KEKUATAN POLITIK: PERAN INDONESIA CORRUPTION W...
-
Upload
nguyenngoc -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of KEKUATAN POLITIK: PERAN INDONESIA CORRUPTION W...
KEKUATAN POLITIK:
PERAN INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
DALAMMENGUNGKAP KORUPSI DANA HIBAH DAN
BANTUAN SOSIAL PROVINSI BANTEN TAHUN 2011
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Sonny Ajie Herliandhy
1111112000026
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
2016
i
ii
ABSTRAK
Sonny Ajie Herliandhy
Kekuatan Politik:Peran Indonesia Corruption Watch dalam Mengungkap Korupsi Dana Hibahdan Bantuan Sosial Provinsi Banten tahun 2011
Skripsi ini membahas tentang bagaimana peran yang dilakukan LSM ICW dalampengungkapan korupsi dana hibah dan bantuan sosial Banten tahun 2011. Penelitianini juga menganalisis mengapa seorang kepala daerah dapat terjerat dalam tindakpidana korupsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencermati bagaimanaperan LSM untuk mengungkap praktik korupsi di tingkat lokal. Penelitian inimerupakan penelitian kualitatif yang memperoleh data melalui cara wawancaramendalam. Penulis juga menganalisis data-data yang dikumpulkan dari hasilwawancara, buku rujukan, jurnal, internet, dan sumber-sumber lainnya.Narasumber dalam penelitian ini terdiri dari para anggota badan pekerja ICW, danjuga anggota LSM MATA Banten.
Dari analisis dan interpretasi atas data-data yang ada, diperoleh beberapakesimpulan pentng, sebagai berikut. Pertama, Sejak otonomi daerah digulirkan,banyak kepala daerah yang tersangkut praktik korupsi. Mahalnya biaya pilkadamenjadi alasan utama para kepala daerah melakukan praktik korupsi. Masihburuknya kualitas pilkada di daerah menyebabkan seorang kepala daerah dituntutuntuk memiliki dana yang besar. Sedangkan gaji yang diterima tidak sesuai dengandana yang dikeluarkan selama kampanye. Sehingga kepala daerah melakukanpenganggaran atau pemotongan terhadap dana APBD, seperti dana hibah danbansos. Kedua, Ratu Atut Chosiyah sebagai petahana yang hendak mencalonkandiri kembali memanfaatkan otoritasnya sebagai kepala daerah untukmenyelewengkan dana hibah dan bantuan sosial Banten tahun 2011. Dalam konteksini Ratu Atut berusaha untuk menyelewengkan dana hibah dan bansos seba gaimodal pilkada diri dan keluarganya. Ketiga, Sebagai elemen dari civil society, ICWberperan sebagai oposisi dan kekuatan perlawanan terhadap rezim Atut yang korup.Pengungkapan korupsi dana hibah dan bansos Banten ini juga berjalan lancarkarena ICW banyak mendapat dukungan dari masyarakat Banten. Masyarakat yangtelah jenuh dengan kepemimpinan Atut, turut membantu ICW untuk mengungkapkasus korupsi ini. Mereka ikut menginvestigasi serta mengumpulkan data-data yangdiperlukan ICW. Keempat, dalam pengungkan praktik korupsi ini ICWmenemukan adanya hambatan, walau demikian pengungkapan korupsi berhasildilakukan ICW karena Gubernur dan rezimnya pada waktu itu percaya bahwa tidakada yang akan berani mengungkap praktik korupsi ini.
Kata Kunci: Peran, LSM, Kepala Daerah, Pilkada, Korupsi, ICW, Dana Hibah danBansos.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur atas kehadiran ALLAH SWT, yang telah melimpahkan segala
nikmat, rahmat, serta hidayah-Nya kepada penulis, dan atas semua karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu
persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan program study Strata Satu
(S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selain itu dalam proses pengerjaan Skripsi ini tentunya tidak terlepas dari
bimbingan, peranan, dan bantuan berharga dari berbagai pihak. Pada kata pengantar
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih, dan rasa hormat kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Mama dan Papa, yang selalu sabar, berdoa dan
tidak hentinya memberikan semangat, motivasinya dan dukungannya
baik berupa moril, dan materiil kepada penulis agar penulis sukses pada
penyusunan skripsi ini. Kemudian kepada adik penulis yang juga selalu
memberikan semangat kepada penulis
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
3. Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dr. Iding R Hasan, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Chaider S Bamualim, M.A selaku dosen pembimbing atas waktu,
kesabaran, ketelitian kritik dan saran-saran yang diberikan kepada
penulis selama menyusun skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar di Program Studi Ilmu Politik UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya selama perkualiahan berlangsung.
7. Vivi Lovianita yang telah memberikan dorongan, dukungan, semangat,
menemani penulis dalam mencari bahan referensi, dan memberikan
masukan dalam penulisan skripsi ini.
8. Kak Ema Koerniawati yang telah memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.
9. Teman-teman jurusan Ilmu Politik angkatan 2011, Wisnu, Dami, Fadli,
Abimanyu, Fauzi, Iskandar, Derio, Nurcholis, Handi, Afdal, dan teman-
teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
10. Teman-teman di JAYA. Habib, Karlo, Teguh, Sonny, Gita, Fini, Cholil,
dan Bambang, yang selalu bisa menghibur penulis.
11. Mas Ade Irawan, dan Mas Donal Fariz yang telah bersedia meluangkan
waktu untuk di wawancarai di sela-sela kesibukannya. Dan juga
Temanteman dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang juga
membantu penulis mendapatkan informasi dalam penulisan skripsi ini.
12. Mas Fuaduddin Bagas selaku Direktur Eksekutif MATA Banten, yang
telah bersedia meluangkan waktunya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iv
ABSTRAK ..............................................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................1B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................8C. Tujuan Penelitian .............................................................................8D. Manfaat Penelitian ...........................................................................9E. Tinjauan Pustaka .............................................................................9F. Metode Penelitian ..........................................................................13G. Sistematika Penulisan.....................................................................15
BAB II KERANGKA TEORITIS
A. Kekuatan Politik ............................................................................17B. Kelompok Kepentingan .................................................................18C. Lembaga Swadaya Masyarakat ......................................................21D. Korupsi ..........................................................................................29E. Oligarki Politik dan Korupsi .........................................................34
BAB III INDONESIA CORRUPTION WATCH
A. Gambaran Umum Indonesia Corruption Watch ...........................40B. Struktur Organisasi ........................................................................45C. Prestasi-Prestasi ICW.....................................................................54
BAB IV KORUPSI KEPALA DAERAH DAN PERAN ICW DALAMMENGUNGKAP KORUPSI DANA HIBAH DAN BANSOSBANTEN
A. Korupsi Kepala Daerah dalam Pandangan Indonesia CorruptionWatch .............................................................................................65
B. Tertangkapnya Atut dan Korupsi Hibah, Bansos Banten 2011 .....72
C. Peran Indonesia Corruption Watch dalam Mengungkap KorupsiDana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Banten 2011 ...............831. Investigasi .................................................................................852. Publikasi ..................................................................................903. Pemberian Tekanan pada KPK dan BPK ................................924. Penguatan Masyarakat Banten ................................................93
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengungkapan Kasus KorupsiDana Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun 2011......................971. Faktor Penghambat ..................................................................982. Faktor Pendukung.....................................................................99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................101B. Saran ............................................................................................102
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................104
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................................................109
Jadikan-Provinsi-Banten-Terkorup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banten merupakan provinsi baru yang ditetapkan tahun 2000. Sejak
penetapannya sebagai provinsi baru dua Gubernurnya telah ditangkap karena kasus
korupsi. Selain itu juga Banten menjadi salah satu provinsi terkorup di Indonesia
yang merugikan keuangan negara hingga milyaran rupiah. Laporan ini berdasarkan
hasil riset yang dilakukan LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) dari tahun 2001
- 2013 yang menyatakan bahwa Banten menjadi provinsi paling korup dari ke 24
provisi yang mereka pantau.1 Salah satu kasus korupsi yang menarik perhatian ICW
adalah kasus suap Gubernur Banten non-aktif Ratu Atut Chosiyah yang secara
resmi ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2013. Kasus ini juga menyeret
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sebagai penerima suap dan adik Atut,
Tubagus Chaeri Wardana sebagai pemberi suap. Ikut terseretnya Akil Mochtar ini
semakin mencoreng wajah lembaga hukum di Indonesia.
Kasus korupsi yang dilakukan oleh Atut dan melibatkan ketua Mahkamah
Konstitusi ini berbentuk suap dalam upaya memenangkan salah satu pasangan
calon dalam sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak, Banten. Dalam
pemilihan kepala daerah ini pasangan calon Iti-Ade yang diusung partai Demokrat,
PDIP, Hanura, Gerindra, PKS dan PPP menang atas pasangan Amir-Kasmin yang
1 Tempo, “ICW: Dinasti Atut Jadikan Provinsi Banten Terkorup”, Artikel diakses pada 15Novmeber 2014 dari http://www.tempo.co/read/news/2014/01/27/063548702/ICW-Dinasti-Atut-
2
didukung oleh Partai Golkar. Karena kalah suara, pasangan Amir-Kasmin
mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pemilukada dan
melakukan pemungutan suara ulang. Dalam upaya membantu pasangan Amir-
Kasman, Atut memerintahkan Wawan untuk menyiapkan dana untuk diberikan
kepada Akil Mochtar. Dalam kasus suap ini, Atut dipenjara kurungan selama empat
tahun dan denda Rp 200 juta. Jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut
umum yaitu kurungan selama sepuluh tahun serta denda Rp 250 juta.2
ICW sebagai LSM yang turut melaporkan kasus korupsi suap Ratu Atut ke
KPK menilai hukuman yang dijatuhkan jauh lebih ringan dari yang mereka tuntut.
Menurut Emerson Yuntho selaku anggota Badan Pekerja ICW, hukuman Ratu Atut
terlalu ringan. Ratu Atut seharusnya dituntut 15 tahun penjara, denda Rp 750 juta,
pencabutan hak politik dan dana pensiun serta fasilitas negara. Kasus korupsi yang
dilakukan Ratu Atut layak mendapat hukuman berat karena melanggar komitmen
pemberantasan korupsi yang pernah ditanda-tanganinya bersama dengan 21 kepala
daerah lainnya pada 9 Desember 2008. Atut juga tidak konsisten dengan
himbauannya kepada seluruh jajarannya untuk mencegah praktik Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) dalam ruang lingkup birokrasi Provinsi Banten.3 Suap yang
diberikan Atut pada Akil Mochtar sebagai Hakim MK terbukti telah merusak
kepercayaan masyarakat Banten kepada Atut dan MK.
2 KPK, “Vonis Rendah Terhadap Atut Ingkari Semangat Antikorupsi”, Artikel diakses pada 14November 2014 dari http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2123-vonis-rendah-terhadap-atut-ingkari-semangat-antikorupsi
3 Kompas, “ICW: Atut Pantas dituntut 15 Tahun Penjara”, Artikel diakses pada 14 November2014 darihttp://nasional.kompas.com/read/2014/08/11/13100761/ICW.Atut.Pantas.Dituntut.15.Tahun.Penjara
3
Ditetapkannya Ratu Atut sebagai tersangka diharapkan dapat memutus mata
rantai korupsi yang telah dilakukan oleh dinasti politik keluarganya selama
menjabat sebagai Gubernur. Tidak bisa dipungkiri lagi, selama menjabat sebagai
Gubernur dinasti politik keluarga Atut semakin menguasai Pemerintahan Provinsi
Banten. Sejumlah anggota keluarganya menduduki posisi-posisi kepala daerah di
Banten, seperti adik tirinya Atut, Tubagus Jaman yang menjadi Wali kota Serang
periode 2013-2018; adik kandungnya, Ratu Tatu Chasanah yang menjadi Wakil
Bupati Serang periode 2010-2015; serta adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany yang
menjadi Wali Kota Tanggerang Selatan periode 2011-2015. Politik dinasti keluarga
Atut merusak semangat demokrasi, karena kepemimpinan Pemerintahan Provinsi
Banten dimonopoli oleh segelintir orang yang berada dalam ruang lingkup keluarga
Atut. Selain itu juga politik dinasti yang dibangun oleh Atut dan keluarganya
menyuburkan praktik korupsi yang menyengsarakan masyarakat Banten.
Banyak kalangan menilai, kasus suap ini merupakan pintu masuk bagi KPK
untuk dapat menjerat Atut dengan pidana lebih berat. Selain kasus suap Pilkada
Lebak, Atut juga diduga mengorupsi dana hibah dan bantuan sosial Pemerintah
Provinsi Banten sebesar Rp 34,9 miliar pada tahun 2011. Dana yang diselewengkan
Atut mencapai 30% dari keseluruhan total dana hibah dan bantuan sosial sebesar
Rp 391 miliar. Pada tahun 2011 Pemerintah Provinsi Banten menggelontorkan dana
sebesar Rp 340 miliar ke 221 organisasi dan forum masyarakat serta menyalurkan
dana bantuan sosial senilai Rp 51 miliar ke 160 lembaga.4
4 Beritasatu, “KPK Mulai Telusuri Dugaan Korupsi Bansos Banten”, Artikel diakses pada 15November 2014 dari http://www.beritasatu.com/hukum/156862-kpk-mulai-telusuri-dugaan-korupsi-bansos-banten.html
4
Dalam penyaluran dana hibah dan bantuan sosial ini, ICW menemukan
beberapa penyelewangan dalam penyaluran dana tersebut di antaranya pemberian
dana hibah sebesar Rp 4,5 miliar kepada lembaga fiktif yang berjumlah hingga 10
lembaga. Selain itu juga, terdapat delapan lembaga penerima dana bantuan yang
memiliki alamat yang sama (double account) dengan alokasi dana mencapai Rp
22,5 miliar. Selain itu, dana bantuan sebesar Rp 29,5 miliar masuk ke rekening
lembaga-lembaga yang dipimpin oleh keluarga gubernur Banten. Di samping itu,
terjadi pula tindak pidana korupsi berupa pemotongan dana secara tidak sah.
Akibatnya lembaga-lembaga penerima menerima dana lebih kecil dari jumlah telah
ditetapkan oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Banten.5
Dalam upaya pemberantasan praktik korupsi, Indonesia sebenarnya telah
memiliki lembaga-lembaga yang secara khusus dibentuk untuk menangani masalah
ini seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan
ketentuan pasal 43 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.6 Dan juga Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Untuk
meminimalisir terjadinya korupsi Indonesia juga memiliki institusi-institusi
pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga pengawas seperti Badan Pengawas
Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP), dan
Ombudsman. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun lembaga-
5 Beritalima, “Alkes Layak Sidik, KPK Telurusi Dugaan Korupsi Bansos Banten”, Artikeldiakses pada 16 November 2014 dari http://www.beritalima.com/2013/12/alkes-layak-sidik-kpk-telusuri-dugaan.html
6 Firmansyah Arifin, dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara(Jakarta: KRHN, 2005), h. 87.
5
lembaga pengawasan pemerintah tidak menjadikan praktik korupsi berkurang. Hal
ini jelas mengganggu pembangunan serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Sebagai negara demokrasi, kehadiran kelompok masyarakat sipil tentu tidak
dapat dihindari. Sebagai kelompok masyarakat yang berada di luar ruang lingkup
pemerintah, kelompok masyarakat sipil turut memainkan penting dalam
keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Kelompok masyarakat sipil seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga memiliki peran besar dalam membantu
pemerintah untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi. Pasca reformasi,
banyak LSM anti-korupsi bermunculan dan secara aktif melakukan pengawasan
dan melaporkan praktik korupsi yang dilakukan pejabat publik, contohnya
Indonesia Corruption Watch (ICW).
LSM muncul dengan dibarengi oleh visi misi yang mereka bawa.
Keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, dapat menjadi motor yang dapat
menggerakan masyarakat ikut berpatisipasi dalam setiap proses perumusan
kebijakan yang dilakukan pemerintah. LSM juga dapat melakukan pengawasan dan
monitoring terhadap kinerja pemerintah atau instansi politik lainnya. LSM
semacam ini dikenal sebagai (Watchdog Organizations).7 Di beberapa negara, LSM
dapat menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan selain partai politik, militer,
birokrasi, dan kelompok buruh karena kemampuannya dalam merubah arah
kebijakan pemerintah. Karena hadir ditengah-tengah masyarakat, LSM dapat
mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat dan mendorong masyarakat
7 Lisa Jordan dan Peter van Tuijl, Akuntabilitas LSM: Politik, Prinsip dan Inovasi (Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), h. 230.
6
untuk berpartisipasi secara aktif untuk terlibat dalam proses perumusan dan
pengawasan kebijakan yang dilahirkan pemerintah.
Pasca didirikan pada tahun 1998, Indonesia Corruption Watch (ICW)
menjadi LSM anti-korupsi yang vokal dalam membongkar praktik korupsi. Visi
ICW adalah untuk menguatkan posisi tawar rakyat untuk mengontrol negara dan
turut serta dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas dari
korupsi, berkeadilan ekonomi, sosial dan jender.8 Dalam upaya pemberantasan
korupsi, ICW berperan melakukan investigasi dan monitoring terhadap
penyelenggara negara yang terindikasi melakukan korupsi, dan juga melakukan
publikasi terhadap data-data temuan kasus korupsi kepada masyarakat. Selain itu
ICW juga melakukan kampanye-kampanye anti-korupsi.
Kehadiran ICW telah membuktikan pada masyarakat dan negara bahwa
mereka mampu menjalankan peran-perannya sebagai LSM. Dengan mengangkat
masalah korupsi dan memberdayakan masyarakat, ICW telah menumbuhkan
kesadaran masyarakat bahwa kasus korupsi memiliki dampak yang merusak
terutama bagi masyarakat dan negara. Melalui kegiatan pemberdayaan dan
penguatan yang mereka lakukan, ICW menumbuhkan kemauan rakyat untuk
melaporkan praktik korupsi yang mereka jumpai. Sebagai LSM anti-korupsi,
pengawasan merupakan cara mereka untuk melawan korupsi di pemerintahan.
Dengan melakukan pengawasan, ICW dapat menemukan adanya penyelewengan
dalam penyelenggaraan negara ataupun praktik korupsi. Tidak berhenti sampai
8 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
7
disitu ICW juga melakukan protes. Protes yang mereka lakukan adalah dengan
melaporkan kasus korupsi ataupun penyelewengan ke aparat penegak hukum.
Advokasi yang dilakukan ICW ataupun pelaporan praktik korupsi ke aparat
penegak hukum merupakan bukti bahwa mereka hadir karena masyarakat terus
menjadi korban akibat korupsi yang dilakukan pejabat negara.
Setelah setahun dibentuk, ICW telah menunjukan kinerjanya dengan
membongkar kasus suap yang dilakukan oleh Prajogo Pangestu dan The Nin King
ke Andi M. Ghalib. Andi M. Ghalib adalah Jaksa Agung yang ditunjuk Presiden
Habibie. Prajogo Pangestu dan The Nin King mengaku memberikan uang dalam
jumlah besar kepada Andi M. Ghalib dengan maksud sebagai sumbangan bagi
persatuan Gulat Seluruh Indonesia yang diketuai Ghalib, organisasi yang tidak
pernah menerima dana besar dari siapapun.9
Selain kasus tersebut, juga terdapat beberapa kasus korupsi lain yang
dibongkar dan dilaporkan oleh ICW, di antaranya korupsi pengelolaan hutan yang
terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Kasus korupsi ini ditenggarai
berlangsung semenjak tahun 2004 hingga 2009 dan merugikan negara hingga Rp.
9,1 triliun.10 Selain itu ICW juga berhasil membongkar korupsi yang terjadi di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam
kasus ini ICW menemukan adanya penggelebungan harga dalam pengadaan modul
9 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Raya, 2007),h. 696.
10 Viva, “ICW Laporkan Korupsi Hutan Rp. 9,1 triliun”, Artikel diakses pada 15 November2014 dari http://m.bola.viva.co.id/news/read/250279-icw-laporkan-korupsi-hutan-rp9-1-triliun
8
untuk pelatihan guru pengawas Kurikulum 2013.11 Setelah kasus-kasus tersebut,
nama ICW sebagai LSM pegiat anti-korupsi menjadi semakin terkenal.
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang bagaimana peran
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam mengungkap korupsi dana hibah dan
bantuan sosial (bansos) Banten tahun 2011.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan paparan di atas, maka pernyataan penelitian yang dirumuskan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam
mengungkap korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun
2011?
2. Apa faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi LSM Indonesia
Corruption Watch (ICW) sebagai lembaga non-pemerintah dalam
mengungkap korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun
2011?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui peran Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai
lembaga non-pemerintahan dalam upayanya mengungkap korupsi Dana
Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun 2011.
11 Okezone, “ICW Desak Korupsi Pengadaan Buku Kurikulum 2013 Diusut Tuntas”, Artikeldiakses pada 16 November 2014 dari http://news.okezone.com/read/2014/12/21/337/1082083/icw-desak-korupsi-pengadaan-buku-kurikulum-2013-diusut-tuntas
9
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi
oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam upaya mengungkap
korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun 2011.
D. Manfaat Penelitian
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pendidikan dan dapat meningkatkan perkembangan ilmu politik
terutama mengenai peran LSM dalam mengungkap korupsi.
2. Manfaat Praktis
a. Agar penelitian ini dapat memberikan wawasan tentang peran LSM
khususnya Indonesian Corruption Watch (ICW), dalam
pengungkapan korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Banten
tahun 2011.
b. Agar penelitian ini dapat memperlihatkan dinamika dalam
mengungkap korupsi di pemerintahan daerah.
E. Tinjauan Pustaka
Telah banyak terdapat kajian yang membahas mengenai peran Lembaga
Swadaya Masyarakat. Terkait dengan penelitian ini, penulis menemukan beberapa
karya ilmiah yang memiliki relevansi mengenai kajian tentang LSM dan korupsi,
10
serta korupsi sendiri. Beberapa penelitian yang mengangkat masalah ini di
antaranya:
Pertama, penelitian yang berjudul “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat
Sebagai Kontrol Sosial Dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (Studi
Kasus Terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat Bandung Institute of Governance
Studies/BIGS di Bandung)”, oleh Dede Iyan Setiono, Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Dalam penelitian ini, Dede Iyan Setiono membahas tentang peran yang
dilakukan LSM sebagai oganisasi independen untuk melakukan kontrol sosial
dalam masyarakat. LSM memiliki posisi strategis dalam mencegah praktik korupsi
yang dilakukan oleh pejabat publik. Dalam upayanya mencegah praktik korupsi,
BIGS telah melakukan berbagai tindakan pencegahan seperti memberikan
pendidikan politik anggaran bagi masyarakat, melakukan advokasi kebijakan
pemerintah dan pembelajaran tentang anti korupsi.
Dalam menjalankan program-programnya pencegahan praktik korupsi,
BIGS menggunakan berbagai macam metode seperti pelatihan, seminar, dan
melakukan riset-riset serta audinsi dengan pejabat publik. Guna mendorong
keberhasilannya dalam melakukan pencegahan praktik korupsi, BIGS juga
melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang dapat membantu program-
programnya seperti lembaga donor, pemerintah bahkan kelompok masyarakat
lainnya.
11
Tidak selamanya program-program yang dilakasanan BIGS berjalan mulus.
BIGS juga sering menemui kendala di lapangan seperti sikap tertutup pejabat publik
yang menyulitkan BIGS untuk mendapatkan informasi mendalam terkait dengan
anggaran publik, rendahnya kesadaran politik masyarakat, dan masih banyaknya
beberapa pihak yang memandang LSM sebagai antek asing karena banyak dari dana
yang didapat berasal dari lembaga donor.
Dalam mengatasi kendala yang dialami di lapangan BIGS melakukan
upaya-upaya penting di antaranya meningkatkan kualitas program yang dijalankan,
menjalin kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah, menambah kapasitas
pengetahuan sumber daya manusia yang ada, melakukan quality control terhadap
program-program BIGS yang sedang berjalan. BIGS juga mendorong peningkatan
partisipasi masyarakat untuk mencegah korupsi dengan mendesain program
semenarik mungkin dan menerbitkan bulletin dan majalah.
Kedua, penelitian yang disusun oleh Komala Sari dari Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitiannya ini berjudul “Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan Demokratisasi: Studi Kasus Peran Indonesia Corruption
Watch (ICW) dalam Penguatan Good Govermance di Indonesia”, 2010.
Dalam penelitiannya ini Komala Sari melihat bahwa LSM seperti ICW
memiliki peran besar dalam mendorong terciptanya good governance di Indonesia.
LSM dapat memainkan peran sebagai lembaga kontrol terhadap kinerja pemerintah.
Dalam menciptakan good governance masyarkat sipil tentu memiliki peran berbeda
dengan lembaga penegak hukum. Kelompok masyarakat sipil seperti LSM dapat
12
memainkan peran dengan mendorong berbagai macam perbaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara supaya lebih transparan dan akuntabel, termasuk
mendorong proses penegakan hukum bagi para koruptor.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, ICW memiliki peran penting untuk
mendorong terciptanya good governance di Indonesia. ICW banyak melakukan
publikasi-publikasi mengenai kasus korupsi yang berkembang di masyarakat.
Publikasi ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber informasi dan
sarana pendidikan politik. Selain melakukan publikasi, ICW juga banyak
melakukan peran-peran yang bersifat preventif dengan melakukan kampanye-
kampanye serta pelatihan-pelatihan bagi siswa SD hingga SMA. Yang
dimaksudkan agar generasi mendatang tidak melakukan korupsi.
Selain melakukan tindakan preventif ICW juga banyak melakukan
kerjasama dengan lembaga penegak hukum seperti KPK dan kepolisian dalam
memberantas korupsi. Good Governance tidak dapat terwujud apabila hanya
dilakukan dari aparat penegak hukum seperti KPK dan kepolisian atau dari
kalangan LSM saja. Tetapi juga harus ada keterlibatan aktif dari seluruh elemen
masyarakat dan para pemangku jabatan publik. Korupsi tidak dapat diberantas
apabila tidak ada political will dari semua pihak.
Ketiga, penelitian yang berjudul “Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat
Dalam Pencegahan, Pengendalian dan Penanganan Kasus Korupsi di Kota
Samarinda”, oleh Sumarni, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Mulawarman.
13
Penelitian ini membahas mengenai fungsi yang dimiliki oleh LSM sebagai
lembaga pengimbang, pemberdaya masyarkat dan lembaga perantara. Dalam
tulisan ini lebih lanjut bahwa LSM Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) dan Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM) telah memainkan fungsinya dalam masyarakat
sebagai kekuatan pengimbang terhadap pemerintah, memberdayakan masyarakat
serta lembaga perantara.
Sebagai lembaga pengimbang LSM Pokja 30 dan JATAM telah melakukan
banyak kegiatan dalam mengontrol, mencegah pemerintah daerah mengeluarkan
kebijakan yang merugikan rakyat dan menyalahgunakan kekuasaan. Kegiatan
tersebut dilakukan melalui cara-cara advokasi, walaupun tidak semua kebijakan
yang mereka advokasi mengalami perubahan sebagaimana yang diingingkan. LSM
Pokja 30 dan JATAM juga banyak melibatkan diri dalam program-program
pemberantasan korupsi, melalui kegiatan-kegiatan kampanye dan pemberian
tekanan pada lembaga pengadil. Dengan maksud agar perkara korupsi segera masuk
dalam tahap penyelidikan.
Adapun perbedaan dari penelitian ini adalah peneliti lebih berfokus pada
aspek peran LSM yaitu ICW dalam mengungkap praktik korupsi di pemerintahan
daerah yaitu korupsi dana hibah dan bantuan sosial Provinsi Banten tahun 2011.
F. Metodologi Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam upaya mengkaji permasalahan ini, penulis akan menggunakan
pendekatan kualitatif. Metode penelitian ini akan menghasilkan data yang
14
bersifat deskriptif untuk menggambarkan serta menjabarkan hal-hal yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti, dalam hal ini mengenai Peran Indonesia
Corruption Watch dalam Mengungkap kasus Korupsi. Penelitian ini akan
mengkaji lebih jauh mengenai peran ICW dalam mengungkap korupsi Dana
Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten tahun 2011.
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik yang digunakan dalam mencari
dan mengumpulkan data-data melalui dokumen dan sumber-sumber tertulis
yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Dalam penelitian ini,
dokumentasi yang digunakan buku-buku, jurnal, surat kabar dan sumber
internet jika diperlukan untuk mencari jawaban permasalahan yang diteliti.
b. Wawancara. Wawancara ini dilakukan untuk pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara tanya-jawab dengan responden, dengan mengajukan
pertanyaan tidak berstruktur kepada pihak-pihak yang kompeten terkait
dengan penelitian ini seperti beberapa Badan Pekerja ICW, serta perwakilan
LSM MATA Banten. Teknik ini dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh penulis dari sumber-sumber yang belum terdokumentasi
3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik deskriptif analisis,
yaitu sebuah pembahasan yang bertujuan untuk memuat gambaran terhadap
data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan interpretasi
15
terhadap data-data tersebut. Analisis data dalam penelitian ini dibagi menjadi
tiga tahapan, yaitu penyajian data, reduksi data, dan penarikan kesimpulan.
Penggunaan teknik analisis ini diharapkan mampu memberikan data-data yang
sistematis, aktual dan akurat mengenai permasalahan yang peneliti angkat yaitu
peran ICW dalam mengungkap kasus korupsi, khususnya adalah korupsi dana
hibah dan bantuan sosial Banten tahun 2011.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian skripsi ini penulis menyusun pembahasan menjadi
beberapa bagian seperti yang tertera dalam sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan, pada bab ini penulis akan berusaha untuk memaparkan
permasalahan yang melatarbelakangi pembahasan dan perumusan masalah serta
manfaat dan tujuan terkait dalam penelitian mengenai Peran Indonesia Corruption
Watch dalam Mengungkap Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi
Banten tahun 2011.
Bab II : Kerangka Teoritis, pada bab ini penulis akan memaparkan
mengenai teori dam lonsep yang digunakan dalam menjelaskan pokok
permasalahan penelitian ini mengenai Peran Indonesia Corruption Watch (ICW)
dalam Mengungkap Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten tahun
2011. Pembahasan diawali dengan memaparkan konsep mengenai Kekuatan
politik, kelompok kepentingan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
meliputi pengertian, sejarah dan perkembangannya dalam konteks politik
16
Indonesia, serta korupsi yang menjadi masalah bagi Indonesia dan juga oligarki
politik yang terjadi di Banten.
Bab III : Dalam bab ini peneliti akan memaparkan tentang profil Indonesia
Corruption Watch (ICW) sebagai LSM yang menjadi objek penelitian. Bab ini akan
membahas mengenai sejarah, latar belakang berdirinya LSM tersebut, tujuan
terbentuknya, visi dan misi, struktur kepengurusan hingga penghargaan yang
diterima ICW.
Bab IV : Bab ini adalah bagian terpenting dari penelitian ini karena
membahas tentang permasalahan yang peneliti angkat. Peneliti akan menjelaskan
bagaimana peran LSM ICW dalam mengungkap korupsi Dana Hibah dan Bantuan
Sosial Banten tahun 2011, dan juga melihat faktor-faktor pendukung dan
penghambat yang ditemui ICW dalam upayanya untuk mengungkap korupsi Dana
Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun 2011.
Bab V : Pada bab ini penulis berupaya menyimpulkan pembahsaan
mengenai skripsi ini sekaligus menjadi penutup pada pokok permasalahan peran
Indonesia Corruption Watch dalam mengungkap korupsi dana hibah dan bantuan
sosial Banten tahun 2011. Dan di bab penutup ini terdapat saran dan kritik bagi
pembaca.
17
BAB II
KERANGKA TEORITIS
A. Kekuatan Politik
Kekuatan politik adalah kemampuan suatu kelompok untuk mempengaruhi
proses pembuatan dan perumusan keputusan-keputusan politik yang menyangkut
masyarakat umum. Kemampuan mempengaruhi ini dilakukan kelompok ini dengan
menggunakan sumber-sumber kekuasaan dan akses yang dimiliki, sehingga
keputusan yang dirumuskan akan menguntungkan mereka. Pengertian kekuatan
politik sendiri dapat dibedakan atas dua hal, yaitu secara individual atau
institusional. Secara individual kekuatan politik dapat diartikan sebagai aktor-aktor
politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik suatu
negara. Orang-orang ini merupakan individu-individu yang memiliki kemampuan
untuk atau dapat mempengaruhi proses perumusan kebijakan publik. Sedangkan
secara institusional kekuatan politik dapat diartikan sebagai lembaga atau
organisasi yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan dalam sebuah sistem politik.1
LSM dapat dikategorikan sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia,
selain militer, kelompok buruh, mahasiswa, partai politik, birokrasi dan kalangan
pengusaha.2 Karena kemampuannya untuk dapat mempengaruhi dan merubah arah
kebijakan pemerintah. Selain itu LSM juga dapat menjadi kekuatan pengimbang
58.
1 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), h
2 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi,(Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 202.
18
antara pemerintah dan masyarakat dalam tiga teori LSM menurut Dawam
Rahardjo.3 Kekuatan pengimbang dimaksudkan LSM harus bersikap kritis terhadap
pemerintah. Semenjak didirikan ICW terlihat dapat menjalankan perannya sebagai
salah satu kekuatan politik. Sebagai LSM, ICW dapat bersikap kritis terutama
terhadap masalah korupsi, baik yang terjadi di tingkat pusat atau daerah. Hal ini
terbukti dengan banyaknya laporan kasus korupsi yang dilaporkan ICW atas kasus
korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan kalangan swasta. Tidak hanya kritis
ICW juga dapat bertindak sebagai mitra pemerintah dalam memerangi korupsi
Karena setiap LSM hadir atas dasar permasalahan yang muncul di tengah-
tengah masyarakat seperti korupsi, masalah lingkungan, HAM, atau kekerasan, oleh
sebab itu LSM biasanya muncul dengan membawa misi untuk melakukan advokasi
ataupun pembelaan terhadap masyarakat sebagai korban dari permasalahan
tersebut. Cara-cara advokasi ini dapat dilakukan dengan melalui mempengaruhi
pemerintah agar nantinya kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan misi
yang mereka perjuangkan ataupun lebih memihak masyarakat.
B. Kelompok Kepentingan
Kelompok kepenitingan merupakan sebuah organisasi atau lembaga yang
berusaha untuk mempengaruhi kebijakan publik dengan tujuan untuk kepentingan
lembaganya.4 Kelompok ini memfokuskan pergerakannya pada upaya-upaya untuk
3 “Tiga Teori LSM” Artikel diakses pada 18 Januari 2016 dari:http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1994/11/10/0015.html
4 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h383.
19
mengartikulasikan kepentingannya pada pemerintah. Sehingga harapannya
pemerintah dapat melahirkan kebijakan yang menampung asipirasi dan keinginan
kelompok bersangkutan.5 Kehadiran kelompok kepentingan ini dapat menjadi
saluran aspirasi masyarakat kepada pemerintah dengan memberikan tekanan-
tekanan dengan tujuan supaya tercapainya keinginan masyarakat.
Menurut Ramlan Surbakti, kelompok kepentingan (Interest Group) adalah
sekumpulan orang yang memiliki persamaan sifat, sikap, kepercayaan, tujuan dan
sepakat menyatukan diri mereka dalam sebuah organisasi guna melindungi diri
serta mencapai tujuannya. Kelompok ini memfokuskan pergerakannya pada upaya -
upaya untuk mengartikulasikan kepentingannya pada pemerintah. Sehingga
harapannya pemerintah dapat melahirkan kebijakan yang menampung asipirasi dan
keinginan kelompok bersangkutan. Maka kelompok kepentingan ini lebih
berorientasi pada proses perumusan kebijakan umum yang dibuat pemerintah.6
Dalam hal ini ICW dapat dikategorikan sebagai kelompok kepentingan.
Karena kepentinganlah yang menjadi dasar bagi terbentuknya organisasi ini. ICW
sendiri secara khusus dibentuk oleh orang-orang yang memiliki kepedulian besar
terhadap pemberantasan praktik korupsi di Indonesia. LSM ini hadir dengan
membawa kepentingan anggota-anggotanya dan terutama rakyat Indonesia yang
menginginkan Indonesia bebas dari praktik korupsi.
109.
5 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), h.
6 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, h. 109.
20
Dalam upaya-upaya untuk mengartikulasikan kepentingan organisasinya
tersebut ICW banyak melakukan aksi advokasi terhadap kebijakan negara, terkait
dengan Undang-undang mengenai korupsi ataupun melakukan pengawasan
terhadap kinerja lembaga negara. Dan juga melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat, agar nantinya masyarakat sebagai korban langsung dari korupsi dapat
memiliki kemampuan untuk melawan dan melaporkan setiap praktik korupsi. Yang
nantinya kepentingan dari ICW agar sistem politik, hukum, ekonomi, hingga
birokrasi di Indonesia bebas dari korupsi dapat terwujud.
Di Indonesia, kelompok kepentingan dapat dibedakan menjadi empat tipe.7
Pertama, Kelompok Anomi. Kelompok ini tidak memiliki organisasi dengan badan
hukum yang jelas. Tetapi individu-individu di dalamnya memiliki perasaan yang
sama yaitu frustasi dan ketidakpuasan. Mereka menyalurkan ketidakpuasan mereka
melalui demonstrasi dan juga pemogokan. Kedua, Kelompok Nonasasional,
kelompok kepentingan ini tumbuh atas rasa solidaritas. Kelompok ini tidak
memiliki tendensi terjun ke politik. Contohnya adalah paguyban. Ketiga, Kelompok
Institusional. Kelompok kepentingan ini terbentuk secara formal dan berada dalam
suatu instasi pemerintahan seperti birokrasi atau kelompok militer. Contohnya
KORPRI, Darma Wanita. Keempat, Kelompok Asosiasional. Kelompok
kepentingan ini dibentuk dengan tujuan jelas dan pengorganisasian lembaga yang
baik. Hal ini menjadikan kelompok ini lebih efektif dalam memperjuangkan
aspirasinya. Contohnya dalah serikat buruh, kamar dagang, LSM atau asosiasi etnis.
7 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 387-388.
21
ICW dapat dikategorikan sebagai bagian dari kelompok kepentingan
asosiasional yang dalam kategori ini meliputi serikat buruh ataupun kamar dagang.
Layaknya kelompok asosiasional, ICW memiliki sebuah tujuan jelas yang tertuang
dalam manifesto gerakan anti korupsi mereka. ICW memiliki pelembagaan dan
pengorganisasian yang baik dengan dipimpin oleh kordinator dan dewan etik yang
berfungsi untuk mengawasi setiap pelaksanaan kegiatan organisasi.8 ICW juga
memiliki enam divisi yang setiap divisi memiliki setiap tugasnya tersendiri.
C. Lembaga Swadaya Masyarakat
Pada umumnya LSM adalah organisasi yang didirikan secara perseorangan
atau kelompok dengan tujuan untuk memberikan pelayanan serta membantu
pemecahan masalah dalam masyarakat tanpa mengharapkan keuntungan dari
kegiatannya. Lisa Jordan dan Peter van Tuijl menjelaskan bahwa LSM adalah
organisasi yang mampu mengatur dirinya sendiri, nirlaba, swasta, dan memiliki
misi sosial yang jelas. LSM juga tidak terikat dengan partai politik sehingga tidak
dapat mengikuti mekanisme pemilu. LSM juga dapat memberikan pelayanan serta
advokasi terkait dengan isu-isu penting di masyarakat seperti masalah lingkungan,
HAM, korupsi, kejahatan rasial serta pembangunan.9
Dalam tata aturan hukum Indonesia, LSM dijelaskan dalam Instruksi
Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990 tentang Pembinaan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Inmendagri ini menyebutkan bahwa:
8 “Kode Etik Konsil LSM Indonesia” Artikel diakses pada 18 Januari 2016 darihttp://konsillsm.or.id/?p=556
9 Lisa Jordan dan Peter van Tuijl, Akuntabilitas LSM, h. 12.
22
“LSM merupakan organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga
Negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau atas kehendak sendiri berniat
serta bergerak di bidang tertentu yang diciptakan oleh organisasi/lembaga tersebut
sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup, dan
kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara
swadaya.”10
Terminologi LSM sendiri merupakan pengembangan dari istilah Ornop
yang sebelumnya lebih terkenal di awal tahun 1970-an. Pada awalnya istilah Ornop
kurang diminati karena terminologi tersebut belum mampu mendifinisikan Ornop.
Karena semua organisasi yang tidak terkait pemerintah dapat dikategorikan Ornop
seperti pers, kelompok bisnis, paguyuban dan perkumpulan mahasiswa. Sedangkan
Ornop sendiri seharusnya menjadi organisasi yang beroposisi dengan pemerintah.11
Kata LSM mulai dikenal masyarakat pada tahun 1981. Melalui seminar
yang diselenggarakan Walhi dan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI) istilah
Ornop resmi digantikan LSM untuk memudahkan pemahaman di masyarakat.12
Sebelumnya banyak penyebutan untuk LSM seperti Self-Help Promoting Institute
(SHPI), Self-Help Organization (SHO), Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat (LPSM), serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Peralihan dari
Ornop ke LSM dimaksudkan untuk menghilangkan image negatif Ornop sebagai
10 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (JakartaPustaka LP3ES Indonesia, 2006), h. 69
11 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 64.12 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 66.
23
kelompok masyarakat melawan negara.13 Karena tidak selamanya LSM menjadi
oposisi pemerintah, LSM juga dapat menjadi mitra pemerintah dalam menjalankan
program-program pembangunan.14
Era reformasi yang bebas dan demokratis mendorong menjamurnya LSM
untuk berpartispasi dalam kehidupan politik Indonesia, dan berkontribusi dalam
masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah agar lebih memihak
kepentingan publik. Menjamurnya LSM di Indonesia kini mendorong beberapa ahli
untuk mengklasifikan LSM ke dalam beberapa jenis. Seperti yang dilakukan Philip
Elridge15, disamping itu pengklasifikasian juga dilakukan oleh Mansour Fakih16,
James V. Ryker17, Tim Fasilitasi LP3ES18 dan David Korten19.
Kehadiran LSM di tengah-tengah masyarakat menjadi bukti dari komitmen
sekelompok masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi terhadap masalah-
masalah yang muncul di masyarakat, seperti korupsi. Sebagai salah satu LSM yang
13 Zaim Saidi, Secangkir Kopi Max Havelaar, LSM dan Kebangkitan Masyarakat (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 9
14 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 81.15 Philip Elridge, membagi LSM di Indonesia atas tiga model atas hubungan antar LSM dan
Pemerintah, pertama LSM tipe “Kerjasama Tingkat TInggi: Pembangunan Akar Rumput” (HighLevel Partnership: Grassroots Development), kedua “Politik Tingkat TInggi: Mobilisasi AkarRumput” (High Level Politics: Grassroots Mobilizations), ketiga “Penguatan Akar Rumput”(Empowerment at the Grassroots). Lihat Culla, Rekonstruksi: Civil Society, h. 74-76
16 Menurut Mansour fakih, LSM di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaituLSM Mobilisasi, dan LSM Pembangunan. Lihat, Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untukTransformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h.120.
17 Sebagaimana dikutip Affan Gaffar, James V Ryker membagi LSM atas empat kategori, yaitu:GONGO’S (LSM Plat Merah); DONGO’S; Independent’s NGO, dan Foreign NGO. Lihat AffanGaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 205-206.
18 Dalam klasifikasi yang dikelaskan oleh Tim LP3ES, LSM dapat dibagi menjadi 3 modelberdasarkan orientasi kegiatannya, yaitu bidang karitas (charity), pembangunan dan advokasi. Lihat,Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 77
19 David Korten membagi LSM di Indonesia berdasarkan strategi yang mereka gunakan, yaitu:LSM Generasi Pertama, LSM Generasi Kedua, LSM Generasi Ketiga, LSM Generasi Keempat.Lihat Saidi, Secangkir Kopi Max Havelaar, h. 6.
24
bergerak dalam perlawanan terhadap praktik korupsi, ICW berperan penting dalam
mempublikasikan dan melaporkan praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh
pejabat negara.
Berdasarkan klasifikasi LSM yang dipaparkan Philip Elridge20 ICW dapat
dikategorikan sebagai LSM “Penguatan Akar Rumput” (Empowerment at the
Grassroots). LSM model ini berfokus pada peningkatan kesadaran serta
pemberdayaaan masyarakat. Untuk mendorong terjadinya perubahan sosial, ICW
melakukan gerakan dari bawah dengan menguatkan sektor akar rumput. Dalam hal
ini ICW melakukan program-program pemberdayaan untuk memberikan bekal bagi
masyarakat membongkar dan melaporkan praktik korupsi. ICW sadar bahwa
sebagai korban dari korupsi, masyarakat harus diberdayakan. Permasalah korupsi
di Indonesia tidak dapat selesai jika mengandalkan lembaga hukum. Masyarakat
juga harus turut terlibat untuk mengawasi dan melaporkan setiap korupsi yang
ditemui.
Berdasarkan pengklasifikasian menurut Mansour Fakih21 ICW dapat masuk
dalam LSM mobilisasi. LSM model ini mendorong masyarakat lebih sensitif
terhadap isu-isu yang muncul di tengah masyarakat yang nantinya masyarakat akan
berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan. ICW dapat dikategorikan sebagai
LSM “mobilisasi” karena fokus kegiatannya untuk mendorong munculnya
kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perumusan kebijakan
terutama yang berkaitan korupsi dan mengawasi kinerja pemerintah
20 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 76.21 Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, h. 120.
25
Sedangkan menurut klasifikasi James V. Ryker22, penulis memasukan ICW
sebagai LSM otonom dan independen. Alasan penulis memasukan ICW ke dalam
tipe ini karena secara finansial ICW tidak menggantungkan sumber pendanaan dari
pemerintah. ICW bergerak secara mandiri dengan dukungan masyarakat melalui
donasi sukarela. Selain itu sejak awal didirikan, ICW mengambil jarak dengan
negara. Oleh sebab itu ICW dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan
sektor bisnis. ICW masuk ke dalam kategori LSM Advokasi menurut klasifikasi
yang dilakukan oleh Tim LP3ES23. ICW tidak hanya memberdayakan masyarakat
agar mau berpartisipasi dalam pelaporan kasus korupsi, tetapi ICW juga membela
masyarakat sebagai korban dari praktik korupsi dengan melaporkan koruptor ke
aparat penegak hukum.
Sedangkan dalam klasifikasi menurut David Korten, ICW masuk dalam
LSM generasi kedua24 yang memfokuskan dirinya di bidang memberdayakan
masyarakat, terutama dalam melawan korupsi melalui kegiatan-kegiatan pelatihan-
pelatihan, kampanye, sosialisasi bahaya korupsi lewat seminar-seminar dan diskusi.
Kesemua kegiatan tersebut dimaksudkan agar masyarakat memiliki senjata dan
kesadaran mengenai bahaya korupsi.
Semenjak awal kemunculan hingga kini LSM telah menjadi aktor yang
berperan besar dalam kehidupan politik Indonesia. Mereka mampu menumbuhkan
22 Affan Gaffar, Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2006), h. 205-206.
23 Dalam klasifikasi yang dikelaskan oleh Tim LP3ES, LSM dapat dibagi menjadi 3 model,yaitu bidang karitas (charity), pembangunan dan advokasi. Lihat, Culla, Rekonstruksi Civil Society,h. 77
24 Saidi, Secangkir Kopi Max Havelaar, h. 6.
26
kesadaran masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dan
berpatisipasi dalam proses perumusan serta pengawasan kebijakan pemerintah.
Dalam sebuah negara demokrasi, LSM tidak hanya menjadi partner pemerintah
tetapi juga dapat menjadi organisasi oposisi yang paling vokal menentang
pemerintah. Terlebih apabila kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
tidak mementingkan masyarakat luas
Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna sebagaimana dikutip Gaffar,
melihat bahwa LSM memiliki empat peranan penting kehidupan politik suatu
negara. Pertama, katalisasi perubahan sistem. LSM dapat mempercepat terjadinya
perubahan dalam sistem negara melalui kegiatan mengangkat masalah-masalah
yang bersifat krusial dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran global,
melakukan advokasi demi perubahaan kebijakan negara, mengembangkan
kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif
masyarakat.25 Kehadiran ICW telah membuktikan pada masyarakat dan negara
bahwa mereka mampu menjalankan peran-perannya sebagai LSM. Dengan
mengangkat masalah korupsi dan memberdayakan masyarakat, ICW telah
menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa kasus korupsi memiliki dampak yang
merusak terutama bagi masyarakat dan negara. Melalui kegiatan pemberdayaan dan
penguatan yang mereka lakukan, ICW menumbuhkan kemauan rakyat untuk
melaporkan praktik korupsi yang mereka jumpai.
Kedua, Monitoring pelaksanaan sistem dan cara penyelenggaraan negara.
LSM dapat melakukan peran sebagai organisasi pengawas terhadap kinerja
25 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.
27
lembaga negara, dan melakukan protes. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, terutama yang dilakukan oleh pejabat negara
dan sektor bisnis.26 Sebagai LSM anti-korupsi, pengawasan merupakan cara mereka
untuk melawan korupsi di pemerintahan. Dengan melakukan pengawasan, ICW
dapat menemukan adanya penyelewengan dalam penyelenggaraan negara ataupun
praktik korupsi. Tidak berhenti sampai disitu ICW juga melakukan protes. Protes
yang mereka lakukan adalah dengan melaporkan kasus korupsi ataupun
penyelewengan ke aparat penegak hukum.
Ketiga, Memfasilitasi rekonsiliasi warga negara dengan lembaga peradilan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sering menjadi korban ketidakadilan
kelompok masyarakat lain atau negara. Atas dasar ini LSM hadir untuk melakukan
advokasi bagi kelompok masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan.27
Advokasi yang dilakukan ICW ataupun pelaporan praktik korupsi ke aparat
penegak hukum merupakan bukti bahwa mereka hadir karena masyarakat terus
menjadi korban akibat korupsi yang dilakukan pejabat negara. Keempat,
Implementasi program pelayanan. LSM dapat menempatkan diri mereka sebagai
lembaga yang mampu untuk mewujudkan sejumlah program yang kurang mampu
dilaksanakan oleh pemerintah dalam masyarakat.28
Berdasarkan paparan terlihat bahwa sebagai kekuatan politik, LSM
memiliki peran vital dalam kehidupan politik suatu negara. LSM sendiri tidak
mengikuti mekanisme pemilu layaknya partai politik. Namun kemampuan mereka
26 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.27 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.28 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.
28
untuk melakukan advokasi terhadap masalah-masalah penting dalam masyarakat,
seperti korupsi dan HAM dapat memberikan tekanan bagi negara untuk menyusun
kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat.
Berbicara mengenai LSM, tentu tidak terlepas dari akar sejarah bagaimana
kemunculan LSM pertama kali di Indonesia. Menurut sejarah, kemunculan
organisasi sejenis LSM erat kaitannya dengan keinginan kaum terpelajar untuk
membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa kolonial. Banyak ahli berpendapat
bahwa cikal bakal LSM di Indonesia berasal dari organisasi-organisasi sosial
kemasyarakatan seperti Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), Taman Siswa
dan Muhammadiyah. Pasca Indonesia merdeka, organisasi sejenis LSM dan Ornop
mulai kehilangan arah gerakan.29
Di tahun 1970-an, kelompok-kelompok masyarakat sipil seperti LSM mulai
mendapat perhatian pemerintah. Keberhasilan pemerintah mendorong terjadinya
pertumbuhan ekonomi berbanding terbalik dengan tingginya kemiskinan dan
pengangguran terutama di perkotaan. Kehadiran LSM ini mendorong munculnya
partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan.30 Tahun 1980-an
menjadi masa kejayaan LSM di Indonesia. LSM mulai melakukan perubahan secara
ideologi dan pergerakan. Mereka tidak lagi berorientasi pada kegiatan-kegiatan
pembangunan, namun sudah berubah pada kegiatan advokasi. LSM juga menjadi
sarana bagi kelompok kelas untuk melakukan penentangan terhadap pemerintah.31
29 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 87.30 John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, terj. Godril Dibyo Yuwono (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1995), h. xi.31 Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga Di Indonesia,
terj Rofik Suhud (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 102
29
Di tahun 1990-an semakin banyak LSM-LSM advokasi baru yang bersifat lebih
radikal dan vokal dalam memperjuangkan demokrasi serta hak asasi manusia.32
Mayoritas LSM yang muncul di tahun 1990-an bersifat swadaya dan
mandiri. Mereka menjadi elemen penting dalam tekanan publik yang agresif
terhadap rezim Soeharto. Terjadinya proses transisi menuju demokrasi di Indonesia
tentu tidak dapat dilepaskan dari LSM. Tanpa adanya komitmen serta kesukarelaan
di antara LSM, proses transisi demokrasi berjalan lebih lama dan menghadapi
tantangan yang lebih berat.33 Sebagai bagian dari LSM generasi 1990-an ICW
menjadi LSM yang bersifat radikal dalam memperjuangkan kepentingannya.
Radikal dalam artian adalah mereka tidak segan-segan untuk menekan lembaga
hukum seperti KPK untuk segera menelusuri masalah korupsi. Atau
mempublikasikan temuan korupsinya ke media massa sebagai bentuk penekanan
terhadap koruptor.
D. Korupsi
Secara bahasa, korupsi memiliki akar kata dari bahasa latin corruptio atau
corruptus. Corruption juga dapat berasal dari akar kata bahasa latin yang lebih tua
yaitu corrumpere.34 Dari kata latin tersebut, muncul penyebutan korupsi dalam
bahasa lain, seperti Inggris, corruption, corrupt; Perancis, corruption; dan Belanda,
corruptie (korruptie). Istilah “korupsi” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
32 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 96.33 Lisa Jordan dan Peter van Tuijl, Akuntabilitas LSM, h. 223.34 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991), h. 9.
30
Belanda.35 Secara harfiah korupsi diartikan sebagai kebusukan, keburukan,
kebejatan, tidak bermoral, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang memfitnah atau menghina.36
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Korupsi adalah perbuatan yang
merusak seperti penggelapan uang, menerima uang sogok dan sebagainya.37
Mahzar seperti dikutip oleh Mansyur Semma menjelaskan istilah korupsi sebagai
berbagai aktivitas gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk
mendapatkan keuntungan pribadi ataupun bagi kelompoknya.38 Sayed Husein
Alatas memaparkan bahwa esensi korupsi merupakan pencurian melalui penipuan
dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.39 Bank Dunia mengartikan korupsi
sebagai the abuse of public power for private benefit penyalahgunaan kekuasaan
publik untuk mencapai keuntungan pribadi.40 Maka dari itu, korupsi cenderung
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang. Dengan
demikian, korupsi dapat dipahami sebagai kegiatan melanggar norma hukum yang
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memperkaya diri
sendiri ataupun golongannya.
35 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Tujuh Tipe TIndak PidanaKorupsi Berdasarkan UURI No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun 2001 (Bandung: CV MunandarMaju, 2010), h. 23
36 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, h. 7.37 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, h. 7.38 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia
Indonesia, dan Perilaku Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 34.39 S.H. Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, terj Nirwono (Jakarta: LP3ES, 1987), h. viii.40 Vito Tanzi, “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope and Cures”
(International Monetetary Fund, 1998), h. 8.
32
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya korupsi dapat terjadi jika
seseorang memiliki jabatan dan wewenang, yang nantinya dapat memudahkannya
dalam memperkaya diri sendiri. Dalam konteks Indonesia, penasihat KPK,
Abdullah Hehamahua, sebagaimana dikutip oleh Ermansyah Djaja dalam Tipologi
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, menyebutkan delapan penyebab terjadinya
korupsi di Indonesia yaitu:
Pertama, sistem penyelenggaraan negara yang keliru. Sebagai negara
berkembang, Indonesia seharusnya berfokus melakukan pembangunan di sektor
pendidikan. Namun realitanya pemerintah lebih befokus pada sektor perekonomian.
Karena hakikatnya negara berkembang memiliki sumber daya manusia yang
banyak namun tidak sejalan dengan tersedianya tekhnologi dan ilmu pengetahuan.41
Kedua, kompensasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang rendah. Rendahnya gaji yang
diterima PNS berbanding terbalik dengan kinerja yang mereka lakukan. Untuk
memperbaiki kehidupan perekonomiannya banyak dari mereka yang melakukan
korupsi.42
Ketiga, pejabat yang serakah. Korupsi erat terjadi antara sektor politik dan
sektor bisnis. Orang-orang yang memiliki kekuasaan dan pengusaha melakukan
hubungan saling menguntungkan untuk menciptakan proyek-proyek palsu yang
bisa memperkaya kedua belah pihak. 43 Keempat, law enforcement tidak berjalan.
Menurut Hehemahua Penegakan hukum di Indonesia saat ini masih dipandang tidak
transparan, cenderung tidak objektif dan jauh dari rasa keadilan.44
41 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, h. 49.42 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, h. 49.43 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, h. 50.44 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, h. 50.
31
Kelima, hukuman yang ringan terhadap koruptor. Korupsi merupakan
tindak pidana yang memiliki dampak besar bagi sektor ekonomi, sosial dan politik
negara. Mengingat dampaknya tersebut koruptor harus dihukum berat.45 Realitanya
hukuman yang dijatuhkan bagi koruptor masih terlalu ringan dan tidak adil bagi
masyarakat sebagai korban dari korupsi. ICW mencatat setidaknya dari 240 kasus
korupsi sejak 2005 hingga 2009, koruptor hanya diberikan vonis ringan dengan
rata-rata hukuman 3 tahun 6 bulan.46
Keenam, pengawasan yang tidak efektif. Korupsi yang terjadi di Indonesia
saat ini semakin sulit diberantas karena lemahnya kontrol yang dilakukan oleh
negara ataupun masyarakat.47 Ketujuh, tidak adanya keteladanan pemimpin.48
Kedelapan, budaya masyarakat yang permisif Korupsi. Praktik korupsi nampaknya
telah melekat dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia.
Mochtar Lubis, sebagaimana dikutip Mansyur Semma, memandang
maraknya praktik korupsi di Indonesia disebabkan oleh budaya patrimonial yang
telah menjadi warisan dari zaman kerajaan-kerajaan masa lalu.49 Dalam sistem
politik patrimonial, penguasa berperan sebagai patron dan swasta sebagai klien.
Yang mana patron akan selalu melindungi klien, jika klien selalu melegitimasi dan
memberikan dukungan pada patron.50 Semenjak masa kerajaan dahulu, pemberian
45 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, h. 51.46 Kompas, “Hukuman Koruptor Terlalu Ringan”, Artikel diakses pada 2 April 2015 dari
http://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ringan
47 Agus Sudibyo, “Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan” dalam HCB Dharmawandan Al Soni, ed., Jihad Melawan Korupsi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 59.
48 Agus Sudibyo, “Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”, h. 59.49 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, h. 19750 Susan Rose-Ackerman, KORUPSI DAN PEMERINTAHAN: Sebab, Akibat, dan Reformasi,
terj. Toenggoel P. Siagian (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010), h. 146.
33
hadiah atau upeti kepada atasan merupakan sebuah kewajaran. Karena telah
dilakukan sejak dahulu kala, praktik korupsi yang berlangsung kini telah diterima
sebagai kewajaran bagi mayoritas bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya korupsi telah menyebar dan merubah dirinya ke
dalam beberapa bentuk atau modus. Piers Beirdne dan James Messerchmidt,
sebagaimana dikutip oleh Djaja, menjelaskan bahwa terdapat empat tipe perbuatan
korupsi yaitu: Political Bribery, Political Kickbacks, Election Fraud, dan Corrupt
Campaign Practices.51
Pertama, Political Bribery adalah perbuatan korupsi yang dilakukan antara
kelompok bisnis pemegang kekuasaan legislatif. Korupsi ini dilakukan sebagai
bentuk timbal balik atas dukungan (biasanya berupa materi) yang telah diberikan
oleh kelompok pengusaha terhadap anggota dewan yang duduk di lembaga
legislatif. Kelompok bisnis berharap anggota dewan yang mereka dukung dapat
merumuskan kebijakan yang dapat menguntungkan bisnis mereka. Kedua, Political
Kickbacks adalah perbuatan korupsi yang dilakukan antara pengusaha dan pejabat.
Korupsi ini berkaitan dengan kontrak kerja atau tender antara pengusaha dan
pejabat yang berwenang. Mereka saling bekerja sama untuk mendapatkan
keuntungan materi bagi kedua belah pihak.
Ketiga, Election Fraud yaitu korupsi yang terjadi dalam pemilihan umum.
Korupsi model ini dilakukan anggota parlemen, lembaga pelaksana pemilu atau
calon pejabat publik. Korupsi ini dilakukan untuk memenangkan calon pasangan
tertentu. Keempat, Corrupt Campaign Practices yaitu korupsi yang dilakukan oleh
51 Emansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, h. 20.
34
orang-orang yang melakukan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara
seperti uang negara.
Dalam konteks Indonesia, korupsi yang marak berlangsung saat ini,
terutama yang dilakukan oleh kepala daerah biasanya berjenis political bribery,
election fraud atau corrupt campaign practices. Korupsi dana hibah dan bantuan
sosial sendiri tergolong sebagai corrupt campaign practices. Karena dalam hal ini
Ratu Atut dan keluarganya menggunakan fasilitas negara yaitu APBD sebagai
modal mereka untuk mencalonkan diri atau maju kembali dalam pilkada.
Penggunaan dana hibah dan bansos sebagai modal pemilu, tidak hanya dilakukan
oleh Ratu Atut dan keluarganya. Berdasarkan pengamatan ICW banyak kepala
daerah lain yang ikut menggunakan dana hibah dan bansos sebagai modal pemilu
mereka. Hal ini dikarenakan dana hibah dan bansos adalah anggaran daerah yang
otoritasnya hanya berada di tangan kepala daerah. Tidak ada lembaga lain yang
turut mengawasi penyusunan anggaran dana hibah dan bansos ini. Hal ini
berdampak dana hibah dan bansos rawan diselewengkan.52
E. Oligarki Politik dan Korupsi
Istilah oligarki pada awalnya dipaparkan oleh Plato menjelaskan sebuah
sistem pemerintahan yang ada di masa Yunani kuno.53 Kata Oligarki terdiri dari
dua kata oligoi yang berarti sedikit orang dan archie yang berarti berkuasa. Dalam
pandangan yang lebih luas Aristoteles memaparkan bahwa bentuk pemerintahan
52 “Bansos Terkait Pilkada: Banyak Dana ke Lembaga Pimpinan Keluarga Gubernur Banten”,Kompas, 10 Maret 2011, h. 39.
53 George Junus Aditjondro, Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan EkonomiIndonesia, (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 11.
35
oligarki pada dasarnya dikuasai oleh orang-orang kaya yang jumlahnya sedikit.54
Sejalan dengan konsep plato, George Aditjondro melihat bahwa oligarki
merupakan bentuk pemerintahan yang tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang-
orang kaya, tetapi juga kelompok-kelompok kepentingan (Interest Groups) yang
menguasai pusat kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dengan kebijakan
dan keputusan yang diperuntukan bagi kepentingan kelas atas.55
Oligarki model Indonesia merupakan modifikasi dari oligarki model
Amerika Latin yang berpusat pada orang kaya dan kelompok bisnis serta oligarki
model Amerika Serikat yang dikuasai oleh kelompok-kelompok kepentingan
seperti kelompok bisnis. Model oligarki Indonesia memiliki kesamaan dengan
oligarki yang terjadi di Filipina dan Korea Selatan, yang mana selain presiden,
keluarga dekat presiden juga ikut memiliki kekuasaan dengan mengusai sektor-
sektor ekonomi. Dalam model oligarki Indonesia kekuasaan politik berada dalam
lingkaran keluarga pemangku jabatan publik yang bersinerji dengan kelompok-
kelompok bisnis dan orang kaya.56
Di Indonesia pola-pola oligarki serta nepotisme begitu kental terasa di masa
Orde Baru. Di masa Orde Baru dapat dilihat bahwa sirkulasi kekuasaan hanya
berputar pada lingkaran keluarga presiden. Ditambah lagi keluarga presiden juga
menjalin hubungan mutualisme dengan elit-elit bisnis serta birokrat-birokrat kaya
dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi dan politik. 57 Sebagai timbal
54 Henry J. Schmandt, Filsafat Politi, Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zamanekonomi yang menentukan Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 99.
55 Aditjondro, Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia, h. 11.56 Aditjondro, Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia, h. 1357 Aditjondro, Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi Indonesia, h. 13
36
baliknya, presiden memberikan perlindungan kepada kelompok bisnis serta
mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka.
Meskipun Orde Baru berhasil melakukan pembangunan serta mendorong
pertumbuhan ekonomi. Tetapi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pun
juga ikut subur. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo melihat selama Orde Baru
berkuasa terdapat kebocoran anggaran pembangunan hingga 30%.58 Bocornya
anggaran pembangunan ini disinyalir mengalir ke elit-elit yang berada di sekitar
pemegang kekuasaan.
Semenjak tumbangnya Orde Baru, banyak daerah yang berhasil
menjalankan proses demokratisasi dan mampu menggali potensi serta
mengembangkan daerahnya. Namun dalam konteks Provinsi Banten, demokratisasi
yang berlangsung mengalami kemacetan. Sumbernya adalah kuatnya posisi elit
oligarki di tingkat lokal yang menempati jabatan-jabatan penting dalam struktur
pemerintahan. Di era reformasi ini praktik oligarki tidak lagi terjadi di tingkat pusat
layaknya Orde Baru, tapi telah merambah ke tingkat daerah.
Fenomena oligarki politik di Provinsi Banten menjadi perhatian rakyat
Indonesia, terutama setelah Gubernurnya, Ratu Atut ditetapkan sebagai tersangka
korupsi. Selain korupsi, nepotisme pun juga kental terasa dalam struktur
pemerintahan provinsi Banten. Ditahannya Ratu Atut, diketahui bahwa banyak
jabatan legislatif dan eksekutif Provinsi Banten ditempati oleh keluarga Gubernur.
Praktik oligarki yang terjadi di Banten lebih dikenal dengan politik dinasti.
58 Hanniah Hanafie dan Suryani, Politik Indonesia (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2011), h. 118.
38
Ratu Atut menjadi kepala daerah yang mampu menguasai politik lokal
dengan menempatkan keluarganya dalam struktur legislatif dan eksekutif. Beberapa
keluarganya yang menduduki posisi strategis di legislatif dan eksekutif Provinsi
Banten adalah: Suami, Hikmat Tomet, yang menjadi anggota DPR -RI dan Ketua
DPD Partai Golkar Banten; anak, Andika Hazrumy yang menjadi anggota DPD dan
Ketua Karang Taruna; menantu, Ade Rossi Khaerunnisa, yang menduduki jabatan
anggota DPRD Kota Serang dan menjabat 10 ketua organisasi; adik tiri, Atut
Tubagus Jaman, yang menjadi Wali kota Serang periode 2013-2018; adik Atut,
Ratu Tatu Chasanah, yang menjadi Wakil Bupati Serang periode 2010-2015; serta
adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany, yang menjadi Wali Kota Tanggerang Selatan
periode 2011-2015; Ibu tiri, Ratna Komala Sari, yang menjabat Anggota DPRD
kota Serang; Adik ipar, Abdul Cholik Atur, yang menjabat sebagai Anggota DPRD
Provinsi Banten; Ibu tiri, Heryani, menjabat wakil Bupati Pandegelang.59
Politik dinasti merupakan praktik kekuasaan yang mana keluarga
menempati jabatan strategis dalam struktur pemerintahan, yang berdampak pada
kekuasaan hanya berputar dalam lingkup satu keluarga. Karena pola distribusi
kekuasaan hanya berputar dalam satu keluarga, maka praktik nepotisme menjadi
rawan terjadi.60 Dalam fonemena politik dinasti keberhasilan elit keluarga
menguasai jabatan publik, akan memberikan ruang bagi elit kelurga lain untuk terus
melanggengkan kekuasaannya. Sebelum masa jabatannya berakhir, elit penguasa
59 Delly Maulana, “Fenomena Demokratisasi Lokal di Provinsi Banten”, Jurnal AdministrasiNegara “SAWALA”, Vol 2. No. 2 (Mei-Agustus, 2013), h. 20, tersedia dihttp://ejurnal.unsera.ac.id/jurnal-administrasi-negara-vol-ii-no-2.html
60 Sriyana, “Politik Dinasti Sebuah Patologi Demokrasi”, Jurnal Socioscientia, vol 6 No. 1(February, 2014), h. 121, tersedia di http://kopertis11.org/jurnal_baca.php?id=235
37
dapat melimpahkan kekuasaannya pada anak, menantu, atau keluarga lainnya. Hal
seperti ini dapat terus berlangsung selama keluarga penguasa masih memiliki
pengaruh kuat di daerah. Dengan demikian sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada
orang-orang di sekitar keluarga penguasa, dan mengakibatkan tertutupnya
kesempatan bagi orang lain di luar keluarga yang ternyata memiliki kapabilitas.
Menurut survei integritas pemerintah daerah yang dilakukan oleh KPK
selama Ratu Atut berkuasa, Banten memiliki integritas pemerintahan yang sangat
rendah. Dalam survei yang dilakukan Transparansi Internasional (TI), Banten
masih menjadi provinsi dengan tingkat korupsi yang tinggi. Sedangkan menurut
survei yang dilakukan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas
Gadjah Mada (PSKK-UGM), Provinsi Banten tengah menuju ke arah bad
governance. Hal ini terlihat dari beberapa indikator seperti rendahnya efektivitas
pemerintah, rendahnya partisipasi masyarakat, kurang transparannya pemerintah
daerah, kapasitas penyampaian informasi yang rendah, rendahnya kualitas Perda
yang dirumuskan, rendahnya kepercayaan publik serta stabilitas politik.61
Bagaimanapun, menguatnya praktik politik dinasti tingkat lokal di masa
reformasi saat ini tidak dapat dipisahkan dari warisan Orde Baru. Kemunculan
oligarki politik tentunya akan berdampak negatif terhadap kehidupan demokrasi
Indonesia. Oligarki politik, akan memperburuk proses demokratisasi. Apabila
jabatan-jabatan penting di lembaga eksekutif dan legislatif dikuasai oleh satu
keluarga, maka mekanisme checks and balance tidak akan berjalan efektif.
61 Delly Maulana, “Fenomena Demokratisasi Lokal di Provinsi Banten”, Jurnal AdministrasiNegara “SAWALA”, Vol 2. No. 2 (Mei-Agustus, 2013), h. 20, tersedia dihttp://ejurnal.unsera.ac.id/jurnal-administrasi-negara-vol-ii-no-2.html
39
Akibatnya, rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.62 Oligarki juga
cenderung untuk menciptakan kekuasaan yang absolut. Terlebih lagi apabila
eksekutif dan legislatif didominasi oleh elit-elit yang berasal dari satu keluarga.
Dalam sistem yang oligarkis korupsi terjadi melalui hubungan kelompok
bisnis dengan pemangku jabatan dalam rangka memenangkan proyek-proyek
pemerintah. Selain terjun dalam dunia politik, keluarga Ratu Atut juga banyak yang
melakukan ekspansi ke dunia bisnis dan ikut tender dalam proyek pemerintah. Hal
ini semakin memudahkan terjadinya korupsi yang mengakibatkan banyak uang
negara yang masuk ke dalam kas keluarga. Oligarki politik model keluarga atau
dinasti politik yang terjadi di Banten juga akan menutup ruang bagi rakyat biasa di
luar keluarga yang sedang berkuasa untuk dapat menduduki jabatan strategis dalam
pemerintahan.63 Karena sifat dari oligarki yang nepotistik, jabatan strategis
pemerintahan banyak diberikan pada keluarga dan kerabat terdekat. Apabila posisi
strategis tidak diduduki oleh keluarga makan bargaining dan konsolidasi akan sulit
terjadi.
62 Sriyana, “Politik Dinasti Sebuah Patologi Demokrasi”, Jurnal Socioscientia, vol 6 No. 1(February, 2014), h. 127, tersedia di http://kopertis11.org/jurnal_baca.php?id=235
63 Sriyana, “Politik Dinasti Sebuah Patologi Demokrasi”, Jurnal Socioscientia, vol 6 No. 1(February, 2014), h. 128, tersedia di http://kopertis11.org/jurnal_baca.php?id=235
40
BAB III
INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
Keberhasilan gerakan reformasi di tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari
LSM. Permasalahan-permasalahan yang muncul selama rezim Soeharto berkuasa
seperti pelanggaran HAM, korupsi, serta pengekangan hak politik rakyat,
mendorong munculnya LSM-LSM advokasi. Mereka dapat dikatakan sebagai
oposisi tulen terhadap pemerintahan Soeharto dalam memperjuangkan kehidupan
politik yang lebih demokratis, transparan dan bebas korupsi.
Pasca reformasi LSM tidak berhenti tumbuh dan kemudian mati. Sebaliknya
jumlahnya semakin banyak seiring dengan munculnya permasalahan-permasalahan
yang menjadikan rakyat sebagai korban, seperti korupsi. Permasalahan korupsi
yang telah masif terjadi di era Orde Baru mendorong lahirnya LSM-LSM anti-
korupsi yang bergerak untuk menyelediki perkara korupsi yang belum diungkap
oleh aparat penegak hukum. Salah satu LSM anti-korupsi yang vokal dalam
membongkar kasus korupsi adalah LSM Indonesia Corruption Watch (ICW).
A. Gambaran Umum Indonesia Corruption Watch (ICW)
Selama 32 tahun Soeharto menjabat sebagai presiden, Indonesia berada di
bawah kepemimpinan yang otoriter, tidak transparan dan korup. Kejatuhan rezim
Orde Baru dan proses demokratisasi yang mengiringinya mendorong pemerintah
selanjutnya untuk sesegera mungkin merealisasikan wacana-wacana tentang
pemerintahan yang bersih, demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance sebagaimana yang digaungkan oleh kelompok-kelompok reformis.
41
Memasuki era reformasi, pemberantasan korupsi menjadi permasalahan penting
yang harus cepat diselesaikan oleh pemerintah pasca Soeharto. Bagi negara
berkembang terutama Indonesia, korupsi menjadi faktor dominan yang dapat
menghancurkan perekonomian bangsa.
Meskipun di era reformasi Soeharto dan kroninya tidak lagi berkuasa,
namun tidak serta merta permasalahan korupsi menjadi selesai. Persekongkolan
yang terjadi antara kelompok bisnis dan penguasa dalam mengeruk sumber daya
negara telah berlangsung lama. Oleh sebab itu korupsi akan terus berkembang
mencari pola-pola hubungan baru yang sesuai dengan rezim yang berkuasa.1
Kekhawatiran ini mendorong sekumpulan orang yang penduli dan memiliki
komitmen terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia untuk membentuk sebuah
organisasi anti-korupsi yang bernama Indonesia Corruption Watch (ICW).
Indonesia Corruption Watch yang selanjutnya disebut ICW lahir 21 Juni
1998 di tengah hingar bingarnya gerakan reformasi.2 LSM anti-korupsi ini hadir
pada saat masyarakat menginginkan pemerintahan pasca Soeharto yang demokratis,
bersih dan bebas korupsi. Karena sifatnya sebagai lembaga yang hadir di tengah-
tengah masyarakat, ICW berusaha untuk memberdayakan dan membangkitkan
kesadaran masyarakat agar terlibat dan berpatisipasi aktif dalam melakukan
resistensi terhadap praktik korupsi. Selain merangkul masyarakat, ICW juga
bersinergi dengan media dalam membongkar kasus-kasus korupsi.
1 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Laporan Tahunan 2009” (Jakarta, ICW: 2009), h. 152 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei
2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
42
Dalam manifesto anti korupsinya ICW melihat bahwa dengan adanya
partisipasi dari masyarakat sebagai korban korupsi, maka pemberantasan korupsi
akan berjalan efektif. Tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam melawan korupsi
akan menjadikannya semakin kuat dan terorganisir sehingga mampu untuk
mengawasi dan mengendalikan jalannya pemerintahan.
Dalam pergerakannya ICW mengusung visi dan misi sebagai sebuah
komitmen untuk mencapai tujuannya. ICW mengusung visi menguatkan posisi
tawar rakyat untuk mengontrol negara dan turut serta dalam keputusan untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis, bebas dari korupsi,
berkeadilan ekonomi, sosial, dan jender.3 Ditambah lagi ICW juga membawa misi
untuk memberdayakan rakyat dalam memperjuangkan terwujudnya sistem politik,
hukum, ekonomi, dan birokrasi yang bersih dari korupsi dan berlandaskan atas
keadilan sosial dan jender. Selain itu juga ICW berusaha untuk memberdayakan
rakyat dalam memperkuat partisipasi mereka dalam proses pengambilan dan
pengawasan kebijakan publik.4
Dalam menjalankan misi-misi yang diusungnya, ICW mengambil berbagai
peran, di antaranya adalah memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian rakyat
di bidang hak-hak warga negara dan pelayanan publik. ICW juga berperan sebagai
fasilitator penguatan kapasitas rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasan
kebijakan publik. Selain itu ICW juga berperan dalam mendorong tumbuhnya
partisipasi masyarakat untuk menginvestigasi kasus-kasus korupsi, menyebarkan
3 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
4 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
43
dan mengungkapkan segala praktik korupsi untuk menciptakan pemerintah yang
lebih bersih. ICW juga memfasilitasi peningkatan kapasitas rakyat dalam
penyelidikan dan pengawasan korupsi. LSM anti-korupsi ini juga menggalang
kampanye publik guna mendesakkan reformasi hukum, politik dan birokrasi yang
kondusif bagi pemberantasan korupsi. Serta memfasilitasi penguatan good
governance di masyarakat sipil dan penegakan standar etika di kalangan profesi.5
Dalam melakukan gerakan dan perjuangan pemberantasan korupsi, ICW
menganut nilai-nilai seperti keadilan sosial dan kesetaraan jender, demokratis, dan
kejujuran. Dari perspektif keadilan sosial dan kesetaraan jender, ICW menganggap
bahwa setiap orang baik laki-laki atau perempuan memiliki kesempatan yang sama
untuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, serta memiliki kesempatan
yang sama untuk aktif serta mengakses dan mengontrol sumber daya yang dimiliki
oleh ICW. ICW memandang bahwa setiap individu harus menjunjung tinggi
demokrasi dalam setiap pengambilan keputusan, perilaku, serta pemikirannya.
Mengenai nilai kejujuran, setiap individu berkewajiban untuk memberitahukan
setiap kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kewajibannya.6
ICW menganut prinsip integritas, yaitu setiap individu yang terlibat dalam
ICW tidak pernah melakukan kejahatan pidana, politik, ekonomi dan hak asasi
manusia; tidak pernah membela atau melindungi koruptor; dan juga tidak boleh
menempatkan dirinya di bawah kepentingan pihak di luar ICW yang dapat
mempengaruhinya dalam menjalankan tugas. Kedua, akuntabel, artinya tiap
5 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
6 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
44
individu yang berada dalam ICW harus bersedia untuk mempertanggung jawabkan
apa yang telah dikerjakan serta diputuskannya kepada publik. Ketiga, Independen;
setiap anggota ICW tidak boleh terlibat dalam partai politik; harus bersifat objektif
terhadap tersangka korupsi, meskipun pejabat negara; setiap anggota ICW juga
tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan terhadap kasus yang sedang
ditangani. Keempat, Objektifitas dan kerahasiaan, yaitu setiap anggota ICW wajib
untuk mengambil keputusan serta tindakan yang bersesuaian dengan pertimbangan
keadilan dan kebenaran; setiap anggota ICW juga wajib untuk merahasiakan
identitas dari pelapor kasus korupsi. Kelima, Anti-Diskriminasi, dalam
melaksanakan tugas pemberantasan korupsi setiap anggota ICW tidak
diperkenankan untuk mendiskriminasi pelapor atau terlapor berdasarkan atas suku,
ras dan agamanya.7
7 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
45
B. Struktur Organisasi
BAGAN 1: Struktur Pengurusan Indonesia Corruption Watch (2013-2017)
Dewan Etik Bambang
Widjojanto Dadang
Trisasongko Kemala
Chandrakirana Masdar
F. Masudi
Teten Masduki
KoordinatorAde Irawan
Wakil KoordinatorAgus Sunaryanto
Divisi Monitoring dan Pelayanan PublikFebri Hendri Antoni Arif
Siti Juliantari Nida
Zindy Paradisha Aisy
Illfiyah
Divisi Investigasi dan PublikasiTama Satrya Langkun
Laits Abied Christian
Evert Lydia Agustina
Sigit Wijaya
Divisi Hukum dan Monitoring PeradilanEmerson Yuntho
Lalola Easter
Divisi Monitoring dan Analisa AnggaranFirdaus Ilyas
Mouna Wasef
Divisi Korupsi PolitikAbdullah Dahlan
Donal Fariz
Almas Sjafrina
Divisi Kampanye PublikTibiko Zabar Pradono
Jane Sandra Melissa
Safranis Rismaya Putri
Divisi Keuangan dan KesekretariatanSupitriyani
Nurhayati Siti
Nurjanah Intan
Pandini Maya
Fatmawati
Caroline Yulia
46
Selama ini LSM identik dengan pendirinya, seperti Adnan Buyung Nasution
dengan LBH-nya. Hal ini menjadikan pendiri LSM bertindak sebagai pemilik,
mereka lebih berkeinginan melakukan rekruitmen dan menolak adanya regenerasi.
Hal ini berakibat banyak LSM tidak dapat berkembang dan bubar setelah generasi
pertamanya tidak ada lagi.8 ICW menolak gagasan semacam itu, ICW menerapkan
demokrasi total dalam tubuh lembaganya. ICW mengamini pelimpahan kekuasaan
secara merata, semua anggota memiliki hak yang sama untuk mengakses sumber
daya lembaga, tidak ada monopoli oleh pendiri lembaga.9
Menurut Ade Irawan, ICW merupakan sebuah perkumpulan. Sebagai
sebuah perkumpulan ICW memperkerjakan 35 orang. ICW juga memperkerjakan
banyak relawan untuk membantu mereka dalam pelaksanaan program-program
pemberantasan korupsi dan penguatan good governance.10 Jabatan tertinggi dalam
struktur kepengurusan ICW berada pada pendiri dan dewan etik. Dewan etik dalam
struktur kepengurusan ICW diduduki oleh 5 orang, yang memiliki masa jabatan
selama 4 tahun. Dewan etik sendiri memiliki tugas untuk melakukan pengasawan
terhadap pelaksanaan kegiatan organisasi, menegakan kode etik lembaga, serta
memberikan sanksi terhadap anggota yang membuat pelanggaran.11
Struktur kedua dalam kepengurusan ICW diduduki oleh koordinator.
Koordinator sendiri memiliki fungsi sebagai penanggung jawab atas kegiatan setiap
divisi, menyusun program kerja organisasi, mengkoordinir kegiatan organisasi,
8 Ahmad Arif, “Perang Panjang Melawan Korupsi,” Kompas, 10 November 2009.9 Ahmad Arif, “Perang Panjang Melawan Korupsi,” Kompas, 10 November 2009.10 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201511 “Kode Etik Konsil LSM Indonesia” Artikel diakses pada 25Mei 2015 dari
http://konsillsm.or.id/?p=556
47
bertanggung jawab atas komunikasi dengan pemerintah, pemerintah asing, ornop
nasional dan internasional yang bergerak dalam pemberantasan korupsi, serta
menyusun dan mempertanggung jawabkan laporan tahunan. Wakil Koordinator,
memiliki fungsi untuk melakukan koordinasi program di bidang informasi publik,
reformasi hukum dan monitoring korupsi di peradilan, membantu koordinator
dalam menjalankan dan menyusun program kerja dan membantu membuat laporan
tahunan.
Keberhasilan ICW dalam membongkar kasus korupsi dikarenakan LSM ini
didukung dengan adanya enam divisi penting yang telah memiliki tugas dan
fungsinya masing-masing. Keenam divisi tersebut adalah divisi penggalangan dana
dan kampanye publik, divisi hukum dan monitoring peradilan, divisi investigasi dan
publikasi, divisi korupsi politik, divisi monitoring pelayanan publik, dan divisi
monitoring dan analisis anggaran.
a. Divisi Penggalangan Dana dan Kampanye Publik
Untuk menjaga keberlangsungkan program-programnya, ICW memerlukan
adanya bantuan dana berbentuk materi. Sebagai sebuah lembaga independen yang
tidak terafiliasi dengan lembaga negara atau partai politik, pendanaan ICW banyak
berasal dari bantuan pihak luar dan sumbangan masyarakat.
Sumber pendanaan ICW sendiri dibedakan menjadi dua, pertama berasal
dari lembaga donor luar negeri. Karena banyak dana dari lembaga donor asing yang
masuk ke dalam rekening ICW, banyak pihak menilai ICW sebagai antek asing dan
LSM yang tidak nasionalis. Terkait dengan pendanaan tersebut, ICW menjelaskan
48
bahwa dana asing yang masuk ke rekening ICW sebelumnya telah dipilah oleh
pemerintah. Hal ini dikarenakan setiap program ICW harus mendapat persutujuan
dari pemerintah. Meskipun demikian ICW sendiri tidak boleh menerima uang dari
pemerintah, hal ini dikarenakan akan memunculkan konflik kepentingan antara
ICW dan pemerintah.12
Sumber pendanaan ICW yang kedua berasal dari sumbangan masyarakat.
Sejak tahun 2008 ICW melalui divisi penggalangan dana dan kampanye publik
membuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat memberikan bantuan dana ke
ICW. Dengan adanya bantuan finansial ini, masyarakat secara tidak langsung turut
berpartisipasi dalam program-program anti-korupsi yang dilaksanakan ICW.
Mereka yang memberikan sumbangan harus memiliki identitas yang jelas.13
Dalam melakukan pegelolaan terhadap dana-dana dan bantuan finansial
yang masuk ke rekening ICW, lembaga ini menjunjung tinggi asas trasparansi dan
akuntabilitas sebagaimana yang tertera dalam prinsip kerja mereka. ICW
menganggap bahwa transparansi merupakan basis dari gerakan anti-korupsi yang
mereka perjuangkan.14 Sebagai bentuk independensinya ICW tidak menerima
sumbangan dari lembaga pemerintah, ataupun dari sektor perusahaan.
Donasi dan bantuan yang masuk ke rekening ICW dimanfaatkan untuk
menjalankan program-program ICW, di antaranya; investigasi kasus, pemantauan
anggaran sekolah, advokasi layanan kesehatan, membangun generasi pemuda
melawan korupsi, serta menyelenggarakan pendidikan antikorupsi di sekolah dan
12 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201513 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201514 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei
2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
49
kampus.15 Untuk menjamin transparasi atas pendanaan yang masuk, setiap bulan
ICW mempublikasikan hasil perolehan donasi ke website lembaga. Setiap tahun,
ICW juga melakukan laporan keuangan menyeluruh, yang kemudian akan diaudit
oleh seorang auditor independen, dan kemudian akan diunggah ke website
lembaga.16
b. Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Pasca Orde Baru, upaya pemberantasan korupsi semakin terasa dengan
berdirinya KPK. Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah realisasi dari
keinginan masyarakat untuk menciptakan Indonesia yang bersih dan bebas korupsi.
Didirikannya KPK merupakan komitmen nyata dari pemerintah untuk melakukan
pemberantasan terhadap praktik korupsi.
Meskipun telah ada lembaga yang secara khusus menangani permasalahan
korupsi, tetapi lembaga hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian masih belum
mampu berkoordinasi dengan baik dalam melakukan pemberantasan korupsi. Atas
dasar ini Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW dibentuk untuk melakukan
pengawasan terhadap kinerja lembaga penegak hukum.
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW memiliki tugas untuk
melakukan analisa dan monitoring agenda reformasi hukum; menjalankan tugas
pengawasan terhadap berbagai lembaga penegak hukum; melakukan monitoring
dan evaluasi kinerja aparat institusi peradilan dan institusi hukum lainnya;
15 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Laporan Tahunan 2013” (Jakarta, ICW: 2013), h. 11.16 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei
2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
50
melakukan monitoring terhadap pemilihan pejabat publik di lingkungan peradilan;
menindaklanjuti kasus korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan; dan melakukan
penyusunan dan atau advokasi terhadap peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan pemberantasan korupsi, hingga mengawal berbagai produk hukum
yang relevan dengan pemberantasan korupsi.17
c. Divisi Investigasi dan Publikasi
Divisi Investigasi dan Publikasi adalah divisi yang sengaja dibentuk untuk
menjalankan fungsi ICW sebagai LSM yang berfokus untuk melakukan investigasi
terhadap kasus korupsi. Dalam menjalankan perannya, divisi ini memfokuskan diri
terhadap kasus-kasus pengaduan korupsi yang berasal dari masyarakat. Masyarakat
dapat melaporkan kasus korupsi atau indikasi korupsi ke ICW.18
Sebagai LSM yang bergerak dalam bidang pemberantasan korupsi, ICW
banyak menerima laporan dari masyarakat terkait korupsi. Namun tidak semua
kasus yang masuk ke ICW berupa kasus korupsi, divisi ini memiliki tugas untuk
melakukan investigasi lebih lanjut. Jika bukan kasus korupsi, maka akan
dilimpahkan pada lembaga terkait ataupun ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH).19
Tugas Divisi Investigasi adalah melakukan review secara mendalam
sebelum melaporkan kasus-kasus tersebut kepada aparat penegak hukum. Dalam
melakukan tugas penyeledikannya, divisi investigasi terjun langsung ke daerah
17 Laksmi dan Mohamad Aries, “Information Literacy Pada Lsm Indonesia Corruption WatchDalam Membongkar Informasi Tentang Korupsi“, Jurnal Ilmu Informasi, vol. 1 No. 2 (Agustus2006), h. 10-11, http://staff.ui.ac.id/system/files/users/laksmi/publication/penelitianlsm.doc.
18 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201519 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 2015
51
yang dilaporkan terdapat indikasi kasus korupsi. Mereka melakukan wawancara,
menggunakan media untuk mencari berita terkait dengan kasus korupsi yang
dilaporkan serta menggunakan audit dari BPK untuk semakin memperkuat
investigasi mereka.20
Selain investigasi korupsi, divisi ini juga memiliki fungsi untuk
mempublikasikan setiap hasil temuan kasus-kasus korupsi. Sehingga masyarakat
dapat mengetahui perkembangan kasus yang ditangani ICW. Di samping itu divisi
ini juga memiliki tugas untuk melakukan publikasi terhadap program-program dan
aktivitas ICW. Untuk mempublikasi hasil temuan kasus korupsi serta riset-riset
yang mereka lakukan, ICW menggunakan web mereka sendiri Antikorupsi.org
sebagai media publikasi. ICW juga menerbitkan buku-buku terkait dengan riset
mereka seperti riset kehutanan serta laporan tahunan. ICW juga menyebarkan hasil
investigasi korupsi mereka ke media massa Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
luas dapat mengetahui adanya kasus korupsi dan perkembangannya. Di samping itu
penyebaran informasi ke media juga dimaksudkan untuk menekan pihak-pihak
yang terkait kasus korupsi yang ditangani ICW.21
d. Divisi Korupsi Politik
Korupsi politik terjadi karena adanya persekongkolan antara kelompok
bisnis dan pemegang kekuasaan. ICW melihat cara untuk meminimalisir terjadinya
20 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Laporan Tahunan 2009”, h. 33.21 Laksmi dan Mohamad Aries, “Information Literacy Pada Lsm Indonesia Corruption Watch
Dalam Membongkar Informasi Tentang Korupsi“, h. 20-21.
52
korupsi adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi serta mendorong
rakyat untuk terlibat dalam setiap proses perumusan kebijakan.
Divisi korupsi ICW lahir untuk melakukan advokasi yang terkait dengan
isu-isu mengenai anggaran, korupsi di lingkungan parlemen dan pemerintahan
daerah. Divisi korupsi politik memiliki tugas utama untuk mendorong terciptanya
transparansi dan akuntabilitas di sektor politik. Di samping itu, divisi korupsi politik
juga melakukan studi dan terkait dengan patronase politik bisnis di tingkat lokal
hingga tingkat nasional. Ditambah lagi divisi korupsi politik juga melakukan
pemberdayaan dan pelatihan terhadap masyarakat untuk secara mandiri
membongkar korupsi. Pelatihan dilakukan dengan cara mengajarkan bagaimana
mengidentifikasi aktor yang melakukan korupsi, proyek ladang korupsi dengan
mark-up tertentu, dan sebagainya. Investigasi yang diajarkan adalah dengan
menerapkan konsep 5W dan 1H, yaitu what, why, when, where, who dan how, serta
pemanfaatan otoritas dan jaringan.22
e. Divisi Monitoring Pelayanan Publik.
Menurut ICW indikator keberhasilan pemberantasan korupsi adalah
membaiknya kualitas pelayanan publik. Divisi Monitoring Pelayanan Publik adalah
divisi yang dibentuk ICW untuk melakukan pengawasan di sektor pelayanan
publik. Divisi ini sengaja dibentuk untuk menjamin rakyat mendapatkan hak-
22 Laksmi dan Mohamad Aries, “Information Literacy Pada Lsm Indonesia Corruption WatchDalam Membongkar Informasi Tentang Korupsi“, h. 13.
53
haknya. Dalam beberapa tahun terakhir, Divisi monitoring pelayanan publik ICW
lebih berfokus melakukan pengawasan di sektor pendidikan, dan kesehatan. 23
Alasan divisi ini untuk lebih berfokus pada sektor-sektor tersebut
dikarenakan sektor tersebut terkait dengan hak dasar manusia, dan paling rawan
diselewengkan. Dalam sektor pendidikan, divisi ini memberikan penyadaran
terhadap guru-guru yang biasanya menjadi korban dari birokrasi sektor pendidikan
seperti diknas dan komite sekolah. Dalam sektor kesehatan, divisi monitoring
pelayanan publik ICW juga memberikan pelatihan yang serupa dengan guru, tetapi
dengan aktor yang berbeda seperti dokter, dan birokrasi rumah sakit.24
Dalam menjalankan fungsinya melakukan pengawasan terhadap pelayanan
sektor publik, Divisi ini turut melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan
publik untuk turut berpartisipasi. Masyarakat dapat melakukan pengawasan serta
memonitor kualitas pelayanan publik, di samping itu juga memonitoring sektor
publik untuk meminimalisir terjadinya penyelewengan dana. Dengan
berpartisipasinya masyarakat, diharapkan dapat terwujud keadilan sosial di bidang
pelayanan publik.25
f. Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran
Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran (MAA) merupakan divisi baru
yang didirikan ICW tahun 2013. Divisi MAA ICW memfokuskan diri mereka
23 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Laporan Tahunan 2009”, h. 33.24 Laksmi dan Mohamad Aries, “Information Literacy Pada Lsm Indonesia Corruption Watch
Dalam Membongkar Informasi Tentang Korupsi“, h. 12.25 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Manifesto Gerakan Anti Korupsi”, diakses pada 1 Mei
2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
55
terkait dengan isu-isu anggaran. Terlebih lagi, mengenai penerimaan negara di
sektor minyak, gas dan pertambangan serta di sektor pengadaan barang dan jasa.
Divisi MAA juga terlibat dalam advokasi dan penguatan jaringan
antikorupsi di tingkat lokal maupun nasional.26 Di samping itu, Divisi MAA juga
rutin melakukan monitoring dan advokasi terkait belanja negara dan subsidi energi.
Pemantauan terhadap sektor pertambangan, ICW juga mendorong terjadinya
renegosiasi kontrak sejumlah perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia
agar memberikan manfaat lebih banyak kepada negara.
Selama berkiprah dalam pemberantasan korupsi dan penguatan good
governance di Indonesia, ICW tidak mendirikan cabang di daerah. Semua kegiatan
ICW terpusat di Jakarta. Meskipun demikian ICW memiliki jaringan di 48 daerah
di seluruh Indonesia. Jaringan ICW berdiri secara independen tetapi ICW dapat
bekerja sama dengan mereka. Dari jaringan-jaringan ini ICW banyak menerima
laporan korupsi di daerah. Setidaknya ICW menerima 700 hingga 1000 laporan
kasus setiap tahunnya.27
C. Prestasi-prestasi ICW
Dalam perjuangan melawan korupsi, ICW telah menciptakan budaya baru
dalam penegakan good governance serta pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal
ini dilakukan ICW dengan merangkul seluruh elemen baik, masyarakat sipil,
kelompok mahasiswa, LSM, media, kepolisian, kejaksaan, KPK dan seluruh
26 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Laporan Tahunan 2013”, h. 48.27 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 2015
54
elemen yang bersedia untuk melawan korupsi. ICW juga membuktikan
keseriusannya dalam upaya penguatan masyarakat agar mereka ikut melawan
korupsi. Hal ini dilakukan ICW dengan melakukan pelatihan-pelatihan, kampanye,
sosialisasi bahaya korupsi lewat seminar-seminar dan diskusi. Semua ini dilakukan
ICW agar masyarakat memiliki alat dan bekal untuk melawan korupsi.28
Selama berkiprah dalam ranah anti korupsi, ICW telah berhasil
membongkar kasus-kasus korupsi besar yang merugikan negara hingga triliunan
rupiah, seperti kasus Jamsostek, korupsi di PT Garuda Indonesia, kasus Bank Bali,
korupsi di Setneg, SP3 kasus Texmaco, kroni Soeharto di Departemen Kehutanan
dan Perkebunan.29 Selain itu, setahun setelah didirikan ICW telah berhasil
membongkar skandal suap yang menjerat Jaksa Agung Andi M. Ghalib. 30
Di samping itu telah banyak kasus-kasus korupsi yang diungkap ICW dan
dilaporkan ke penegak hukum, beberapa di antaranya adalah kasus korupsi di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan korupsi pengelolaan
hutan yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. ICW berhasil
membongkar korupsi yang terjadi di lingkungan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam kasus ini ICW pertama kali menemukan
adanya penggelebungan harga dalam pengadaan modul untuk pelatihan guru
pengawas Kurikulum 2013. Dari hasil investigasi ICW, kasus korupsi ini
merugikan negara hingga Rp. 700 juta. Yang lebih mengkhawatirkan lagi laporan
28 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201529 Hamid Basyaib, dkk. Ed., Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia (Jakarta:
Aksara, 2002), h. 109.30 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, h. 696.
56
ICW hanya salah satu temuan yang terjadi Kemendikbud Malang yang melakukan
penggandaan untuk tiga provinsi. ICW meyakini bahwa mungkin terjadi kasus
korupsi dengan mengunakan modus serupa di daerah lain. 31
Di tahun 2011, ICW melaporkan adanya praktik korupsi pengelolaan hutan
di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ke KPK. Dugaan praktik korupsi ini
disinyalir berlangsung dari tahun 2004 hingga tahun 2009. Kasus korupsi ini
melibatkan 15 perusahaan, 7 perusahaan melakukan aktivitas korupsi di daerah
Kalimantan Barat, dan 8 di Kalimantan Tengah. Dalam kasus yang terjadi di
Kalimantan Tengah seorang Oknum pejabat berinisial DA memberikan izin untuk
melakukan perubahan alih fungsi hutan kepada 8 perusahaan yang dimiliki oleh
kerabatnya. Ditambah lagi DA juga memberikan izin untuk melakukan alih fungsi
hutan pada daerah-daerah yang tidak boleh dilakukan alih fungsi hutan. Dalam
praktik korupsi ini negara mengalami kerugian hingga Rp. 9,1 triliun.32
Sejak pertama kali berdiri hingga saat ini, ICW menjadi LSM anti korupsi
berdiri di garis depan dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Eksistensi
ICW dalam pemberantasan korupsi sejak tahun 1998 juga semakin diakui publik.
Di tahun pertama pembentukannya, ICW bergerak sendiri dalam membongkar
kasus-kasus korupsi. Organisasi anti korupsi masih belum banyak terdapat di
tengah masyarakat. Oleh sebab itu mereka memfokuskan area advokasinya untuk
membongkar kasus korupsi dan mempublikasikannya ke masyarakat. Hal ini
31 Okezone, “ICW Desak Korupsi Pengadaan Buku Kurikulum 2013 Diusut Tuntas”, Artikeldiakses pada 16 November 2014 dari http://news.okezone.com/read/2014/12/21/337/1082083/icw-desak-korupsi-pengadaan-buku-kurikulum-2013-diusut-tuntas
32 Viva, “ICW Laporkan Korupsi Hutan Rp. 9,1 triliun”, Artikel diakses pada 15 November2014 dari http://m.bola.viva.co.id/news/read/250279-icw-laporkan-korupsi-hutan-rp9-1-triliun
57
dimaksudkan agar pada nantinya, publik akan berani untuk melaporkan praktik
korupsi ke aparat penegak hukum. Usaha ICW ini dapat dikatakan berhasil,
masyarakat berani untuk melaporkan adanya dugaan kasus korupsi.33
Keberhasilan ICW dalam mengungkap kasus-kasus korupsi tidak
selamanya berjalan mulus. Sebagai LSM yang bersinggungan dengan daerah rawan
yaitu korupsi, banyak hambatan yang ditemui ICW selama menjalankan tugasnya.
Hambatan paling besar yang diterima ICW adalah suap dan ancaman. Suap yang
diterima dimaksudkan agar ICW menghentikan investigasi kasus korupsi. Untuk
menanggulangi permasalahan para pekerja ICW tidak diperbolehkan untuk bertemu
seseorang yang terkait kasus korupsi diluar kantor.34
Permasalahan pengkaderan juga menjadi penghambat ICW dalam
menjalankan program-programnya. ICW membutuhkan banyak orang yang
memiliki idealisme tinggi serta rela berjuang untuk kepentingan orang banyak.
Permasalahan ini nampaknya tidak begitu menjadi hambatan berarti bagi ICW
untuk terus aktif dalam ranah pemberantasan korupsi di Indonesia.35 Untuk
menanggulanginnya tahun 2013 lalu ICW mendirikan Sekolah Anti Korupsi yang
berlokasi di Jakarta dan Bandung.36 Dalam Sekolah Anti Korupsi ini para
pesertanya akan diberikan pengetahuan terkait dengan instrument anti korupsi dan
praktik korupsi di berbagai sektor. Para peserta akan dilatih untuk menggunakan
instrument anti korupsi dan dilatih keahlian khusus untuk melakukan kegiatan
33 Adnan Topo Husodo, “Kilas Balik 17 Tahun Melawan Korupsi”, diakses pada 28 Juni 2015dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
34 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201535 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201536 Republika, “ICW Gelar Sekolah Anti Korupsi”, Artikel diakses pada 15 Juli 2015 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/24/mowlcw-icw-gelar-sekolah-antikorupsi
58
pemberantasan korupsi, serta dilatih untuk mampu melakukan investigasi dan
advokasi pemberantasan korupsi.37
Pasca Orde Baru, ICW menjadi salah satu LSM yang berhasil dalam
menjalankan program-programnya. Kerja keras LSM ini dalam mengkampanyekan
perang terhadap korupsi dan penguatan good governance di Indonesia telah
mendapatkan pengakuan luas masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya
penghargaan yang mereka terima baik dari organisasi lokal maupun luar negeri.
Penghargaan tersebut telah menunjukan adanya bukti nyata dari ICW untuk
melakukan investigasi kasus korupsi dan mempublikasikannya ke masyarakat
luas.38 Beberapa penghargaan tersebut di antaranya: pada tahun 2009 ICW
mendapat penghargaan Civil Society 2009 untuk kategori hukum dan Majalah
Forum Keadilan. ICW dinilai telah berjasa dalam membangun budaya baru
demokrasi di Indonesia. Lembaga ini juga dinilai sebagai salah satu bagian
masyarakat yang berani dan konsisten dalam mengkampanyekan perang melawan
korupsi dengan gerakannya yang nyata baik melalui temuan praktik korupsi yang
langsung dilaporkan kepada instansi penegak hukum. Dan juga pengawasannya
yang tak pernah berhenti terhadap berbagai bentuk praktik korupsi.39
ICW juga menerima penghargaan yang diberikan oleh UII ke ICW atas
konsistensinya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu ICW
37 Republika, “ICW Gelar Sekolah Anti Korupsi”, Artikel diakses pada 15 Juli 2015 darihttp://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/24/mowlcw-icw-gelar-sekolah-antikorupsi
38 Laksmi dan Mohamad Aries, “Information Literacy Pada Lsm Indonesia Corruption WatchDalam Membongkar Informasi Tentang Korupsi“, h. 3.
39 Detik, “Denny J A dan ICW dianugerahi Civil Society Award 2009”, Artikel diakses pada 15Juli 2015 dari http://news.detik.com/berita/1181487/slank-denny-ja-dan-icw-dianugerahi-civil-society-award-2009
59
juga menerima penghargaan Soegeng Sarjadi Award on Good Governance tahun
2011 dalam kategori Lembaga Masyarakat Sipil. ICW dinobatkan menjadi salah
satu dari “11 Tokoh Pejuang Anti-Korupsi 2011” menurut Majalah Tempo. ICW
juga menerima Hari Pers Nasional Award (HPNA) 2011 dari Dewan Pers.
Penghargaan ini diberikan karena ICW dapat mampu bersinergi dan bekerjasama
dengan media dalam pemberantasan korupsi. ICW selalu melibatkan media dalam
kampanye, publikasi serta pembongkaran kasus-kasus korupsi. Kiprah ICW dalam
pemberantasan korupsi dan penegakan good governance juga terdengar hingga
dunia Internasional. Di tahun 2011 ICW menduduki posisi 27 untuk kategori
Transparency and Good Governance Think Tank berdasarkan survey “The Think
Tanks and Civil Societies Program” dari University of Pennsylvenia, Philadelphia,
USA. Survei ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan lembaga think tanks
terkemuka di dunia yang bergerak di bidang kebijakan publik.40
40 Indonesia Corruption Watch (ICW), “Laporan Tahunan 2011” (Jakarta, ICW: 2011), h. 34.
60
BAB IV
KORUPSI KEPALA DAERAH DAN PERAN ICW DALAM
MENGUNGKAP KORUPSI DANA HIBAH DAN BANSOS BANTEN
Praktik korupsi di Indonesia telah menjadi masalah serius. Hal ini terlihat
dari maraknya pemberitaan di media mengenai korupsi yang dilakukan oleh orang-
orang yang menduduki jabatan publik. Setiap tahun negara terus mengalami
kerugian akibat terus meningkatnya praktik korupsi. Ditambah lagi di masa
reformasi saat ini, praktik korupsi kini tidak lagi terpusat namun sudah menyebar
ke daerah sebagai ekses dari otonomi daerah. Otonomi daerah yang seharusnya
menjadi jalan bagi terwujudnya demokratisasi dan pembangunan yang merata di
semua daerah malah mendorong maraknya korupsi di daerah. Kebijakan otonomi
daerah memiliki tujuan untuk memberikan wewenang lebih bagi daerah untuk
mengatur pemerintahannya. Sebagai konsekuensinya elit lokal memiliki akses
besar terhadap sumber daya daerah yang rawan untuk dikorupsi dan diselewengkan.
Saat ini otonomi daerah dijadikan sebagai selubung oleh elit penguasa dan
kelompok bisnis untuk mengeruk kekayaan daerah secara besar-besaran. Ditambah
lagi lembaga legislatif di tingkat daerah tidak menjalankan fungsinya secara efektif
dalam mengawasi eksekutif. Hal ini dikarenakan banyak anggota DPRD yang
didalamnya merupakan orang terdekat atau terafilasi dengan kepala daerah.
Korupsi adalah kegiatan penyalahgunaan jabatan serta kekuasaan
administrasi dalam ekonomi dan politik, baik yang dilakukan oleh diri sendiri
ataupun orang lain, yang ditujukan memperoleh keuntungan pribadi, sehingga
61
menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan, atau pribadi lainnya.1
Suatu tindakan disebut korupsi apabila telah terpenuhinya tiga hal penting, yaitu
adanya seseorang yang memiliki kekuasaan atau menduduki jabatan publik
sehingga mampu menyusun kebijakan publik tertentu; adanya keuntungan ekonomi
yang dapat diraih sebagai ekses dari kebijakan publik yang disusun tersebut; dan
adanya sistem yang memungkinkan terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik
yang bersangkutan.2
Sejak berakhirnya rezim Orde Baru, Indonesia terus menduduki peringkat
tertinggi dalam hal korupsi. Laporan tahunan yang dikeluarkan Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa
Indonesia merupakan negara dengan peringkat korupsi paling tinggi di Asia Pasifik.
Di tahun 2010 Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat paling korup dari 16
negara di Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi bagi para pelaku bisnis. Di
Asia, negara yang dinyatakan cukup bersih dari korupsi adalah: Vietnam, Filipina,
Thailand, India, China, Taiwan, Korea, Macau, Malaysia, Jepang, Amerika Serikat,
Hongkong, dan Australia.3
Selain PERC, organisasi lain seperti Transparansi Internasional juga
mengeluarkan survey terkait dengan tingkat korupsi negara-negara dunia. Dalam
1 Toni Adrianus Pito, Efriza, Kemal Fasyah, Mengenal Teori-Teori Politik: Dari Sistem PolitikSampai Korupsi (Bandung: Nuansa Cendika, 2013), h. 405.
2 Wijayanto, Ridwan Zachrie, ed, Korupsi Mengorupsi Indonesia: sebab, akibat dan prospekpemberantasan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 6
3 Sukron Kamil, ed., Korupsi dan Integritas Dalam Ragam Prespektif (Jakarta: PSIA UINJakarta), h. 5.
62
survey terbarunya yang dilakukan di 175 negara pada Desember 2014 lalu
Indonesia menduduki peringkat rendah yaitu 107 dalam permasalahan korupsi.4
Jauh sebelum maraknya praktik korupsi, Wakil Presiden pertama Indonesia
Muhammad Hatta telah memberikan pendapatnya terkait dengan korupsi yang
terjadi di Indonesia. Pada tahun 1970, Muhammad Hatta menyatakan bahwa praktik
korupsi di Indonesia telah membudaya. Kata membudaya memberikan pemahaman
bahwa korupsi telah menjadi sesuatu yang dianggap sebagai sebuah kewajaran
dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi suatu bangsa.5 Pernyataan Muhammad
Hatta ini telah mengisyaratkan bahwa Indonesia memiliki reputasi sebagai Negara
dengan tingkat korupsinya yang tinggi. Jauh sebelum lembaga anti korupsi
Internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di Asia.
Praktik korupsi di Indonesia telah berlangsung jauh sebelum Indonesia
merdeka. Bukti yang menunjukan bahwa praktik korupsi telah berlangsung di
Indonesia sejak masa penjajahan adalah adanya tradisi memberikan upeti atau
persembahan yang dilakukan oleh masyarakat kepada penguasa setempat.6
Kebiasaan memberikan upeti ini yang kemudian menjadi awal dari berkembangnya
praktik suap dan korupsi lainnya.7
Runtuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa perubahan
besar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Wacana tentang tata kelola pemerintahan
4 Transparansi Internasional Indonesia “Corruption Perception Index.” Artikel diakses pada 2Agustus 2015 dari: http://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corruption-perceptions-index-2014
5 Wijayanto, Ridwan Zachrie, ed,. Korupsi Mengorupsi Indonesia, h. 418.6 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, h. 196.7 Wijayanto, Ridwan Zachrie, ed,. Korupsi Mengorupsi Indonesia, h. 418.
63
yang baik (good governance) menjadi isu hangat yang muncul di tengah-tengah
masyarakat. Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang berlangsung selama
masa Orde Baru dituding menjadi biang keladi dari anjloknya perekonomian
Indonesia di tahun 1997.8 Masyarakat yang telah lama gerah dengan praktik korupsi
yang dilakukan Soeharto dan kroninya ingin agar pemerintahan Soeharto
digantikan dengan pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas korupsi.
Dalam upaya menciptakan Indonesia yang transparan, bersih dan bebas
korupsi pemerintah Indonesia telah menunjukkan bukti nyata dengan membentuk
lembaga-lembaga hukum yang memiliki tugas pemberantasan praktik korupsi
seperti Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK). Di samping itu hadirnya elemen
masyarakat sipil seperti LSM yang bergerak dalam advokasi anti korupsi turut
mengambil bagian penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Meskipun Indonesia telah memiliki lembaga penegak hukum yang secara
khusus menangani korupsi, praktik korupsi pasca Orde Baru tidak mengalami
penyusutan. Tetapi semakin menyebar dengan berbagai modus baru yang lebih
hebat daripada yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto. Hal ini menjadi sesuatu
yang mencengangkan karena korupsi semakin marak terjadi di alam demokrasi
yang bebas seperti sekarang ini.9
Di masa reformasi terjadi perubahan dalam aktor-aktor yang terlibat dalam
praktik korupsi. Di era pemerintahan Orde Baru praktik korupsi dilakukan oleh
8 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, h. 82.9 Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan Korupsi
dalam Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2002), h. xx.
64
keluarga Soeharto dan kolega-koleganya. Dalam praktik korupsi yang dilakukan
keluarga dan koleganya, Soeharto mengkoordinir praktik korupsi serta pembagian
“lahan korupsi”. Hampir semua proyek-proyek besar, sumber daya ekonomi vital
negara dan fasilitas-fasilitas bisnis penting lainnya dikuasai oleh keluarga Soeharto
dan kroninya. Badan-Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan, dan Dinas Perpajakan dijadikan sebagai lahan
bagi praktik korupsi.10
Praktik korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan istana di
masa Orde Baru dapat berjalan begitu mulus dengan dukungan penuh oleh
kelompok konglomerat serta tentara. Selama berkuasa Soeharto berhasil
memusatkan kekuasaan politik dan ekonomi di bawah genggamannya yang
berimbas pada tidak berjalannya mekanisme check and balances oleh parlemen dan
masyarakat. Sementara itu, kontrol dari masyarakat tidak berjalan efektif karena
kekuatan masyarakat sipil sebagai motor penggerak ditekan oleh rezim. Pers yang
terlalu mengkritisi pemerintahan pada saat itu juga diberedel oleh rezim penguasa.11
Di era demokratisasi sekarang ini korupsi tumbuh semakin subur. Korupsi
yang awalnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang berada di lingkungan
eksekutif di tingkat pusat, sekarang juga terjadi di lembaga legislatif. Ditambah lagi
permasalahan korupsi juga telah merambah hingga ke dalam ranah lembaga
peradilan. Korupsi di daerah juga semakin subur, dikarenakan adanya kebijakan
10 Tarmizi Taher, “Jihad NU-Muhammadiyah Memerangi Korupsi” dalam HCB Dharmawandan Al Soni, ed., Jihad Melawan Korupsi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 109.
11 Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan Korupsidalam Pemerintahan Daerah, h. xxi.
65
otonomi daerah dan desentralisasi. Melalui kebijakan otonomi daerah pemerintah
daerah memiliki wewenang yang lebih besar dalam mengatur sumber daya daerah
terutama sumber daya ekonomi. Hal ini yang kemudian berimplikasi pada semakin
terbukanya peluang melakukan praktik korupsi.12
A. Korupsi Kepala Daerah dalam Pandangan Indonesia Corruption
Watch
Pasca bergulirnya otonomi daerah, telah banyak kepala daerah baik di
tingkat provinsi, kabupaten atau kota, hingga anggota DPRD yang tertangkap
karena masalah korupsi. Dalam laporannya, ICW memaparkan bahwa sejak Januari
2001 hingga Juni 2010, telah terjadi 176 kasus korupsi di tingkat pusat hingga
daerah dengan 411 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dari korupsi tersebut negara
berpotensi merugi hingga Rp. 2 triliun. Berarti setiap bulan setidaknya ditemukan
30 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp. 350 miliar.13
Pernyataan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengenai
korupsi di daerah tidak kalah mengejutkan. Dia menyebutkan bahwa 155 orang
bupati dan walikota telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, ditambah lagi ada
17 gubernur juga yang dipenjarakan karena permasalahan korupsi. Bahkan hampir
setiap minggu Gamawan Fauzi menerima surat permintaan izin pemeriksaan
terhadap kepala daerah dan surat penonaktifan sementara kepala daerah. Hal ini
12 Taufik Rinaldi, dkk., Memerangi korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi, h. 2.13 “Otonomi Daerah: Ketika Korupsi Menjadi “Gangren””, Kompas, 10 Maret 2011, h. 44.
66
berbanding terbalik dengan masa Orde Baru. Selama 30 tahun Soeharto berkuasa,
hampir tidak ada pejabat daerah yang dijadikan tersangka korupsi.14
Menurut ICW, otonomi daerah tidak dapat dijadikan kambing hitam akibat
maraknya korupsi yang berlangsung di daerah kini. Kebijakan otonomi daerah
memiliki cita-cita mulia untuk menggeser lokus kekuasaan ke daerah-daerah agar
tidak terjadi lagi sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat, distribusi kesejahteraan
dan pembangunan di daerah-daerah dapat berjalan dengan lancar serta daerah dapat
menjadi otonom dan besar dengan kewenangannya sendiri. Namun cita-cita
otonomi daerah ini melenceng dari tujuan awalnya, pada praktiknya elit-elit
penguasa yang seharusnya memajukan daerah malah menyalahgunakan
wewenangnya tersebut. Melalui wewenang yang dimiliki mereka membajak
sumber daya daerahnya untuk kepentingan politik dan bisnis golongannya.15
Dengan maraknya korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, tentu daerah
mengalami dampaknya secara langsung. Seperti distribusi pembangunan menjadi
tidak merata. Uang yang seharusnya digunakan dalam urusan pembangunan di
daerah-daerah menjadi hilang akibat dikorupsi. Selanjutnya tingkat kemiskinan
semakin tinggi, rakyat miskin yang seharusnya menerima bantuan sosial, ataupun
bantuan modal menjadi tidak diterima ketika dana bantuan tersebut dipotong atau
tidak diberikan sama sekali. Yang terakhir adalah pembangunan terhambat.
Dampak korupsi di daerah terlihat dengan jelas. Contohnya adalah kasus
14 “Otonomi: “Desentralisasi” Korupsi Sampai ke Daerah”, Kompas, 10 Maret 2011, h. 39.15 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September
2015
67
Hambalang. Pembangunan sarana olahraga tersebut berhenti total karena uang yang
seharusnya dipergunakan untuk membangun malah dikorupsi.
Otonomi daerah dan desentralisasi tidak sepenuhnya dapat disalahkan.
Namun desentralisasi memunculkan modus operandi yang semakin bervariatif bagi
korupsi di tingkat lokal.16 Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi hanya
menjadi pemicu dari maraknya korupsi di tingkat lokal. ICW melihat bahwa faktor
utama yang mendorong permasalahan korupsi di daerah adalah tata kelola
pemerintahan dan politik yang buruk. Hal ini dikarenakan pemilu yang berlangsung
di daerah telah dibajak oleh sekelompok elit yang hanya mementingkan golongan
dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya17
ICW menilai bahwa tata kelola pemerintahan yang buruk ini juga tidak
dapat dilepaskan dari kualitas pemilu yang buruk. Menurut ICW Pemilu di
Indonesia hanya berlangsung secara prosedural tetapi tidak secara substansial.
Pemilu terutama pilkada seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat untuk
menentukan pemimpin yang dianggap lebih jujur, amanah dan akuntabel. Dengan
mekanisme pemilihan secara langsung ini diharapkan kepala daerah yang terpilih
akan lebih amanah dan memihak kepentingan masyarakat sehingga pelayanan
publik dapat diselenggarakan secara lebih baik. Namun dalam penyelenggaraannya
16 Taufik Rinaldi, dkk., Memerangi korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi, h. 2.17 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September
2015
68
terjadi banyak penyimpangan yang mengakibatkan esensi dari pemilu untuk
memilih wakil rakyat yang memiliki kualitas dan akuntabel menjadi hilang.18
ICW berpendapat bahwa esensi dari pemilu di daerah menjadi hilang
dikarenakan tiga hal. Pertama, pemilih yang cenderung pragmatis. Rendahnya
pendidikan politik serta ketidaktahuan atas calon kepala daerah yang akan
bertarung di pilkada menjadikan suara rakyat mudah terbeli. Dengan permainan
politik uang, kemudian masyarakat dengan mudah memberikan suara mereka.
Kedua, penyelenggara pemilu yang bermasalah. Ketika masyarakat memiliki
pendidikan politik yang baik serta memahami calon kepala daerah yang bertarung
dalam pemilu beserta visi dan misinya, terjadi permasalahan lain yaitu
penyelenggara pemilu yang bermasalah. Suara pemilih dimanipulasi, yang
seharusnya kepada orang tertentu malah dialihkan pada orang yang berusaha
mereka menangkan. Ketiga, adalah lembaga pengadil yang bermasalah. Contohnya
adalah kasus Akil Mochtar sebagai ketua MK banyak melakukan pemenangan-
pemenangan yang tidak sesuai dengan hasil yang terjadi ketika pilkada, seperti
permasalahan kasus suap pilkada Lebak, Banten.19
Di samping permasalahan tata kelola pemerintahan yang buruk, serta
keserakahan para pejabat daerah maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah
juga tidak dapat dilepaskan dari mahalnya biaya pilkada. Praktik korupsi yang
banyak berlangsung di Indonesia erat kaitannya dengan hubungan patronase antara
18 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September2015
19 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September2015
69
pemegang jabatan publik dengan orang-orang yang memiliki kekuatan di sektor
bisnis. Pemegang jabatan publik digambarkan sebagai patron dan kelompok bisnis
diibaratkan sebagai klien, dimana patron akan terus melindungi kepentingan
kliennya selama klien terus mendukung patronnya terutama dalam segi finansial.20
Pilkada saat ini tidak jarang dijadikan ajang transaksional antara calon
kepala daerah, kelompok bisnis dan masyarakat sebagai pemilih. ICW melihat
bahwa dengan dana yang banyak para calon kepala daerah menggunakan cara-cara
kotor seperti money politic untuk membeli suara rakyat. Mereka dengan sadar
memanfaatkan kemiskinan masyarakat dan pemikiran pemilih yang cenderung
pragmatis. Dengan menggelontorkan uang yang besar mereka berharap dapat
dengan mudah memenangkan pilkada tanpa harus turun langsung melakukan kerja
politik dan sosial merebut simpati masyarakat.21
Dana yang dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah tidak hanya
berasal dari kantong pribadi, banyak kepala daerah yang mendapatkan bantuan dana
dari kelompok-kelompok bisnis dan pengusaha. Dalam urusan pilkada, seorang
calon harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Contohnya, untuk menjadi calon
bupati diperlukan dana minimal Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar,
dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar.22 Hal ini tidak sebanding dengan
20 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, h. 198.21 Tribunnews,” Sejak Otonomi Daerah 70 persen keala dan wakil kepala daerah tersangkut
korupsi”, Artikel diakses pada 1 Oktober 2015 darihttp://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/25/sejak-otonomi-daerah-70-persen-kepala-dan-wakil-kepala-daerah-terjerat-korupsi
22 Kompas, “ Kenapa Kepala Daerah Tersangkut Korupsi”, Artikel diakses pada 1 Oktober 2015darihttp://nasional.kompas.com/read/2011/01/24/0835256/Kenapa.Kepala.Daerah.Tersangkut.Korupsi
70
kecilnya gaji yang didapat sebagai gubernur yaitu sekitar Rp. 8,7 juta per bulan, dan
Rp. 5,8 juta per bulan untuk walikota dan bupati.23
Besarnya dana yang harus dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah ini
yang kemudian mendorong banyak kelompok bisnis mendatangi mereka dengan
menawarkan sejumlah dana dalam rangka dukungan pemenangan pilkada. Tawaran
ini tidak datang secara cuma-cuma. Nantinya, ketika calon yang mereka dukung
menang akan dimintai beberapa kemudahan dalam urusan bisnisnya, seperti
pengalokasian proyek ataupun kemudahan izin dalam kepengurusan lahan.24
ICW juga menilai banyaknya kelompok bisnis yang bersedia memberikan
sumbangan ke calon kepala daerah dikarenakan mereka sangat menyadari bahwa
kepala daerah memiliki peran penting dalam setiap perumusan kebijakan serta
undang-undang di suatu daerah. Dengan bantuan yang mereka keluarkan selama
masa kampanye calon kepala daerah, mereka berharap dapat “menyetir” segala
kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah yang mereka bantu.25
Lebih lanjut mengenai korupsi yang dilakukan kepala daerah dan kelompok
swasta yang sebelumnya mendukungnya, ICW melihat bahwa setiap kepala daerah
memiliki modus korupsinya yang berbeda-beda, yaitu daerah yang kaya akan
sumber daya alam dan minim sumber daya alam. Daerah yang kaya sumber daya
alamnya, kepala daerah ataupun pejabat terkait akan cenderung banyak melakukan
23 Viva, “Ini Besaran Penghasilan Gubernur dan Bupati”, Artikel diakses pada 1 Oktober 2015dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/392123-ini-besaran-penghasilan-gubernur-dan-bupati
24 “Otonomi Daerah: Desentralisasi Korupsi?”, Kompas, 8 Oktober 2010, h. 48.25 Antaranews, “ICW: Pendanaan Kompetisi Politik dari Sumber Daya Alam”, Artikel diakses
pada 1 Oktober 2015 dari http://www.antarasumbar.com/berita/102609/icw--pendanaan-kompetisi-politik-dari-sumbar-daya-alam.html
71
korupsi pada sektor-sektor perizinan pengelolaan sumber daya alam, seperti izin
tambang, izin perkebunan ataupun izin alih fungsi hutan. Sedangkan pada daerah-
daerah yang minim sumber daya alamnya, korupsi banyak dilakukan pada sektor-
sektor yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Selain itu juga korupsi
juga terjadi pada sektor-sektor yang berkaitan dengan perizinan usaha.26
Mengenai korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, korupsi terkait
pemberian izin lahan yang dikeluarkan oleh kepala daerah bagi kelompok bisnis
dapat bernilai miliaran rupiah. Contohnya adalah kasus-kasus yang menjerat Bupati
Buol Amran Batalipu, Bupati Bogor Rachmat Yasin, dan Gubernur Riau Annas
Maamun. Uang yang diterima oleh kepala daerah dalam kasus Rachmat Yasin
mencapai Rp 5 miliar, kasus Amran mencapai Rp 3 miliar, dan kasus Annas sebesar
Rp 2 miliar. Pada daerah yang kaya akan hasil sumber daya alam, kepala daerahnya
dapat mengeluarkan puluhan hingga ratusan izin.27
Saat ini ICW memandang bahwa potensi korupsi di daerah semakin
meningkat karena munculnya dana desa. Praktik korupsi yang sebelumnya
tersentral di pusat dan turun ke tingkat provinsi serta kabupaten dan kota pasca
desentralisasi, dengan munculnya dana desa ini praktik korupsi semakin turun ke
26 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September2015
27 Tribunnews,” Sejak Otonomi Daerah 70 persen keala dan wakil kepala daerah tersangkutkorupsi”, Artikel diakses pada 1 Oktober 2015 darihttp://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/25/sejak-otonomi-daerah-70-persen-kepala-dan-wakil-kepala-daerah-terjerat-korupsi
72
tingkat makin rendah. Dan berdampak pada semakin banyak koruptor-koruptor
baru yang akan bermunculan.28
Penerapan otonomi daerah dengan asas desentralisasi sesungguhnya
bertujuan untuk memberikan wewenang lebih pada daerah untuk mengatur
daeranya dengan segala sumber daya daerah secara madiri; serta mengurangi
sentralisasi kekuasaan pusat. Kekuasaan yang sentralistik akan cenderung korup,
seperti yang terjadi di masa Orde Baru. Namun pada implementasinya penerepan
otonomi daerah dengan asas desentralisasi malah menjadikan korupsi ikut
terdesentralisasi ke daerah-daerah.
B. Tertangkapnya Atut dan Korupsi Hibah Bantuan Sosial Banten 2011
Setelah hampir dua periode menjabat sebagai Gubernur, pada 28 Juli 2015
Ratu Atut Chosiyah telah resmi dinonaktifkan dari posisinya sebagai Gubernur
Banten.29 Perihal pemberhentian tersebut terkait dengan ditahannya Ratu Atut
karena masalah suap yang dilakukan oleh adiknya Tubagus Chaeri Wardana
(wawan). Selain menyeret Atut, suap yang dilakukan Wawan juga menyeret mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar sebagai penerima suap.30
28 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September2015
29 Kompas, “Atut Resmi Diberhentikan sebagai Gubernur Banten”, Artikel diakses pada 14Agustus 2015 darihttp://nasional.kompas.com/read/2015/07/29/02010051/Atut.Resmi.Diberhentikan.sebagai.Gubernur.Banten
30 Solopos, “Kasus Akil Mochtar: Wawan Akui Beri Uang ke Akil”, Artikel diakses pada 14Agustus 2015 dari http://www.solopos.com/2013/10/11/kasus-akil-mochtar-wawan-akui-beri-uang-ke-akil-455509
73
Penetapan Ratu Atut sebagai tersangka dapat memberi jalan untuk menjerat
Gubernur Banten ini dengan hukuman yang lebih berat. Setidaknya terdapat seribu
laporan korupsi dari masyarakat yang melibatkan Ratu Atut dan Keluarganya.31
Salah satu tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Ratu Atut adalah
korupsi dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Provinsi Banten tahun 2011.
Sebelum terjerat kasus suap pilkada Lebak, pada September 2011 lalu ICW
telah melaporkan Ratu Atut terkait dengan korupsi dana hibah dan bantuan sosial
(bansos) Provinsi Banten tahun 2011 ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam
laporannya tersebut, ICW mencatat bahwa telah terjadi peningkatan yang fantastis
dalam pengalokasian dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Provinsi Banten
dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2009 pemerintah daerah Provinsi Banten
mengalokasikan Rp. 74 miliar untuk dana hibah dan bansos. Di tahun 2010 dana
hibah dan bansos Provinsi Banten mengalami peningkatan yang besar yaitu sebesar
Rp. 291 miliar. Di tahun 2011 dana hibah dan bansos Provinsi Banten terus
mengalami peningkatan menjadi Rp. 391 miliar.32
Tabel 1.1 Dana Hibah dan Bansos Provinsi Banten
Tahun Dana Hibah Dana Bantuan Sosial2009 14.000.000.000 60.000.000.000
2010 239.270.064.940 51.428.250.0002011 340.463.000.000 51.000.000.000
31 Okezone, “Ada 1000 Laporan Korupsi yang Melibatkan Keluarga Atut “,Artikel diakses pada16 Agustus 2015 dari http://news.okezone.com/read/2013/12/17/339/913731/ada-1-000-laporan-korupsi-yang-melibatkan-keluarga-atut
32 ICW, “Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun2011”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
74
Dana hibah dan bantuan sosial ini rencananya akan diperuntukan membantu
menjalankan program-program sosial di Provinsi Banten. Pemerintah Daerah
Provinsi Banten mengalokasikan dana sebesar Rp. 340 miliar untuk 221 lembaga
dan organisasi di lingkungan Provinsi Banten. Sedangkan dana bantuan sosial
sebesar Rp. 51 miliar disebar ke 160 organisasi.33
Dari anggaran hibah dan bantuan sosial Provinsi Banten tahun 2011 ini
muncul berbagai macam masalah di dalamnya. Seperti tidak transparannya
penyaluran dana ke lembaga-lembaga mana saja yang mendapatkan dana hibah dan
bansos tersebut. Dari hasil investigasinya, ICW mencatat bahwa banyak dana hibah
dan bansos Provinsi Banten tahun 2011 ini yang mengalir ke organisasi atau
instansi yang tidak jelas alamat ataupun penerimanya. Ada dugaan bahwa orang-
orang yang menerima dana tersebut memiliki afiliasi dengan keluarga Gubernur
Banten. Anggota DPRD Banten pun mengalami kesulitan dalam menemukan lokasi
lembaga-lembaga yang menerima bantuan dana tersebut karena banyak lembaga
yang menerima dana hibah dan bansos tidak dikenal oleh masyarakat.34
Hal ini yang kemudian mendorong ICW melakukan investigasi secara lebih
mendalam. Investigasi tersebut menemukan bahwa sebanyak Rp. 29,1 miliar dana
hibah dan bansos masuk ke lembaga-lembaga yang dipimpin oleh suami, kakak,
anak, menantu, hingga ipar Atut.35 Dana hibah dan bantuan sosial daerah ini
33 “Dana Bantuan Sosial: ICW Laporkan Dugaan Penyimpangan di Banten”, Kompas, 25Agustus 2011, h. 8.
34 ICW, “Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun2011”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
35 “Dana Bantuan Sosial: ICW Laporkan Dugaan Penyimpangan di Banten”, Kompas, 25Agustus 2011, h. 8.
75
rencananya akan dimanfaatkan oleh Gubernur ataupun kroni-kroninya yang
mencalonkan diri sebagai modal kampanye dalam pilkada.
Menurut investigasi yang dilakukan ICW, ditemukan adanya lima
penyelewengan dalam program dana hibah dan bantuan sosial Provinsi Banten
2011, yaitu:
a. Dana yang diterima tidak utuh
Berdasarkan hasil penyelidikan ICW ditemukan bahwa dana yang
diterima oleh lembaga tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Provinsi Banten.
Terdapat pemotongan secara besar-besaran terhadap dana yang diterima oleh
lembaga dengan nama dan alamat penerima yang jelas.
Sebagai contoh adalah Lembaga kajian sosial dan politik (Laksospol)
Kabupaten Pandeglang. Dalam daftar yang telah dikeluarkan oleh DPKAD,
lembaga tersebut seharusnya memperoleh dana bantuan sebesar Rp. 500 juta,
tetapi nyatanya dalam surat pernyataan yang dikeluarkan ketua Lembaga
kajian sosial dan politik (Laksospol) Ayie Erlangga, mereka hanya menerima
dana bantuan sebesar Rp. 35 juta.36
b. Sebagian besar penerima dana bansos tidak jelas
Di tahun 2011 pemerintah daerah Provinsi Banten mengalokasikan
dana bantuan sosial sebesar Rp. 51 miliar. Dana bantuan sosial ini
36 ICW, “Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun2011”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
76
rencananya akan disalurkan kepada 160 lembaga penerima. Namun dari total
160 lembaga yang seharusnya menerima dana bantuan sosial tersebut,
pemerintah daerah Provinsi Banten hanya mencantumkan 30 lembaga atau
organisasi, tanpa disertai dengan alamat yang jelas. Sedangkan 130 lembaga
lainnya hanya dicantumkan“bantuan sosial daftar terlampir.”37
c. Lembaga penerima dana fiktif
Temuan lain dari hasil investigasi ICW adalah bahwa terhadap
lembaga-lembaga penerima dana bantuan hibah dan bantuan sosial,
setidaknya terdapat sepuluh lembaga penerima dana hibah yang tidak jelas
keberadaan lembaganya dengan alokasi anggaran mencapai Rp. 4,5 miliar,
dan tersebar di seluruh Provinsi Banten. 38 Contohnya adalah salah satu
lembaga yang mendapatkan anggaran hibah adalah Lembaga Kajian dan
Publik dan Otonomi Daerah (LKPOD) yang berlokasi di Cikupa,
Tanggerang. Lembaga ini mendapatkan dana bantuan sebesar Rp. 350 Juta.
Namun setelah dilakukan pengecekan, ICW tidak menemukan keberadaan
lembaga tersebut. Bahkan Kepala Desa tidak memiliki arsip terkait yang
dapat menerangkan keberadaan lembaga tersebut.39
Penyaluran bantuan juga bertentangan dengan persyaratan yang telah
ditetapkan. Syarat lembaga yang dapat menerima bantuan dana hibah harus
37 ICW, “Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun2011”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
38 “Bansos Terkait Pilkada: Banyak Dana ke Lembaga Pimpinan Keluarga Gubernur Banten”,Kompas, 10 Maret 2011, h. 39.
39 Viva, “Kejanggalan Dana Hibah Dinasti Atut”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 darihttp://m.bola.viva.co.id/news/read/450777-kejanggalan-dana-hibah--dinasti--atut--dari-fiktif-sampai-alamat-palsu
77
memiliki strukttur kepengurusan yang jelas, memiliki tempat kesekertariatan
yang tetap, telah berdiri minimal selama 3 tahun dan terdaftar dalam
pemerintah daerah, serta keberadaannya diketahui kepala desa/lurah atau
camat setempat.40 Sedangkan Lembaga Kajian dan Publik dan Otonomi
Daerah (LKPOD) tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
d. Lembaga penerimah anggaran memiliki alamat yang sama
Selain ketidak jelasan lembaga penerima serta tidak jelasnya alamat
lembaga penerima dana bantuan hibah, terdapat modus lain yang ditemukan
ICW dalam penyelewengan anggaran hibah dan bansos Provinisi Banten
tahun 2011. Menurut temuan ICW, terdapat beberapa lembaga penerima
dana bantuan yang memiliki alamat yang sama. Dalam laporannya, ICW
menyebutkan bahwa terdapat delapan lembaga yang memiliki alamat yang
sama di Jl. Brigjen KH Syam’un No.5 Kota Serang dan empat lembaga
lainnya juga beralamat sama yaitu di Jl. Syekh Nawawi Albantani Palima
Serang. 41
Total alokasi anggaran yang diterima dua belas lembaga tersebut
mencapai Rp. 28,9 miliar. Masing-masing delapan lembaga yang beralamat
sama di Jl. Brigjen KH Syam’un No.5 Kota Serang mendapatkan anggaran
sebesar Rp. 22,5 miliar dan empat lembaga lainnya yang juga beralamat
sama di Jalan Syekh Nawawi Albantani Palima Serang sebesar Rp. 6,4
40 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
41 ICW, “Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun2011”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
78
miliar. Yang lebih mengejutkan adalah tidak adanya satupun lembaga yang
beralamat di jalan tersebut. Jalan Brigjen KH Syam’un No.5 Kota Serang
adalah alamat Gedung Pendopo Gubernur Banten. Dan gedung yang
beralamat di Jalan Syekh Nawawi Albantani Palima Serang adalah kawasan
kantor pusat Pemerintahan Provinsi Banten.42
e. Aliran dana ke lembaga yang dipimipin oleh keluarga Gubernur
Dana hibah dan bansos Provinsi Banten tahun 2011 juga banyak
mengalir ke lembaga-lembaga yang dipimpin oleh keluarga Atut. Total dana
yang diterima oleh lembaga-lembaga yang dipimipin ataupun terafiliasi
dengan keluarga Gubernur ini diperkirakan mencapai Rp. 29,5 miliar.
Berikut adalah rinciannya:43
1. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Banten dengan
ketua Aden Abdul Khalik (adik tiri-ipar Atut) sebesar Rp. 1,85
miliar.
2. Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Banten, dengan ketua Andhika
Hazrumy (anak Atut) sebesar Rp. 1,75 miliar.
3. Palang Merah Indonesia (PMI) Banten, ketuanya adalah Ratu Tatu
Chasanah (adik Atut) Rp. 900 juta.
42 Viva, “Kejanggalan Dana Hibah Dinasti Atut”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 darihttp://m.bola.viva.co.id/news/read/450777-kejanggalan-dana-hibah--dinasti--atut--dari-fiktif-sampai-alamat-palsu
43 Viva, “Kejanggalan Dana Hibah Dinasti Atut”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 darihttp://m.bola.viva.co.id/news/read/450777-kejanggalan-dana-hibah--dinasti--atut--dari-fiktif-sampai-alamat-palsu
79
4. Pimpinan Wilayah GP Ansor yang bendaharanya adalah Andhika
Hazrumy sebesar Rp. 550 juta.
5. Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (HIMPAUDI)
Banten, ketuanya yaitu Ade Rossi (menantu Atut) sebesar Rp. 3,5
miliar.
6. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A) Banten, ketuanya Ade Rossi sebesar Rp. 1,5 miliar.
7. Dewan Kerajinan Nasional, ketuanya Hitmat Tomet (suami Atut)
Rp. 750 juta.
8. Gerakan Kewirausahaan Keluarga Sejahtera (GWKS), ketuanya
Ratu Tatu Chasanah sebesar Rp. 700 juta.
9. Karang Taruna, ketuanya Andhika Hazrumy sebesar Rp. 1,5 miliar.
10. Dekopinwil, ketuanya Ratu Tatu Chasanah sebesar Rp. 200 juta.
11. Forum Paguyuban Banten Bersatu, ketua Ratu Tatu Chasanah Rp.
500 juta.
12. IMI Banten, ketua Tubagus Haerul Jaman (adik Atut) sebesar Rp.
200 juta.
13. Koalisi Politisi Perempuan Indonesia, ketua Ratu Tatu Chasanah Rp.
200 juta.
14. Gerakan Pemuda Ansor Kota Tangsel, ketua Tanto (menantu Atut)
Rp. 400 juta.
Tidak cukup dengan menduduki posisi strategis dalam beberapa organisasi
sosial, banyak dari keluarga Gubernur yang juga ikut terjun dalam dunia politik.
80
Seperti mencalonkan diri sebagai anggota DPRD ataupun menjabat sebagai wakil
walikota hingga wakil bupati. Hal ini dilakukan untuk memperkuat basis dukungan
masyarakat serta melanggengkan kekuasaan keluarga di Banten.
Pada dasarnya ICW tidak terlalu mempermasalahkan praktik oligarki yang
berlangsung di Banten, selama elit-elit yang berkuasa mampu menjalankan amanah
yang telah diberikan oleh rakyat. Namun ironisnya praktik oligarki di Banten ini
malah menyengsarakan masyarakat Banten dengan menggunakan praktik-praktik
yang bertentangan dengan nilai-nilai akuntabilitas publik dan pemerintahan yang
baik (Good Governance). Atut dan keluarganya pasti memiliki kepentingan tertentu
hingga membentuk dinasti politik yang kuat di Banten. Sejalan dengan yang
diungkapkan ICW, Atut membangun dinastinya di Banten agar dengan mudah
mengakses sumber-sumber kekayaan daerah.44 Pemerintahan daerah yang
berlangsung di Banten pun menjadi serba tertutup dan tidak transparan.
Menurut LSM anti-korupsi Masyarakat Transparansi (MATA) Banten,
kuatnya politik dinasti keluarga Atut ini mengakibatkan pemerintahan bertindak
sewenang-wenang. Gubernur dapat menentukan kebijakan anggaran,
pengalokasian proyek, bahkan pergantian jabatan demi keuntungan bisnis keluarga
semata. Lembaga legislatif yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol dan
pengawas tidak dapat menjalankan fungsinya dengan efektif karena diisi oleh
keluarga dan kolega gubernur. Gubernur dapat dengan mudah melakukan
pengalihan proyek-proyek ke perusahaan yang terafiliasi dengan keluarganya, atau
44 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
81
mengalokasikan anggaran daerah untuk kepentingan keluarganya, dan bukan untuk
kepentingan rakyat.45 Hasilnya adalah banyak praktik-praktik korupsi berlangsung
di dalam pelaksanaan pemerintahan Provinsi Banten.
Cita-cita otonomi daerah yang menginginkan agar demokratisasi tidak
hanya berlangsung di pusat tetapi juga di tingkat daerah ternyata menemui kendala.
Yaitu hadirnya elit-elit lokal yang lebih mementingkan kepentingan politik dan
bisnis keluarganya. Ini berdampak pada pemerintahan daerah tidak diisi oleh orang-
orang yang cakap dan kompenten, melainkan oleh sanak keluarga, hingga orang-
orang terdekat. Dalam kasus Banten, keluarga penguasa tidak serta merta mendapat
jabatan strtategis. Mereka mengikuti mekanisme pemilihan umum seperti Pilkada.
Namun karena proses penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia yang belum
benar-benar jujur dan adil, seperti masih berlangsungnya politik uang serta, maka
para rezim dinasti dapat dengan mudah memenangkan suatu Pilkada, seperti dalam
kasus Pilkada di Provinsi Banten.
Dalam kaitan ini ICW menjelaskan bahwa kuatnya oligarki politik keluarga
Atut di Banten terjadi karena buruknya kualitas pemilihan umum di daerah,
minimnya pendidikan politik masyarakat serta sistem kaderisasi partai politik yang
tidak berjalan dengan baik.46 Rekrutmen partai politik lebih mengedepankan pada
orang-orang yang memiliki basis finansial serta popularitas yang kuat. Namun tidak
dibarengi dengan kapabilitas serta kapasitasnya dalam menyejahterakan rakyat.
45 Wawancara dengan Fuadudin Bagas, MATA (Masyarakat Transparansi) Banten, JakartaSelatan, 3 September 2015.
46 Wawancara dengan Donal Fariz, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 23 September2015
82
Kondisi seperti ini akan memudahkan bagi elit-elit oligarki keluarga Ratu
Atut untuk terjun ke politik dan memenangkan Pilkada. Atut dan keluarganya
didukung dengan basis finansial yang kuat. Keluarga Atut juga merupakan keluarga
yang disegani di Banten. Mereka memiliki jaringan luas yang berisikan orang-orang
loyal. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh besar yang dimiliki Tubagus
Chasan Shahib sebagai ayah gubernur. Chasan Shahib dikenal menguasai hampir
semua sektor sosial dan ekonomi di Banten. Sebelum Banten resmi menjadi
provinsi sendiri Chasan Shahib dikenal telah memiliki hubungan baik dengan partai
Golkar dan juga penguasa Orde Baru pada saat itu. Dengan memimpin kelompok
jawara Satuan Karya Pendekar (Satkar Pendekar) dan Satuan Karya Ulama (Satkar
Ulama), Chasan Shahib menjadi semakin disegani dikalangan anggota partai
Golkar meskipun sebenarnya Chasan Shahib bukan seorang politikus. Kedua
organisasi ini menjadi mesin politik Golkar untuk meraup suara.47
Keberhasilannya dalam memimpin organisasi besar di Banten menjadikan
Chasan Shahib juga berhasil memimpin lembaga-lembaga ekonomi besar seperti
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Banten, Gabungan Pelaksana Konstruksi
Indonesia (GAPENSI), dan Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia
(GAPEKSI). Keberhasilannya memimpin organisasi-organisasi tersebut,
menjadikan Chasan Shahib memiliki basis jaringan sosial, ekonomi, dan politik
yang loyal dan siap mendukungnya dan keluarganya.48 Dalam oligarki yang serba
47 Gandung Ismanto, “Ratu dan Raja Kecil di Tanah Para Jawara”, Asasi, Edisi November-Desember 2010, h. 11.
48 Gandung Ismanto, “Ratu dan Raja Kecil di Tanah Para Jawara”, Asasi, Edisi November-Desember 2010, h. 11.
83
tertutup di Banten, masyarakat tidak dapat mengawasi kinerja kepala daerah secara
maksimal. Hal ini yang kemudian semakin memperkuat posisi Gubernur.
Dalam praktik oligarki Banten, mahalnya biaya politik bagi seseorang calon
kepala daerah juga mendorong terjadinya korupsi dana hibah dan bantuan sosial ini.
Gubernur sebagai pemegang otoritas tertinggi di daerah dapat membagi-bagikan
kekayaan daerahnya ke lembaga-lembaga yang terafiliasi dengan keluarganya. Hal
ini dilakukan sebagai bentuk dukungan pada keluarganya yang akan bertarung
dalam pilkada. Akibatnya, akan memunculkan elit-elit oligarki baru di daerah yang
tidak memiliki kualitas serta kapabilitas dalam memimpin. Dan sebagai dampaknya
rezim oligarki semakin kuat dan masyarakat semakin sengsara, karena kekayaan
daerah yang seharusnya untuk menyejahterakan masyarakat malah masuk ke
kantong-kantong pribadi penguasa dan kroninya.
C. Peran Indonesia Corruption Watch dalam Mengungkap Korupsi Dana
Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) Banten 2011
Dana APBD masih menjadi primadona calon incumbent di berbagai daerah
sebagai modal politik mereka menjelang pilkada. Hal serupa juga ditemui di
Banten, dana hibah dan bansos tahun 2011 disinyalir menjadi masuk ke kas-kas
keluarga atau orang terdekat Gubernur yang nantinya akan mencalonkan diri
sebagai pejabat publik. Hal ini yang mendorong ICW untuk mengungkap kasus
korupsi tersebut ke ranah publik. Terungkapnya korupsi dana hibah dan bansos
Banten 2011 tidak dapat dilepaskan dari peran ICW. Sebagai LSM ICW telah
84
mampu menjalankan peran monitoring dan juga pemberdayaan (empowering).
Selain itu, keberhasilan pengungkapan kasus korupsi ini tidak dapat dilepaskan dari
kemampuan ICW untuk melakukan investigasi dan memberikan tekanan pada
lembaga hukum yaitu KPK agar permasalah korupsi ini segera diselidiki.
Berdasarkan dari jenis-jenis LSM yang sebelumnya telah dipaparkan di bab
dua, penulis mengkaterogikan LSM ICW sebagai LSM “Penguatan Akar Rumput”
(menurut Philip Elridge); LSM mobilisasi (menurut Mansour Fakih); Autonomous
or Independent NGOs (menurut James V. Ryker); LSM Advokasi (menurut Tim
Fasilitasi LP3ES); dan LSM generasi kedua (menurut David Korten).
Menurut klasifikasi LSM yang dipaparkan Philip Elridge dalam
Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia karangan Adi
Suryadi Culla, ICW dapat dikategorikan sebagai LSM Penguatan Akar Rumput,
karena lebih memusatkan perhatiannya pada upaya-upaya penyadaran serta
penguatan masyarakat.49 Untuk mendorong terjadinya perubahan sosial, ICW
melakukan gerakan dari bawah dengan menguatkan sektor akar rumput. Dalam hal
ini ICW melakukan program-program pemberdayaan untuk memberikan bekal bagi
masyarakat untuk membongkar serta melaporkan korupsi yang terjadi. ICW
menyadari bahwa sebagai korban dari korupsi, masyarakat harus diberdayakan.
Permasalah korupsi di Indonesia tidak dapat selesai jika hanya mengandalkan
lembaga hukum. Masyarakat juga harus turut terlibat untuk mengawasi dan
melaporkan setiap korupsi yang ditemuinya. Sedangkan menurut Mansour Fakih,
49 Culla, Rekonstruksi Civil Society, h. 76.
85
ICW masuk dalam klasifikasi LSM mobilisasi, karena fokus dari kegiatannya
adalah untuk mendorong munculnya kesadaran masyarakat turut berpartisipasi
dalam proses perumusan kebijakan serta mengawasi kinerja pemerintah.
Adapun menurut James V. Ryker, ICW merupakan LSM yang otonom dan
independen. Alasan penulis memasukan ICW ke dalam tipe ini karena secara
finansial ICW tidak menggantungkan sumber pendanaan dari pemerintah. ICW
bergerak secara mandiri dengan dukungan masyarakat melalui donasi sukarela.
Selain itu semenjak awal berdirinya, ICW mengambil jarak dengan negara. Oleh
sebab itu ICW dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan sektor bisnis.
ICW masuk ke dalam kategori LSM Advokasi menurut klasifikasi yang dilakukan
oleh Tim LP3ES. ICW tidak hanya memberdayakan masyarakat agar mau
berpartisipasi dalam pelaporan kasus korupsi, tetapi ICW juga membela masyarakat
sebagai korban dari praktik korupsi dengan melaporkan koruptor ke aparat penegak
hukum. Sedangkan dalam klasifikasi menurut David Korten, ICW masuk dalam
LSM generasi kedua yang memfokuskan dirinya di bidang memberdayakan
masyarakat, terutama dalam melawan korupsi melalui kegiatan-kegiatan pelatihan-
pelatihan, kampanye, sosialisasi bahaya korupsi lewat seminar-seminar dan diskusi.
Kesemua kegiatan tersebut dimaksudkan agar masyarakat memiliki senjata dan
kesadaran mengenai bahaya korupsi.
1. Investigasi
Dalam pengungkapan korupsi dana hibah dan bansos Banten tahun 2011
ICW telah memainkan perannya sebagai LSM dalam sebuah negara. Sebagaiamana
86
dijelaskan oleh Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna dalam Politik Indonesia,
Transisi Menuju Demokrasi karya Affan Gaffar50 yaitu LSM dapat berperan
sebagai organisasi pengawas terhadap kinerja lembaga negara, dan dapat
melakukan protes. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hukum, terutama yang dilakukan oleh
pejabat negara dan sektor bisnis.
Sebagai organisasi otonom, LSM dapat menjalankan perannya sebagai
organisasi pengawas yang berada di tengah masyarakat. Di masa demokrasi saat
ini, peran pengawasan tidak hanya dapat dilakukan oleh LSM semata, namun juga
oleh lembaga-lembaga pemerintah seperti DPR dan, DPRD. Namun sebagai
organisasi yang berada di luar jalur pemerintah, ICW dapat memainkan peran
pengawasan secara lebih leluasa tanpa takut adanya konflik kepentingan dengan
lembaga negara. ICW mampu menjalankan perannya untuk melakukan pengawasan
serta bersikap kritis terhadap kinerja pemerintah. ICW juga melakukan protes
terhadap pemerintah daerah Banten dengan melaporkan korupsi tersebut ke KPK.
Sebelum mengungkap dan melaporkan korupsi dana hibah dan bansos
Banten tahun 2011, ICW terlebih dahulu melakukan penelitian yang memakan
waktu cukup lama dan juga mengawasi kinerja pemerintahan daerah Provinsi
Banten. Selama melakukan penelitian, ICW banyak menerima laporan-laporan dari
50 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.
87
masyarakat terkait dengan korupsi rezim Ratu Atut di pemerintahan Propinsi
Banten.51
Menurut MATA, ICW telah masuk ke Banten semenjak tahun 2010. MATA
turut membantu ICW dalam melakukan investigasi korupsi dana hibah dan bansos
Banten 2011. Pada awalnya ICW masuk ke Banten untuk melakukan penelitian
terhadap permasalahan politik uang menjelang pilkada di salah satu kabupaten kota
di Banten. Dari permasalahan ini ICW kemudian banyak melakukan penelitian
serupa di beberapa daerah di Banten. Berdasarkan penelitiannya, ICW menemukan
bahwa banyak kepala daerah serta elit lokal lainnya yang menggunakan pos
anggaran APBD untuk melanggengkan kekuasaannya.52
Dari penelitian sebelumnya ICW terus melakukan penelitian yang lebih luas
untuk melihat apakah ada aktor yang lebih besar yang ikut menyelewengkan pos
anggaran APBD. Di tahun 2011 ICW menemukan adanya kejanggalan yang luar
biasa pada kasus dana hibah dan bansos Banten tahun 2011. Kejanggalan tersebut
mendorong ICW untuk melakukan investigasi mengenai dugaan korupsi tersebut.
Investigasi diawali dengan mengumpulkan data-data formal dari sumber-
sumber yang telah dipercayainya. ICW mendapatkan data-data formal tersebut dari
wartawan, serta aktivis. Karena berbeda sumber, data yang didapat pun berbeda-
beda. Demi mendapatkan data yang valid ICW mengirim surat permohonan ke
Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Provinsi Banten. Surat
51 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
52 Wawancara dengan Fuadudin Bagas, MATA (Masyarakat Transparansi) Banten, JakartaSelatan, 3 September 2015.
88
permohonan ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa jumlah sebenarnya
anggaran hibah dan bantuan sosial yang dikeluarkan oleh Provinsi Banten serta
nama-nama lembaga penerima. Setelah mendapat data yang dibutuhkan, ICW
selanjutnya melakukan pengecekan terhadap data-data tersebut. Dari hasil
pengecekan dari sumber yang valid tersebut memang ditemukan adanya
kejanggalan.53
Dari hasil investigasinya ICW mencatat semenjak 2009 hingga 2011 terjadi
peningkatan alokasi dana yang luar biasa besar pada sektor anggaran hibah dan
bansos Banten. Seperti yang telah disebutkan di atas, pada 2009 pemerintah daerah
Provinsi Banten mengalokasikan dana sebesar Rp. 74 miliar sebagai dana hibah dan
bansos. Di tahun 2010 terjadi lonjakan yang cukup besar dalam pengalokasian dana
hibah dan bansos Provinsi Banten yaitu sebesar Rp. 291 miliar. Kemudian di tahun
2011 dana hibah dan bansos Provinsi Banten terus mengalami peningkatan menjadi
Rp. 391 miliar.54
Dari hasil investigasi yang dilakukan, ICW melihat tingginya mobilisasi
anggaran dana hibah dan bansos Banten 2011 ini terjadi menjelang pemilihan
umum kepala daerah Provinsi Banten. Dan ICW juga mencurigai bahwa nantinya
dana hibah dan bansos ini akan dipergunakan oleh pejabat daerah sebagai modal
pemenangan mereka dalam pilkada.55 Hal ini tentu sangat bertentangan dengan
53 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
54 ICW, “Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun2011”, Artikel ini diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
55 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
89
tujual awal dari pengalokasian anggaran hibah dan bansos, sebagai dana bantuan
operasional organisasi dan lembaga-lembaga di Banten.
Menurut MATA Banten, besarnya anggaran yang dialokasikan pada dana
hibah dan bansos ini dapat berdampak pada pemotongan atau pengurangan
anggaran-anggaran lainnya. Pengalokasian yang besar pada dana hibah dan bansos
berdampak besar bagi masyarakat Banten. MATA menambahkan bahwa anggaran
seharusnya dialokasikan untuk lembaga-lembaga yang berdiri demi membantu
masyarakat Banten, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan. Penggunaan
dana hibah dan bansos juga dapat diperuntukan untuk memperbaiki sarana dan
prasana pendidikan yang berada di daerah pedalaman. Tetapi pada kenyataannya
malah dipergunakan untuk urusan pemilu.56
Dana hibah dan bantuan sosial menjadi anggaran daerah yang paling rawan
dikorupsi. Dana hibah dan bansos ini memang menjadi idola bagi petahana yang
berusaha mencalonkan diri kembali pada pilkada selanjutnya. Dalam urusan
penganggaran gubernur memiliki otoritas yang besar untuk menolak atau
menyetujui penganggaran dana hibah dan bansos. Ketika otoritasnya hanya berada
di tangan gubernur maka dana bansos dan hibah mudah dikorupsi. Di samping
tujuan awal disalurkan dana hibah dan bansos untuk operasional lembaga-lembaga
sosial di daerah, penyaluran dana hibah dan bansos juga dapat bermuatan politik.
Dana hibah dan bansos dapat menyentuh basis-basis kekuatan sosial dan politik di
56 Wawancara dengan Fuadudin Bagas, MATA (Masyarakat Transparansi) Banten, JakartaSelatan, 3 September 2015.
90
daerah.57 Contohnya organisasi Paguyuban Banten Bersatu, ataupun Karang Taruna
di Banten. Dengan menyalurkan dana hibah dan bansos ke basis-basis sosial
masyarakat ini diharapkan menjelang pilkada calon petahana dapat memobilisasi
suara masa agar mendukungnya.
2. Publikasi
Sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam perlawanan terhadap praktik
korupsi, ICW berperan penting dalam mengungkap praktik-praktik korupsi yang
dilakukan oleh pejabat negara. Tidak hanya melakukan investigasi, ICW juga
mempublikasikan hasil investigasinya pada masyarakat. Hasil publikasi yang
dilakukan ICW sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena bisa menjadi sumber
informasi yang terpercaya selain dari press release yang dikeluarkan lembaga
penegak hukum seperti KPK.
Setelah menemukan adanya penyelewengan terkait korupsi dana hibah dan
bansos, ICW kemudian mengumpulkan data-data yang telah mereka temukan untuk
kemudian mereka susun dalam bentuk laporan. Yang nantinya laporan tersebut
akan menjadi alat bagi mereka untuk melaporkan kasus korupsi ini ke KPK. Selain
itu laporan ini juga akan disebar ke media massa yang nantinya akan dipublikasikan
ke masyarakat. Hasil publikasi ini akan menjadi sumber informasi bagi masyarakat
luas terutama masyarakat Banten bahwa telah terjadi penyelewengan dalam
penyaluran dana hibah dan bansos Banten tahun 2011. ICW tidak hanya
57 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
91
mempublikasikan temuan mereka ini ke media massa, tetapi mereka juga
mencantumkan temuan mereka di website lembaga mereka yaitu antikorupsi.org.
Sebagai LSM yang membawa misi untuk memerangi praktik korupsi, ICW
membuktikan keseriusannya dengan mengangkat permasalahan korupsi dana hibah
dan bansos Banten tahun 2011 agar diketahui masyarakat Banten secara luas. Selain
itu dengan adanya publikasi terkait dengan penyelewengan dana hibah dan bansos
Banten 2011, masyarakat Banten diharapkan terdorong untuk melaporkan kasus-
kasus korupsi lainnya. Menurut ICW, warga Banten perlu mengetahui bahwa telah
terjadi penyelewengan dalam anggaran hibah dan bansos Banten. Uang yang
seharusnya dikeluarkan dalam rangka kepentingan Masyarakat Banten dan
menjalankan roda pemerintahan daerah malah diselewengkan dan dipergunakan
untuk kepentingan politik para elit penguasa. Selain mengungkap kasus korupsi dan
melaporkannya ke aparat penegak hukum, ICW membawa misi memperkuat serta
memfasilitasi masyarakat Banten untuk ikut mealaporkan kasus korupsi ini.58
ICW juga terus mengkampanyekan permasalahan dana hibah dan bansos
ini. ICW menginginkan agar permasalahan ini tidak hanya menjadi isu yang muncul
menjelang pemilu. Pasca pemilu ICW juga terus mengkampanyekan masalah ini
agar menjadi perhatian bagi pemerintah pusat, agar pemilu selanjutnya tidak lagi
ditemukan penggunaan anggaran daerah untuk modal pemenangan calon kepala
daerah dari incumbent.59 Banten merupakan sebuah bukti bahwa dana hibah dan
58 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
59 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
92
bansos rawan dikorupsi menjelang pemilu. Dan tidak dipungkiri lagi bahwa daerah-
daerah lain juga melakukan hal serupa.
3. Pemberian Tekanan pada KPK dan BPK
ICW sendiri membawa mandat dari masyarakat untuk menciptakan
pemerintahan yang lebih bersih dan bebas korupsi, hal ini mereka lakukan
mengungkap praktik korupsi dan melaporkannya pada aparat penegak hukum.
Demi terciptanya keinginan masyarakat akan hadirnya pemerintahan yang bersih
LSM sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia dapat memainkan peran
sebagai kelompok kepentingan (interest group). Dalam kasus ini peran ICW tidak
berehenti dengan melakukan investigasi, pengawasan, serta pemberdayaan
masyarakat Banten semata, mereka juga berperan sebagai kelompok kepentingan.
ICW berusaha mengartikulasikan kepentingan masyarakat Banten yang
menginginkan dana hibah dan bantuan sosial ini dipergunakan sebagai semestinya
yaitu untuk membantu masyarakat, serta bantuan operasional lembaga di Banten.
Atas dasar ini mereka berusaha mempengaruhi pemerintah dalam hal ini aparat
penegak hukum.
Usaha-usaha mempengaruhi ini dilakukan dengan memberikan tekanan
kepada lembaga pengadil yaitu KPK agar permasalahan korupsi dana hibah dan
bansos Banten 2011 ini segera diselediki. Karena selain sumber-sumber dari ICW,
KPK juga membutuhkan audit resmi yang dikeluarkan oleh BPK. Untuk
mempercepat kerja KPK Oleh sebab itu ICW juga turut menekan BPK agar
sesegera mungkin mengeluarkan hasil auditing resminya. Dari hasil laporan ICW
93
dan audit resmi BPK kemudian KPK bisa melakukan penyelidikan terhadap kasus
korupsi ini.60
Bukti dari LSM sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia dapat
terlihat ketika ICW berhasil mempengaruhi pemerintah untuk segera menyelidiki
kasus korupsi dana hibah dan bansos ini. Pada pada tahun 2013 usaha-usaha
pemberian tekanan pada KPK dapat dinyatakan berhasil karena kasus korupsi dana
hibah dan bantuan sosial Banten tahun 2011 mulai diselidiki KPK.
4. Penguatan Masyarakat Banten
Menurut Andra L. Corrothers dan Estie W. Suryatna61 LSM juga dapat
berperan sebagai katalis perubahan sistem. LSM dapat mempercepat terjadinya
perubahan dalam sistem pemerintahan melalui kegiatan-kegiatan yang mengangkat
masalah-masalah yang bersifat krusial dalam masyarakat, menciptakan kesadaran
global, melakukan advokasi demi perubahaan kebijakan negara, mengembangkan
kemauan politik rakyat, dan mengadakan eksperimen yang mendorong inisiatif
masyarakat.62
Sebagai bagaian dari masyarakat sipil, LSM diharapkan mampu mendorong
terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat. Keberhasilan LSM dalam
melakukan program-program pemberdayaan (empowering) dapat terlihat ketika
masyarakat sudah mulai ikut mengawasi dan terlibat dalam perumusan kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah.
60 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 10 Juli 201561 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.62 Gaffar, Politik Indonesia, h. 204.
94
Dalam kasus dana hibah dan bantuan sosial Banten, ICW telah berhasil
memainkan perannya untuk mempercepat terjadinya perubahan sosial dalam
masyarakat. Dengan mengangkat kasus korupsi dana hibah dan bansos Banten
tahun 2011 ini, ICW juga berhasil menumbuhkan kesadaran masyarakat Banten,
sebagaimana dapat dilihat dari banyaknya kelompok masyarakat yang bersedia
menjadi relawan dan membantu ICW dalam melakukan penelusuran serta
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan.
Hal ini membuktikan bahwa korupsi dana hibah dan bantuan sosial tidak
menjadi masalah ICW semata, tetapi masalah seluruh masyarakat Banten, karena
berkaitan dengan uang rakyat. ICW juga melakukan aksi-aksi advokasi dengan cara
terus menekan lembaga pengawas yaitu BPK untuk mengeluarkan audit resmi
mengenai dana hibah dan bansos Banten tahun 2011. ICW juga menekan KPK
sebagai lembaga hukum untuk segera menyelidiki dan menetapkan tersangka.
Selayaknya organisasi yang lahir di tengah masyarakat, LSM memiliki misi
untuk selalu berpihak kepada rakyat. Mereka muncul untuk membela masyarakat
yang menjadi korban ketidakadilan yang dilakukan oleh negara. Tidak jarang
masyarakat menjadi korban langsung atas kesewenang-wenangan yang dilakukan
oleh pemerintah. Kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat daerah merupakan
contoh kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya.
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa selain mengungkap
korupsi dana hibah dan bansos ICW masuk ke Banten juga untuk memperkuat dan
memberdayakan masyarakat. Sebagai contoh dari bukti ICW telah memperkuat
95
masyarakat Banten adalah terbentuknya LSM anti-korupsi MATA Banten. ICW
memiliki peran penting dalam berdirinya LSM MATA Banten.
Sebagaimana disebutkan di atas, LSM MATA Banten sendiri terbentuk
pada tahun 2012 pasca dilaporkannya kasus korupsi hibah dan bantuan sosial ke
KPK. Sebelum terbentuk MATA Banten awalnya adalah bagian dari relawan ICW
yang ada di Banten. MATA menjelaskan bahwa pada waktu ICW masuk ke Banten
untuk menyelidik masalah korupsi hibah dan bantuan sosial MATA Banten belum
terbentuk. Mereka saat itu masih berbentuk perkumpulan aktivis dan relawan anti-
korupsi tanpa memiliki payung hukum yang jelas.
Kehadiran mereka turut membantu ICW melakukan investigasi serta
mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk memperkuat bukti telah terjadinya
korupsi dana hibah dan bansos. Sebelum menjadi relawan untuk membantu ICW,
sebelumnya perkumpulan masyarakat ini telah melakukan upaya-upaya melawan
Ratu Atut sejak 2006. Mereka menyebutnya lembaga “Anti Atut”. Mereka tidak
hanya berfokus untuk menangani masalah korupsi tetapi juga masalah kebijakan
publik, dan masalah lainnya yang menyangkut kepentingan umum masyarakat
Banten.63
MATA juga menambahkan bahwa pada saat itu kelompoknya dan ICW
memiliki tujuan yang sama untuk melawan Atut dan rezimnya yang korup. Karena
bentuknya yang masih perkumpulan dan belum terlembaga, akhirnya ICW
berinisiasi untuk membentuk lembaga anti-korupsi MATA Banten. Senada dengan
63 Wawancara dengan Fuadudin Bagas, MATA (Masyarakat Transparansi) Banten, JakartaSelatan, 3 September 2015.
64 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
96
MATA, ICW menjelaskan mengenai lahirnya MATA. ICW melihat bahwa
perkumpulan masyarakat yang terdiri dari masyarakat Banten, kelompok
mahasiswa, tokoh agama dan masyarakat ini memiliki semangat yang bagus dalam
upaya-upayanya melawan korupsi, sehingga penting untuk dilembagakan. ICW
khawatir pasca pelaporan kasus korupsi dana hibah dan bansos, perkumpulan ini
akan bubar sehingga ICW mendorong agar MATA Banten dibentuk.64 Hingga saat
ini MATA masih menjadi bagian dari jaringan ICW di Banten yang berperan
membantu ICW dalam menjalankan sebagian program-program ICW di Banten dan
juga turut melakukan pengawasan.
Sebagai bagian dari salah satu kekuatan politik di Indonesia yaitu LSM,
ICW telah cukup berkontribusi bagi perubahan dalam sistem politik Indonesia.
Dengan mengangkat masalah korupsi dana hibah dan bansos ini ICW
menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat, terutama masyarakat Banten. Karena
dengan mengangkat masalah ini masyarakat Banten menjadi sadar bahwa dana
hibah dan bansos ini tidak sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan masyarakat
Banten, namun digunakan oleh kepentingan penguasa. Dalam hal ini untuk
kepentingan pilkada. Dengan mengangkat masalah ini ICW juga mendorong
pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap
korupsi dana hibah dan bansos Banten tahun 2011, dan segera menetapkan
tersangka. Ditambah lagi dengan adanya pengungkapan korupsi ini oleh ICW
mendorong pemerintah untuk turut mengawasi pengalokasian dana hibah dan
65 Robert Klitgard, Ronald Maclean-Abaroa, Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan Korupsidalam Pemerintahan Daerah, h. 29.
65
bansos di daerah, agar nantinya dana hibah dan bansos tidak menjadi lahan korupsi
kepala daerah.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengungkapan Kasus Korupsi
Dana Hibah dan Bantuan Sosial Banten tahun 2011
Korupsi sangat erat kaitannya dengan pemegang kekuasaan atau pemangku
jabatan publik dan juga orang yang memiliki wewenang. Dengan menggunakan
rumus Klitgaard65 korupsi dapat terjadi apabila seseorang memiliki kekuasaan serta
wewenang untuk memutuskan sesuatu, namun tidak disertai dengan adanya
mekanisme yang baik seperti, akuntabilitas dan pertanggung jawaban pada
masyarakat.
Saat ini perbuatan korupsi dilakukan secara berjamaah dan dengan
bermacam-macam modus operandi yang semakin canggih. Keadaan ini membuat
pengungkapan praktik-praktik korupsi semakin sulit dilakukan. Sebagai LSM yang
telah lama berkiprah dalam ranah anti-korupsi, ICW juga menemukan kendala-
kendala dalam mengungkap kasus korupsi. Sebagaimana yang diungkapkan di bab
3, hambatan paling besar yang ditemui ICW dalam mengungkap kasus korupsi
adalah suap. Suap ini dimaksudkan supaya ICW segera menghentikan penyeledikan
kasus korupsi yang mereka terima. Selain suap hambatan lain yang ditemui ICW
adalah terror seperti ancaman pengniayaan ataupun koruptor yang melaporkan
mereka ke polisi karena dianggap sebagai pencemaran nama baik.
66 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
98
Dalam kaitannya dengan pengungkapan korupsi dana hibah dan bantuan
sosial Banten tahun 2011, ICW menemui hambatan yaitu:
1. Faktor Penghambat
Menurut ICW, setiap kasus korupsi meskipun ditutupi dengan
cara apapun pasti akan meninggalkan jejak. Walaupun demikian, ICW
juga masih menemui hambatan dalam mengungkap kasus korupsi ini,
yaitu permasalahan dalam kemudahaan mengakses data,66 terlebih lagi
data mengenai dokumen anggaran.
Dalam mengungkap kasus korupsi, kemudahan untuk mengakses
data adalah sesuatu keniscayaan. Sebagaimana diketahui bahwa korupsi
pasti berhubungan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan
ataupun lembaga tertentu. Oleh sebab itu, tidak sedikit lembaga yang
menolak untuk memberikan akses informasinya, terutama apabila
pejabatnya tersangkut masalah korupsi.
Dalam kaitannya dengan pengungkapan korupsi dana hibah dan
bansos Banten tahun 2011 ICW mengakui bahwa sulit untuk
mendapatkan akses data. Terlebih lagi korupsi dana hibah dan bansos
Banten tahun 2011 ini dilakukan oleh kepala daerah yang terkenal akan
kuatnya oligarki keluarga.
67
Berbeda dengan korupsi yang dilakukan oleh pejabat biasa atau
personal corruption, korupsi yang dilakukan oleh orang yang berada
dalam lingkaran oligarki politik tentu lebih sulit diungkap. Ini karena
mereka memiliki basis finansial dan massa yang kuat. Gubernur Banten
memiliki sumber daya yang cukup dan mampu untuk menutupi kasus
korupsinya. Bahkan hingga perlu menyewa orang-orang ataupun
menyuap lembaga-lembaga terkait untuk mempersulit dalam melakukan
investigasi. Meskipun lebih sulit, namun setiap korupsi pasti akan
meninggalkan jejak yang akan menuntun pada pelaku-pelaku korupsi.67
2. Faktor Pendukung
Karena bekerja dengan membawa mandat rakyat, ICW
menemukan banyak kemudahan dalam mengungkap kasus-kasus
korupsi. Seperti banyak kelompok masyarakat yang peduli dengan
daerahnya ikut membantu ICW dalam mengumpulkan dan menganalisis
data-data yang diperlukan untuk mengungkap korupsi.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam mengungkap kasus
korupsi ICW tidak bekerja sendiri, sebaliknya ICW menjalin kerja sama
dengan kelompok masyarakat lain di daerah. Dalam pengungkapan
kasus korupsi dana hibah dan bansos Banten tahun 2011 ICW terbantu
dengan banyaknya masyarakat Banten yang mengajukan diri menjadi
tenaga relawan untuk membantu ICW dalam mengumpulkan serta
67 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
68 Wawancara dengan Ade Irawan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta Selatan, 1 Oktober2015.
100
menganalisis data. Salah satunya kelompok masyarakat yang turut
membantu ICW dalam mengumpulkan dan menganalisis data-data
adalah LSM MATA Banten. Yang kini menjadi bagian dari jaringan
ICW di Banten dalam memerangi praktik korupsi di lingkungan
pemerintahan daerah Provinsi Banten
Menurut ICW, tindakan korupsi dana hibah dan bansos tahun
2011 dilakukan dengan sangat terbuka, sehingga siapapun dapat
melihatnya. Di samping itu, Gubernur Banten pada saat itu tidak terlalu
memikirkan bahwa nantinya akan ada pihak-pihak yang berani
mempermasalahkan penyelewengan ini. Ini membuatnya lengah dan
tindakan korupsinya tidak terlalu ditutupi. Hal ini yang kemudian
memudahkan ICW menemukan penyelewengan-penyelewengan
tersebut.68
Di samping itu dukungan media juga menjadi faktor keberhasilan
ICW dalam mengungkap kasus korupsi. Media masa menjadi bagian
penting dari keberhasilan ICW mengungkap kasus korupsi dana hibah
dan bansos Banten tahun 2011. Media menjadi sarana ICW untuk
mempublikasikan hasil temuan mereka mengenai penyelewengan dana
hibah dan bansos Banten tahun 2011 ke publik.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem pemerintahan yang tidak akuntabel terlihat dari bagaimana Atut
memanfaatkan APBD, terutama dalam pendistribusian dana hibah dan bansos
Banten ke sejumlah lembaga yang terafiliasi keluarganya menjelang pilkada. Atut
sebagai petahana menyalahgunakan wewenangnya dengan memanfaatkan dana
APBD untuk kepentingan kampanye dirinya dan keluarga yang ikut dalam pilkada.
Alam demokrasi Indonesia memberikan peluang bagi segelintir elit daerah
untuk muncul dan menerapkan kepimpinan yang berbentuk oligarkis. Dalam kasus
Banten, elit dari rezim keluarga Atut memanfaatkan demokrasi untuk semakin
mempertegas kekuasaan rezim oligarkisnya. Dengan basis masa dan finansial yang
kuat elit keluarga Atut dapat memenangkan pilkada secara demokratis. Meskipun
rezim oligarkis keluarga Atut menguasai hampir seluruh ranah sosial, ekonomi dan
politik di Banten, namun tidak dapat kuat layaknya masa Orde Baru.
Demokrasi memberikan peluang bagi rakyat dan civil society untuk
melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kinerja pemerintah (public control).
Karena di era demokrasi yang serba keterbukaan seperti ini, sistem apapun yang
muncul akan berhadapan langsung dengan civil society dan elemen lainnya seperti
LSM. Banten adalah sebuah contoh bagaimana demokrasi dapat memunculkan
suatu rezim oligarkis di daerah. Tetapi Banten juga menjadi contoh bagaimana
102
sebuah sistem oligarkis yang korup, perlahan-lahan tumbang karena berlawanan
dengan elemen demokrasi yaitu civil society.
Sebagai elemen dari civil society, LSM dapat bertindak kooperatif ataupun
beroposisi terhadap sebuah rezim. Dalam kasus yang penulis angkat, LSM ICW
berperan sebagai oposisi dan kekuatan perlawanan terhadap rezim oligarkis Atut
yang korup. ICW yang telah lama memantau dan menerima laporan mengenai
korupsi dana hibah dan bansos, melaporkan korupsi dana hibah dan bansos Banten
tahun 2011 ke KPK. ICW memainkan peran yang besar dalam mengungkap korupsi
dana Hibah dan Bansos Banten tahun 2011. Hal ini terlihat dari upaya -upaya ICW
dalam mengangkat perkara korupsi ini ke ranah publik. Mulai melakukan
investigasi, publikasi, penguatan masyarakat Banten, hingga terus melakukan
kampanye terkait korupsi dana hibah dan bansos.
Pengungkapan praktik korupsi yang dilakukan ICW ini merupakan
kumpulan kekecewaan dari seluruh masyarakat Banten. Masyarakat yang telah
jenuh dengan praktik korupsi Atut dan rezimnya, turut menjadi relawan untuk
membantu ICW melakukan investigasi dan mengumpulkan data-data. Dengan
pengungkapan praktik korupsi ini, masyarakat Banten jelas menginginkan adanya
perubahan dalam pola kepemimpinan daerah yang lebih demokratis, transparan dan
juga berpihak terhadap rakyat.
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah dipaparkan di atas, penulis perlu untuk
menyampaikan saran terkait topik penelitian LSM dan korupsi. Mengingat
103
pentingnya LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil, maka perlu untuk terus
melakukan studi-studi mengenai perjuangan LSM dalam melakukan advokasi-
advokasi atas ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti korupsi. Dan
juga penting untuk terus melakukan studi terkait demokrasi dan oligarki dan
bagaimana hasil dari dialektika antara kedua sistem tersebut berpengaruh terhadap
politik lokal dalam konteks demokrasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Penulis juga menyarankan agar ICW terus melakukan advokasi-advokasi
dan pemberdayaan terhadap masyarakat dalam melawan korupsi. ICW juga harus
memperkuat jaringan-jaringannya di daerah, sehingga wacana pemberantasan
korupsi bisa kuat di daerah tidak terpusat di Jakarta. Karena di daerah juga banyak
permasalahan korupsi yang didukung dengan kuatnya rezim seperti di Banten.
104
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus. Membedah Kembar Siam Penguasa Politik danEkonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2004.
Alatas, S.H. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta, LP3ES, 1987.
Arif, Ahmad. Perang Panjang Melawan Korupsi, Kompas, 10 November 2009.
Arifin, Firmansyah, dkk. Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan AntarLembaga Negara. Jakarta: KRHN, 2005.
Bansos Terkait Pilkada: Banyak Dana ke Lembaga Pimpinan Keluarga GubernurBanten, Kompas, 10 Maret 2011.
Basyaib, Hamid, ed. dkk. Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia.Yayasan Aksara, 2002.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2008.
Clark, John. NGO dan Pembangunan Demokrasi, terj. Godril Dibyo Yuwono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.
Culla, Adi Suryadi. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop diIndonesia. Jakarta Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.
Dana Bantuan Sosial: ICW Laporkan Dugaan Penyimpangan di Banten. Kompas,25 Agustus 2011.
Dharmawan, HCB. Lembaga Swadaya Masyarakat: Menyuarakan Hati MenggapaiKesetaraan. Jakarta: Kompas, 2004.
Djaja, Emansjah. Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Tujuh Tipe TindakPidana Korupsi Berdasarkan UU RI No. 31 Tahun 1999 Jo. No. 20 Tahun2001. Bandung: CV Munandar Maju, 2010.
Effendy, Bahtiar. Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara danDemokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Fakih, Mansour. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan IdeologiLSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,. Jakarta: Gramedia,2006.
Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1991.
105
Hanafie, Hanniah dan Suryani. Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UINSyarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan Tahunan 2009. Jakarta: ICW, 2009.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan Tahunan 2011. Jakarta: ICW, 2011.
Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan Tahunan 2013. Jakarta: ICW, 2013.
Ismanto, Gandung. Ratu dan Raja Kecil di Tanah Para Jawara, Asasi, EdisiNovember-Desember 2010.
Jordan, Lisa dan Peter van Tuijl. Akuntabilitas LSM: Politik, Prinsip dan Inovasi.Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009.
Kamil, Sukron ed. Korupsi dan Integritas Dalam Ragam Prespektif. Jakarta: PSIAUIN Jakarta.
Klitgard, Robert, Ronald Maclean-Abaroa, Lindsey Parris. PenuntunPemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Jakarta: Yayasan oborIndonesia, 2002.
Otonomi Daerah: Desentralisasi Korupsi? Kompas, 8 Oktober 2010, h. 48.
Otonomi Daerah: Ketika Korupsi Menjadi Gangren. Kompas, 10 Maret 2011.
Otonomi: Desentralisasi Korupsi Sampai ke Daerah. Kompas, 10 Maret 2011.
Pito, Toni Adrianus Efriza, Kemal Fasyah. Mengenal Teori-Teori Politik: DariSistem Politik Sampai Korupsi. Bandung: Nuansa Cendika, 2013.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi IlmuRaya, 2007.
Rinaldi, Taufik, dkk. Memerangi korupsi di Indonesia Yang Terdesentralisasi:Studi Kasus Penanganan Korupsi di Pemerintahan Daerah. Justice For thePoor Project, 2007.
Rose-Ackerman, Susan. Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, AKibat, danReformasi. terj. Toenggoel P. Siagian. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010.
Saidi, Zaim. Secangkir Kopi Max Havelaar, LSM dan Kebangkitan Masyarakat.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, danPembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik, Kajian Historis dari Zaman Yunani KunoSampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
106
Semma, Mansyur. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara,Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008.
Sudibyo, Agus. Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan dalamDharmawan, HCB dan Al Soni, ed. Jihad Melawan Korupsi .Jakarta: PenerbitBuku Kompas, 2005.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1999.
Taher, Tarmizi Jihad NU-Muhammadiyah Memerangi Korupsi dalam Dharmawan,HCB. dan Al Soni, ed. Jihad Melawan Korupsi Jakarta: Penerbit BukuKompas, 2005.
Tanzi, Vito Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope and CuresInternational Monetetary Fund, 1998.
Uhlin, Anders. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga DiIndonesia, terj. Rofik Suhud. Bandung: Penerbit Mizan, 1998.
Wijayanto, Ridwan Zachrie, ed, Korupsi Mengorupsi Indonesia: sebab, akibat danprospek pemberantasan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Internet
Ada 1000 Laporan Korupsi yang Melibatkan Keluarga Atut. Artikel diakses pada16 Agustus 2015 darihttp://news.okezone.com/read/2013/12/17/339/913731/ada-1-000-laporan-korupsi-yang-melibatkan-keluarga-atut
Alkes Layak Sidik, KPK Telurusi Dugaan Korupsi Bansos Banten. Artikel diaksespada 16 November 2014 dari http://www.beritalima.com/2013/12/alkes-layak-sidik-kpk-telusuri-dugaan.html
Atut Resmi Diberhentikan sebagai Gubernur Banten. Artikel diakses pada 14Agustus 2015 darihttp://nasional.kompas.com/read/2015/07/29/02010051/Atut.Resmi.Diberhentikan.sebagai.Gubernur.Banten
Corruption Perception Index. Artikel diakses pada 2 Agustus 2015 darihttp://www.ti.or.id/index.php/publication/2014/12/06/corruption-perceptions-index-2014
Denny J A dan ICW dianugerahi Civil Society Award 2009. Artikel diakses pada15 Juli 2015 dari http://news.detik.com/berita/1181487/slank-denny-ja-dan-icw-dianugerahi-civil-society-award-2009
107
Hukuman Koruptor Terlalu Ringan. Artikel diakses 2 April 2015 darihttp://nasional.kompas.com/read/2013/09/09/1113063/Hukuman.Koruptor.Terlalu.Ringan
Husodo, Adnan Topo. Kilas Balik 17 Tahun Melawan Korupsi. Artikel diaksespada 28 Juni 2015 dari http://www.antikorupsi.info/id/icw
ICW Desak Korupsi Pengadaan Buku Kurikulum 2013 Diusut Tuntas. Artikeldiakses pada 16 November 2014 darihttp://news.okezone.com/read/2014/12/21/337/1082083/icw-desak-korupsi-pengadaan-buku-kurikulum-2013-diusut-tuntas
ICW Gelar Sekolah Anti Korupsi. Artikel diakses pada 15 Juli 2015 darihttp://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/24/mowlcw-icw-gelar-sekolah-antikorupsi
ICW Laporkan Korupsi Hutan Rp. 9,1 triliun. Artikel diakses pada 15 November2014 dari http://m.bola.viva.co.id/news/read/250279-icw-laporkan-korupsi-hutan-rp9-1-triliun
ICW: Atut Pantas dituntut 15 Tahun Penjara. Artikel diakses pada 14 November2014 darihttp://nasional.kompas.com/read/2014/08/11/13100761/ICW.Atut.Pantas.Dituntut.15.Tahun.Penjara
ICW: Dinasti Atut Jadikan Provinsi Banten Terkorup. Artikel diakses pada 15Novmeber 2014 darihttp://www.tempo.co/read/news/2014/01/27/063548702/ICW-Dinasti-Atut-Jadikan-Provinsi-Banten-Terkorup
ICW: Pendanaan Kompetisi Politik dari Sumber Daya Alam. Artikel diakses pada1 Oktober 2015 dari http://www.antarasumbar.com/berita/102609/icw--pendanaan-kompetisi-politik-dari-sumbar-daya-alam.html
Ini Besaran Penghasilan Gubernur dan Bupati, Artikel diakses pada 1 Oktober 2015dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/392123-ini-besaran-penghasilan-gubernur-dan-bupati
Kasus Akil Mochtar: Wawan Akui Beri Uang ke Akil. Artikel diakses pada 14Agustus 2015 dari http://www.solopos.com/2013/10/11/kasus-akil-mochtar-wawan-akui-beri-uang-ke-akil-455509
Kenapa Kepala Daerah Tersangkut Korupsi. Artikel diakses pada 1 Oktober 2015darihttp://nasional.kompas.com/read/2011/01/24/0835256/Kenapa.Kepala.Daerah.Tersangkut.Korupsi
108
Kode Etik Konsil LSM Indonesia. Artikel diakses pada 25 Mei 2015 darihttp://konsillsm.or.id/?p=556
KPK Mulai Telusuri Dugaan Korupsi Bansos Banten. Artikel diakses pada 15November 2014 dari http://www.beritasatu.com/hukum/156862-kpk-mulai-telusuri-dugaan-korupsi-bansos-banten.html
Laksmi dan Mohamad Aries (2006), Information Literacy Pada Lsm IndonesiaCorruption Watch Dalam Membongkar Informasi Tentang Korupsi, JurnalIlmu Informasi vol. 1 no. 2 (Agustus 2006): h. 10-11. Diunduh 2 Mei 2015http://staff.ui.ac.id/system/files/users/laksmi/publication/penelitianlsm.doc.
Manifesto Gerakan Anti Korupsi. Artikel diakses pada 1 Mei 2015 darihttp://www.antikorupsi.info/id/icw
Maulana, Delly (2013). Fenomena Demokratisasi Lokal di Provinsi Banten, JurnalAdministrasi Negara SAWALA vol 2. No. 2 (Mei-Agustus, 2013): h. 20.Diunduh 5 April 2015. http://ejurnal.unsera.ac.id/jurnal-administrasi-negara-vol-ii-no-2.html
Press Release Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi BantenTahun 2011. Artikel diakses pada 16 Agustus 2015 dari antikorupsi.org
Profil Dana Bantuan Sosial. Artikel diakses pada 5 Oktober 2015 darihttp://ehibahbansos.bantenprov.go.id/index.php?r=home/ProfilBansos
Sejak Otonomi Daerah 70 persen kepala dan wakil kepala daerah tersangkutkorupsi. Artikel diakses pada 1 Oktober 2015 darihttp://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/25/sejak-otonomi-daerah-70-persen-kepala-dan-wakil-kepala-daerah-terjerat-korupsi
Sriyana (2014), Politik Dinasti Sebuah Patologi Demokrasi. Jurnal Socioscientia,vol 6, no. 1 (February, 2014): h. 121. Diunduh 5 April 2015 darihttp://kopertis11.org/jurnal_baca.php?id=235
Vonis Rendah Terhadap Atut Ingkari Semangat Antikorupsi. Artikel diakses pada14 November 2014 dari http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/2123-vonis-rendah-terhadap-atut-ingkari-semangat-antikorupsi
Wawancara
Wawancara dengan Ade Irawan (Kordinator Indonesia Corruption Watch)
Wawancara dengan Donal Fariz (Divisi Korupsi Politik Indonesia CorruptionWatch)
Wawancara dengan Fuaduddin Bagas (Direktur Eksekutif MATA Banten)
109
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Published on Indonesia Corruption Watch
Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Banten Tahun 2011
Dugaan Korupsi Dana Hibah dan Bantuan SosialProvinsi Banten Tahun 2011Press Release Indonesia Corruption Watch
Pada tahun 2011 Pemerintah Daerah Provinsi Banten mengalokasikan anggaransebesar Rp. 340 milyar untuk hibah dan Rp. 51 milyar untuk program bantuansosial (bansos). Hibah disalurkan kepada 221 organisasi dan forum yang dibentukmasyarakat maupun instansi negara. sedangkan bansos disebarkan kepada 160lembaga.
Dalam tiga tahun terakhir, perkembangan alokasi dana hibah dan bansos ProvinsiBanten terus mengalami peningkatan. Kenaikannya sangat fantastis. Pada tahun2009, total dana hibah dan bantuan sosial sebesar Rp. 74 milyar. Tapi pada 2011atau menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) provinsi meningkat menjadi Rp.391 milyar.
Trend anggaran hibah dan bansos Provinsi Banten
110
Tahun Dana Hibah Dana Bantuan Sosial2009 14.000.000.000 60.000.000.000
2010 239.270.064.940 51.428.250.0002011 340.463.000.000 51.000.000.000
Masalahnya, dalam proses dan penetapan penerima hibah dan bansos ProvinsiBanten prosedur tersebut tidak dijalankan. Proses penentuan penerima tertutupdan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam berbagaiperaturan mengenai hibah dan bans. Bahkan anggota DPRD Provinsi Bantenmengaku kesulitan mendapat alamat penerima hibah dan bansos. Padahalmenurut mereka terdapat puluhan yayasan atau lembaga yang menjadi penerimadana hibah mencurigakan karena tidak dikenal oleh masyarakat.
Selain itu, dari 160 penerima dana bansos, pemerintah daerah hanyamencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan. Itu pun tidak didukungdengan alamat yang jelas. Sedangkan sisanya, sebanyak 130 penerima atau 81,3persen hanya ditulis “bantuan sosial daftar terlampir”.
Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan Indonesia Corruption Watch,ditemukan empat dugaan penyimpangan dalam program dana hibah dan bantuansosial Provinsi Banten tahun 2011 yaitu:
1. Lembaga penerima hibah fiktifBerdasarkan hasil uji petik yang dilakukan oleh ICW, secara keseluruhan palingtidak ada sepuluh lembaga penerima hibah yang diduga fiktif yang tersebar dibeberapa daerah di Banten. Total anggaran yang dialokasikan kepada sembilanlembaga tersebut sebesar Rp. 4,5 miliar.
2. Lembaga penerima hibah yang alamatnya samaDalam daftar penerima hibah juga ditemukan nama penerima yang tidak jelasdengan alamat yang sama. Setidaknya ada delapan penerima hibah yang memilikialamat sama yaitu jalan Brigjen KH Syam’un No.5 Kota Serang dan empat lembagadengan alamat sama yaitu jalan Syekh Nawawi Albantani Palima Serang.
Total alokasi anggaran untuk dua belas lembaga tersebut mencapai Rp. 28,9miliar. Masing-masing lembaga yang beralamat di jalan Brigjen KH Syam’un No.5Kota Serang sebesar Rp. 22.550.000.000 dan empat lembaga yang beralamat dijalan Syekh Nawawi Albantani Palima Serang sebesar Rp. 6.400.000.000.
3. Aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga gubernur
111
Dana hibah Provinsi Banten ternyata banyak yang didistribusikan kepadalembaga•lembaga yang dipimpin oleh keluarga gubernur mulai dari suami, kakak,anak, menantu, dan ipar. Misalnya dewan kerajinan nasional daerah (Dekranasda)menerima hibah sebesar Rp.750 juta. Dekranasda dipimpin oleh suami Ratu AtutChosiyah yang juga anggota DPRD Banten, Hikmat Tomet. Total dana hibah yangmasuk ke lembaga yang dipimpin oleh keluarga gubernur mencapai Rp. 29,5miliar.
4. Dana hibah tidak utuhTemuan lain adalah jumlah dana hibah yang diterima oleh lembaga tidak sesuaidengan pagu yang ditetapkan oleh dinas pengelolaan keuangan dan asset daerahProvinsi Banten. Contohnya, lembaga kajian sosial dan politik (Laksospol)Kabupaten Pandeglang. Dalam daftar DPKAD lembaga tersebut memperolehhibah sebesar Rp. 500 juta, tapi dalam surat pernyataan ketua Laksospol AyieErlangga, mereka hanya menerima hibah dari provinsi sebesar Rp. 35 juta.
No Masalah Nilai Kerugian
1 Lembaga fiktif 4.500.000.000
2 Lembaga penerima hibah yang alamatnya sama 28.950.000.000
3 Aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga gubernur 29.500.000.000
4 Lembaga yang menerima hibah tidak utuh 925.000.000
5. Sebagian Besar Penerima Bantuan Sosial Tidak JelasPemerintah Provinsi Banten mengalokasi anggaran bantuan sosial sebesar Rp. 51miliar. Akan tetapi dari 160 penerima dana bantuan sosial, pemerintah daerah
112
Banten hanya mencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan dan tidakdidukung oleh alamat yang jelas.
Sedangkan sisanya, sebanyak 130 penerima atau 81,3 persen penerima bantuansosial hanya ditulis “bantuan sosial daftar terlampir.” ICW sudah mengirimkansurat permintaan informasi penerima hibah dan bantuan sosial kepada DPKADBanten. Akan tetapi tidak ada respon. Pada 5 September 2011, ICW mengirimkansurat keberatan, tapi juga tidak direspon.
Berasarkan verifikasi yang ICW lakukan, pihak Gubernur dan kerabatnyamerupakan pihak yang paling diuntungkan secara materil atas kebijakanpemberian dana hibah dan bansos APBD Tahun anggaran 2011 yang secarasengaja melawan ketentuan yang berlaku.
Kesimpulan
1. Proses penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah, khususnya dana hibah dan bantuan sosial Provinsi Banten sangattertutup sehingga mudah diselewengkan menjadi modal politik bagiincumbent yang akan turut berkontestasi dalam pemilukada
2. Dana hibah dan bantuan sosial Provinsi Banten tahun 2011 diduga banyakmengalir kepada lembaga yang dipimpin oleh keluarga atau orang yangmemiliki afiliasi politik dengan gubernur.
3. Dana hibah dan bantuan sosial banyak digulirkan kepada lembaga•lembagafiktif dan lembaga•lembaga yang memiliki alamat sama
4. Beberapa lembaga tidak menerima dana hibah sesuai dengan pagu yangtelah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Banten
5. Sebagian besar lembaga/kelompok masyarakat penerima bantuan sosialProvinsi Banten tidak dicantumkan nama dan alamatnya sehingga sulituntuk diverifikasi
RekomendasiMeminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk;
1. Melakukan proses hukum atas dugaan korupsi senilai Rp34.930.000.000,00 yang terjadi dalam program hibah dan bantuan sosialProvinsi Banten tahun 2011, sesuai dengan data yang diverifikasi ICWsebanyak 30% dari kelompok penerima dana.
2. Melakukan penelusuran terhadap pemberian dana bansos dan hibahsebesar 240 miliar.
113
LAMPIRAN 2
Published on Indonesia Corruption Watch
Tentang ICW
114
Manifesto Gerakan Anti Korupsi ICW
Korupsi lahir di tengah situasi dimana oligharki politik mendominasi dalam pembuatankebijakan publik di satu sisi dan tiadanya public accountability sebagai mekanismepertanggungjawaban kekuasaan di sisi yang lain. Kondisi ini diperparah dengan sempitnyaruang partisipasi politik karena tidak adanya peluang dalam sistem politik yang dapatdigunakan untuk meminta pertanggungjawaban wakil rakyat di parlemen. Tali mandatantara pemilih dengan wakilnya di parlemen terputus karena para wakil rakyat yangdipilih melalui mekanisme pemilu justru mengabdi pada kepentingan partai politik dankelompok kepentingan yang menjadi cukong politiknya, daripada menyuarakankepentingan rakyat.
Realitas oligharki elit politik kian korup karena ditopang oleh struktur sosial paternalistikdan patriarkhis yang melahirkan ketidakberdayaan rakyat dalam mengontrolpemerintahan. Sebaliknya, kesadaran politik rakyat dikontrol oleh tokoh-tokoh yangsebagian besar adalah perpanjangan tangan kekuasaan. Perselingkuhan elit masyarakatdengan penguasa menyebabkan tiadanya peluang bagi rakyat untuk dapat mendesakkankepentingannya.
Lemahnya kontrol publik memiliki dampak yang sangat luas terutama pada usahareformasi birokrasi pemerintahan. Korupsi berkembang subur di birokrasi, terutama yangmenjadi ujung tombak pelayanan mendasar kebutuhan publik seperti pendidikan,kesehatan, air minum, dan listrik. Dengan pelayanan yang buruk, publik harus membayarmahal. Kekuasaan politik tidak memiliki prioritas untuk membuat perubahan di birokrasidan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat. Birokrasi justrumenjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligharki yang berkuasa.
Korupsi kian mencemaskan setelah implementasi Otonomi Daerah. Arah desentralisasiyang membawa semangat keadilan distributif sumber-sumber negara yang selama 32tahun dikuasai secara otoriter oleh pemerintah pusat kini justru menjadi ajang distribusikorupsi dimana aktor dan areal korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisirdan terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusatkekuasaan baru.
Hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakanaturan juga tak luput dari ganasnya korupsi. Mafia peradilan kian merajalela dan lembagaperadilan tak ubah laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparatpenegak hukum busuk. Rasa keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensipolitik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadikomoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpaldengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapatmenghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum.
Tidak sedikitpun terlihat ada kemauan politik (will) dari pemerintah untuk memberantaspraktek mega korupsi. Krisis ekonomi yang dituding banyak pihak merupakan akibat daripraktek korupsi tidak dijadikan pelajaran. Konglomerat akbar yang melakukan kejahatanekonomi justru diproteksi. Utang bernilai triliunan yang seharusnya mereka bayardibebankan kepada pemerintah yang memicu hilangnya mekanisme jaring pengaman
115
sosial seperti penghapusan subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan BBM. Korupsi telahmenyebabkan kemiskinan struktural yang kronis.
Korupsi membuat mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopolimenyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barang/jasa, dimanapengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik mendapat akses, konsesi dankontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harusdimenangkan dengan praktek suap menyuap mengakibatkan biaya produksimembengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biayakorupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.
Busuknya sektor pemerintah dan sektor swasta karena korupsi hanya melahirkankemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat banyak. Korupsi yang terjadi karenaperselingkuhan kekuasaan politik dan kekuatan ekonomi membuat semakin lebarnyajurang kesejahteraan. Karena itulah ICW percaya bahwa pemberantasan korupsi akanberjalan efektif jika ada pelibatan yang luas dari rakyat sebagai korbannya. ICWmengambil posisi untuk bersamasama rakyat membangun gerakan sosial memberantaskorupsi dan berupaya mengimbangi persekongkolan kekuatan birokrasi pemerintah danbisnis. Dengan demikian reformasi di bidang hukum, politik, ekonomi dan sosial untukmenciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan sosial dapatdiwujudkan.
ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmenuntuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untukterlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi. ICW lahir diJakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendakipemerintahan pasca Soeharto yang demokratis, bersih dan bebas korupsi.
Visi ICW:
Menguatnya posisi tawar rakyat untuk mengontrol negara dan turut serta dalamkeputusan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, bebas darikorupsi, berkeadilan ekonomi, sosial, serta jender.
Misi ICW adalah memberdayakan rakyat dalam:
1. Memperjuangkan terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yangbersih dari korupsi dan berlandaskan keadilan sosial dan jender.
2. Memperkuat partisipasi rakyat dalam proses pengambilan dan pengawasankebijakan publik.
Dalam menjalankan misi tersebut, ICW mengambil peran sebagai berikut:
1. Memfasilitasi penyadaran dan pengorganisasian rakyat dibidang hak-hakwarganegara dan pelayanan publik.
2. Memfasilitasi penguatan kapasitas rakyat dalam proses pengambilan danpengawasan kebijakan publik.
3. Mendorong inisiatif rakyat untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang terjadidan melaporkan pelakunya kepada penegak hukum serta ke masyarakat luasuntuk diadili dan mendapatkan sanksi sosial.
116
4. Memfasilitasi peningkatan kapasitas rakyat dalam penyelidikan dan pengawasankorupsi.
5. Menggalang kampanye publik guna mendesakkan reformasi hukum, politik danbirokrasi yang kondusif bagi pemberantasan korupsi.
6. Memfasilitasi penguatan good governance di masyarakat sipil dan penegakanstandar etika di kalangan profesi.
Posisi ICW:
Berpihak kepada masyarakat yang miskin secara ekonomi, politik dan budaya.
Nilai:
1. Keadilan sosial dan kesetaraan jender.Setiap laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peluang yang samauntuk berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, memiliki hak dan peluangyang sama di dalam lembaga maupun dalam kaitannya dengan kesempatan yangsama untuk mengakses dan mengontrol sumber daya lembaga.
2. Demokratis.Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam setiap pengambilankeputusan, perilaku dan pikiran, wajib menjunjung nilai demokrasi.
3. Kejujuran.Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan wajib membeberkan setiapkepentingan pribadi yang berhubungan dengan kewajibannya serta mengambillangkah-langkah untuk mengatasi benturan kepentingannya yang mungkintimbul.
Prinsip ICW:
1. Integritas Setiap individu tidak pernah melakukan kejahatan pidana, politik,
ekonomi dan hak asasi manusia. Setiap individu tidak pernah membela atau melindungi koruptor. Setiap individu tidak boleh menempatkan dirinya di bawah kepentingan
finansial atau kewajiban lainnya dari pihak luar, baik individu maupunorganisasi yang dapat mempengaruhinya dalam menjalankan tugas-tugasdan misi ICW.
2. Akuntabilitas. Setiap individu harus bertanggungjawab atas keputusan dan tindakan-
tindakannya kepada rakyat dan harus tunduk pada pemeriksaan publikterhadap seluruh aktivitas di ICW.
3. Independen. Setiap individu tidak menjadi anggota ataupun pengurus salah satu partai
politik. Setiap individu bertindak objektif dalam menghadapi pejabat negara
ataupun kelompok kepentingan tertentu.
117
Setiap individu tidak boleh membuat keputusan dengan tujuan untukmemperoleh keuntungan finansial atau materi bagi dirinya sendiri,keluarga dan konco.
4. Obyektivitas dan kerahasiaan. Setiap individu dalam mengambil keputusan dan tindakan harus semata-
mata berdasarkan pertimbangan kebenaran dan keadilan. Setiap individu wajib merahasiakan para identitas saksi dan pelapor kasus
korupsi yang melaporkan kasus korupsi ke ICW.
5. Anti-Diskriminasi. Dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, hak dan kewajiban
di lembaga, setiap individu tidak melakukan diskriminasi baikberdasarkan agama, ras atau golongan.
Dewan Etik
Bambang Widjojanto, Dadang Trisasongko, Kemala Chandrakirana, Masdar F. Masudi,Munir, Teten Masduki
Program dan Divisi ICW
Divisi Penggalangan Dana dan Kampanye Publik
Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah sebuah organisasi independen. Untuk menjagaindependensi sekaligus meningkatkan rasa kepemilikan publik dan menjagakeberlangsungan program, sejak Maret 2010 lalu ICW membuka peluang donasi publik.Dengan memberi bantuan finansial kepada lembaga ini, masyarakat dapat turut sertadalam kerja-kerja pemberantasan korupsi.
Donasi yang dikumpulkan dari publik dimanfaatkan untuk menjalankan sejumlah programICW, diantaranya; investigasi kasus, pemantauan anggaran sekolah, advokasi layanankesehatan, membangun generasi pemuda melawan korupsi, serta menyelenggarakanpendidikan antikorupsi di sekolah dan kampus.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi pilar utama gerakan antikorupsi. Untuk menjamintransparansi, setiap bulan ICW mempublikasikan hasil perolehan donasi di websitewww.fundraising.antikorupsi.org Setiap tahun, laporan keuangan secara menyeluruhakan diaudit oleh auditor independen dan diunggah ke website.
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan segala ketidakmaksimalannyasesungguhnya sudah mulai tumbuh sejak tahun 2004 hingga saat ini. Lembaga penegakhukum konvensional seperti Kepolisian dan Kejaksaan masih belum bisa maksimalmemberantas korupsi. Alih-alih bekerjasama, yang teradi justru konflik antara penegakhukum, seperti kasus Cicak vs Buaya beberapa waktu lalu. Sementara para mafia hukumdan peradilan semakin menjadi-jadi. Disisi yang sama, Oligarki semakin kuat menyanderaberbagai lini strategis penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
118
Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW menjalankan tugas pengawasan terhadapberbagai lembaga penegak hukum, hingga mengawal berbagai produk hukum yangrelevan dengan pemberantasan korupsi. Beberapa program yang dijalankan diantaranya;menginisiasi gerakan penyelamatan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaluikampanye? Cicak Vs Buaya?, monitoring pemilihan pimpinan KPK serta mengawal prosesrevisi UU Tindak Pidana Korupsi, UU KPK dan UU Pencucian uang.
Divisi Monitoring Pelayanan Publik
Salah satu indikator sukses upaya pemberantasan korupsi andalah meningkatnya kualitaspelayanan publik. Oleh karena itu, pengawasan terhadap sektor pelayanan publik inimutlak diperlukan untuk menjamin rakyat benar-benar mendapatkan haknya.
ICW tak pernah berhenti mengawasi pemerintah sebagai penyedia layanan publik. Agargaung dan manfaatnya lebih besar, lembaga ini mengajak masyarakat untuk turutberpartisipasi. Mereka, para pengguna layanan publik, diajak untuk memonitor kulitaspelayanan dan manajemen dana untuk mencegah terjadinya penyelewengan.Pemantauan kualitas pelayanan publik berbasis masyarakat terorganisir bertujuanmewujudkan keadilan sosial dalam pelayanan publik.
Selama beberapa waktu terakhir ini, ICW fokus terhadap pelayaan publik di sektorkesehatan, pendidikan, dan pelaksanaan ibadah haji.
Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran
Negara sering kecolongan akibat kekurangan penerimaan negara dari pajak dan bukanpajak. Membahas penerimaan negara, saat ini Divisi Monitoring dan Analisisis AnggaranICW fokus terhadap dua sektor utama; penerimaan dari sumber daya alam khususnyasektor pertambangan (industri ekstraktif) serta penerimaan negara dari pajak.
Disamping itu, Divisi MAA juga rutin melakukan pemantauan dan advokasi terkait belanjanegara dan subsidi energi. Pemantauan terhadap industri ekstraktif, ICW mendorongrenegosiasi kontrak sejumlah perusahaan ekstraksi yang beroperasi di Indonesia agarmemberikan manfaat lebih banyak kepada negara.
Divisi Korupsi Politik
Patronase bisnis dan politik merupakan pangkal pokok terjadinya korupsi. Cara untukmemangkasnya dengan mengimplementasikan nilai-nilai transparansi dan mendorongketerlibatan rakyat dalam pembuatan kebijakan.
Fokus utama kerja Divisi Korupsi Politik lebih kepada upaya mendorong transparansi danakuntabilitas dalam sektor politik melalui berbagai metode. Divisi ini melakukan riset danstudi mengenai patronase politik bisnis di level lokal hingga nasional.
Divisi Korupsi Politik juga melakukan advokasi terkait isu-isu aktual mengenai anggaran,korupsi di parlemen dan lingkungan pemerintahan daerah.
Divisi Investigasi
Indonesia Corruption Watch (ICW) menginvestigasi sejumlah kasus dugaan korupsisekaligus menerima laporan masyarakat mengenai kasus-kasus korupsi. Tugas Divisi
119
Investigasi adalah melakukan review secara mendalam sebelum melaporkan kasus-kasustersebut kepada aparat penegak hukum.
Hingga akhir Oktober 2011, ICW telah menerima 370 laporan dari masyarakat. Dari jumlahitu 149 diantaranya memiliki unsur dugaan korupsi, sedangkan sisanya adalah kasusbukan korupsi. 15 diantaranya telah dilaporkan kepada aparat.
Selain menangani investigasi kasus, divisi ini juga melakukan advokasi terhadapimplementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). ICW mendukungimplementasi berlakunya undang-undang ini dengan mendorong terbentuknya Komisi
Informasi Daerah (KID) di 6 provinsi; Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Bali. Selain itu ICW juga sedang mendorongdilakukannya audit sosial oleh masyarakat terhadap proyek-proyek pemerintah terutamadi bidang layanan publik di beberapa daerah.
Sekretariat Indonesia Corruption WatchJl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan, Indonesia Phone : +62 - 21 - 7901 885, 7994015 Fax : +62 - 21 - 7994 005 Email: [email protected] [3]
LAMPIRAN 3
120