HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS -...

27
43 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Bagian ini merupakan hasil penelitian yang langsung dianalisis. Pada bab ini penulis akan menjabarkan rentenir di Salatiga, permasalahan yang dialami perempuan rentenir, dan analisa terhadap permasalahan perempuan rentenir ditinjau dari konseling feminis. 3.1. Rentenir di Salatiga 3.1.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Pasar Raya Jalan Sudirman Kota Salatiga, berada di kelurahan Kutowinangun Lor. Di kelurahan ini ada dua pasar, yaitu Pasar Blauran dan Pasar Raya Jalan Sudirman. Kedua pasar di atas berada di RW 04, Pancuran, kelurahan Kutowinangun Lor, kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. 118 Adapun alasan penulis untuk memilih lokasi ini adalah karena mayoritas perempuan rentenir yang beroperasi di pasar tersebut adalah warga jemaat HKBP Salatiga. Di wilayah pasar raya Jalan Sudirman ini terdapat sejumlah pedagang yang notabene pedagang kecil (pedagang bakul) yang membutuhkan kucuran dana cepat untuk dipakai sebagai tambahan modal. Di pasar ini didominasi oleh suku asli (Jawa) yang kegiatannya sebagai pedagang. Hal ini yang membuat 118 Sumber: Dahlan, Keterangan tertulis dari Lurah Kelurahan Kutowinangun Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Oktober 2015.

Transcript of HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS -...

43

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Bagian ini merupakan hasil penelitian yang langsung dianalisis. Pada

bab ini penulis akan menjabarkan rentenir di Salatiga, permasalahan yang dialami

perempuan rentenir, dan analisa terhadap permasalahan perempuan rentenir

ditinjau dari konseling feminis.

3.1. Rentenir di Salatiga

3.1.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Pasar Raya Jalan Sudirman Kota

Salatiga, berada di kelurahan Kutowinangun Lor. Di kelurahan ini ada dua

pasar, yaitu Pasar Blauran dan Pasar Raya Jalan Sudirman. Kedua pasar di

atas berada di RW 04, Pancuran, kelurahan Kutowinangun Lor, kecamatan

Tingkir, Kota Salatiga.118

Adapun alasan penulis untuk memilih lokasi ini

adalah karena mayoritas perempuan rentenir yang beroperasi di pasar tersebut

adalah warga jemaat HKBP Salatiga.

Di wilayah pasar raya Jalan Sudirman ini terdapat sejumlah pedagang yang

notabene pedagang kecil (pedagang bakul) yang membutuhkan kucuran dana

cepat untuk dipakai sebagai tambahan modal. Di pasar ini didominasi oleh

suku asli (Jawa) yang kegiatannya sebagai pedagang. Hal ini yang membuat

118

Sumber: Dahlan, Keterangan tertulis dari Lurah Kelurahan Kutowinangun Lor, Kecamatan

Tingkir, Kota Salatiga, Oktober 2015.

44

para perempuan rentenir ini tertarik menjalankan bisnisnya di lokasi ini. Para

pedagang atau nasabah ini tidak mempunyai agunan untuk meminjam modal

ke bank, dan pedagang bakul ini hanya membutuhkan dana kecil. Untuk

menjawab kebutuhan para pedagang ini, maka para perempuan rentenir ini

pun tertarik menjalankan bisnis di pasar ini.

3.1.2. Gambaran Umum Rentenir di Salatiga

Sektor informal, baik di bidang perdagangan maupun perkreditan

telah memperlihatkan peranan yang penting. Hal ini terlihat semakin

banyaknya jumlah rentenir di pasar Salatiga dan menimbulkan persaingan

sesama rentenir yang berakibat semakin sulit untuk mencari nasabah.119

Rentenir yang beroperasi di pasar Salatiga didominasi oleh perempuan. Jenis

kelamin tidak mempengaruhi profesi rentenir, baik perempuan maupun

lakilaki dapat terjun dalam profesi ini. Perempuan lebih banyak rentenir jika

dibandingkan laki-laki, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang

berhubungan dengan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin bahwa pada

umumnya, perempuan yang bekerja untuk meningkatkan pendapatan ekonomi

keluarga. Di samping itu, perempuan juga memiliki tugas untuk memutuskan

penggunaan uang dalam keluarga. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah

utama, yang harus bertanggungjawab memberikan penghasilannya kepada

para istri, untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Akibatnya secara

psikologis perempuan lebih mampu dan berpengalaman dalam penggunaan

119

Wawancara dengan ibu Len.

45

uang. Pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur keuangan tersebut juga

diaplikasikan dalam bidang perdagangan dan hutang-piutang.120

Menurut penelitian penulis, di pasar Salatiga, kendatipun citra

buruk dibangun oleh berbagai kebudayaan, profesi ini tidak surut, bahkan ada

kecenderungan semakin berkembang sejalan dengan ekspansi perdagangan.

Hal ini diakui oleh ibu Len sebagai narasumber yang menyatakan semakin

sulitnya bersaing karena jumlah rentenir yang semakin banyak jumlahnya:121

“Nunga lam godang be rentenir saonari, berbeda sian na jolo i, alani i

gabe maol nuaeng mangalului nasabah jala godang saingan gabe susa

mangula ulaon on.”

Rentenir ini berkembang selain karena perkembangan pasar, juga

reaksi terhadap sulitnya aturan–aturan kredit formal yang disediakan oleh

institusi ini, banyak dimanfaatkan oleh lapisan bawah, yang pada umumnya

kurang berpendidikan dan kurang mengetahui regulasi perbankan.122

Sulit

sekali untuk melacak kembali data statistik yang berkaitan dengan berapa

besar jumlah rentenir yang beroperasi saat ini. Kesulitan ini mengacu pada

sifat aktivitas rentenir itu yang tergolong dalam „ekonomi gelap‟, sehingga

para ekonom dan ilmu sosial tidak banyak memperhitungkannya.123

Seiring

dengan pertambahan jumlah rentenir yang meningkat pesat, hal ini juga

tantangan bagi sesama rentenir bahwa semakin sulit untuk mencari nasabah.

120

Yoserizal, Yessi, Ibid, 7. 121

Wawancara dengan ibu Len. 122

Sumadiningrat, Gunawan (1990), “Peran dan Prospek Perkreditan Rakyat dalam Rangka

Kebijakan Pakto”, Makalah Seminar, Jakarta, Lembaga Pengembangan Perbankan

Indonesia, 6 Januari 1990, 6. 123

Hartono, Suwardi Prawiro, dan Pancawati, Neni, Ibid, 7.

46

Berbeda beberapa tahun sebelumnya, jumlah rentenir di pasar

Salatiga masih sedikit; dengan demikian rentenir masih cepat mendapat

nasabah dan keuntungan yang besar. Nasabah juga mudah mencari pinjaman

ke beberapa orang rentenir di pasar, yang mana hal ini membuat nasabah sulit

untuk mengembalikan pinjamannya, karena jumlah utangnya terlalu besar

kepada beberapa rentenir, sementara barang dagangannya belum tentu

terjual.124

Dari permasalahan di atas penulis melihat bahwa semakin banyak

jumlah rentenir di pasar ini akan menjadi kesulitan bagi rentenir itu sendiri

dalam hal mencari nasabah. Jumlah perempuan rentenir jemaat HKBP

Salatiga saat ini berkisar 27 orang dan diperkirakan jumlah ini akan

bertambah, karena semakin banyak saudaranya atau kerabatnya yang datang

dari kampung ke Kota Salatiga ini untuk menjalankan bisnis ini.125

Pertambahan jumlah rentenir ini membuat pemerintah sampai saat ini sangat

kewalahan mengatasi sistim ijon, rentenir tetap terorganisasi yang berlindung

di balik operasi koperasi simpan-pinjam (KSP). Rentenir secara negatif tidak

saja memberatkan masyarakat, tetapi pada dasarnya bagi bank sentral sendiri

menjadi semakin menghambat proses monetisasi di negara-negara sedang

berkembang, di lain pihak kebiasaan ini dapat menimbulkan ketidakberesan

di sektor formal (perbankan) yang menjadi amat sulit memperbaikinya.126

124

Wawancara dengan ibu Len. 125

Sumber: Data Statistik Jemaat 2014 Gereja HKBP, “Berich HKBP Salatiga Desember Tahun

2014“ (2014). 126

Ghate, P. B. (1986), “Some Issue for Regional Study on Informal Credit Markets”, A Background

Discussion Paper for the Design Workshop, Manila, May 28 to 30, 1986, 5.

47

Kenyataannya, rentenir yang menikmati suku bunga rendah dari bank pemerintah

dimana rentenir biasanya bila kekurangan modal meminjam dari orang-orang

tertentu atau BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dengan uang sebesar 5%; tetapi

dengan kehadiran bank pemerintah, rentenir yang kekurangan modal meminjam

uang ke bank pemerintah yang bunganya hanya 2%, kemudian dipinjamkan ke

pedagang kecil dengan bunga sebesar 20% sehingga keuntungannya menjadi 18%

per bulan.127

Rentenir untuk meminjamkan uangnya ke pedagang kecil

dilakukan dini hari pukul 03.00 – 07.00 WIB, pada saat para pedagang

menunggu barang-barang sayuran, ikan, daging yang turun dari gunung atau

desa, dan pada saat itu ada barang sayur atau ikan atau daging yang akan

dibeli, tetapi uang tidak cukup dan seketika itu langsung meminjam uang dari

rentenir yang besarnya berkisar antara Rp.50.000 – Rp.200.000, dan biasanya

rentenir sudah berada di tempat pada pagi/dini hari sekitar pukul 01.00 -

02.00 dan berdiri di samping para pedagang. Pedagang sudah mengerti

orangorang yang pekerjaannya rentenir, dan uang yang dipinjam tersebut

langsung dibagi 30 hari yang dibayar modal bersama bunga selama 1

bulan.128

Bunga yang ditetapkan oleh rentenir terhadap pedagang sekitar

20%, bunga ini cukup tinggi dan ini alasan yang membuat rentenir tergiur

untuk menjalani

bisnis ini.129

Di samping itu, pedagang kecil selalu membeli barang tertentu

127

Siahaan, Monang, Ibid, 17-18. 128

Siahaan, Monang, Ibid, 19. 129

Wawancara dengan Ibu Len.

48

untuk memenuhi kebutuhan langganan, karena bila tidak ada barang yang

biasa dijual langganan bisa beralih ke pedagang lainnya yang sulit

menariknya kembali. Para rentenir sekitar pukul 09.00 WIB menagih setoran

pinjaman sebelumnya dari peminjam yang dilakukan setiap hari. Sekitar

pukul 15.00 WIB dilakukan menagih uang pinjaman sebelumnya dari

peminjam.130

Di selang waktu jam kerja ini, rentenir (perempuan) dapat

bekerja bergilir dengan suaminya. Dan perempuan rentenir ini dapat memakai

waktu untuk mempersiapkan pekerjaan di rumah menunggu waktu tiba

kembali ke pasar menagih setoran.131

Para perempuan rentenir ini memakai

waktu luang untuk mempersiapkan pekerjaan rumah, menunggu tiba waktu

kembali ke pasar untuk menagih.

3.1.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perempuan Menjadi Rentenir

Dari hasil penelitian ini perempuan rentenir ini melakukan

pekerjaan ini karena faktor kebutuhan dan faktor suku bunga tinggi.

a. Kebutuhan

Para perempuan rentenir ini menjalankan bisnis ini adalah karena

ingin memperbaiki taraf hidup. Mereka datang dari kampung masih belum

memiliki harta benda, hidup pas-pasan, tetapi setelah menjalankan bisnis ini

taraf hidup pun berubah dari yang tidak memiliki harta menjadi kaya dari

hasil riba uangnya. Hal ini diakui oleh ibu HS:132

130

Siahaan, Monang, Ibid, 19. 131

Wawancara dengan ibu JS. 132

Wawancara dengan ibu HS.

49

“Ro sian huta pogos do hami. Alai dung huula hami bisnis on gabe

adong ma arta nami nuaeng. Boi ma terpenuhi sude kebutuhan

hidup nami, mangan dohot biaya sikola ni dakdanak. Alani i hujou

hami do tondongnami sian huta jala rap mangula rentenir dison.”

Kondisi inilah yang menggiurkan pelaku untuk menjalankan bisnis

rentenir, setelah mengalami kemajuan di bidang ekonomi, dan

lambat laun pelaku ini mengajak saudaranya dari kampung untuk bergabung dalam menjalankan bisnis rentenir.

Hampir seluruh waktu rentenir ini habis dipakai untuk mengejar

para nasabah dan menagih mereka, serta merayu nasabah agar meminjam

uang kepadanya. Inilah salah satu cara dari seorang rentenir dalam upaya

melanggengkan hubungannya dengan nasabah. Hal ini terlihat dari cara

kerja rentenir ini mulai pagi hari sampai sore hari.133

Menurut penulis, para perempuan rentenir yang menjalankan bisnis

ini mengalami perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik karena kegigihan

yang luar biasa, beroperasi mulai dari pagi sampai sore, dan setelah

mengalami kemajuan dan kesuksesan, maka mereka mengajak saudaranya

dari kampung.

b. Suku Bunga Tinggi

Seiring berjalannya waktu jumlah rentenir ini bertambah banyak.

Dari hasil penelitian, para rentenir ini menyatakan selain faktor kebutuhan,

mereka tergiur menjalankan bisnis ini karena faktor bunganya yang relatif

tinggi. Para perempuan rentenir ini tidak perlu berlama-lama menunggu

proses waktu, perubahan ekonomi langsung nyata dan relatif cepat. Mereka

kini dapat membeli tanah serta rumah, mencicil kredit sepeda motor, dan

133

Siahaan,Monang, Ibid, 19.

50

memenuhi kebutuhannya. Bunga uang yang bisa mencapai 20% serta

jumlah tagihan tergantung kesepakatan antara rentenir dan nasabah dengan

tagihan secara harian atau mingguan. Hal ini diakui oleh ibu Len: 134

“Ahu gabe rentenir alana hubege do bungana timbo”

Ibu Len ini tergiur menjadi rentenir dan meninggalkan pekerjaannya di Riau

karena ibu Len ini mengetahui dari saudaranya yang telah lama

menjalankan bisnis ini, bahwa bisnis ini cukup menjanjikan dengan bunga

sangat tinggi. Ibu Len ini beranggapan hanya dengan menjalankan bisnis ini

saja, maka kondisi ekonominya diyakini dapat lebih baik. Hal ini juga

dialami oleh ibu JS yang sudah menjalankan bisnis ini selama 17 tahun.

Menurut pengakuan responden: 135

“Nunga 17 taon ahu mandalani bisnis on, jala nunga godang

dapothu sian bunga ini hepeng on. Nuaeng boi ahu marjabu,

manuhor motor, jala pasikkolahon gellengku. Sudena i sian bunga

ini hepeng on do.”

Ibu JS tidak merasa bersalah dengan bunga yang tinggi itu, dia

beranggapan bahwa harta yang dimiliki itu semua pemberian Tuhan.

Menurut pengakuan responden:136

“Mauliate ma di Tuhan, di pasu-pasuNa gabe boi denggan

mulaulaon di ngolu on. Molo taringot tu balga ni bunga hepeng i,

bah kesepakatan doi, olo sama olo do.”

Dari pernyataan ibu JS diketahui bahwa responden menagih suku bunga itu

atas kesepakatan bersama antara nasabah dan responden.

134

Wawancara dengan ibu Len. 135

Wawancara dengan ibu JS. 136

Ibid..

51

Ironisnya, justru pedagang-pedagang kecil yang banyak meminjam

pada perempuan rentenir meskipun bunga tinggi mencapai 20%. Bunga

sebesar ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan institusi finansial formal

yang digelar pemerintah atau bank perkreditan rakyat yang bunganya

berkisar antara 2,5 - 3%.137

Menurut penulis, bunga tinggi ini menjadi faktor pendukung bagi

perempuan rentenir ini untuk menjalankan bisnis ini, sekalipun sudah

memiliki pekerjaan sebelumnya.

Dari hasil penelitian ini ada beberapa masalah yang dihadapi

perempuan rentenir ini antara lain:

3.2. Permasalahan yang Dialami oleh Perempuan Rentenir

3.2.1. Kekerasan Verbal

Semua orang tahu bahwa profesi meminjamkan uang dengan

mendapatkan imbalan banyak adalah rentenir. Sebagai implikasinya, banyak

pekerja rentenir sering mendapat citra buruk dari warga masyarakat. Dalam

berbagai kebudayaan, profesi rentenir sering diidentifikasi sebagai pekerjaan

sadis, sebab menarik riba atas uang yang dipinjamkan. Sebagaimana

pengakuan dari responden ibu HS:138

“Didok jolma rentenir i jahat. Jala ndang pola heran/kagum jolma

mamereng hamoraon ni rentenir, nang pe mamora manang sukses”

Maksudnya bahwa masyarakat memberikan label konotasi buruk

atas profesi rentenir. Masyarakat tidak kagum melihat kekayaan dari

137

Siahaan, Monang, ibid, 17. 138

Wawancara dengan ibu HS.

52

si rentenir, sekalipun rentenir ini sukses dalam hal materi,

sebagaimana yang telah dialami ibu HS selama ini.

Menurut pengakuan ibu Len:139

“Molo adong nasabah na maol mambayar pintor hata kotor nama

nidok.”

Acap kali perempuan rentenir ini melontarkan kata-kata kasar jika nasabah

sulit mengembalikan utangnya.140

Sementara Ibu JS berkata:

“Molo ahu, lao do ahu tu jabuna lao martagih molo ndang jumpang

di pasar. “

Responden terpaksa mendatangi rumah nasabahnya untuk menagih

utang (diparani).141

Namun sedikit agak berbeda dengan ibu HS yang mengatakan:142

“Molo ahu, huelek do parjolo laho manjalo tu nasabah i, alai molo

nga maol baru pe humakki ma”

Jika menghadapi nasabah yang sulit membayar utangnya, dia

membujuk nasabah dulu, tapi jika tidak bisa lagi dengan membujuk, maka

kata-kata kasar serta suara keras pun akan dilontarkannya. Ibu Len mengakui

bahwa hal itu tidak baik, karena menjadi tontonan orang sekitar serta

berakibat stres pada diri sendiri.143

Ibu Len sebenarnya dari rumah sudah

berniat untuk tidak marah di pasar, tetapi jika berhadapan dengan nasabah

yang sulit ditagih, maka kata-kata kasar pun terlontar.

139

Wawancara dengan ibu Len 140

Ibid. 141

Wawancara dengan ibu JS. 142

Wawancara dengan ibu HS. 143

Wawancara dengan Ibu Len.

53

Menurut penulis konseli ini sebenarnya tidak ingin melakukan

kekerasan verbal. Seperti yang dipaparkan oleh teori Galtung yaitu mengenai

kekerasan psikis. Kekerasan yang dilakukan oleh konseli ini berdampak

timbal balik antara konseli dan nasabah. Konseli yang melakukan kekerasan

itu pun mengalami dampak yaitu stres. Konseli tidak nyaman melakukan

kekerasan verbal itu. Di satu sisi konseli memiliki naluri keibuan, yang

lembut, tetapi di sisi lain sesuai dengan pekerjaan maka konseli harus mampu

untuk bertindak tegas dan keras.144

3.2.2. Eksploitasi Suku Bunga Tinggi

Bentuk eksploitasi yang terjadi di pasar Salatiga adalah rentenir

meraup keuntungan yang lebih besar sampai mencapai tingkat suku bunga

20%. Suku bunga yang tinggi ini juga membuat bisnis ini diminati perempuan

jemaat HKBP Salatiga ini. Menurut pengakuan responden ibu Len:145

“Andorang so ro tu Salatiga on, nunga karejo di toko hian ahu di

Riau, alai beralih ma au gabe rentenir ala hubege balga do bunga ni

hepeng.”

Ibu Len sanggup meninggalkan pekerjaannya di Riau setelah ibu Len

mendengar suku bunga tinggi yang menggiurkan dari bisnis ini, sehingga ibu

Len tertarik melakukan pekerjaan ini hanya karena suku bunga yang cukup

tinggi.

144

Hamka, Aldrin Ali & Danarti, Tyas, Ibid, 17. 145

Wawancara dengan Ibu Len.

54

3.2.3 Masalah Peran Domestik

Menurut ibu JS yang menjadi kendala baginya tidak memiliki waktu

membimbing anak dan melihat perkembangan mental anak. Menurut

wawancara dengan ibu JS: 145

“Ganup ari lao ahu tu pasar pukul 03.00 manogot, dakdanak modom

dope, alani i, ndang sanga be hubereng toho do manang ndang

dakdanak on laho tu sikola. Ndang adong tingkiku parade

sipanganon dohot mamareso dakdanak. Amanta pe dohot do karejo

tu pasar, jadi laos holan dakdanak i do di jabu.”

Responden berangkat ke pasar sekitar pukul 03.00 dini hari beserta suami,

sehingga tidak punya waktu untuk mempersiapkan keperluan anak-anaknya

ke sekolah, dan oleh karenanya kurang waktu untuk membina mental si anak.

3.2.4. Masalah Psikologis Anak

Ibu JS punya anak 03.00 orang dan semuanya sudah sekolah. Anak

pertama sekolah di tingkat SLTA, anak kedua dan ketiga sekolah di tingkat

SLTP. Ketiga anak ibu JS sudah remaja dan beranjak dewasa. Ibu JS

menceritakan kondisi psikologis anaknya yang terganggu dengan keadaan

pekerjaannya itu. Anak-anak JS sebenarnya merasa malu dan minder di

sekolah jika guru bertanya apa pekerjaan orang tuanya. Anaknya ini

cenderung diam tidak menjawab apa status pekerjaan orang tuanya. Pernah

anak-anak ibu JS tersebut memohon kepada ibunya agar berhenti dari

pekerjaannya karena malu. Dari hasil penelitian ibu JS mengatakan:147

“Naeng maradi nama ahu na marpasar on secara bertahap. Nunga huorui be

145

Wawancara dengan Ibu JS. 147

Ibid.

55

godang ni nasabah di pasar. Annon dung maradi ahu marpasar, naeng

mambahen kursus senam nama, asa unang maila dakdanak on.”

Ibu JS berusaha untuk beralih dari profesi rentenir ini hanya demi

kenyamanan dan perkembangan psikologis anak-anaknya. Sebenarnya ibu JS

sulit untuk meninggalkan bisnis ini. Anak-anak ibu JS merasa malu dan

minder tentang pekerjaan orang tuanya adalah karena stigma yang melekat

pada rentenir ini, bahwa rentenir adalah pekerjaan yang sadis, kasar,

eksploitasi, jauh dari kejujuran, ketidakadilan, serta kurangnya waktu untuk

membina mental anak. Menurut pengakuan responden ibu HS:146

“Molo hami na marpasar on holan na margabus do tu nasabah i,

mangotootoi. Nidok baru 10 hali dope dibayar nasabah, hape nunga

12 hali, ai so adong catatan ni nasabah i.”

Dari pengakuan ibu HS ini, bahwa pekerjaan rentenir itu pekerjaan

yang selalu berbuat yang tidak jujur pada nasabah karena nasabah tidak punya

catatan tersendiri. Dari kondisi pekerjaan inilah maka anak-anak perempuan

rentenir ini merasa minder di lingkungannya dan malu untuk mengakui status

pekerjaan orang tuanya.

3.3. Analisa Terhadap Permasalahan Perempuan Rentenir Ditinjau dari

146

Wawancara dengan ibu HS.

56

Konseling Feminis

3.3.1. Kekerasan Verbal

Berdasarkan penelitian di atas, maka masalah kekerasan verbal yang

dihadapi Konseli adalah kata-kata kasar dan keras. Inilah bentuk kekerasan

yang terjadi di saat menjalankan bisnisnya. Kekerasan dilihat dari perspektif

Coady, bahwa kekerasan tidak dapat dibatasi hanya pada fisik, sebab

kekerasan itu juga mencakup kekerasan psikis.147

. Jadi kekerasan tidak hanya

fisik tetapi juga dengan kata-kata kasar. Sementara menurut pendapat

Brunetta Wolfman, perempuan itu adalah perempuan yang lembut, perhatian,

dan empati.150

Para perempuan rentenir ini berontak terhadap pekerjaannya

karena streotipe yang melekat pada perempuan, yaitu perempuan itu lembut,

namun kenyataannya perempuan rentenir ini melakoni sikap kasar dan keras.

Karena itu, dari perspektif feminis rentenir ini tidak dapat dilakoni oleh

seorang perempuan, karena secara naluri perempuan itu dianggap lemah

lembut, keibuan dan emosional, seyogianya hanya pantas mengerjakan

pekerjaan rumah tangga dan merawat anak.

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan rentenir

dalam menjalankan peran sebagai rentenir, maka perlu dilakukan

pendampingan konseling berbasis feminis; bahwa tujuan konseling feminis

menurut Nurhayati adalah mendobrak kebekuan dan kekakuan epistemologi

konseling dalam memahami kompleksitas masalah perempuan, serta memberi

147

Coady, C.A.J (1999), Ibid,35. 150

Wolfman Brunetta, Ibid, 22.

57

bantuan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya

yang sama-sama luhur di sisi Tuhan.148

Menurut penulis konseli mengalami kompleksitas kejiwaan, di satu

sisi, perempuan rentenir harus ramah/lembut sesuai dengan naluri

keibuannya, tetapi di sisi lain, perempuan rentenir harus bersikap keras untuk

menopang pekerjaannya. Maka dalam hal ini perlu pendekatan konseling

feminis yang dapat memahami kompleksitas masalah perempuan rentenir ini.

Melalui pendekatan konseling feminis yang dipaparkan oleh Nurhayati,

diharapkan konseli mampu untuk melihat dan menghargai nasabah jauh dari

ketidakadilan dan ketidakjujuran. Serta menghargai harkat dan martabat

manusia dengan menjauhkan praktik kekerasan verbal.

Dari pendekatan konseling di atas, penulis melihat bahwa teori

konseling yang menekankan bagaimana perempuan rentenir itu untuk

berperilaku dalam menjalankan bisnisnya sesuai dengan konsepsi feminis.

Menurut John McLeod, perempuan disosialisasikan sebagai sosok yang

memperhatikan orang lain, dan berpartisipasi dalam hubungan bahwa mereka

memberikan empati meskipun perempuan itu sulit mendapatkan empati dari

orang lain. Karena itu pengalaman mutualitas merupakan salah satu area yang

diuji oleh model konseling feminis. Dalam mutualitas intersubjektif kita tidak

hanya menemukan peluang untuk mengembangkan pemahaman terhadap

orang lain, tetapi juga menajamkan kesadaran akan diri sendiri. Salah satu

target kunci dalam konseling feminis adalah memungkinkan klien untuk lebih

148

Nurhayati, Eti, ibid, 353.

58

mampu berpartisipasi dalam hubungan yang ditandai dengan mutualitas yang

tinggi. Mutualitas juga diekspresikan dalam hubungan konseling itu sendiri,

bahwa konselor feminis ingin menjadi „nyata‟, dikenal dan membantu secara

aktif dalam ruang konseling.149

Menurut penulis, melalui pendekatan konseling feminis ini

diharapkan rentenir dalam menjalankan bisnisnya dapat menghargai nasabah

itu sebagai manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan. Dan hal ini yang perlu

diterapkan melalui proses pendekatan konseling feminis, sehingga hubungan

rentenir dengan nasabah dapat pulih kembali (reconciling) dan terhindar dari

praktik kekerasan.

3.3.2. Eksploitasi Suku Bunga Tinggi

Eksploitasi bunga yang tinggi adalah salah satu yang menjadi

masalah rentenir dengan nasabahnya. Menurut Galtung, dalam Windhu I.

Marsana mengatakan eksploitasi terjadi bila totalitas jumlah biaya dan

keuntungan kegiatan dalam pertukaran ekonomi berbagai kelompok berbeda,

sehingga beberapa kelompok memperoleh keuntungan lebih banyak daripada

yang lain.150

Secara ringkas eksploitasi dilihat sebagai sumber pokok adanya

ketimpangan (ketidaksamaan) di dunia ini.154

Menurut penulis rentenir mendapatkan keuntungan yang lebih dari

bisnisnya ini. Ibu HS mengakui bahwa pada saat mereka (keluarga) datang ke

149

Nurhayati, Eti, Ibid, 242. 150

Windhu, I. Marsana, Ibid, 42. 154

Ibid, 49.

59

Salatiga ini mereka belum memiliki apa-apa. Setelah menjalani bisnis ini

selama 10 tahun, kehidupannya pun semakin makmur, punya rumah, ruko dan

mobil dari hasil riba uangnya.

Dari permasalahan yang dihadapi perempuan rentenir maka perlu

pendekatan konseling feminis sesuai dengan teori Enns. Menurut Enns,

beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan, menghargai dan

meneguhkan keragaman, berjuang untuk perubahan daripada penyesuaian,

kesetaraan, kemandirian, dan persamaan ketergantungan, perubahan sosial,

pengasuhan diri, membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen

aktif bagi kehidupan mereka maupun orang lain.151

Tujuan pendampingan adalah memberikan pelayanan kasih sebagai

ungkapan iman sekaligus jawaban konkret atas pemanggilan hidup kristiani

dengan kepedulian dan keprihatinan maupun perhatian kepada mereka yang

menderita untuk meringankan beban psikisnya.152

Melalui pendekatan

konseling feminis sesuai teori Enns ini, perempuan rentenir menghargai

nasabah itu serta ada perubahan pada diri perempuan rentenir. Bahwa tujuan

konseling feminis menurut Brown & Greene, lebih menyoroti ke arah

perubahan sosial, karena perubahan individu tidaklah cukup untuk

menyesuaikan diri dengan sistem yang berlaku, perlu perubahan yang lebih

luas.153

Menurut penulis pendekatan konseling yang dibangun oleh teori

151

Corey G., Ibid, 235. 152

Engel, J.D., Ibid, 84. 153

Williams, Elizabeth Nutt & Barber, Jill S. (2004), “Power and Responsibility in Therapy:

Integrating Feminism and Multiculturalism”, Journal of Multicultural Counseling and

Development, Extra 2004 Vol.32, 2004, 1.

60

Enns ini agar para rentenir ada perubahan yang lebih baik, jauh dari praktik

eksploitasi, ketidakadilan dalam hal keuntungan, dan perubahan ini diharapkan

secara menyeluruh.

3.3.3 Masalah Peran Domestik

Ibu JS mengalami kesulitan dalam membina anak-anaknya karena

suaminya juga turut pergi bekerja juga pada dini hari.154

Ibu ini tidak punya

waktu memberangkatkan anak-anaknya ke sekolah pagi hari dan ibu ini tidak

sempat memperhatikan perkembangan sekolah anak-anaknya. Sementara

tugas dan tanggung jawab perempuan dalam mengasuh, membina, mendidik,

dan membesarkan anak sehingga berwatak, berkepribadian dan berkelakuan

serta bertindak sebagai manusia seutuhnya (Maftuchah Yusuf, 2000).155

Secara mendasar perempuan adalah ibu rumah tangga. Pria adalah

pencari nafkah, perempuan adalah penjaga dan pembagi makanan. Dia adalah

seseorang yang mengambil alih setiap persoalan. Seni mengasuh tunas bangsa

merupakan tugas utama perempuan dan satu-satunya hak istimewa.156

Perempuan bertanggungjawab untuk mengasuh dan menjaga anak, dalam

kehidupan keluarga di Indonesia terdapat anggapan umum yang menekankan

soal pendidikan anak lebih menjadi tanggung jawab ibu daripada bapak. Bila

154

Wawancara dengan ibu JS. 155

Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, Hal 117. 156

Gandhi, Mahatma (Penerjemah: Siti Farida) (1933), “Kaum Perempuan dan Ketidakadilan

Sosial”, Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT), (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, ISBN: 979-9483-58-1, Juni 2002), 48.

61

terjadi ketidakberhasilan pendidikan anak, pihak ibu yang harus bertanggung

jawab.157

Kebanyakan perempuan telah mengetahui bahwa masyarakat

mengharapkan mereka menjadi istri dan ibu dan hingga beberapa waktu yang

lalu nilai-nilai yang dipegang kalangan kelas menengah mengharuskan

perempuan mengurus rumah tangga. Peran umum ini dipertahankan oleh

banyak orang yang berumur lebih tua dan berpegang teguh pada tradisi yang

mempertahankan bahwa menjadi istri dan ibu yang baik membutuhkan

seluruh tenaga seorang perempuan.158

Seorang ibu adalah yang paling banyak berperan di rumah dan

bergaul dengan anak-anaknya. Berkaitan dengan tanggung jawab ini, seorang

ibu mempunyai peran khusus, yaitu seorang istri pemelihara rumah tangga

dan anak-anaknya. Jelaslah ibu sangat berperan sebagai pemimpin rumah

tangga dan sebagai awal pembinaan karakter bangsa. Seorang ibu akan sabar

dalam menghadapi aneka kendala dalam melaksanakan perannya.159

Kendala-

kendala yang paling umum dan paling sering dikemukakan kaum perempuan

yang telah menikah ialah bahwa para suami tidak membantu dalam urusan

rumah tangga dan anak-anak. Hal ini juga merupakan sumber pertentangan

dan pertengkaran dalam keluarga. Khususnya kalau suami menganggap

rumah dan anak-anak itu hanya tanggung-jawab istri, tidak peduli sifat

pekerjaan istrinya atau berapa jam ia bekerja.164

Kendala yang dihadapi

157

Hadiz, Liza (Editor) (2004), “Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru”, (Jakarta: Pestaka

LP3ES Indonesia, ISBN: 979-3330-19-8, 2004), 419. 158

Wolfman, Brunetta R., Ibid, 22. 159

Haikal, Husain, Prof. (2012), “Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa”, Universitas Negeri Yogyakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ISBN: 978-602-229-067-4, April 2012), 69.

164 Wolfman,

Brunetta R., Ibid, 84.

62

perempuan antara karier dan rumah tangga dapat teratasi jika suami dan istri

sebagai sebuah tim dengan dukungan komunitas menangani, baik pengasuhan

anak maupun pekerjaan rumah.160

Seperti yang dilakukan oleh responden ibu

HS, bahwa saat ibu HS berada di pasar maka suaminya yang mengurus dan

mempersiapkan keperluan anak-anaknya ke sekolah.161

Walaupun peranan penting dari perempuan itu hanya ada dalam

keluarga, janganlah kita lupa bahwa justru rumah tangga itu merupakan inti

yang terpenting daripada masyarakat. Khususnya pendidikan dari generasi

yang sedang berkembang sebagian terbesar menjadi tugas perempuan, karena

dialah yang membimbing si anak pada langkah-langkah pertama dalam jalan

hidupnya. Perempuanlah yang meletakkan dasar pertama untuk

perkembangan selanjutnya dari akal dan budi si anak.162

Sementara

perempuan dimana-mana mencurahkan tenaga untuk membina keluarga,

mendidik anak-anaknya, merawat anggota keluarga yang sakit, bahkan di luar

rumah perempuan memegang peranan dalam usaha kesejahteraan

masyarakat.163

Kewajiban perempuan dalam rumah tangga yaitu: perempuan

harus rajin, perempuan harus cepat pada sekalian pekerjaan, perempuan harus

bersih, harus sabar, harus tulus budinya, harus adil, sopan dan pintar dalam

menyelesaikan pekerjaannya.164

160

Creegan, Nicola Hoggard; and Pohl, Christine D. (2005), “Perempuan di Perbatasan: Pergulatan

Evanggelikalisme dan Feminisme”, InterVasity Press as Living on the Boundaries, Downers

Grove, IL, 60515, USA, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, ISBN: 978-979-687-678-5, 2010), 67. 161

Wawancara dengan ibu HS. 162

Subadio, Maria Ulfah; dan Ihroni, T.O., Ibid, 36. 163

Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, 133. 164

Blackburn, Susan (Penyunting: Monique Soesman) (2007), “Kongres Perempuan Pertama”,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta, ISBN 979-461-610-9, 2007), 85.

63

Perempuan yang bekerja merasakan keuntungan yang didapat dari

beberapa peran yang dijalankan, yaitu memperoleh ketrampilan, emosi yang

positif, harga diri dan kepuasan hidup.165

Nilai positif perempuan yang

bekerja digantikan sebagai bentuk peran ganda, peran dalam pekerjaan dan

keluarga akan saling mempengaruhi. Nilai positif perempuan yang bekerja

terjadi ketika peran yang dilakukan dalam pekerjaan dan peran yang

dilakukan dalam keluarga saling memberi kontribusi positif.166

Hal ini juga dialami oleh ibu HS yang bekerja secara bergilir,

suamiistri agar ada yang menjaga/mengurus anak di rumah. Ibu HS harus

berangkat ke pasar Salatiga sekitar pukul 04.00 dini hari, sementara suami di

rumah mengurus keperluan anak-anak ke sekolah.167

Berdasarkan

pengamatan dan analisis Maftuchah membedakan kelompok perempuan

dalam kategori-

kategori sebagai berikut:168

1. Kelompok perempuan yang sudah memiliki kemampuan dan kemauan

serta fasilitas, kesempatan dan sarana yang cukup bagi perannya, jumlah

kelompok ini sangat kecil.

2. Kelompok perempuan yang sudah memiliki kemampuan terbatas karena

hasil pendidikan atau kedudukannya, namun masih memerlukan motivasi

untuk mempertinggi kemauan kerjanya. Kemungkinan besar masih

165

Soeharto, Triana Noor Edwina Dewayani; Faturochman; dan Adiyanti M. G., Ibid, 2. 166

Ibid, 3. 167

Wawancara dengan ibu HS; Wawancara dengan ibu Len. 168

Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, 117.

64

memerlukan tambahan fasilitas, kesempatan dan sarana, jumlah kelompok

ini cukup besar.

3. Kelompok perempuan yang tidak atau kurang memiliki kemampuan secara

fasilitas, kesempatan, dan sarana untuk melaksanakan tugasnya, sebagian

besar dari mereka semi buta huruf atau buta huruf, dan mereka menderita

karena kekurangan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidaktahuan dalam

hidupnya, jumlah kelompok ini lebih dari 50% dari jumlah perempuan di

Indonesia.

Dengan berkembangnya peran ganda perempuan maka terjadi

perubahan besar dalam tata hidup dan nilai hidup masyarakat. Keakraban

dalam keluarga melonggar. Perlu ditingkatkan kemahiran mengatur waktu

para perempuan yang berperan ganda bertugas di luar rumah, agar anak dan

suami tidak menjadi terlantar.169

Kemampuan perempuan membawakan peran

gandanya (dual role) secara efektif merupakan kunci sukses yang penting

bagi dirinya dalam masyarakat.170

Peranan perempuan harus dipandang

sejalan dengan keluarga dan masyarakat, dan peranan perempuan harus

diintegrasikan dalam pembangunan nasional.171

Seperti yang diungkapkan

oleh Lois Hoffman (1989) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja

merupakan kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan modern. Hal ini

bukanlah kondisi yang menyimpang, namun merupakan suatu respons

169

Ridjal, Fauzie; Margiani Lusi & Husein, Agus Fahri (Editor) (1993), “Dinamika Gerakan

Perempuan di Indonesia”, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT),

(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, ISBN: 979-8120-62-7, Desember 1993), 76. 170

Dhakidae, Daniel (Editor) (1994), “Perempuan, Politik dan Jurnalisme: Tujuh Puluh Tahun Toety

Azis”, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, Agustus 1994), 73. 171

Hadiz, Liza, Ibid, 394.

65

terhadap perubahan sosial lainnya.172

Perempuan dalam melaksanakan peran

ganda harus dapat mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga.173

Menurut penulis pendekatan konseling feminis terhadap perempuan

karier dalam menjalankan tugasnya mampu membagi waktu dan berbagi

tugas terhadap suami. Dalam hal mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga

itu dilakukan secara adil antara suami dan istri.

3.3.4. Masalah Psikologis Anak

Dari pernyataan ibu JS, penulis melihat ada upaya dari ibu JS untuk

beralih profesi ke usaha lain demi menjaga psikologis anaknya. Anak ibu JS

ini minder dan malu terhadap pekerjaan orang tuanya sebagai rentenir.

Anaknya tidak nyaman di sekolah kalau teman-temannya mengetahui

pekerjaan orang tuanya sebagai rentenir yang dianggap menindas orang.174

Menurut pandangan Notosoedirjo ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan perempuan agar ia dapat mengasuh anaknya sebaik mungkin,

yaitu:175

Pengertian dan kemampuan perempuan untuk mengasuh anaknya

sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan mental serta kesadaran yang tinggi

dalam tanggung jawabnya. Mampu mengatur waktunya untuk mengasuh

anaknya dan ketenangan suasana rumah tangganya.

172

Santrock, John W. (2007), “Adolescence, Eleven Edition”, (Jakarta: Erlangga, ISBN: 978-0-

07313372-0, April 2007), 37. 173

Baker, Oleda (1975), “Menjadi Wanita Idaman: Istri Bijaksana, Ratu Rumah Tangga”,

(Yogyakarta: Kanisius, ISBN: 979-413-943-3, 1993), 165. 174

Wawancara dengan ibu JS. 175

Notosoerdirdjo, Moeljono & Latipun (1999), “Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan”,

Katalog Dalam Terbitan (KDT), (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

ISBN: 979-3021-10-1, Maret 2007), 210.

66

a. Keadaan-keadaan di luar lingkungan keluarganya. Kesadaran terhadap

peranan dan tanggung jawab perempuan dalam mengembangkan mental

anak sangat penting.

Penulis melihat Notosoedirjo menekankan seorang ibu itu tidak

hanya merawat anak tetapi harus mampu melihat kondisi mental si anak dan

ketenteraman rumah tangganya. Hal ini yang diupayakan oleh ibu JS.

Dari kendala-kendala yang dihadapi konseli di tengah-tengah

keluarga dalam hal menjalankan peran ganda, konseling feminis memberi

pemahaman pada perempuan dan laki-laki dengan menyoroti persoalan

sosialisasi gender dan sejauh mana peranan gender yang kaku itu

menghalangi pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan profesional.176

Menurut penulis Rader menyoroti persoalan hal gender sehingga

mampu untuk kebersamaan seirama serta senada dengan menjalankan

tugasnya demi tercipta kesejahteraan keluarga itu sendiri.

3.3.5. Realita Perempuan Menurut Budaya dan Agama Versus Realita

Perempuan Menurut Rentenir

Menurut budaya: perempuan itu lembut, penurut, perhatian, empati,

dan ini merupakan stereotipe yang nyata dalam budaya terhadap

perempuan.182

176

Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino, Ibid, 427. 182

Wolfman, Brunetta R., Ibid, 22.

67

Menurut agama: perempuan itu jangan melakukan kekerasan dan

penindasan serta eksploitasi. Kitab Amos tegas menyatakan bahwa Allah

tidak setuju terhadap perempuan yang memeras yang lemah dan menginjak

orang miskin (bnd. Amos 4:1).

Menurut perempuan rentenir: perempuan harus mampu untuk

bersikap keras dan kasar demi mendukung jalannya bisnis yang

dijalankannya. Para perempuan rentenir ini menjalankan bisnisnya dengan

perilaku kekerasan verbal.

Di dalam hal ini spritualitas ibu ini terganggu karena anak-anak tidak

bangga terhadap pekerjaan orang tuanya yang selalu melakukan kekerasan

serta penindasan dengan suku bunga tinggi terhadap orang lain. Anak-anak ini

malu terhadap pekerjaan ibunya yang sehari-hari pekerjaannya menghisap

orang lain. Spiritualitas perempuan rentenir:

a. Rendah diri

Perempuan rentenir ini rendah diri terhadap pekerjaannya yang selalu

melakukan kekerasan verbal.

b. Suku bunga tinggi

Ada perasaan bersalah dalam diri perempuan rentenir ini terhadap tindakan

yang dilakukannya yang bertentangan dengan norma agama yang selalu

melakukan ketidakadilan terhadap orang lain. Tetapi karena tuntutan

kebutuhan, perempuan rentenir ini terpaksa melakukan pekerjaan ini.

68

3.3.6. Peranan Gereja dalam Mengatasi Permasalahan Rentenir

Gereja melalui peranan dari pendeta berperan untuk mencari solusi

atau alternatif pekerjaan jika para perempuan ini meninggalkan pekerjaannya.

Antara lain dengan memberikan pelatihan-pelatihan pada perempuan rentenir

ini sehingga dapat mencari alternatif pekerjaan selain dari pada

membungakan uang. Misalnya, membuka home industry yang dapat

memberikan tambahan uang dan dapat mengurus anak-anak di rumah. Gereja

harus mampu menjelaskan apa dampak dari pekerjaan sebagai rentenir yang

berlawanan dengan Firman Tuhan dan yang menimbulkan ketidaknyamanan

bagi rentenir itu sendiri. Gereja harus mampu menjelaskan bahwa Tuhan

memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengambil sikap dan memilih

jalan yang lebih baik. Ada dua pilihan, jalan yang benar atau jalan yang tidak

benar. Kalau mau selamat, memilih jalan yang benar (surga), namun jika

ingin binasa pilihlah jalan yang tidak benar. Manusia yang menentukan ke

arah mana tindakannya/sikapnya.

Menurut Frankl, secara umum ada tiga aspek tragis yang

mempengaruhi sikap kita, pertama: penderitaan, kedua: rasa bersalah dan

ketiga: kematian. Mungkinkah manusia memiliki makna, di balik semua

aspek-aspek tragis yang terkandung di dalamnya? Hidup punya potensi untuk

memiliki makna, apa pun kondisinya, bahkan dalam kondisi yang paling

menyedihkan sekalipun. Manusia memiliki kapasitas untuk mengubah

aspekaspek hidup yang negatif menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif.

69

Dengan kata lain, yang paling penting adalah memanfaatkan yang terbaik dari

setiap situasi. Tetapi yang dimaksud terbaik disini adalah „terbaik‟ dalam

Bahasa Latin diterjemahkan sebagai „optimum‟, yaitu optimisme untuk:

pertama: mengubah penderitaan menjadi keberhasilan dan sukses; kedua:

merasa bersalah menjadi kesempatan untuk mengubah diri sendiri ke arah

yang lebih baik; ketiga: mengubah ketidakkekalan hidup menjadi dorongan

untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab; keempat: dapat

mengembangkan evaluasi diri seimbang.177

Menurut penulis, bahwa kehendak bebas untuk menentukan sikap

dalam mengambil tindakan perlu diserahkan kepada para perempuan rentenir

jalan mana yang harus dipilih dan konsekuensi apa yang harus diterima

terhadap keputusan yang dipilih.

177

Engel, Jacob Daan, (2014), “Model Logo Konseling untuk Memperbaiki Low Spiritual

SelfEsteem”, (Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius, ISBN:978-979-21-4041-5, 2014), 71-72.