihan keuntungan oleh para pengelola perusahaan negara telah mengikis dan mendiskreditkan kepemilikan negara atas perusahaan tersebut serta menuduh usaha itu sebagai pencarian sumber-sumber keuangan bagi partai-partai yang beroposisi terhadap PKI.13 Usaha tersebut memunculkan sentimen anti-PKI dikalangan pihak militer dan ormas-ormas fungsional partai lain agar manuver politik PKI di lapis bawah terhambat sehingga akibatnya konflik fisik tidak terhindarkan.14 Meski tampaknya Soekarno lebih dekat pada kelompok kiri namun posisinya di tengah pertikaian membuat dirinya relatif tidak terjepit. Konflik-konflik tidak meledak menjadi perang saudara karena adanya faktor kharisma Soekarno yang masih besar pengaruhnya. Konflik tertutup akhirnya tidak bisa dipertahankan akibat isu kemunduran kesehatan presiden, avonturisme politik segelintir tokoh PKI, inflasi yang semakin tinggi, dan peran pihak luar negeri. Momentum pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat 30 September 1965 semakin membawa PKI pada jurang kehancuran, ditandai dengan pembunuhan massal anggota-anggotanya dan orang yang dianggap 'terlibat' PKI. Konflik ini dimenangkan oleh militer dan membawa Soeharto ke puncak pimpinan negara.

II.3 Periode Pemulihan Ekonomi Negara dan Politik Dua-Jalur 1966-1974 Tantangan terberat periode ini adalah kondisi ekonomi yang cepat memburuk akibat

mengalami stagnasi, mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita, dan mandeknya produksi barang dan jasa akibat kelangkaan bahan baku, serta macetnya distribusi barang dan jasa. Pemerintahan baru praktis berusaha menjadi antitesa kebijakan politik dan ekonomi dari Orde Lama. Pemerintah baru dikuasai oleh jenderal-jenderal dari Angkatan Darat dengan satu gagasan yaitu ekonomi secepatnya harus dibenahi terlebih dahulu. Pembenahan ini memungkinkan 12 Richard Robison, 1986, Ibid., hal. 101 13 Lihat catatan kaki dalam Richard Robison, Ibid., 1986, hal. 101. 14 Salah satu dokumentasi yang cukup baik mengenai upaya manuver dari masing-masing pihak dalam hal perburuhan misalnya ditunjukkan oleh Vedi R. Hadiz, Workers and State in Indonesia's New Order, London, Routledge, 1997, hal. 38-57

Page 38: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

30

perusahaan swasta memainkan peranan aktif–dibawah kendali Pemerintah–dalam sebuah sistem pasar bebas dan pemanfaatan modal asing seluas-luasnya. Sedangkan pembenahan masalah politik dilakukan secara berangsur-angsur, dengan tindakan yang sangat berhati-hati. Atas nasehat para teknokrat, Pemerintah menetapkan tiga langkah pemulihan secara bersamaan yaitu pertama, menjadwalkan kembali pelunasan utang luar negeri sebagai langkah awal untuk mengembalikan kepercayaan pihak luar negeri. Kedua, mengendalikan inflasi yang tak terkontrol melalui program impor komoditi besar-besaran yang dibiayai pinjaman hasil renegosiasi tersebut terutama beras dan sandang. Ketiga, mengundang investasi sebesar-besarnya–terutama investasi asing–untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan merundingkan kredit baru. Para teknokrat ini meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi karena suntikan modal dan teknologi ini akan menjadi spill over secara spontan ke seluruh lapisan masyarakat.

Keinginan ini dapat dilihat dari TAP MPRS No.XXIII tanggal 5 Juli 1966 tentang

Pembaruan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang merinci tiga tahap program ekonomi, pertama, tahap penyelamatan, yaitu mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi lebih buruk lagi. Kedua, tahap stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi. Ketiga adalah tahap pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk menjalankan program-program tersebut, Pemerintah menjalin komitmen dengan lembaga keuangan internasional, seperti IMF, Bank Dunia dan konsorsium negara-negara donor lainnya. Datangnya misi IMF pada bulan Juli 1966 dan misi Bank Dunia pada bulan Agustus 1966 untuk pertama kali memberikan sinyal kepada masyarakat internasional, terutama dari kalangan investor swasta dan kelembagaan atas perubahan orientasi ekonomi Indonesia.15

Hasil perundingan dengan misi-misi ini, terutama dengan misi IMF atas pembaruan

program ekonomi Pemerintah diumumkan pada konferensi para kreditor di Paris Desember 1966. Poin-point penting kesepakatan atas program ekonomi ini adalah pertama, kekuatan pasar adalah kekuatan vital dalam stabilisasi ekonomi. Kedua, untuk itu keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi pasar dengan tidak lagi menikmati fasilitas dan alokasi devisa dari negara, tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga subsidi. Ketiga, sebagai insentif bagi sektor swasta, maka lisensi impor terhadap bahan baku dan perlengkapan tidak lagi dibatasi. Keempat, adalah fasilitas insentif berupa keringanan pajak dan fasilitas lainnya bagi penanam modal baru yang dijamin UU. Kedatangan misi IMF itu dilanjutkan dengan misi untuk merayu investor asing swasta datang ke Indonesia dengan mengadakan konferensi investasi Indonesia di Jenewa bulan November 1967.16

Sejalan dengan program tersebut, pada tanggal 1 Januari 1967 Pemerintah

memberlakukan UU PMA dan berselang kira-kira enambelas bulan kemudian, pada 3 Juli 1968 juga diundangkan UU PMDN. Khusus untuk UU PMDN ini, menurut Winters adalah untuk menarik investasi dari kalangan etnik Tionghoa, yaitu investor dalam negeri yang lari ke Hongkong dan Singapura ketika kondisi di bawah Soekarno menjadi terlalu berbahaya bagi

15 Lihat Jeffrey A Winters, Power In Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal. 75. 16 Para investor swasta dan lembaga merupakan pengendali modal. Investor swasta ini adalah swasta yang bergerak melintasi batas negara –multi national companies– dan menanamkan modalnya diberbagai negara yang menguntungkan. Sedangkan lembaga adalah modal yang dimanipulasi dan diinvestasikan oleh birokrat di lembaga-lembaga keuangan internasional besar, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), IMF, IGGI dan USAID. Jeffrey A Winters, 1999, Ibid, hal. 78.

Page 39: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

31

mereka.17 Gagasan PMDN ini adalah menarik sumberdaya meraka kedalam modal domestik tanpa mempersoalkan asal usul uang itu dengan maksud menghindari pelarian modal dan memberikan kepada orang-orang yang mendapat uang melalui korupsi pada periode sebelumnya. Kedua UU ini dimaksudkan untuk membuka perekonomian dan menggiatkan kembali dunia usaha melalui berbagai kemudahan, seperti tax holiday, pembebasan bea masuk impor untuk investasi mesin-mesin, kemudahan memperoleh HGU, HGB, dll. Selama masa pemulihan ekonomi tersebut, Pemerintah Indonesia, yang diwakili tim ekonomi kabinet bekerja erat dengan tim IMF, Bank Dunia dan IGGI. Segala macam nasihat dan arahan IMF dan Bank Dunia ini dituruti terutama untuk membenahi masalah neraca pembayaran dan arahan pembangunan. Hasilnya adalah investasi asing di Indonesia melonjak dengan drastis.

Ketegangan pada embrio struktur politik Orde Baru mulai terjadi antara teknokrat-

teknokrat Bappenas dengan sebagian faksi politiko-birokrat dari elit militer. Kontrol atas kebijakan ekonomi menjadi lahan pertarungan mereka khususnya kebijakan yang mampu memberikan penguasaan sumber daya negara. Dua pertimbangan yang mendasari kemunculan konflik ini yaitu pertama, pengaturan-pengaturan yang dilakukan oleh para menteri ekonomi dipandang akan menghambat pengendalian militer atas sumber daya tersebut. Kedua, keselamatan politik rezim Orde Baru tergantung dari kemampuannya untuk memanipulasi secara lebih jauh jaringan patron-klien dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat Indonesia mulai dari istana hingga tingkat desa melalui militer dan birokrasi. Oleh karena itu sumber daya keuangan yang dibutuhkan haruslah besar dan terpadu. Upaya mengatasi ketegangan antara kebijakan ekonomi negara demi pertumbuhan dengan kebutuhan mempertahankan dominasi politik Orde Baru dilakukan melalui politik dua jalur lewat cara hunting trips.

Perjalanan berburu ini adalah perjalanan para pembantu dekat Soeharto–atas seijinnya–

secara diam-diam untuk mencari dana di luar kerangka pinjaman luar negeri yang telah digariskan tim ekonomi kabinet, IMF, Bank Dunia dan IGGI. Perburuan dana tersebut terutama untuk tujuan politik dan pribadi, misalnya Jenderal Suryo Wirohadiputro dengan memo yang dipersiapkannya sendiri untuk mendapatkan dana pembelian 400.000 ton beras senilai 82 juta dolar. Kemudian Kolonel Harsono yang berkeliling mencari kertas koran, suku cadang bengkel percetakan, dan pembelian 15 unit mesin cetak, serta Jenderal Mohammad Yusuf yang datang ke Maerika Serikat dengan membawa daftar pembelian perlengkapan militer senilai 500 juta dolar.18 Perolehan keuntungan dari sistem pemerasan yang sudah dianggap menjadi tradisi ini didapatkan dari prosentase penjualan dianggap sebagai bonus bagi militer.

Tindakan yang dilakukan oleh para elit militer tersebut dilakukan seiring dengan proses

penguatan kantor kepresidenan. Meraka yang mengadakan hunting trips merupakan sekelompok kecil elit militer inti yang berfungsi mengendalikan birokrasi pemerintahan demi mencapai tujuan patronase. Tim ini awalnya bernama Panitia Sosial dan Politik Markas Besar Angkatan Darat menginduk langsung kepada Soeharto. Dibuat segera setelah pembentukan kabinet Ampera Juli 1966 yang terdiri dari dua belas perwira Angkatan Darat. Tim yang terdiri dari dua bagian ini, urusan politik dan ekonomi, klemudian berganti nama menjadi Spri (Staf Pribadi). Seriring dengan Sidang MPRS Juni 1968, Spri dibubarkan dan sebagian anggota intinya menjadi menteri dan pejabat strategis lainnya. Misalnya Jenderal Alamsyah, kordinator Spri, menjadi penanggungjawab Sekretaris Negara. Sebagai gantinya dibentuklah Aspri (Asisten Pribadi) yang

17Jeffrey A Winters, 1999, Ibid, hal. 131. 18Jeffrey A Winters, 1999, Ibid, hal.104-105.

Page 40: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

32

anggotanya lebih kecil terdiri dari Jenderal Suryo Wirohadiputro, Soedjono Hoemardani, dan Ali Moertopo.

Strategi pembangunan dan ekonomi yang dirancang dan berusaha diterapkan secara ketat

oleh tim ekonomi kabinet, IMF, Bank Dunia dan IGGI ini tidak dapat dilakukan secara maksimal karena politik "dua kaki" Soeharto terhadap modal. Arus keluar masuk modal tidak dapat dikontrol terutama dalam hubungannya dengan pembangunan Industrialisasi Substitusi Impor yang memang membutuhkan kontrol ketat. Pada taraf ini ISI memang dapat berjalan di sektor besi, gas alam, penyulingan minyak, dan alumunium yang pencapaiannya justru lebih dominan dilakukan melalui kitchen cabinet Soeharto. Pencapaian itu didukung melalui pemantapan infrastruktur politik yang ditunjang dengan keberadaan peranan Opsus bentukan Jenderal Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardhani. Peranan kedua tokoh ini sangat jelas dalam membangun struktur politik negara yang korporatis dalam rangka memonopoli dan memaksakan legitimasi serta aktivitas politik negara melalui ideologi peran negara sebagai agen pembangunan, stabilisator, dan dinamisator.

Beberapa cara manipulasi dan korupsi digunakan untuk memperluas jaringan patronase

yang bertujuan memberikan dukungan politik bagi keberlanjutan rejim Orde Baru. Cara tersebut selanjutnya terus membekas pada kinerja para pejabat Orde Baru. Salah satu cara yang umum dipergunakan oleh elit militer dan birokrat Orde Baru adalah dengan mengadakan proyek-proyek pembangunan. Senat AS, seperti yang dikutip Winters, menyatakan bahwa proyek-proyek pembangunan merupakan selubung yang lebih disukai untuk menyebarkan uang patronase ke seluruh sistem Indonesia. Seringkali proyek-proyek itu dengan sengaja dinaikkan harganya (mark up), kemudian bahan-bahan yang berada di bawah standar dibeli, dan amplop-amplop berisi uang diedarkan pada pejabat sipil maupun militer yang terkait dalam setiap tahapan proyek. Kesemuanya dibebankan kepada hutang negara Indonesia untuk dibayar kembali berikut bunganya duapuluh atau tigapuluh tahun kemudian. Pembangunan proyek-proyek pun seringkali tidak berdasarkan pada kebutuhan riil masyarakat Indonesia dan dibangun tidak berdasarkan pada perencanaan lokasi yang tepat sehingga banyak kasus ditemukannya hasil-hasil proyek yang hancur sebelum waktunya akibat penggunaan bahan-bahan di bawah standar atau digusur untuk digunakan sebagai lahan proyek lain. Mengutip wawancara Winters dengan Ridwan Saidi,

" suatu pola lain adalah proyek pembangunan di daerah-daerah. Puskesmas dan sekolah-sekolah akan dibangun di seluruh tempat-kadang-kadang dengan dinding yang akan runtuh kalau anda bersandar padanya terlalu keras…Kadang-kadang mereka membangun sekolah sedangkan tidak ada siswa yang belajar di sana. Yang terpenting adalah mengedarkan uang."19

Disamping melalui proyek-proyek pembangunan, contoh kasus korupsi lainnya juga

terjadi pada perdagangan luar negeri dengan melakukan penipuan atas bantuan dana impor yang diperoleh pemerintah luar negeri. John Bresnan menyebutkan :

“in 1968, with foreign exchange still in short supply, the government attempted to reduce control by selling foreign exchange at a proce set by the daily market. At the same time, for the import of goods on an official priority list, it sold a portion of its holdings of foreign exchange at a prefential rate. Predictably, a number of importers bought foreign exchange under this latter system and then used some or all of it for other purposes, doctoring purchase orders and shipping documents to hide the

19 Jeffrey A Winters, 1999, op.cit, hal.134. Catatan kaki no.104

Page 41: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

33

illegal transactions.” 20 Kasus ini pada periode tiga bulan pertama telah merugikan sebesar 35 juta dolar dimana

sepertiga dari seluruh perdagangan luar negeri diisi oleh impor barang-barang kebutuhan pokok, sehingga jumlah total penyalahgunaan dana selama sepanjang tahun itu diperkirakan mencapai diatas 100 juta dolar. Penyelidikan atas kasus tersebut dimotori oleh Dr. Soemitro Djojohadikusumo sekembalinya dari tempat persembunyian di Amerika Serikat pasca-PRRI/Permesta. Tindakan itu menyebabkan tigapuluh empat importir yang sebagian besar etnis Tionghoa melarikan diri ke luar negeri, seorang importir ditahan bersama dengan beberapa pejabat namun akhirnya tiada seorang pun yang diadili. Bresnan menduga bahwa tiadanya proses hukum pada kasus tersebut terkait dengan lobi beberapa elit militer yang berada dibelakang aktivitas penyelundupan dan penyalahgunaan kebijakan impor barang. Setahun kemudian pola traksaksi tersebut dilakukan Bulog dengan beberapa pengusaha Jepang sehingga mengarah pada ditangkapnya dua orang oleh pemerintah Jepang dengan tuduhan melanggar peraturan keuangan Jepang. Kasus penahanan itu dirasakan penting bagi Indonesia sehingga Soeharto harus turun tangan dengan mengirimkan asisten pribadinya, Soedjono Hoemardani, terbang ke Jepang untuk bertemu dengan Menteri Keuangan Jepang Takeo Fukuda agar diijinkan melepaskan kedua tahanan itu.21

II.4 Periode 1974 – 1982 Penguatan Negara dan Kebangkitan Politik Teknokrat.

Antara tahun 1970 hingga tahun 1974 merupakan tahun-tahun penting dimana pemerintahan Orde Baru diuji ketahanannya. Ujian ketahanan ini datang dari beberapa kejadian, pertama, krisis pangan Mei-September 1972 akibat faktor cuaca dan sistem manajemen pertanian yang mampu mengantisipasi kondisi tersebut. Pada titik ini kelemahan institusi Bulog turut mendorong krisis pangan. Kedua, naiknya harga beras akhir tahun 1972 akibat kejadian diatas. Ketiga, kasus mega-korupsi Pertamina. Keempat, serangan politik dari demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintahannya dengan isu inflasi, korupsi, modal asing, dan seluruh kebijakan-kebijakan pembangunan yang memuncak pada peristiwa Malari 1974.

Penyelesaian krisis pangan tertolong oleh situasi lingkungan internasional dengan adanya

Perang Enam Hari di Timur Tengah pada September 1973-Januari 1974. Perang ini memunculkan embargo minyak terhadap negara-negara Arab yang terlibat perang sehingga menyebabkan harga minyak Indonesia naik hingga 200% di pasaran internasional. Segera setelah naiknya harga minyak ini, krisis pangan ditangani dengan cepat melalui perencanaan ekonomi pertanian dibawah Widjojo Nitisastro. Masih dengan keinginan untuk melakukan industrialisasi maka sektor pertanian pun diintegrasikan ke dalam strategi tersebut sambil melakukan proteksi. Namun lolosnya pemerintahan Orde Baru dari ujian berupa krisis pangan tidak serta merta menghilangkan potensi krisis berikutnya yaitu krisis neraca pembayaran karena hutang negara yang membengkak sebagai hasil dari kasus korupsi Pertamina.

Pertamina pada era 70-an merupakan primadona yang sangat mendukung pencapaian

strategi pembangunan ISI. Krisis ini antara lain diakibatkan tingkah laku para elit militer, khususnya Ibnu Sutowo, dalam melakukan hunting trips kepada bank-bank besar di Amerika

20 John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, Columbia University Press, NewYork, 1993, hal.157 Kalimat bergaris miring dari penulis. 21 John Bresnan, 1993, Ibid., hal.157

Page 42: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

34

Serikat untuk mendapatkan pinjaman. Ibnu Sutowo menjadi bendahara Soeharto dalam mengumpulkan dana yang tidak dapat dipenuhi oleh anggaran pemerintah. Dana tersebut dipergunakan untuk memberi hadiah kepada pendukung-pendukungnya melalui proyek-proyek di seluruh wilayah negara Indonesia. Strategi yang dijalankan oleh Ibnu Sutowo adalah dengan menjadikan organisasi setengah-negara yang amat besar itu sebagai agunan untuk pinjaman komersial. Para ekonom yang ditunjuk untuk mengarahkan kebijakan ekonomi negara terkejut dan tidak mampu mengambil langkah-langkah apapun untuk menyelidiki bahkan menghentikan tindakan Ibnu Sutowo. Tetapi capital inflow dari minyak ini memperkuat posisi tawar Pemerintah dihadapan mobile investors, dengan demikian pemerintah merasa cukup kuat untuk mengubah orientasi pembangunan ekonomi dari industri berorientasi ekspor berdasarkan keunggulan daya saing (yang disarankan Bank Dunia dan IMF) ke ekonomi industri substitusi impor yang lebih nasionalis dan populis. Pada periode ini pemerintah pusat melalui perusahaan-perusahaan milik negara berupaya menjadi pelopor pembangunan industrialisasi yang utama, baik dengan mengerjakan sendiri proyek-proyek pembangunan maupun bersama perusahaan milik klien Ibnu Sutowo, yaitu kelompok bisnis Astra.

Krisis Pertamina mulai mencuat kepermukaan setelah perusahaan ini tanggal 18 Februari

1975 dinyatakan tidak mampu melunasi hutang jangka pendeknya sebesar 40 juta dolar dari konsorsium bank Amerika Serikat yang dipimpin oleh Republic National Bank of Dallas. Melalui nasihat Menteri Keuangan, Ali Wardana, Soeharto kemudian berkonsultasi dengan Widjojo Nitisastro dan Rachmat Saleh, gubernur Bank Indonesia, untuk mencari jalan keluar bagi masalah tersebut. Namun tertutupnya dan terpisahnya pembukuan Pertamina dari sistem moneter nasional maka usaha mencari jalan keluar itu terhambat. Rachmat Saleh kemudian menghubungi 200 bank di seluruh dunia untuk mendapatkan informasi pinjaman yang diperoleh Pertamina. Setelah itu Ali Wardana segera menyiapkan memorandum negosiasi pembayaran hutang untuk ditandatangani Soeharto.

Krisis ternyata belum berakhir karena tanggal 10 Maret dilaporkan kembali bahwa

Pertamina gagal membayar hutang jangka pendeknya sebesar 60 juta dolar dari konsorsium bank Kanada dipimpin oleh Toronto Dominion Bank. Tanggal 14 Maret pemerintah mengumumkan bahwa Bank Indonesia mengeluarkan dana sebesar 650 juta dolar yang akan digunakan sebagai kredit bagi Pertamina untuk membayar hutang-hutangnya. Untuk memperkuat penjaminan atas hutang Pertamina maka pemerintah juga mengundang lembaga investasi internasional seperti S.G Walburg dari Inggris, Lazard Freres dari Perancis, dan Kuhn Loeb dari New York. Lembaga-lembaga itu memberikan nasihat tentang manajemen cadangan pinjaman luar negeri serta mencari jalan keluar bagaimana membiayai hutang jangka pendek Pertamina. Upaya melakukan manajemen cadangan pinjaman luar negeri itu membuat Bank Indonesia pada bulan April menunda publikasi laporan statistik mingguan dan bulannya tentang arus investasi dan moneter Indonesia. Penundaan ini dilakukan untuk menghitung kembali seluruh arus pertukaran luar negeri akibat kekacauan data yang muncul dari kasus Pertamina.

Tanggal 15 Mei Menteri Negara J.B Sumarlin mengumumkan bahwa beberapa bank

Amerika dan Jepang bersedia memberikan pinjaman untuk mengisi cadangan dana, pinjaman ini antara lain dipergunakan untuk menutupi hutang Pertamina. Kemudian pada tanggal 20 Mei 1975 Menteri Pertambangan dan Energi, Sadli, memberikan gambaran yang cukup rinci mengenai pengeluaran dana yang dilakukan Pertamina selama ini. Sadli menyebutkan bahwa seluruh hutang Pertamina adalah sebesar 10,5 triliun dolar. Rincian pengeluaran itu antara lain 2,5 triliun dolar untuk pemberian kredit komersial dan pekerjaan umum; 1,9 triliun dolar untuk proyek-

Page 43: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

35

proyek besar yang berkaitan dengan pengolahan gas alam cair (LNG) seperti penyulingan, jaringan pipa, dan proyek eksplorasi serta produksi lainnya; 2,1 trilun untuk pengembangan pabrik baja; 156 juta dolar untuk telekomunikasi; 3,3 triliun untuk menyewa atau membeli kapal tanker bagi armada lintas laut dan domestik; serta kontrak-kontrak lain hingga senilai 700 juta dolar. Sadli menilai bahwa sebagian besar dari proyek-proyek yang didukung oleh dana Pertamina tersebut tidak ekonomis dan tidak ada hubungannya dengan fungsi Pertamina. Penilaian ini didukung oleh laporan keuangan bulan Oktober dari Arthur Young & Company bahwa Pertamina telah menyewa kapal tanker-tanker dengan biaya hingga sepersepuluh juta dolar sehari.22

Pembiayaan terhadap proyek-proyek industri ini antara lain karena berubahnya pemikiran

Soeharto yang mengarah pada keberadaan industri substitusi impor. Mengenai ISI ini, Poot mencatat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan, yaitu:23 Pertama, industrialisasi dikembangkan tanpa memperhatikan kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Kaitan ke depan adalah keterkaitan industri yang dikembangkan dengan industri yang memproduksi lebih lanjut atau menggunakan produknya sebagai bahan baku industri lainnya. Sedang kaitan ke belakang adalah keterkaitan industri dengan industri lain yang mendukung industri tersebut dalam menyediakan kebutuhan bahan baku dan bahan pendukung lainnya. Pengembangan ISI ini tidak mempunyai basis di dalam negeri, sehingga sebagian bahan baku harus diimpor. Nilai tambah yang ada hanyalah pada aspek perakitan dan tenaga kerja yang terbatas pada proses produksi tersebut. Dengan demikian perkembangan ISI tidak menciptakan lahan bagi kesempatan kerja yang meluas di masyarakat. Kedua, industrialisasi ini tidak mempunyai kaitan erat dengan sektor pertanian. Perkembangan industri terputus dan berjarak dengan sektor pertanian yang menghidupi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan demikian perkembangan sektor industri kurang bermanfaat bagi supply dan demand produk pertanian karena pada akhirnya menciptakan kesempatan kerja di sektor pertanian. Ketiga, industrialisasi yang dikembangkan mempunyai kandungan lokal (local content) yang rendah dan sebaliknya mempunyai kandungan impor (import content) yang tinggi. Kandungan lokal yang rendah berarti bahan baku dalam negeri yang digunakan rendah, sedangkan kandungan impor tinggi berarti bahan baku diimpor dari produsen bahan baku di luar negeri. Keempat, industri pada umumnya mempunyai sifat padat modal (capital intensive) dibandingkan dengan sektor pertanian yang padat karya (labor intensive). Industri yang pada modal adalah industri yang dalam proses produksinya cenderung menggunakan pada mesin-mesin berteknologi tinggi yang mahal dan diimpor, dari pada meggunakan tenaga kerja manusia. Industri demikian tidak menyerap tenaga kerja yang banyak. Sama halnya dengan ketiga faktor di atas, industrialisasi model ini menyebabkan terputusnya kaitan dengan sektor lain di dalam negeri, tidak menyerap tenaga kerja dan nilai tambah yang dinikmati di dalam negeri sangat kecil. Ibnu Sutowo pada tahun 1976 akhirnya dipecat dan menurut Winters pemecatan itu lebih berhubungan dengan penilaian atas kepribadian Ibnu Sutowo oleh Soeharto, bukan berdasarkan atas tindakannya yang merugikan negara serta Pertamina.24

Dari krisis yang dialami oleh Pertamina dan keuangan negara ini menandakan adanya

pertentangan antara teknokrat dengan elit militer dalam mengelola sektor perekonomian strategis terutama mengenai kontrol atas pendapatan yang diperoleh dari minyak. Adalah tugas para

22 John Bresnan, 1993, Ibid., hal.165-167 23 Huuib Poot, Industrialization and Trade in Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. 24 Catatan kaki no.122 dalam Jeffrey A Winters, 1999, op.cit, hal.137.

Page 44: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

36

ekonom untuk mengatur arus kredit luar negeri Indonesia disamping perekonomian Indonesia masih lemah dalam membayar cicilan hutang berikut bunga yang semakin menggelembung kecuali dengan syarat-syarat yang paling lunak. Krisis Pertamina juga memberikan pandangan yang buruk atas kinerja para teknokrat dalam hal ketidak-mampuan mengendalikan pinjaman pemerintah, terutama dalam berurusan dengan IMF, Bank Dunia, dan IGGI. Konflik antara teknokrat dan elit militer memposisikan Soeharto pada tempat yang menguntungkan dengan taktik memperbolehkan para pemain utama berada di masing-masing jalur, pasar, dan pelanggan. Dampaknya adalah perjuangan matian-matian antara pelaku-pelaku utama dalam mengarahkan kepentingan mereka masing-masing. Dengan posisinya tersebut Soeharto menyadari bahwa ia sendiri tidak perlu terlibat langsung atau muncul di jalur Pertamina karena apabila ia bertindak demikian justru akan merusak momentum kepercayaan yang telah diciptakan oleh para menteri ekonominya. Soeharto membiarkan Ibnu Sutowo berada di depan dan berpura-pura tidak mengetahui. Ibnu Sutowo sendiri berpandangan bahwa presiden tidak hanya sepenuhnya mengetahui tetapi juga mendukung kegiatan-kegiatannya tanpa keberatan apapun.25

Pada tataran yang lebih luas, krisis Pertamina tidak hanya menyangkut tarik menarik

kepentingan antara kelompok-kelompok yang disebutkan di atas. Bresnan menuliskan,

“The conflict was larger than this suggests. It involved making choices as to how public funds were to be dispersed-at bottom, deciding on the development strategy the government was to pursue. The division within the regime was deep, with Soeharto himself uncertain, and army officers lined up on either side. Powerful foreign interests also were involved, both in the events that led to the crisis and in the steps needed to resolve it.”26

Sementara usaha dari para ekonom-teknokrat untuk menghambat manuver-manuver

kelompok terdekat Soeharto waktu itu sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum krisis memuncak. Langkah-langkah untuk menghambat yang telah dilakukan antara lain tahun 1971 melalui UU No.8 yang menetapkan bahwa semua perusahaan negara harus mendapat persetujuan Departemen Keuangan. Namun UU ini masih memberikan pengendalian penuh atas minyak, LNG, dan para kontraktor luar negeri yang hanya tunduk pada kekuasan presiden Soeharto.27 Peraturan yang lebih keras lagi didesakkan oleh para ekonom melalui Dekrit Presiden No.59 Oktober 1972 dimana pemerintah tidak akan menjamin pinjaman yang dirundingkan oleh perusahaan-perusahaan negara tanpa persetujuan pemerintah. Perangkat hukum lain yang dirancang untuk menghambat gerak Ibnu Sutowo adalah UU No.5 tahun 1973 yang memberikan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa keuangan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan negara. Usaha mereka didukung oleh IMF, Bank Dunia, dan negara-negara yang memberikan kredit bagi Indonesia berdasarkan keinginan untuk melihat kejatuhan Ibnu Sutowo. Semua undang-undang itu pada akhirnya tidak dapat difungsikan karena posisi dan kuatnya perlawanan lewat lobi Ibnu Sutowo kepada Soeharto seperti kebanyakan peraturan lain yang dapat dihindari kalau presiden menyetujuinya.

Para ekonom-teknokrat tidak dapat bekerja sendiri untuk mendesakkan dilaksanakannya

peraturan-peraturan itu. Peran para pejabat IMF dan Amerika Serikat turut membantu mereka dalam menggembosi kekuatan Ibnu Sutowo sambil membantu memperkuat genggamannya atas

25 Jeffrey A Winters, 1999, Ibid., hal.134. 26 John Bresnan, 1993, op.cit., hal.165 27 Richard Robison, 1986, op.cit, hal. 236

Page 45: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

37

para ekonom-teknokrat misalnya dengan ancaman penundaan bantuan dan memotong akses Indonesia minimal terhadap modal kelembagaan.28 Sementara pihak luar negeri melancarkan kampanye kepada lembaga donor internasional, para ekonom-teknorat bekerja dari dalam dengan terus menerus meyakinkan presiden agar melepaskan sistem dua-jalurnya sehingga ketidakpercayaan investor serta lembaga donor lainnya dapat dihindari. Cara ini dilakukan agar krisis investasi dan produksi tidak terjadi karena dapat menggoyahkan stabilitas rezim seperti yang terjadi pada era 60-an. Manipulasi atas kekuatiran ini kemudian mengubah pandangan Soeharto atas aktivitas yang dijalankan oleh Ibnu Sutowo. Winters mencatat bahwa karena perolehan sumber daya yang relatif tidak mengikat demi konsolidasi politik dan militernya pada tahap tertentu telah tercapai29, maka diakhirilah bulan madu politik Soeharto dengan Ibnu Sutowo.

II.5 Periode 1978 – 1986: Deregulasi Dan Arah Menuju Institusionalisasi Korupsi.

Menjelang akhir tahun 1970, arah menuju industrialisasi yang ditetapkan mengarah pada model nasionalisme ekonomi yang bersifat integrasionis berdasarkan gagasan yang dilontarkan oleh Yusuf Panglaykim.30 Namun model ini diformulasikan dengan penekanan yang berbeda dari apa gagasan nasionalisme ekonomi Ibnu Sutowo, yaitu industrialisasi yang menekankan perusahaan negara sebagai pelopornya. Ide dasar Panglaykim adalah diperlukan adanya suatu penilaian yang seksama mengenai situasi perekonomian saat itu sebagai dasar perumusan kebijakan jangka panjang yang memungkinkan pertarungan antara kapitalis lokal maupun Tionghoa di Indonesia dengan MNC melalui arahan kepada garis-garis yang sesuai dengan usaha untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang telah ditentukan.31 Panglaykim beserta tokoh-tokoh CSIS32 menempatkan negara sebagai pemegang peran utama dalam restrukturisasi modal nasional untuk menciptakan kekuatan bisnis tandingan, terutama menghadapi dunia bisnis-politik Jepang. Untuk itu diperlukan kerja sama yang erat antara kelompok-kelompok bisnis besar, para teknokrat dan birokrasi. Oleh karena itu konsentrasi mutlak diperlukan karena perusahaan berskala kecil dan menengah dianggap tidak mampu memaksimalkan keuntungan yang diperoleh 28 Kekecewaan Amerika Serikat terlihat jelas dimana pada akhir tahun 1965 dan awal 1966 Duta Besar Green meminta Adam Malik untuk menyampaikan kekecewaan AS terhadap politik "dua kaki" Soeharto dengan menyampaikan bahwa bantuan hanya akan diberikan melalui jalur-jalur resmi. Peringatan ini dipatuhi oleh Soeharto walaupun pengerukan keuntungan sampai batas-batas tertentu masih dilakukan. Kami menduga bahwa kenyataan ini tidak disukai oleh Soeharto yang kemudian pada tahun 1970-an mulai beralih pada modal Jepang yang peralihannya ditandai dengan goncangan peristiwa Malari. Peralihan ini juga dapat dibaca sebagai permulaan persaingan kepentingan modal antara Jepang dan AS di Asia Tenggara yang akibatnya bagi Indonesia sangat nyata di tahun 1986 yaitu dengan adanya penurunan harga minyak secara drastis dan depresiasi dolar AS terhadap Yen Jepang. Lihat Francisia Seda, Foreign Direct Investment in Indonesia In The 1980s, dalam Jurnal Masyarakat, No.6 Tahun 1998, hal.47 dan tanggapan pemerintah AS terhadap Indonesia dalam kasus tersebut lihat Jeffrey A Winters, op.cit., 1999, hal.105-106, 110-111. 29 “Ia dapat mempertahankan kebijakan pararelnya untuk memberi tanggapan kepada para pengendali modal kelembagaan dan swasta dan hanya mundur apabila mendapat tekanan.” Lihat Jeffrey A Winters, 1999, ibid., hal.115. 30 Inti gagasan "nationally integrated economic units" Panglaykim adalah membentuk "Indonesian Incorporated" yang menekankan pentingnya aliansi kuat antara negara dan modal. 31 Ian Chalmers, 1996, op.cit., hal.146 32 Gagasan ini pada intinya mewarisi "Rentjana Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun" dan memuat apa yang sebelumnya telah diupayakan oleh Soekarno masa Demokrasi Terpimpin. Chalmers berpendapat bahwa pengaruh ideologis "Indonesian Incorporated" bersumber dari interaksi antara elit-elit militer dan birokrasi dengan pusat politik diluar tubuh pemerintah ini, yaitu CSIS. Semula aksesnya kepada perumusan kebijakan sangat kecil, namun seiring dengan masuknya Ali Moertopo, Soehoed, dan Daoed Joesoef kedalam kabinet maka pengaruh politik lembaga ini pun mulai meluas. Pada tahap awal perkembangannya, lembaga ini tidak berhubungan dengan struktur pemerintah yang resmi, pada perkembangan berikutnya kelompok ini menjalin hubungan dengan pengusaha-pengusahapenting seperti Sofyan Wanandi (adik Kandung direktur CSIS Jusuf Wanandi). Melalui pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap proses pembuatan kebijakan ekonomi seperti Bappenas, lembaga ini akhirnya mempunyai kedudukan istimewa dalam sistim ekonomi dan politik Indonesia. Lihat Richard Robison, 1986, op.cit, hal. 146-149

Page 46: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

38

dari investasi asing. Implikasi logis pada tataran kebijakan yaitu adanya standar ganda berciri, di satu pihak munculnya kebangkitan pribumisme ekonomi dengan seruan pentingnya perlindungan industri menengah dan kecil milik pribumi yang semakin mengalami kemunduran, sementara dilain pihak, nasionalisme ekonomi integrasionis menekankan konsentrasi industri manufaktur dimana hanya perusahaan besar saja yang mampu berekspansi. Tujuan gagasan itu adalah menyiapkan Indonesia memasuki perubahan industrialisasi dari ISI yang sebagian besar didominasi perusahaan-perusahaan negara menuju pada strategi Industrialisasi Berorientasi Ekspor (IBE/EOI). Perubahan tersebut diarahkan sedemikian rupa untuk memperlunak dan menghadapkan modal asing pada ketiadaan pilihan dalam mengelola investasi selain mengikuti aturan permainan buatan aliansi antara kelompok-kelompok kapitalis Tionghoa, kapitalis-birokrat terdiri dari pejabat-pejabat birokrasi sipil dan militer33, teknokrat sebagai perencana kebijakan34, serta asosiasi-asosiasi pengusaha35 dalam rangka memperoleh proteksi dan monopoli proyek-proyek pembangunan.

Indonesia kembali memperoleh rejeki hasil minyak kedua setelah kejatuhan Pertamina di

bawah Ibnu Sutowo yang diiringi krisis anggaran keuangan yang dihadapi Indonesia. Keberuntungan ini dipengaruhi oleh fluktuasi politik dan ekonomi internasional yang antara lain ditandai dengan kemerosotan nilai dolar AS selama kurun waktu 1975-1978. Kemerosotan ini menyebabkan para anggota OPEC menaikkan harga minyak sebesar 15% pada bulan Desember 1978 untuk menggenjot upaya pembayaran hutang-hutang mereka. Kedua, kejatuhan Shah Iran pada pertengahan Januari 1979 membuat perubahan harga pasar minyak dunia tidak stabil dan kenaikannya fluktuatif dari 18 dolar AS per barel bulan Juni 1979 hingga 41 dolar AS per barel pada awal 1981.36 Meski periode boom minyak kedua ini sangat singkat namun dampaknya terhadap dinamika ekonomi politik Orde Baru tidak dapat diabaikan karena harga dasar minyak naik jauh lebih tinggi dibanding masa sebelumnya. Pada gilirannya kenaikan tersebut mendorong para pelaku-pelaku ekonomi dan politik di Indonesia menentukan kembali posisinya dalam mempengaruhi strategi pembangunan dan kontrol atas sumber daya tersebut. Pergeseran formasi tersebut terutama dilandasi oleh tiadanya krisis yang menguras sebagian besar sumber daya untuk mengimbangi krisis beras seperti yang terjadi pada periode menjelang boom minyak pertama.

Seusai pemilihan presiden tahun 1978 dan fase awal boom minyak kedua, posisi politik

Soeharto terlihat semakin menguat37 karena memberikan peningkatan upah bagi para anggota pejabat birokrasi dan militer, subsidi BBM bagi penduduk perkotaan, dan ekspansi ekonomi bagi para kelompok-kelompok kepentingan termasuk perusahaan-perusahaan milik pribadi atau yayasan milik para elit militer.38 Usaha itu dipandang sangat penting bagi performance pemerintahannya. Dalam GBHN tahun 1978, pemerintahan Soeharto memberikan prioritas pertama kepada distribusi kesejahteraan yang lebih merata, sementara dalam Repelita III

33 Antara kelompok bekas Asisten Pribadi (Aspri) dibawah Alamsyah Ratuprawiranegara dan Ali Murtopo dengan kelompok Sekretariat Negara dibawah Sudharmono. 34 Antara kelompok Bappenas dibawah JB Sumarlin dengan kelompok CSIS dibawah Jusuf Wanandi. 35 Misalnya HIPMI sebagai asosiasi yang mana anggota-anggotanya sebagian besar terdiri dari anak-anak pejabat baik sipil maupun militer, dan Kadin sebagai wadah berkumpulnya sebagian besar pengusaha-pengusaha pribumi hasil bentukan boom minyak pertama. 36 Lihat Jeffrey A Winters, 1999, op.cit., hal.167-168. 37 Penguatan posisi politik Soeharto antara lain ditunjang oleh akomodasinya terhadap kritik yang menentang pemilihan kembali dirinya jadi presiden RI untuk kedua kalinya oleh mahasiswa ITB dan UI tahun 1978 dan kemudian memanipulasi kritik itu demi kedudukan politiknya dengan memberlakukan kebijakan yang populis. Aktivis-aktivis UI dan ITB yang terlibat peristiwa 1978 itu sendiri ditahan. 38 John Bresnan, 1993, op.cit., hal.212

Page 47: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

39

pemerintah justru menampakkan wajah ambivalen sebagai wujud nasionalisme ekonomi yang terintegrasi. Ini berarti terjadi perluasan dan penyebaran pertumbuhan melalui masifikasi industri skala kecil yang menyerap tenaga kerja sementara dilain pihak mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi dan penambahan investasi, serta dipakainya teknologi tinggi yang padat modal. Kebutuhan untuk menyerap tenaga kerja dilakukan oleh industri pertanian dan industri skala menengah serta kecil namun ketika pasar membutuhkan tingkat ketepatan dan standar kualitas produksi maka hal itu dilakukan oleh industri manufaktur skala besar. Dengan kebijakan yang demikian maka dualisme ekonomi Boeke antara sektor modern dan tradisional yang awalnya berusaha dihilangkan oleh Soemitro Djojohadikusumo kembali dijalankan oleh para pendukung "Indonesian Incorporated" yaitu kapitalis Tionghoa, kapitalis-birokrat yaitu para pejabat birokrasi sipil dan militer yang berbisnis, para teknokrat, serta beberapa asosiasi pengusaha.

Tahun 1982 pemerintah mulai mengalami krisis anggaran akibat sisa beban persoalan

Pertamina dan semakin menurunnya harga minyak di pasaran dunia sehingga terpaksa memberikan perhatian pada sektor non-migas, penghapusan proteksi dan subsidi yang mendukung strategi IBE tersebut. Pencapaian IBE yang dijiwai oleh Indonesian Incorporated tentunya memerlukan investasi asing yang diharapkan dapat memberi kontribusi pada penerimaan negara berupa pajak.39 Namun perubahan perhatian itu secara perlahan dan pasti telah mengurangi subsidi-subsidi sehingga situasi ekonomi tidak hanya memberikan tekanan pada anggaran pemerintah namun juga masyarakat miskin di perkotaan.40 Padahal industri manufaktur yang dijalankan sebagai implementasi strategi IBE sangat memberatkan karena produk manufaktur menjadi lebih mahal dari produk impor yang serupa selain juga memperoleh subsidi dari konsumen berupa proteksi dan monopoli. Nantinya situasi inilah pada dekade 1980-an memunculkan kelompok-kelompok kapitalis baru yang dicirikan oleh keterlibatan hampir semua anak dan keluarga para pejabat Orde baru termasuk Soeharto dalam bisnis.

Tahun 1982 pasar domestik untuk jenis barang-barang tersebut di atas menurun drastis.

Sadar bahwa pencapaian IBE membutuhkan bahan mentah, teknologi, dan investasi modal yang tidak sedikit maka dilancarkanlah suatu program, yaitu Buy Indonesia oleh Ginandjar Kartasasmita, bagi negara-negara dan badan-badan kreditor agar membeli proyek-proyek pembangunan industri. Program tersebut menyediakan sektor-sektor yang dapat dimasuki oleh investasi asing. Penyusunan daftar proyek (DUK/DUP yang pada tingkat operasional menjadi DIK/DIP) termasuk barang-barang kebutuhannya yang dapat dibeli oleh negara dan badan kreditor seringkali penuh dengan cara yang manipulatif dan menjebak.41 Penyusunan itu didasarkan pada sektor-sektor yang berada dalam garis departemen dan daerah.

39 Pertumbuhan industri manufaktur sangat mencengangkan terutama pusat-pusat industri besar tumbuh dengan cepat seperti dikawasan Bekasi, Tangerang, Bogor. 40 Salah satu contoh tertekannya masyarakat miskin perkotaan adalah peristiwa Tanjung Priok 1984. Masalah utama peristiwa ini adalah pemotongan subsidi sehingga harga beras naik. Potensi krisis itu didukung dengan pembangunan terminal peti kemas bagi aktivitas ekspor barang yang menggusur pemukiman kumuh para kuli angkut. Kemudian masalah itu bertemu dengan sentimen-sentimen agama kelompok islam yang partisipasi politiknya dibatasi dengan diberlakukannya asas tunggal. Peristiwa ini juga menyertai turunnya pamor politik kelompok Ali Murtopo dan CSIS atas keterlibatan Pangab jenderal Benny Moerdani yang sangat dekat dengan kelompok CSIS. Dalam usaha mempengaruhi suatu kebijakan, kelompok ini berhadapan dengan kelompok Bappenas dan Sekretariat Negara. 41 Hal ini dapat diketahui dari awal penyusunan Daftar Usulan Proyek bagi badan-badan pemerintah dan departemen oleh Bappenas hingga disahkannya menjadi Daftar Isian Proyek. Dikatakan menjebak karena pengajuan DUP dilakukan tiga bulan setelah dimulainya tahun fiskal sehingga negara dan badan kreditor seringkali terpaksa membeli proyek-proyek tersebut. Ini menandakan buruknya proses tersebut.

Page 48: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

40

Dengan alasan pengendalian impor maka sebenarnya kebijakan tersebut telah memproteksi importir-importir yang kebanyakan dekat dengan lingkaran kekuasaan Soeharto dan Sekneg sehingga muncul monopoli impor. Alasan pengambilan kebijakan proteksi impor adalah karena adanya tekanan tarif impor tinggi yang ditetapkan oleh General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sehingga dikuatirkan akan merangsang maraknya penyelundupan. Disamping itu kebijakan proteksi dan monopoli diberikan agar importir-importir dapat mengakumulasi modalnya bagi ekspansi industri selanjutnya. Pada kenyataannya ekspansi industri skala menengah dan kecil tidak terjadi dan hanya industri besar saja yang mampu berekspansi, tentunya dengan bantuan patron-patron politiknya.42

Implikasi politik dari tekanan-tekanan dari stuktur industri yang tanpa kompetisi maka

makin menguatlah faksionalisasi politik antara dua kubu yang terus bersaing hingga kini. Faksionalisasi ini memunculkan pasang surut gelombang industrialisasi yang menekankan pada proyek-proyek industri skala besar. Faksionalisasi politik memunculkan dua kelompok besar yaitu kelompok pertama terdiri dari para teknokrat yang masih ingin mempertahankan penciptaan basis industri yang luas, mahal, dan berteknologi tinggi. Kelompok ini diisi oleh Menristek B.J Habibie. Ali Wardhana, dan JB Sumarlin beserta institusi BPPT dan badan-badan yang berhubungan dengan industri strategis. Sementara kelompok kedua terdiri dari para insinyur penganjur pasar bebas berorientasi ekspor. Kelompok ini diisi oleh Ketua BKPM Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Perindustrian, Hartarto Sastrosoenarto.43 Tampaknya kelompok yang kedualah yang mendapatkan kesempatan dalam mengambil inisiatif melihat kemampuan negara dalam mendukung strategi ISI menurun tajam. Kelompok ini mempunyai senjata ampuh untuk terus memaksakan strategi perekonomiannya dengan berlindung pada kemungkinan berlanjutnya krisis defisit anggaran.

Persaingan tersebut hingga tahun 1999 masih menampakkan bekasnya dimana masing-

masing kelompok terus menerus membangun patronase bisnisnya, tentunya dengan pengawasan Soeharto. Faksionalisasi politik tersebut terlihat misalnya kontroversi mengenai keberadaan para anggota kelompok insinyur dalam kabinet setelah Pemilu 1992. Kemenangan bagi kelompok insinyur Bappenas yang dimotori oleh Ginandjar Kartasasmita didukung oleh peran serta Soedharmono dan Tim Sepuluh yang berada di bawah kendali penuh Sekretariat Negara serta bertanggung jawab langsung kepada Soeharto. Sadar bahwa kekuatannya mulai memudar dan diiringi dengan persaingan para pembantu dekat Soeharto yang ingin tetap mempertahankan kontrol atas sumber daya ekonomi, maka Soeharto mengontrol mereka melalui peran politik anak-anaknya. Kontrol tersebut dibangun melalui sarana joint venture dan monopoli atas sumber-sumber daya ekonomi stragegis dengan menguasai industri manufaktur dan jasa dari hilir hingga ke hulu.

42 Kasus ini kiranya amat jelas sekali pada pelaksanaan proyek-proyek pembangunan dimana Tim Sepuluh dibawah Sekretariat Negara mengambil alih pengendalian impor sambil, disatu sisi, melakukan penyekatan terhadap pengusaha industri menengah dan kecil dari aktivitas impor skala besar. Di sisi lain, memperluas ekspansi korupsi berdasarkan garis vertikal yang meliputi BUMN, Departemen, dan ABRI, dan horisontal yang meliputi dana bantuan proyek. Penyekatan antara korupsi di tingkat menengah dan bawah dengan tingkat atas dilakukan melalui Tim Kordinasi melalui Dekrit Presiden 20/1981 sehingga mobilitas vertikal bagi ekspansi industri skala menengah dan kecil tidak terjadi. Perusahaan menengah dan kecil paling sering mengikatkan diri mereka kepada pemberian Tim Sepuluh dengan beroperasi sebagai sub-kontraktor bagi para pemain besar yang berhubungan dengan puncak sistem yaitu Soeharto, Sekneg, Tim Sepuluh, Kantor Pusat Kadin, dan kantor pusat Golkar. Sepak terjang Tim Sepuluh digambarkan dengan baik oleh Jeffrey A. Winters, 1999, op.cit, hal. 171-208 43 Lihat John Bresnan, 1993, op.cit, hal.260

Page 49: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

41

Disamping itu institusionalisasi korupsi melalui kekuasaan Tim Sepuluh44 yang terbentang dari garis daerah dan departemen juga telah merambah hingga garis kelembagaan seperti ABRI. Dengan mengontrol jaringan patronase hingga ke tingkat kabupaten, tim ini terus menerus berusaha menjadi pengimbang bagi kelompok-kelompok yang bersaing dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan daerah dan industri. Seiring dengan semakin menguat dan meluasnya jangkauan kekuasaan tim sepuluh ini terjadi pula perubahan arah patronase pada industri skala besar.

II.6 Periode 1986-1997 : Transformasi Patronase Individu Menuju Patronase Negara

Strategi Industrialisasi Berorientasi Ekspor yang dijiwai oleh gagasan “Indonesian Incorporated” Panglaykim menghasilkan struktur ekonomi yang ambivalen sehingga pada tingkat operasionalisasi bersifat dualistik. Sebagai wujud dari nasionalisme ekonomi yang terintegrasi, model tersebut di satu sisi, terjadi perluasan dan penyebaran pertumbuhan melalui masifikasi industri skala kecil yang menyerap tenaga kerja sementara dilain pihak mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi dan penambahan investasi, serta dipakainya teknologi tinggi yang padat modal. Kebutuhan untuk menyerap tenaga kerja dilakukan oleh industri pertanian dan industri skala menengah serta kecil namun ketika pasar membutuhkan tingkat ketepatan dan standar kualitas produksi maka hal itu dilakukan oleh industri manufaktur skala besar. Dengan kebijakan yang demikian maka dualisme ekonomi Boeke antara sektor modern dan tradisional yang awalnya berusaha dihilangkan oleh Soemitro Djojohadikusumo kembali dijalankan oleh para pendukung "Indonesian Incorporated" yaitu kapitalis Tionghoa, kapitalis-birokrat yaitu para pejabat birokrasi sipil dan militer yang berbisnis, para teknokrat, serta beberapa asosiasi pengusaha.

Langkah yang kemudian melahirkan dualisme terpaksa ditempuh dengan lahirnya Pakem

(Paket Enam Mei) 1986 yang bertujuan mendorong investasi dalam bidang industri olahan dan terutama mendukung produksi berorientasi ekspor.45 Isi dari Pakem 1986 ini menciptakan peluang bisnis antara lain46 : • Memungkinkan produsen yang mengekspor 85% dari total produksi menghindari pihak

importir atau agen tunggal dan langsung berunding dengan pemasok luar negeri. • Pembebasan pembayaran bea impor atas bahan baku yang dipakai bagi produksi ekspor • Penciptaan zona pengolahan produk ekspor untuk Jakarta (kawasan-kawasan industri). • Dibukanya peluang investasi asing terhadap 1.354 bidang (tahun 1985 bidang yang dibuka

baru mencapai 926 buah). • Perusahaan asing yang melepas 75% saham kepada pihak BUMN atau swasta Indonesia atau

51% ke bursa saham dalam masa 10 tahun akan mendapatkan hak istimewa yang lazim dinikmati perusahaan dalam negeri. Didalamnya termasuk hak kemudahan mendapat

44 Kekuatan politik atau “nyawa” dari Tim Sepuluh ini awalnya terletak pada Dekrit Presiden No. 14A/1980. Jangkauan tim ini kedalam lembaga non-departemental diperdalam sampai kepada pelaksanaan proyek-proyek daerah tingkat II, dan berfungsi sebagai lembaga penyaring (screening institution) bagi calon rekanan, serta menyeleksi mereka berdasarkan preferensi politiknya (pengusaha Golkar dan pengusaha non-Golkar) di daerah. Instrumen yang menghidupinya adalah Dekrit Presiden No.18/1982 dan No.20/1982. Keterlibatan tim ini dalam tahap pra-kualifikasi rekanan bagi proyek-proyek yang menggunakan dana luar negeri sebagai fungsi screening didukung dengan Dekrit Presiden No. 29/84. Sementara jangkauan terus diperluas dan diperdalam dengan keterlibatan mereka dalam pengendalian pembelian BUMN melalui Dekrit Presiden No.42/1980 dan ABRI melalui Dekrit Presiden No.40/1985. Tim ini juga mendapat dukungan dari Menko.Ekuin Kontrol melalui edaran MenkoEkuin S.095.M.EKUIN/1984 atas pengadaan yang menyangkut kredit luar negeri. 45 Kompas, 9 Mei 1986; Bisnis Indonesia, 10 Mei 1986; dan Tempo, 17 Mei 1986 46 Robison,1986, op.cit., hal 120

Page 50: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

42

pinjaman dalam rupiah, hak distribusi sendiri, hak menanam modal, dan hak melakukan akuisisi terhadap perusahaan nasional.

Apabila program ini ditangani dengan serius maka yang paling goyah adalah kelompok

yang berjaya pada masa boom minyak pertama dimana harta kekayaannya diperoleh melalui hubungan erat secara personal dengan elit politik. Kelompok ini umumnya bergerak dibidang industri manufaktur penghasil barang-barang konsumsi ringan dan menjadi importir tunggal. Pakem 1986 yang mengarah pada penghapusan monopoli terbentur oleh hubungan dan perlindungan politik antara jaringan bisnis elit-elit kapitalis-birokrat dengan pengusaha Tionghoa. Disamping itu perusahaan asing sering kali terpaksa membiayai saham mitra lokalnya yang sebenarnya cukup mampu memiliki modal investasi yang dibutuhkan. Faktor ketiga yang turut mempersulit pelaksaan program ini adalah infrastruktur yang buruk, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, suku bunga dan harga bahan baku yang sangat tinggi. Monopoli yang dihapuskan oleh peraturan tersebut baru sebesar 300-400 juta dollar dari seluruh nilai impor per tahun pada Oktober 1986. Sementara monopoli yang masih ada hingga akhir tahun 1986 tercatat senilai 1.500 juta dolar per tahun.47

Periode ini ditandai dengan perubahan dan perpindahan model dari patronase

berdasarkan individu menjadi patronase berdasarkan institusi seperti yang terjadi pada kasus terputusnya patronase kelompok Astra dari Ibnu Sutowo setelah ia jatuh dari Pertamina dengan mengaitkan jaringan kepada institusi seperti Departemen Perdagangan dan Perindustrian serta BKPM.48 Perubahan ini juga menandai berubahnya cara-cara beberapa kelompok politiko-birokrat dalam mengakumulasi modal dari sistim rente menjadi birokrat pengusaha. Dari perubahan cara ini juga dapat diketahui adanya tarik menarik antara lingkaran Ginandjar-Soedharmono dan beberapa kapitalis dalam negeri yang dekat dengan Soeharto dengan kelompok politiko-birokrat lainnya seperti militer. Cara untuk menghindari kontrol tim adalah dengan ikut sertanya para pejabat tertentu dengan perusahaan-perusahaan terpilih dalam menulis usulan proyek hingga hanya sebuah perusahaan yang memenangkan tender tersebut. Cara berikutnya yaitu dengan manipulasi impor barang-barang dengan membeli jenis barang yang sama dengan yang harus diimpor dari industri-industri manufaktur dalam negeri dimana industri tersebut merupakan hasil kebijakan relokasi Pakem 1986.

Jenis-jenis imbalan yang diperoleh pejabat-pejabat yang terlibat pembuatan usulan proyek

bervariasi mulai dari imbalan dana hingga jatah saham di dalam perusahaan tersebut. “Paket pensiun” pejabat-pejabat tersebut merupakan salah satu bentuk transformasi kelompok politiko-birokrat menjadi birokrat pengusaha. Dalam “paket pensiun”, pejabat-pejabat tersebut kebanyakan menempati posisi sebagai dewan komisaris atau dewan direksi baik di perusahaan swasta maupun negara. Jabatan komisaris di dalam perusahaan membuat mereka dapat terus mengeruk keuntungan, melalui jatah kepemilikan saham, tanpa terlibat langsung dalam jalannya roda bisnis perusahaan.

Krisis ekonomi tahun 1997-1998 di Indonesia merupakan titik puncak bagaimana

tekanan struktur industri yang sudah dibangun membutuhkan penghilangan hambatan-hambatan bagi mobilitas keluar masuk modal sehingga aspek pengendalian seperti proteksi dan monopoli terbatas bagi kelompok dalam lingkaran kekuasaan harus dihilangkan. Krisis tersebut terjadi

47 Robison, 1986, op.cit., hal 122 48 Yoon Hwan Shin, 1989, op.cit., 402-417

Page 51: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

43

karena hutang luar negeri swasta yang dijamin negara semakin bertumpuk, kacau balau dan rumitnya regulasi sektor keuangan, manajemen makro ekonomi yang buruk dan tiadanya mekanisme penangulangan krisis periodik, dan birokrasi yang korup, serta peran lembaga internasional yang over confidence terhadap pertubuhan ekonomi Indonesia menjadi faktor struktural penyebab krisis. Disamping itu tekanan lingkungan internasional dioperasionalkan melalui gagasan liberalisasi ekonomi dengan dorongan universalisasi nilai-nilai demokrasi sebagai pelindungnya turut menjadi faktor yang mengakselerasi krisis.

Di satu sisi, ketiadaan kelompok yang dominan akibat faksionalisasi politik untuk berebut

pengaruh Soeharto menjadikan situasi krirsis menjadi demikian cepat. Di sisi lain, melalui dinamika yang terjadi pada Pemilu 1992 dan 1997 membuat legitimasi pemerintahan Soeharto semakin memudar. Kombinasi yang kompleks dari faktor-faktor penyebab dan pendorong krisisi membuat Soeharto harus meletakkan jabatannya pada 20 Mei 1998.

Page 52: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

44

Bab III Korupsi Pada Sektor Pelayanan Publik Sebagai Warisan Orde Baru Bagian ini akan mendiskripsikan pola korupsi yang terdapat pada sektor pelayanan publik

seperti korupsi pengadaan dan instalasi listrik serta air minum, pembuatan SIM, dan pemungutan pajak. Ilustrasi terhadap pola yang terdapat pada korupsi bidang pengadaan dan instalasi listrik serta air minum akan memberikan gambaran pada kita mengenai bagaimana warisan sistim yang telah dibangun oleh Tim Sepuluh dari pusat hingga daerah tingkat II dan departemen dapat terlihat. Sementara ilustrasi terhadap pola pembuatan SIM akan memberikan gambaran bagaimana institusi kekerasan (sipil) negara di satu sisi, mempertahankan dominasinya terhadap sipil dengan menjadikannya kelompok penyangga kekuasaan polisi atas sumber daya hukum (melalui monopoli atas posisi penegak hukum sipil yang dipersenjatai) dan ekonomi (mengelola dana dan distribusi SIM). Di sisi lain, menjadikan institusi tersebut bertindak sebagai pengontrol atas jaringan-jaringan patron-klien yang berfungsi bagi keberlanjutan sistim korupsi serta akumulasi modal primitif. Kemudian ilustrasi terhadap pola pemungutan pajak akan memberikan gambaran bagaimana surplus dalam pemungutan pajak yang seharusnya digunakan untuk public saving sebagai sumber utama pembiayaan public investment dan pengeluaran rutin pemerintah tidak terjadi.

Menyajikan suatu pola korupsi yang memuaskan dan komprehensif pertama-tama sulit

dicapai mengingat kompleksitas institusi dan hubungan-hubungan yang melandasinya harus terus menerus dicermati disamping masih jauh dari jangkauan kami. Apabila kita ingin mencari lebih jauh bagaimana pola korupsi yang ada berhubungan dengan unit-unit lain dalam keseluruhan sistem maka kiranya deksripsi di bawah dapat menjadi titik tolak. Disamping itu tipe pola korupsi yang terdapat pada masing-masing sub-sistem institusi-institusi tersebut sangat beragam tergantung pada aspek-aspek teknis yang ditangani. Meskipun tidak dapat menampilkan pola dan tipe yang komprehensif namun pola dan tipe korupsi yang dideskripsikan di bawah adalah tipikal (khas) Indonesia yang jelas ditandai oleh marginalisasi peran atau partisipasi, dan pemisahan yang jelas antara masyarakat dari negaranya, serta mengisolasinya dalam tingkatan-tingkatan tertentu dari seluruh sistem pembuatan keputusan. Sehingga jaringan dan ikatan patronase di tingkat atas tidak tersentuh karena dilindungi oleh instrumen kebijakan yang bertujuan jangka pendek, berfungsi mengintegrasikan jalinan hubungan patronase, serta menyekat partisipasi kelompok menengah dan bawah agar tidak mengarahkan tuntutannya secara langsung kepada pusat kekuasaan melainkan hanya kepada kelompok-kelompok penyangga.

III.1. Deskripsi Korupsi Dalam Proses Pengelolaan Pembuatan SIM

Polisi merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang paling intensif berhubungan langsung dengan masyarakat. Tidak heran apabila penilaian masyarakat terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana mengacu kepada kinerja kepolisian. Polisi bukannya tidak menyadari hal tersebut. Sebagai public relation bagi sistem peradilan pidana, juga buat dirinya sendiri, sudah banyak cara dilakukan. Program-program seperti ''Polisi Sahabat Anak'', ''Si Polin'', dan lain-lain sudah gencar dilakukan, namun masyarakat masih saja melihat aparat kepolisian sebagai suatu institusi yang ''tidak menyenangkan'' untuk didekati. Sebagian besar masyarakat masih memiliki keengganan yang tinggi untuk terlibat dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan polisi.

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polisi sebenarnya juga tidak terlalu rendah, atau

Page 53: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

45

boleh dibilang biasa-biasa saja. Seperti terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Jurusan Kriminologi dan Majalah FORUM, di mana didapati bahwa sebagian besar responden di DKI Jakarta (43,9%) memiliki tingkat kepercayaan yang sedang terhadap polisi. Dari laporan penelitian tersebut juga terlihat adanya fenomena bahwa dalam persoalan-persoalan yang menyangkut penanganan kriminalitas, kepercayaan masyarakat DKI Jakarta masih cukup tinggi (56,1% responden menaruh kepercayaan kepada polisi dalam melakukan penangkapan). Namun dalam persoalan lainnya, seperti bahwa polisi mengharap imbalan, polisi bersifat memihak dalam penanganan kasus, masyarakat juga memiliki kepercayaan yang tinggi (46% dan 39,7%).1 Artinya, masyarakat juga memiliki pandangan yang negatif terhadap polisi walaupun masyarakat juga percaya kepada polisi dalam hal penanganan kejahatan.

Citra polisi di masyarakat yang sulit diubah tersebut tidak lepas dari persoalan historis

yang ada pada kepolisian Indonesia. Polisi di Indonesia memiliki sejarah yang berbeda dibanding polisi-polisi di belahan dunia yang lain. Polisi moderen di Indonesia dimulai ketika Belanda mulai menancapkan kuku imperialismenya di Indonesia. Sebelumnya polisi merupakan suatu satuan khusus yang melindungi kepentingan raja-raja, seperti halnya pasukan Bhayangkara pada jaman Majapahit. Setelah Belanda memperkenalkan sistem politik moderen di Indonesia, polisi berada di bawah kekuasaan pemerintah, dalam hal ini tentunya pemerintah Hindia Belanda. Kepentingan pemerintah Hindia Belanda adalah untuk mempertahankan modal yang dia tanam di Indonesia. Oleh karena itu polisi di jaman itu bertugas menjaga perkebunan dan pabrik-pabrik milik pemerintah Hindia Belanda.2

Setelah Indonesia merdeka, Kepolisian Indonesia dibentuk dengan tugas untuk menjaga

ketertiban di lingkungan masyarakat sipil. Namun posisi sipil tersebut tidak bertahan lama. Dengan adanya ambisi militer untuk terlibat dan berkuasa dalam sistem pemerintahan Indonesia, polisi ditarik ke dalam tubuh Angkatan Bersenjata Indonesia. Militer tidak menghendaki adanya kekuatan lain yang memiliki otoritas koersif (baca: punya senjata) berada di Iuar dirinya, sehingga pada tahun 1961 polisi resmi menjadi bagian dari militer/tentara.3 Logika militerisme pun berlaku di polisi, dengan seragam dan disiplin yang tidak kalah dengan tentara lainnya. Pendekatan yang diterapkan untuk menjalankan rust en orde pun juga dengan menggunakan pendekatan koersif. Polisi pada saat itu sudah sepenuhnya menjadi bagian dari aparat koersif negara.

Dalam perjalanannya, posisi polisi yang berada di bawah ABRI ini tentu saja membawa

persoalan baru. Sebagai ''adik bungsu'' di ABRI, polisi menjadi subordinat di depan ABRI dari angkatan darat. udara dan laut. Selain itu Dwi Fungsi yang otomatis juga dipegang oleh polisi menimbulkan konflik peran bagi polisi. Di satu sisi dia harus menjadi pengayom, pelayan dan pelindung masyarakat. tapi di sisi lain dia juga harus menjalankan peran sosial-politik, tentunya sesuai garis yang ditetapkan oleh panglima ABRI.

Dalam posisi struktural semacam itu, dalam tubuh polisi ada benih konflik peran ada

kalanya polisi harus menggunakan kekerasan. Pendekatan kekerasan ini menjadi persoalan yang besar dalam situasi di mana polisi berada di bawah ABRI. Padahal polisi berbeda dengan militer karena polisi bertugas melayani masyarakat. bukan berperang melawan musuh. Selain itu polisi

1 Adrianus Meliala (ed.) Quo Vadis Polisi, Jurusan Kriminologi UI dan Majalah Forum, Jakarta, 1996, hal. 105-135) 2 Suparno, Sedjarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik-Modern, Dephankam RI, Pusat Sedjarah ABRI, 1971, hal. 38-51. 3 Suparno, 1971, Ibid., hal. 45

Page 54: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

46

juga wajib melindungi hak-hak masyarakat berdasarkan hukum, bukan untuk menyerang dan menghancurkan. Militer di satu sisi memang harus selalu bertindak dan memberikan pelayanan atas nama negara, sementara polisi bisa memberikan pelayanan atas permintaan pribadi atau perseorangan.

Adanya perubahan sejalan dengan era reformasi di mana polisi dipisahkan dari

ABRI/TNI dan kemudian berdiri sendiri di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) belum memberikan perubahan substantif dalam Kepolisian Indonesia. Relasi dalam tubuh kepolisian masih bersifat hirarkis dan otoriter, konsepsi mengenai loyalitas yang sempit di mana laporan terhadap atasan bersifat ''ABS" (Asal Bapak Senang), serta penolakan terhadap nilai-nilai demokrasi (kritik dianggap sebagai pembangkangan), masih kuat dalam tubuh kepolisian.4 Konsepsi yang demikian tentunya tidak muncul dengan sendirinya karena "budaya negatif" Polri tidak hanya dibentuk oleh anggota Polri saja, tetapi merupakan hasil interaksi antara anggota Polri dengan anggota masyarakat.5

Dengan melihat persoalan historis dan struktural dari kepolisian di atas, Pemahaman

mengenai kinerja kepolisian Indonesia sebagai lembaga pelayanan publik, khususnya korupsi yang terjadi di kepolisian sebagai lembaga pelayanan publik bisa Iebih komprehensif. Dengan tetap mengacu kepada frekuensi dan intensitas interaksinya dengan masyarakat, maka menjadi signifikan untuk menilai posisi kepolisian sebagai Iembaga pelayanan publik melalui kinerja mereka dalam menangani pembuatan SIM. Dengan memfokuskan diri pada pembahasan mengenai pembuatan SIM bukan berarti korupsi-korupsi yang terjadi dalam kerja-kerja pemolisian yang lain seperti pengaturan lalu lintas, penindakan terhadap pelaku kejahatan, penerbitan STNK dan lain-lain dinafikkan.

Posisi polisi sebagai pelayan publik harus diakui masih banyak dipertanyakan. Secara

formal diakui bahwa pelayanan publik merupakan salah satu dimensi dari tugas polisi, bahkan konsep pelayanan tersebut merupakan aspek utama dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian lainnya. Namun kemudian konsep pelayanan tersebut berusaha dibatasi hanya pada penegakan hukum (law enforcement) serta keamanan dan ketertiban umum (Public order maintenance).6 Tugas-tugas lainnya yang dibebankan kepada kepolisian biasanya berkaitan dengan kedua tugas pokok tersebut, termasuk di dalamnya pembuatan SIM.

SIM (Surat Ijin Mengemudi) dibuat atau diterbitkan sebagai upaya kepolisian untuk

mengatur lalu lintas di jalan raya. Dengan melakukan ''seleksi'' terhadap kepemilikan SIM, diharapkan pengguna kendaraan memiliki kemampuan dan pemahaman yang cukup sehingga tidak membahayakan orang lain ketika mengemudi. Kepentingan masyarakat untuk berkendara dan kewajiban polisi untuk menjaga ketertiban, membuat polisi harus menyediakan sebuah mekanisme pelayanan bagi masyarakat yang memerlukan SIM.

4 Farouk Mohammad, Strategi Pengubahan Perilaku dan Budaya dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan POLRI, Makalah dalam Seminar "Menuju Budaya Pelayanan POLRI", 2 Februari 2000. 5Mayjend (Pol.) Drs. Bibit SR, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Masyarakat dan Perilaku Menyimpang Anggota POLRI, Makalah dalam Seminar "Menuju Budaya Pelayanan POLRI", 2 Februari 2000. 6 Mayjend (Pol.)Drs. Bibit SR, ibid., hal. 4

Page 55: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

47

III.1.1 Organisasi dan Pengelolaan SIM Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) secara struktural berada dibawah wewenang kepolisian

daerah dengan wilayah kerja administratifnya sejajar dengan Daerah Tingkat I atau Propinsi. Kepolisian daerah sendiri berada di bawah wewenang langsung Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) berpangkat Jenderal, sementara jabatan kepala kepolisian daerah dijabat oleh perwira tinggi berpangkat Inspektur Jenderal, sejajar dengan Mayor Jenderal dalam sistim kepangkatan militer. Kapolri juga membawahi Direktorat Lalu Lintas Polri (Dirlantas Polri) yang berwenang7 dalam melakukan pembinaan fungsi organisasi lalu lintas di seluruh Indonesia, khususnya dalam mengeluarkan regulasi-regulasi yang berkenaan dengan manajemen lalu lintas transportasi di Indonesia seperti Undang-undang Lalu Lintas No.14/1992. Direktorat ini kepalai oleh seorang direktur lalu lintas (Dirlantas Polri) berpangkat Asisten Inspektur Jenderal yang jabatannya sejajar dengan Wakil Kepala Kepolisian Daerah.8 Dalam jenjang kepangkatan militer, jabatan tersebut dijabat oleh seorang Brigadir Jendral. Namun wewenangnya secara operasional terpisah dari Ditlantas Polda dimana nantinya kita akan melihat bagaimana bentuk birokrasi yang gemuk berhubungan dengan pola korupsi didalam produksi Surat Ijin Mengemudi.

Keberadaan Polda Metro Jaya dengan wilayah pelayanan di ibukota negara sangat

diperlukan mengingat kompleksitas persoalan di Jakarta memiliki ciri tersendiri sebagai kota metropolitan. Wilayah pelayanan yang dicakup oleh Polda Metro Jaya relatif sangat luas karena terdiri dari wilayah administratif DKI Jakarta dengan lima kotamadya, ditambah dengan wilayah penyangga DKI yaitu Tangerang, Bekasi,dan Depok. Struktur organisasi Polda Metro Jaya yang relatif terpusat dan sejajar dengan birokrasi sipil menjadikan hidden structure berfungsi sebagai bentuk pengawasan negara terhadap kemantapan politik rezim otoriter-birokratik sebagai salah satu ciri negara otoriter-birokratik seperti Korea Selatan dekade 1980-an. Sentralistik dan tertutupnya organisasi model militer dalam mengatur alokasi sumber daya hukum, yaitu SIM, kepada publik sangat membuka peluang bagi munculnya korupsi. Berdasarkan studi awal yang dilakukan maka struktur kepolisian yang berhubungan dengan wewenang dibidang lalu lintas di tiap daerah tingkat satu, khususnya Polda Metro Jaya, dapat digambarkan sebagai berikut :

7 Wawancara, 19 April 2000 dengan Y. 8 Model jenjang hirarki kepangkatan ini sampai sekarang,dimana Polri secara struktural telah terpisah dari TNI, masih dipergunakan oleh Polri. Jenjang yang sama didalam struktur organisasi kepolisian daerah adlah Wakil Kepala Kepolisian Daerah atau Wakapolda (Wawancara, 19 April 2000 dengan Y). Model dalam struktur yang telah terpisah dari TNI secara simbolik dapat menunjukkan bahwa di masa transisinya “karakter” militeristik masih terdapat di dalam tubuh Polri. Apabila hal tersebut dapat dianggap sebagai kemungkinan maka hal yang kami kira juga patut mendapat perhatian didalam upaya reorganisasi Polri setelah berada dibawah kendali presiden secara langsung.

Page 56: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

48

KADITLANTAS POLDA METRO JAYA

SETDITLANTAS

SUBBAG OPS

SUBBAG REN

SUBBAG BINMIN

SAT PATWAL

SAT IDIK

SAT GASSUS

UNIT

UNIT

UR OPS

UR TAHTI

UNIT UNIT

UR OPS

SATLANTAS WIL METRO

BAGBINTIB LANTAS

SUB- BAGOPS

UNIT

BAGJIANMA LANTAS

SUBBAG JIANMAN

SUBBAG JIANMAN

SUBBAG JIANMAN

BAG REGIDENT

SUBBAG SIM

SUBBAG STNK

SUBBAG BPKB

SUBBAG SIM

Gambar 1 Struktur Kepolisian Yang Berhubungan Dengan Wewenang Dibidang Lalu Lintas Di

Tiap Daerah Tingkat Satu

Dari struktur organisasi Ditlantas Polda Metro Jaya tersebut di atas maka beberapa bagian yang terlibat langsung pembuatan SIM adalah Ditlantas Polda Metro Jaya, Bag Regident, dan Sub-Bag SIM. Keterkaitan ketiga bagian ini, maka hal ini berkaitan dengan masing-masing fungsi dan wewenang yang mereka miliki dalam pengelolaan pembuatan SIM. Tugas dan fungsi resmi ketiga bagian tersebut adalah9 :

1. Kadit Lantas Polda Metro Jaya.

Ditlantas Polda Metro Jaya dipimpin oleh Kepala Direktorat Lalu Lintas Polda (Kadit Lantas Polda) berpangkat Senior Superintendant, sejajar dengan Kolonel dalam kepangkatan militer, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas kewajibannya kepada Kapolda dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Wakapolda. Kadit lantas Polda Metro Jaya mempunyai tugas kewajibannya:

1. Mengajukan pertimbangan dan saran kepada pimpinan (Kapolda Metro Jaya) mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya.

2. Menjabarkan lebih lanjut kebijakan pelaksanaan Kapolda Metro Jaya dan membina fungsi teknis lantas pada tingkat Mabes Polri untuk menentukan arah bagi pelaksanaan fungsi teknis lantas sebagai bahan penyusunan program kerja Polda Metro Jaya serta sebagai pedoman bagi para pelaksana pada semua tingkat organisasi dalam jajaran Polda Metro

9 Vademikum Polisi Lalu Lintas, 1999, Cetakan I, Direktorat Lalu Lintas Polri

Page 57: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

49

Jaya. 3. Melaksanakan tugas berdasarkan program kerja Polda Metro Jaya petunjuk teknis

pembinaan fungsi Lantas, menetapkan rencana dan program kerja Ditlantas Polda Metro Jaya serta mengarahkan, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaannya guna menjamin tercapainya sasaran secara berhasil dan berdaya guna.

4. Memimpin Ditlantas Polda Metro Jaya sehingga terjamin pelaksanaan fungsi lantasnya. 5. Membina disiplin tata tertib dan kesadaran hukum di lingkungan Lalu Lintas Polda Metro

Jaya. 6. Berdasarkan kebijakan Kapolda Metro Jaya dan petunjuk teknis dari pembina fungsi yang

bersangkutan menyelenggarakan pembinaan dan administrasi personil, logistik dan anggaran/keuangan di lingkungan Ditlantas Polda Metro Jaya serta melakukan upaya untuk memelihara dan meningkatkan kemampuan operasional organisasi.

7. Mengadakan koordinasi dan membantu mengawasi serta memberikan pengarahan terhadap pelaksanaan fungsi teknis lantas oleh badan-badan lain di lingkungan Polda Metro Jaya sesuai dengan kedudukan serta batas wewenang dan tanggung jawabnya.

2. Bagian Registrasi Identifikasi Pengemudi dan Kendaraan Bermotor (Bagregident) Bagregident Ditlantas Polda Metro Jaya dipimpin oleh seorang kepala bagian yang disebut

Kabagregident berpangkat Assistant Superintendant, sejajar dengan Letnan Kolonel dalam kepangkatan militer. Bagregident adalah unsur pelaksana staf pada Ditlantas Polda Metro Jaya yang bertugas memberikan bimbingan teknis atas pelaksanaan kegiatan registrasi identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor di lingkungan Polda Metro Jaya serta menyelenggarakan kegiatan tersebut bagi seluruh wilayah DKI dan kegiatan administrasi yang dipusatkan pada tingkat Mapolda Metro Jaya. Perbedaan antara Kepala Satuan (Kasat) dengan Kepala Bagian (Kabag) terletak pada tugas-tugas yang ditanganinya. Apabila Kabag khusus menangani tugas-tugas administratif, maka Kasat bertanggung jawab atas tugas-tugas yang sifatnya operasional.10 Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut Bagregident:

1. Memberikan bimbingan teknis atas pelaksanaan kegiatan registrasi identifikasi pengemudi

dan kendaraan bermotor yang meliputi; SIM, STNK dan BPKB. 2. Menyiapkan rencana dan mengatur penyelenggaraan pengadaan serta pendistribusian

formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan registrasi/identifikasi termasuk bagi keperluan satua kewilayahan di lingkungan Polda Metro Jaya.

3. Menerima dan meneliti permohonan anggota masyarakat untuk memperoleh SIM, STNK dan BPKB.

4. Melakukan berbagai upaya untuk menjamin bahwa sarana identifikasi yang akan diterbitkannya dapat dipertanggung jawabkan secara formal maupun materiil.

5. Melakukan pengujian terhadap pengetahuan ketrampilan pemohon SIM untuk menjamin kebenaran, ketepatan materiil atas surat izin yang diterbitkannya.

6. Menerbitkan SIM, STNK dan BPKB untuk keperluan pemohon yang memenuhi persyaratan.

7. Melaksanakan kegiatan administrasi keuangan hasil penyelenggaraan kegiatan registrasi registrasi/identifikasi termasuk dari satuan lantas di lingkungan Polda Metro Jaya. Bagregident membawahi beberapa sub-bagian yang masing-masing dipimpin oleh kepala

10 Wawancara,7 April 2000 dengan W.

Page 58: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

50

sub-bagian berpangkat Assistant Superintendant, sejajar dengan Mayor dalam kepangkatan militer. Kasubbag bertanggung jawab atas tugas kewajibannya kepada Kabagregident. Bagregident terdiri dari:

1. Sub-bagian Surat Izin Mengemudi (Kasubbag SIM) 2. Sub-bagian Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (Kasubbag STNK) 3. Sub-bagian Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (Kasubbag BPKB) 4. Sub-bagian Administrasi SIM, STNK, dan BPKB (Kasubbagmin SSB).

Khusus untuk pengelolaan SIM, Subbag SIM membawahi bagian tata usaha dan urusan

dalam (Taud) yang berfungsi mengelola dan mengontrol pendapatan yang diperoleh dari pelaksanaan penyelenggaraan SIM. Kepala tata usaha dan urusan dalam (Ka. Taud) SIM ini biasanya dijabat oleh polisi berpangkat Senior Inspektur, sejajar dengan Kapten dalam kepangkatan militer. Kemudian tata usaha dan urusan dalam membawahi beberapa bagian yang berurusan dengan masing-masing tahap dalam proses pembuatan SIM yang dijabat oleh perwira urusan (Paur) berpangkat Inspektur Satu, atau Letnan Satu dalam kepangkatan militer. Masing-masing kepala urusan membawahi loket-loket dalam proses pembuatan SIM yang biasanya dipimpin oleh satu bintara dengan pangkat Kopral. Secara singkat struktur organisasi pengelolaan SIM dibawah Subbag. SIM adalah sebagai berikut :

Gambar 2

Struktur Organisasi Pengelolaan SIM di Bawah Subbag. SIM

Menurut informan11, penyatuan perwira urusan foto dengan produksi didasarkan atas

pertimbangan kurangnya perwira sehingga akhirnya tanggung jawab bidang tertsebut berada di bawah satu Perwira Urusan saja. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah jenis pekerjaan foto dan produksi dianggap tidak terlalu jauh berbeda jenis pekerjaannya, malah sangat berkaitan erat. Sementara posisi para pegawai negeri sipil-Polri (PNS-Polri) bertugas untuk membantu pelaksanaan administrasi penyelenggaran SIM. Berdasarkan data yang diperoleh pada kantor Satpas SIM di jalan Daan Mogot, jumlah petugas pada bagian ini terdiri dari 128 orang anggota

11 Wawancara, 7 April 2000 dengan W.

KASUBBAG SIM

KA. TAUD

PAUR Arsdok

PAUR Foto/Produksi

PAUR Uji Praktek

PAUR Uji Teori

PAUR Pendaftaran

LOKET LOKET LOKET LOKET LOKET

Page 59: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

51

Polri yang sebagian besar berpangkat bintara, pegawai negeri sipil (PNS) yang telah diangkat dan “diperbantukan” sebanyak 28 orang,dan pegawai harian lepas (PHL) sebanyak 33 orang, serta karyawan bantuan (Karban) dimana jumlahnya tidak bisa diperkirakan karena rekrutmen mereka dilakukan melalui kedekatan dengan petugas Polri yang tidak hanya terbatas pada anggota Polri dibagian Subbag Satpas SIM.

Posisi PNS yang "diperbantukan" dalam pengelolaan SIM di lingkungan Polda Metro Jaya

adalah posisi subordinat. Subordinasi PNS di dalam lingkungan Polda Metro Jaya telihat sekali didalam situasi kerja yang dialami oleh informan. Situasi ini dirasakan oleh W yang mengatakan :

“ Sebenarnya, kita yang sipil ini kedudukannya adalah mitra kerja Polisi, dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya untuk melayani masyarakat. Tetapi kenyataannya, justru pegawe-pegawe ini hanya berstatus sebagai pembantu polisi saja. Karirnya aja nggak ada sebenarnya PNS itu. PNS itu nggak bisa duduk di posisi-posisi job12 ini (Maksudnya para Paur, Kasubbag SIM, Kadit Lantas.pen).”13

Subordinasi ini turut mempengaruhi perubahan-perubahan didalam pola korupsi

pembuatan SIM terutama berhubungan dengan bagaimana reaksi para PNS ketika sistim pungli berusaha disentralisasikan dibawah satu bagian. Situasi kerja yang diskriminatif juga ditandai oleh tingkat kepastian dalam pemberian insentif yang berbeda antara petugas Polri dengan PNS-Polri.

“Dari segi kesejahteraan pun, sebenarnya PNS sangat berbeda dengan anggota Polri. Anggota Polri tidak hanya memperoleh gaji, tetapi juga memperoleh tunjangan, baik itu tunjangan jabatan maupun tunjangan makanan. Bahkan untuk Polwan, disediakan dana untuk make-up. Tunjangan tersebut diserahkan dalam ‘bentuk mentahnya’ saja, alias uangnya aja…”14

Pernyataan tersebut diafirmasikan oleh seorang perwira menengah yang masih aktif

dengan mengatakan :

“Lah iya. Mereka-mereka ini kan dipake cuma untuk nyari duit doang. Ibaratnya mereka ini mesin uangnya polisi. Jadi polisinya nyuruh mereka nyari duit, supaya mereka sendiri nggak ketahuan.”15

Subordinasi dalam kepastian jenjang karir dan diskriminasi dalam hubungan kerja

diharapkan oleh para PNS yang diperbantukan di kepolisian dapat berubah. Selama ini kepastian jenjang karir PNS-Polda masih dirasakan sulit terjadi apabila tidak didasarkan pada hubungan personal antara bawahan dan atasan. Keleluasaan diskresi dalam kebijakan karir dilingkungan Polda yang demikian akhirnya tidak memungkinkan impersonalitas berdasarkan kejelasan kriteria kenaikan jenjang karir. Hal ini antara lain dibuktikan dengan pengalaman W sendiri saat menjadi

12 Job itu adalah sebutan bagi jabatan pekerjaan yang dianggap strategis di kepolisian. Selain memperoleh pangkat, polisi juga bisa menduduki jabatan-jabatan, seperti kasubbag, kabag, kasat atau kadit. Yang menentukan siapa menduduki posisi mana, yaitu Kadit, Kabag, Kasat atau Kasubbag pada tataran kepolisian daerah adalah Kapolda. Jika memperoleh jabatan yang dianggap strategis maka kemungkinan untuk mempercepat kenaikan pangkat sangat besar. Oleh karena itu, jenjang karir atau job ini sangat diincar oleh setiap anggota Polri, sebab tanpa job, kenaikan pangkat hanya diperoleh berdasarkan proses yang ditentukan oleh waktu, misalnya dalam waktu sekian lama baru memperoleh kenaikan pangkat. Dengan demikian posisi Kasubbag SIM bisa saja diisi oleh orang-orang yang sebelumnya duduk sebagai Paur di subbag yang sama. 13 Wawancara, 7 April 2000 dengan W. 14 Wawancara, 7 April 2000 dengan W. 15 Wawancara, 7 April 2000 dengan Y.

Page 60: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

52

petugas dilingkungan Polri. Proses perekrutan informan sendiri hanya diminta menghadap langsung ke Kaditlantas. Saat itu, ia masih berambut panjang hingga melewati bahu. Kaditlantas, yang saat itu sudah dikenalnya dengan baik karena masih sering berkunjung ke rumah ayahnya, hanya berkomentar bahwa untuk bekerja di bagiannya rambutnya tidak boleh panjang hingga melewati bahu atau gondrong. Pada keesokan harinya, ia memotong rambutnya dan langsung diterima bekerja di bagian Lantas hingga sekarang.

Pembesaran birokrasi Polda melalui rekrutmen PNS-Polda yang diperbantukan selain

dimaksudkan sebagai mesin pengumpul dana bagi Polri dan para patron yang menjadi atasannya juga menunjukkan karakteristik birokrasi khas Orde Baru yang lamban, gemuk, serta berfungsi sebagai penjamin dominasi dan hegemoni negara dengan cara menyatukan mereka didalam struktur militer. Karakter militeristik yang bercampur dengan kultur feodal pun mewarnai proses bagaimana seorang bawahan dapat memperoleh jabatan dan jenjang karir. Dengan alasan seolah-olah kekurangan personil maka rekrutmen terhadap warga sipil dilakukan oleh institusi tersebut dimana hal ini membawah implikasi diberlakukannya rantai komando terhadap mereka.

"Oleh karena itu, jadinya PNS itu direkrut sebagai pembantu polisi. Tetapi pada akhirnya PNS pun setelah menjadi PNS-ABRI memiliki kewajiban yang sama seperti halnya prajurit, yah, harus patuh sama atasan. Makanya kemudian PNS menerima aja keadaan seperti ini…."16

Posisi PNS-Polda terutama yang berstatus Pegawai Honorer Lepas (PHL) dan karyawan

bantuan (Karban) terlihat sangat rentan karena mereka hanya terdaftar dibagian Satuan Penerbitan SIM (Satpas SIM), namun tidak memperoleh gaji dan tidak terdaftar secara resmi sebagai pegawai Polda. Upah PHL dan Karban diperoleh hanya dari proyek-proyek kecil17 yang dibuat oleh bagian tata usaha dan urusan dalam Subbag SIM sendiri atau para Perwira Urusan dan hasil usaha ‘nyalo. Sehingga pemecatan secara lisan dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila keberadaan mereka sudah tidak diinginkan atau dirasakan menyulitkan oleh atasan sebagai patron. Oleh karena itu jumlah para PNS dan PHL yang telah disebutkan di atas adalah jumlah yang ada hingga saat ini diluar pemecatan pada tahun 1998.

“Banyak di PHK waktu itu,waktu krismon-krismon’kan…Akhirnya begitu krismon kebetulan pimpinan sentimen ‘ama sipil, dibubarin. Seratus orang lebih tanpa pesangon apa-apa…Walaupun keberadaan mereka nggak makan anggaran, tapi’kan pimpinan (beranggapan.pen) seolah-olah itu anggarannya besar, gitu…Pasalnya, waktu dipecat nggak ada tanda-tanda. Tau-tau dikumpulkan, ‘kamu mulai besok jangan masuk kantor dulu sampai ada pemberitahuan lebih lanjut’…” 18

Disamping itu pemecatan dilakukan apabila pimpinan mengganggap bahwa si anak buah

dianggap menyulitkan bagi berlangsungnya keberadaan sistim korupsi yang telah terbangun dalam pengelolaan SIM. Sehingga apabila kritik dilontarkan maka penyelesaian masalah hubungan tenaga kerja dilakukan berdasarkan rantai komando tersebut seperti yang diungkapkan oleh W.

16 Wawancara, 7 April 2000 dengan W. Kalimat dicetak miring penekanan dari penulis. 17 Proyek-proyek kecil ini dicontohkan oleh W misalnya dengan pembuatan petunjuk simulasi tertentu yang dinilai dibutuhkan bagi pemohon SIM atau membuat fasilitas-fasilitas pendukung seperti ruang tunggu, tenda penutup panas matahari, dan lain-lain yang dana bagi proyek semacam itu dikeluarkan oleh Kepala Tata Usaha dan Urusan Dalam. Dana tersebut merupakan penyisihan hasil kutipan SIM yang digunakan bagi kas operasional Subbag SIM. Wawancara, 19 April 2000 dengan W. 18 Wawancara, 19 April 2000 dengan W

Page 61: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

53

“’Kamu maunya panjang atau pendek?’ gitu aja ngomongnya…yah, kita mau gimana lagi..Masa kita rela dipindahin dari SIM?! Ya, nggak dong..istilahnya pimpinan itu,’Kalo kamu keluar dari sini masih ada seribu orang yang bisa ngegantiin tempat kamu!’ Naah, gimana kita nggak jadi ciut. Mana ada yang mau pindah dari SIM. Bahkan kalo yang merasa terganggu itu Kadit Lantas, udah abislah kita. Itu itungannya kita bakal udah pasti dikeluarin dari Ditlantas. Entah ditempatin di mana, kek, yah sengsara kita jadinya. Jangankan Kadit Lantas, nggak usah jauh-jauh, Paur aja nih, kalo dia menilai ada bawahannya yang nggak patuh, dia bisa minta ke Kasubbag agar orang itu dipindahin dari bagiannya. ‘tolongin, deh, ini orang dipindahin aja, pokoknya jangan taro di bagian gue aja!’ gitulah ngomongnya. Ya, udah…”19

Setelah kita melihat sekilas bagaimana struktur organisasi pengelolaan SIM tersebut sangat

strategis, terutama bagi anggota polisi, maka kiranya kita juga dapat memahami bahwa proses pemisahan Polri dari TNI merupakan cerminan dari tarik menarik kepentingan yang terdapat di dalam tubuh institusi aparat kekerasan negara itu sendiri. Aspek sumber daya ekonomi yang sangat menguntungkan dan strategis menjadikan kontrol atas sumber daya merupakan hal yang patut dipertahankan oleh masing-masing pihak. Hal itu juga dipengaruhi oleh posisi TNI atas Polri yang selama ini dianggap dan disosialisasikan sebagai “saudara tua dari polisi”. Informan mengilustrasikannya dengan bercerita:

“Makanya sekarang ini ada pemisahan Polri agak bermasalah juga. Sebab mana mau mereka (TNI.pen) ‘ngelepasin Polri. Wong sumber dananya dari Polri! Itulah salah satu pertimbangan mereka nggak mau ngelepasin penghasilan dari SIM ini…Misalnya, timbul dana yang besar diluar APBN, ya diluar anggaran mereka secara legal itu, dari polisi! Makanya polisi mau memisahkan diri, mereka keberatan. Dari sana, ’Cairkan anggaran nih buat beli tank! Satu milyar!’ Ngomong ke Kapolri, ’Bantuin gue nih beli tank, duitnya satu milyar. Kirimlah 300 juta apa 400 juta’…Dari sana (anggaran negara.pen) udah ngucur, dari sini minta bantuan. Kalo digabung’kan lebih. Wong butuh satu milyar kok, ini ada satu koma tiga. Perintah turun ke bawah, ‘Eh Kapolda,tolong saya. Saya butuh duit 500 juta ’…Padahal butuh duit cuma 300” 20

Letak strategis SIM bukan pada kelangkaan sumber daya itu sendiri melainkan lebih pada,

pertama, aspek legalitas yang mendasari penggunaan kendaraan bermotor. Kedua, monopoli lisensi tersebut hanya dapat dipegang oleh aparat kekerasan negara yang langsung berhubungan dengan ketertiban kehidupan sipil yang dalam hal ini monopoli tersebut hanya dipegang oleh polisi. Penyerahan monopoli lisensi kepada swasta tidak dimungkinkan karena adanya wewenang untuk menjalankan fungsi penyimpanan data dan penyidikan atas sidik jari.21 Namun demikian kita akan melihat bahwa dalam proses dan pola korupsi, argumentasi tersebut sangat lemah karena sistim administrasi pencatatan SIM itu sendiri.

III.1.2. Pengelolaan dan Proses Produksi Surat Ijin Mengemudi

Surat Izin Mengemudi (SIM) adalah surat ijin yang harus dimiliki bagi setiap pengemudi

kendaraan bermotor di jalan raya. Sebelum memperoleh surat ijin tersebut, setiap pemohon SIM harus datang ke kantor Satuan Penerbitan SIM (Satpas) Ditlantas Polda di jalan Daan Mogot,

19 Wawancara, 11 April 2000 dengan W 20 Wawancara, 7 dan 19 April 2000 dengan W 21 “Fungsi penyidikan itu tidak bisa diserahkan kepada swasta atau orang sipil,karena ada kerahasiaan pemilik SIM yang harus di jaga dengan ketat.” Harian Merdeka, 27 Desember 1996.

Page 62: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

54

Jakarta Barat. Namun selain dilakukan di lokasi tersebut Polda juga mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan bagi masyarakat, khususnya yang ingin mengurus perolehan untuk SIM A dan SIM C dengan melakukan dekonsentrasi tempat pengurusan. Sehingga bagi mereka yang tinggal di wilayah Tangerang, Bekasi dan Depok dapat langsung mengurus SIM tersebut kepada masing-masing kantor kepolisian resort (Polres). Perbedaannya terletak pada pejabat Polri yang menandatangani SIM, apabila SIM dibuat melalui kantor Satpas SIM jalan Daan Mogot ditandatangani oleh Kaditlantas. SIM yang dikeluarkan melalui kantor Polres pada wilayah Tangerang, Bekasi, dan Depok ditandatangani oleh masing-masing Kepala Kepolisian Resort (Kapolres). Jadi seluruh proses mulai dari pendaftaran hingga hasil akhir dilakukan pada Polresnya masing-masing wilayah tersebut, kecuali pelaksanaan ujian teori dan praktek yang tetap berada di Daan Mogot.

Namun biasanya untuk pengurusan SIM ditingkat Polres itu memakai sistem kolektif

karena wilayah pelayanannya relatif lebih kecil dibanding wilayah pelayanan Subbag SIM Polda Metro Jaya sehingga kemungkinan anggota masyarakat yang mendaftar untuk mengurus SIM diasumsikan tidak sebanyak yang dilayani oleh Satpas SIM Daan Mogot.22 Akhirnya anggota masyarakat yang hendak memperoleh SIM harus menunggu terlebih dahulu hingga jumlah pendaftar dianggap sudah cukup banyak, kuotanya sekitar 20 orang, baru proses tersebut dapat dilaksanakan. Secara singkat struktur pengelolaan SIM dan kantor pelayanan yang berada dibawah Kabagregident adalah sebagai berikut :

Gambar 3

Struktur Pengelolaan SIM dan Kantor Pelayanan di Bawah Kabagregident Kemudian pemohon akan diminta untuk mengurus prosedur formal yang sudah

ditetapkan antara lain mulai dari pembelian formulir pendaftaran, ujian teori, ujian praktek, pengambilan identifikasi (pas foto dan sidik jari), hingga pemohon memperoleh surat ijin tersebut. Prosedur perolehan SIM diatur dalam tata cara memperoleh SIM diatur dalam Peraturan Pemerintah No.44/1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi pasal 217 hingga pasal 234.23 22 Wawancara, 7 April 2000 dengan W 23 Mohammad Irvan Olii, Percaloan SIM di Polda Metro Jaya, jurusan Kriminologi FISIP UI, skripsi S1 (tidak diterbitkan), 1998, hal.38-43.

Kabagregident

Kantor Pelayanan Subbag. SIM

Kantor Pelayanan Subbag. STNK

Kantor Pelayanan Subbag. BPKB

• Polda Metro Jaya • Bumi Serpong

Damai (BSD) • KodyaTangerang • Kodya Bekasi • Kodya Depok

• Polda Metro Jaya Khusus SIM A dan C dekonsentrasi di : • KodyaTangerang • Kodya Bekasi • Kodya Depok

• Polda Metro Jaya

Page 63: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

55

Persyaratan administratif yang umumnya harus dipenuhi oleh setiap pemohon SIM yang

tercantum dalam pasal 217 menyebutkan bahwa sebelum memperoleh SIM, pemohon harus mengajukan permohonan tertulis24, disamping itu dapat menulis dan membaca huruf latin, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai peraturan lalu lintas jalan dan teknik dasar kendaraan bermotor, kemudian memenuhi ketentuan tentang batas usia25, memiliki keterampilan mengemudikan kendaraan bermotor, sehat jasmani dan rohani, serta lulus ujian teori dan praktek. Sedangkan pemohon yang ingin meningkatkan golongan SIM, misalnya dari golongan SIM A menjadi SIM A Umum atau B I, terdapat beberapa syarat tambahan yaitu telah memiliki SIM sekurang-kurangnya golongan A bagi pemohon golongan B I, dan sekurang-kurangnya golongan B I bagi pemohon golongan B II. Untuk SIM A, B I, dan B II Umum, selain memenuhi persyaratan di atas juga memiliki pengetahuan mengenai pelayanan umum, jaringan jalan dan kelas jalan, tata cara mengangkut orang dan/atau barang.

Seperti yang diuraikan dalam pasal 219 dan pasal 220 terdapat dua macam ujian yang

harus dijalani oleh para calon pengemudi kendaraan bermotor. Dua jenis ujian tersebut terdiri dari, pertama, pengetahuan teori yang mencakup pengetahuan tentang peraturan lalu lintas, dan teknik dasar kendaraan bermotor, serta cara mengemudikan kendaraan yang baik di jalan. Secara lebih teknis, ujian teori terdiri dari:

1. Pelayanan angkutan umum; 2. Jaringan jalan dan kelas jalan; 3. Pengujian kendaraan bermotor; 4. Tata mengangkut orang dan/atau barang; 5. Tempat-tempat penting di wilayah domisili;

Kedua, praktek keterampilan mengemudi yang meliputi praktek keterampilan

mengemudikan kendaraan bermotor dan praktek berlalu lintas di jalan. Untuk itu, ujian praktek meliputi:

1. Menaikkan dan menurunkan penumpang dan/atau barang, baik di terminal maupun di tempat-tempat tertentu lainnya;

2. Tata cara mengangkut orang dan/atau barang; 3. Mengisi surat muatan; 4. Etika pengemudi kendaraan umum.

Selanjutnya, dalam pasal 222, diatur bahwa hasil ujian yang telah diikuti selambat-

lambatnya harus diumumkan tiga hari kerja setelah ujian dilakukan. Bila pemohon surat izin tidak lulus ujian maka dapat mengikuti ujian ulang dalam tenggat waktu minimal 7 hari dan selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak dinyatakan tidak lulus, tanpa mengajukan permohonan baru. Bila pemohon tersebut kembali dinyatakan tidak lulus, ia dapat mengikuti ujian ulang setelah 60 hari kerja sejak pemohon dinyatakan tidak lulus dan tanpa mengajukan permohonan baru. Kemudian 24 Pengajuan permohonan tertulis diatur dalam pasal 218 yaitu memuat detail data pemohon yang harus diisi dan surat-surat administrasi lain yang terdiri dari KTP atau salinan dari jati diri, yang minimal memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal tetap atau sementara; surat keterangan dokter yang menyatakan pemohon dalam keadaan sehat jasmani dan rohani; keterangan mengenai golongan darah; pas foto terbaru dari pemohon. Bagi pemohon untuk golongan pengemudi umum harus memberikan salinan surat izin mengemudi yang sesuai dengan golongan surat izin mengemudi umum dan bagi pemohon golongan B I berupa salinan surat izin golongan A, dan bagi golongan B II berupa salinan surat izin golongan B I. 25 Umur minimal adalah 16 tahun untuk SIM golongan C dan D, 17 tahun untuk SIM golongan A, 20 tahun untuk SIM golongan B I dan B II.

Page 64: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

56

dalam pasal 223 termuat bila pemohon dinyatakan lulus ujian, pemohon harus diberi SIM sesuai dengan golongan yang diminta dan diberikan selambat-lambatnya 1 hari setelah yang bersangkutan dinyatakan lulus.

Apabila ingin memperpanjang masa berlakunya SIM sebelumnya, maka dapat mengajukan

permohonan perpanjangan kembali kepada pelaksana penerbitan SIM tanpa keharusan mengikuti ujian teori dan praktek, dengan mengisi formulir yang ditetapkan serta melampirkan syarat-syarat yang tercantum dalam pasal 218 ditambah dengan SIM terdahulu yang akan diperpanjang. Namun jika masa berlaku SIM telah habis lebih dari 1 tahun, pemohon wajib mengikuti ujian teori dan praktek kembali. SIM yang telah diterima permohonan perpanjangannya harus diterbitkan selambat-lambatnya 1 hari setelah permohonan tersebut diterima dengan lengkap. Namun dengan alasan-alasan tertentu permohonan tersebut dapat ditolak oleh pihak pelaksana penerbitan SIM. Syarat dan kondisi serupa juga berlaku bagi pemohon penggantian SIM akibat hilang, rusak dan/atau tidak terbaca lagi. Misalnya dengan mengisi formulir yang ditetapkan dan melampirkan duplikat SIM terdahulu yang dimiliki atau surat keterangan dari kepolisian setempat, KTP/salinan jati diri dan pasfoto terbaru. SIM yang digantikan selambat-lambatnya diserahkan 1 hari setelah pengajuan permohonan atau permohonan tersebut ditolak pihak pelaksana penerbitan SIM.

Biaya pembuatan yang dikenakan kepada pemohon didasarkan pada SK Menteri

Perhubungan No. KM 75 tahun 1993 tentang Biaya Administrasi SIM. Biaya Administrasi yang harus dikeluarkan oleh seorang pemohon SIM adalah Rp. 52.500 untuk masing-masing golongan SIM.26 Di luar ketentuan formal ini, biaya resmi lain yang harus dibayarkan oleh pemohon SIM adalah uang asuransi Bhayangkara sebesar Rp. 10.000,- dan biaya tes kesehatan sebesar Rp. 2.500,-.

III.1.2. Prosedur Formal Pengurusan SIM

Tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses pengurusan SIM adalah:

1. Memeriksakan diri di klinik kesehatan dan mendapat surat hasil tes kesehatan. Biaya untuk tes kesehatan sebesar Rp. 2.500,-

2. Membayar biaya administrasi pembuatan SIM kepada bank yang ditunjuk sebesar Rp 52.500,-. Bank yang ditunjuk dan berada di lingkungan Polda Metro Jaya adalah Bank Internasional Indonesia (BII) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).

26 Misalnya pasal 1 memuat kategori biaya administrasi surat izin mengemudi yang meliputi: biaya administrasi surat izin mengemudi golongan A biaya administrasi surat izin mengemudi golongan B I biaya administrasi surat izin mengemudi golongan B II biaya administrasi surat izin mengemudi golongan C biaya administrasi surat izin mengemudi golongan D biaya administrasi surat izin mengemudi golongan A umum biaya administrasi surat izin mengemudi golongan B I umum biaya administrasi surat izin mengemudi golongan B II umum Pasal 2 yaitu penerbitan surat izin mengemudi pertama kali, perpanjangan dan penggantian, dikenakan biaya administrasi untuk masing-masing golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal I, sebesar Rp 52.500,- (lima puluh dua ribu lima ratus rupiah). Pasal 3 yaitu hasil pungutan biaya administrasi surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, adalah merupakan penerimaan negara. Pasal 4 yaitu tata cara tetap pelaksanaan pengaturan penerimaan hasil pungutan biaya administrasi surat izin mengemudi dan sistem serta prosedur administrasi diatur lebih lanjut oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 yaitu keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1993

Page 65: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

57

3. Membayar uang asuransi di loket asuransi, sebesar Rp. 10.000,-. 4. Mengambil formulir di loket pengambilan formulir dengan membawa tanda pelunasan

pembayaran administrasi. Formulir diisi secara lengkap dan ditandatangani sendiri oleh pemohon.

5. Formulir diserahkan bersama dengan ketiga resi bank, fotokopi KTP dan surat hasil tes kesehatan ke loket pendaftaran. Loket untuk urusan ini terbagi tiga, yaitu: pemohon baru (pertama kali), menuju Loket pendaftaran SIM Baru; pemohon untuk peningkatan golongan, menuju Loket peningkatan golongan; pemohon perpanjangan, menuju Loket Perpanjangan; pemohon penggantian akibat hilang, rusak, mutasi serta pemohon SIM Umum dan

Asing ke loket yang mengurus hal tersebut masing-masing. 6. Setelah dari loket pendaftaran pemohon dapat mengikuti ujian teori, yang setelah

dinyatakan lulus ujian teori, dilanjutkan dengan ujian praktek. Tahap ini diperuntukkan bagi kategori pemohon baru, pemohon untuk peningkatan golongan, pemohon perpanjangan SIM yang diharuskan mengikuti kembali ujian teori dan praktek karena masa berlakunya SIM telah lebih dari 1 tahun.

7. Apabila lulus ujian praktek, pemohon melanjutkan ke ruang identifikasi, untuk menjalani pengambilan foto, sidik jari dan tanda tangan dengan menunjukkan KTP asli.

8. Pemohon dapat mengambil SIM yang dimohonkan ke Loket Pengambilan SIM. Secara normatif, seluruh proses di atas minimal menghabiskan waktu 3 jam bagi

pemohon baru dan 1 jam bagi pemohon SIM perpanjangan, hilang, rusak, mutasi dan asing, dengan perincian. Perkiraan alokasi waktu seluruh tahap tersebut terdiri dari tahap :

1. Pembayaran bank dan asuransi selama 10 menit. 2. Melakukan tes kesehatan selama 15-20 menit. 3. Melakukan pendaftaran (mengambil, mengisi, dan menyerahkan formulir) selama 10-15

menit. 4. Ujian teori selama 60 menit. 5. Menunggu hasil ujian teori selama 15 menit. 6. Ujian praktek selama 30-45 menit. 7. Menunggu hasil ujian praktek selama 15 menit. 8. Melakukan identifikasi (foto, sidik jari, dan pembubuhan tanda tangan) selama 10 menit. 9. Dan, menunggu hasil produksi SIM selama 30 menit.

Singkatnya seluruh proses tersebut dapat dilihat dalam bagan dibawah ini.

Page 66: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

58

Gambar 4 Proses Permohonan dan Pembuatan SIM

III.1.3. Korupsi dalam Pengelolaan Pembuatan SIM

Pada bagian ini data akan dideskripsikan secara induktif dengan pertama kali menguraikan

mengenai percaloan mengingat pada lapisan inilah hubungan antara lembaga penerbit SIM dan pemohon diantarai. Kemudian deskripsi akan bergerak menggambarkan mengenai celah-celah yang memungkinkan praktek kutipan uang diluar biaya resmi terus dapat berjalan. Dari celah tersebut deskripsi akan dilanjutkan dengan aliran dana yang dikumpulkan oleh para calo dan petugas-petugas loket.

III.1.3.1. Percaloan

Berdasarkan observasi yang dilakukan di Satpas Sim Daan Mogot27, saat para pemohon

mendekati gedung Satpas biasanya langsung didekati oleh seseorang yang menawarkan jasa untuk mengurus SIM. Mereka yang menawarkan jasa tersebut berasal dari biro jasa28, calo perorangan, dan tukang-tukang ojek yang mangkal disekitar pintu masuk kantor tersebut. Sementara polisi dan PNS-Polri yang biasanya juga dapat diminta bantuan mengurus SIM hanya bersikap pasif dengan duduk bergerombol di bawah pohon yang terdapat di pelataran parkir muka gedung.

Banyaknya calo-calo disekitar kantor Satpas SIM, menurut W, disebabkan karena masih

adanya anggota masyarakat yang mengurus SIM tidak mempunyai kemampuan baca-tulis. Selain itu, tambahnya, masyarakat sebenarnya belum paham peraturan lalu lintas dan, yang ketiga, SIM sangat dibutuhkan karena berkaitan dengan mata pencaharian.

“Yah, sebenarnya inilah kelemahannya. Jadi ada masalah di masyarakat yang membuat calo-calo ini tetap ada, dan nggak bisa diberantas. Pertama, rata-rata masyarakat nggak semuanya itu intelek. Artinya tidak semua pemohon SIM itu orang yang sekolah, bisa baca tulis. Misalnya kaya sopir-sopir itu. Kedua, masyarakat sebenarnya belum paham peraturan lalu lintas…Orang baru akan menghadapi hal-hal berkaitan dengan peraturan lalu lintas justru saat ujian teori pas mau bikin SIM. Itulah makanya karena tidak tahu apa-apa tentang peraturan lalu lintas, sebenarnya masyarakat jadi tidak percaya diri. Kemudian yang ketiga, SIM itu sangat

27 Observasi, 22 Mei 2000 28 Jumlah biro jasa yang terdapat dalam daftar Taud Subbag SIM hingga tahun 1999 sebanyak 39 biro jasa.

PEMOHON DAFTAR UJI TEORI

LULUS

TIDAK LULUS Uji ulang setelah 1

minggu

UJI PRAKTEK

LULUS FOTO PRODUKSI SIM

TIDAK LULUS Uji ulang setelah 1

minggu

Page 67: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

59

dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat karena berkaitan dengan mata pencaharian. Misalnya tukang ojek, mau jadi supir bis atau supir truk, mereka kan perlu SIM, entah itu SIM A atau SIM B1 atau B2. Makanya akhirnya karena ketidakpercayaan diri tadi, dan mereka butuhnya cepat, mereka minta bantuan calo-calo itu. Jadi celahnya sebenarnya adalah memanfaatkan ketidakpercayaan diri masyarakat akibat ketidaktahuannya terhadap peraturan lalu lintas…makanya calo-calo itu ‘gak akan bisa ‘ilang,.. “29

Para calo yang mendapat order dari pemohon biasanya hanya bertugas meletakkan

berkas-berkas pemohon SIM ke dalam tiap loket. Ketidakpercayaan diri pemohon memang terjadi namun bila dibandingkan penyebabnya tampak ada perbedaan ketika salah seorang pemohon menyatakan bahwa saat dirinya tiba di kantor Satpas SIM, kondisinya sangat kacau balau karena para pemohon berkumpul hanya pada satu loket yang dibuka.

“Saya sendiri, karena melihat orang ramai begitu, dan kondisinya yang membingungkan karena ada banyak loket—padahal di depan itu ada, ya, saya udah liat ada papan yang menerangkan prosedur cara bikin SIM, gitu, tapi nggak jelas di mana dan bagaimana harus menjalani prosedur itu—mana tempatnya luaas lagi, akhirnya saya terima saja tawaran salah seorang dari mereka…”30

Selama 3 hari observasi, keberadaan mereka di kantor Satpas hampir selalu dapat kita

temui dan kenali, kecuali apabila pada kesempatan tertentu pihak Polda mengadakan razia calo. Apabila sedang dilakukan razia calo maka otomatis wilayah sekitar kantor Satpas menjadi sepi seperti yang terjadi pada saat observasi dilakukan. Namun razia terhadap calo tersebut tidak dapat menghilangkan praktek percaloan karena adanya jaringan yang telah mereka miliki di dalam lingkungan Polda. Kalaupun mereka dapat diusir sifatnya sangatlah sementara karena ketika dirasakan razia tersebut menunjukkan aktivitas yang rendah maka mereka akan kembali ke lokasi tersebut. Disamping itu keberadaan para calo juga dibutuhkan oleh lembaga penerbitan SIM di bawah Subbag SIM. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh W.

“Nahh..itulah percaloan sebenarnya susah untuk diberantas… Gimana ya, soalnya kan mereka kan jual jasa, dan itu nggak dilarang sama undang-undang. Makanya kemudian oleh pimpinan saya itu (Kasubbag SIM.pen) para biro jasa/calo itu kemudian didata. Jadi mereka dikumpulkan lalu diberitahu, ‘Oke, kalian boleh nyari duit di sini tetapi harus tertib!’. Dikumpulinnya juga nggak pake surat pemberitahuan atau pengumuman resmi, tapi yah didatengin itu satu-satu… Biasanya mereka tidak mau dibilang calo, mereka mengatakan bahwa mereka itu berada di bawah satu PT. Jadi biro-biro jasa itu memakai nama PT. Nah, kalo udah gitu kan nggak ada peraturan yang melarang mereka menjual jasa. Jadi calo-calo yang boleh beroperasi di sini adalah mereka yang udah punya surat ijin usaha. Sehingga begitu mereka kita datengin lagi dan mengatakan bahwa mereka adalah biro jasa, mereka harus memberikan buktinya, ya, surat ijin usaha itu."31

Para calo tersebut sulit dihilangkan karena sebagian dari mereka, terutama yang tinggal di

lingkungan sekitar kantor Satpas, adalah preman yang bekerja sebagai tukang ojek sekaligus calo. Keberadaan mereka selain menjadi calo juga membantu mengamankan lingkungan kantor Satpas,

29 Wawancara, 7 dan 11 April 2000 dengan W 30 Wawancara 26 Mei 2000 dengan J 31 Wawancara 7 April 2000 dengan W

Page 68: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

60

misalnya dari kerusuhan 13-14 Mei tahun lalu. Pihak Satpas SIM tidak mampu mengusir mereka oleh karena itu pihak Polda-lah yang melakukan pengusiran dan penangkapan mereka. Kenyataan ini diakui oleh W bahwa apabila dilakukan pengusiran mereka khawatir akan terjadi demostrasi dan penyerangan ke kantor Satpas SIM.32

Para calo dibutuhkan sejauh mereka tetap memberikan uang upeti kepada atasan dan cara-

cara mengakomodasi calo untuk tetap bekerja di lingkungan Satpas dilakukan secara berbeda-beda oleh tiap Kasubbag. Misalnya Kasubbag X memberikan rambu-rambu bahwa mereka boleh beroperasi di kantor Satpas asalkan para anak buahnya mendapat jatah dan upeti bagi pimpinannya lancar mengalir tanpa para calo tersebut harus melapor setiap hari. Sehingga apabila sewaktu-waktu pihaknya meminta sejumlah uang maka harus tersedia. Dengan adanya petunjuk demikian maka pegawai bawahannya dapat mengatur sendiri alokasi dananya dengan cara menghitung jumlah uang yang diperoleh hari itu kemudian dicatat dan disisihkan bagian yang harus disetorkan kepada pimpinan mereka. Selain itu cara mengakomodasi para calo adalah dengan meminta mereka melaporkan hasil yang diperoleh setiap hari. Cara lain yaitu mereka harus melapor tiap bulan kepada Kasubbag SIM tentang penghasilan yang diperolehnya.

Selain calo yang berasal dari biro jasa atau perorangan, calo lainnya adalah wartawan yang

tiap hari berada di lingkungan Polda. Informan W menyatakan kekesalannya kepada para wartawan tersebut karena sejak adanya sistim sentralisasi alokasi keuntungan yang mana dana hasil kutipan pemohon harus langsung disetorkan kepada Kaditlantas, mereka tidak lagi mendapat prioritas sehingga para wartawan yang ingin memperoleh SIM harus tetap membayar sesuai harga jasa yang dipaketkan.

“Wartawan itu…saya liat sebenarnya, dia nulis itu nggak bener-bener untuk menjadi suara rakyat. Asal tau aja, wartawan itu juga nyalo di sini. Jadi mereka manfaatin itu. Mereka kan di sini dapet prioritas. Artinya mereka itu nggak bayar kalo bikin SIM. Dengan keistimewaan itu, mereka lalu nyalo. Jadi uang yang dibayarkan sama orang yang bikin SIM itu masuk ke kantong mereka sendiri. Herannya itu kalo mereka nggak dituruti kemauannya, mereka langsung nulis di koran. Yah, kita juga jadi gimanaa…”33

Bila dibandingkan dengan para calo dari biro jasa dan perorangan, profesi mereka sebagai

wartawan dengan mudah bisa mendapatkan prioritas pembuatan SIM secara gratis dan juga mampu melindungi mereka dari operasi razia calo yang terkadang dilakukan Polda. Demikian pula dengan jenis calo lainnya yang terdiri dari petugas Polri dan PNS-Polri. Cara masing-masing petugas, baik Polri atau PNS-Polri, mencari uang tambahan diluar gaji tiap bulan beraneka ragam. Misalnya, sebelum dilakukan komputerisasi yang berfungsi menjadi calo hanyalah dari kalangan petugas polisi dan PNS-Polri. Mereka membagi pekerjaannya kepada petugas di tiap loket sesuai dengan tugas sehari-harinya dan mendapatkan imbalan dari tiap berkas SIM yang dikerjakan sebesar sepuluh ribu hingga duapuluh ribu rupiah. Cara petugas loket menghitung jumlah imbalannya yaitu dengan memberikan tanda tertentu pada setiap berkas SIM yang dikerjakannya. Keterlibatan petugas dalam praktek percaloan juga ditegaskan oleh seorang perwira menengah.

“Calo ini bisa dari petugas sendiri, bisa dari orang lain. Petugas, ya, jelas dong. Petugas itu kan nggak semuanya yang kerja. Nggak semuanya di loket, ada yang bagian Taud, dan ada yang dari

32 Wawancara 19 April 2000 dengan W 33 Wawancara, 7 April 2000 dengan W

Page 69: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

61

bagian lain…’Banyak calo, gue nyalo juga, ah!’ Temen-temennya juga banyak di situ. Misalnya gue di situ.. ‘Bang, tolongin, dong, Bang’—‘Oh,. boleh. lewat gue aja..cepek deh,’ ‘Oya, nggak pa-pa.. ‘ gitu, kan, nyalo dia..”34

Bagi calo yang status kepegawaiannya adalah sebagai karyawan bantuan, diterapkan sistim

magang sebelum ia memperoleh kesempatan menjadi calo. Status kepegawaian ini diisi oleh mereka yang sebelumnya menjadi pesuruh, tukang koran, petugas foto copy, atau tukang cuci mobil di lingkungan Polda terlepas apakah mereka mempunyai keahlian baca-tulis atau tidak. Kesempatan magang dan kenaikan status didukung oleh kedekatan mereka dengan para petugas dijajaran Polda. Artinya kedekatan hubungan yang dijalin oleh calon karyawan bantuan dengan petugas tidak selalu berasal dari Subbag SIM, banyak dari bagian lain yang juga “menitipkan” kliennya pada bagian Satpas SIM untuk memperoleh kesempatan menjadi calo. Lamanya proses magang pun relatif sangat panjang yaitu sekitar 5-6 tahun. Ada yang menganggap bahwa jabatan karyawan bantuan ini merupakan satu-satunya sumber mata pencaharian mereka, namun ada yang menggunakannya hanya sebagai batu loncatan untuk melakukan mobilitas sosial vertikal di luar lembaga penerbitan SIM misalnya seorang tukang cuci mobil yang menjadi karyawan bantuan akhirnya memperoleh gelar sarjana dari uang hasil nyalo.

Meskipun posisi PNS-Polri yang terdiri dari PNS, Pegawai Harian Lepas (PHL), dan

karyawan bantuan (Karban) tidak rentan terhadap razia calo yang sewaktu-waktu dapat terjadi, namun posisi mereka sangat lemah dalam kerangka hubungan industrial. Disamping sebagai kelompok yang paling dieksploitasi dan disubordinasi sebagai mesin pengumpul uang tanpa kepastian jenjang karir35, kelompok ini juga sangat rentan terhadap pemecatan secara tiba-tiba.36

Walaupun pengunaan jasa calo diharapkan dapat membantu kelancaran proses

pengurusan SIM namun pada kenyataannya harapan tersebut belum tentu terwujud. Misalnya informan J mengemukakan bahwa dia pernah menemukan pemohon yang menolak jasa calo karena tidak mempunyai biaya yang cukup untuk jasa calo, sementara ia sendiri menggunakan jasa calo. Yang terjadi justru pemohon yang mengurus sendiri lebih cepat selesai dibanding dengan SIM miliknya.

“Saya liat malah justru duluan dia selesainya daripada saya. padahal dia ngurus sendiri, lho. Itu, saya ikuti apa saja yang orang itu lakukan, prosesnya sama aja kok, kalo kita ngurus sendiri.. Yang saya nggak ngerti, yah, kalo emang ada bayaran ke petugas di dalem—kenapa prosesnya sama dengan yang ngurus sendiri gitu loh..berarti kan uangnya bisa buat dirinya sendiri semuanya.”37

III.1.3.2. Celah-Celah Korupsi Pada Proses Pengurusan SIM

Para pemohon yang melakukan pengurusan SIM umumnya dilakukan melalui perantaraan

para calo. Tiap calo biasanya menetapkan jumlah uang yang harus dibayarkan sesuai dengan paket yang mereka tawarkan dan biasanya para pemohon mengambil paket jasa dimana mereka tidak perlu melakukan ujian teori dan praktek. Kedua jenis ujian tersebut lebih dirasakan sebagai

34 Wawancara 19 April 2000 dengan Q. 35 Wawancara, 7 April 2000 dengan W dan Kapten Y 36Wawancara 19 April 2000 dengan W. 37 Wawancara 26 Mei 2000 dengan J.

Page 70: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

62

hambatan terutama apabila pemohon mengurus melalui prosedur resmi dengan biaya yang resmi pula. Artinya meskipun pada hari pertama hingga ketiga pemohon mengurus SIM melalui prosedur resmi namun pengalaman gagal dalam mengikuti kedua jenis ujian itu yang terjadi berkali-kali membuat pemohon harus mengambil pilihan dengan menggunakan jasa calo. Kemungkinan kegagalan itu diilustrasikan oleh perwira Q dengan mengatakan bahwa dari 100 pemohon, yang lulus hanya 35, sedangkan 65 pemohon lainnya gugur sehingga harus kembali lagi mengikuti ujian walaupun materi ujian menurutnya tidak sulit untuk dikerjakan.38 Jika pemohon memilih paket yang harus mengikuti kedua jenis ujian tersebut maka hal itu hanyalah formalitas.

Lulusnya pemohon dalam ujian teori belum berarti ia akan lulus dalam ujian praktek

terutama dialami oleh pemohon yang tidak memiliki mobil sendiri untuk melakukan ujian praktek.

“Ada juga masyarakat ini yang ingin memake kendaraan pribadi, kendaraan sendiri untuk praktek, gitu. Jadi tidak diharuskan, gitu. Jadi’kan rancu… kalo kita wajibkan mereka mnyewa kendaraan, mereka bersikeras, ‘Udah saya punya mobil, kok, saya pake mobil saya sendiri’. Kenapa? Karena peraturannya relatif. Soalnya kondisi kendaraan kan emang lain-lain. Kalo untuk praktek, namanya dipake banyak orang, ya bisa aja barangkali setelan koplingnya lain, harusnya lulus malah jadinya nggak lulus, gitu.”39

Keterpaksaan pemohon yang harus menggunakan jasa calo selain disebabkan

kegagalannya mengikuti ujian juga didukung oleh pertimbangan kerugian waktu yang harus dialami sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi mereka. Misalnya informan W yang menginformasikan pengalamannya :

“Tadi sekitar pukul 4, ada dua orang nggak lulus, ikut simulasi. Harus kembali seminggu kemudian. Deketin saya. nah, seperti yang tadi saya bilang, ‘Saya seminggu lagi ke sini lagi, ijin lagi, nggak bakalan dikasih saya kerja, Pak. Sementara SIM saya gimana nih nggak jadi-jadi mau diperpanjang. Tolonglah, Pak kasih kebijaksanaan..yaa, saya mau deh Pak ngeluarin duit 100 ribu lagi’. Jadi, mereka itu rugi sedikit nggak masalah, pertimbangan waktu. Mereka di swasta itu, nggak bisa sembarangan bisa ijin. Sementara imej mereka satu hari selesai, kan gitu. Sehingga ketimbang dia waktunya abis. Itu mungkin biayanya bisa lebih gede lagi. Buat ongkos bis, buat makan, sementara dia dipotong uang makannya oleh perusahaan.”40

Hal yang menyebabkan ujian teori menjadi tahap yang paling lama adalah lambannya

proses pemeriksaan hasil ujian teori. Pemeriksaan itu menggunakan mesin/komputer yang hanya berjumlah satu buah. Tentu saja ini membuat pemohon harus lama menunggu karena jumlah peserta yang berkisar sekitar 100-150 orang setiap gelombangnya.41 Sehingga one day service42 yang pernah diprogramkan oleh Kapolda sebelumnya yaitu Mayjend (Pol) Nugroho Djayusman tidak mungkin tercapai karena perbandingan antara sarana dengan jumlah pemohon sangat besar rasionya meski sudah dilakukan penambahan shift waktu kerja petugas. Hal ini juga ditegaskan oleh perwira Q yang menyatakan bahwa secara logika hal itu tidak mungkin dilaksanakan karena banyaknya jumlah pemohon yang mencapai angka rata-rata antara 2000 hingga 3000 orang per 38 Wawancara 19 April 2000 dengan Q. 39 Wawancara 19 April 2000 dengan W. 40 Wawancara 19 April 2000 dengan W. 41 Wawancara, 11 April dengan W 42 Harian Republika, 15 Juni 1998, dan Harian Media Indonesia, 13 Juni 1998

Page 71: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

63

hari.43 Faktor penghambat program one day service selain faktor sarana dan tahap ujian adalah tidak sinkronnya antara kebijakan yang dikeluarkan Kapolda waktu itu dengan UU Lalu Lintas No.14/1992 yang menyatakan bahwa pemohon harus tetap mengikuti kedua jenis ujian.

Disamping itu sistim administrasi SIM itu sendiri secara langsung dapat menjadi

penghambat pengurusan SIM oleh pemohon, terutama bagi pemohon perpanjangan SIM. Misalnya sistim dokumentasi SIM saat ini pada prinsipnya masih menggunakan sistim pencatatan lama secara manual. Sistim ini digunakan ketika pengurusan SIM belum menggunakan sistem komputerisasi. Artinya data penerbitan SIM diinventarisir dengan cara ditulis tangan karena tidak sedikit pemohon SIM yang hendak membuat SIM perpanjangan masih memiliki SIM yang lama karena lama sekali tidak pernah diperpanjang hingga SIM sudah berubah bentuknya. Atau jika bagi pemohon SIM hilang atau peningkatan golongan, ia tidak memiliki fotokopi SIM lama yang telah menggunakan sistem komputerisasi, ia dapat menyertakan SIM lama yang masih menggunakan teknologi sebelum sistem komputerisasi diberlakukan. Data dari SIM yang telah habis masa berlakunya kemudian dicocokkan dengan catatan manual di Taud. Cara pencatatannya adalah dengan mencatat nomor SIM, nama pemilik dan golongan SIM yang bersangkutan secara manual ke dalam sebuah buku, yang disebut Buku Ekspedisi atau Buku Kerja Harian. Setelah itu barulah data dimasukkan kedalam komputer dan hingga kini di ruang Taud Satpas SIM Daan Mogot, data tersebut masih tersimpan dengan baik.

Karena harus dicocokkan secara manual maka waktu yang dibutuhkan sangat lama dan

walau setelah dimasukkan kedalam komputer untuk dicetak data tersebut tidak disimpan di dalam sebuah pusat bank data yang memudahkan polisi dalam mengusut kasus, khususnya yang berkaitan dengan sidik jari dan foto. Contoh tersebut dapat ditemukan dalam tahap foto dan produksi SIM yaitu pemohon perpanjangan SIM harus tetap difoto kembali karena pada sistim komputerisasi tidak ada “program” (penyimpanan data foto.pen) untuk memuat foto pemohon. Artinya dalam file yang memuat data bersangkutan, tidak terpampang tampilan wajah, maupun sidik jari. Sehingga tidak mengherankan apabila sering ditemui kasus penggandaan kartu, dengan pemegang yang berbeda-beda.44

Untuk menghindari terbuangnya waktu karena pencocokan data dan kewajiban untuk

mengikuti ujian kembali bagi pemegang SIM yang masa berlakunya telah habis lebih dari satu tahun, serta syarat-syarat administratif lainnya maka pemohon perpanjangan SIM, khususnya pemohon yang bekerja sebagai supir, memanipulasi sistim tersebut antara lain dengan membuat surat keterangan hilang dari kepolisian setempat.45 Prosedur yang juga dianggap sebagai kendala bagi pemohon perpanjangan atau peningkatan SIM yaitu penahanan SIM lama tanpa diberikan surat keterangan resmi sementara yang berfungsi sebagai pengganti SIM yang ditahan.

“Ini mumpung saya inget… Dalam salah satu ketentuannya berkas itu ditahan di loket pendaftaran beserta SIM asli yang lama. Dalam berkas itu’kan SIM-nya juga ikut ditempel di situ. Naah, suatu saat karena peningkatan golongan, dia nggak lulus, di teorilah katakanlah. Dalam kondisi tersebut, SIM lamanya masih ditahan di Satpas Daan Mogot, sedangkan dalam waktu seminggu sebelum ia mengikuti ujian kembali ia harus tetap bekerja. Padahal ia tidak

43 Wawancara 19 April 2000 dengan Q. 44 Informan W mengilustrasikan kasus ini sambil menyebutkan bahwa ada supir-supir dari etnis tertentu yang memanfaatkan persamaan nama warga dalam melakukan penggandaan SIM. 45 Wawancara, 7 April 2000 dengan W

Page 72: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

64

memiliki SIM saat itu…”46

III.1.3.3. Aliran Dana dalam Jaringan Patronase Pada SIM Melalui skema struktur organisasi pengelolaan SIM di atas kita dapat melihat aliran dana

dari praktek korupsi dalam pembuatan SIM. Arah aliran dana tersebut akan menunjukkan pada kita bagaimana praktek korupsi dalam pembuatan SIM merupakan sarana dimana masing-masing kelompok berusaha mempertahankan kontrol atas sumber daya. Perubahan-perubahan dalam pengaturan alokasi sumber daya tersebut akan membuat berbagai kelompok yang terlibat berusaha sekeras mungkin untuk mempertahankan sistim alokasi yang menguntungkan mereka.

Aliran dana pertama-tama berasal dari konsumen yang menggunakan jasa calo dengan

jumlah yang berbeda-beda berdasarkan paket yang ditawarkan calo. Pada umumnya uang yang dikenakan pada pemohon berkisar antara jumlah Rp 150.000 hingga Rp 200.000 untuk sebuah SIM dimana bagian sebesar Rp 52.500 merupakan dana yang wajib masuk dan disetorkan kepada pihak PT CPP yang kini berubah menjadi PT PNSR, perusahaan milik Siti Hardiyanti Rukmana-puteri Soeharto. Sementara sisanya dialokasikan kepada tiap bagian yang terlibat dalam penerbitan SIM. Dalam aliran dana ini, masing-masing calo yang berfungsi menggantikan giliran antri pemohon memasukkan berkas-berkas ke tiap loket yang besar jumlah uang yang masuk ke tiap loket dan bagian bervariasi.

Tabel 5.

Perkiraan Rentang Harga/Paket Pembuatan SIM A,B,C 47 Kegiatan Rentang Harga Biaya SIM resmi Rp. 52.500,- Pembelian formulir Rp 5.000 Upah jasa pembelian formulir Rp 5.000-10.000 Upah jasa pengurusan SIM Rp 10.000-20.000 Pemeriksaan kesehatan Rp 3.000-7.500 Pemeriksaan mata Rp 10.000-30.000 Pemeriksaan Psikologis* Rp 10.000 Ujian Teori Rp 10.000-30.000 Ujian Praktek Rp 10.000-25.000 Sewa kendaraan Rp 5.000-15.000 Simulasi* Rp 20.000 Foto Rp 5.000 Pengambilan SIM Rp 2.000-3.000 Variasi rentang harga/paket Rp 147.500-233.000

*) khusus SIM umum Aliran berikutnya dimulai dari pengumpulan uang yang dikutip diluar “biaya resmi” dari

tiap loket oleh perwira urusan masing-masing. Sambil membandingkan dengan pencatatan jumlah berkas SIM yang telah dikerjakan oleh masing-masing anak buahnya, para perwira urusan melakukan pemeriksaan silang antara jumlah uang yang disetorkan dengan jumlah berkas yang dikerjakan. Masing-masing perwira urusan tersebut menyisihkan sebagian uang pendapatan kepada petugas pencatat di tiap loket. Rata-rata pendapatan tambahan yang diperoleh setiap

46 Wawancara 19 April 2000 dengan W. Hal yang sama juga dialami oleh A yang berprofesi sebagai pengemudi truk pabrik dalam mengurus perpanjangan SIM B1(Wawancara 23 Mei 2000). 47 Harian Media Indonesia, 14 Februari 2000

Page 73: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

65

petugas loket berstatus PNS-Polri sekitar Rp 100.000 per hari dan kepala loket bisa mendapat hingga sekitar Rp 250.000 per hari. Lalu sebagian pendapatan tersebut diserahkan kepada bagian tata usaha dan urusan dalam. Hasil pendapatan yang disetorkan kemudian dialokasikan oleh perwira Tata Usaha dan Urusan Dalam kepada Kasubbag SIM, dari Subbag SIM diteruskan kepada Kabagregident48, dan Kaditlantas sebagai pimpinan tertinggi yang berwenang dalam pengelolaan surat-surat kendaraan bermotor. Semakin tinggi jabatan maka upeti yang diperolehnya pun semakin besar, sebagai ilustrasi, misalnya seorang Kasubbag SIM bisa mendapatkan 5 juta rupiah per hari.49 Sistim alokasi upeti yang demikian dinyatakan oleh perwira Q:

“Bukan ada kemungkinan lagi, memang itulah sistemnya. Ada sistem sendiri. mungkin petugas loket ini ada Paur gitu, Ini yang ngumpulin. ‘Mana Lo, loket-loket sini..tep. Berapa uang terkumpul’, oh ini.. dari sekian gini, cross check OK. Dari sini semua, ke Kasubbag SIM, akhirnya..ke sini..(menunjuk ke skema Kasubbag SIM.pen) dari sini semua ke sini (ke skema Bagregident.pen), dari sini semua ke sini (menunjuk ke skema Kadit Lantas).”50

Sistim alokasi upeti dari jaringan calo kepada pejabat tinggi yang demikian menunjukkan

pertama, aktivitas pungutan di luar biaya resmi diketahui oleh mereka selaku pejabat berwenang. Kedua, jumlah nilai dari alokasi upeti yang demikian besar pada gilirannya akan merangsang para pejabat di Polda untuk turut mengontrol bagaimana akumulasi modal dapat tercipta. Singkatnya, upeti yang berasal dari pungutan diluar biaya resmi juga diatur melalui kebijakan atau perintah lisan melalui wewenangnya sebagai pimpinan institusi. Peran para pejabat Polda dalam menikmati pungutan dari masyarakat dilakukan dengan perintah tidak tertulis dibenarkan oleh Q maupun W.51 Bahkan Q menyatakan bahwa kondisi yang demikian sudah menjadi kultur dan penolakan terhadap sistim akan berakibat anggota-anggota dari jaringan klien kehilangan pekerjaan dan pendapatannya.52 Informan W mengilustrasikan garis perintah dalam memungut kutipan dengan membuat gambar seperti di bawah ini.

48 Uang yang masuk kebagian ini nilainya sekitar 50 juta rupiah per harinya yang dihitung dan dialokasikan kembali oleh ajudan Kabagregident. Wawancara, 7 April 2000 dengan Y 49 Wawancara 19 April 2000 dengan W. 50 Wawancara, 19 April 2000 dengan Q. 51 Wawancara, 7 dan 19 April 2000 dengan W, serta 19 April 2000 dengan Q. 52 Perlindungan atas budaya korupsi tersebut juga didukung oleh budaya militeristik terhadap mereka yang menolak perintah pimpinan.

Page 74: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

66

Gambar 5 Garis Perintah dalam Memungut Kutipan

Disamping setoran kepada pimpinan, bagian tata usaha dan urusan dalam juga mengalokasikan pendapatan kedalam dua jenis kas.53 Jenis kas yang pertama adalah kas Subbag SIM dan kedua diperuntukkan bagi kas dana cadangan operasional. Jenis kas yang pertama diperuntukkan bagi kebutuhan yang berhubungan dengan operasional penerbitan SIM seperti pembuatan papan-papan petunjuk proses SIM, alat tulis kantor, pemasangan pesawat telepon, membayar rekening listrik dan telepon Subbag SIM, hingga pembuatan penambahan dan pemeliharaan fasilitas seperti pembuatan kantin. Sedangkan jenis kas yang kedua dialokasikan mulai dari kegiatan operasional Polri seperti biaya makan pasukan anti huru-hara Polri, pengoperasian truk untuk mengangkut penumpang apabila terjadi aksi mogok kendaraan umum, pembelian onderdil mobil operasional Polri, hingga kepentingan pribadi pejabat dan para kroninya seperti pembelian ban mobil pimpinan dan pembiayaan golf para pimpinan. Alokasi dana tersebut juga dipergunakan untuk mensubsidi biaya penerbitan SIM bagi kategori pemohon SIM yang diprioritaskan seperti keluarga/kerabat/handai taulan para pejabat tinggi berikut serta wartawan.

“Kamu liat kan waktu baru datang ke Satpas sana. Itu di kantor Kasubbag, buat yang keluarganya jenderal, pimpinan...nah, kalo mereka tuh nggak bayar, malah kemungkinan pulangnya disangu’in (dibekali.pen) sama Kasubbagnya. Nah, wartawan juga kebanyakan kaya gitu…”54

Agar jumlah nilai yang dialokasikan tidak berubah karena adanya subsidi bagi kategori

pemohon SIM yang diprioritaskan maka upaya tiap Kasubbag dalam mempertahankan jumlah nilai alokasi tersebut berbeda-beda. Misalnya dengan cara menambah loket khusus yang diperuntukkan bagi orang asing yang pasti membayar biaya pengurusan SIM Rp 700.000 – Rp

53 Wawancara, 11 dan 19 April 2000 dengan W. 54 Wawancara, 11 April 2000

masyarakat 2

1

Keterangan: 1 gambar panah yangmenunjukkan tindakan pungutanSIM terhadap masyarakat. 2 protes masyarakat terhadappolisi

Loke

Kasubbag SIM

Kabagregiden

Kaditlanta

Kapolda

Page 75: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

67

800.000 lebih tinggi dari masyarakat umum, atau mewajibkan pemohon SIM membeli buku pedoman ujian SIM seharga Rp 6.000 yang terbitkan sendiri oleh Subbag SIM.

Aliran berikutnya adalah aliran dana yang berasal dari biaya SIM resmi yang alokasinya

dilakukan oleh PT PNSR yaitu dengan pembagian 92,38% 55 dari Rp 52.500 yaitu Rp 48.499,5 masuk ke kas PT CPP. Sisanya sebesar Rp 4.000 disetorkan ke kas negara sebgai penerimaan administrasi SIM. Dari nilai ril berdasarkan prosentase sebesar Rp 48.499,5 PT CPP mengalokasikan Rp 11.000 sebagai pendapatan Polri yang disebut dengan Dana Operasional SIM (DOS). Dana Operasional SIM di alokasikan kepada dua institusi yaitu Mabes Polri dan Polda sebesar Rp 4.500 dan Rp 6.500.56 Dana untuk Mabes Polri dialokasikan kembali dengan pembagian Mabes Polri sendiri memperoleh Rp 2.000, Mabes TNI sebesar Rp 500, Dirlantas Polri sebesar Rp 1.000, dan Induk Koperasi Polisi (Inkopol) sebesar Rp 1.000. Adanya perbedaan tipe kepolisian daaerah juga membuat alokasi keuntungan yang diperoleh menjadi berbeda-beda. Untuk Polda Metro Jaya sebesar Rp 6.500 dialokasikan kepada Kapolda sebesar Rp 3.000, Kaditlantas sebesar Rp 2.000, dan Kasubbag SIM sebesar Rp 1.500. Lalu untuk Polda yang tidak memiliki struktur organisasi kepolisian wilayah (Polwil) dialokasikan dana sebesar Rp 1.500 sebagai jatah Kapolda, dan Rp 1.000 untuk Kaditlantas, serta Kapolres sebesar Rp 4.000. Sedangkan Polda yang memiliki struktur organisasi kepolisian wilayah dialokasikan dana keuntungan sebesar Rp 1.300 untuk Kapolda, Kaditlantas sebesar Rp 700, Kapolwil Rp 650, Kapolres mendapat Rp 2.000, Kasatlantas Polres sebesar Rp 1.500, dan institusi Polwil sebesar Rp 350.

Berdasarkan klasifikasi sistim alokasi dan nominal keuntungan tersebut di atas maka dapat

dilihat bahwa sistim alokasi tersebut didasarkan pada masing-masing tipe kepolisian daerah yang dikombinasikan dengan tingkat partisipasi tiap bagian yang bertanggung jawab langsung atas proses akumulasi modal. Tampaknya semakin sentralistik struktur organisasi yang mengatur pengelolaan SIM maka alokasi keuntungan yang diperoleh tiap bagian yang bertanggung jawab langsung atas pengelolaan SIM cenderung semakin besar. Misalnya nilai upeti bagi pejabat tinggi Polda Metro Jaya lebih besar dari pada nilai upeti yang diperoleh pejabat tinggi pada kedua tipe Polda lainnya. Nilai upeti tersebut dimungkinkan mengingat pengelolaan penerbitan SIM bagi masyarakat 8 kotamadya dipusatkan di Polda Metro Jaya. Pada kedua tipe Polda lainnya pengelolaan penerbitan SIM lebih tersebar pada masing-masing kepolisian resort di tingkat kabupaten suatu propinsi.

Berdasarkan data dibawah, pihak Polri selama 9 tahun terhitung sejak 5 Oktober 1992

hingga 31 Januari 2000 telah menerbitkan 24.809.155 buah SIM di seluruh Indonesia. Sementara dengan jumlah penghasilan bagi PNSR setelah dikurangi alokasi DOS menjadi sebesar Rp 37.499,5, dengan demikian selama 9 tahun diperoleh pendapatan sebesar 930.330.907.922,5 rupiah, dan kas negara hanya memperoleh 99.236.620.000 rupiah, dan Mabes Polri memperoleh jumlah sama diluar DOS yang telah dialokasikan untuk Mabes TNI.

55 Harian Kompas, 30 Mei 1998. 56 Harian Suara Pembaruan, 19 Agustus 1998. Bandingkan dengan Surat Menteri Keuangan 12 April 1993 kepada Kapolri tentang peninjauan ulang atas kewajaran investasi pengelolaan SIM model baru dengan tembusan kepada Wakasrena Polda Metro Jaya yang diminta untuk meninjau ulang kontraknya dengan PT CPP sambil menyarankan untuk membentuk Tim Pengkajian Ulang Adendum Perjanjian Kontrak. Surat tersebut juga menyinggung agar Kapolri juga bersiap-siap mengikuti aturan keuangan negara penerimaan yang baru, namun hingga kini keadaan tersebut tetap tidak ada perubahan antara sistim penerimaan keuangan Polri dengan sistim penerimaan keuangan negara.

Page 76: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

68

Tabel 6 Hasil Produksi SIM Kepolisian Republik Indonesia Oktober 1992 s/d 31 Januari 200057

Hasil Produksi SIM Bulan 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Jan - 168.503 227.421 232.895 244.350 111.070 283.186 224.985 281.341 Feb - 235.868 288.204 208.792 210.981 193.166 301.035 232.086 - Mar - 231.909 271.767 216.295 292.165 295.759 361.326 269.173 - Apr - 282.582 295.916 232.442 275.333 265.326 315.146 249.673 - Mei - 231.959 283.155 332.324 245.240 290.446 291.684 271.695 - Juni - 297.179 279.249 300.420 290.500 296.480 299.855 256.501 - Juli - 344.312 277.342 240.361 244.345 285.340 336.521 310.647 -

Agust. - 305.005 379.016 300.504 225.452 390.340 331.591 330.004 - Sept - 311.202 273.121 212.327 280.325 370.322 344.807 336.453 - Okt 140.532 372.622 261.429 363.824 358.778 361.780 336.748 284.152 - Nov 160.437 246.432 268.572 330.322 336.594 375.324 280.234 260.135 - Des 150.084 323.447 190.584 376.835 311.691 397.165 282.105 344.656 -

Jumlah 451.053 3.351.020 3.295.776 3.347.345 3.315.754 3.632.518 3.764.188 3.370.160 281.341 24.809.155 Bila dibandingkan antara kualitas sarana dan prasarana sistim komputerisasi yang

disediakan oleh PT PNSR dengan model aliran dan pengalokasian dana yang timpang seperti di atas terlihat bahwa pertama, kerja sama dengan pihak swasta, terutama yang dekat dengan sumbu kekuasaan, tidak selalu menguntungkan institusi (ekonomi) negara. Kenyataan tersebut dimungkinkan mengingat bahwa pada tahun 1992 ketika kontrak kerja sama komputerisasi SIM dilakukan, intervensi kekuasaan politik secara informal terhadap kinerja institusi negara sangat kental guna merapatkan proses patronase negara yang sebelumnya telah dibangun antara pejabat-pejabat yang menjadi klien dengan pemegang kekuasaan pemerintahan yaitu presiden Soeharto sebagai patron utama. Kedua, intervensi politik informal Soeharto dalam menentukan pejabat-pejabat dilingkungan birokrasi negara, khususnya kepolisian. Pada taraf ini hubungan patron-klien yang terjadi adalah suatu model yang secara tidak langsung membentuk hubungan “Ali-Baba”. Pada gilirannya penempatan tersebut memberikan imbal balik berupa konsesi pemanfaatan lembaga birokrasi kepolisian guna memaksimalkan akumulasi modal bagi PT CPP sebagai institusi ekonomi privat.58 Sehingga pada tahun 1993 hingga 1997 ikatan antara institusi ekonomi swasta dengan kepolisian semakin mantap dan memungkinkan jalinan patronase tersebut semakin kuat dimana kedekatan antara kelompok-kelompok politik, ekonomi, dan birokrasi memunculkan fenomena “konco jenderal”. Fenomena ini menandai berubahnya cara-cara beberapa kelompok politiko-birokrat dalam mengakumulasi modal dari sistim rente menjadi birokrat pengusaha yang dimulai dari proses ikut sertanya para pejabat tertentu dengan perusahaan-perusahaan terpilih dalam menulis usulan proyek hingga hanya sebuah perusahaan yang memenangkan tender tersebut.

Jalinan tersebut dalam kasus SIM diperkuat dengan pembentukan PT PNSR sebagai

transformasi dari PT CPP untuk meneguhkan jalinan tersebut sambil menghindari resiko popularitas PT CPP yang menurun pada tahun 1998. Peneguhan jalinan tersebut dilakukan pada tahun 1995, dua tahun sebelum kontrak pertama antara pihak swasta dengan Polri berakhir. Popularitas PT CPP digugat sepanjang bulan Mei hingga Juli 1998 karena kontrak kerja sama 57 Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Direktorat lalu Lintas. 58 Kolonel (Purn) Adang Rismanto, yang pernah menjadi salah satu anggota tim negosiasi, mengatakan bahwa nilai uang yang “diinvestasikan” oleh PT CPP sebesar Rp 101 miliar dengan masa kontrak lima tahun, padahal seharusnya untuk dua tahun. Dengan biaya sedemikian besar maka investasi PT CPP tersebut bisa kembali dalam waktu satu tahun. “Investasi” PT CPP dilakukan dengan cara menggunakan fasilitas Polri yang sudah ada dan setelah mengumpulkan dana dari pembuatan SIM selama beberapa bulan, pihak swasta baru mendatangkan sebagian komputer guna mengelola SIM. Biaya tersebut menurutnya juga harus dibedakan antara daerah “yang kaya” dengan “yang miskin”. Pendapat tersebut membawa konsekuensi dikeluarkannya Adang Rismanto dari tim negosiasi. Lihat Merdeka, 3 Juni 1998 dan Suara Pembaruan, 3 Juni 1998

Page 77: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

69

antara Polri dengan swasta yang merugikan masyarakat terus dipertahankan.59 Tahap akhir dari ikatan patronase ini munculnya fenomena “jenderal sipil” yang menunjukkan suatu proses penguatan ikatan patronase sebelumnya dimana para pejabat Polri yang telah memberikan sumbangan bagi suksesnya penguatan ikatan tersebut memperoleh kedudukan didalam perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini membuktikan bahwa “paket pensiun” pejabat-pejabat tersebut merupakan salah satu bentuk transformasi kelompok politiko-birokrat menjadi birokrat pengusaha. Dalam “paket pensiun”, pejabat-pejabat tersebut kebanyakan menempati posisi sebagai dewan komisaris atau dewan direksi baik di perusahaan swasta maupun negara. Jabatan komisaris di dalam perusahaan membuat mereka dapat terus mengeruk keuntungan, melalui jatah kepemilikan saham, tanpa terlibat langsung dalam jalannya roda bisnis perusahaan.

Kedua, sistim alokasi keuntungan dari biaya resmi tersebut dan didukung oleh produk

hukumnya seperti UU Lalu Lintas No.14/1992, SK Menteri Perhubungan tentang harga pembuatan SIM, serta kontrak kerja sama menunjukkan adanya penyekatan (buffering) antara keuntungan yang diperoleh swasta dan para petinggi kepolisian dengan pejabat menengah kepolisian dan para calo. Bentuk penyekatan tersebut terlihat dari tiadanya perincian pemanfaatan biaya yang dikenakan kepada pemohon SIM dimana jumlah nominal pembuatan SIM “secara resmi” sebenarnya sangat jauh di atas biaya produksi riil, sementara itu biaya tambahan masih harus dikeluarkan oleh pemohon untuk mendapatkan jasa para calo. Penyekatan ini berfungsi untuk menjamin keberlangsungan proses dan kontrol atas akumulasi modal dengan institusi sebagai patron, dipertahankannya ikatan hubungan patronase dengan individu pejabat tinggi kepolisian melalui kerangka institusi, dan terhindarnya kelompok ini dari tuntutan masyarakat. Sebaliknya, ikatan hubungan antara para calo dengan pejabat menengah kepolisian sangat lemah dan labil karena sifatnya sangat individual tanpa diikuti perlindungan dari institusi sehingga kontrol atas proses akumulasi modal sewaktu-waktu dapat hilang. Pada titik ini razia calo merupakan salah satu instrumen yang dipergunakan kelompok pertama dalam menata kembali sistim dan mengaitkannya kepada sistim korupsi yang lebih luas.

Satu-satunya model yang tetap menjaga seluruh ikatan jaringan patronase ini adalah sistim

desentralisasi pungutan dimana kelompok kedua diberikan kebebasan mengutip jumlah uang pengurusan SIM dari para pemohon. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pertama, setiap anggota jaringan dalam setiap lapisan dapat bersaing satu sama lain dan turut berpartisipasi dalam memperoleh keuntungan dari sumber daya yang ada. Implikasinya adalah relatif tingginya potensi konflik horisontal baik antara sesama anggota jaringan maupun dengan masyarakat. Kedua, sistim tersebut mampu menutup kemungkinan terganggunya sistim korupsi dari kelompok diluar jaringan yang dapat dilihat dari banyaknya variasi biaya yang berbeda-beda dalam pengurusan jenis SIM yang diantarai para calo. Sehingga sulit untuk mengestimasikan secara tepat berapa jumlah keuntungan yang diperoleh tiap bagian dalam transaksi riil yang terjadi. Selain itu banyaknya variasi keterlibatan berbagai macam kelompok kecil dengan pola hubungan patron-klien yang tidak terbatas hanya dibagian Subbag SIM juga dapat menggambarkan kemampuan sistim tersebut. Sistim dan karakternya yang terdapat di Polda Metro Jaya ini belum tentu dapat ditemukan dan diberlakukan ditempat lain walaupun wilayah kewenangan Polda tersebut memiliki tingkat perekonomiannya yang relatif sama tingginya dengan Jakarta .

Upaya merubah sistim tersebut menjadi sentralistis akan menggoyahkan kelompok kedua,

terutama para calo yang berasal dari biro jasa dan perorangan. Selain itu pemberlakuan sistim 59 Lihat Merdeka, 29 dan 30 Mei 1998; Suara Pembaruan, 2 Juni 1998

Page 78: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

70

sentralisasi pungutan secara terbuka dinilai membawa implikasi terbukanya seluruh kompleksitas sistim yang dibangun sebelumnya, dengan demikian juga membuka peluang goyahnya sistim tersebut oleh keterlibatan pihak luar. Intervensi langsung para pejabat tinggi Polri dalam mencegah kegoyahan sistim dengan melakukan pengawasan ketat dan razia calo merupakan bentuk nyata upaya penyelesaian masalah secara cepat sambil menjadikan kelompok kedua sebagai kambing hitam. Fungsi kelompok kedua ini adalah sebagai kelompok penyangga (buffer group). Menurut W60, pejabat kepolisian tersebut mencangkokkan sentralisasi pungutan dengan cara membuat “paket baru” dan memusatkan pengurusannya hanya pada satu loket berdasarkan sistim pungutan SIM dari tempat kerja sebelumnya. Loket-loket lainnya dilarang menarik pungutan dan seluruh jumlah pendapatan yang diperoleh hari itu langsung dilaporkan kepada Kasubbag, kemudian Kasubbag akan meneruskannya kepada Kaditlantas. Setelah sampai kepada Kaditlantas, seluruh jumlah pendapatan tersebut baru kemudian dialokasikan untuk para pimpinan dan bawahan setiap minggu seusai hari kerja ke-5.

Banyaknya anggota dalam jaringan yang harus mendapat jatah alokasi keuntungan

menyebabkan mereka yang sebelumnya tidak berpartisipasi dalam proses dan kontrol akumulasi modal memperoleh jatah upeti yang sama dengan mereka yang berpartisipasi aktif. Padahal dengan sistim desentralisasi, keuntungan yang tinggi mudah didapatkan oleh mereka yang berpartisipasi aktif. Akibat diberlakukannya sistim sentralisasi, para anggota jaringan calo seperti kelompok PNS-Polri melakukan perlawanan dengan memperlambat kerja sehingga jumlah pemohon dan SIM yang diterbitkan hari itu menurun drastis. Lalu tindakan perlawanan dari sebagian calo wartawan yaitu dengan membuka informasi kepada publik tentang sistim pungutan tersebut. Intervensi para pejabat tinggi di atas merupakan kelanjutan dari cara perlawanan yang dilakukan oleh para calo wartawan.

Pasangan-pasangan yang terlibat dalam hubungan transaksi itu memahami dengan cukup

baik apa yang diharapkan dari masing-masing pihak dan mengetahui bahwa syarat-syaratnya tidak akan berbeda secara mencolok antara waktu yang satu dengan yang lain. Dari kasus SIM, misalnya suatu instruksi Kasubbag SIM kepada para calo yang mengatakan,

“Ya, udah sekarang terserah kalo kamu mau cari duit di sini. Asalkan ingat, kasih itu anak buah. Pokoknya jangan sampai ada yang nggak kebagian. Terserah mau kayak gimana caranya…Tapi yang penting, inget, buat setoran ke atas harus tetap ada. Kamu ‘nggak perlu melapor sama saya setiap hari. Jadi kalo sewaktu-waktu nanti saya minta pokoknya uang itu harus ada..”61

Singkatnya, tipe pola korupsi dalam pengelolaan pembuatan SIM dapat diringkas dalam

tabel di bawah ini. Tipe pola korupsi yang terdapat pada tabel ini dapat dibaca apabila kita kembali mengacu pada tipe korupsi Alatas yang sekilas telah diuraikan pada bagian awal. Penggunaan dua tipe korupsi Alatas dalam mengkategorikan tipe pola korupsi tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa perubahan-perubahan tipe korupsi mungkin saja terjadi sebagai tahap dimana tindakan yang dikategorikan sebagai tipe korupsi dipandang sebagai antecedent atau perantara bagi munculnya tipe korupsi lainnya.

60 Wawancara, 11 April 2000 dengan W. 61 Wawancara 11 April 2000 dengan W. Penekanan dari peneliti

Page 79: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

71

Tabel 7 Tipe Pola Korupsi Pengelolaan dan Penerbitan SIM Polda Metro Jaya

No Cakupan Bidang Kegiatan Tingkatan Manajemen Tipe Pola Korupsi Kerja Sama Swasta Tinggi a.Patronase Institusi secara

transaktif lewat pencurian aset. b.Suportif

Personalia a.Menengah b.Bawah/operasional

a.Nepotis-Investif lewat suap b.Suportif

1 Internal

Pengurusan SIM Menengah a.Patronase Individual secara ekstortif lewat upeti. b.Suportif

2 Eksternal Pengurusan SIM Bawah/operasional Ekstortif-Autogenik lewat pungutan liar

Dalam proses kerja sama dengan swasta terjadi korupsi yang bersifat suportif yaitu

korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi, di mana mekanisme yang korup semakin dilanggengkan bahkan diperkuat dengan adanya kerja sama dengan pihak swasta. Tipe korupsi yang sama juga terjadi pada level proses rekrutmen dan pengurusan SIM. Sistem yang hirarkis turut memberi andil dalam tipe suportif ini, karena upaya untuk saling melindungi sebagai sebuah korps sangat besar.

Dalam proses rekrutmen dan relasi antar pegawai juga terkadi korupsi yang bersifat

nepotis-investif, yaitu selain pemberian kemudahan untuk masuk dalam struktur pengurusan SIM berdasarkan kedekatan-kedekatan tertentu juga dengan kebutuhan jangka panjang yang memang memiliki prospek bagus di lingkungan pengurusan SIM ini. Di tingkat internal pengurusan SIM, juga terdapat tipe pola korupsi patronase individual secara ekstortif, di mana seorang bawahan harus memberikan “upeti” kepada atasannya setelah memperoleh pemasukan dari SIM.

Masyarakat sebagai pengguna jasa SIM ini juga menjadi korban ketika ada unsur

pemaksaan untuk memberikan dana tambahan ketika memperoleh SIM dan juga karena mekanisme mengenai pengurusan SIM ini hanya dipahami oleh para calo dan petugas kepolisian, sehingga dalam relasi ini terjadi korupsi yang bersifat ekstortif-autogenik.

III.2 Deskripsi Korupsi Pada Sektor Perpajakan

Kompleksitas dan tingkat korupsi pada sektor pajak sangat tinggi karena terkait dengan berbagai macam jenis pungutan pajak, prosedur-prosedur teknis, dan lembaga yang berwenang memungutnya. Pajak secara umum dapat dibagi dalam dua jenis pajak, yaitu pajak pusat dan daerah.62 Pajak pusat terdiri dari pertama, yang dipungut Dirjen Pajak Departemen Keuangan, yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bea Materai dan Bea Lelang. Ditingkat daerah, Dirjen Pajak membawahi Kantor Wilayah Pajak (Kanwil) dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kedua adalah pajak yang dipungut Dirjen Bea Cukai Departemen Keuangan. Ketiga yaitu pajak atau pungutan ekspor diadministrasikan oleh Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan. Sementara pajak daerah adalah pajak yang dipungut propinsi, kabupaten dan kotamadya berdasarkan Perda.

62 Lihat Tjahjono dan Husain, Perpajakan, edisi pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1997, hal. 9

Page 80: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

72

Pemungutannya biasa dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Reformasi pajak tahun 1984 mengakibatkan restrukturisasi prosedur dan saluran

pengumpulan pajak. Hal ini memunculkan perlawanan dari para aparat pajak. Para petugas yang terlibat dalam pengumpulan pajak merupakan bagian yang paling tidak berkenan karena perubahan itu menggerogoti kemampuan mereka dalam menggelapkan sumber daya masyarakat bagi kepentingan pribadi mereka. Hal ini yang kiranya menjelaskan mengapa dana yang dialokasikan kepada pemungut dan pemeriksa pajak menjadi lebih besar. Selain itu karena regulasi yang ruwet dan tiadanya kerangka dasar untuk pemeriksaan internal termasuk peraturan profesi yang diberlakukan bagi petugas pajak sendiri, maka biasanya tahap auditing adalah kesempatan dimana petugas pajak memberlakukan kebijakan pribadinya. Penggelapan sumber daya dari masyarakat dilakukan dengan mengikuti garis kewenangannya dapat dikatakan semakin merajalela.

III.2.1. Personalia

Pola pertama adalah korupsi yang terjadi dalam bidang personalia, yaitu yang

berhubungan dengan masalah kepegawaian, seperti rekrutmen dan penempatan. Klitgaard menyebut praktek korupsi personalia ini sebagai jual-beli jabatan.63 Jenis ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang. Jenis ini dapat dilakukan melalui mekanisme sogokan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan.

Menurut Informan A,64 seorang pegawai yunior Dirjen Pajak, korupsi sudah dimulai sejak

dari orang baru mulai bekerja, tahap pelatihan/training, sampai ketika sudah benar-benar bekerja ditempatkan di kantor-kantor pajak. Informan A memberikan contoh pengalaman dirinya yang setelah diterima di Dirjen Pajak kemudian mengikuti training di Jakarta secara terpusat. Program training ini menurutnya berfungsi sebagai batu loncatan bagi pegawai baru untuk memperoleh kedudukan di “kantor pajak yang basah” atau di “kantor pajak yang kering” dan daerah penempatan, di Jakarta atau di luar Jakarta. Penempatan di kantor-kantor tersebut selain didasarkan pada cara suap juga tergantung pada nilai dan prestasi ketika traning dan on the job training di kantor pra-penempatan. Oleh karena itu untuk mendapatkan nilai bagus, peserta training harus memberi sesuatu kepada dosen-dosen mereka. Informan A menceriterakan bahwa pemberian tersebut diantaranya berupa uang, tetapi yang lebih banyak adalah pemberian berupa barang. Menurut pengamatannya, setelah itu orang-orang yang melakukan praktek semacam itu mendapatkan nilai yang tinggi.

Setelah selesai masa pelatihan, para pegawai baru ini ditempatkan di berbagai kantor pajak

di Jakarta, sambil menunggu penempatan tetap. Penempatan ini menurut Informan A bermacam-macam, ada yang ditempatkan di kantor pemeriksaan, kantor penyuluhan, kantor pusat, dan kantor-kantor lainnya yang berada di bawah wewenang Dirjen Pajak. Informan A sendiri ditempatkan sementara di sebuah KPP di Jakarta Timur. Selama di kantor tersebut para pegawai baru ini dirotasi ke berbagai bagian, terkadang ia juga ikut dalam tim pemeriksa. Jadi rentang waktu antara pra-penempatan hingga penempatan tetap digunakan untuk mensosialisasikan metode kerja yang akan dihadapi dan harus dilakukan oleh seorang petugas pajak nantinya.

63 Lihat Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 26 64 Informan A ini adalah seorang sarjana baru yang belum ada satu tahun bekerja di Dirjen Pajak. Informasi didapat dari beberapa kali wawancara dan pembicaraan informal.

Page 81: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

73

Tahap selanjutnya dari korupsi pada bidang personalia adalah proses penetapan tempat

kerja. Informan A mengatakan bahwa sebelum penempatan tetap ini para pegawai baru telah melakukan ancang-ancang agar ditempatkan pada kantor pajak yang basah dan menghindari yang kering. Menurutnya, di Jakarta ini ada tiga kantor pajak yang dikategorikan oleh para pegawai baru sebagai kantor yang dianggap basah, yaitu KPP Setiabudi yang mengurusi pajak perusahaan di kawasan segitiga emas Kuningan-Sudirman-Thamrin, KPP Perusahaan Masuk Bursa 65 , dan KPP yang mengurusi PMA dan orang asing atau disebut KPP Badora (Badan dan Orang Asing).

Informan A menceriterakan bahwa untuk masuk ke kantor yang basah tersebut maka

calon pegawai tetap harus berani membayar uang dalam jumlah nominal tertentu. Berdasarkan pengalaman kakak kelasnya, Informan A menceritakan bahwa untuk masuk ke KPP Perusahaan Masuk Bursa harus mengeluarkan uang sejumlah Rp 80 juta kepada beberapa orang, terutama ke pimpinan kantornya. Pimpinan kantor tersebut kemudian membuat surat ke Dirjen Pajak bahwa kantor tersebut memerlukan tenaga yang dimaksud yaitu calon pegawai tetap yang membayar tersebut. Sedangkan penempatan untuk KPP biasa, informan A tidak mengetahui pasti berapa jumlah yang harus dikeluarkan. Yang jelas untuk tetap ditempatkan di Jakarta, menurutnya juga harus membayar sejumlah tertentu. Tetapi apabila ditempatkan di luar Jakarta maka calon pegawai tetap tidak harus membayar.

Berdasarkan pengalamannya itulah informan A kemudian mengambil kesimpulan

mengapa korupsi di Dirjen Pajak sangat sistemik karena sudah dimulai dari korupsi yang ada di personalia, terutama pada tahap perekrutan dan penempatan. Cara korupsi di bidang personalia ini juga disebut sebagai upeti,66 yaitu korupsi yang lazim dilakukan oleh seorang pegawai terhadap atasannya untuk memperoleh perlakuan istimewa yang tidak berdasarkan kondisi objektif.

Tipe pola korupsi yang terjadi pada kasus rekrutmen kepegawaian Dirjen Pajak dilakukan

dengan cara yang transaktif-nepotis. Sifatnya yang transaktif memberikan kesempatan pada kedua belah pihak untuk saling mendapatkan keuntungan. Nilai yang dipertukarkan oleh klien yang berupa uang kemudian dipertukarkan dengan akses penempatan jabatan yang dimiliki oleh kepala kantor pajak dengan menggunakan diskresi yang dimilikinya. Luasnya diskresi yang dimiliki oleh kepala kantor pajak dalam merekomendasikan klien menempel pada autogenisasi kebutuhan akan aparat perpajakan. Dengan autogenisasi atau proses manipulasi pengetahuan dan pemahaman akan kebutuhan institusi oleh kepala kantor pajak dalam proses rekrutmen lembaga tersebut menjadikan nilai suap dari klien seringkali dianggap hanya sebagai faktor pembantu yang tidak signifikan dari nepotisme. Padahal justru nilai suap tersebut sangat signifikan dalam menentukan kedudukan klien selanjutnya. Artinya apabila klien hanya memiliki sumber daya intelektual berupa kapasitas intelektual atau berdasarkan hasil penilaian formal atas proses training maka penempatan calon pegawai tetap pada kantor-kantor pajak yang dinilai strategis tidak terjadi. Disamping itu apabila hanya didasarkan pada kemampuan individual calon pegawai pajak maka penempatan pada kantor pelayanan pajak di kawasan Jabotabek. Upaya menutupi praktek korupsi tersebut

65 Khusus untuk KPP Perusahaan Masuk Bursa di Jalan Sudirman, observasi yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa kemewahan sangat nyata terlihat pada kantor ini. Penampakan kantor yang sebenarnya biasa, gedungnya sudah termasuk tua dan kusam, menjadi luar biasa bila dibandingkan kendaraan-kendaraan yang terjajar rapi dimasing-masing lokasi parkir yang telah disediakan bagi pejabat-pejabat kantor pajak tersebut. Pemahaman tentang kemewahan tersebut didapatkan peneliti dengan melihat dan membandingkan mayoritas jenis dan kualitas kendaraan di kantor pelayanan pajak tersebut dengan mobil-mobil yang terdapat di gedung Bursa Efek Jakarta, tepat di sebelah KPP Perusahaan Masuk Bursa. 66 Lihat Revrisond Baswir et.al, 1999, loc.cit., hal. 19.

Page 82: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

74

dari individu-individu yang berada diluar jaringan korupsi biasanya dengan melakukan pembenaran bahwa selain membayar suap, calon petugas pajak juga harus memiliki kecakapan akademis yang memadai. Nilai simbolik dari suap dan kapabilitas individu dalam menangani tugas-tugas yang akan dikerjakannya mempunyai bobot yang sama dalam proses rekrutmen pegawai pajak.

Jumlah nilai yang dipertukarkan oleh klien terhadap patron biasanya mengacu pada nilai

transaksi yang terjadi pada kantor dimana klien akan ditempatkan. Jumlah nilai tersebut disosialisasikan melalui training pada masa pra-penempatan sehingga klien juga diajarkan bagaimana melakukan pengumpulan dana yang dapat dimanfaatkan untuk menggantikan jumlah nilai tertukar dengan jabatan yang diperolehnya. Pada gilirannya tipe ini menjadikan korupsi pada kasus rekrutmen lebih mendekati siklus biologis yang turut menambah dan melestarikan korupsi pada Dirjen Pajak ketika berhubungan dengan kasus negosiasi pajak.

Praktek nepotisme demikian sampai pada taraf tertentu secara internal bersifat integratif

karena menarik peserta, klien dan patron, kedalam hubungan ‘gift and reward’ yang memiliki kewajiban tertentu sehingga memungkinkan pemupukan kepentingan kolektif yang mampu memelihara sifat kerahasiaan, disamping mampu mengekslusikan individu yang tidak berkenan atau tidak mampu menjalin hubungan tersebut. Namun integrasi internal tersebut dapat menjadi lemah karena sifat pertukarannya yang tidak mantap/ajeg karena jarang menimbulkan pertukaran yang berulang. Untuk menghindari disintegrasi internal maka pihak-pihak yang awalnya terkait dalam hubungan tersebut mengambil langkah menyebarkan sumber daya ekonomi yang diperoleh dari pertukarannya dengan wajib pajak pada kasus negosiasi pajak. Langkah-langkah tersebut misalnya dengan memberikan ‘uang transport’ atau membagi bagian hasil pertukarannya--berupa amplop-- dengan wajib pajak pada meja kerja petugas pajak lainnya secara relatif merata. Meski petugas yang mendapat jatah tidak mengetahui asal uang dalam amplop tersebut, namun kesamaan pandangan dalam melakukan cara tersebut memberinya acuan kenyataan: uang tersebut merupakan bagian dari hasil negosiasi pajak.67

III.2.2. Pembayaran Untuk Jasa-Jasa Wajib

Cara lain yang biasa terjadi adalah adanya pembayaran untuk jasa-jasa wajib, yaitu uang

pelicin atau tambahan uang untuk melancarkan jasa yang seharusnya dilakukan tanpa biaya atau dengan biaya resmi yang kecil. Pada intinya pola korupsi ini dilakukan oleh aparat pajak terhadap orang yang memerlukan jasa tertentu Dirjen Pajak. Jadi tidak berhubungan dengan masalah pembayaran pajak, tetapi lebih berkenaan dengan masalah administratif perpajakan. Sebagai contoh adalah apa yang dikemukakan oleh Informan C68 ketika mengurus untuk mendapatkan NPWP. Pengurusan NPWP69 yang biasanya memakan waktu tiga minggu, namun dengan imbalan uang dalam tiga hari pun akan segera selesai. Padahal seharusnya dengan kesadaran calon pemilik NPWP tersebut tentunya akan memberikan keuntungan kepada Dirjen Pajak, tetapi pendaftaran tersebut selalu diperlambat dengan berbagai macam alasan.

Pengalaman lainnya yang berkenaan jasa-jasa wajib yang harus diberikan petugas pajak

67 Wawancara dengan Pegawai Yunior Dirjen Pajak, April 2000 68 Informan ini adalah orang yang biasa membantu pengurusan pajak pengusaha kecil. Informasinya akan dielaborasi lebih banyak di sub bab negosiasi. 69 NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) adalah sarana dalam administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas WP.

Page 83: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

75

adalah pencabutan status sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak). Suatu kali perusahaan dimana informan C bekerja ingin mencabut status sebagai PKP karena peredaran usahanya tidak memenuhi syarat untuk dikukuhkan menjadi PKP, sedangkan beberapa tahun lalu ada pegawai lain di perusahaannya yang melakukan keteledoran dengan mendaftakannya menjadi PKP. Informan C kemudian mengurus pencabutan PKP tersebut namun petugas pajak yang dihadapinya beralasan bahwa karena datanya sudah masuk, tunggakannya besar dan bermacam alasan lainnya. Akhirnya Informan C harus memberikan sejumlah Rp 300 ribu supaya keluar surat pencabutan.

Tipe pola korupsi pada kasus pengurusan masalah administrasi perpajakan sama dengan

kasus-kasus dimana klien terpaksa menyuap untuk mencegah kerugian yang mengancam kepentingan yang dihargainya dengan memberikan sejumlah nilai tukar tertentu agar pengurusan masalah administrasi tersebut dapat segera dilakukan. Kerugian yang akan dialami oleh klien yaitu ketidakseimbangan nilai transaksi antara surplus yang diperoleh dari usaha yang dijalankannya dengan nilai yang akan terus disetorkan kepada kantor pajak tersebut. Dengan menarik sejumlah pungutan terlebih dahulu maka klien baru dapat memperoleh jasa yang disediakan oleh petugas yang bersangkutan. Untuk mempertahankan tingkat keberhasilan dalam menarik pungutan, petugas yang bersangkutan menggunakan instrumen pengetahuannya yang tidak dimiliki oleh klien. Ketidakseimbangan dalam pemilikan informasi yang sama mengenai masalah-masalah yang mungkin muncul dalam proses administrasi perpajakan. Berbeda dengan autogenisasi pada kasus rekrutmen, autogenisasi pada kasus ini sangat terbatas pada saat-saat tertentu dimana klien membutuhkan jasa petugas administrasi tersebut sehingga sifatnya lebih temporal dan sewaktu-waktu. Dalam budaya Jawa, term kultural yang biasanya dipergunakan untuk menjelaskan keadaan tersebut adalah "aji mumpung" karena petugas bagian data tidak mengetahui atau hanya sedikit mengetahui mengenai penilaian pajak sehingga pada tiap kesempatan diwaktu-waktu tertentu petugas dapat memberlakukan wewenang yang dimilikinya dalam mempengaruhi jumlah nilai yang dipertukarkan dengan akses data tersebut. Sementara pada kasus rekrutmen, autogenisasi terjadi pada momen-momen yang relatif periodik dimana derajat kemantapan/keajegan dari proses rekrutmen merupakan lahan transaksi yang menguntungkan sehingga sifatnya relatif lebih kontinyu.

III.2.3. Negosiasi Pajak

Pola korupsi negosiasi pajak ini merupakan pola khas Dirjen Pajak dan memberikan

“hasil” yang paling banyak. Pola korupsi ini berkaitan dengan proses bertemunya wajib pajak (WP) dengan petugas pajak dan melahirkan bentuk korupsi yang bersumber pada dua pihak, yaitu: pertama, petugas pajak melakukan penyelewengan wewenang yang digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau “penghasilan lebih”. Dalam hal ini WP menjadi korban gertakan (bluffing) yang dilakukan oleh petugas pajak terhadap besarnya jumlah pajak yang dibebankan kepada WP. Dalam teknik bluffing biasanya petugas pajak mengenakan jumlah pajak yang lebih besar dari yang sebenarnya. Hal ini dimaksudkan agar si WP mau melakukan negosiasi untuk menentukan “harga” yang cocok. Untuk mendukung terjadinya negosiasi biasanya petugas pajak menggunakan dan menunjukkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/ Tambahan atau surat-surat lainnya kepada WP pada saat pemeriksaan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).70 Dengan alasan memeriksa pajak terhutang maka petugas pajak (PP) membuka peluang negosiasi dengan

70 Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak terutang pada suatu tahun pajak.

Page 84: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

76

melakukan gertakan terlebih dahulu kepada WP. Dari hasil negosiasi, petugas pajak memperoleh keuntungan pribadinya melalui cara

mengutip selisih pembayaran beban pajak WP yang lebih besar dari ketentuan sebenarnya dengan beban pajak sebenarnya. Atau dapat juga mengutip dari jumlah yang sebenarnya dengan mengurangi jumlah setoran pajak yang harus disetorkan kepada negara. Cara ini dapat juga disebut komisi, yaitu korupsi yang dilakukan dengan mengalokasikan jumlah tertentu berdasarkan prosentase dari total nilai beban pajak terhutang.71

Kedua, pihak WP (baik badan maupun perorangan) yang aktif dalam berhubungan

dengan petugas pajak. Hal ini dilakukan dengan memberikan imbalan atas jasa petugas pajak yang mampu menolong WP agar beban pajak yang ditanggung tidak sebesar yang telah ditetapkan. Biasanya WP memanfaatkan jasa konsultan agar bisa bernegosiasi dengan petugas pajak, sehingga didapatkan kesepakatan agar WP tidak membayar pajak sebesar yang ditetapkan oleh administrasi pajak. Dengan demikian WP melakukan penyuapan terhadap petugas pajak sehingga kedua pihak merasa diuntungkan dengan proses yang ada, sementara pihak yang merugi adalah negara. Pola ini disebut pola korupsi transaktif yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama.72

Informan A mengatakan bahwa pembagian hasil negosiasi tersebut dilakukan dengan

model bagi hasil yang diatur kepala kantor. Uang yang diperoleh dari wajib pajak diberikan kepada kepala kantor dan membaginya terlebih dahulu antara kepala kantor dengan tim yang terlibat pemeriksaan. Kepala kantor mengalokasikan uang hasil negosiasi yang harus masuk ke dalam kas kantor pelayanan pajak sebanyak sepertiga bagian dari negosiasi tersebut sedangkan sisanya kemudian dialokasikan dan didistribusikan oleh kepala kantor untuk pegawai-pegawai KPP yang erat berhubungan dengan proses pemungutan pajak secara relatif merata. Informan A menceriterakan bahwa ia sering mendapatkan uang transport Rp 150.000/minggu. Berdasarkan pengalamannya, Ia mengetahui bahwa uang tersebut adalah uang bagi hasil negosiasi yang dialokasikan oleh kepala kantornya. Cara mengalokasikan dan mendistribusikan hasil negosiasi sangat bervariasi antara lain ada yang diberikan kepada pegawai dengan nama uang transport dan juga amplop berisi uang yang secara tiba-tiba ada di meja kerja tiap pegawai yang kedudukannya berada di dalam seksi yang sama dengan informan. Seringnya KPP tempat informan A bekerja memberikan uang dalam nama yang berbeda pada awalnya menimbulkan pertanyaan namun lambat laun ia dapat menduga bahwa pembagian tersebut selalu berhubungan dengan pemungutan pajak oleh KPP tersebut. Hanya saja informan A tidak dapat memastikan apakah praktek pembagian ini merata ke seluruh seksi dan pegawai yang ada di KPP tersebut, atau praktek ini juga terdapat pada kantor-kantor pajak lainnya.

Tipe pola korupsi pada kasus negosiasi pajak dimana petugas pajak aktif merupakan tipe

pola autogenik karena dengan menggunakan diskresi dalam mengakses sumber daya administrasi pada kantor pelayanan pajak ia dapat mengeluarkan data sebelum waktunya. Tindakan tersebut dilakukan untuk mendukung dugaan-dugaan petugas terhadap pajak terhutang yang harus ditanggung oleh wajib pajak. Dugaan-dugaan petugas biasanya berkaitan dengan “ditemukannya” diskrepansi nilai sebenarnya yang harus disetorkan wajib pajak. Dugaan atas diskrepansi nilai tersebut dilakukan dengan membandingkan antara perkiraan nilai transaksi yang diperoleh

71 Revrisond Baswir et. al, 1999, loc.cit., hal. 19. 72 Syed Hussein Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, hal. vii.

Page 85: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

77

perusahaan wajib pajak dengan nilai yang disetorkan kepada kantor pelayanan pajak. Untuk mengurangi nilai kerugian yang secara signifikan akan diderita oleh wajib pajak maka petugas pajak menawarkan pembagian jumlah nilai dalam negosiasi dengan cara menarik sejumlah komisi. Sementara dalam tipe pola ekstortif-autogenik, petugas pajak menggunakan tekanan terhadap klien agar menyetujui dan menerima nilai transaksi yang diajukan oleh petugas pajak. Dengan melakukan semacam pemaksaan maka upaya penarikan rente berupa komisi oleh petugas pajak yang melengkapi dirinya lewat instrumen rancangan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/Tambahan menjadi lancar.

Sementara pada kasus dimana wajib pajak yang aktif, tipe pola korupsi yang terjadi adalah

transaktif dalam arti wajib pajak berusaha memanipulasi nilai pajak tertanggungnya dengan melakukan suap kepada petugas pajak. Berbeda dengan kasus dimana petugas pajak aktif maka dalam kasus ini nilai transaksi yang dipertukarkan didasarkan atas 'kesukarelaan' wajib pajak agar terhindar dari pengenaan nilai pajak sebenarnya atau dari pemerasan yang sewaktu-waktu diperkirakan akan terjadi. Umumnya motivasi penghindaran wajib pajak dari nilai pajak terhutangnya didasarkan pada alasan kerugian perusahaan, kondisi ekonomi yang belum memungkinkan untuk menyetorkan nilai pajak terhutang. Autogenisasi dilakukan oleh wajib pajak melalui broking activities kantor konsultan pajak karena data atau pengetahuan yang sebenarnya dimiliki oleh wajib pajak sebelum diberikan kepada petugas pajak yang 'hendak memeriksa' telah dimanipulasi oleh kantor konsultan pajak. Oleh karena itu biasanya perusahaan membuat beberapa jenis laporan pembukuan termasuk laporan pembukuan yang diperuntukkan bagi publik luas.

Dari deskripsi di atas, dapat dilihat bahwa terjadinya proses korupsi eksternal pada

instansi pajak bersumber pada terjadinya proses kontak tatap-muka antara WP dengan petugas pajak. Pada satu sisi kedua belah pihak dimungkinkan untuk sama-sama memperoleh keuntungan, namun di sisi lain yang lebih diuntungkan adalah aparat pajak karena posisi dan jabatannya yang merupakan representasi negara. Karena itu yang akan dibahas pertama kali dalam sub bab ini adalah masalah sistem pemungutan pajak dan pemeriksaan pajak yang memungkinkan terjadi kontak langsung antara WP dan PP. Kemudian modus-modus apa saja yang biasanya digunakan untuk alat negosiasi sesuai dengan temuan penelitian ini.

III.2.4. Celah-Celah Korupsi Pada Proses Pemungutan Pajak III.2.4.1. Sistim Pemungutan Pajak

Dalam sejarah perpajakan di Indonesia dikenal tiga jenis metode pemungutan pajak,

yaitu:73 Yang pertama adalah official assesment system atau menghitung pajak orang (MPO). Sistem ini secara sederhana menggambarkan bahwa pajak terutang WP ditentukan oleh Dirjen Pajak (WP pasif). Informan D74 memberi komentar bahwa sistem ini lazim di negara-negara Eropa kontinental hingga sekarang. Di Indonesia sendiri diterapkan antara 1944-1983 mengikuti sistem Belanda. Caranya Dirjen Pajak mengeluarkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) Sementara dan SKP Rampung. SKP Sementara ini ditetapkan berdasarkan perkiraan berapa besarnya penghasilan yang akan diperoleh WP. Sedang SKP Rampung ditetapkan berdasarkan SPT (Surat

73 Lihat Tjahjono dan Husain, 1997, op.cit., hal. 23 74 Informan D yang memberikan informasi ini adalah seorang mantan pejabat tinggi di Dirjen Pajak. Sekarang setelah pensiun masih bekerja sebagai konsultan pajak pada sebuah kantor konsultan pajak.

Page 86: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

78

Pemberitahuan Tahunan) yang diisi dan dimasukkan WP pada akhir tahun pajak. Dalam sistem ini diperlukan kejujuran dan integritas dari aparat pajak dan WP. Aparat pajak boleh melakukan pemeriksaan terhadap WP jika diragukan kebenaran pengisian SPT.

Kedua adalah self assesment system atau menghitung pajak sendiri (MPS), yang secara

sederhana dapat dipahami bahwa pajak terutang WP dihitung, disetorkan dan dilaporkan sendiri oleh WP. Aparat pajak bertugas memberikan penerangan dan pengawasan. Informan D memberi catatan bahwa sistem self assesment yang diterapkan di Indonesia mulai 1984 sampai sekarang meniru cara di Amerika. Melalui cara ini WP mengisi SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) yang dianggap benar oleh Dirjen Pajak, kecuali Dirjen Pajak membuktikan berdasarkan data yang dimiliki bahwa pengisian SPT adalah tidak benar dan tidak lengkap. Jika demikian Dirjen Pajak boleh melakukan pemeriksaan terhadap WP. Jika memang terbukti WP melakukan kesalahan, maka Dirjen Pajak mengeluarkan SKP (Surat Ketetapan Pajak) Kurang Bayar/Tambahan ditambah sanksi. Secara teoritis jika WP mengisi SPT tidak lengkap dan tidak benar dengan sengaja maka dapat dituntut hukuman pidana.

Untuk berhasilnya sistem ini dituntut kemampuan Dirjen Pajak untuk memperoleh dan

menguasai data-data mengenai kewajiban pajak diluar SPT. Hal inilah yang tidak mampu dilakukan oleh Dirjen Pajak Indonesia, maka pada tahun 1994, ketentuan yang mengatur hak WP seperti di atas dicabut dari UU PPh. Akibatnya, menurut Informan D, kita sebenarnya kembali pada official assessment.75 Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Dirjen Pajak kapan saja dan tanpa alasan apapun boleh saja melakukan pemeriksaan terhadap WP dan boleh melakukan taksiran untuk penetapan SKP Kurang Bayar/Tambahan. Banyak sekali penetapan pajak yang dilakukan secara semena-mena oleh Dirjen Pajak terhadap WP sehingga banyak WP mengajukan keberatan tetapi pada umumnya ditolak Dirjen Pajak. Menurut Informan D, pada zamannya bekerja dahulu, sudah dianggap perbuatan “tercela” oleh atasan jika sampai lebih dari 5% WP mengajukan permohonan banding ke Majelis Pertimbangan Pajak. Pernyataan ini secara etnometodologi menunjukkan dua kenyataan, di satu sisi, petugas pajak dianggap tidak dapat memberi pelayanan perpajakan yang memadai bagi WP. Sementara di sisi lain menunjukkan bahwa petugas pajak yang berwenang dinilai tidak mampu melakukan negosiasi dengan baik oleh kepala kantor atau ketua tim pemeriksa.

Informan D kemudian menceriterakan mengenai berlakunya UU 17/1997 tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak yang menentukan bahwa WP yang mengajukan permohonan banding harus melunasi segala hutang pajak yang menjadi sengketa. Jika tak dilunasi, maka BPSP tidak mau bersidang. Hal ini jelas mempersulit WP dan bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang seharusnya berlaku bagi hukum pajak sebagai hukum publik. Juga menurut Informan D, BPSP itu bertentangan dengan UU 14/1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ia akhirnya menyimpulkan bahwa segala macam proses seperti di atas pada gilirannya justru akan menyuburkan kolusi antara WP dengan fiskus.76 Kemudian yang ketiga adalah with holding system

75 Walaupun pernyataan ini sepertinya dilebih-lebihkan, tetapi cukup menggambarkan keadaan sebenarnya, dimana inisiatif pemeriksaan pajak pertama-tama seringkali dimulai oleh petugas pajak sehingga WP setiap saat dibayang-bayangi oleh kantor pajak. 76 Dari pandangan Dirjen Pajak sendiri, self assessment sebenarnya juga mempunyai beberapa kekurangan, yaitu banyak WP yang tidak jujur dalam melaporkan besarnya penghasilan yang diperoleh, khususnya WP Perseorangan, karena sangat banyak jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan sebagai obyek pajak. Lalu ketidaksuksesan sistem ini terlihat juga dari meningkatnya jumlah tunggakan pajak, meskipun WP sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar jumlah pajak tersebut sehingga Untuk

Page 87: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

79

dimana pajak terutang WP dihitung, dipungut dan disetorkan melalui pihak ketiga.

III.2.4.2 Model Pemeriksaan Pajak Sebelum reformasi pajak tahun 1994, tujuan pemeriksaan adalah untuk menentukan

jumlah pajak yang terutang.77 Titik tolaknya adalah melalui cara pengujian, memilah-milah SPT dan menentukan mana yang tidak memenuhi ketentuan UU Perpajakan dan mana yang memenuhi scoring tertentu. SPT yang dianggap benar tidak terkena pemeriksaan, sehingga pemeriksaan menjadi selektif.

Setelah reformasi pajak tahun 1994, tujuan pemeriksaan diubah menjadi menguji

kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Definisi pemeriksaan menurut SK Menteri Keuangan No. 625/KMK.04/1994 adalah serangkaian kegiatan mencari, mengumpulkan dan mengolah data dan atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan. Adapun sasaran pemeriksaan ini adalah: interpretasi dari UU yang tidak benar, kesalahan hitung, penggelapan secara khusus dari penghasilan dan pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya. Titik tolaknya adalah asumsi yang digunakan oleh Dirjen Pajak bahwa semua SPT belum memenuhi ketentuan UU Perpajakan dan praktis semua WP dianggap tidak memberitahukan pajaknya dengan benar sehingga dapat diperiksa. Prinsip ini secara teoritk bertentangan dengan sistem self assessment sehingga sejak 1994 sistem pemeriksaan lebih merupakan benda mati, karena “rohnya” telah dicabut.

Sedangkan tujuan pemeriksaan ini adalah: Pertama, menguji kepatuhan kewajiban

perpajakan dalam hal: surat pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan atau rugi, surat pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang ditetapkan, surat pemberitahuan tidak memenuhi kriteria yang ditentukan Dirjen Pajak dan adanya indikasi kewajiban perpajakan lain selain di atas tidak dipenuhi. Kedua, adanya tujuan lain dalam melaksanakan peraturan perpajakan antara lain memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) atau pencabutan NPWP/NPPKP, menentukan besarnya angsuran pajak bagi WP baru, pengajuan keberatan atau banding dari WP, dan penyusunan bahan untuk penyusunan norma penghitungan. Sedangkan pemeriksaan ini pada dasarnya ada dua, yaitu:78 1. Pemeriksaan Lengkap yang dilakukan di tempat WP. Meliputi seluruh jenis pajak dan atau

tujuan lain, baik yang masih berada pada tahun berjalan maupun tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan ini menggunakan teknik pemeriksaan pada umumnya dan meliputi seluruh aspek perpajakan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh Karikpa, tim gabungan Ditjen Pajakn dan BPKP, atau Kanwil Pajak.

2. Pemeriksaan Sederhana, yaitu: a) Pemeriksaan Lapangan. Meliputi seluruh jenis pajak dan atau tujuan lain, baik yang masih

berada pada tahun berjalan maupun tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan ini menggunakan teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana.

b) Pemeriksaan Kantor. Meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun yang dilakukan menggunakan teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana.

memaksa WP berlaku jujur, UU Perpajakan perlu memberikan sanksi yang berat kepada pelanggar. Namun sistem self assessment tetap dilaksanakan. 77 Hussen Kartasasmita, Pemeriksaan Pajak dan Reformasi, dalam Jurnal Hukum Bisnis, vol. 7 1999, YPHB, hal. 56. 78 Lihat Keputusan Menteri Keuangan No. 625/KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan.

Page 88: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

80

Untuk hasil pemeriksaaan lengkap, WP diberikan kesempatan memberikan tanggapan.

Tetapi yang terjadi adalah formalitas belaka, karena WP sulit untuk memberikan tanggapan, sebab semua pembukuan ada pada pemeriksa. Disamping sulit, tanggapan WP sering tidak diperhatikan atau justru tidak dibahas oleh pemeriksa. Sedangkan pada pemeriksaan sederhana, WP hanya diberitahu hasil pemeriksaannya tanpa diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. Lebih lanjut dikatakan bahwa perlakuan terhadap WP yang menyatakan lebih bayar dan mengajukan restitusi dianggap sebagai usaha untuk mencuri uang negara, sehingga sifat pemeriksaan sama dengan cara yang dilakukan terhadap WP yang secara jelas menyelundupkan pajak. Terhadap permintaan restitusi ini, pada umumnya pajak tertanggung direkayasa menjadi kurang bayar.

Berdasarkan pengalamannya informan E79 mengatakan bahwa jika WP meminta restitusi,

Dirjen Pajak selalu curiga. Tetapi jika nilai pajak pada SPT menunjukkan “kurang bayar”, artinya pada akhir tahun pajak harus membayar kepada negara, jarang dilakukan pemeriksaan. Menurutnya, banyak perusahaan yang mengalami “lebih bayar” dalam proses restitusinya dipersulit oleh petugas pajak. Akhirnya berdasarkan pengalaman tersebut, mereka pada tahun-tahun pajak berikutnya selalu membuat SPT nihil atau kurang bayar. Sedangkan yang memeriksa dapat berasal dari KPP atau Karikpa, tergantung apakah pemeriksaan lengkap atau sederhana karena kedua kantor ini punya hak untuk memeriksa. Apabila Karikpa sudah melakukan pemeriksaan maka KPP biasanya tidak memeriksa lagi, namun Karikpa dapat melakukan pemeriksaan terhadap kasus pajak yang sebelumnya diperiksa KPP. Informan E berkata,

“Kayaknya Karikpa tingkatannya lebih tinggi dari KPP….”.

Ia menjelaskan bahwa petugas pajak biasanya mencari kelemahan WP dan berusaha

membuat negosiasi yang menguntungkan petugas pajak. Walaupun menurut peraturan WP boleh mengajukan keberatan, tetapi biasanya petugas pajak akan lebih menekan lagi,

“Kalau Ibu mengajukan keberatan, nanti Ibu akan kena lebih berat lagi”.

Sehingga pada akhirnya dia harus tetap membayar karena perhitungannya dianggap salah.

Kemudian mereka akan mengeluarkan draft bahwa informan setuju dan menerima perhitungan petugas pajak tersebut.

Informan F80 menambahkan bahwa kantor dimana ia bekerja sering didatangi oleh

petugas pajak. Informan F, menyatakan bahwa tim pemeriksa ini seringkali datang menjelang momen-momen tertentu, misalnya lebaran, untuk mendapatkan “THR”. Menurut pengalamannya suatu ketika kantornya didatangi oleh petugas pajak. Tim pemeriksa ini meminta catatan keuangan perusahaan, mulai dari yang berhubungan dengan PPN sampai PPh. Informan F dan staf perusahaan lainnya sudah curiga bahwa tim pemeriksa hanya ingin mencari-cari kelemahan dan kemudian dilanjutkan dengan meminta sejumlah uang. Setelah sehari penuh mereka memeriksa dan akhirnya tidak mendapatkan kekurangan apapun dalam catatan keuangan perusahaan tersebut maka tim pemeriksa ini pulang. Keesokan harinya tim pemeriksa menelpon perusahaan dan menyuruh mengantarkan catatan akuntansi 3 tahun terakhir. Akhirnya

79 Informan ini bekerja di perusahaan keuangan dan memegang tanggung jawab masalah perpajakan. 80 Informan ini bekerja pada perusahaan yang memproduksi barang-barang elektronik milik perusahaan luar negeri dan bekerja dibagian akuntansi dan keuangan perusahaan.

Page 89: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

81

perusahaan mengantarkan ke kantor pajak yang diminta dengan berkas sampai satu mobil penuh. Beberapa hari kemudian petugas pajak tersebut datang lagi dan meminta staf perusahaan

tersebut untuk mengambil catatan pembukuan di kantor mereka. Karena petugas pajak sepertinya tidak mendapatkan apa yang dimaui, akhirnya dengan sedikit bahasa isyarat petugas pajak ini meminta satu buah mesin printer yang diproduksi perusahaan. Petugas pajak ini mengatakan bahwa printer ini untuk kelancaran tugas di kantor. Karena atasan informan F sudah bosan kedatangan petugas pajak yang dianggapnya bertele-tele dan mencari-cari kesalahan maka akhirnya perusahaan tersebut memberikan satu buah mesin printer. Dalam catatan akuntansi, Informan F merekayasa pemberian satu printer tersebut sebagai pemberian barang contoh, otomatis juga merekayasa faktur pajak PPN-nya.

Pengalaman yang berbeda dialami oleh Informan G dan H yang bekerja pada suatu

BUMN.81 Menurut mereka, BUMN biasanya tidak pernah bermasalah dengan pajak atau petugas pajak karena laporan keuangan BUMN biasanya sudah diaudit oleh BPKP. Dengan laporan keuangan yang sudah diaudit oleh BPKP, maka petugas pajak biasanya hanya menerima laporan pajak mereka dan tidak mempersoalkan laporan tersebut. Menurut kedua informan ini, selama masalah pajak ditangani mereka, perusahaan tidak pernah mengalami masalah yang berarti. Tetapi menurut kedua informan ini, BUMN tempat mereka bekerja tetap berusaha untuk mengatur pembayaran pajaknya supaya tidak lebih bayar. Menurut informan, lebih baik membayar denda pada akhir tahun pajak dengan menyerahkan SPT Kurang Bayar dari pada berhadapan dengan sistem restitusi pajak yang bertele-tele dimana tidak ada kepastian kapan sisa kelebihan dari pembayaran pajak akan dikembalikan dan kemungkinan besarnya biaya dan waktu yang harus dikeluarkan untuk melakukan restitusi.

Informan I,82 seorang konsultan pajak, menceritakan pengalamannya berurusan dengan

pemeriksaan pajak. Menurutnya pada beberapa KPP dapat ditemui petugas pajak yang berhubungan dengan wajib pajak melakukan cara-cara negosiasi yang vulgar, yaitu sebelum pemeriksaan dimulai dan sebelum catatan keuangan diberikan oleh wajib pajak. Petugas tersebut sudah menawarkan negosiasi,

"Ibu maunya bagaimana? Berapa? Dengan hasil pemeriksaan seperti apa?”

Petugas pajak juga menetapkan hasil pemeriksaannya dengan sistim paket.83 Tiap paket

menunjukkan hasil yang berbeda-beda ditandai dengan jumlah uang suap yang berbeda pula. Informan I menceritakan juga cara-cara bluffing melalui telpon. Ia mencontohkan,

"Bu, perusahaan ini mau diperiksa. Ada kekurangan bayar banyak, nih. Tapi ini bisa dibicarakan loh, Bu".

81 Kedua informan ini bekerja di sebuah BUMN dan khusus mengurusi masalah pajak perusahaan. Mereka memberikan keterangan dalam sebuah wawancara bersama. 82 Informan berprofesi sebagai konsultan pajak pada sebuah perusahaan konsultan pajak dan menjadi staf pengajar bidang perpajakan suatu perguruan tinggi negeri di Jakarta. 83 Sistim ini terjadi ketika petugas pajak menawarkan jasanya untuk menyusunkan SPT milik WP, misalnya SPT PPh milik WP, baik badan atau pun perorangan yang akan direkayasa beserta pembukuannya. Bila negosiasi mencapai suatu kesepakatan maka terjadinya kolusi antara WP dan petugas pajak diakhiri dengan transaksi dalam jumlah pajak yang harus disetor. Sistim ini dinilai lebih menguntungkan petugas pajak karena jumlah uang yang diterima sebagai bagian dari jasanya menjadi relatif rutin.

Page 90: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

82

Apabila WP tersebut tidak memahami seluk beluk perpajakan biasanya proses negosiasi yang bersifat ekstortif itu langsung dibicarakan. Informan I kemudian menceriterakan sistem negosiasi tersebut. Misalnya ditetapkan kena pajak Rp 100 juta, petugas pajak akan berkata, "Ibu kena pajak terutang sebesar 100 juta". Informan I kemudian menyangkal, "Wah nggak bisa dong. Menurut saya sih nggak segitu". Kemudian petugas pajak ini menjawab, "Ya, ini bisa kok kita jadikan nggak seratus juta, bisa kita jadikan (misalnya) 50 juta, tapi dalam surat ketetapan tercatat kurang bayarnya 25 juta. Jadi 25 juta buat kita. All in 50 juta". Jika disepakati misalnya, petugas pajak ini akan membuat SKP (Surat Ketetapan Pajak) seolah-olah ada temuan Rp 50 juta. Tetapi perusahaan harus membayar ke petugas pajak, baik secara cash maupun transfer bank, yang menawarkan negosiasi sebesar 25 juta rupiah. Dengan negosiasi yang demikian maka secara riil negara dirugikan hingga 75 juta rupiah. Informan I juga menyatakan bahwa disamping cara di atas, cara-cara lain dalam mengutip komisi dari wajib pajak misalnya petugas pajak langsung menanyakan jumlah dana yang dialokasikan khusus bagi petugas pajak. Karena perusahaan tidak bisa memberikan dana atau tidak bisa menentukan dana dari awal, petugas pajak ini akan membuat koreksi-koreksi sebanyak-banyaknya, terutama dari grey area seperti dana entertainment, dan pos-pos keuangan lainnya. Dengan cara demikian maka petugas pajak dapat memainkan peranannya pada tempat-tempat atau pos-pos keuangan perusahaan yang pengeluarannya bersifat non-rutin serta pengaturannya kurang jelas. Berdasarkan pengalamannya, informan I tersebut berkesan bahwa cara-cara yang demikian umumnya dilakukan oleh petugas-petugas pemeriksa yang berada di tingkat bawah.

Pada kantor pelayanan pajak (KPP) dan Kantor Pemeriksaan Pajak (Karikpa), korupsi

sudah sedemikian sistemik sehingga cara-cara yang dipergunakan untuk mendapatkan keuntungan, baik bagi kantor tersebut maupun pegawai-pegawainya terkesan sangat vulgar. Misalnya informan I menyatakan bahwa pada KPP Tanah Abang dan Karikpa Karawang praktek-praktek negosiasi pajak secara vulgar semacam itu telah menjadi suatu hal yang rutin dan bisa dilakukan atau dalam kata lain telah melembaga (institutionalized). Menurutnya, KPP Tanah Abang merupakan yang paling terkenal dalam hal negosiasi secara vulgar. KPP Tanah Abang ini biasanya menangani pemungutan dan administrasi perpajakan bagi perusahaan-perusahaan swasta nasional, atau dalam bahasa petugas pajak di KPP tersebut yaitu “Paripurna”. Petugas pajak di kantor tersebut pernah memaksa informan I saat mengurus pajak perusahaan yang diwakilinya dengan menyatakan:

“Ya udah. Kalau Ibu nggak mau, kita nggak bisa kerjakan”

Pemaksaan tersebut disertai oleh upaya perlindungan bagi si petugas dengan

memberitahukan bahwa permintaan tersebut adalah kebijakan dari atasan mereka. Dengan berupaya berlindung pada diskresi yang dinyatakan oleh pimpinan mereka maka petugas pajak yang bertugas berhubungan dengan wajib pajak memperoleh keyakinan bahwa usahanya untuk memeras wajib pajak kemungkinan besar dapat berhasil. Perlindungan dari pejabat KPP Tanah Abang yang menjadi atasan petugas pajak tersebut benar-benar terbukti ketika informan I melakukan pengaduan atas tindakan petugas tersebut kepada Kepala Sub-Seksinya, namun pejabat tersebut malah membela dengan mengatakan,

"Sudahlah kalau Ibu nggak ‘nyedia’in dana, kita tolak aja laporannya"

Setelah gagal untuk menghambat upaya pemerasan tersebut maka informan I

mengadukan apa yang telah dikatakan oleh kepala sub-seksi kepada pejabat yang lebih tinggi yaitu

Page 91: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

83

kepala seksi, ternyata ia menerima pernyataan yang sama. Berdasarkan pengalamannya maka ia menganggap bahwa tindakan-tindakan para petugas pajak di kantor pajak tersebut sudah terpola.

Derajat sistemiknya korupsi pada proses pemungutan pajak di KPP Tanah Abang terlihat

memiliki perbedaan apabila dibandingkan misalnya Karikpa Karawang. Pada Karikpa Karawang mulai dari kepala kantor hingga staf petugas pajak yang berada di tingkat bawah masing-masing sudah menentukan “tarif pelayanan” atau “tarif pemeriksaan”. Mereka sudah menentukan WP yang dianggap basah dan WP yang dianggap kering serta sudah menentukan jumlah target pemasukan yang diperuntukkan bagi kantong petugas itu sendiri dan porsi untuk dibagikan pada petugas pajak lainnya di kantor yang sama. Perbedaannya terletak pada ditetapkannya “tarif pelayanan” tersebut sehingga masing-masing petugas pajak usai bernegosiasi mendapatkan jumlah alokasi dan distribusi yang relatif sama berdasarkan klasifikasi yang mereka kenakan terhadap WP. Sementara pada KPP Tanah Abang, jumlah alokasi dan distribusi relatif berbeda satu sama lain tergantung pada kemampuan masing-masing individu dalam melakukan persuasi hingga ekstorsi atas WP. Istilah WP “basah” dan “kering” dipergunakan oleh informan I untuk menjelaskan bahwa “WP basah” merupakan wajib pajak yang dianggap bisa dan sering mengeluarkan uang dalam jumlah banyak saat mengurus pajak yang dikenakan kepadanya, serta dapat diajak melakukan kongkalikong atau kolusi. Tetapi perusahaan dimana informan I menyediakan jasanya kebanyakan adalah perusahaan asing yang tidak bisa diajak kerja sama untuk melakukan kolusi sehingga mereka dianggap “WP kering”. Penggunaan term tersebut dikarenakan perusahaan-perusahaan asing tersebut seringkali tidak mau bermain di bawah meja.

Mengenai KPP yang menangani badan dan orang asing (Badora), Informan I menyatakan

bahwa sebenarnya KPP ini paling basah karena menyangkut pajak atas Penanaman Modal Asing yang seringkali jumlah nominalnya mencapai miliaran rupiah. Hanya saja untuk KPP Badora, informan I menilai bahwa “tingkat kenakalan” kebanyakan petugas-petugas di sana masih dapat ditolerir dalam arti petugas-petugas KPP Badora mendapatkan tambahan bagi pemasukannya antara lain didasarkan pada “uang tips” yang diberikan oleh WP. Kenyataan tersebut ditambahkan oleh informan J yang berkerja pada KPP PMA 84 ketika memberikan keterangan mengenai petugas pajak yang sering ditawarkan “uang tips” oleh WP.

“Jawabannya bukan ada atau nggak ada. Cuma itu bisa saja terjadi. Itu di tiap kantor pajak pasti ada. Mereka yang mendapatkan tawaran itu biasanya yang berkaitan dengan proses penagihan...”

Menurut Informan J, ada beberapa karakter petugas dalam hal menyikapi tawaran uang,

diantaranya adalah mereka yang menganggap boleh menerima imbalan dari WP sejauh tidak mempengaruhi hasil pekerjaan yang mereka lakukan. Kelompok ini umumnya beranggapan bahwa uang pemberian tersebut adalah “rejeki kita.” Selain itu ada kelompok lain yang beranggapan bahwa tidak akan menerima tawaran seperti itu karena kekhawatiran meraka bahwa uang tersebut dapat mempengaruhi hasil kerja mereka. Informan J menyatakan

“Kalau nanti dia sudah dikasih dan menerima, otomatis nanti kalau ada kasus-kasus lagi yang berhubungan dengan WP tersebut, ada beban moral sama dia.“

Informan tersebut juga menambahkan bahwa kesulitan yang dialami oleh negara dalam

84 Informan ini bekerja di KPP PMA dan berada pada level operasional.

Page 92: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

84

penerimaan pajak dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan indikator-indikator dalam memperkenankan atau melarang petugas pajak menerima uang dari WP. Kesulitan dan kebingungan tersebut terlihat ketika ia menyatakan :

“Tetapi selama ini kalau dilihat, bagaimana ya? Kadang-kadang ada orang yang idealis85, tetapi mereka terbentur dengan lingkungannya. OK, katakan dia bekerja sesuai peraturan, kemungkinan WP melobi dia nggak berhasil. Namun WP yang demikian biasanya melobi atasannya langsung. Sebenarnya kalau kondisi lapangan sama-sama mendukung, kita idealis dan atasan kita idealis, otomatis ya itu tidak akan terjadi…”

Disamping bagian penagihan, yang biasa terjadi korupsi adalah bagian pemeriksaan,

karena bagian ini yang memeriksa kebenaran laporan keuangan WP sehingga intensitas pertemuan antara WP dengan pemeriksa sering terjadi. Informan C, yang lebih suka disebut konsultan pajak kecil-kecilan.86 menceritakan bahwa negosiasi-negosiasi sering terjadi pada proses pemeriksaan dan biasanya proses negosiasi lebih sering diawali di lapangan (kantor WP) yang kemudian berlanjut di kantor pajak dimana ia berurusan langsung dengan atasan petugas yang ditemui sebelumnya.

“Di situ saya menyerahkan map surat-surat yang dibawahnya saya selipkan amplop.”

Mengenai besar uang yang diberikan kepada pejabat KPP itu, informan C biasanya

memberi 10% dari jumlah uang yang diterimanya sebagai upah jasa kepada kepala pemeriksaan. Seperti biasanya maka kepala pemeriksaan inilah yang mengalokasikan dan mendistribusikan tambahan pendapatan tersebut kepada bawahannya yaitu bagian administrasi, bagian PPh, dan bagian PPN. Apabila uang jasa tersebut dinilai terlalu kecil maka biasanya bagian PPh dan PPN meminta sejumlah uang kembali karena menurut mereka,”itu kan lain.” Namun dalam hal mengurus restitusi pajak, informan tidak dapat memberikan sejumlah uang yang biasa ia berikan ketika sedang mengurus pembayaran pajak. Sehingga restitusi PPN yang diurus seharusnya berjumlah 33 juta rupiah, ternyata hanya diperoleh 25 juta rupiah setelah dipotong petugas pajak Rp 9 juta, dengan alasan pengurusan surat-surat dan sebagainya

Sementara mengenai siapa yang lebih dahulu membuka negosiasi, menurut informan

tersebut sangat tergantung pada intensitas dan frekuensi kedatangan WP yaitu apakah WP atau si konsultan pajak tersebut sering datang ke KPP atau hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Jika WP atau si konsultan pajak jarang datang atau bahkan baru sekali datang, petugas pajak akan menjaga diri atau tidak melakukan penawaran-penawaran dengan WP. Tetapi jika WP sering terlihat di kantor pajak maka proses negosiasi tersebut lebih terbuka, dalam arti bisa diajak “cincailah.”87 Informan C menyatakan bahwa dirinya sudah sering datang ke kantor pajak untuk mengurus pajak WP yang diwakilinya, maka petugas pajak tidak lagi segan-segan untuk membuka penawaran. Apabila jumlah uang dalam catatan keuangan perusahaan yang diwakilinya dirasa kurang menguntungkan petugas maka petugas tidak segan-segan untuk berkomentar,

85 Yang dimaksud dengan “idealis” di sini adalah petugas-petugas pajak yang tidak mau menerima uang sedikit pun dari WP dalam hal apapun. 86 Informan ini menurut pengamatan peneliti lebih tepat disebut perantara antara WP dengan petugas pajak dalam hal negosiasi. Informan mengaku biasa menguruskan pembayaran pajak dari pengusaha-pengusaha kecil. Menurut pengakuannya, dia sendiri tidak terlalu menguasai teknis perpajakan, tetapi lebih cenderung ke arah lobby dan negosiasi. 87 Term yang disebutkan informan ini mengacu pada bahasa Tionghoa yang memiliki makna “semua bisa diatur”; “tahu sama tahu”

Page 93: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

85

“Kamu ini… aduh 8 juta, kecil sekali perusahaan kamu. Nih kamu lihat waktu saya di KPP Setiabudi, besar-besar saya dapatnya.”

Untuk menghindari kerugian yang potensial dikenakan kepadanya, informan C

memberikan celah agar kerugian tersebut dapat diminimalkan. Petugas pajak memiliki kebiasan “menggertak” WP mengenai kelengkapan atau kekurangan laporan keuangan WP. Ketika WP tidak bisa mengimbangi gertakan yang dilakukan petugas pajak dengan berpatokan pada UU Pajak yang diketahui WP, maka petugas akan semakin memperkuat posisinya dengan meminta uang tambahan.

“Semakin kita diam, maka proses penawaran harga sogokannya semakin besar. Tetapi jika kita paling tidak “menggertak” dengan satu atau dua pasal UU Perpajakan yang kita ketahui, meski baru dibaca paginya, maka penawarannya akan turun. Tetapi ya tetap ada uang sogokan, meski lebih kecil.”

Uang negosiasi bisa semakin besar jika perusahaan yang mengurus pajaknya adalah

perusahaan besar atau perusahaan milik sebuah kelompok konglomerasi. Jika perusahaan yang berskala besar, maka uang suap atau uang ekstorsi harus dialokasikan dan didistribusikan hingga kepala kantor wilayah (kanwil) karena laporan pemeriksaan harus ditembuskan hingga ke sana. Oleh karena itu dalam memeras WP dari kategori perusahaan berskala besar petugas pajak akan lebih berhati-hati dan diplomatis dalam bernegosiasi karena jumlah suap yang mencapai ratusan juta rupiah ke atas. Dan apabila perusahaan berskala kecil atau menengah maka uang suap tersebut hanya sampai kepada kepala pemeriksaan saja untuk kemudian dibagikan kepada bawahannya. Informan C menilai bahwa dari semua KPP yang pernah berurusan dengannya, seperti KPP Senen, Tanah Abang, Kramat Jati, dan Tebet mempunyai pola-pola yang sama dalam bernegosiasi dengan WP.

Pada masa-masa dimana secara rutin Dirjen Pajak melakukan rotasi dan mutasi

kepegawaiannya, maka segala urusan administrasi perpajakan yang menjadi tanggung jawab pejabat sebelumnya harus segera diselesaikan. Termasuk WP yang belum memberikan uang suap yang telah disepakati sebelumnya. Seperti informan C yang pernah mempunyai pengalaman dengan seorang kepala pemeriksaan suatu KPP yang akan dimutasi. Kepala pemeriksaan tersebut memberitahukan agar informan segera mempercepat urusan pemberian uang suap, karena dia akan segera dimutasi. Kepala pemeriksaan melakukan tindakan tersebut agar klien yang diwakilinya tidak menceritakan dan membanding-bandingkan uang suap yang diberikan antara kepala pemeriksaan yang lama dengan yang baru. Kepala ini tidak mau WP tersebut membicarakan tindak tanduknya kepada penggantinya dengan alasan karir kepala pemeriksa tersebut yang dapat terancam. Hal tersebut dapat terjadi karena Dirjen Pajak tidak pernah memberitahukan terlebih dahulu kepada tiap KPP mengenai pejabat-pejabat yang akan menggantikan kedudukan pejabat sebelumnya. Pada saat itulah aspek integratif dari sistim korupsi yang sebelumnya dibangun dan menguat berpotensi digoyahkan oleh perubahan-perubahan yang tidak dapat diketahui serta tidak dapat diperhitungkan oleh para pejabat pajak sebelumnya. Apabila pejabat pajak yang baru ingin melakukan perbaikan-perbaikan biasanya tidak akan bertahan lama karena apabila awalnya perbaikan tersebut berjalan lancar namun lambat laun pola-pola itu kembali lagi.

Oleh karena itu sangat mungkin terjadi bahwa sistem perpajakan tertentu yang didukung

oleh kebijakan-kebijakan jangka pendek dari pejabat tingginya justru membantu merangsang

Page 94: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

86

dilestarikannya korupsi.88 Kemungkinan lain yang merangsang korupsi yaitu adanya perlawanan dari seluruh petugas pajak terhadap sistem perpajakan karena reformasi pajak yang dilakukan pada tahun 1986 mengakibatkan perubahan pada prosedur dan saluran pengumpulan pajak dengan menyederhanakan sistim klasifikasi menjadi 3 macam pajak. Para petugas pajak yang terlibat langsung dalam pengumpulan pajak biasanya merupakan lapisan yang paling tidak berkenan pada setiap perubahan yang diperkirakan akan menggerogoti kemampuan mereka dalam menggelapkan sumber daya masyarakat.89

Peraturan yang tumpang tindih mulai awal tahun 1980-an menyediakan kesempatan bagi

kedua belah pihak baik petugas pajak atau wajib pajak untuk bertransaksi. Hal itu ditambah dengan kenyataan bahwa pada tahun 1994 hak yang mengatur wajib pajak dicabut dari UU Pph sehingga pada tataran teoritik sistim perpajakan menggunakan model self assesment namun pada tataran prakteknya yang diberlakukan adalah sistim official assesment. Dengan sistim tersebut, petugas pajak kapan saja dan tanpa alasan apapun boleh saja melakukan pemeriksaan terhadap WP dan boleh melakukan taksiran untuk penetapan SKP Kurang Bayar/Tambahan. Kasus-kasus penetapan pajak yang dilakukan secara semena-mena oleh petugas pajak terhadap wajib pajak dapat dijadikan sebuah tuntutan yang bersifat dan berlingkup publik dengan mengajukan keberatan. Tetapi pada umumnya ditolak petugas pajak seperti misalnya pada kasus KPP Tanah Abang.

Tumpang tindih peraturan tersebut masih berlanjut hingga sekarang didukung dengan

pemberlakukan UU 17/1997 dimana kasus sengketa pajak hanya dapat diselesaikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak apabila wajib pajak membayar terlebih dahulu nilai pajak terhutangnya yang akhirnya mempersulit wajib pajak karena bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Keberadaan UU tersebut juga bertentangan dengan UU 14/1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Karena akhirnya segala macam proses seperti di atas akan menyuburkan kolusi antara wajib pajak dengan petugas pajak. Dengan menghitung kemungkinan tingkat kesulitan yang akan dialami maka wajib pajak lebih baik memilih berkolusi dengan petugas pajak.

Reformasi pajak yang menyangkut perubahan teknis pengumpulan pajak telah dilakukan

dengan cara mengubah pola hubungan antara negara dan pembayar pajak melalui penyederhaan struktur pajak dan depersonalisasi. Upaya tersebut masih menemukan kendala yang mendasar yaitu tidak tersedianya jaringan informasi yang sifatnya on-line antar kantor pajak di tiap seluruh wilayah Indonesia. Jaringan informasi yang dimaksud adalah suatu model kelancaran arus informasi dimana petugas pajak dapat melakukan pemeriksaan hanya dengan mengakses data perusahaan yang bersangkutan melalui suatu unit fasilitas jaringan informasi hanya dari tempat kerjanya. Hasil penilaian petugas pajak tidak dapat dikonfirmasikan kepada wajib pajak secara impersonal sehingga ketidakberesan yang terjadi tidak dapat diaudit secara internal. Akibat tidak adanya kerangka dasar yang komprehensif serta sistemik untuk pemeriksaan dalam proses internal audit maka seringkali kesempatan untuk menggunakan kebijaksanaan pribadi yang

88 Kebijakan yang diskriminatif demi tujuan jangka pendek sangat jelas terlihat dari kebijakan perpajakan yang pernah dikeluarkan oleh Kepala Direktorat Jenderal Pajak Fuad Bawazier, pada pemerintahan Soeharto, tentang ketentuan daftar pembayar pajak terbesar. Pada masa itu, Dirjen Pajak dianggap melindungi para wajib pajak yang menjadi kroni Suharto dengan cara menerbitkan keputusan bahwa 200 pembayar pajak terbesar tidak perlu diperiksa. Karena bila para wajib pajak yang merupakan kroni Soeharto secara serius diberlakukan pemeriksaan, maka diperkirakan yang bersangkutan harus membayar 3 kali lebih besar dari jumlah yang disetorkannya. 89 Lihat Jeffrey A Winters, 1999, op.cit., hal. 235

Page 95: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

87

mengikuti garis kewenangan petugas pajak menjadi merajalela di kantor-kantor pajak.

III.2.4.3. Sistem Pelaporan Pajak Dalam praktek sehari-hari perusahaan, dikenal apa yang dinamai sebagai dana taktis atau

dana entertainment. Karena jumlahnya kadang-kadang besar, merupakan praktek umum dalam dunia bisnis serta sulit untuk memberantasnya, maka Dirjen Pajak mengakomodasi hal ini dalam apa yang disebut “daftar nominatif”. Term ini kurang lebih mengacu pada suatu pos di dalam neraca keuangan suatu perusahaan yang siap digunakan sewaktu-waktu bila ada permintaan dari suatu pihak yang mempunyai pengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Daftar ini memuat siapa yang mendapat, berapa, kapan, dan sebagainya. Tetapi Dirjen Pajak mensyaratkan uang yang diberikan ini dianggap sebagai hibah perusahaan, dan pada sisi penerima dianggap sebagai penghasilan.

Kelemahan ini dikenali oleh informan F ketika ia menceritakan tentang proses manipulasi

faktur fiktif untuk sebuah mesin printer yang dikeluarkan oleh perusahaannya. Seperti diketahui, PKP diharuskan untuk membuat dan mengisi faktur pajak masukan dan keluaran. Modus untuk mengecilkan jumlah PPN yang harus dibayar adalah membuat faktur-faktur pajak fiktif. Misalnya dalam hal barang ekspor, pajak masukan yang berasal dari impor boleh direstitusi. Padahal masalah restitusi adalah hal yang sulit. Seperti sudah dijelaskan di atas, permintaan restitusi selalu mengundang masuknya pemeriksaan. Karena itu, modus faktur fiktif dan restitusi selalu melibatkan petugas pajak untuk melancarkan pembayaran sehingga kasus tersebut dapat digolongkan sebagai faktur PPN palsu. Selain itu sebagai salah satu kebiasaan dalam dunia bisnis, seorang pejabat pemerintahan yang akan menikahkan anaknya dimungkinkan untuk meminta sumbangan dana dari perusahaan yang mempunyai hubungan dengannya. Perusahaan semacam ini biasanya mempunyai dana cadangan untuk memenuhi permintaan seperti ini. Namun seperti yang disyaratkan oleh lembaga Dirjen Pajak di atas mengenai daftar nominatif maka hal ini sama saja dengan dianggap membuka hubungan patronase yang telah terjalin sehingga perusahaan sulit untuk memenuhinya. Akibatnya seringkali terjadi tawar-menawar antara perusahaan dengan Dirjen Pajak mengenai berapa jumlahnya. Negosiasi semacam ini seringkali disertai dengan pembayaran sejumlah tertentu kepada petugas pajak agar biaya entertainment tersebut diakui.

Singkatnya, tipe pola-pola korupsi pada proses pemungutan pajak pusat di Jakarta

merupakan pola korupsi yang secara khusus dapat menyebabkan berkurangnya perolehan pendapatan negara sehingga pengeluaran pemerintah untuk membiayai aktivitasnya menjadi terbatas. Meskipun target pajak tiap tahun selalu terpenuhi namun pengaruh pengelolaan ekonomi makro seperti inflasi, kebijakan investasi yang berhubungan dengan perpajakan mempengaruhi nilai dari akumulasi pajak tersebut.90 Pada gilirannya keterbatasan pengeluaran pemerintah tersebut justru melestarikan dan memperkuat pola korupsi yang sudah ada karena petugas pajak, dan pejabat publik lainnya, akan dirangsang terus menerus untuk mengutip sejumlah nilai uang dari setiap transaksi barang atau jasa yang mereka lakukan.

90 Winters menyebutkan bahwa kontribusi sektor swasta terhadap total penerimaan pajak sangat kecil yaitu tidak lebih dari 5% tiap tahun. Dalam sitilah fiskal, negara terasing dari pembayar pajak perusahaan sebagaimana dari para warga negara perorangan. Lihat Jeffrey A Winters, 1999, op.cit., hal. 240

Page 96: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

88

Tabel 8 Tipe Pola Korupsi Pemungutan Pajak

No Cakupan Bidang Kegiatan Tingkatan Manajemen Tipe Korupsi Personalia a.Menengah

b.Bawah/operasional Transaktif-Nepotis lewat suap

1. Internal

Pencarian Data Bawah/operasional Autogenik lewat pungutan liar terhadap sesama petugas pajak

Pembayaran untuk jasa-jasa wajib Bawah/operasional Autogenik-Ekstortif lewat suap

a.Tinggi b.Menengah c.Bawah/operasional

Transaktif-Autogenik atau Ekstortif-Autogenik lewat komisi

2. Eksternal

Negosiasi Pajak

Wajib Pajak* Transaktif-Defensif lewat suap

* terjadi ketika wajib pajak berupaya menghindari beban resiko pajak yang akan dikenakan kepadanya. Pada proses pemungutan pajak, seperti yang tergambar dalam tabel di atas, terdapat lima

tipe pola korupsi. Tipe transaktif-nepotis, yaitu korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik anatara pemberi dan penerima dan keduanya sama-sama aktif melakukannya serta diwarnai pula dengan nuansa pemberiaan previlege pada pihak tertentu karena adanya kedekatan personal, terjadi dalam proses rekrutmen. Sedangkan pada proses pencarian data, terjadi korupsi yang bersifat autogenik, di mana karena adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki mengenai perpajakan, ketika mencari data terjadi pemerasan.

Pada proses pembayaran terhadap jasa-jasa wajib, terjadi korupsi di tingkat manajemen

bawah/operasional yang bertipe autogenik-ekstortif. Dengan mopdal pengetahuan dan pamahannya tersebut, petugas pajak dapat melakukan tekanan-tekanan tertentu sehingga terjadi transaksi yang koruptif. Tipe transaktif-autogenik maupun ekstortif autogenik juga terjadi dalam negosiasi pajak. Transaksi koruptif bisa terjadi melalui mekanisme timbal balik (transaktif) maupun koersif (ekstortif), tergantung situasi yang terjadi dalam relasi antara petugas pajak dengan wajib pajaknya. Untuk korupsi yang terjadi dengan wajib pajak sebagai pelaku aktifnya, tipe pola korupsinya termasuk sebagai tipe transaktif-defensif.

III.3 Deskripsi Korupsi Pada Sektor Penyediaan Sumber Daya Strategis : Kasus PLN dan PAM Jaya

III.3.1. Konteks Historis Keberadaan Usaha Ekonomi Negara (BUMN/D) Semakin kompleksnya kegiatan ekonom dan semakin tinggi keterkaitannya dengan aspek-

aspek kehidupan lainnya, sangat sulit bagi suatu sistem, bahkan yang paling liberal sekalipun, menolak kehadiran peran negara di dalam kehidupan ekonomi. Oleh karenanya eksistensi BUMN bukan hanya merupakan ciri khas negara berkembang atau negara sosialis yang menganut prinsip etatisme dan kolektivigsme tetapi juga di negara kapitalis liberal. Peningkatan kehidupan ekonomi individu dan anggota masyarakat tidak hanya tergantung pada peranan pasar dan keberadaan organisasi-organisasi ekonomi swasta. Peranan negara yang penting ini didasarkan asumsi bahwa pasar tidak bisa menyelesaikan seluruh persoalan ekonomi. Intervensi negara diperlukan untuk

Page 97: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

89

mengurangi dampak kegagalan pasar, kekakuan harga 91, dan dampak eksternalitas pada lingkungan alam dan sosial. Bambang Subianto92 berpendapat bahwa beberapa peran pokok badan usaha milik negara (BUMN) antara lain perlunya barang/jasa publik untuk dikelola oleh pemerintah, perimbangan efisiensi untuk kegiatan ekonomi berskala besar, dan pengendalian dampak negatif seperti masalah eksternalitas.

Para teoritisi welfare economics umumnya berpendapat negara memainkan peranan penting

secara langsung atau tidak langsung di dalam kehidupan perekonomian untuk menghindari dampak eksternalitas dan pasar tidak dapat mengendalikan dampak eksternalitas yang timbul karena persaingan antar lembaga-lembaga ekonomi.93 Maka dari itu pendirian BUMN dimaksudkan untuk mengelola kekayaan dan memupuk modal nasional sehingga keberadaannya secara normatif menjadi penopang bagi negara. Hanya saja dari fenomena BUMN di seluruh dunia yang memperlihatkan keterlibatan BUMN di sektor utilitas atau hajat hidup orang banyak membuktikan bahwa gagasan ‘nasionalisme sempit’ yang berwujud prinsip etatisme dan berlindung pada pasal 33 UUD’45 secara ekonomi tidak terbukti. Hal tersebut penting dicatat mengingat rasionalisasi bisnis dalam tubuh BUMN ternyata mengandung suatu kontradiksi. Antara kepentingan untuk memperoleh untung, yang artinya BUMN dikelola secara murni kapitalistis oleh swasta, atau tetap memperhatikan kepentingan publik, yang berarti harus terus menerus menerima subsidi dalam jumlah besar karena dipahami bergerak dibidang yang dianggap wajar apabila ‘sedikit’ merugi.

Masa awal kemerdekaan, posisi negara sangat dominan karena usaha-usaha dan lembaga

ekonomi masyarakat belum tumbuh dan pada tahun-tahun berikutnya usaha nasional semakin tumbuh hingga terkena krisis serius awal tahun 70-an. Menurut Mubyarto, krisis tersebut disebabkan oleh kurangnya otonomi perusahaan-perusahaan nasional yang sebenarnya mustahil merugi karena memegang hak monopoli suatu cabang kegiatan ekonomi tertentu.94 Campur tangan pemerintah yang terlalu dalam dan hadirnya kelompok kepentingan diperkirakan menjadi penyebab utama ambruknya perusahaan-perusahaan nasional dimana persoalan politik merupakan pokok permasalahanannya seperti crony capitalism, nepotisme, korupsi pada tingkat elite dan sebagainya. Didik J. Rachbini menilai bahwa kehancuran tersebut juga didukung oleh tidak jelasnya peran dan model penilaian prestasi BUMN, khususnya yang menghasilkan public goods, seharusnya dibedakan dengan penilaian prestasi terhadap perusahaan swasta. Sementara Christianto Wibisono berpandangan bahwa penilaian BUMN yang memadai juga harus menyertakan lembaga-lembaga ekonomi sejenis sebagai pembanding yang terdapat pada negara-negara lain.95

Evaluasi Christianto Wibisono didasarkan pada pandangannya bahwa sebelum melihat

persoalan ditubuh BUMN maka kita perlu melihat terlebih dahulu konteks aktivitas ekonomi negara tersebut. Oleh karena itu Christianto Wibisono menyatakan bahwa ada tiga periode yang

91 P.Y Henin, Macrodynamics: Fluctuation and Growth, Routledge, London, 1989 92 Bambang Subianto, Peningkatan Efisiensi BUMN, Swastanisasi atau Cara Lainnya, dalam Prospek Ekonomi Indonesia 1988/89, UI Press, Jakarta, 1990. 93 Lihat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Pendekatan Politik Ekonomi (Political-Economy): Jembatan Di Antara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik, dalam Jurnal Ilmu Politik, No.8, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 3-12 94 Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, LP3ES, Jakarta, 1988, hal.93-104 95 Lihat Didik J. Rachbini, Peran Ekonomi Negara, dan Christianto Wibisono, Profil dan Anatomy BUMN, dalam Prisma, No.2, LP3ES, Jakarta, 1992, hal. 3-31. Tulisan tersebut merupakan dua sudut pandang yang berbeda dalam menganalisa dan mengajukan metode analisa tentang peran negara dalam ekonomi.

Page 98: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

90

mengambarkan dinamika BUMN. Pertama96, pada periode 1945-1957 pemerintah Indonesia mempelopori lahirnya BUMN generasi pertama. Dibentuk secara sadar oleh pemerintah dengan modal seadanya. Modal yang dimiliki oleh pemerintah antara lain PLN yang melanjutkan jaringan listrik swasta jaman Hindia Belanda yang terdiri atas beberapa perusahaan lokal tertentu. Selain PLN yaitu Jawatan Kereta Api, cikal bakal Perumka; Jawatan PTT, cikal bakal Perum Pos dan Giro dan PT Telkom; Bank Tabungan Negara, Jawatan Pegadaian, dan Jawatan Angkutan Motor RI (Damri). Selain mengoper kepemilikan, pemerintah juga mendirikan utilitas publik baru yaitu di sektor angkutan laut melalui Pelni dan Djakarta Llyod, serta udara melalui Garuda Indonesian Airways. Pada sektor perbankan, karena tidak berhasil mengusahakan BNI sebagai bank sentral maka pemerintah membeli Javasche Bank dengan harga pasar yang kini menjadi Bank Indonesia.97 BNI sendiri kemudian mengembangkan dirinya menjadi Bank Industri Negara, yang kemudian berubah menjadi Bapindo. Bank-bank Belanda yang ditransformasikan menjadi milik negara antara lain seperti Nederlandsche Handel Maatschapij (Bank Eksim Indonesia), Escompto Bank (Bank Dagang Negara), dan Nationale Handel Bank (Bank Bumi Daya). Pada periode ini pemerintah tidak mengambil langkah konfrontatif terhadap modal asing, namun secara sadar mendirikan BUMN untuk sektor yang dianggap strategis. Disamping itu, pada BUMN generasi pertama, terdapat juga perusahaan negara yang didirikan setelah pengakuan kedaulatan dengan modal equity dari pemerintah, BNI, dan BIN seperti Pelni, Garuda, Djakarta Llyod, ISC, Semen Gresik, dan Pupuk Sriwijaya (Pusri).98

Dimulainya program Benteng tahun 1950 oleh Kabinet Djuanda menandai fase awal

dalam dinamika BUMN generasi kedua. Program tersebut seperti diupayakan oleh pemerintah untuk menumbuhkan dan mengembangkan kapitalis-kapitalis pribumi yang tangguh. Sementara BUMN yang telah didirikan dipakai untuk mengimbangi keberadaan The Big Five seperti Borsumij, Geo Wehry, Internatio, Jacoberg, dan Lindteves. Sebenarnya kebanyakan pengusaha non-probumi pun saat itu masih berada pada tingkat menengah bawah, kecuali Oei Tiong Ham Concern yang dapat dikatakan merupakan konglomerat raksasa untuk ukuran tahun 1950-an.

Kesinambungan historis struktur piramida warisan kolonial dengan The Big Eight 99

Belanda dan MNC mendominasi ekonomi RI serta BUMN sebagai upaya vital strategis dan hajat hidup orang banyak mendadak putus dengan melonjaknya suhu politik dalam negeri. Panasnya suhu politik dalam negeri ini dimulai dari faktor-faktor internal pasca Pemilu 1955 dengan memuncak pada kampanye Ganyang Malaysia dan perebutan Papua Barat. Kampanye hasil kompromi Soekarno dan militer demi kepentingan masing-masing pihak membutuhkan tingkat konsentrasi ekonomi dan politik yang sangat tinggi. Oleh karena itu dengan dimulainya program Nasionalisasi 1957 oleh militer maka sebagian besar unit-unit ekonomi yang dianggap potensial oleh pemerintah dan militer diambil alih. Tidak hanya The Big Eight dan Oei Tiong Ham Concern saja melainkan juga perusahaan-perusahaan sepele yang tidak ada kaitannya dengan pasal 33 UUD 1945 seperti bengkel mobil, pabrik roti, dan toko buku. Korban dari nasionalisasi ini kebanyakan unit-unit usaha luar negeri dan Tionghoa.100 Etatisme tersebut sebetulnya mengandung anakronisme dengan favoritisme Soekarno yang saling menjalin k edekatan dengan Abdurachman Aslam, Bram Tambunan, dan Teuku Markam. Ketiganya dalah pengusaha istana

96 Christianto Wibisono, dalam Prisma, 1992, ibid., hal. 18-23 97 Christianto Wibisono, dalam Prisma, 1992, ibid., hal. 19 98 Christianto Wibisono, dalam Prisma, 1992, ibid., hal. 20 99 Kelompok ini terdiri dari The Big Five Trading House ditambah dengan Nederlandsche Handel Maatschapij, Escompto Bank), dan Nationale Handel Bank. 100 Christianto Wibisono, dalam Prisma, 1992, loc.cit., hal. 20

Page 99: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

91

yang memperoleh kredit dan lisensi monopoli istimewa sehingga cepat mendapatkan suksesnya setelah sebelumnya berkolaborasi dengan Gubernur Bank Sentral, Yusuf Muda Dalam.

Pada masa Demokrasi Terpimpin dikeluarkan peraturan pemerintah nomor 10 tahun

1959 yang isinya melarang pengusaha eceran terutama warga keturunan Cina dengan alasan masalah status kewarganegaraan. Pelarangan ini berkaitan dengan gagasan ekonomi nasional waktu itu yang anti modal asing karena identik dengan kolonialisme. Walau demikian presiden Soekarno tetap tidak berani mengambil langkah yang konfrontatif total terhadap MNC non-Belanda. Baru setelah kampanye Irian Barat diperoleh, pemerintah baru mengambil langkah konfrontasi dalam kampanye Ganyang Malaysia dengan mengambil alih perusahaan Inggris, Malaysia, dan Singapura yang ada di Indonesia. Namun pemerintah masih mengambil langkah yang akomodatif terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat seperti Stanvac dan Caltex yang diakomodasi melalui Kontrak Karya. Dengan mendirikan Permigan, Pertamin, dan Permina yang kemudian dilebur menjadi Pertamina, pemerintah membuka langkah untuk mengimbangi perusahaan-perusahaan minyak luar negeri tersebut.

Banyaknya perusahaan-perusahaan negara dan koperasi yang didirikan pemerintah

membutuhkan biaya operasional yang sangat besar. Biaya tersebut tidak dapat diperoleh melalui perusahaan sektor manufaktur milik negara melainkan dari ekspor komoditi hasil sektor perkebunan. Sebagian dari ratusan perusahaan hasil nasionalisasi oleh pemerintah pusat diwariskan kepada pemerintah daerah sebagai perusahaan daerah, cikal bakal BUMD dewasa ini. Pengabaian sektor manufaktur karena konsentrasi pada kampanye tersebut mengakibatkan pengelolaan perusahaan hasil nasionalisasi lebih banyak menimbulkan masalah. Masalah tersebut terutama muncul dari adanya konflik antara kepentingan politik dan pribadi para politiko-birokrat dengan kebijakan ekonomi yang ditetapkan negara. Kenyataan ini merupakan faktor yang memperburuk kinerja pengelolaan perusahaan-perusahaan negara dimana sebagian besar kontrolnya berada ditangan elit militer.

Peristiwa yang menandai kelahiran BUMN generasi ketiga dimulai dari peristiwa

G30S/PKI yang berdampak drastis terhadap perekonomian nasional dengan tingkat inflasi sebesar 650%. Menanggapi kondisi tersebut pemerintahan dibawah kepemimpinan Soeharto mengeluarkan UU PMA 1967 dan PMDN 1968. Implemetasi kebijakan tersebut didukung dengan pengembalian perusahaan milik asing yang sebelumnya dinasionalisasi seperti Unilever, BAT, Bir Bintang, dan Bir Anker. Arus modal asing dan stabilitas politik masih memberikan kepercayaan kepada investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan meletusnya peristiwa Malari maka kebijakan investasi pemerintah ditinjau kembali dalam konteks seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Langkah untuk meredam sentimen dan gejolak politik pada bidang ekonomi dimanifestasikan dalam kebijakan yang mengharuskan perusahaan luar negeri melakukan joint venture dengan dalam negeri dan kebijakan previlese kredit investasi untuk golongan pribumi. Program-program ini lambat laun dijadikan instrumen Orde Baru dalam mempertahankan status quo politik dan ekonominya melalui korupsi seperti yang akan diuraikan dibawah.

Tahun 1969, pemerintah merumuskan satu kebijakan penting tentang klasifikasi tiga jenis

Page 100: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

92

BUMN 101 yaitu pertama, Perusahaan Jawatan Negara (Perjan) adalah perusahaan yang paling dekat dengan Pemerintah secara keuangan maupun operasional. Hal ini karena modalnya merupakan bagian dari APBN dan dikelola oleh departemen yang membawahinya, serta statusnya berlainan dengan hukum publik. Dengan sifat yang seperti ini, Perjan diharapkan dapat memberi pelayanan kepada masyarakat dengan tidak dibebani kewajiban untuk mengejar laba. Kedua, Perusahaan Umum Negara (Perum) adalah perusahaan yang seluruh modalnya merupakan milik negara dan diambilkan dari kekayaan negara yang dipisahkan serta tidak terbagi ke dalam bentuk saham-saham. Perum sebagaimana layaknya perusahaan swasta juga berbadan hukum dan diatur dengan UU No. 9 Tahun 1969. Karena disatu sisi diharapkan melayani kepentingan umum, namun disisi lain juga diharapkan dapat memupuk keuntungan, maka Perum sampai tingkat tertentu masih menerima subsidi dari Pemerintah. Artinya Perum dalam operasionalisasinya diusahakan agar impas dan survive untuk reinvestasi dan ekspansi, sehingga motivasi mencari laba hanyalah sekunder ketimbang fungsi pelayanan publiknya. Ketiga, Perusahaan Perseroan Negara (Persero) adalah bentuk perusahaan negara yang paling mendekati perusahaan swasta. Dari sisi permodalan, Persero keseluruhan atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan terbagi ke dalam bentuk saham-saham. Persero juga berstatus badan hukum serta berbentuk Perseroan Terbatas. Dari sisi operasi, Persero diharapkan untuk menjadikan laba sebagai target operasinya serta tidak menerima subsidi dan fasilitas dari Pemerintah. Namun demikian, dalam konteks negara Orde Baru, akhirnya semua jenis dan perubahan bentuk BUMN dari jenis satu ke jenis lainnya tidaklah terlepas dari persoalan politik dalam mengelola.

Tabel 9

Ciri-ciri Pokok Usaha Negara Menurut UU No.9 Tahun 1969 No Ciri Pokok Dalam : Perjan (IBW)

Governmental Agency Perum (UU 19 prp 1960) Public Corporation

Persero (KUHD) Gov./State Company

1 Makna Usaha, tujuan perusahaan

Public Service Public Service dan Profit Seimbang/kondisional

Profit sebagai titik berat

2 Status Hukum Bukan badan hukum Badan hukum berdasarkan UU 19 prp 1960 dan Peraturan pemerintah/pendirian.

Badan hukum berdasarkan KUHD dan PP pendirian (dgn akte notaris)

3 Hubungan organisatoris dengan pemerintah

Sebagai bagian dari departemen/Ditjen/Direktorat (tidak otonom)

Berdiri sendiri sebagai kesatuan organisasi yang terpisah (otonom)

Berdiri sendiri sebagai kesatuan organisasi yang terpisah (otonom)

4 Pemilikan/penguasaan oleh pemerintah

Sepenuhnya dan langsung seperti terhadap bagian dari departemen/Ditjen/Direktorat

Sepenuhnya dan tidak langsung yaitu melalui penanaman modal negara yang dipisahkan

Dapat sepenuhnya atau sebagian yaitu melalui pemilikan saham secara kesluruhan atau sebagian.

5 Pengurusan oleh pemerintah

Pimpinan adalah kepala jawatan yang diangkat oleh pemerintah

Pimpinan adalah suatu direksi yang diangkat oleh pemerintah

Pimpinan adalah suatu direksi yang diangkat oleh RUPS. (Lihat anggaran dasar

101 Lihat pengkategorian BUMN dalam Revrisond Baswir, Akuntansi Pemerintahan Indonesia, edisi 3, BPFE, Yogyakarta, 1998, hal. 17 dan Imam Soeripto, Organisasi dan Manajemen Perseroan (Persero) Niaga dan Sumbangannya di Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional, Disertasi tidak diterbitkan, Bandung, Universitas Pajajaran, 1970.

Page 101: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

93

dan akte pendirian)

6 Pengawasan oleh pemerintah

Langsung dan secara hirarkis fungsional. Pemeriksaan oleh Akuntan Negara. Neraca disahkan menteri.

Melalui pejabat atau badan yang berfungsi seperti komisaris. Pemeriksaan oleh akuntan negara dan neraca disahkan oleh menteri.

Melalui dewan komisaris yang diangkat oleh RUPS.

7 Kekayaan/Permodalan Dari pemerintah melalui APBN tahunan.

Dari kekayaan negara yang dipisahkan dan merupakan modal dasar Perum. Modal tidak terbagi saham.

Dari kekayaan negara yang dipisahkan dan merupakan modal dasar persero, untuk keseluruhan atau sebagian. Modal persero terbagi dalam saham-saham.

8 Status Kepegawaian Pegawai Negeri Pegawai perusahaan negara berdasarkan UU tersendiri.

Pegawai perusahaan swasta biasa.

9 Ruang lingkup kegiatan usaha

Pada umumnya public utilities yang bersifat vital dan strategis.

Pada umumnya usaha-usaha penting, berupa public utilities/services.

Seperti pada perusahaan biasa.

Sumber : Imam Soeripto, 1970, hal.288-289 Pemerintah juga mendapat dukungan keuangan dari boom minyak 1970 yang menyertai

keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Kombinasi tersebut kemudian menggerakkan pendulum fenomen sistem ekonomi Indonesia ke “kiri” yang ditandai dengan pembatasan sektor swasta, penguatan sektor negara dan BUMN. Sementara sejak 1967 pendulum bergerak ke “kanan” maka sejak 1973 pendulum fenomen yang berayun ke “kiri” mampu bertahan selama kurang lebih satu dasawarsa hingga krisis Pertamina. Fenomena ini yang memperkenalkan kita pada “politik dua jalur” Soeharto dalam mengelola keuangan negara. Pola ini berlangsung bersamaan dengan masifikasi virus korupsi pada melalui sektor pengadaan karena lisensi-lisensi saling diperjual-belikan oleh pengusaha pribumi dan non-pribumi seperti Tionghoa dan India dengan dukungan keppres tentang anggaran belanja telah memberikan prioritas kepada pengusaha pribumi untuk memasok barang dan jasa kepada instansi pemerintah. Nantinya keppres-keppres tersebut juga menjadi instrumen penting bagi politik Orde Baru dalam mempertahankan dukungan politik massa lewat politik uang dengan menumbuhkan golongan masyarakat OKB (orang kaya baru) dari birokrasi yang karakternya berbeda dengan golongan OKB yang tumbuh dari dunia bisnis swasta akibat perkembangan industrialisasi di Indonesia awal hingga pertengahan tahun 1990.102

Pemerintah selain merangsang sektor swasta dalam negeri juga bergerak kembali

mendirikan perusahaan-perusahaan negara. Ekspansi bisnis pemerintah ditandai oleh banyak BUMN sebagai anak cabang dari Pertamina dan BUMN-BUMN sebelumnya. Dengan rejeki minyak tersebut pemerintah mempunyai cukup dana untuk mendirikan BUMN baru dengan modal yang sangat besar mencapai investasi milyaran rupiah dan peranan strategis yang besar. Kondisi yang berjalan selama 10 tahun hingga tahun 1983 ini berhenti ketika harga minyak bumi yang anjlok berdampak pada kemampuan keuangan negara dalam membiayai perusahaan- 102 Pentingnya pembentukan golongan masyarakat ini bagi Orde Baru dapat dilihat dalam Suryadi A Radjab, Praktik Bisnis Culas Gaya Orde Baru, Grasindo, Jakarta, 1999, hal.77-80

Page 102: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

94

perusanaan negara. Deregulasi-deregulasi mulai dikeluarkan untuk menarik kembali investasi luar negeri yang relatif melambat sejak boom minyak. Deregulasi-deregulasi tersebut misalnya Tax Reform 1984 dengan prinsip self assesment diharapkan meningkatkan penerimaan pajak. Tahun 1985 Bea Cukai dikebiri dan fungsinya dikontrakkan kepada SGS, perusahaan Swiss sebagai pelaksana fungsi cukai. Salah satu fase yang menarik dalam periode ini adalah langkah swastanisasi karena yang diswastanisasikan bukanlah usaha komersial melainkan salah satu fungsi umum dan universal dari birokrasi dan aparatur pemerintahan.103 Swastanisasi “yang aneh” dan didukung dengan kebijakan-kebijakan dan kinerja birokrasi pemerintahan yang amburadul pada akhirnya malah membuat korupsi, dalam kategori pencurian aset negara, menjadi kendaraan utamanya. Sehingga para teknokrat ekonomi yang berorientasi pasar mengkritik bahwa gelombang-gelombang deregulasi sejak 1983 sering inkonsisten, walaupun sebenarnya motivasi politik dari inkonsistensi kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto relatif rasional dalam konteksnya sebagai negara pasca kolonial yang pada dasarnya tetap melanjutkan struktur ekonomi dan politik warisan kolonial. Pada sektor BUMN pun sikap yang ambivalen dan ketiadaan pola yang jelas ditunjukkan oleh pemerintah dalam pengelolaannya secara integral, komprehensif, dan fundamental. Christianto Wibisono menilai bahwa kebijakan BUMN pada periode ini hanya bersifat teknokratik tetapi tidak memperhatikan konteks dan dampak menyeluruh dari kebijakan ad hoc yang sempit dan tidak bisa melepaskan diri dari struktur kekuasaan politik dengan pengelolaan ekonomi secara primitif.104

Oleh karena itu berbagai kasus korupsi yang menimpa banyak BUMN ini seakan

mengkonfirmasi pandangan masyarakat bahwa BUMN sebenarnya sama saja dengan birokrasi pemerintahan yang gemuk, lamban dan korup. BUMN juga selalu diasosiasikan sebagai ladang untuk mencari rente ekonomi105 oleh segala pihak, dan yang merupakan fenomena terakhir adalah kepentingan berbagai partai politik untuk menempatkan orang-orangnya pada posisi kunci.106 Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru, jika kita sekali lagi melihat pada kasus Pertamina, di mana dana yang diperoleh dari Pertamina digunakan untuk melestarikan rejim.

III.3.2. Perusahaan Listrik Negara Sebagai Sapi Perah.

Awalnya PLN merupakan salah satu unit usaha negara yang statusnya adalah Perusahaan

Jawatan Negara (Perjan). Hal ini diawali dengan pendirian Jawatan Listrik dan Gas yang dioper dari Belanda pada tanggal 7 Oktober 1945.107 Selama masa revolusi fisik, beberapa perusahaan listrik swasta yang sempat dikuasai kembali oleh Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah RI. Perusahaan ini kemudian dimasukkan ke dalam lingkungan Departemen Pekerjaan Umum. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 1961 Pemerintah mendirikan perusahaan negara yang bergerak di bidang pengusahaan listrik, gas dan kokas dengan nama Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN). Kemudian pada tanggal 1 Januari 1965 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1965, BPU-PLN ini dipecah menjadi dua perusahaan negara, yaitu Perusahaan Listrik negara (PLN) dan Perusahaan Gas Negara (PGN). 103 Christianto Wibisono, dalam Prisma, 1992, ibid., hal. 22 104 Christianto Wibisono, Profil dan Anatomi BUMN, Edisi I, PDBI, Jakarta, 1987 105 Rente ekonomi ini menurut Sritua Arief adalah komponen berlebihan dalam struktur pendapatan yang diraih oleh suatu faktor produksi. Rente ini terbentuk karena adanya transfer nilai dari pihak buruh, pengusaha kecil dan konsumen sebagai akibatpenetapan harga yang tinggi secara tidak wajar atas barang dan jasa yang diproduksi. Lihat Sritua Arief, Ekonomi Indonesia: Demokrasi Ekonomi atau Eksploitasi Ekonomi, dalam Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, CPSM-Zaman Wacana Mulia, 1998, hal. 227. 106 Orang-Orang Partai Incar BUMN, dalam Gatra No. 03 Tahun VI, 4 Desember 1999. 107 Lihat Laporan Tahunan PLN, 1995, hal. 7.

Page 103: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

95

Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah No. 18 tahun 1972 menyusul peraturan

pemerintah No. 30 tahun 1970, status PLN berubah menjadi Perusahaan Umum Negara (Perum). Kemudian pada tanggal 16 Juni 1994 status PLN dirubah lagi menjadi Perusahaan Perseroan Negara (Persero). Seiring dengan kesuksesan pembangunan ekonomi Orde Baru, PLN dapat sedikit demi sedikit berkembang dan berkespansi. Ekspansi tersebut antara lain dimanifestasikan pada tanggal 3 Oktober 1995 dimana PLN dikembangkan dengan mendirikan dua anak perusahaan, yaitu PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa-Bali I (PT PLN PJB I) di Jakarta dan PT PLN Pembangkitan Tenaga Listrik Jawa-Bali II (PT PLN PJB II) di Surabaya.108

Apabila sebelumnya listrik dianggap barang mewah yang dikelola swasta Belanda, maka

seiring dengan perkembangan jenis kebutuhan pokok oleh masyarakat dan semakin meluasnya usaha industrialisasi maka akhirnya listrik menjadi barang publik. Artinya dalam keadaan apapun pengelolaan kelistrikan bagi masyarakat umum tetap membutuhkan campur tangan pemerintah. Campur tangan ini sangat erat kaitannya dengan tujuan pembangunan yang ingin dicapai supaya listrik dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas, dengan harga yang terjangkau. Tanggung jawab penyediaan listrik yang demikian oleh pemerintah menunjukkan bahwa dari segi supply dan demand, listrik saat ini merupakan barang publik yang mendekati kategori barang privat dengan pengadaan disediakan pemerintah (publicly provided private goods).109 Campur tangan Pemerintah yang positif tersebut dapat dilihat antara lain pada program Listrik Masuk Desa dimana tenaga listrik yang memiliki peran penting dalam menggerakkan roda perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat tersebut diusahakan untuk menjangkau ke desa-desa. Sampai tahun 1995, jumlah desa yang sudah dimasuki listrik sebanyak 38.272 desa atau 61,75% dari jumlah keseluruhan desa di Indonesia.110 Dana program Listrik Masuk Desa ini selain dari PLN sendiri, juga didapat dari APBN (Daftar Isian Proyek) dan Penyertaan Pemerintah.111

Sejauh ini tipe pola korupsi yang dominan terletak pada sektor pengadaan, baik dengan

nilai kontrak yang sangat besar sampai pada pengadaan yang terjadi di level manajemen menengah dan bawah, yang melibatkan uang ratusan juta rupiah ke bawah. Selain itu mengingat salah satu fungsi PLN adalah menyediakan listrik bagi kepentingan masyarakat maka pada umumnya sumber KKN utama di PLN adalah bidang pengadaan pada hampir semua tingkatan manajemen 112 misalnya dengan cara menambahkan sejumlah margin tertentu (mark up) dalam proses perencanaan anggaran. Sementara itu korupsi dalam tubuh PLN biasanya berhubungan dengan proyek-proyek pembangunan pembangkit dimana, menurut informan D, sentralisasi sistim pengadaan dipusatkan hanya pada kantor pusat PLN, sedangkan kantor wilayah, daerah dan distribusi tidak mempunyai kewenangan dalam pengadaan kebutuhan barang operasional. Tipe pola korupsi lainnya yang merugikan PLN adalah masalah pencurian listrik dalam jaringan distribusi yang dilakukan oleh konsumen industri baik untuk pabrik maupun gedung.

108 Lihat Drs. Hadi Sutanto & Rekan-Price Waterhouse, Independent Auditor’s Report To The Shareholder Of PT PLN (Persero) and Subsidiaries, 1997. 109 Lihat Sjahrir, Pelayanan dan Jasa-Jasa Publik: Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik, dalam Prisma 12, 1986. Untuk negara maju, sektor kelistrikan dimasukkan dalam kategori komoditi atau barang privat yang disediakan pemerintah. Tetapi untuk Indonesia dan kebanyakan negara berkembang lainnya, sektor kelistrikan cenderung dimasukkan dalam kategori infrastruktur yang menguasai hajat hidup orang banyak. 110 Lihat Laporan Tahunan PLN, 1995, loc.cit., hal. 14. 111 Lihat Anonim, Annual Report PLN, 1996, hal. 35 112 Wawancara, 26 Agustus 1999 dengan D

Page 104: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

96

III.3.2.1. Pengadaan Tingkat Manajemen Tinggi: Kasus Listrik Swasta Awal mula kemelut listrik swasta berawal dari adanya rencana pemerintah RI untuk

mengantisipasi adanya booming industri pada awal tahun ’90-an sebagai hasil dari peningkatan investasi sektor manufaktur. Proyeksi adanya booming industri diperkirakan membawa dampak pada melonjaknya permintaan listrik yang tidak mampu dipenuhi oleh PLN. Karena itu, dimotori Menteri Pertambangan dan Energi, Ir. Ginandjar Kartasasmita membentuk Tim PUKS (Tim Persiapan Usaha Ketenagalistrikan Swasta) tanggal 16 Juni 1990.113 Banyak kalangan ketika itu memandang bahwa PLN diasumsikan tidak mampu memenuhi proyeksi lonjakan tenaga listrik, dilihat dari energi yang diproduksi dan kapasitas sesuai daya kemampuan PLN. Ketidakmampuan yang paling mendasar terutama dari segi biaya. Informan D 114 menyebutkan bahwa investasi sektor listrik untuk pembangunannya memerlukan dana yang tidak kecil, mencapai US$7-8 miliar dalam satu tahun. Secara obyektif, menurut D, biaya tersebut kalau dibebankan hanya pada APBN akan memberatkan keuangan negara. Oleh karena itu pemerintah memandang bahwa investasi dalam penyediaan listrik dapat saja disediakan oleh swasta. Pertimbangannya selain masalah ketidakmampuan pemerintah dan PLN dalam menyediakan dana pengembangan kelistrikan nasional, juga terletak pada kemampuan daya beli masyarakat yang relatif meningkat pada awal hingga pertengahan tahun 1990-an hingga mencapai US$ 1,000 per kapita, sehingga tarif dasar listrik dengan hitungan harga sebesar US$ 0.07 waktu itu dianggap sudah mendekati kaidah niaga yang sehat.

Ilustrasi kasus yang dipakai untuk menggambarkan korupsi pengadaan pada tingkat

manajemen puncak adalah kontrak listrik swasta melalui kasus pembangunan PLTU Paiton I. Kasus Paiton I dipilih karena dapat menggambarkan kompleksitas proses korupsi tingkat tinggi, mulai dari perencanaan, perolehan Surat Ijin Prinsip, pembiayaan, pelaksanaan, produksi, distribusi, konsumsi, pembayaran dan berbagai previlege yang didapat dengan merugikan keuangan negara. Disamping itu kasus Paiton I dikategorikan sebagai kasus bidang pengadaan karena listrik swasta memang dibangun untuk menyuplai listrik kepada PLN. Selain dalam kasus Paiton I ini juga terkait dengan kontrak-kontrak pengadaan lainnya yang berfungsi sebagai pendukung operasionalisasi hasil proyek PLTU tersebut antara lain seperti penyediaan batu bara, onderdil mesin-mesin pembangkit, dan minyak-minyak pelumas.

III.3.3.1.1. Manipulasi Proses Perencanaan

Ketika banyak pihak memandang bahwa PLN tidak akan mampu memenuhi lonjakah permintaan ini. Informan D,115 direktur perusahaan rekanan PLN, menyatakan bahwa dalam mementukan proyeksi listrik seringkali ditemukan mismatch antara program penyediaan listrik oleh PLN dengan pembangunan kawasan industri yang ketika itu sedang tumbuh pesat. Mismatch antara program PLN dengan strategi industrialisasi yang lebih luas terjadi ketika PLN hanya mau untuk menambah jaringan apabila kawasan industri tersebut sudah jelas prospeknya pertumbuhan manufakturnya. Akhirnya industri-industri tersebut menyediakan tenaga listriknya dari pembangkit yang mereka sediakan sendiri.

Masalah listrik swasta tidak akan memunculkan problematika apabila dalam proses

perencanaan ketenagalistrikan tidak terjadi rekayasa yang sifatnya manipulatif, misalnya melalui

113 Berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 0666.K/702/M.PE/1990. 114 Wawancara, 26 Agustus 1999 dengan D. 115 Perusahaan rekanan ini biasa mendapatkan kontrak pengadaan dan pembangunan dari PLN. Perusahaan ini milik seorang pengusaha terkenal dalam bidang minyak dan dikenal dekat dengan mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita.

Page 105: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

97

ketentuan bahwa listrik swasta hanya memproduksi saja, kemudian untuk menjual ke konsumen adalah urusan PLN. Pembagian tanggung jawab antara sektor negara dan sektor swasta merupakan hasil kompromi antara UU 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, UU 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan dengan PP 10 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa sektor ketenagalistrikan merupakan public utilities dan tidak boleh dimasuki PMA.

Dalam laporannya, BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) menilai

bahwa rekayasa perencanaan pengembangan sistem ketenagalistrikan dilakukan dalam RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 1994.116 RUKN 1994 ini disusun dengan tingkat pertumbuhan kebutuhan listrik yang over optimistic. Akibat dari penetapan tingkat pertumbuhan kebutuhan yang terlalu besar tersebut, maka RUKN 1994 sering menghasilkan gambaran yang keliru (misleading) mengenai besarnya kebutuhan tenaga listrik secara nasional pada tahun-tahun berikutnya. Gambaran yang keliru selanjutnya mengakibatkan kesimpulan yang keliru bahwa listrik swasta memang diperlukan untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik. Rekayasa dalam RUKN kemudian pada gilirannya dipakai untuk memberikan pembenaran atas langkah pemerintah Orde Baru sebelumnya yang telah mengijinkan IPP (Independent Power Producer-Pemasok Listrik Swasta) memasok listrik ke PLN sejak 1990. Dengan demikian, langkah-langkah untuk operasionalisasi kontrak dilakukan terlebih dahulu dan kemudian baru dibuat studi kelayakan untuk memberi pembenaran.117

Tabel 10

Tingkat Pertumbuhan Kebutuhan Listrik Versi RUKN Dan PLN Tingkat Pertumbuhan Kebutuhan (%) Tahun

RUKN 1994 PLN (Aktual) 1993/1994 - 11,43 1994/1995 24,5 10,52 1995/1996 20,1 15,53 1996/1997 18,9 14,44

Sumber: LHP BPKP, 1999 Dari proses perencanaan ini kemudian diterbitkan SIP (Surat Ijin Prinsip) oleh Dirjen

LPE (Listrik dan Pengembangan Energi) tanpa tender, tidak transparan dan umumnya diberikan kepada orang-orang yang dekat dengan pemegang kekuasaan.118 Hal ini menyebabkan penerima SIP mempunyai kedudukan yang kuat dalam negosiasi kontrak karena ikatan dan kedekatan antara pemegang lisensi SIP dengan pusat-pusat kekuasaan dijalin antara lain dengan mengintegrasikan kerja sama kedalam pemilikan IPP. Sebagai BUMN yang terlibat langsung dalam penyediaan listrik bagi konsumen, maka selain penandatanganan kontrak, negosiasi seharusnya juga dilakukan oleh PLN. Bahkan sejak proses perencanaan PLN seharusnya mempunyai kebebasan untuk menerbitkan SIP.119 Namun pada kenyataannya harapan-harapan

116 Lihat LHP BPKP Paiton I, hal. 2. 117 “ (proses feasibility studies itu) tidak ada…kita yang buat setelahnya, bahkan…pembebasan tanahnya pun tidak ada, technical risk pun juga nggak ada, lingkungan risk juga nggak ada. Jadi artinya mereka bekerjanya pun tidak teliti…” Wawancara, 21 Maret 2000 dengan UC 118 Wawancara, 26 Agustus 1999 dengan D. Berdasarkan dokumen Penilaian Tahap Pertama Proposal Proyek Pembangkit Listrik Swasta PLTU Paiton Unit 7 & 8, peserta tender hanya 2 konsorsium. Pertama adalah (BNIE) Bina Nusa Intercontinental Electric, yang diantaranya terdapat perusahaan Bimantara, dan satunya lagi BMMG (Batu Hitam, Mitsui, Mission Energy dan General Electric), yang diantaranya terdapat nama Hashim S. Djojohadikusumo dan Titiek Prabowo. BMMG inilah yang mendapatkan kontrak listrik swasta pertama kali. Lihat Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (LHP BPKP) Khusus Listrik Swasta PLTU Paiton I, hal 13. 119 Wawancara, 26 Agustus 1999 dengan D.

Page 106: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

98

bagi penciptaan manajemen kelistrikan yang rasional, efisien, dan transparan hingga kini masih tidak dapat terpenuhi.

Upaya untuk menghambat jual beli lisensi kelistrikan dalam rangka merasionalisasikan

proses perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan penjualan listrik telah dilakukan antara lain oleh direktur utama PLN terdahulu yaitu Djiteng Marsudi. Upaya untuk menghambat terjadinya jual beli lisensi dari pemegang SIP kepada investor dilakukan dengan membatalkan 23 SIP dari 50 buah yang telah dikeluarkan sebelumnya dimana 27 buah SIP lainnya telah siap dioperasionalkan. 120 Pada akhirnya dari 27 SIP tersebut yang lolos seleksi hanya 8 buah dengan rincian 6 buah yang lolos dan siap operasional dimana 3 buah SIP ditandatangani oleh Djiteng Marsudi dan 3 buah lainnya ditandatangani oleh direktur utama PLN sebelumnya, Zuhal. Kemudian dua buah lainnya dibatalkan mengingat tidak adanya kemajuan fisik dalam proyek pembangunan pembangkit listrik tersebut. Tiga buah SIP yang ditandatangani oleh Djiteng terdiri dari dua SIP untuk proyek kelistrikan Sulawesi yaitu PLTGU (Pembangkit Listrik Gas dan Uap) Sengkang dan PLTD Pare Pare di Sulawesi Selatan, serta PLTU Paiton II. Sementara tiga buah SIP lainnya yang ditandatangani oleh Zuhal diperuntukkan bagi PLTU Paiton I, PLTU Tanjung Jati B, dan PLTU Wayang Windu.

Gambar 6

Rekayasa Perencanaan Pengembangan Sistem Ketenagalistrikan

Seperti pada umumnya kasus-kasus korupsi dimasa pemerintahan Soeharto, rekayasa

dalam perencanaan pengembangan sistem ketenagalistrikan tidak selalu jelas menyebutkan siapa mendapat apa dan berapa (who gets what and how much) secara rinci. Menurut UC121, orang-orang yang membuat perencanaan ini biasa diidentifikasi sebagai bagian dari Ginandjar’s Boys, sebuah nama panggilan untuk kelompok insinyur dijajaran birokrasi Departemen Pertambangan dan Energi yang dahulu dipimpin oleh Ir. Ginandjar Kartasasmita. Pengaruh politik Ginandjar

120 Dalam wawancara off the record, informan UC menyebutkan beberapa nama dan bukan perusahaan atau lembaga tertentu. Hal ini dimaksudkan oleh UC untuk merujuk pada kepemilikan perusahaan yang mendapatkan SIP tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, seperti Hashim S Djojohadikusumo, Titiek Prabowo, Tutut, Tommy Soeharto, Bambang Trihatmodjo, Aburizal Bakrie, Sudono Salim, Ibrahim Risjad, Bob Hasan, dan Fadel Muhammad. 121 Wawancara, 14 April 2000 dengan UC.

Pemerintah Indonesia

(Deptamben)

Tim Penyusun RUKN

Investor yang tertarik dengan listrik swasta

RUKN yang over optimistic

PLN

Page 107: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

99

Kartasasmita tidak terbatas pada posisi puncak tiap departemen melainkan juga merambah beberapa BUMN strategis seperti PLN, khususnya dalam pengisian jabatan para direktur PLN sejak akhir 80-an. Informan UC menilai bahwa Ginandjar’s Boys menyebabkan PLN sejak awal tahun 1997 mengalami defisit besar-besaran hingga lebih dari Rp 10 triliun dibandingkan dengan tahun 1996 yang justru menghasilkan keuntungan sebesar Rp 1,6 trilyun akibat korupsi yang dilakukannya belum tersentuh oleh hukum.122 Laporan BPKP sendiri dalam lampirannya menyebutkan bahwa yang terlibat dalam perencanaan pengembangan sistem ketenagalistrikan ini diantaranya adalah:

Tabel 11

Sebagian Pihak Yang Terlibat Dalam Perencanaan Pengembangan Sistem Ketenagalistrikan

No Nama Jabatan Keterkaitan 1. Dr. A Arismunandar Mantan Dirjen LPE/Ketua PUKS Aktif

Pembuatan RUKN 2. Ir. Moelyadi Oetji Mantan Direktur Listrik Swasta

Ditjen LPE Aktif Pembuatan RUKN

3. Dr. Zuhal Mantan Dirut PT PLN Aktif Pembuatan RUKN & Penetapan Rensalita PT PLN 1992-1997

Sumber: Lampiran LHP BPKP, 1999

III.3.3.1.2. Proses Negosiasi Pembangunan Pembangkit Listrik Paiton I Salah satu ciri khas Orde Baru dalam menjalankan praktek pemerintahan yang

menguntungkan pihak-pihak tertentu adalah mengeluarkan berbagai peraturan perundangan untuk melegitimasi tindakan yang diambil.123 Pada kasus listrik swasta, hal semacam ini berulang kembali dengan menyiasati aspek-aspek peraturan perundangan yang tidak memperbolehkan PMA memasuki sektor ketenagalistrikan. Proses tersebut diawali dari perolehan SIP oleh konsorsium BMMG yang membentuk PT Paiton Energy Company/PEC yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penyediaan energi seperti PT Batu Hitam Perkasa, Indonesia, Mitsui Energy dari Jepang, dan Mission Energy serta General Electric dari Amerika Serikat. Kapasitas terpasang Paiton I ini adalah 2 x 615 MW. Konsorsium BMMG ini mulai mengadakan perundingan dengan pemerintah setelah memasukkan proposal secara resmi pada tanggal 23 September 1991 kepada Tim Persiapan Usaha Ketenagalistrikan Swasta (PUKS). Sementara menurut informan D, sebenarnya tambahan tenaga listrik yang diproduksi oleh pihak swasta 122 Ketika didesak untuk menyebutkan siapa saja Ginanjar’s Boys itu, Informan E dengan diplomatis menyebutkan bahwa mereka adalah staf-staf Ginanjar ketika itu. Namun bila melihat track record-nya maka kelompok ini diperkirakan mulai terbentuk pada masa deregulasi besar-besaran akhir tahun 1980-an dan dimulai saat Ginandjar menjabat sebagai wakil ketua Tim Sepuluh bentukan Sekneg yang dilanjutkan dengan jabatannya sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, lalu naik menduduki jabatan Ketua Bappenas sekaligus Menteri Kordinator bidang Ekuin. Dengan posisinya sebagai Menko Ekuin maka ia dapat mengisi posisi-posis strategis dalam departemen-departemen teknis serta lembaga-lembaga pemerintahan strategis lainnya dengan orang-orang yang mampu memberikan dukungan politik serta finansial terutama dalam hubungannya dengan Golkar yang diketuai oleh Soedharmono, patron politiknya di Sekretariat Negara. Dengan demikian maka secara organis ia telah membangun dominasi kelompok insinyur dalam kabinet Pembangunan sejak Pemilu 1992. Mereka yang termasuk di dalam kelompok ini antara lain terdiri dari Mantan Menteri Perindustrian Hartarto Sastrosoenarto, Mantan Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo, dan Mantan Menkeu JB Sumarlin, sementara dari kelompok pengusaha pribumi nasionalis terdapat nama-nama antara lain Aburizal Bakrie, dan Arifin Panigoro. Kelak kelompok ini membentuk suatu koalisi baru yang terdiri dari oligarki kelompok politik Ginandjar dan kelompok bisnis yang kebanyakan diisi oleh insinyur-insinyur dari ITB. Wawancara off the record, 14 April 2000 dengan UC. Peran Ginandjar dan kelompoknya dalam kasus Pertambangan lihat Y. Tomi Ariyanto, Rendahnya Otonomi Negara Orde Baru Berhadapan Dengan Operasi PT Freeport Indonesia di Papua Barat, skripsi S-1 FISIP UI (tidak diterbitkan), 2000, hal.75-78 123 Lihat hasil penelitian Masyarakat Transparasi Indonesia, Keppres-Keppres Bermasalah, MTI, 1999.

Page 108: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

100

tersebut tidak diperlukan lagi, khususnya bagi pulau Jawa, mengingat listrik di pulau Jawa sudah mencapai over capacity sebesar lebih dari 5.000 MW dari 15.694 MW kapasitas tersedia, padahal beban puncak pemakaian maksimum adalah sebesar 10.447 MW.124 Sementara daerah lainnya di Indonesia masih banyak yang membutuhkan tenaga listrik seperti Sulawesi yang kini baru diisi oleh dua pembangkit listrik swasta yang sudah beroperasi, yaitu PLTGU Sengkang (135 MW) dan PLTD Pare-Pare (60 MW).

Dalam proses mewujudkan proyek pembangkit listrik Paiton I dilakukan negosiasi yang

akhirnya menghasilkan kesepakatan antara PLN dengan PT PEC (Paiton Energy Company) sebagai Independent Power Producer (IPP) tentang Power Purchase Agreement (PPA) pada tanggal 12 Februari 1994 dan disusul dengan kontrak pembangunan PLTU 21 April 1995. Namun masa-masa diantara proses negosiasi tersebut dipergunakan oleh PEC (c.q Tim Negosiasi Konsorsium - TNK) untuk melakukan lobi kepada pihak-pihak yang terkait erat dengan lolosnya pembangunan pembangkit listrik tersebut. Salah satu upaya lobi yang umum dipergunakan dalam proyek-proyek dimana keluarga Cendana mempunyai andil didalam proyek tersebut adalah dengan menggunakan pengaruh kekuasaan lembaga kepresidenan yang saat itu dikelilingi oleh kelompok koalisi antara inti keluarga Cendana dengan kelompok para teknokrat yang masih ingin mempertahankan penciptaan basis industri yang luas, mahal, dan berteknologi tinggi. Dan kelompok para insinyur penganjur pasar bebas berorientasi ekspor dengan beberapa pengusaha muslim pribumi yang sering tersingkir dari kancah pertarungan bisnis dengan pengusaha Tionghoa yang memiliki kedekatan dengan Cendana.

Disamping arah kebijakan negara terhadap sektor manufaktur yang didukung oleh iklim

investasi energi di Asia yang prospektif 125, konfigurasi kelompok-kelompok pengambilan keputusan tersebut secara hipotetis turut menjadi faktor penting yang berfungsi mengoptimalkan bagaimana monopoli sumber daya energi diperoleh. Oleh karenanya masing-masing kelompok akan berupaya secara maksimal untuk mempengaruhi akses politik kepada sumber daya energi. Salah satu wujud yang paling nyata dari upaya tersebut bahkan dilakukan dengan mensubordinasikan hukum justru melalui instrumen-instrumen hukum sehingga memiliki dampak tekanan politik kepada mereka yang secara teknis bertugas mengelola proyek-proyek pembangunan. Banyaknya pembuatan keppres yang bertentangan bahkan mensubordinasi undang-undang mengindikasikan arah yang cukup jelas bagaimana masing-masing pihak berupaya memperoleh previlese-previlese atas akses sumber daya tersebut. Misalnya tekanan kepada TNP (Tim Negosiasi Pemerintah) tidak hanya dilakukan dengan perintah-perintah langsung melainkan juga dengan membuat peraturan perundangan baru oleh pejabat-pejabat pemerintah, terutama menteri-menteri teknis terkait pada waktu itu.

124 Wawancara, 26 Agustus 1999 dengan D. 125 “(After 1997 on ward) The type of projects being financed is also changing. Energy projects are on the increase in India, China, Indonesia, and Korea…” Lihat Joy Lee, The New Face of Project Finance, dalam Asiamoney, Vol.VI, No.6, Hongkong, July-August 2000, hal. 31

Page 109: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

101

Tabel 12 Peraturan Perundangan Yang Menghambat Investasi Listrik Oleh Swasta & PMA

No Peraturan Terkait Keinginan PEC UU 15/1998 tentang

Ketenagalistrikan dan PP 10/1989

Konsorsium menghendaki pengecualian dari ketenagalistrikan dan ketentuan sebagai public utilities. Konsorsium menghendaki adanya peraturan pelaksanaan yang mengadopsi kepentingan diatas, yaitu dikeluarkannya Keppres 37 Tahun 1992

UU 1/1967 jo UU 11/1970 tentang PMA

Konsorsium menghendaki: diperbolehkannya PMA memasuki bidang ketenagalistrikan diberikan fasilitas repatriasi modal, keuntungan dan biaya terkait, selian fasilitas perpajakan. Kedua kepentingan diatas diakomodasi dalam Keprres 37/1992 dan keputusan Menteri Keuangan

UU Pelaksanaan APBN jo Keppres 29/1984

Konsorsium menghendaki dibebaskannya dari ketentuan penggunaan Keppres 29/1984. Dituangkan dalam tariff adjustment yang tertuang dalam PPA

Sumber: LHP BPKP, 1999 Responsi terhadap permintaan akan previlese tersebut sebagian besar dipenuhi

departemen-departemen teknis tersebut dengan dikeluarkannya beberapa peraturan setingkat keppres untuk memberikan citra legal atas subordinasi hukum tersebut, seperti yang diajukan dibawah ini.

Tabel 13 Peraturan Perundangan Yang Dikeluarkan Untuk Melancarkan Investasi Listrik Swasta No Peraturan yang

Disubordinasi Bentuk

Subordinasi Hukum Penguat

Tindakan Prakiraan Dampak

Tindakan Subordinasi Hukum

1. UU 15/1985 jo PP 10/1989 tentang public utilities; PP 36/1979 mengenai tenaga listrik eks PIUKU diperbolehkan sepanjang PLN ada/tidak mampu mensuplai daerah tersebut. Prinsipnya PIUKU menjual langsung ke masyarakat

Konsorsium tidak tunduk pada ketentuan public utilities dengan konsekuensi: tidak memiliki tanggung jawab ke masyarakat secara langsung akan menjual seluruh produksinya kepada PLN

Keppres 39/1992 berisi a.l: tidak mengatur mengenai sifat public utilities perusahaan swasta (diluar PIUKS) dapat menjual kepada PLN

Hak masyarakat untuk memperoleh tenaga listrik dengan harga terjangkau tidak terpenuhi PLN diposisikan sebagai single buyer untuk hasil produksi seluruh perusahaan listrik swasta

2. UU 1/1967 jo UU 11/1970 mengenai: bidang tenaga listrik tertutup untuk PMA tidak dapat diberikan fasilitas repatriasi modal, keuntungan, dll, sepanjang telah menikmati fasilitas pajak jangka waktu pemberian fasilitas pajak maksimal 3 tahun

konsorsium memasukkan bidang usaha yang tertutup bagi PMA konsorsium menikmati fasilitas repatriasi modal, keuntungan, dll, sekaligus fasilitas perpajakan fasilitas perpajakan dinikmati sepanjang usia usaha (30 tahun)

Keppres 37/1992 Kep Menkeu No. 128/KMK.00/1993 tentang pemberian fasilitas perpajakan Surat persetujuan Presiden tentang PMA No. B-23/Pres/2/1993 tanggal 27/2/1993 PPA

Listrik swasta tumbuh tidak terkendali Negara dirugikan secara ekonomis atas fasilitas pajak

3. UU Pelaksanaan APBN jo Keppres 29/1984 tentang: prosedur pengadaan di lingkungan

konsorsium merupakan calon pemasok tunggal dengan hak exclusivity period konsorsium tidak

Keppres 37/1992 yang memungkinkan pelaksanaan tanpa tender Surat Mentamben

Negara tidak dapat memperoleh harga yang paling menguntungkan. Malah memperoleh harga paling mahal

Page 110: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

102

Dep/LND/BUMN/D keharusan memperoleh harga yang paling menguntungkan negara kewajiban produksi dalam negeri keharusan post audit larangan cost plus fee

menghendaki adanya post audit

No.383/M.DJL/1994.1/2/1993 tentang penggunaan bagian royalti pertambangan batu bara milik Pemerintah PPA Appendix S PPA menggunakan prinsip passthrough. Implementasinya melalui penyesuaian tarif

Negara dirugikan dari hilangnya penerimaan royalti tambang batu bara, karena pada dasarnya yang membayar adalah PLN sendiri Negara dirugikan dengan prinsip passthrough

Sumber: BPKP, 1999 Salah satu ciri khas patronase korup Orde Baru yang menyangkut interkasi antara negara

dan modal yaitu ketidakseimbangan status nampak berada diantara dua bagian pihak yang terlibat, yaitu para pejabat tinggi terhadap PT PEC seperti terdapat pada patronase tradisional. Tetapi biar bagaimanapun juga superioritas politik patron tidak selalu diwujudkan dalam operasionalisasi ekonomi si klien sehingga sebenarnya kedua pihak tidak secara politik terkait langsung pada pusat hubungan tersebut. Oleh karena itu seringkali upaya-upaya untuk menemukan secara eksak hasil dari pola hubungan yang demikian hanya dapat dilakukan melalui asumsi-asumsi yang paling mendekati fenomena Paiton I. Seperti misalnya dugaan-dugaan yang dikeluarkan dalam laporan BPKP bahwa konsorsium BMMG melakukan pembayaran-pembayaran tidak semestinya (suap/bribe/speedy money) kepada pihak-pihak atau orang-orang tertentu yang mempunyai kewenangan memutuskan masalah kelistrikan Paiton I. Laporan BPKP sendiri memang tidak menyebutkan siapa saja yang mendapatkan pembayaran suap tersebut, tetapi menyebutkan bahwa beberapa pihak memberikan perlakuan yang sangat istimewa, diantaranya Ketua TNP, Dirjen LPE/Ketua PUKS, Mentamben, Kepala BKPM, hingga Presiden RI saat itu.126 Indikator pemberian previlese tersebut dapat dilihat dari tanggal-tanggal penting terbitnya surat persetujuan PMA BMMG/PEC yang mendahului PPA 12 Februari 1994 antara PLN dengan PEC.

Tabel 14 Sebagian Proses Yang Menggambarkan Perlakuan Istimewa Pemerintah Kepada

BMMG/PEC No Tanggal Keterangan

1. 23-02-1991 Surat penawaran BMMG 2. 23-10-1993 Persetujuan pembangunan PLTU Paiton I dari Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman

Komersial Luar Negeri (Tim PKLN) 3. 19-01-1993 Surat Deputi Ketua BKPM kepada TNP mengenai konsep rancangan SPPP atas

aplikasi PMA oleh BMMG 4. 17-02-1993 Pengajuan aplikasi PMA oleh BMMG kepada BKPM atas dasar konsep SPPP yang

telah dibahas bersama antara TNP, BMMG dan dikonsultasikan dengan Asisten IV Menko Ekuin/Wasbang

5. 18-02-1993 Laporan hasil negosiasi Paiton I dari Ketua TNP kepada Dirjen LPE/Ketua PUKS 6. 18-02-1993 Laporan hasil negosiasi Paiton I dari Dirjen LPE/Ketua PUKS kepada Mentamben 7. 18-02-1993 Persetujuan atas hasil negosiasi paiton Swasta I dari Mentamben kepada Dirjen

LPE/Ketua PUKS 8. 19-02-1993 Persetujuan negosiasi Paiton Swasta I dari Dirjen LPE kepada Ketua BKPM 9. 24-02-1993 Permohonan PMA BMMG dari Ketua BKPM 10. 27-02-1993 Persetujuan Presiden tentang PMA BMMG

Sumber: LHP BPKP, 1999

126 Lihat LHP BPKP, hal. 7.

Page 111: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

103

Meskipun terdapat keterbatasan data eksak namun kita masih dapat melihat sebagian

elemen dalam tipe pola korupsi dengan merujuk pada elemen development expense yang dalam laporan penting tersebut terdapat nilai sebesar US$ 20 juta. Berdasarkan perbandingan kronologis terlihat bahwa nilai itu dikeluarkan dalam proses menuju dan sepanjang tanggal-tanggal penting tersebut. Indikator tersebut diperkuat dengan rincian biaya investasi yang terlampir dalam surat Mentamben kepada Presiden RI No. 2150/46/M.SJ/1993 tanggal 19 Juni 1993, yang menyatakan bahwa development expense yang dianggarkan adalah sebesar US$ 50 juta. Indikator lainnya yaitu data dari laporan keuangan PT. PEC tahun 1994 menunjukkan adanya pos keuangan yang disebut dengan Project Development Costs yang terdapat di dalam neraca tersebut sebagai biaya yang dikapitalisir dengan nilai US$ 22,234,213. Tidak terdapat disclosure sama sekali atas pos tersebut meskipun terhadap total aktiva Project Development Costs memiliki porsi yang sangat material karena lebih dari 50%.

Tim Negosiasi Pemerintah menghendaki step tariff yang membebani PLN. LHP BPKP

menyatakan bahwa tidak seharusnya TNP sebagai wakil Pemerintah mengesampingkan kepentingan PLN/negara dalam pembahasan cara pembayaran yang paling menguntungkan. Dengan three step tariff, maka PLN akan mengalami tekanan likuiditas pada tujuh tahun pertama. Padahal Bank Dunia dalam Implementation Completion Report 1996 Paiton PLN unit 1 & 2 telah memberikan peringatan bahwa PLN akan mengalami problem kesulitan likuiditas kronis pada tahun 1996 berkenaan dengan telah jatuh temponya kewajiban finansialnya.

III.3.3.1.3. Masalah Utang Luar Negeri & Pengaruh Lembaga Keuangan Internasional

Peraturan-peraturan mengenai pembangunan pembangkit tenaga listrik pada dasarnya

termasuk ke dalam peraturan perundangan mengenai pengadaan. Sektor pengadaan diatur mengingat pada awalnya peraturan tersebut merupakan sarana yang dipergunakan untuk membatasi dan mengerem pelaksanaan proyek-proyek pemerintah agar dapat terhindar dari hutang-hutang luar negeri yang sangat memberatkan. Untuk itu dibentuklah Tim Sepuluh oleh Bappenas dengan motornya Widjoyo Nitisastro, namun pada perjalanannya para ekonom yang ditempatkan didalam Tim Sepuluh tidak memiliki kewenangan dalam pengendalian. Beberapa alasan yang mendasari hilangnya kendali tersebut yaitu pertama, tim tersebut menginduk pada Sekretaris Negara dan bukan pada Departemen Keuangan atau Bappenas dimana pada tahun 1983 Soedharmono diangkat sebagai penanggungjawabnya dengan Ginandjar Kartasasmita sebagai wakil ketua melalui Dekrit Presiden 17/1983. Kedua, oleh karena itu pertanggungjawaban dilakukan terhadap presiden dan bukan kepada dua lembaga pemerintah di atas.

Ketertarikan pada aktivitas yang dinilai bakal menguntungkan ini dimulai dari adanya dana

pinjaman luar negeri yang tidak habis terpakai sehingga dana tersebut menjadi tidak produktif bagi sistim perekonomian secara keseluruhan (kapitalisme). Disamping itu dana tersebut sebenarnya dipergunakan untuk melaksanakan program darurat dengan membeli beberapa jenis kebutuhan proyek dari luar negeri. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara pasca krisis anggaran pertengahan tahun 1980-an yang ditandai dengan meningkatnya pembangunan sektor manufaktur mulai dari hulu hingga hilir maka proyeksi-proyeksi pembangunan bidang infrastruktur pun diarahkan untuk menunjang sektor tersebut, termasuk kelistrikan nasional. Namun demikian pengelolaan dana pinjaman tersebut masih dibelit dengan persoalan klasik yaitu manajemen keuangan negara yang tidak rasional secara ekonomi. Misalnya, dalam kasus Paiton I, dimana penggunaan dana untuk program darurat krisis justru diarahkan

Page 112: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

104

untuk membiayai proyek yang tidak dibutuhkan oleh PLN yaitu, disatu sisi, PLN diminta menjual proyek listrik kepada swasta dengan harga murah karena proyeknya dianggap belum selesai. Disisi lain, apabila telah dijual maka PLN wajib membeli listrik swasta milik PT PEC tersebut dengan membayar biaya listrik yang dijual lebih mahal dari pada sebelumnya saat Paiton masih kelola oleh PLN. Kemudian dalam kasus listrik Tanjung Jati B, pihak kreditor mengarahkan agar utang yang diberikannya dimanfaatkan untuk tujuan yang menurut PLN kurang bermanfaat. Hal ini berhubungan dengan tawaran dana lunak dari Jepang, yaitu special yen loan dalam kerangka Miyazawa Plan. Menurut Informan C, special yen loan tersebut merupakan dana-dana Jepang yang disediakan untuk menolong Indonesia keluar dari krisis ekonomi.

Tetapi yang menjadi pertanyaan Informan C adalah usulan Pemerintah mengenai

penggunaan dana ini ditujukan untuk tujuan yang sebenarnya tidak penting, seperti pembangunan jalan tol, jalur kereta api, dan yang berhubungan dengan PLN adalah usulan untuk buyout Tanjung Jati B. Menurut Informan C, PLTU Tanjung B adalah proyek yang belum selesai dan sebenarnya kurang urgensinya. Lebih lanjut Informan C menyatakan bahwa yang lebih urgen sebenarnya banyak, misalnya listrik desa. Informan C kemudian menceritakan bahwa PLTU Tanjung B ini memakai barang Jepang dan sebenarnya kebutuhan untuk masuk sistem PLN dapat ditunda 5 tahun. Kemudian Informan C mengatakan bahwa karena special yen loan ini murah, mengapa tidak PLTU Tanjung Jati B ini saja yang meminjam, sehingga biaya produksi dan harga jual listriknya kepada PLN murah. Sebab kalau pemerintah yang meminjam akan menambah utang negara dan menjadi beban pinjaman negara untuk proyek yang sebetulnya tidak perlu.

Tim Negosiasi Pemerintah menghendaki step tariff yang membebani PLN. LHP BPKP

menyatakan bahwa tidak seharusnya TNP sebagai wakil Pemerintah mengesampingkan kepentingan PLN/negara dalam pembahasan cara pembayaran yang paling menguntungkan. Dengan three step tariff, maka PLN akan mengalami tekanan likuiditas pada tujuh tahun pertama. Padahal Bank Dunia dalam Implementation Completion Report 1996 Paiton PLN unit 1 & 2 telah memberikan peringatan bahwa PLN akan mengalami problem kesulitan likuiditas kronis pada tahun 1996 berkenaan dengan telah jatuh temponya kewajiban finansialnya.

Dana PLN yang berasal dari utang luar negeri ini diberikan dalam bentuk two step loans,

yaitu offshore loans Pemerintah yang kemudian dipinjamkan kembali kepada PLN untuk pembiayaan proyek-proyeknya.127 Dengan demikian, terlihat jelas bahwa peran Pemerintah memang sangat besar dalam mendapatkan utang luar negeri ini. Seperti telah dijelaskan di atas, peran Pemerintah ini terutama dilakukan oleh Bappenas, Departemen Keuangan, Ekuin-Wasbang dan Departemen Pertambangan dan Energi.

127 Lihat Independent Auditor’s Report To The Shareholder Of PT PLN (Persero) and Subsidiaries, Drs. Hadi Sutanto & Rekan-Price Waterhouse, 1997.

Page 113: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

105

Tabel 15 Posisi Utang Luar Negeri Jangka Panjang PLN Berdasarkan Skema Two Step Loans

Tahun 1996 No Kreditur Jumlah (Rp) Dibayar dalam Rupiah 1. Bank Dunia (IBRD) 3.709.938.185.328 2. Asian Development Bank 1.583.119.305.243 3. Kuwait 7.988.142.232 4. KfW Jerman 1.536.518.316.546 5. USAID 9.064.872.595 6. CDC Inggris 10.126.599.536 7. Swiss Confederation 69.700.952.608 8. US Exim Bank 282.315.211.108 9. Exim Bank of Japan 905.781.635.391 10. Meespierson NV 47.557.065.505 11. Gen. Bank Barclay 60.933.127.922 12. Midland Bank 121.738.606.200 13. Konsorsium Bank Swiss 464.896.616.235 14. Banque Paribas 48.739.814.536 15. Ryoshin Int 113.584.647.097 16. Bank Austria 32.909.584.712 17. Bank of China 6.739.912.881 Dibayar dalam US$ 1. Bank Dunia (IBRD) 117.800.316.063 2. Sumisho Leasing 112.392.922.742 3. Nebula Leasing 51.309.568.659 Dibayar dalam NLG ABN Amro Bank 145.413.323.785 Dibayar dalam BEF 1. Gen. Bank Barclay 5.548.038.671 2. Dibayar dalam FRF 3. Banque Paribas 17.580.945.955 Dibayar dalam GBP West Merchant Bank 9.695.045.633 Total 9.471.392.757.183

Sumber: Independent Auditor’s Report Of PT PLN and Subsidiaries, Drs. Hadi Sutanto & Rekan-Price Waterhouse, 1997.

Dalam hubungannya dengan utang luar negeri dan lembaga keuangan internasional,

Informan C menceritakan bagaimana pihak kreditor mengarahkan agar utang yang diberikannya dimanfaatkan untuk tujuan yang menurut PLN kurang bermanfaat. Hal ini berhubungan dengan tawaran dana lunak dari Jepang, yaitu special yen loan dalam kerangka Miyazawa Plan. Menurut Informan C, special yen loan tersebut merupakan dana-dana Jepang yang disediakan untuk menolong Indonesia keluar dari krisis ekonomi.

Tetapi yang menjadi pertanyaan Informan C adalah usulan Pemerintah mengenai

penggunaan dana ini ditujukan untuk tujuan yang sebenarnya tidak penting, seperti pembangunan jalan tol, jalur kereta api, dan yang berhubungan dengan PLN adalah usulan untuk buyout Tanjung Jati B. Menurut Informan C, PLTU Tanjung B adalah proyek yang belum selesai dan sebenarnya kurang urgensinya. Lebih lanjut Informan C menyatakan bahwa yang lebih urgen sebenarnya banyak, misalnya listrik desa. Informan C kemudian menceritakan bahwa PLTU Tanjung B ini memakai barang Jepang dan sebenarnya kebutuhan untuk masuk sistem PLN dapat ditunda 5

Page 114: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

106

tahun. Kemudian Informan C mengatakan bahwa karena special yen loan ini murah, mengapa tidak PLTU Tanjung Jati B ini saja yang meminjam, sehingga biaya produksi dan harga jual listriknya kepada PLN murah. Sebab kalau pemerintah yang meminjam akan menambah utang negara dan menjadi beban pinjaman negara untuk proyek yang sebetulnya tidak perlu.

Mengenai peran Bank Dunia dan IMF, Informan C menceritakan bahwa untuk

menghentikan listrik swasta yang sudah mencapai lebih 50 buah, PLN harus melobi Bank Dunia dan IMF agar menekan Pemerintah Indonesia. Akhirnya keluar Keppres No. 5 tahun 1998 tanggal 10 Januari 1998 yang mereview kontrak-kontrak listrik swasta.

Khusus untuk Paiton I, secara keseluruhan pembiayaannya dibiayai oleh beberapa pihak,

langsung maupun tidak langsung. Diantaranya adalah Pemerintah Amerika Serikat melalui OPIC dan US Exim, Pemerintah Jepang melalui Jexim dan MITI, Bank Dunia dan commercial lenders.128 Modal Paiton I yang berasal dari pinjaman ini sebesar US$ 1.600.000.000, atau senilai 80% dari nilai proyek sebesar US% 2.000.000.000. Sedangkan modal sendiri sebesar US$ 400.000.000, senilai 20% dari nilai proyek.

Sebuah artikel di Majalah Listrik Indonesia No. 1 tahun 1999 memberikan contoh

menarik mengenai keterlibatan Bank Dunia dan Pemerintah Amerika Serikat dalam kasus Paiton I.

…Pihak Bank Dunia, hanya sanggup menyediakan 2 miliar USD per tahun. Atas saran Bank Dunia, maka diajaklah pihak swasta untuk ikut mendirikan pembangkit listrik yang produknya dijual kepada PLN. Singkat kata, usulan Bank Dunia disetujui. Kemudian pertemuan antara Wakil Presiden AS Dan Quayle dengan Soeharto , konon melahirkan kesepakatan untuk memilih Intercontinental Electric Inc yang bermarkas di Hingham Massachusetts, yang oleh Soeharto digandengkan dengan puteranya Bambang Trihatmodjo untuk mendirikan Paiton Swasta I. Tetapi kemudian gandengan antara Bambang Tri dengan Intercontinental Electric Inc pecah dan munculah Edison Mission Energy dan General Electric. Yang kemudian menggandeng PT Batu Hitam Perkasa milik Hashim Djojohadikusumo…

III.3.2.2. Pengadaan Tingkat Manajemen Menengah Dan Bawah/Operasional

Unit-unit yang berhubungan dengan fungsi operasional PLN meliputi beberapa divisi;

divisi pembangkitan, divisi transmisi dan gardu induk serta divisi distribusi. Unit-unit operasional tersebut merupakan bagian yang paling menentukan dalam efektifitas kerja PLN mulai dari aspek perencanaan hingga distribusi ke pelanggan (konsumen). Dalam melakukan fungsinya unit-unit operasional banyak berhubungan instansi-instansi lain yang pada akhirnya memberikan kontribusi bagi inefiensi PLN yang terutama berawal dari kurangnya koordinasi antara PLN dengan instansi-instansi tsb maupun rekayasa yang dilakukan sejak awal perencanaan proyek-proyek operasional PLN.

128 Lihat majalah Gamma, 2 Januari 2000.

Page 115: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

107

Gambar 7 Jalur Unit Operasional PLN

Untuk menganalisa korupsi pada level operasional terutama dilihat dari aspek

perencanaan yang turunannya adalah anggaran bagi proyek-proyek operasional PLN serta kerugian PLN dari pencurian listrik yang dilakukan oleh konsumen.

III.3.3.5.1. Pengadaan material operasional

Salah satu peluang terjadinya manipulasi dalam tugas-tugas pelayanan PLN adalah

berkaitan dengan penyediaan material pendukung operasional PLN mulai dari material gardu induk, jaringan tegangan menengah, jaringan tegangan rendah dan sampai kepada Kwh meter. Untuk penyediaan material pendukung operasional tersebut PLN bekerja sama dengan pihak penyalur, menurut informan S memang pernah terjadi manipulasi berkaitan dengan hal tersebut. Polanya sendiri relatif mirip dengan pola-pola korupsi di dalam pengadaan sebuah proyek, yaitu berupa mark up. Di sini, korupsi yang terjadi melibatkan orang dalam PLN sendiri yang berkolusi dengan pihak penyalur.

III.3.3.5.2. Perencanaan

Pada prinsipnya, pola korupsi ini dilakukan dalam proses perencanaan proyek-proyek operasional PLN. Pola korupsi ini berkaitan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaan proyek untuk dimasukkan dalam anggaran operasional tahunan. Pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaan ini terutama adalah manajemen puncak dan menengah dari kantor wilayah atau distribusi beserta biro perencanaan pada kantor pusat sebagai mitranya. Modus operandi yang dilakukan adalah pengambilan keuntungan yang diperoleh dari jumlah alokasi dana yang diberikan atau mark up atas anggaran proyek operasional tahunan. Hal ini dilakukan dengan melakukan lobby untuk meloloskan rencana anggaran tersebut129.

Informan B menyebutkan bahwa perencanaan dan pengadaan yang terpusat merupakan

biang keladi dari korupsi jenis ini. Informan B melukiskan perencanaan terpusat ini dilakukan mulai dari Kwh meter sampai transmisi. Tetapi Informan B sendiri menyebutkan bahwa praktek perencanaan terpusat ini memang akibat banyaknya campur tangan banyak lembaga pada PLN, 129 Informasi didapatkan dari wawancara dengan informan U, sementara dari wawancara dengan informan M ia tidak secara tegas menyebutkan sebagai proses lobby, tetapi "ada proses-proses yang harus dilewati".

Divisi Pembangkitan

Divisi transmisi & gardu induk

Divisi distribusi

Perusahaan instalatir (swasta)

yang ditunjuk PLN

Konsumen

Gardu

Penyediaan Energi (tugas PLN)

Pekerjaan Penunjang

(bukan tugas PLN)

Page 116: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

108

seperti Bappenas, Departemen Pertambangan dan Energi, Menko Ekuin, dsb. Masing-masing lembaga-lembaga ini membawa kepentingan masing-masing dan memberi PLN instruksi untuk mengambil barang-barang yang telah mereka usahakan.

Sebagai ilustrasi kuatnya kepentingan pihak-pihak di luar PLN dalam aspek perencanaan

yang menyebabkan inefisiensi di tubuh PLN adalah data yang diperoleh dari informan M. Informan M meyebutkan aspek perencanaan PLN dapat saja sangat bersifat politis terutama berkaitan dengan kepentingan pemenangan/kampanye Pemilu.130 Penyediaan listrik, terutama di daerah-daerah merupakan cara-cara yang kerap digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik yang pada akhirnya membebani PLN dengan biaya investasi yang tinggi dan tidak sesuai dengan hasil yang diterima oleh PLN. Menurut informan M, idealnya aspek perencanan operasional PLN tergantung pada rekomendasi yang diberikan oleh divisi distribusi karena divisi tsb yang paling mengetahui tingkat pertumbuhan kebutuhan listrik. Prakteknya selama ini divisi distribusi tidak (dapat) memberikan rekomendasi bagi pembangunan proyek proyek operasional PLN.

Proses perencanaan yang di sisi atas ditekan dan di sisi bawah dirongrong ini

mengakibatkan ketidakefisienan pengelolaan PLN, karena terjadinya proyek-proyek yang kurang diprioritaskan dan penundaan proyek karena terjadinya kesalahan perencanaan. Akibat selanjutnya adalah membengkaknya beban anggaran akumulatif per tahun yang harus ditanggung oleh PLN.

Gambar 8

Pola-Pola Korupsi Pada Aspek Perencanaan Operasional PLN

III.3.2.3. Pencurian Listrik

Secara teknis tegangan PLN dapat mengalami losses atau hilangnya sejumlah tegangan

akibat beberapa persoalan teknis yang tidak dapat dihindari, seperti karena panjangnya transmisi, usia atau kondisi gardu dan lain-lain. Menurut informasi yang didapat baik dari informan U, K dan M tingkat losses yang dapat diterima menurut standar internasional adalah maksimal 6% sampai 7%. Sementara itu tingkat losses di Jakarta saja sekitar 10,94% yang menurut informasi dari ketiga informan tersebut kemungkinan besar selisih dari angka 7% sampai 10,94% (3,94%) adalah kerugian PLN akibat praktek-praktek pencurian listrik.131 130 Informasi didapat dari wawancara. 131 Informasi berdasarkan wawancara dengan informan U, K dan M.

Tekanan dari birokrasi : Bappenas Deptamben Deperindag Depkeu Pemda, dll

Rencana Kelistrikan 5 tahun (PLN Pusat)

Rencana kelistrikan tahunan (Rapat koordinasi PLN dengan instansi-

instansi lain & Pemda)

Kerugian PLN akibat kesalahan investasi pada

proyek operasional

Page 117: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

109

Menurut Informan B, jika kita menghitung secara kasar persentase tersebut dengan

potensi pendapatan PLN, yaitu 4% dari 19 triliun, maka akan ketemu angka 760 miliar. Menurut Informan B itulah potensi kehilangan pendapatan PLN dari pencurian listrik. Lebih lanjut Informan B menyatakan bahwa angka losses sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Jika dihitung dari pendapatan 4,3 triliun, maka setiap turun 1%, PLN DKI kehilangan sekitar 43 miliar. Tetapi lanjutnya, untuk menangkap pencuri listrik ini sulit. Diantaranya karena ada orang dalam yang bermain, dari berbagai macam divisi.

PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang sendiri menurunkan OPAL (Operasi

Penertiban Aliran Listrik). Tim operasi ini paling tidak sudah mengungkap bahwa ada 14 konsumen listrik besar yang mencuri listrik. Akibat berbagai pencurian ini, PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang kehilangan daya sebesar 8,4 juta kWh dengan kerugian sekitar Rp 10 miliar.132 Pencurian ini sulit untuk ditanggulangi, sebab telah berupa jaringan sindikat yang profesional dan melibatkan orang dalam.

Pada intinya korupsi eksternal ini dilakukan oleh konsumen listrik yang bekerja sama

dengan oknum PLN dalam melakukan pencurian listrik atau manipulasi terhadap kewajiban pembayaran listrik. Pola korupsi ini melibatkan pihak petugas PLN & konsumen yang menikmati pelayanan penyediaan listrik. Level korupsi dalam hal ini yang melibatkan oknum PLN terutama pada tingkatan middle & lower management, terutama pada bagian distribusi yang berinteraksi langsung dengan konsumen baik rumah tangga maupun bisnis/perusahaan. Modus operandi yang digunakan adalah pembagian keuntungan antara konsumen oknum PLN dalam selisih kewajiban pembayaran yang harus dipenuhi oleh konsumen. Teknik korupsi yang dilakukan antara lain adalah manipulasi terhadap alat pencatat (meteran) listrik yang dilakukan oleh petugas distribusi atau penggunaan alat untuk memanipulasi kemampuan pencatatan listrik oleh PLN (berdasarkan informasi yang didapat hal tsb terutama dilakukan oleh kalangan bisnis apartemen atau perhotelan sejak proses pembangunan gedung).

Korupsi eksternal yang dilakukan oleh konsumen listrik yang bekerja sama dengan oknum

PLN dalam melakukan pencurian listrik atau manipulasi terhadap kewajiban pembayaran listrik. Pola korupsi ini melibatkan pihak petugas PLN & konsumen yg menikmati pelayanan penyediaan listrik. Level korupsi dalam hal ini yg melibatkan oknum PLN terutama pada tingkatan middle & lower management, terutama pada bagian distribusi yg berinteraksi langsung dengan konsumen baik rumah tangga maupun bisnis/perusahaan133. Modus operandi yg digunakan adalah pembagian keuntungan antara konsumen oknum PLN dalam selisih kewajiban pembayaran yg harus dipenuhi oleh konsumen. Teknik korupsi yg dilakukan antara lain adalah manipulasi terhadap alat pencatat (meteran) listrik yg dilakukan oleh petugas distribusi atau penggunaan alat untuk memanipulasi kemampuan pencatatan listrik oleh PLN (berdasarkan informasi yg didapat hal tsb terutama dilakukan oleh kalangan bisnis apartemen atau perhotelan sejak proses pembangunan gedung).

Menurut informasi dari informan T, PLN dapat mendeteksi kemungkinan pencurian

listrik berdasarkan perhitungan batas minimal atau batas maksimal pemakaian listrik berdasarkan 132 Lihat majalah Listrik Indonesia, Edisi April, Tahun II, 2000, hal 23. 133 Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa pembatasan tugas PLN adalah sampai pada tingkatan penyediaan energi seperti yang diutarakan oleh informan M (lihat diagram 3), sehingga terdapat kemungkinan manipulasi dalam bidang penyambungan instalasi listrik ke rumah berhubungan dengan petugas instalatir (swasta).

Page 118: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

110

tegangan yang terpasang. Dari penjelasan informan T tersebut modus operandi pencurian listrik yang dilakukan oleh konsumen terbagi pada 2 pola, yaitu manipulasi terhadap meteran yang mengukur pencatatan pemakaian listrik (pemakaian listrik yang tercatat di meter kwh lebih rendah daripada pemakaian sebenarnya), sedangkan pola yang kedua adalah pencurian energi listrik secara langsung sehingga pemakaian listrik melebihi kapasitas tegangan yang terpasang134.

Berdasarkan perhitungan dari pemakaian listrik yang tidak sesuai dengan batas bawah atau

batas atas tersebut bagian distribusi & cabang PLN akan mengirimkan tim Pengendalian & Penertiban Anggaran Listrik (PPAL). Kemungkinan kolusi selanjutnya terbuka antara konsumen yang melakukan pencurian listrik dengan tim PPAL.

Gambar 9

Pola-Pola Pencurian/Manipulasi Pemakaian Listrik Berdasarkan paparan di atas dengan melihat kerangka teoritik yang dibangun oleh Syed

Hussein Alatas, dapat disusun sebuah bagan yang menunjukkan tipe pola korupsi pada penyediaan listrik sebagai berikut di bawah ini:

Tabel 16

Tipe Pola Korupsi Pada Penyediaan Kelistrikan No Cakupan Bentuk Kegiatan Tingkatan Manajemen Tipe Korupsi

Pengadaan sumber daya strategis

Tinggi

a.Patronase Institusi secara transaktif lewat pencurian aset. b.Suportif

1.

Internal

Pengadaan operasional a.Tinggi b.Menengah

Autogenik-Transaktif lewat komisi atau suap

2. Eksternal Instalasi Bawah/operasional Ekstortif-Autogenik lewat pungutan liar

134 Informasi berdasarkan wawancarawawancara dengan informan T.

Meter Kwh, manipulasi terhadap pencatatanpemakaian listrik dilakukan dengan carapemasangan plat untuk memperlambat putaranpencatat pemakaian listrik.

Sambungan rumah (SR)

Conector, pencurian terhadapenergi listrik dilakukan denganalat ini yang dipasang pada SRuntuk mendapatkan surplus energilistrik melebihi kapasitastegangan terpasang.

Tiang listrik

Page 119: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

111

Pencurian sumber daya strategis a.Menengah b.Bawah

Transaktif lewat pungutan liar atau suap

Di dalam manajemen tingkat bawah dalam relasi antara PLN dengan masyarakat, terdapat

dua tipe korupsi, yaitu korupsi yang bersifat transaktif berupa pungutan liar atau suap dalam bentuk pencurian listrik, serta korupsi yang bersifat ekstortif-autogenik berupa pungutan liar yang biasa terjadi dalam proses instalasi listrik. Korupsi transaktif adalah korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua belah pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut. Sedangkan korupsi ekstortif-autogenik adalah korupsi yang menunjukkan adanya korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap untuk mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orangnya, atau hal-hal yang dihargainya dan korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahuinya seorang diri. Korupsi yang bersifat transaktif lewat pungutan liar ataupun suap juga terjadi dalam manajemen tingkat bawah, yang biasany terjadi dalam kasus pencurian listrik berskala besar (di tingkat perusahaan, misalnya).

Sedangkan dalam relasi internal di dalam tubuh PLN sendiri terdapat tiga tipe korupsi

yaitu korupsi yang bersifat patronase institusi secara transaktif lewat pencurtian aset dan tipe suportif, di mana keduanya terjadi dalam manajemen tingkat tinggi dan terjadi dalam proses pengadaan sumber daya strategis, serta tipe autogenik-transaktif, yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahuinya seorang diri dan korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua belah pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut, yang terjadi pada level manajemen menengah dan tinggi yang biasanya terjadi dalam pengadaan operasional. III.3.3. Deskripsi Korupsi pada sektor PAM Jaya III.3.3.1. Gambaran Singkat Mengenai Proyeksi Perusahaan Air Minum (PAM)

Penyediaan air minum di perkotaan pada dasarnya merupakan tanggungjawab pemerintah Daerah Tingkat II. Sampai dengan tahun 1997 telah terbentuk 303 PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut 2 (dua) PDAM adalah Perusahaan Daerah Tingkat I dan 301 Perusahaan Daerah Tingkat II. Saat ini hanya tinggal 15 BPAM (Badan Pengelola Air Minum) yang semuanya berada di Bagian Timur Indonesia135.

Pembinaan PDAM dilakukan secara bersama oleh Departemen Dalam Negeri dan

Departemen Pekerjaan Umum. Dalam Surat Keputusan Bersama Mentri Dalam Negeri dan Mentri Pekerjaan Umum Nomor 4 tahun 1984 dan Nomor 27/KPS/1984 tentang pembinaan Perusahaan Daerah Air Minum disebutkan bahwa Departemen Dalam Negeri melakukan pembinaan secara fungsional dari segi non-teknis perair-minuman, sedangkan Departemen

135 BPAM dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum yang berada di dalam suatu Wilayah Administratif Daerah Tingkat II dan merupakan kelanjutan dari Proyek Air Bersih yang mulai berfungsi dan dapat dimanfaatkan untuk masyarakat. BPAM juga memberikan jasa pelayanan air minum kepada masyarakat. Lebih dari 100 PDAM pada mulanya adalah BPAM yang berdasarkan kemampuan pengelolaannya berangsur-angsur dikembangkan menjadi PDAM.

Page 120: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

112

Pekerjaan Umum melakukan pembinaan secara fungsional dari seegi teknis dan teknologi perair-minuman136.

Menteri Dalam Negeri melalui surat keputusan No. 800.690.154, tanggal 5 Maret 1996 tentang klasifikasi PDAM dan karir pegawai PDAM, menetapkan klasifikasi PDAM dibagi dalam 4 kelas, yaitu :

1. Kelas A, jumlah pelanggan 1 s/d 10.000 (PDAM Kecil) 2. Kelas B, jumlah pelanggan 10.000 s/d 50.000 (PDAM Sedang) 3. Kelas C, jumlah pelanggan 50.000 s/d 100.000 (PDAM Besar) 4. Kelas D, jumlah pelanggan 10.000 ke atas (PDAM Besar)

Berdasarkan jumlah pelanggan, terlihat bahwa PDAM kecil mempunyai pelanggan 26,5%

dari jumlah pelanggan seluruh PDAM/BPAM, lalu PDAM tergolong sedang 41,2%, dan PDAM besar 32,3%. Sementara bila dilihat dari pendapatannya per bulan, 8 PDAM besar mempunyai pendapatan 41,6% dari total pendapatan PDAM sedang dan kecil. Gambaran tersebut mengisyaratkan bahwa sebagian besar PDAM/BPAM tidak mempunyai kemampuan keuangan yang merata, sebagian besar dapat dikatakan berada dalam keadaan yang sulit dan mempunyai sedikit peluang untuk berkembang.

Sampai dengan tahun 1996, Dirjen Cipta Karya masih membantu PDAM dalam penyiapan proyek-proyek yang dananya berasal dari pemerintahan pusat. Pada pengerjaan proyek-proyek tersebut pihak yang turut yaitu DJ Cipta Karya yang berperan dalam pengawasan aspek-aspek teknis dan konstruksi. Sementara Direktorat Jenderal Pengairan Umum dan Otorita Dalam Negeri (DJ PUOD), organ struktural di bawah Departemen Dalam Negeri melakukan pengawasan dan pemantauan perusahaan-perusahaan daerah termasuk PDAM dan memberikan pelatihan bagi pegawai PDAM dalam aspek-aspek keuangan dan administrasi. Lembaga pemerintah lainnya yang turut terlibat yaitu Departemen Kesehatan dalam hal penanganan pembinaan kualitas.137 Disamping itu terdapat badan lain diluar organ struktural (semi-official) pemerintah yang berhubungan dengan PDAM yaitu PERPAMSI, suatu Perkumpulan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia. Organisasi ini berbentuk asosiasi dari perusahaan-perusahaan daerah air minum dan mempunyai peran dalam kegiatan-kegiatan pelatihan serta penyebarluasan tatacara pengelolaan PDAM. Sebagai organisasi semi-official, PERPAMSI juga memiliki kekurangan yaitu antara lain staf pegawai yang masih sangat terbatas dan terlihat masih bertindak lebih sebagai tangan Pemerintah Pusat. Hal ini merupakan karakter spesifik dari model birokrasi yang sentralistis masih sangat kuat dimana DJ PUOD melakukan pembinaan terhadap jalannya organisasi PERPAMSI. Karena PERPAMSI merupakan organisasi yang lebih berafiliasi kordinatif di bawah Departemen Dalam Negeri, bantuan pembinaan teknis perair-minuman berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum, serta pembinaan kualitas air di bawah Departemen Kesehatan maka organisasi ini dapat dikatakan sebagai pertemuan antara ketiga

136 Departemen Dalam Negeri bertugas dan bertanggung jawab memberikan pembinaan yang dalam garis besarnya meliputi mengatur pedoman-pedoman, mempersiapkan dan memproses pembentukan perusahaan; membuatpedoman berupa peraturan-peraturan yang menyangkut bidang kepegawaian, kualifikasi jabatan, peraturan gaji dan kesejahteraan lainnya, membina peran serta masyarakat dan memproses pengesahan pinjaman dan kerjasama perusahaan. Departemen Pekerjaan Umum bertugas dan bertanggung jawab memberikan pembinaan yang dalam garis besarnya meliputi, bantuan pembangunan dan pengembangan sarana air minum, bantuan pembinaan bersifat teknik dan teknologi antara lain pembuatan pedoman operasi dan pemeliharaan,pedoman produksi dan distribusi dan lainnya yang berhubungan dengan masalah teknis dan teknologi; pembinaan dan peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga dalam bidang teknik dan teknologi. 137 Direktori Perpamsi 1998, hal. 5

Page 121: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

113

departemen tersebut.

Meskipun laporan keuangan dan penyiapan anggaran PDAM terpisah dari pemerintah daerah, namun pada kenyataannya seringkali PDAM tidak lebih sebagai salah satu aset daerah yang masih tergantung dari pemerintahan daerah dalam hal pengucuran dana. Kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikotamadya) selaku Ketua Badan Pengawas tidak banyak memberikan bimbingan dalam pengembangan pelayanan yang berkelanjutan. Badan pengawas cenderung dianggap terlalu banyak campur tangan dalam pengambilan keputusan yang seharusnya diputuskan oleh manajemen PDAM sendiri, seperti seleksi pegawai, pilihan-pilihan teknis, atau bahkan penetapan pemenang lelang.

Sebagian besar pemerintah daerah melihat PDAM sebagai sumber pendapatan yang potensial untuk memperoleh dividen darinya. Artinya disatu sisi pendapatannya yang masih kecil itu lebih diperlukan untuk membiayai perbaikan atau perluasan sistem. Di sisi lain pemerintah daerah cenderung menunda penyesuaian tarif karena alasan politis atau terlalu terpaku pada arus kas pendek padahal dengan peningkatan tarif pemerintah daerah juga akan mendapatkan deviden yang lebih besar bagi Pendapatan Asli Daerah. Kalaupun usulan peningkatan tarif dikabulkan namun jarang sekali pemerintah daerah menekankan pentingnya pengawasan pengelolaan melalui penghematan. Misalnya saja tingkat kebocoran, baik fisik maupun administrasi tahun 1997 PAM Jaya, sebelum swastanisasi, adalah 56% pertahun. Tingkat kebocoran ini diukur dengan cara volume air yang dialirkan dari instalasi pengolahan air dikurangi dengan volume air yang terjual kepada konsumen (kubikisasi yang tercetak).

Berdasarkan penilaian dalam Indonesia Urban Water Supply Policy Framework (IUWSPF) tahun 1997 dinyatakan bahwa PDAM tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dalam efisiensi operasinya, karena umumnya tidak memiliki otonomi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang relevan. Keadaan demikian sering ditemui pada BUMN-BUMN lainnya mengingat banyaknya kepentingan terlibat di dalam pengelolaan organisasi BUMN yang merupakan karakteristik umum yang kita temui dalam birokrasi korporatis Orde Baru. Makin tinggi nilai politis departemen yang membinanya, semakin rusak kinerja BUMN itu, dan semakin tinggi kadar kerusakannya semakin sulit pula membenahinya.138

Secara finansial pun PDAM tidak otonom. Saat ini pembiayaan program investasi PDAM sebagian besar berasal dari hibah dan pinjaman pemerintah serta sedikit sekali dana berasal dari PDAM itu sendiri. Bantuan dana yang terbesar adalah dari hibah pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang pada gilirannya meneruskannya ke PDAM sebagai penyertaan modal, atau dalam bentuk sarana yang dirancang dan dibangun oleh Dirjen Cipta Karya. Untuk memperkirakan besarnya investasi dan kebutuhan pembiayaan sektor air minum perkotaan selama Repelita VII dan VIII, demikian juga konsekuensinya terhadap tarif, ada empat skenario utama yang telah dibuat stimulasinya dengan menggunakan model.139 Untuk masing-masing skenario dibuat asumsi dasar. Asumsi-asumsi tersebut diberlakukan terhadap :

a) Elastisitas pemakaian terhadap kenaikan tarif dan pendapatan b) Biaya pembangunan dan operasi/pemeliharaan c) Pengurangan kehilangan air dan biaya masukan

138 Kompas. Sabtu, 26 September 1998 139 Alain Lacussol, Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework, Indonesia Discussion Paper, ERASUR, 30 Oktober 1997

Page 122: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

114

d) Kondisi pendanaan Berdasarkan rekomendasi yang tertuang dalam IUWSPF 1997 untuk semua skenario,

pendapatan dianggap dapat menutupi biaya operasi/pemeliharaan, kewajiban utang dan kontribusi paling tidak 25% untuk program investasi. Adapun skenario-skenario tersebut adalah:

Skenario 1.a; “Bussiness as usual” Skenario 1.b; “Business as usual, tapi dengan cakupan pelayan 62% pada 2008” Skenario 2.a; “Cakupan pelayanan 62% pada 2008 dengan peningkatan peran serta sektor

swasta” Skenario 2.b; “Cakupan pelayanan 62% pada 2008 dengan peran serta swasta secara

maksimum” III.3.3.2. Sekilas tentang PAM Jaya

PAM JAYA adalah perusahaan milik daerah yang bergerak di bidang pengusahaan, penyediaan dan pendistribusian air minum serta usaha-usaha lain yang berkaitan dengan air minum. Badan yang berdiri pada tahun 1920 dengan nama Gementeestaatwaterleidengen van Batavia ini menemukan sumber air artesis di Ciomas, Ciburial, Bogor dengan kapasitas 484 l/detik. Penemuan tersebut ditindaklanjuti dengan pembangunan sarana jaringan pipa sepanjang 53,231 km menuju Kota Batavia (Jakarta).

Pasca kemerdekaan, pengelolaan air minum diambil alih oleh pemerintah dan operasinalisasinya diserahkan kepada Dinas Saluran Air Minum Kota Praja dibawah Kesatuan Pekerjaan Umum Kota Praja. Pada tahun 1953 instalasi air Pejompongan dibangun dengan kapasitas 2000 l/detik. Pembangunan instalasi Pejompongan mengunakan teknologi dari Perancis. Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1964, Perusahaan Degreemont Perancis mendapat kepercayaan untuk membangun instalasi air Pejompongan II dengan kapasitas produksi 3000 l/detik.

Ketika Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI, telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 1b/3/22/1968 yang berisi tentang pengambilalihan pengelolaan perusahaan daerah air minum DKI Jakarta dari Dinas Pekerjaan Umum. Semenjak itu, pengelolaan perusahaan daerah air minum berada dibawah Pemda DKI Jakarta (menjadi Badan Usaha Milik Daerah). Pengukuhan PDAM JAYA sebagi BUMD DKI Jaya ditetapkan melalui Perda DKI Jakarta No. 3 Tahun 1977 dan SK Mendagri No. Pem/10/53/13350 dan diundangkan dalam lembar Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 74 Tahun 1977.

Semenjak mendapat status BUMD, PAM Jaya terus berupaya untuk meningkatkan

kemampuan produksi. Hal ini sejalan dengan kebutuhan air minum dari warga DKI yang terus meningkat pesat. Sejumlah instalasi pengolahan air dibangun. Pada tahun 1978 dibangun Instalasi Penjernihan Air Cilandak dengan kapasitas 200 l/detik. Empat tahun kemudian (tahun 1982) instalasi Penjernihan Air Pulogadung dengan kapasitas 1000 l/detik dioperasionalkan. Selain itu beberapa instalasi kecil (miniplant) yang terdapat di Taman Kota (50 l/detik), Muara Karang (100 l/detik), Sunter (50 l/detik) Cakung (25 l/detik), Pejaten (5 l/detik) dan Condet (50 l/detik) juga mulai dioperasionalisasikan.

Page 123: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

115

Pada tahun 1987 beberapa instalasi pengolahan air ditingkatkan kapasitas produksinya. Instalasi Penjernihan Pejompongan II ditingkatkan kapasitas produksinya menjadi 3.600 l/detik dan instalasi Penjernihan Air di Pulogadung ditingkatkan kapasitasnya menjadi 4.000 l/detik. Instalasi yang dibangun paling terakhir adalah pengolahan Air Buaran I dan II yang berkapasitas masing-masing 2.000 l/detik dan 3.000 l/detik. Pertambahan jumlah pelanggan PAM Jaya pun pada tahun 1997, sebelum swastanisasi, mencapai 36.6397 satuan sambungan diluar dari jumlah total pelanggan PAM Jaya. Kemudian pada tahun yang sama jumlah air yang terjual (kubikisasi tercetak) mencapai 186.363.955 M3. Data mengenai gambaran jumlah pelanggan dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 10 Gambaran jumlah pelanggan PAM Jaya dalam ribuan

050100150200250300350400450500

Pelanggan PAM JAYA sebagian besar berasal dari rumah tangga, sisanya dari golongan lain, antara lain instansi pemerintah, industri, niaga, sosial dan golongan khusus. Jumlah pelanggan PAM Jaya sampai dengan tahun 1998 adalah sebanyak 396.707. Jumlah tersebut terdiri dari 2.852 pelanggan yang termasuk golongan sosial, 342.543 rumah tangga, 2.222 Pemerintah/ABRI, 47.124 Usaha/Industri, 1.966 HU/MCK, 1482 PP dan 617 PNS.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 360 Tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata kerja Perusahaan Derah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PAM Jaya), fungsi dari PAM Jaya adalah :

1. Mengusahakan pengadaan/penyediaan air minum sesuai dengan program pembangunan

Pemerintah Daerah. 2. Membangun, mengelola dan memelihara instalasi penjernihan serta sumber baku dan

penyimpanan air, 3. Membangun dan memelihara sistem pengadaan air minum antara lain : hidran umum,

terminal air dan tangki air, 4. Memasang dan memelihara pipa-pipa induk dan pipa distribusi berikut fasilitas lainnya, 5. Mengatur dan mengawasi distribusi serta pemakaiaan air minum, 6. Melakukan penelitian laboratorium terhadap sumber-sumber dan produksi air minum

sesuai dengan syarat-syarat kesehatan, 7. Melakukan survei dan pengumpulan data untuk bahan penyusunan tarif air minum, 8. Melayani permintaan sambungan air minum dari dan untuk masyarakat, perusahaan,

1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997

Page 124: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

116

perumahan dan hotel, 9. Melakukan pencatatan meter air terhadap para pelanggan air minum, 10. Menagih uang air minum dan penghasilan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, 11. Mengambil tindakan terhadap pemakai air minum yang tidak sah, 12. Menyediakan air minum dalam rangka membantu memenuhi fasilitas kota, 13. Memberikan izin dan mengawasi instalatur di wilayah daerah khusus ibukata Jakarta, 14. Meningkatkan mutu, ketrampilan dan kesejahteraan karyawan dalam pembentukan karier

untuk meningkatkan pelayanan umum.

Kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 360 tahun 1995 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta adalah sebagai berikut :

Gambar 11 Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta

Dengan adanya swastanisasi pada PAM Jaya maka struktur organisasi pun mengalami perubahan yang terdapat pada bagian operasional. Artinya struktur organisasi di atas hanya

Gubernur DKI Jaya

Badan Pengawas BUMD

Direktur Utama PAM Jaya

Direktur Teknik Direktur Administrasi dan Keuangan

Direktur Pengembangan

Biro Teknik

Biro Perencanaan

Biro Pembangunan

Biro Logistik

Biro Umum

Biro Keuangan

Satuan Pengawas Intern

Biro Pengembangan SDM dan Manajemen

Biro Pengembangan Usaha dan Teknologi

Page 125: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

117

berada di PAM Pusat yang menempati kantor di jalan Penjernihan II nomor 27B. Sementara setelah swastanisasi, bagian yang sejajar dengan direktur PAM Pusat dalam struktur organisasi di atas berikut perangkat-perangkat operasionalnya hingga tingkat wilayah adalah struktur organisasi yang dijalankan oleh TPJ (Thames PAM Jaya) dan Palyja (PAM Lyonnaise Jaya). Adapun mengenai penyebaran jumlah pegawai PAM Jaya yang ditempatkan pada TPJ dan Palyja dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 17 Komposisi Penyebaran Pegawai PAM Jaya berdasarkan jenis kelamin

JENIS LOKASI KERJA KELAMIN TPJ PAM JAYA PALYJA

Laki-laki 1.165 175 1.262 Perempuan 120 32 172

Total 1.285 207 1.434 Sumber : Bidang Bina Program PAM Jaya

Tabel 18 Komposisi Penyebaran Pegawai PAM Jaya berdasarkan status

STATUS PEGAWAI LOKASI PENEMPATAN TPJ PAM JAYA PALYJA 1. Tenaga Kerja Asing - - - 2. Karyawan Swasta - - - 3. Pegawai Negeri Sipil 34 14 48 4. Pegawai PAM JAYA 1.120 178 1.123 5. Tenaga Kontrak 131 15 163 6. Calon Pegawai - - - 7. ABRI Dikaryakan - - - 8. Pegawai Dept. PU - - -

1.285 207 1.434 Sumber : Bidang Bina Program PAM Jaya

Sejak PAM Jaya menjadi salah satu diantara 5 PDAM di Indonesia yang masuk dalam

kategori mandiri140, badan ini secara finansial mendapatkan pinjaman lunak (soft loan) dengan bunga rendah dan subsidi dari pemerintah pusat. Namun sejak tahun 1990, pinjaman dana yang diterima PAM Jaya tidak lagi berbentuk pinjaman lunak melainkan berupa pinjaman komersial dimana pemerintah pusat tidak lagi mensubsidi bunga pinjaman melainkan hanya sebagai penjamin saja. Jika dikemudian hari PAM Jaya tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut maka pemerintah pusat yaitu melalui Departemen Keuangan yang harus bertanggung jawab. Sebagian besar pinjaman tersebut di peroleh PAM Jaya dari bantuan yang diberikan oleh Bank Dunia (World Bank), OECF, dan Asian Development Bank (ADB). PAMJaya mendapat pinjaman dari OECF untuk pembangunan instalasi pengolahan air dan dana pinjaman dari Bank Dunia untuk pembangunan jaringan pipa distribusi (PAM Jaya System Improvement Project). Total pinjaman Bank Dunia untuk PAM Jaya dari Tahun 1978 hingga sekarang, baik yang diberikan melalui Departemen Pekerjaan Umum maupun melalui Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta jumlahnya mencapai Rp 4 trilyun rupiah dengan kurs US $ 1 sama dengan Rp 8.000.

Model pengelolaan keuangan tersebut di atas dimungkinkan karena pinjaman dana untuk

140 PDAM lain yang termasuk ke dalam kategori mandiri adalah PDAM Bandung, PDAM Semarang, PDAM Surabaya, dan PDAM Medan.

Page 126: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

118

investasi diterima oleh PAM Jaya dalam bentuk rupiah murni, begitu pula dengan pembayaran cicilan pinjaman dan bungannya. Sementara dana pinjaman yang diterima oleh pemerintah dalam bentuk US Dollar. Sehingga jika terjadi kenaikan kurs dolar terhadap rupiah yang menanggung kerugian adalah pemerintah.

Pemda DKI Jakarta sebagai pemegang saham PAM Jaya untuk tiap tahun tidak pernah

menentukan target berapa hasil sisa usaha yang harus disumbangkan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Meski tidak ada target, PAM Jaya tiap tahunnya menyumbangkan sisa hasil usahanya antara Rp 3 s/d 10 milyar untuk PAD. Artinya dalam operasionalisasinya PAM Jaya selalu mendapat keuntungan. Gambaran kesimpulan ini diperkuat oleh keterangan dari mantan Pimpro PJSIP, bahwa PAM Jaya tidak pernah mengalami kerugian.

Pendapatan yang diperoleh dari penjualan air PAM Jaya pada tahun 1996 ditargetkan

sebesar Rp 318.027.638.036,-. Dari jumlah tersebut yang terealisir sebesar Rp 270.323.492.330 (85%). Tidak terpenuhinya target pendapatan PAM Jaya antara lain karena adanya beberapa pelanggan yang belum membayar (menunggak). Tunggakan rekening ini sebagian besar berasal dari instansi Pemerintah dan ABRI. Instansi pemerintah yang paling besar menunggak adalah Kantor Sekretariat Negara. Diperkirakan tunggakan rekeningnya pada tahun 1996 saja telah mencapai Rp 15 milyar.

Upaya penagihan atas beberapa tunggakan rekening air terus diupayakan oleh PAM Jaya

dan dari tahun ke tahun prosentase tunggakan diharapkan semakin berkurang. Bersamaan dengan itu juga, PAM Jaya berusaha menerapkan sangsi tegas terhadap para pelanggan air yang menunggak. Sangsi terberat yang dikenakan oleh PAM Jaya antara lain pencabutan dan pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran rekening air tersebut.

Sebagai bagian dari PDAM-PDAM besar yang diharapkan akan berkembang, PAM Jaya kemudian menjadi salah satu contoh dari operasionalisasi salah satu dari skenario-skenario di atas. Dengan demikian tugas utamanya yang melakukan segala usaha yang berhubungan langsung dengan penyedian dan pendistribusian air minum yang memenuhi syarat-syarat kesehatan serta pelayanan yang baik bagi masyarakat dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ekonomi perusahaan berubah seiring dengan masuknya peran swasta dikemudian hari. III.3.3.3. Bentuk Pola Korupsi Dalam Tubuh PAM Jaya

Korupsi dalam tubuh PAM berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan hingga saat ini dapat dibagi ke dalam dua bagian besar, yaitu korupsi sebelum terjadinya swastanisasi; kedua, korupsi yang terjadi pada proses swastanisasi .

Pada tulisan singkat ini pola-pola korupsi pada dua periode tersebut yang dibagi lagi berdasarkan kategori yang terdapat di dalam suatu pola-pola tindakan yaitu aktor yang terlibat, kesempatan, teknik korupsi, perkiraan biaya korupsi, dan prosesnya itu sendiri. Kategori "aktor yang terlibat" dipilih untuk membuka kemungkinan bahwa suatu pola tindakan diasumsikan tidak dilakukan secara individual melainkan berkelompok. Berkelompoknya para aktor tersebut didasarkan pada argumentasi John Girling bahwa kolusi merupakan pre-kondisi bagi terjadinya korupsi. Dengan demikian aktor-aktor yang terlibat dalam suatu tindak korupsi sebelumnya telah lebih dahulu menjalin suatu hubungan sosial tertentu dalam upaya mempertahankan/mencapai

Page 127: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

119

pemenuhan kepentingan, baik ekonomi dan/atau politik, kelompok strategis mereka sendiri.141

Kategori kedua mengacu pada pemanfaatan celah-celah hukum atau penggunaan tahap-tahap dalam prosedur teknis suatu kegiatan administrasi dalam birokrasi seperti PAM Jaya untuk melakukan korupsi. Kategori ketiga dimaksudkan mengacu pada sarana-sarana dan cara-cara yang dipergunakan oleh aktor dalam melakukan tindak korupsi. Kategori keempat yaitu proses tindak korupsi itu sendiri (modus operandi). Kemudian untuk membantu memperjelas pola-pola korupsi maka ditambahkan pula mengenai kisaran biaya yang dikeluarkan. III.3.3.3.1 Kasus Korupsi Kerja Sama PAM Jaya Dengan Swasta: Korupsi Pada Swastanisasi atau Swastanisasi Korupsi PAM Jaya?142

Di dalam buku Pelaksanaan Kerjasama Dengan Swasta Di PAM Jaya yang diterbitkan oleh PAM Jaya, Desember 1997 disebutkan bahwa yang melatarbelakangi PAM Jaya melakukan kerja dengan swasta adalah adanya potensi public investment. Potensi tersebut bisa dimanfaatkan oleh PAM Jaya untuk ikut berperan serta dalam pengolahan dan pembangunan infrastruktur air minum dalam pola kinerja yang saling menguntungkan (win-win approach).

Pada tanggal 6 Juni 1997, PAM Jaya telah menandatangani kerjasama dengan dua

mitranya yaitu PT Kekarpola Airindo dan PT Garuda Dipta Semesta. Dari kerjasama ini diharapkan adanya perbaikan kinerja. Dengan melakukan kerjasama maka masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik dengan tarif yang terjangkau. Sedangkan bagi PAM Jaya, kerjasama tersebut diharapkan tetap mampu membayar hutang dan memperoleh keuntungan yang layak. Dan Bagi Pemda DKI, kerjasama tersebut diharapkan dapat memperbaiki lingkungna hidup dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Dalam proses kerjasama setidaknya telah dibentuk 5 tim. Ditingkat Pusat dibentuk Tim

Koordinasi yang terdiri dari Dirjen Cipta Karya, Dirjen PUOD, Deputi V Bappenas, Ka. BAKM Depkeu, Dirut Perusahaan Otorita Jatiluhur. Pembentukan tim ini dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 249/KPTS/1995 tanggal 6 Juli 1995 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penyiapan Proyek Penyediaan Air Bersih Kota Jakarta dan Kawasan Sekitarnya Dengan Peran Serta Swasta. Tugas Tim Koordinasi adalah :

• Melakukan Koordinasi tingkat nasional, • Memberikan arahan kebijaksanaan pokok • Sebagai fasilitator

Pada tingkat Daerah dibentuk Tim Negosiasi, yang anggotanya terdiri dari Asisten

Sekwilda Bid. Adbang, Kapala Biro Binekda, Kepala Biro Hukum, Direksi PAM Jaya, Kepala Bidang Fisik Dan Prasarana Kota, Kepala Biro Binagram, Irban Bidang BUMD. Tim ini ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jaya No. 1327 Tahun 1995 pada tanggal 31 Oktober 1995. Tugas Tim Negosiasi adalah melakukan penilaian studi kelayakan, melakukan negosiasi, dan menyusun perjanjian kerja sama.

Untuk memperlancar tugasnya, Ketua Tim Negosiasi mengeluarkan surat keputuasan No.

141 Lihat Hans Dieter-Evers, Kelompok-kelompok Strategis. 142 Paparan berikut ini sebagian besar diambil dari Laporan Investigasi ICW mengenai Proses Swastanisasi PAM Jaya.

Page 128: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

120

015/TN/IV/1995 tentang Pembentukan Satuan Tugas Untuk Kerja Sama Kemitraan Antara PAM Jaya Dengan Swasta pada tanggal 10 April 1995. Surat keputusan tersebut disempurnakan dengan mengeluarkan surat keputusan No. 077/TN/VII/1996. Tugas Satgas Tim Negosiasi adalah menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan oleh Tim Negosiasi. Anggotanya terdiri dari : Biro Binekda, Biro Hukum, Unsur Depdagri, Unsur DJCK, Konsultan JWSSP, Jica, Purse Project.

Selain itu, Tim Negosiasi juga membentuk :

• Kelompok Kerja Hukum, • Kelompok Kerja Teknis, • Kelompok Kerja Keuangan Satgas Tim Negosiasi,

Pembentukan Kelompok Kerja ini ditetapkan oleh Ketua Tim Negosiasi melalui surat

keputusan No. 155/TN/VII/1996 pada tanggal 30 Juli 1996. Tugasnya adalah membantu Satgas Tim Negosiasi secara lebih rinci dan spesifik.

Selain membentuk Tim Negosiasi, Gubernur DKI Jaya juga membentuk Petugas

Pelaksana Negosiasi. Tim ini dibentuk dengan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 3517/1996 pada tanggal 5 Juni 1996. Anggota Tim Pelaksana Negosiasi terdiri dari Assiten Sekwilda Bidang Adbang, Sekertaris Ditjen Cipta Karya, 2 orang direksi PAM Jaya, dan seorang konsultan hukum. Tuganya adalah melaksanakan negosiasi antar pihak.

Dengan adanya Inmendagri No. 21 Tahun 1996 tanggal 22 Juli 1996 dan adanya alih tugas

beberapa pejabat yang terlibat dalam proses persiapan kerjasama maka diawal tahun 1997 telah dilakukan penyempurnaan dengan dikeluarkannya SK Gubernur KDKI Jakarta No. 784 Tahun 1997 tentang Pembentukan Panitia Penyiapan Perjanjian Kerja Sama Untuk Kemitraan Antara PAM Jaya dengan Swasta (atau disingkat menjadi Panitia Kerjasama).

Gambar 12

Proses Persiapan Kerjasama/Swastanisasi

Mengeluarkan SK

Gubernur

Tim Negosiasi Satgas Tim Negosiasi

Pokja Hukum

Pokja Teknis

Pokja Keuangan Satgas Tim Negosiasi

Petugas Pelaksana Negosiasi

Panitia Kerja Sama

Page 129: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

121

Banyaknya pihak dan intitusi yang dipersiapkan untuk melaksanakan swastanisasi PAM Jaya seperti diatas memperlihatkan betapa ruwetnya proses yang harus dilalui. Sekaligus menunjukkan adanya campur tangan yang berlebihan dari pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum. Campur tangan yang berlebih inilah yang menyebabkan pelaksanaan swastanisasi PAM Jaya keluar dari rambu-rambu perundang-undangan. Misalnya saja, Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1970, Salah satu bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing adalah pengusahaan air minum. Larangan ini secara tegas ditekankan bahwa PMA, baik 100% maupun dengan menggandeng patner lokal (swasta nasional) tidak diperkenankan untuk menanamkan modalnya. Namun pada tahun 1997 keluar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Isinya memberikan peluang bagi PMA untuk menanamkan modalnya pada sektor air minum asalkan menggandeng patner lokal dengan kepemilikan saham minimal 5%. Meskipun UU No. 1 Tahun 1969 tentang PMA dijadikan bahan rujukan (Yurisprudensi) dalam membuat PP No. 20 Tahun 1994, namun PP ini isinya bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA.

Keterlibatan dua perusahaan asing, yaitu Thames Water International (TWI) dan

Lyonnaise Des Eaux (LDE), tidak terlepas dari keberhasilannya dalam menggandeng perusahaan keluarga mantan Presiden Soeharto dan kroninya. Dua perusahaan ini nampaknya sengaja didekati oleh dua perusahaan asing tersebut guna untuk melicinkan jalan dalam memperoleh proyek swastanisasi. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Komisaris Utama PT Palyja, Bernard Lafronge, keterlibatan pihak Salim Group dalam kerja sama ini memang sengaja diajak oleh LDE.

Sedangkan keterlibatan TWI dalam swastanisasi PAM Jaya memang sengaja “diundang”

oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Menteri PU Radinal Muhtar. Dan pada awalnya, TWI hanya akan mengerjakan proyek pasokan air dari Waduk Jatiluhur ke instalasi pengolahan air PAM Jaya di Jakarta. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, aspek kerja sama tersebut terus mengalami pemekaran. Dan terakhir, aspek kerja sama berubah menjadi pengambil alihan operasi PAM Jaya di wilayah timur sungai Ciliwung.

Pemekaran aspek kerja sama ini tidak lepas dari peran mitra lokalnya, dalam hal ini Sigit

Hardjojudanto, dan pihak Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muhtar. Penilaian ini diperkuat dengan adanya surat dari Menteri PU No. IK.03.03-MN/260 tertanggal 19 Juli 1995 yang ditujukan kepada Sigit Hardjojudanto, Komisaris Utama PT Kekar Airindo pada tanggal

Mitra asing LDE dan TWI mulai ikut dalam swastanisasi ini melalui pemilikan saham di

PT Kekar Airindo dan PT GDS. Masuknya swasta asing itu menyebabkan perubahan nama perusahaan. PT Kekar Airindo berubah menjadi PT Kekar Thames Airindo (PT KATI). Namun, nama PT GDS tidak berubah meski telah berhasil menggandeng LDE. Kemudian, perjanjian kerja sama antara PDAM Jaya dengan kedua pihak swasta ditandatangani pada 6 Juni 1997.

Belakangan, swastanisasi PDAM Jaya yang dilakukan dengan cara KKN itu mendapat

sorotan tajam setelah gerakan reformasi berhasil menggulingkan Soeharto. Parahnya, kedua mitra asing itu malah kabur ke negaranya masing-masing. Kondisi ini mengakibatkan PT KATI dan PT GDS “dipaksa” mengunduran diri dari kerjasama tersebut melalui surat tanggal 15 Mei 1998. Anehnya, setelah reformasi, tiba-tiba pada 17 Agustus 1998 muncul perusahaan baru, yaitu PT

Page 130: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

122

Pam Lyonaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PDAM Jaya (TPJ) yang mengambil alih proses swastanisasi. Kedua perusahaan itu seolah-olah melanjutkan perjanjian kerjasama yang ditanda-tangani oleh PT KATI dan PT GDS dengan PDAM Jaya.

Pada bulan April 1994 PT Kekar Plastindo menyampaikan minat untuk melakukan kerja sama dalam rangka pembengunan sistem jaringan distribusi. Setelah diadakan beberapa kali pertemuan, selanjutnya pada tanggal 31 Agustus 1994 telah ditandatangani MoU I dan hal tersebut telah dilaoprkan kepada Gubernur KDKI Jakarta pada tanggal 6 September 1994 melalui surat No. 1679/1.778.100. Pada bulan Maret 1995 PT Kekar Plastindo menyampaikan Proposal management operation dan mantanance of distribution Zona 2 dan 4. Atas proposal yang telah disampaikan tersebut, PAM Jaya pada tanggal 16 Maret 1995 membentuk kelompok kerja yang terdiri dari unsur DDN, Biro Hukum DKI, Binekda dan PAM Jaya sesuai SK Direktur Utama No. 026/PAM/1995.

Sebagai kelanjutan proposal yang telah disampaikan oleh PT Kekar Plastindo, pada

tanggal 18 Maret 1995 PAM Jaya dan PT Kekar Plastindo menandatangani MoU II. Dan dari beberapa kali rapat koordinasi, maka pada tanggal 18 Mei 1995 telah ditandatangani MoU III yang prosesnya telah disesuaikan dengan instruksi Mendagri No. 9 Tahun 1995. Pada tanggal 16 Mei 1995 PAM Jaya telah membuat laporan kepada Gubernur KDKI Jaya, sesuai surat No. 981/1.788.100 yang ditandatangani dengan surat No. 1446/1.788.100 tanggal 19 Juli 1995. Pada tanggal 12 Juni 1995 Presiden Soeharto memberikan petunjuk dalam proses kerja sama ini. Tanggal 15 Juni 1995, atas petunjuk Presiden tersebut, diadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muhtar. Rapat koordinasi ini membahas agenda mempercepat peningkatan penyedian air bersih melalui peran serta pihak swasta.

Pada tanggal 19 Juni 1995 PT Kekarplastindo mengirimkan surat kepada Direktur Utama

PAM Jaya No. 21/FT/VI/1995 perihal pembagian wilayah kerjasama antara PT Kati dan Salim Group. Dalam hal ini PT Kati akan menangani Zona 2, 4, dan 6 Salim Group akan menangani zone 1, 4 dan 5. Pada tanggal 30 Juni 1995 PT Kekarplastindo mengirimkan surat pernyataan minat (LOI) kepada Direktur Utama PAM Jaya melalui surat No. 026/Ext-KP/FT/VI/95. Pada tanggal 6 Juli 1995 diterbitkan Keputusan Menteri PU No. 249/KPTS/1995 tentang pembentukan tim koordinasi penyiapan proyek penyediaan air bersih di wilayah Jakarta dan sekitarnya dengan peran serta swasta. Pada tanggal 19 Juli 1995 Menteri PU mengeluarkan surat No. IK.03.03MN/260 berisikan antara lain menyetujui PT Kekarplastindo dan Pimpinan Salim Group untuk menangani masalah air bersih kota Jakarta dan Kawasan sekitarnya. Pada tanggal 20 Juli 1995 pihak swasta melakukan presentasi dihadapan Gubernur KDKI Jakarta. Pada tanggal 22 Agustus 1995 Anthony Salim atas nama Salim Group mengirim surat kesedian berpartisipasi dalam proyek penyedian air bersih bagi wilayah DKI Jakarta bagian barat dan sekitarnya melalui surat No. 082-AS/IK/SG/VIII/95. Pada tanggal 26 September 1995 Anthony Salim mengirim surat kepada PAM Jaya No. 093-AS/IK/SG/IX/95 berisi tentang pemberitahuan bahwa perusahaan yang akan menangani masalah peran swasta adalah PT Garuda Dipta Semesta (PT GDS), yang akan bekerja sama dengan Lyonaisse Des Eaux (LDE).

Pada Tanggal 6 Oktober 1995 Menteri Pekerjaan Umum Radinal Muhtar melalui surat

No. UM.01.11-MN/363 telah menyetujui penetapan badan usaha baru dari PT Kekar Plastindo menjadi PT Kekarpola Airindo (bekerja sama dengan Thames Water International) dan Salim Group Menjadi PT Garuda Dipta Semesta (kerja sama dengan LDE). Pada tanggal 6 Oktober 1995 dilakukan penandatanganan MoU antara PAM Jaya dengan PT Kekarpola Airindo No.

Page 131: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

123

091/PAM/F/K.KH/X/1995; 001/EXT-KA/X/1995 dan antara PAM Jaya dengan PT Garuda Dipta Semesta No. 092/PAM/F/K.KH/X/95; 001/GDS-IK/X/1995. Dalam acara penandatanganan ini sekaligus diserahkan juga TOR. MoU berlaku dalam jangka waktu 6 bulan.

Pada tanggal 31 Oktober 1995 diterbitkan Keputusan Gubernur KDKI No. 1327 tentang

pembentukan Tim Negosiasi PEMDA DKI Jakarta, Terdiri dari unsur Pemda DKI, Dirjen Cipta Karya, Depkeu dibantu oleh Purse, JWSSP Konsultan W&W. Pada tanggal 10 April 1996 dikeluarkan Keputusan Ketua Tim Negosiasi Peran Serta Swasta di PAM Jaya tentang penyempurnaan pembentukan satuan tugas untuk kerjasama kemitraan, dengna tugas membahas laopran internim/studi kelayakan dan menyiapkan konsep perjanjian kerjasama. Bersamaan dengan itu, PT Kekarpola Airindo mengajukan perpanjangan MoU melalui surat No. 739/072. Berita acara persetujuan laporan Internim PT GDS ditandatangani pada tanggal 19 April 1996 dan PT Kekarpola Airindo pada tamnggal 31 Mei 1996. Pada Tanggal 1 Mei 1996 ditandatangani adendum perpanjanagna waktu MoU antara PAM Jaya dengan PT Kekarpola Airindo No. 003/PAM/F/K.KH/Add/V/1996; 035/KPA /V/1996 dan antara PAM Jaya dengan PT GDS No. 004/PAM/F.KH/Add/V/1996; 002/EXT.GDS-IK/V/1996.

Pada tanggal 5 Juni 1996 diterbitkan surat tugas dari Gubernur KDKI Jakarta tentang

penugasan para pelaksana Negosiasi dengan PT GDS dan PT Kekarpola Airindo yang terdiri dari Aswilda Bid. Adbang DKI Jakarta, Sekditjen Cipta Karya, 2 orang direksi PAM Jaya, dan seorang konsultan hukum. Pada tanggal 27 September 1996 dilakukan penandatanganan Pokok-pokok Kesepakatan (Agreement on Principles) antara PAM Jaya dengan PT GDS dan PT Kekarpola Airindo. Tanggal 26 Mei 1997 dilakukan rapat antara Petugas Pelaksana Nrgosiasi dengan Drs. Soeryanto Hadiprabowo, SE selaku staff Sesdolopbang untuk menyusun Memorandum Laporan Sesdolopbang kepada Presiden RI yang akan dilakukan pada tanggal 27 Mei 1997. Pada tanggal 6 Juni 1997 dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara PAM Jaya dengan PT GDS dan PT Kekarpola Airindo, dengan saksi Gubernur KDKI Jakarta, Anthony Salaim, Sigit Hardjojudanto dan dihadiri oleh Menteri Pekerjaan Umum, Dirjen Cipta Karya, dll. Dalam hal ini disepakati bahwa kerjasama baru akan mulai diberlakukan apabila kedua pihak telah mampu menyelesaikan 21 macam persyaratan pendahuluan (condition precedence). Diberikan waktu 6 bulan untuk penyelesaian persyaratan-persyaratan pendahuluan tersebut.

Pada tanggal 3 Juli 1997 Gubernur KDKI Jakarta menyampaikan laporan dan

mengajukan permohonan persetujuan Mendagri, melalui surat Nomor 1526/072. Atas laporan tersebut, Mendagri pada tanggal 25 Agustus 1997 mengeluarkan Ijin Prinsip No. 690/2417/POUD untuk kerjasama antara PAM Jaya dengan PT GDS serta No. 690/2416/POUD untuk kerjasama dengan PT Kekar Thames Airindo (PT KATI). Tanggal 15 Desember 1997 Dirjen Cipta Karya Mengusulkan Kepada Gubernur KDKI Jakarta untuk melakukan Tindakan Turun Tangan untuk hari efektif kerjasama. Pada tanggal 27 Januari 1998 melalui surat No. 137/072 Gubernur KDKI memerintahkan untuk mulai memberlakukan pelaksanaan Perjanjian kerjasama tmt 1 Februari 1998.

Tanggal 28 Januari 1998, mengingat ada beberapa persyaratan awal yang belum dipenuhi

oleh kedua belah pihak, maka disusunlah addendum/perubahan terhadap Perjanjian Kerja Sama yang ditandatangani pada tanggal 28 Januari 1998. Dalam adendum tersebut ditegaskan bahwa kedua belah pihak diberi kelonggaran waktu penyelesaian persyaratan pendahuluan serta pembebasan dari kewajiban terhadap beberapa persyaratan pendahuluan. Tanggal 22 Mei 1998 keluar intruksi Gubernur KDKI Jakarta kepada Dirut PAM Jaya No 131 Tahun 1998 tentang

Page 132: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

124

kesinambungan pelayanan air minum kepada masyarakat di wilayah DKI Jakarta, pemberian kewenangan kepada direksi PAM Jaya untuk melakukan pengoperasian kembali pelayanan air minum di Jakarta. Dialihkannya penyerahan kegiatan operasional dan administrasi pelayanan air minum di wilayah bagian barat dan timur Jakarta dari PT GDS dan PT Kati kepada PAM Jaya sesuai dengan berita acara pada hari sabtu tanggal 23 Mei 1998.

Dario pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa proses kerja sama antara PAM JAYA dengan dua Mitra Swasta dilakukan tanpa melalui proses tender. Dua Mitra Swasta, PT Palyja (d/h PT GDS) dan PT TPJ (d/h PT KATI), memperoleh proyek tersebut dengan cara penunjukan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Petunjuk Presiden Soeharto kepada Menteri Pekerjaan pada tanggal 12 Juni 1995 berisi tentang : percepatan pelaksanaan penyediaan air bersih di Jakarta. Petunjuk Presiden Soeharto ditindaklanjuti oleh Menteri PU dengan mengadakan rapat koordinasi yang dilaksanakan pada tanggal 15 Juni 1995. Berdasarkan hasil rapat tersebut Menteri PU mengeluarkan Surat Persetujuan dari Menteri Pekerjaan Umum, Radinal Muhtar waktu itu, Nomor : IK.03.03MN/260 tertanggal 19 Juli 1995 yang isinya memberikan persetujuan kepada PT GDS dan PT KATI untuk menangani masalah air bersih kota Jakarta dan Kawasan sekitarnya.

III.3.3.3.2. Kasus Tender Dalam Bidang Pengadaan Barang Kebutuhan Operasional.

Dari informan A diperoleh informasi bahwa PT LL dapat mengikuti tender yang diadakan oleh PAM sejak sebelum tahun 1981. Perusahaan yang kini ditunjuk oleh pihak swasta, sejak tahun lalu telah menjadi pemasok/penyedia (supplier) bahan kimia bagi kebutuhan operasional pengelolaan air minum berupa bahan-bahan kimia yaitu tawas, tawas cair, dan soda as. Dalam hal tender, informan A menyatakan biasanya pihak perusahaan mereka dihubungi oleh pihak swasta melalui telepon. Dahulu, sebelum swastanisasi PAM, PT LL hanya menjadi perantara dalam melayani pengadaan kebutuhan operasional dengan cara mengimpor bahan-bahan apa saja yang menjadi kebutuhan. Kini PT LL menurutnya telah berkembang sehingga mampu melakukan produksi sendiri bahan-bahan kimia tersebut. 143

Berbeda dengan cara perusahaan dimana informan A bekerja mendapatkan kesempatan menjadi pemasok, perusahaan milik informan B pada awalnya melakukan pembicaraan dengan Direktur Utama PAM tahun 1995 yaitu Samsul Ramli. Informan B mengatakan bahwa apabila perusahaan yang dipimpinnya tidak mendapatkan kesempatan 'berpartisipasi'144 dalam pasokan barang kebutuhan PAM maka informan B akan melaporkan 'perbuatan'145 mereka kepada Gubernur DKI Jaya yaitu Suryadi Sudirdja. Ia mengatakan," Pada masa itu di sana memang bandit.

143 Informan A yang diwawancari sudah bekerja pada perusahaan rekanan PAM dalam bidang pengadaan barang sejak tahun 1981. Wawancara dilakukan pada malam hari di kediamannya dan saat itu informan ditemani oleh sang istri. Kesan yang cukup ramah mewarnai wawancara kami di ruangan tersebut. Informan bekerja pada bagian kredit kontrol dan keuangan yang bertugas mengurus keuangan perusahaan yang dimiliki oleh seorang pengusaha etnis Tionghoa dari Cirebon yang sukses, dan melakukan penagihan hutang perusahaan. Sementara informan lainnya, yaitu B bekerja sebagai pemilik perusahaan PT MJP yang telah menjalin kerja sama dengan Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum sejak tahun 1978 hingga 1990. Awalnya perusahaan dimana beliau bekerja adalah sebagai pengangkut barang-barang pasokan PAM kemudian menjadi pemasok/penyedia hingga kemudian menjadi perakit pada proyek-proyek yang berhubungan dengan PAM Jaya. PT MJP tersebut memang khusus menangani peralatan yang dibutuhkan oleh PAM Jaya seperti alat meter air, pompa air, dan pipa air. Dengan pegawai inti sekitar 12 orang, perusahaan ini sudah mampu menyediakan barang kebutuhan PAM Jaya baik dari yang berasal dalam negeri maupun luar negeri. 144 Kata ini diartikan sebagai "mendapatkan proyek" 145 Baca: penyelewengan.

Page 133: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

125

Dikuasai oleh sekelompok orang yang dekat dengan Samsul dengan memasukkan barang-barang mereka sehingga barang-barang saya tidak bisa masuk." Informan B kemudian menuturkan beberapa perusahaan yang berperan dalam menurutnya mendominasi pengadaan kebutuhan PAM Jaya dan mempunyai kedekatan baik dengan jajaran direksi PAM Jaya maupun dengan konglomerat nasional dari etnis Tionghoa (Sudono Salim). Beliau mencontohkan jenis-jenis barang yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan yang disebutkannya. "Seperti meteran dan bahan-bahan kimia, seperti tawas, kaporit buat bersihin air, itu didominasi mereka", tambahnya.

Informan A menyatakan bahwa dalam hal tender memang perusahannya mendapat

banyak saingan, namun sebenarnya berasal dari grup perusahaan yang sama. Biasanya perusahaan dimana informan A bekerja menyertakan dua perusahaan yang merupakan anak dari grup PT LL dalam mengikuti tender. Kami berpendapat bahwa penyertaan dua perusahaan anak PT LL merupakan salah satu cara yang sering digunakan dalam tender untuk memperbesar kemungkinan diterimanya mereka sebagai rekanan. Kini PT LL tidak lagi mengikuti tender karena telah ditunjuk menjadi rekanan TPJ dan Palyja dalam hal pengadaan bahan kimia.

Tampaknya PT LL menjadi suatu perusahaan yang digunakan oleh swasta dalam menetapkan harga patokan dalam proses tender yang diikuti oleh perusahaan lain. Informan A menyatakan bahwa perusahaannya kini merupakan perusahaan yang menguasai seluruh pasar bahan kimia bagi kebutuhan operasional PAM di Jakarta. Karena perusahaan tersebut sudah menguasai pengadaan barang PAM maka apabila terdapat masalah yang berhubungan dengan harga pengadaan barang, perusahaan lain pasti mendatangi PT LL. Maka, menurut informan A, sebenarnya masalah standar harga barang-barang itu sangat tergantung dari PT LL.

Tender dilakukan karena pihak TPJ dan Palyja memerlukan harga pembanding sehingga

pihak swasta bisa mengetahui situasi harga pasar. Mereka ingin mengetahui berapa harga terendahnya dan calon rekanan yang memberikan penawaran harga paling tinggi biasanya perusahaan itulah yang mendapatkan tender tersebut. Saat informan A ditanya apakah hal itu merupakan suatu bentuk monopoli, ia menjawab,” Bukan begitu. Tapi barang kita memang kualitasnya bagus. Kalau mereka (TPJ dan Palyja) ‘nggak ambil barang kita, bisa turun patokan harganya. Boleh dia banting harga, tapi logika kita, nggak mungkin lah bisa ‘nyamain kualitas barang kita.” Pembayaran atas barang yang dipasok kemudian dilakukan saat pengiriman yang tidak hanya berlangsung satu kali pengiriman. “Bisa dalam beberapa bulan,” ungkapnya.

Informan A dan B memberitahukan bahwa sebelum swastanisasi, PAM menjadi penentu

dalam tender terutama pada masa kepemimpinan Samsul Ramli dan Gustaf. Informan B menambahkan bahwa pada masa kepemimpinan mereka berdua cukup banyak terjadi penyimpangan tanpa menyebutkan penyimpangan apa saja yang telah terjadi. Tender ditawarkan kemudian dilepas melalui mekanisme lelang yang dibuat oleh suatu kepanitiaan lelang yang terdiri gabungan antara organisasi para suplier (Asosiasi Kontraktor Air Indonesia-Aikindo) dan pihak PAM dimana ketua panitia pelelangan berasal dari bagian logistik. Sebelum harga patokan ditetapkan, panitia tersebut melakukan negosiasi (rembukan) untuk menentukan harga pembuka dari jenis barang yang dilelangkan tendernya. PAM yang menentukan harganya dan siapa saja yang boleh mengikuti tender berdasarkan penawaran harga yang bervariasi.

Penentuan perusahaan yang boleh mengikuti suatu tender dilakukan setelah perusahaan tersebut memperoleh TDR (Tanda Daftar Rekanan) dari PAM Jaya. Sewaktu informan B hendak menjadi pemasok, ia mengirimkan 500 unit barang yang kemudian dilakukan uji coba melalui

Page 134: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

126

pemeriksaan lapangan. Apabila barang yang sudah diperiksa dinilai memenuhi kelayakan dan dinyatakan bagus maka perusahaan calon pemasok kemudian dapat berkompetisi dalam tender tersebut.

Setelah memperoleh TDR biasanya perusahaan calon pemasok mencari-cari informasi kapan diadakannya suatu tender karena menurut informan B pelelangan itu pada umumnya bersifat tertutup. "Jadi kita pasang orang-orang yang tahu informasi di sana," tutur beliau.

Sementara itu dalam proses tender itu sendiri, variasi harga tersebut dihasilkan dari pembagian standar harga antar calon pemasok. Disamping itu harus ada sejumlah garansi tertentu dari bank mengingat waktu itu PAM masih berada di bawah pemerintah daerah. “Mesti ada jaminan dari banknya,” tambah informan A. Pengiriman barang didasarkan pada kontrak yang diperoleh dan pengiriman dilakukan setelah kontrak diperoleh. Adapun syarat lain misalnya pengiriman barang yang dipasok tidak boleh mengalami keterlambatan dan kualitas barang tidak boleh dibawah standar. Dalam hubungannya dengan persaingan mendapatkan kontrak proyek pasokan biasanya muncul protes dari perusahaan yang merasa dirugikan dengan proses perolehan kontrak. Hal itu diungkapkan oleh informan B yang menyatakan bahwa perolehan kontrak didukung oleh dominasi dalam hal keuangan sehingga mereka, dalam hal ini adalah perusahaan etnis Tionghoa, itu bisa mendapatkan fasilitas antara lain dengan cara menyuap.

Informan A lebih lanjut menyebutkan bahwa jalannya pelelangan dilakukan oleh petugas lelang dengan membuka penawaran pada harga tertentu. Kemudian perusahaan ikut melakukan penawaran atas harga yang diberikan oleh PAM. Wakil-wakil yang dikirim oleh masing-masing calon pemasok biasanya dari bagian pemasaran (marketing). Sebelum wakil-wakil tersebut datang ke tempat lelang tender, mereka sudah diberi tahu oleh masing-masing atasannya mengenai batasan harga yang harus ditawar. Namun karena informan A tidak terlibat langsung dengan proses lelang maka batas harga yang biasanya dibuka pertama kali oleh juru lelang tidak diketahui.

Dalam usaha memperoleh tender biasanya para calon sudah mengetahui patokan harga yang ditawarkan oleh PAM. Lalu diantara para calon tersebut melakukan pembicaraan untuk mendistribusikan harga penawaran dari masing-masing calon. Tampaknya hal ini dilakukan untuk menghindari fluktuasi harga yang bervariasi dari calon yang satu dengan calon yang lain. Disamping itu, cara ini dilakukan agar masing-masing calon mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh tender. Hal ini diketahui dari informan A yang menyatakan,” Kalau dulu, patokan harganya ada, terus dibagi. Jadi, kita ‘udah tahu nih patokan harganya berapa, terus sesama rekanan sudah ‘ngomong-ngomong dulu sebelumnya. Kamu mau masang harga berapa? Misalnya si A sekian. Ya udah si B masang segini. Misalnya lebih tinggi dari A. Yang laen juga begitu. Jadi nanti si A yang menang. Hasilnya nanti dibagi-bagi ke kita. Besoknya kalau ada lelang lagi, gantian aja.”

Untuk memperoleh tender yang akan dibuka oleh PAM pada masa-masa berikutnya

sebelum swastanisasi, sekaligus untuk membuktikan bahwa perusahaan tersebut layak menjadi rekanan PAM, maka pihak perusahaan tempat informan A bekerja mengundang orang-orang yang dianggap penting dalam memutuskan suatu kontrak atas tender yang dilelang. “Kita undang orang-orang penting PAM-nya seperti kepala biro logistik, kepala laboratoriumnya, semua kita undang. Disuruh meninjau pabrik kita. Bener ‘nggak kalau PT LL ini punya pabrik? Kalau misalnya ada yang pabriknya di Surabaya, kita datangi.” Mengenai biaya yang digunakan untuk program kerja seperti itu informan mengatakan,” Biaya dari suplier. Maksudnya untuk meyakini kalau memang kita punya pabrik.” Ia menambahkan,” Kalau sekarang sih ‘udah nggak ada yang kayak gitu. Swasta lebih teliti”.

Page 135: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

127

Kemudian informan A melanjutkan pembicaraan dengan menjelaskan tata cara pelelangan

tender yang dilakukan setelah PAM dikelola pihak swasta. Proses tender dilakukan dengan cara purchase order. Dengan cara ini pihak TPJ dan Palyja menghubungi perusahaan-perusahaan pemasok tentang barang-barang apa saja yang mereka butuhkan. Perusahaan-perusahaan tersebut diminta untuk mengirimkan harga dan spesifikasi barang, kemudian pihak swasta itulah yang menyeleksi pemenang tender. “Nanti mereka yang ‘nyeleksi, siapa yang ‘ngasih harga paling murah,” kata informan A. Dengan cara itu menurut informan memang lebih terbuka karena diantara calon pemasok sama-sama tidak mengetahui harga patokan yang ditawarkan oleh mereka.

Sementara mengenai pemenang tender, informan A menyatakan bahwa sekarang ini

menggunakan sistim tender bergilir. Para calon pemasok tetap bertemu dan saling ‘ngomong-ngomong’146, namun siapapun calon yang mendapatkan tender tersebut tidak melakukan pembagian hasil atas jenis-jenis barang yang dilelang. “Cuma giliran aja. Kalo yang dulu yang menang perusahaan A, sekarang perusahaan B”, kata informan A. Namun demikian, kami melihat sistim tender yang demikian mempunyai kesan monopolistik, misalnya dari pernyataan beliau yang mengatakan,”Sebenarnya yang menang kemudian juga perusahaan kita juga, satu grup, tapi beda namanya. Nggak usah disebut lah di sini. Yang laen juga begitu.”

Sistem yang demikian dinilai positif oleh informan A karena tidak mengeluarkan banyak

biaya untuk mendapatkan tender dibanding dengan model tender sebelumnya. Informan A mengatakan,” sebenarnya sistem begitu lebih enak sih. Jadi nggak bayak potongan kayak waktu di PAM dulu.” Informasi tersebut didukung oleh informan B yang mengatakan," Karena semua kontrak-kontrak tersebut 'kan harus diketahui direksi. Semua direksi itu termasuk direktur utama, direktur pengusahaan147, direktur teknik, dan direktur logistik148. Terutama panitia lelangnya lah yang 'main' karena mereka 'kan yang paling menentukan."

Disamping itu biaya yang dikeluarkan untuk menyuap lebih kecil bila dibandingkan

dengan periode sebelumnya. “Tapi bisa juga kita menghubungi petugas gudangnya kira-kira harga yang bakal dipatok berapa. Asal kita bisa ‘ngedeketin aja hrganya sedikit, kemungkinan kita bisa dapet. ‘Nggak perlu bayar. Tapi paling sewaktu-waktu kita kasih ‘tip’ lah”, tambahnya.

Informan A menyatakan bahwa sebelum swastanisasi ditemukan banyak ‘permainan’ dalam

proses lelang tender. Kesan negatif juga diungkapkan oleh informan mengenai situasi dan kondisi yang dialami saat ini oleh PAM. “Makanya sekarang mereka ‘kan banyak menuntut karena kering sekarang di sana,” kata informan. Ia mencontohkan bahwa dahulu sebelum swastanisasi calon pemasok yang tidak mempunyai pabrik bisa menjadi pemasok barang. “…Jadi makelar dia. Jadi nanti pas dia menang, dia ‘ngambil barangnya dari perusahaan laen. Yah… dia pasti bayar ke bagian logistik. Itu kita ‘udah tahu sama tahu”, tambahnya. Biaya yang dikeluarkan dalam proses ini diberikan kepada bagian logistik dengan kutipan sebesar Rp 1,- per kilogram untuk setiap barang yang dipasok sementara pada umumnya kebutuhan yang dipasok untuk PAM berkisar 500 ton. Perhitungan yang diperoleh yaitu apabila 1000 kg harus mengeluarkan Rp 1.000.000 maka total biaya yang harus dikeluarkan pemasok untuk bagian logistik dengan besar pasokan kurang lebih 500.000 kg barang adalah sekitar Rp 500.000.000,- 146 Melakukan pembicaraan-pembicaraan yang berhubungan dengan penawaran harga dari masing-masing calon pemasok. 147 Maksudnya adalah Direktur Administrasi dan Keuangan. Lihat struktur organisasi di atas. 148 Maksudnya adalah kepala biro logistik. Lihat struktur organisasi di atas.

Page 136: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

128

III.3.3.3.3. Kasus Korupsi Dalam Proses Instalasi PAM Kepada Konsumen

Biasanya para instalator.petugas PLN tersebut datang setelah informan mengajukan permohonan kepada pihak PAM Rayon X di Jakarta Selatan. Pengajuan permohonan dilakukan dengan menggunakan secarik kertas yang berisi nama pemilik rumah, alamat rumah, dan nomor telepon tanpa adanya pengisian formulir resmi dari PAM. Petugas penerima menjanjikan kepada informan bahwa pada esok hari akan datang 2 orang petugas yang akan melakukan survei di rumah informan. Pada tahap pengajuan permohonan pasang baru ini informan memberikan keterangan bahwa dirinya tidak dikenai biaya pendaftaran. Kemudian setelah informan pergi meninggalkan kantor rayon tersebut, petugas bagian penerimaan permohonan instalasi baru akan meneruskan permohonan kepada petugas instalatur. Informan yang diwawancari menyatakan bahwa pengajuan permohonan pertamanya dilakukan pada tahun 1998.

Keesokan hari setelah informan mengajukan permohonan, kedua petugas instalasi dari

kantor rayon yang dijanjikan mendatangi rumah informan. Biasanya petugas yang datang sebanyak 2 orang dan segera melakukan survei terhadap luas tanah berdasarkan PBB, luas bangunan, dan jumlah penghuni, serta memeriksa apakah terdapat pipa induk PAM di sekitar lokasi. Informan menyatakan bahwa petugas tersebut memberitahukan bahwa untuk instalasi diperlukan crossing dari pipa induk. Teknik tersebut diungkapkan petugas karena pipa terdekat dari rumah informan berada lebih tinggi dari rumah informan. Secara geografis, rumah informan sendiri berada di turunan. Kemudian petugas survei itu menyatakan bahwa biaya untuk teknik pemasangan yang demikian sebesar Rp 2.000.000,-

Perincian biaya yang terlalu mahal menurut informan dipergunakan untuk membayar 2

orang kuli dengan masa pengerjaan selama satu minggu. Menurut petugas survei, kedua orang kuli yang akan mengerjakan instalasi tersebut diberi honor sebesar Rp 50.000 per harinya. Biaya yang demikian juga diperlukan untuk menambah panjang pipa karena jarak antara rumah informan dengan pipa terdekat sekitar 30 meter. Pemasangan pipa dengan jarak 30 meter juga harus dilakukan dengan membongkar aspal jalan.

Informan mengetahui tetangganya yang berada di depan rumah juga menjadi konsumen

air PAM dan berpendapat bahwa bisa saja penyambungan dilakukan dari sana tanpa harus melewati daerah yang lebih tinggi dari rumah informan seperti yang disebutkan petugas instalasi. Karena harga yang ditawarkan petugas dinilai sangat mahal informan lalu melakukan tawar menawar dan akhirnya petugas menurunkan harga instalasi hingga Rp 1.500.000. Setelah mendapatkan harga penawaran dari petugas yang tetap dinilai mahal akhirnya ayah dari informan menimbang dan mengurungkan niatnya untuk mendapatkan air dari PAM karena informan berpikir bahwa biaya yang dicatut oleh petugas terlalu banyak hingga mencapai Rp 500.000,-

Informan sendiri mencoba memahami tingginya biaya tersebut dengan mengaitkan pada

kejadian pecahnya pipa PAM yang dialami oleh tetangga yang kediamannya berada di lokasi lebih tinggi dari kediaman informan. Menurut apa yang disampaikannya, kediaman tetangga informan tersebut pernah mengalami kerusakan pipa hingga pecah kemudian saat perbaikan pipa yang pecah diganti dengan pipa yang lebih besar ukurannya.

Delapan bulan kemudian informan kembali mengajukan permohonan pemasangan

kepada kantor rayon yang sama. Pengajuan kembali ini dilakukan karena pompa air milik keluarga informan sering mengalami kerusakan. Sering rusaknya pompa air inilah yang menyebabkan

Page 137: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

129

keluarga informan memutuskan untuk menjadi konsumen PAM. Kerusakan ini juga sering dialami sebelum informan pertama kali mendaftarkan keluarganya sebagai konsumen PAM. Alasan lain mengapa informan mengajukan permohonannya yang kedua karena keluarga informan merasa tidak enak harus terus memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan meminta kepada para tetangganya. Kebutuhan air yang mendesak untuk dipenuhi menguatkan keinginan keluarga informan untuk menjadi konsumen PAM. Proses pengajuan permohonan yang dilakukannya pun sama seperti pertama kali ia mengurus di kantor rayon tersebut. Seorang petugas berada di ruangan yang pernah didatangi oleh informan.

Petugas tersebut menunjukkan meja dimana informan dapat mengurus keperluannya

namun informan sendiri tidak mengetahui apakah meja yang ditunjuk oleh pertugas itu merupakan bagian yang secara resmi menerima permohonan pemasangan bagi calon konsumen. Setelah informan tiba di meja yang telah ditunjuk, ia menyatakan keperluannya kepada petugas di meja terebut. Hanya saja informan tidak memberitahukan bahwa dirinya pernah mengajukan permohonan pemasangan baru sebelumnya. “Takut dimaenin gitu. Berlagak baru daftar aja,” ungkapnya. Ketika ditanyakan tentang berapa lama waktu yang digunakan dalam mengurus permohonan itu, informan memperkirakan waktu yang dipergunakan untuk mengajukan permohonan tersebut tidak sampai 15 menit dan hanya melewati satu meja149 saja. Seperti pada proses pengajuan sebelumnya, informan diminta untuk menuliskan identitas pemasang pada secarik kertas yang diidentifikasikannya seperti kertas daur ulang. Kemudian petugas yang menerima permohonannya menyampaikan kepada informan agar menunggu kedatangan 2 orang petugas rayon. Petugas inilah yang nantinya juga melakukan survei di lokasi kediaman informan. Pada tahap pengajuan ini informan menyatakan dirinya tidak ditarik biaya serta tidak mengisi formulir pendaftaran.

Kali ini petugas survei yang dikirim dari kantor rayon datang lebih cepat dari perkiraan

informan. Apabila pada pagi harinya informan datang ke kantor rayon untuk mengurus pengajuan pemasangan baru maka sore harinya kedua petugas survei yang dijanjikan telah tiba di kediaman informan. Petugas yang datang melakukan survei bukan petugas yang delapan bulan lalu melakukan survei. Berbeda dengan petugas sebelumnya, petugas yang kedua ini dianggap lebih terus terang. Kesan terus terang itu ditangkap oleh informan dari pernyataan petugas yang menyebutkan biaya pemasangan resminya yaitu antara Rp 200.000 hingga Rp 300.000,- dan memerinci pengeluaran biaya pemasangan seperti honor 2 orang tukang gali dan pasang sebesar Rp 50.000 per hari selama 3 hari kerja pemasangan. Sambil menginformasikan biaya pemasangan, petugas tersebut juga menyatakan bahwa dengan biaya yang demikian mereka sendiri tidak mendapat bagian yang masuk ke kantongnya. Disamping itu petugas juga menyampaikan kegiatan pemasangan pipa di kediaman informan nanti tidak perlu dilakukan teknik crossing. Namun demikian, informan tidak sepenuhnya mempercayai ucapan petugas itu dengan berasumsi bahwa tidak mungkin petugas tidak mendapatkan hasil dari biaya pemasangan yang dikenakan. Kesan tidak percaya sepenuhnya ini juga diperoleh dari ketidakjelasan keterangan petugas dalam rincian-rincian teknis pemasangan, misalnya biaya instalasi yang mahal disebabkan karena kondisi tanah kediaman, lalu tanah di kediaman informan yang dikatakan petugas sangat luasnya yaitu 1.400 m2 sehingga membuat kelasnya berbeda. Informan tidak mendapat kejelasan apa hubungan antara kriteria-kriteria survei tersebut dengan sistem pelayanan dan abodemen yang harus dibayar oleh

149 Pemahaman “meja” di sini dipahami dengan mengacu pada pengalaman masyarakat umum yang berlaku saat berurusan dengan birokrasi yaitu banyak serta rumitnya bagian-bagian atau proses yang harus dilalui dalam mengurus suatu pemenuhan persyaratan administratif.

Page 138: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

130

pelanggan. Menurut keterangan informan, salah seorang petugas itu menambahkan bahwa urusan

pemasangan baru tidak bisa dilakukan dengan cepat apabila tidak membayar sejumlah yang diminta sambil menegaskan keinginan informan yang ingin cepat dilakukan pemasangan. Kesan penegasan itu diperkirakan oleh informan setelah petugas melihat salah seorang anggota keluarga informan sedang mengangkat ember berisi air yang diperoleh dari kediaman tetangganya. Kemudian salah seorang petugas lainnya yang dianggap lebih ramah dan komunikatif oleh informan juga turut mempengaruhi keputusan calon konsumen dengan cara yang lebih persuasif dibanding rekan petugas tersebut. Yang dimaksud dengan cara lebih persuasif misalnya dengan mengatakan,”…Air ‘kan masalah penting ya, bu..ya? Jadi’kan mesti cepet-cepet juga..” Upaya persuasi petugas itu ditanggapi oleh ibu dari informan dengan mengatakan,” Iya, kita ‘emang butuh banget nih. Tapi kalo kemahalan kayak gitu yah keterlaluan juga, pak.” Tampaknya ibu dari informan masih ingin membuka kesempatan negosiasi dengan harga lebih murah. Petugas yang ramah tersebut menanggapi keberatan itu dengan menyatakan bahwa penawaran yang demikian tidak dimaksudkan untuk memberatkan bebas biaya yang berat kepada calon konsumen. Ia menyatakan,” Oh, nggak…nggak,bu. Kita nggak gitu kok. Kita cuma mau supaya ibu bisa cepet dapet air saja.”

Akhirnya keluarga informan membayar harga pemasangan sebesar Rp 500.000,- dengan

alasan bahwa harga yang dibayarkan tidak dianggap terlalu tinggi dibanding yang ditawarkan sebelumnya. Selain itu biaya sebesar itu juga dikaitkan dengan jasa yang dilakukan petugas dalam mengurus seluruh administrasi pemasangan. “…Dan juga kita pikir biayanya cuma nambah sekitar 250 ribuan gitu… Lagian juga kalo kita mau ikutin prosedur yang remsi gitu mereka nggak akan mau ‘ngasih tau caranya”, tegas informan. Petugas itu pun menyatakan bahwa pengisian syarat-syarat administratif, misalnya formulir pendaftaran akan dilakukan oleh mereka sendiri sehingga konsumen tinggal ‘terima jadi’.

Setelah survei dan negosiasi harga diselesaikan hari itu, keesokan harinya pemasangan

dilakukan tenaga lepas (tukang) yang dibawa oleh petugas survei hari sebelumnya. Informan sendiri pada saat pemasangan tidak melihat proses kerja tersebut, namun mengetahui bahwa tukang yang dipekerjakan hanya melakukan penyambungan pipa saja karena pipa tersebut berada di luar pagar kediaman informan dimana jaraknya sangat dekat, sekitar 10 meter, dengan lokasi pemasangan. Penyambungan pipa itu pun tanpa harus dilakukan dengan teknik crossing seperti yang disarankan oleh petugas survei delapan bulan lalu. Informan kemudian berupaya membuktikan tidak dilakukannya teknik crossing dengan memeriksa kondisi aspal jalan di depan kediamannya yang tidak ditemukan bekas-bekas penggalian dan pelapisan aspal baru.

Waktu yang digunakan untuk pemasangan instalasi kali ini lebih cepat dibandingkan

dengan waktu yang dipatok petugas saat negosiasi harga. Apabila yang diperkirakan sebelumnya akan memakan waktu selama tiga hari, maka pada prakteknya waktu yang digunakan lebih cepat dari perkiraan petugas yaitu kurang lebih 7 ½ jam. Lamanya waktu tersebut dihitung informan dari saat dirinya berangkat menuju ke kampus pada pukul 12.00 siang dan kembali pada pukul 18.30 petang. Ketika informan sudah kembali dari kampus pada jam tersebut, ia menemukan bahwa air dari PAM telah mengalir. Namun sejak saat itu hingga kini, keluarga informan tidak juga kunjung menikmati air dengan kualitas yang bersih dan memadai bagi kebutuhan air minum keluarga. Informan menyatakan:

Page 139: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

131

”Kita sendiri sebenarnya jarang pake air PAM karena air PAM ‘kan ‘nggak enak yah buat minum. Paling buat ‘nyuci aja…”

Pada akhir wawancara informan mengungkapkan bahwa dirinya tidak berkeberatan

apabila saat mendaftar diharuskan mengisi formulir terlebih dahulu dan dalam proses pemasangannya memang dibutuhkan suatu survei oleh petugas. Informan keberatan apabila prosedur tersebut hanya melewati satu orang saja karena ia tidak mendapat kejelasan mengenai syarat-syarat administratif yang harus dipenuhinya selain mencantumkan sedikit identitas calon konsumen. Sementara hal-hal lain yang ingin diketahui informan tidak diperoleh. “Kalo gitu’kan, formulirnya aja dia yang ‘ngisi jadi kita nggak tahu’kan? Paling yang bener nama pemilik sama alamat doang, tapi yang laen-laen kita nggak tahu”, keluhnya.

Selain keluhan tersebut, informan juga mengeluhkan dan merasa kesal atas keterlambatan

surat tagihan rekening. Ia mengungkapkan bahw asurat tagihan yang seharusnya ia terima untuk membayar rekening air selama Desember 1998 hingga Januari 1999 tidak juga kunjung datang. Informan kemudian mendatangi kantor rayon tersebut untuk memberitahukan bahwa tagihan atas air yang dikonsumsi oleh keluarganya selama ini belum diperoleh. Setelah keluhan diproses oleh petugas yang ditemuinya, diberitahukan bahwa informan tersebut benar belum membayar tagihan rekening selama dua bulan. Informan kemudian diminta untuk membayar denda keterlambatan selama dua bulan itu sebesar Rp 5.000,- padahal surat tagihan belum diterimanya. Menurut petugas, kejadian itu bukanlah kesalahan mereka melainkan kesalahan kurir yang bertugas mengantarkan surat tagihan.

Selain itu informan juga merasa heran dengan tagihan rekening bulan Maret 2000 yang

menurutnya aneh. Ia menyatakan bahwa kebutuhan air yang dikonsumsi lewat PAM hanya 3 meter kubik per bulan karena hanya untuk mencuci saja. Namun keluarganya harus membayar sebesar Rp 9.000 padahal menurut perhitungannya biaya untuk penggunaan 3 meter kubik hanya sebesar Rp 4.000. Informan merasa bahwa dirinya tidak hanya bingung dengan seluruh seluk beluk proses pemasangan baru seperti yang telah digambarkan di atas. Melainkan juga bingung dalam menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk golongan konsumen seperti keluarganya. Ia hanya mengetahui adanya perbedaan dalam hitungan rekening per meter kubik antara satu golongan konsumen dengan golongan konsumen lainnya namun ia tidak tahu dimana letak perbedaannya.

Tabel 19 Tipe Pola Korupsi Pada Penyediaan Air Minum

No Cakupan Bentuk Kegiatan Tingkatan Manajemen Tipe Korupsi 1. Internal Pengadaan sumber daya

strategis Tinggi a.Patronase Institusi

secara transaktif lewat pencurian aset. b.Suportif

2. Eksternal Instalasi Bawah/operasional Ekstortif-Autogenik lewat pungutan liar

Dari paparan diatas dapat digambarkan dalam tabel 17, di mana tipe pola korupsi pada

penyediaan air minum berdasarkan cakupan internal memiliki tiga tipe korupsi. Tipe patronase institutif dan tipe suportif, yaitu ketika korupsi mengacu pada penciptaan susana kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi terdapat pada tingkat manajemen tinggi. Tipe korupsi tersebut terjadi di dalam tubuh PAM Jaya, terutama dalam proses

Page 140: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

132

pengambilan kebjakan swastanisasi karena terlihat bahwa swastanisasi tersebut tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi publik sebagai konumen pelayanan publik.

. Tipe ketiga, adalah tipe ekstortif-autogenik yaitu korupsi yang menunjukkan adanya

korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap untuk mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orangnya, atau hal-hal yang dihargainya dan korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahuinya seorang diri. Tipe ini terjadi dalam interaksi antara petugas PAM Jaya dengan pelanggan/calon pelanggan PAM.

Page 141: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

133

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Untuk memahami pola-pola korupsi di lembaga pelayanan publik dan kemudian merumuskan

rekomendasi-rekomendasi yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini bukanlah sesuatu yang mudah. Karakteristik yang relatif berbeda antar lembaga publik seperti yang ditemukan bahwa ada perbedaan struktural antara masing-masing sektor, membuat penelitian ini memiliki keterbatasan dalam memandang pola korupsi di sektor pelayanan publik secara umum.

Listrik dan air bersih relatif memiliki kesamaan, dalam artian bahwa dalam relasi antara

masyarakat dengan lembaga-lembaga pelayanannya terdapat relasi konsumen-produsen yang tegas, ketika masyarakat membayar listrik atau air, maka mereka memperoleh barang berupa air/listrik. Dan di sini konsumennya adalah keluarga atau rumah tangga, dan ini berkaitan dengan interaksi antara konsumen dengan lembaga-lembaga pelayanan publik tersebut. Sedangkan SIM, dalam relasi produsen-konsumen seperti di atas juga relatif sama, hanya konsumennya adalah individu-individu. Yang memiliki karakteristik paling berbeda adalah pajak, karena di sini masyarakat bukanlah konsumen, artinya relasinya juga bukan konsumsi-produksi seperti halnya pelayanan publik yang lain. Dalam lingkup perpajakan, membayar pajak merupakan kewajiban warga negara sebagai timbal balik dari hak rakyat untuk memperoleh perlindungan dan terpenuhi hak-hak dasarnya

Kemajuan perekonomian yang semu yang selama ini terjadi di Indonesia akhirnya membuat

banyak aspek dalam kehidupan sosial tidak lagi dapat bertahan ketika berhadapan dengan krisis periodik yang menyertai perjalanan sistim ekonomi global. Hilangnya kemampuan institusi pokok penunjang sistim membuat patologi korupsi cenderung menjadi tidak terkendali karena telah dikontaminasi. Negara tentu turut mempunyai kontribusi dalam kenyataan tersebut.

Berdasarkan sekilas deskripsi sebelumnya mengenai pola korupsi maka kita dapat melihat

bagaimana peran negara, yang terdiri dari institusi politik dan kelompok-kelompok politik, terus menerus berusaha menanamkan dominasinya pada kehidupan sipil. Beberapa pola umum yang dapat dilihat dari sekilas deskripsi di atas yaitu :

1. Telah terjadi perubahan pola umum dari patronase individual yang memiliki kekuatan politik

kepada patronase institusional yang lebih menjamin perlindungan korupsi yang dilakukan oleh lingkaran kekuasaan baik di pusat maupun daerah.

2. Seiring dengan perubahan strategi industrialisasi yang dijalankan, pola korupsi juga turut berubah dari lingkup yang sifatnya terbatas pada individu-individu yang dekat dengan Soeharto menjadi lebih luas melalui aturan perundangan tentang pengadaan yang diatur untuk melancarkan jalan bagi institusionalisasi korupsi. Di sini keberadaan Tim Sepuluh tidak dapat dianggap remeh dalam proses tersebut dengan perannya sebagai pengendali pengadaan. Ia juga berfungsi sebagai lembaga kontrol secara ekonomi yang diperuntukkan bagi kepentingan politik untuk membangun dukungan basis massa yang lebih luas, misalnya melalui instrumen DRM (Daftar Rekanan Mampu) yang berfungsi sebagai lembaga screening bagi pengusaha pro-Golkar dengan Non-Golkar.

3. Disekatnya kesempatan korupsi antara level bawah dengan atas sehingga para aktor tingkat menengah dan bawah tidak mempunyai kesempatan melakukan mobilitas vertikal baik melalui institusi maupun regulasi. Contoh umum adalah keberadaan Dekrit Presiden 14/1979 yang memberikan keuntungan bagi pengusaha menengah dan kecil, sementara Tim

Page 142: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

134

Sepuluh memberikan keuntungan bagi pengusaha besar yang dekat dengan Soeharto. Sementara contoh lain adalah kasus pengurusan SIM antara “biaya resmi” yang diatur dalam perundangan dengan “biaya pungli”.

4. Penyekatan itu juga dikontrol oleh lembaga mediasi utama yang berfungsi sebagai pengawas sistim korupsi misalnya seperti Tim Kordinasi tingkat daerah dan departemen yang merupakan kepanjangan Tim Sepuluh, Subbag SIM Polda sebagai poros yang mengatur alokasi keuntungan pungutan SIM, dan Satuan Pengawas Intern pada PAM Jaya.

5. Fungsi penyekatan itu antara lain berupaya untuk memisahkan antara korupsi di tingkat atas dengan tingkat bawah dengan demikian korupsi pada tingkat atas tetap tidak tersentuh. Pada prinsipnya, contoh-contoh kasus korupsi yang sekilas dideskripsikan di atas membentuk

suatu jaringan sosial yang lebih luas. Secara teoritik, struktur dari institusi tersebut, dalam hal ini birokrasi pelayanan publik, menggambarkan suatu mata rantai yang menyatukan konfigurasi-konfigurasi hubungan yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain atau posisi sosial yang satu dengan posisi sosial yang lain.

Pola korupsi tersebut juga menunjukkan bahwa tindakan individu yang tertanam di dalam dan

dipengaruhi oleh ikatan-ikatan sosial yang menyatukan aktor-aktor dalam suatu pola interaksi telah meletakkan individu sebagai aktor pasif dari tekanan-tekanan disekitar lingkungan sosialnya. Akhirnya jaringan sosial tersebut lebih merupakan rambu-rambu yang bersifat membatasi suatu diskresi. Banyaknya aturan perundangan yang sangat luas penafsirannya, saling berbenturan satu sama lain menunjukkan bahwa aturan tersebut hanya diperkenankan ada sejauh berguna bagi jaringan tersebut. Di sini hukum disubordinasikan dibawah kepentingan kelompok dalam jaringan. Selain itu lemahnya individu dalam berhadapan dengan institusi dapat mencerminkan lemahnya masyarakat terhadap negara akibat proses depolitisasi kekuatan sosial berikut institusinya selama puluhan tahun.

Untuk lebih mempermudah pemahaman, di dalam kesimpulan dan rekomendasi ini akan

dibagi berdasarkan sektor-sektor yang menjadi obyek penelitian. Dari kesimpulan dan rekomendasi terhadap sektor-sektor yang ada, baru kemudian akan disusun kesimpulan dan rekomendasi secara keseluruhan dari lembaga pelayanan publik yang direpresentasikan dengan keempat sektor tersebut, yaitu pengadaan air minum, pengadaan listrik, Surat Ijin Mengemudi serta sektor perpajakan.

IV.1. Pengelolaan SIM dan Kultur Birokratik Militer

Posisi kepolisian yang baru saja lepas dari struktur TNI/ABRI tentunya saja masih menyisakan kultur kepolisian yang birokratis-militeristik. Dalam kultur yang terdapat di Orde Baru umumnya serta tubuh militer khususnya, karakter organisasi yang tertutup dan eksklusif cukup banyak memberi warna pada pola-pola korupsi yang terdapat pada tubuh kepolisian, khususnya dalam posisi mereka sebagai pengelola Surat Ijin Mengemudi. Meskipun ada juga pegawai negeri sipil (PNS) yang dilibatkan dalam pengelolaan SIM, namun posisi sipil tersebut tidak mempengaruhi hirarki yang berlaku sebagaimana layaknya struktur militer, di mana bawahan harus sepenuhnya patuh kepada atasan. Sebagian dari mereka juga memiliki posisi tawar yang lemah karena hanya menjadi karyawan bantuan, sehingga pemecatan terhadap mereka dapat dilakukan setiap saat, bahkan bisa dilakukan secara lisan.

Pola korupsi dominan yang terdapat dalam pengelolaan SIM ini terutama adalah pada

persoalan percaloan SIM. Percaloan SIM ini bisa dilakukan oleh aparat kepolisiannya sendiri, biro jasa, maupun calo-calo individual yang memang memiliki jaringan dengan orang-orang di dalam

Page 143: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

135

strutur pengelolaan SIM. Siapapun calo SIM tersebut, di dalam struktur pengelolaan SIM tetap terjadi mekanisme pembagian hasil yang sesuai dengan “kesepakatan” bersama. Yang pasti harus ada distribusi “pendapatan” yang memadai, terutama kepada atasan. Seperti halnya upeti, para calo serta bawahan-bawahan yang memperoleh penghasilan tambahan dari SIM ini harus memberikan sebagian penghasilannya tersebut kepada atasannya masing-masing. Biasanya, biaya lebih yang harus dikeluarkan untuk memperoleh SIM melalui calo berkisar antara Rp 100.000,00 hingga Rp 150.000,00. Dari situlah kemudian distribusi dana dilakukan.

Mekanisme tersebut tidak akan bisa terus berjalan tanpa adanya dukungan dari keseluruhan

jaringan yang ada. Apabila ada salah satu bagian yang menyimpang dari mekanisme tersebut, akan ada tekanan yang memaksa bagian tersebut untuk keluar atau mengikuti mekanisme yang ada. Dan itu ditunjang oleh struktur yang hirarkis dan jenjang kepangkatan yang terbangun secara sistematis, sehingga sistem yang potensial melahirkan korupsi tersebut kecil kemungkinannya bisa berubah tanpa adanya kebijakan yang cukup radikal. Kontrol internal di dalam kepolisian pada umumnya serta pengelolaan SIM khususnya juga semakin lemah karena struktur semacam itu.

Dari segi pembiayaan SIM, sebenarnya ada dua jenis korupsi yang terjadi. Korupsi yang

melibatkan calo merupakan jenis korupsi yang pertama, yang manjadi fokus dari penelitian ini, yaitu korupsi yang terjadi dalam proses pembuatan SIM oleh masyarakat. Sedangkan korupsi yang kedua adalah korupsi yang menyangkut produksi SIM di internal kepolisian, karena dari biaya resmi sebesar Rp 52.500,00 yang berlaku, tidak jelas alokasinya ke mana saja.

Secara keseluruhan, korupsi yang terjadi dalam pengelolaan SIM terjadi karena adanya

kondisi-kondisi tertentu. Pertama, keberadaan calo yang susah diberantas karena memang ada relasi yang saling menguntungkan antara masyarakat, calo dan peugas kepolisian sendiri. Kedua, prosedur pembuatan SIM yang memakan waktu cukup lama (apabila tanpa calo) memaksa masyarakat untuk menggunakan jasa calo agar prosesnya dipercepat. Ketiga, kebutuhan masyarakat akan SIM begitu besar, sementara apabila mereka mengurus SIM tanpa bantuan calo kemungkinan untuk gagal dalam ujian sangat besar, sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan membayar biaya lebih melalui calo. Artinya, pola korupsi yang terjadi dalam pengelolaan SIM di Polda Metro Jaya selalu melibatkan calo, dan berkaitan erat dengan persoalan percaloan ini. Selama kerja percaloan ini memberikan penghasilan yang memadai sementara tidak ada pekerjaan tetap lainnya, maka calo-calo pasti akan selalu ada. Sedangkan untuk calo dari orang dalam, selama tidak ada ketegasan dari atasan untuk menolak praktek percaloan, maka “calo-calo interen” ini juga akan tetap ada.

Sebagai bagian dari upaya untuk memberantas korupsi di dalam pengelolaan SIM, perlu

dilakukan hal-hal tersebut di bawah ini:

1. Perlu dibentuk dan dibangun kultur yang baru di tubuh kepolisian setelah mereka keluar dari struktur militer. Kultur baru ini terutama dimaksudkan untuk membuka peluang terciptanya mekanisme kontrol di tingkat internal, karena dalam struktur yang militeristik dan birokratis, kontrol dari bawah tidak dimungkinkan.

2. Kepolisian harus mulai transparan dengan memberikan pertanggungjawaban kepada publik mengenai pengalokasian dana SIM. Selain itu, perlu dilakukan perhitungan ulang mengenai biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh SIM. Apabila perlu, dibuat subsidi silang antara pemohon SIM umum dengan pemohon SIM biasa, dengan asumsi bahwa SIM umum digunakan untuk mencari nafkah sehingga biayanya ditekan serendah mungkin.

Page 144: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

136

3. Kepolisian harus secara tegas melakukan pembersihan terhadap praktek percaloan SIM. Selain karena percaloan sarat dengan korupsi, percaloan juga melahirkan supir-supir “tembak” yang sebenarnya belum layak untuk mengemudi mobil dan dapat membahayakan keselamatan orang lain.

4. Petugas kepolisian harus melakukan tuntutan kepada pemerintah agar supaya pemerintah menaikkkan gaji polisi karena memang itu hak mereka. Setelah keluar dari TNI serta memasuki masa reformasi, hal-hal semacam itu bukan lagi menjadi barang haram, dan memang sudah sewajarnya dilakukan. Siapa yang akan memperjuangkan kepentingan polisi selain polisi sendiri? Dukungan masyarakat pasti akan muncul apabila polisi berusaha meningkatkan penghasilannya dengan perjuangan yang demokratis, tidak dengan tindakan-tindakan yag merugikan masyarakat.

5. Mekanisme pengujian agar seseorang bisa memperoleh SIM juga harus diperbaiki hingga seobyektif mungkin. Dengan begitu, orang yang memiliki SIM merupakan orang yang betul-betul siap untuk mengemudi dan tidak membahayakan orang lain.

6. Mekanisme pengurusan SIM juga harus dipercepat dengan meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai. Teknologi yang ada harus dioptimalkan. Tender yang dilakukan ketika hendak bekerja sama dengan pihak swasta harus dilaksanakan secara terbuka dan obyektif, sehingga masyarakat tidak dirugikan.

7. Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa SIM bukan sesuatu yang mudah diperoleh karena di dalamnya terdapat tanggung jawab yang berat.

IV.2. Korupsi di Sektor Pajak

Seperti dipaparkan di atas, sektor perpajakan ini memiliki karakteristik yang relatif lebih kompleks di banding sektor-sektor yang lain. Di dalam sektor ini terdapat berbagai jenis pungutan pajak, prosedur teknis serta lembaga-lembaga yang berwenang melakukan pemungutan pajak. Sehingga, di dalam tubuh Direktorat Jendral Pajak, secara keseluruhan terdapat beberapa persoalan, yaitu di tingkat personalia, dalam pembayaran jasa-jasa wajib, dalam proses negoisasi pajak, serta beberapa celah yang membuka peluang bagi terjadinya korupsi yang diakibatkan oleh sistem pemungutan yang berlaku, model pemeriksaan pajak serta adanya model “daftar nominatif” di dalam Dirjen Pajak.

Korupsi di tingkat personalia di dalam sektor perpajakan banyak berkaitan dengan proses

rekrutmen serta penempatan. Dalam proses rekrutmen serta penempatan ini biasanya terjadi transaksi antara “calon pekerja” dengan “calon atasannya” agar bisa diterima bekerja atau ditempatkan di salah satu bagian yang dianggap “basah” di Dirjen Pajak. Sedangkan dalam pembayaran jasa-jasa wajib biasanya terjadi dalam interaksi antara wajib pajak dengan petugas pajak, di mana wajib pajak “dipaksa” untuk memberikan uang pelicin untuk memperlancar jasa yang seharusnya bisa dilakukan tanpa biaya atau dengan biaya resmi yang kecil. Hal ini terjadi salah satunya disebabkan karena kurangnya pengetahuan dari wajib pajak, sehingga mudah “digertak” oleh petugas pajak.

Dalam proses negosiasi terdapat pola korupsi yang boleh dibilang khas dalam sektor

perpajakan. Sebagai kelanjutan dari proses pembayaran jasa-jasa wajib namun dalam bentuk yang lebih spesifik, dalam negosiasi pajak ini juga terjadi korupsi dalam interaksi antara petugas pajak dengan wajib pajak. Ada dua bentuk korupsi yang terjadi dalam negosiasi ini, pertama posisi petugas pajak bersifat aktif, dengan meminta biaya/dana tambahan berdasarkan ketidaktahuan wajib pajak sehingga wajib pajak berharap proses pengurusan pajaknya bisa dipercepat. Sedangkan kedua, posisi

Page 145: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

137

wajib pajak bersifat aktif, sehingga diharapkan oleh wajib pajak, jumlah pajak yang harus dia bayar bisa berkurang dengan memberi biaya khusus kepada petugas pajak.

Dalam sistem perpajakan di Indonesia, ada beberapa celah yang menurut hasil penelitian ini

membuka peluang terjadinya korupsi, yaitu: pertama pada metode pemungutan pajak yang berlaku saat ini, yaitu metode official assesment system. Dalam sistem ini, karena kekuasaan petugas pajak begitu besar, petugas pajak memiliki potensi untuk berbuat sewenang-wenang. Sebelumnya pernah dicoba dipakai metode self assesment system, namun karena dari Dirjen Pajak sendiri tidak mampu menangani sistem ini, akhirnya dirubah menjadi official assesment system. Kedua, pada model pemeriksaan pajak, model yang dipakai sekarang ini adalah model di mana tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Implikasi dari penggunaan model ini adalah bahwa kemudian wajib pajak mengalami kesulitan untuk melakukan pembelaan diri ketika jumlah pajaknya ditetapkan. Bahkan ketika wajib pajak bermaksud meminta restitusi, besar kemungkinan wajib pajak akan dicurigai hendak melakukan kecurangan dan dipersulit prosesnya. Ketiga, adalah daftar nominatif, yang lebih kepada memberikan peluang terjadinya korupsi di luar institusi perpajakan. Dalam persoalan ini, petugas pajak biasanya tidak mau meneliti lebih jauh pengeluaran wajib pajak (perusahaan) berupa “dana entertaimen”, dan biasanya dimasukkan ke dalam bagian “hibah perusahaan”, sedangkan penerima “dana entertainmen” tersebut dalam laporan pajaknya dimasukkan ke dalam penghasilan. Padahal, bentuk-bentuk transaksi “dana entertainmen” tersebut sangat kental nuansa korupsi dan kolusinya.

Untuk mengeliminir potensi terjadinya korupsi di sektor perpajakan, berdasarkan hasil

penelitian ini ada beberapa rekomendasi yang harus dilaksanakan, antara lain:

1. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai pajak hendaknya tidak hanya seputar pajak sebagai kewajiban namun juga harus diikuti dengan sosialisasi mengenai teknis perhitungan dan pembayaran pajak yang sederhana.

2. Sosialisasi lain yang harus dilakukan adalah sosialisasi yang memastikan bahwa uang yang dikeluarkan masyarakat berupa pajak dikembalikan kepada masyarakat berupa pelayanan publik. Dan ini baru benar-benar bisa efektif apabila pembenahan di sektor pelayanan publik sudah dilakukan dan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat banyak.

3. Harus diberikan penegasan oleh pemerintah bahwa posisi kewarganegaraaan seseorang adalah penuh apabila dia membayar pajak, sehingga hak-hak seseorang akan dijamin sepenuhnya oleh negara apabila dia membayar pajak.

4. Kewenangan pemungutan pajak harus diperjelas, terutama dalam kaitannya dengan otonomi daerah.

5. Harus dibangun mekanisme kontrol internal berupa pembentukan kode etik petugas pajak serta pembentukan dewan independen yang mengawasi pelaksanaan kode etik tersebut.

6. UU no 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) harus segera direvisi, sehingga wajib pajak yang mengajukan permhonan banding tidak harus melunasi segala hutang pajaknya terlebih dahulu sebelum BPSP ini bersedia bersidang.

7. Sistem restitusi pajak hendaknya diperbaiki sehingga prosesnya lebih mudah dan tidak bertele-tele. Hal ini akan meminimalisasi kemungkinan terjadinya kolusi antara petugas pajak dengan wajib pajak.

8. Sistem perpajakan di Indonesia harus disusun berdasarkan perhitungan yang lebih strategis. Perubahan-perubahan peraturan pelaksanaan yang terjadi karena kepentingan taktis dari pejabat tinggi pajak harus dihindari, karena hal tersebut melanggengkan pola korupsi yang sudah sedemikian sistemik di kantor perpajakan.

Page 146: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

138

9. Peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai perpajakan harus ditinjau ulang karena banyak terjadi tumpang tindih, misalnya dicabutnya hak yang mengatur wajib pajak sehingga secara teoritis sistem yang digunakan adalah self assesment, namun pada prakteknya berlaku sistem official assesment.

10. Untuk menunjang sistem kerja dengan mengubah pola hubungan antara negara dengan pembayar pajak, hubungan/interaksi langsung antara petugas pajak dengan wajib pajak harus dikontrol secara penuh, untuk itu harus dibangun jaringan informasi on-line antar kantor pajak di seluruh Indonesia.

11. Hasil pemeriksaan petugas pajak harus dikonfirmasikan kepada wajib pajak tidak secara personal, hal tersebut untuk menghindari terjadinya transaksi koruptif antara petugas pajak dengan wajib pajak.

12. Seluruh hasil pemeriksaan pajak harus diaudit oleh pihak luar yang independen, sehingga akuntabilitasnya di mata publik terjamin.

13. Ditumbuhkan kesadaran dan pengetahuan yang memadai dari wajib pajak/masyarakat, agar masyarakat dapat lebih tegas untuk melakukan penolakan terhadap ajakan kolusi yang dilakukan oleh petugas pajak.

14. Direktorat jenderal pajak harus segera dibersihkan sehingga bisa menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi.

IV.3. Pola Korupsi di BUMN (PLN dan PAM Jaya)

Sebagai BUMN yang mengelola kekayaan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak bisa tidak BUMN harus berfungsi sebagai pelayan publik. Secara umum persoalan yang ada di tubuh BUMN di Indonesia adalah pada profesionalitas dalam melakukan pelayanan terhadap publik. Dan kemudian, menurut logika pemerintah waktu itu, untuk meningkatkan profesionalitas mereka maka dilakukan swastanisasi terhadap beberapa BUMN termasuk PLN dan PAM. Dalam kasus PLN, swastanisasi dilaksanakan dalam bentuk penyediaan tenaga listrik yang dilakukan oleh swasta untuk kemudian dibeli oleh PLN. Sedangkan dalam kasus PAM Jaya, dilakukan swastanisasi dengan melakukan kerjasama penyediaan air minum di Jakarta dengan beberapa perusahaan asing. Di dalam dua BUMN tersebut, yaitu PLN dan PAM Jaya, ada dua persoalan utama yang menyangkut adanya korupsi, yaitu dalam proses swastanisasinya serta kasus korupsi di tingkat internal BUMN tersebut.

IV.3.1. PLN: Swastanisasi dan Korupsi

Secara umum pola korupsi yang terdapat di dalam PLN adalah yang menyangkut pengadaan

listrik itu sendiri, yang biasanya berupa mark up terhadap anggaran yang direncanakan. Selain itu, di tingkat internal juga terjadi dalam proses pengadaan kebutuhan barang operasional. Namun ada juga korupsi yang terjadi dalam relasi antara PLN dengan masyarakat, di mana terjadi pencurian listrik dalam skala besar oleh konsumen industri baik untuk pabrik maupun gedung.

Dalam pengadaan listrik yang berskala besar, kasus utama yang ada di tubuh PLN adalah

persoalan listrik swasta. Persoalan ini bermula dari kebijakan pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan listrik akibat meningkatnya investasi di sektor manufaktur. Karena diasumsikan PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut, maka diupayakanlah adanya listrik swasta. Namun ternyata banyak persoalan yang muncul dalam proses pengadaan listrik swasta ini, dari sejak perencanaan, perolehan ijin, pembiayaan, pelaksanaan produksi, hingga ketika PLN harus membeli listrik swasta tersebut. Semua itu berkaitan dengan banyaknya kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah kepada produsen listrik swasta, sehingga banyak merugikan negara. Kemudahan-

Page 147: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

139

kemudahan inilah yang diduga kuat diperoleh melalui korupsi, kolusi dan nepotisme karena melibatkan keluarga Suharto, presiden Indonesia waktu itu.

Pada proses perencanaan, PLN sering meleset dalam menentukan proyeksi listrik, dengan

alasan karena PLN hanya mau memperluas jaringannya di suatu kawasan apabila prospek kawasan tersebut sudah jelas sebagai kawasan industri. Sehingga industri-industri baru yang muncul acapkali harus memenuhi sendiri terlebih dahulu kebutuhan listriknya. Namun sebaliknya di sisi lain, dalam perencanaan pengembangan sistem ketenagalistrikan sering terjadi rekayasa melalui manipulasi-manipulasi perhitungan, sehingga seolah-olah kebutuhan listrik Indonesia begitu besar. Inilah yang kemudian dijadikan justifikasi untuk membuka peluang bagi swasta untuk memproduksi listrik yang nantinya harus dibeli oleh PLN. Ironisnya lagi, kemudian dalam tender penentuan pihak swasta yang diberikan lisensi untuk memproduksi listrik juga terjadi manipulasi, sehingga kemudian yang lolos tender adalah kroni-kroni Suharto.Untuk lebih memperkuat pembenaran terhadap kebutuhan dan keberadaan listrik swasta ini, pemerintah juga kemudian mengeluarkan beberapa peraturan-peraturan. Peraturan-peraturan tersebut tentunya dibuat untuk memperlancar investasi listrik swasta.

Di situ terlihat bagaimana kolabrasi yang dilakukan antara negara dengan modal, sehingga

merugikan kepentingan rakyat. Untuk kepentingan investasi listrik (yang terbukti belum perlu), pemerintah membuat peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UU. Bahkan dalam prakteknya, relasi antara PLN dengan pihak swasta juga berjalan tidak seimbang, karena berapapun kebutuhan listrik di Indonesia, PLN harus tetap membeli listrik yang diproduksi oleh pihak swasta. Padahal akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997, kebutuhan listrik Indonesia ternyata masih bisa dipenuhi oleh PLN, namun tetap PLN harus membeli listrik swasta tersebut dengan harga yang disepakati sebelumnya.

Persoalan yang muncul seputar listrik swasta ini juga berkaitan dengan lembaga-lembaga

keuangan internasional seperti IBRD, ADB, dan lain-lain. Dari data yang diperoleh terlihat bahwa banyak proyek pengadaan listrik yang dibiayai oleh lembaga keuangan internasional dengan kompensasi berupa penggunaan barang-barang hasil produksi negara tersebut dalam proyek pembangunannya. Di samping itu, terlihat pula bagaimana pemerintah memiliki peran yang besar sehingga persoalan listrik ini semakin runyam dan juga semakin merugikan keuangan negara.

Selain terjadi dalam pengadaan listrik skala besar, korupsi juga terjadi dalam pengadaan listrik

skala menengah dan kecil. Secara kuantitas apabila dilihat kasus-per kasus, kerugian negara yang muncul memang tidak terlalu besar. Namun apabila diakumulasikan secara keseluruhan, meskipun belum diketemukan angka pastinya, kerugian negara yang timbul akibat korupsi yang terjadi berupa mark up dalam pengadaan material operasional seperti gardu induk, jaringan tegangan menengah, hingga Kwh meter juga sangat besar. Dalam tingkatan ini, yang terlibat adalah pegawai-pegawai di tingkat menengah ke bawah yang bekerja sama dengan pihak ketiga, yaitu pemborong. Mark up biasa terjadi dalam proses perencanaan, yang tentunya berjalan dengan sepengetahuan pegawai di tingkat atas, seperti pihak manajemen di kantor wilayah atau distribusi serta biro perencanaan di kantor pusat. Dalam perencanaan tersebut ditemukan juga nuansa politis, terutama berkaitan dengan pembukaan jaringan di suatu wilayah/desa tertentu. Hal tersebut biasanya terjadi menjelang dilangsungkannya pemilihan umum, sehingga seringkali PLN mengalami kerugian karena perluasan jaringan tersebut di luar perencanaan dan akibatnya beban anggaran akumulatif per tahun yang harus ditanggung PLN menjadi membengkak.

Page 148: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

140

Pola korupsi lainnya dalam tubuh PLN adalah korupsi yang bersifat eksternal, dalam relasi antara PLN dengan pihak konsumen. Selain melibatkan masyarakat sebagai konsumen, pola korupsi ini tentunya juga melibatkan orang dalam PLN, terutama yang berada di level menengah dan bawah. Korupsi yang terjadi berupa manipulasi terhadap pembayaran listrik serta pencurian secara langsung. Manipulasi terhadap pembayaran biasanya dilakukan dengan merekayasa alat penghitung daya listrik (meteran), yang biasanya juga melibatkan orang ketiga (kontraktor listrik), namun tentunya juga dengan sepengetahuan petugas PLN. Sedangkan pencurian listrik secara langsung biasanya lebih mudah dideteksi karena pemakaian listrik dalam suatu wilayah memiliki batas atas dan bawah. Namun ada potensi terjadinya kolusi antara PPAL yang bertugas memeriksa ketika terjadi ketidaksesuaian dengan batas atas dan batas bawah tersebut dengan konsumen.

Sebagai sebuah lembaga yang mengelola barang/jasa yang menyangkut hajat hidup orang

banyak, PLN harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam kasus listrik swasta pertama-tama aparat penegak hukum harus menegaskan bahwa

dalam proses negosiasinya telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan, kemudian berdasarkan hal tersebut dilakukan negosiasi ulang atau bahkan dicabut karena sektor ketenagalistrikan merupakan public utilities dan tidak bisa diserahkan pada pihak swasta apalagi PMA.

2. Lembaga-lembaga keuangan internasional harus dituntut untuk ikut bertanggung-jawab terhadap persoalan listrik swasta ini, karena mereka juga terlibat bahkan sejak tahap perencanaan.

3. Pengawasan internal juga harus dilakukan secara lebih tegas, karena baik kasus korupsi di tingkat atas, menengah maupun bawah, selalu melibatkan petugas PLN.

4. Dalam melakukan perencanaan program penyediaan listrik harus sesuai dengan stratetegi industrialisasi dan pembangunan yang lebih luas. Selain itu dalam perencanaan juga hamusti dihindari terjadinya manipulasi yang dapat merugikan PLN, negara ataupun masyarakat, baik manipulasi yang didasari kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok/golongan.

5. Untuk melakukan pemantauan terhadap poin 4 di atas, dalam perencanaan sebisa mungkin masyarakat dilibatkan, sehingga perhitungan mengenai kebutuhan pasokan listrik akan lebih akurat karena masyarakat lebih tahu akan kebutuhan-kebutuhan mereka.

6. Hasil audit BPKP yang menunjukkan adanya rekayasa dalam perencanaan pengembangan sistem ketenagalistrikan harus ditindaklanjuti dan ditelusuri sebabnya, sehingga kejadian over estimasi serupa tidak terulang.

IV.3.2. PAM Jaya : Kolusi Negara - Modal Sebagai sesama BUMN, bisa dikatakan ada banyak kemiripan dalam pola korupsi yang terjadi

di PAM Jaya dengan PLN. Hanya saja ruang lingkupnya lebih luas PLN, karena PAM Jaya hanya mencakup wilayah DKI Jakarta.

Pola korupsi yang terdapat ditubuh PAM Jaya bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu yang

menyangkut proses swastanisasi serta korupsi yang terjadi diluar persoalan swastanisasi. Dalam persoalan swatanisasi, intervensi kekuasaan yang membawa kepentingan modal banyak mewarnai kasus ini. Keterlibatan Suharto dan kroni-kroninya untuk memaksakan kepentingan mereka dalam proses swastanisasi ini terlihat dengan adanya disposisi dari Suharto pada tanggal 12 Juni 1995 tentang arahan untuk mempercepat proses penyediaan air bersih di Jakarta yang berhubungan peran pihak swasta.

Page 149: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

141

Kebijakan untuk melakukan swastanisasi juga sudah diawali dengan upaya rasionalisasi bahwa

swastanisasi tersebut merupakan satu-satunya jalan keluar bagi masalah yang dihadapi PAM Jaya. Selain itu juga digunakan justifikasi secara ilmiah dengan menggunakan hasil penelitian yang diwjudkan dalam Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework.

Selanjutnya, dalam penentuan pemenang tender tidak dilakukan secara terbuka dan

transparan, namun langsung ditunjuk dan tanpa dilakukan pengujian yang memadai terhadap kelayakan peserta tender tersebut dalam memenuhi butir-butir persyaratan kerja sama. Di tingkat pelaksanaan, pihak swasta tidak hanya menjadi pelaksanan dalam pengerjaan proyek pasokan air waduk Jatiluhur ke instalasi pengoilahan air di Jakarta, tetapi lebih dari itu bahkan kemudian mengambil alih hampir seluruh operasi PAM Jaya.

Sementara itu, korupsi yang terjadi di luar persoalan swastanisasi biasanya terjadi seputar

pengadaan barang kebutuhan operasional PAM Jaya, pada pengiriman barang kebutuhan operasional serta pada instalasi air minum oleh PAM Jaya kepada konsumen. Pada pengadaan, korupsi terjadi ketika dilakukan tender, di mana biasanya meskipun pengumuman tender tersebut dilakukan secara terbuka namun kemudian pihak pemasok melakukan kolusi dengan petuga PAM Jaya bagian logistik untuk mengetahui harga yang diinginkan oleh pihak PAM Jaya. Pada proses pengiriman barang kebutuhan logistik, pemasok barang diharuskan memberikan uang sekitar Rp 50.000,00 – Rp 100.000,00 kepada beberapa petugas, seperti petugas bagian gudang, petugas bagian laboratorium serta petugas bagian pencairan uang. Dalam instalasi PAM kepada konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung petugas instalasi meminta tambahan biaya dengan berberapa alasan, misalnya pipa induknya jauh sehingga perlu dilakukan penyambungan pipa (crossing) atau untuk biaya tukang gali dan pasang.

Gambar 13 Proses Korupsi PAM JAYA

Calon Konsumen Pengajuan Permohonan Instalasi Baru

Kantor Rayon

Pengiriman Petugas Survei

Survei Lokasi dan Negosiasi Harga

Pengiriman Tukang Sambung dan Pasang Pipa.

Kegiatan Instalasi di rumah calon konsumen

= Kemungkinan kegagalan negosiasi

Page 150: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

142

Catatan : Bagan di atas adalah proses korupsi sebelum swastanisasi. Perubahan setelah swastanisasi hanya terjadi pada bagian Pengajuan Permohonan Instalasi Baru (PPIB). Calon Konsumen (CK) menghubungi operator di pusat-- TPJ atau Palyja (jadi bukan di rayon spt di atas), pusat akan menghubungi operator telepon kantor wilayah, petugas operator akan mengirim petugas instalasi ke rumah CK. Petugas Survei menanyakan luas tanah berdasarkan PBB, luas bangunan, dan jumlah penghuni. Kemudian memeriksa apakah terdapat pipa induk di sekitar lokasi instalasi. Bila survei telah dilakukan maka negosiasi pun dilakukan. Negosiasi dilakukan dengan cara : • Pertama, petugas beralasan bahwa pipa induknya berada jauh dari lokasi instalasi, sehingga perlu

dilakukan penyambungan pipa (crossing). Akibat metode instalasi ini maka biaya penyambungan menjadi mahal. Selain alasan di atas, alasan-alasan geografis dan teknis instalasi biasanya juga dikemukakan.

• Kedua, cara ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, petugas menyatakan perhitungan yang sebenarnya mengenai biaya resmi yang berkaitan dengan instalasi (biaya instalasi resmi, hasil survei, jarak dengan pipa induk, panjang pipa yang dibutuhkan, dll). Kedua, setelah menginformasikan hal tersebut pada calon konsumen, petugas kemudian menegaskan bahwa tidak ada kutipan yang diperuntukkan bagi mereka. Namun biasanya diimbuhi dengan kalimat,"…kita juga mesti bayar tukang. Biasanya sih kerjanya ± 3 hari. Seharinya Rp 50.000,- dan biasanya yang kerja 2 orang.." Lalu dilanjutkan," Ya, kita sih nggak apa-apa, cuma buat bayar tukang doang…kalau ibu/bapak maunya cepet sih…" Peneliti menduga bahwa teknik ini digunakan agar calon konsumen mempunyai semacam perasaan simpati dan toleran terhadap "kerja keras" petugas sehingga calon konsumen diharapkan menambah biaya instalasi dari biaya yang telah diinformasikannnya. Dengan demikian petugas tidak dianggap melakukan korupsi melainkan mendapatkan uang "pemberian secara sukarela" dari konsumen.

Di lingkungan PAM untuk dapat memberantas korupsi hingga ke akar-akaranya, ada beberapa

rekomendasi yang perlu untuk dilakukan, antara lain:

1. Sama seperti kasus PLN, persoalan terdepan di dalam tubuh PAM adalah swastanisasi. Oleh karena itu, proses swastanisasi tersebut harus ditinjau kembali, dan apabila terdapat pelanggaran berupa penyalahgunaan kekuasaan, maka perjanjian tersebut bisa dinegosiasi ulang atau mungkin dibatalkan, dan orang-orang yang terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan harus diminta pertanggungjawabannya di pengadilan.

2. Setelah proses swastanisasi berjalan kurang lebih tiga tahun, perlu dialkukan evaluasi dengan melibatkan masyarakat, sehingga bisa terlihat apakah memang swastanisasi tersebut benar-benar signifikan atau tidak bagi pelaksanaan pelayan publik ini.

3. Dalam pengadaan barang operasional, sistem tender harus dilakukan secara lebih ketat dan meningkatkan transparansi kepada masyarakat.

4. Sistem pengawasan internal juga harus dilakukan, mengingat di PAM terdapa serikat pekerja, hendaknya organisasi tersebut bisa dilibatkan dalam pengawasan internal ini.

5. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai syarat-syarat administratif dalam prosedur permohonan sambungan baru perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat paham betul mekanismenya dan tidak mudah terlibat dalam transaksi yang koruptif.

Sebagai penutup kiranya dapat dikatakan bahwa persoalan kontrol merupakan sumber korupsi

yang dominan. Kontrol internal yang selama ini dipegang oleh Inspektorat Jenderal dan lembaga-

Page 151: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

143

lembaga pengawas lainnya terbukti tidak efektif, karena karakter korupsinya yang sudah sedemikian sistemik. Karena korupsi banyak terjadi di lembaga-lembaga pemerintah, yang nota bene adalah para pelayan masyarakat, maka masyarakat harus dilibatkan secara maksimal dalam mekanisme kontrol ini. Bagaimanapun bentuk mekanisme kontrol internalnya, masyarakat tetap merupakan lembaga kontrol yang utama. Dan supaya kontrol masyarakat dapat dilakukan secara efektif, maka masyarakat harus terorganisir. Terorganisir tidak selalu merujuk pada pembentukan sebuah organisasi (seperti organisasi-organisasi pemantau yang banyak muncul akhir-akhir ini), namun lebih kepada bagaimana masyarakat sadar akan haknya dan melakukan perlawanan ketika haknya diinjak-injak. Selama masyarakat yang terdidik, terpimpin dan terorganisir belum terbentuk, sistem apapun yang hendak diterapkan di negara ini tidak akan memperbaiki apapun.

Page 152: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

144

Daftar Pustaka Buku

Adrianus Meliala (ed.), Quo Vadis Polisi, Jurusan Kriminologi UI dan Majalah Forum, Jakarta, 1996

Alexander Irwan, Jejak-jejak Krisis di Asia: Ekonomi Politik Industrialisasi, Kanisius, Yogyakarta, 1999.

Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Weber; UI Press, 1986, Jakarta

Bambang Subianto, Peningkatan Efisiensi BUMN, Swastanisasi atau Cara Lainnya, dalam Prospek Ekonomi Indonesia 1988/89, UI Press, Jakarta, 1990.

BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Cetakan Pertama, Jakarta, 1999

Christianto Wibisono, Profil dan Anatomi BUMN, Edisi I, PDBI, Jakarta, 1987

Daniel Kaufmann, Corruption: The Facts, Foreign Policy, Summer 1997

Direktorat Lalu Lintas Polri, Vademikum Polisi Lalu Lintas, Cetakan I, 1999

Gary S. Green, Occupational Crime, Nelson-Hall, 1990, Chicago

George A. Theodorson et.al, A Modern Dictionary of Sociology, Thomas Y. Crowell Co., New York, 1969

Guillermo O’Donnell, Modernization and Bureaucratic Authoritarianism, Institute of International Studies, Berkeley, 1973

Gunnar Myrdal, Asian Drama, An Inquiry into the Poverty of Nations, Vol.II, Pantheon Books, New York, 1968

Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992

Heidenheimer, et.al (ed.), Political Corruption: A Handbook, New Brunswick Transaction, 1997

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th edition, West Publishing, St. Paul, Minnestota, 1990

Hermawan Sulistyo, Palu Arit Di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2000

Huuib Poot, Industrialization and Trade in Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991.

Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997

Indonesia Economic Almanac 1998, 1998

J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang, Gramedia, 1984, Jakarta

Page 153: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

145

Jeffrey A Winters, Power In Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999

Jeremy Pope (ed.), The Transparency International Sourcebook, Transparency International, Berlin, 1990

John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy, Columbia University Press, NewYork, 1993

John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy, Routledge, London, 1997

Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 1st edition, W.W Norton Co., New York, 1986

Kiki Pranasari dan Adrianus Meliala (ed.), Praktek Pemberian Keterangan Yang Tidak Benar (Fraudulent Misrepresentation): Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1991

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999

M. Nawir Messi et.al, Birokrasi, Korupsi dan Reformasi : Kasus Pelayanan KTP, Indef, 1999, Jakarta

Marshall B. Clinard dan Richard Quinney, Criminal Behavior System: A Typology; Holt, Rinehart, and Winston Inc, New York., 1973

Martin Albrow, Bureaucracy, Macmillan and Company Ltd, London, 1970

Matthew B. Miles et.al, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru, UI-Press, Jakarta, 1992

Michael Johnston, Pejabat Pemerintah, Kepentingan Swasta, dan Demokrasi yang Berkelanjutan: Ketika Politik dan Korupsi Bertemu, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999

Mochtar Lubis dan James C. Scott, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993

Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, LP3ES, Jakarta, 1988

Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, 1994, London

P.Y Henin, Macrodynamics: Fluctuation and Growth, Routledge, London, 1989

Pasuk Phongpaichit dan Sungsidh Piriyarangsan, Corruption and Democracy in Tahiland, Silkworm Books, Bangkok, Tahiland, 1996

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Social Construction Of Reality R.M Williams, Jr., American Society, Knopf, New York, 1951

Revrisond Baswir, Akuntansi Pemerintahan Indonesia, edisi 3, BPFE, Yogyakarta, 1998

Richard Robison, The Rise Of Capital, Allen and Unwin Pty Ltd, Australia, 1986

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998

S.N Eisenstadt, Essays on Comparative Intitutions, Wiley and Sons, New York, 1965

Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies, Yale Press, New Haven, 1966

Sritua Arief, Ekonomi Indonesia: Demokrasi Ekonomi atau Eksploitasi Ekonomi, dalam Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia, CPSM-Zaman Wacana Mulia, 1998

Page 154: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

146

Suparno, Sedjarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik-Modern, Dephankam RI, Pusat Sedjarah ABRI, 1971

Suryadi A Radjab, Praktik Bisnis Culas Gaya Orde Baru, Grasindo, Jakarta, 1999

Syed Hussein Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987

Tjahjono dan Husain, Perpajakan, edisi pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1997

Vedi R. Hadiz, Workers and State in Indonesia's New Order, London, Routledge, 1997

Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary, 3rd College Edition, Simon and Schuster Inc., 1988, New York.

Yahya Muhaiman, Bisnis dan Politik, Jakarta: LP3ES, 1991

Artikel

Didik J. Rachbini, Peran Ekonomi Negara, dan Christianto Wibisono, Profil dan Anatomy BUMN, dalam Prisma, No.2, LP3ES, Jakarta, 1992

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Pendekatan Politik Ekonomi (Political-Economy): Jembatan Di Antara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik, dalam Jurnal Ilmu Politik, No.8, Gramedia, Jakarta, 1991

Endi Subiantoro, The Draft State Budget 1998/1999: Neither an Engine of Economic Growth nor a Means to Redistribute Income, dalam Indonesia Economic Almanac 1998, 1998

Hussen Kartasasmita, Pemeriksaan Pajak dan Reformasi, dalam Jurnal Hukum Bisnis, vol. 7, YPHB, 1999

J.S Nye, Political Corruption: A Cost-Benefit Analysis, dalam Heidenheimer, et.al (ed.), Political Corruption: A Handbook, New Brunswick Transaction, 1997

Joy Lee, The New Face of Project Finance, dalam Asiamoney, Vol.VI, No.6, Hongkong, July-August 2000

Kastorius Sinaga, Sebelas Titik Rawan Penyebab Kebocoran Dana Pembangunan, dalam Media Indonesia, 27 Juli 1995

Nathaniel Leff, Economic Development through Corruption, dalam Heidenheimer, et.al (ed.), Political Corruption: A Handbook, New Brunswick Transaction, 1997

Onghokham, Tradisi dan Korupsi, dalam Prisma, 2 Februari 1983

Patrick Glynn et.al, Globalisasi Korupsi, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999

Paul Heywood, Political Corruption: Problem and Perspectives, dalam Political Studies, Vol.45, No.3, Edisi khusus, 1997

Sjahrir, Pelayanan dan Jasa-Jasa Publik: Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik, dalam Prisma 12, 1986..

Susan Rose-Ackerman, Ekonomi Politik Korupsi, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999

Page 155: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

147

Koran/Majalah

Bisnis Indonesia, 10 Mei 1986

Business Week, 18 Desember 1995

Gamma, 2 Januari 2000.

Gatra, 4 Desember 1999

Harian Kompas, 26 September 1998

Harian Kompas, 30 Mei 1998.

Harian Kompas, 9 Mei 1986

Harian Media Indonesia, 13 Juni 1998

Harian Media Indonesia, 14 Februari 2000

Harian Media Indonesia, 27 Juli 1995

Harian Media Indonesia, 27 Juli 1995

Harian Merdeka, 29 Mei 1998

Harian Merdeka, 3 Juni 1998

Harian Merdeka, 30 Mei 1998;

Harian Republika, 15 Juni 1998

Harian Suara Pembaruan, 19 Agustus 1998

Harian Suara Pembaruan, 2 Juli 1998

Harian Suara Pembaruan, 2 Juni 1998

Majalah Listrik Indonesia, Edisi April, Tahun II, 2000, hal 23.

Harian Suara Pembaruan, 3 Juni 1998

Tempo, 17 Mei 1986

Makalah Tidak Diterbitkan

Alain Lacussol, Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework, Indonesia Discussion Paper, ERASUR, 30 Oktober 1997

Amanda L. Morgan, Corruption: Causes, Consequences, and Policy Implications (A Theoritical Review), World Bank Working Paper (tidak diterbitkan), October 1998.

Bibit SR, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Masyarakat dan Perilaku Menyimpang Anggota POLRI, Makalah dalam Seminar "Menuju Budaya Pelayanan POLRI", 2 Februari 2000.

Farouk Mohammad, Strategi Pengubahan Perilaku dan Budaya dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan POLRI, Makalah dalam Seminar "Menuju Budaya Pelayanan POLRI", 2 Februari 2000.

Page 156: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

148

Imam Soeripto, Organisasi dan Manajemen Perseroan (Persero) Niaga dan Sumbangannya di Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional, Disertasi tidak diterbitkan, Bandung, Universitas Pajajaran, 1970.

Mohammad Irvan Olii, Percaloan SIM di Polda Metro Jaya, jurusan Kriminologi FISIP UI, skripsi S1 (tidak diterbitkan), 1998

Revrisond Baswir et.al, Persepsi Masyarakat Atas Korupsi di Kotamadya Yogyakarta dan Surakarta, laporan penelitian (tidak diterbitkan), IDEA dan PACT Indonesia, Yogyakarta, 1999

World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, Poverty and Economic Management Network of the World Bank, September 1997

Yoon Hwan Shin, Demystifying The Capitalist State : Political Patronage, Bureaucratic Interest, and Capitalist-In-Formation in Soeharto’s Indonesia, Disertasi Tidak Diterbitkan, Yale University, 1989

Jurnal

American Sociological Review, No.5, February 1940

Asiamoney, Vol.VI, No.6, Hongkong, July-August 2000

Jurnal Hukum Bisnis, vol. 7, YPHB, 1999

Jurnal Ilmu Politik, No.8, Gramedia, Jakarta, 1991

Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial (JIIS), Kejahatan Kerah Putih, PAU-IS-UI dan Gramedia, Jakarta, 1994

Political Studies, Vol.45, No.3, Edisi khusus, 1997

Prisma, no. 2, 1983

Prisma, no.12, 1986

Prisma, no.2, 1992

Prospek Ekonomi Indonesia 1988/89, UI Press, Jakarta, 1990

Laporan

Annual Report PLN, 1996

BPKP, Laporan Hasil Pemeriksaan BPKP Khusus Listrik Swasta PLTU Paiton I Direktori Perpamsi 1998

Hadi Sutanto & Rekan-Price Waterhouse, Independent Auditor’s Report To The Shareholder Of PT PLN (Persero) and Subsidiaries, 1997.

ICW, Laporan Investigasi Swastanisasi PAM Jaya

Laporan Tahunan PLN, 1995

Masyarakat Transparasi Indonesia, Keppres-Keppres Bermasalah, MTI, 1999.

Page 157: HASIL SURVEY KORUPSI DI PELAYANAN PUBLIK - UNTAGuntag-smd.ac.id/files/Perpustakaan_Digital_1/CORRUPTION Hasil... · Sonny P. Wibisono . ... Perkiraan Nilai Riil Rupiah Terhadap Dollar

149

Surat Keputusan

Keputusan Menteri Keuangan No. 625/KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan.

SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 0666.K/702/M.PE/1990.

Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.81 tahun 1993.