HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Orang Tua … V... · Kegiatan Pramuka merupakan...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Orang Tua … V... · Kegiatan Pramuka merupakan...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden Orang Tua Tunggal
Responden dalam penelitian ini adalah ibu sebagai orang tua tunggal dan
anaknya yang masing-masing berjumlah 25 orang yang bertempat tinggal di Kota
Yogyakarta. Karakteristik orang tua tunggal dalam penelitian ini meliputi usia,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, lamanya bekerja, lamanya penggunaan media,
dan lamanya mengikuti kegiatan sosial.
Lampiran 6 memperlihatkan bahwa jumlah responden paling banyak
(48%) berusia antara 36-46 tahun, berpendidikan SMU (40 %), bekerja sebagai
karyawan swasta (44 %) dengan penghasilan kurang dari Rp. 1 juta (52 %). Lama
waktu bekerja di luar rumah berkisar antara 8–10 jam (72 %).
Jumlah responden yang menggunakan media lebih dari 7 jam dan antara 1-
3 jam dalam seminggu adalah sama yaitu 28 persen. Rata-rata mereka lebih suka
membaca dari pada menonton televisi, yaitu 31,2 persen suka membaca surat
kabar sementara 20 persen suka menonton berita di televisi.
Lebih dari setengah jumlah responden menghabiskan 2-4 jam seminggu
untuk melakukan kegiatan sosial. Responden yang tidak mengikuti kegiatan sosial
hampir setengah dari jumlah responden yaitu 40 persen. Sedangkan jumlah
responden yang menghabiskan 5-7 jam seminggu untuk berkegiatan sosial hanya
sebanyak 8 persen.
Kegiatan sosial yang paling banyak dilakukan oleh orang tua tunggal
adalah kegiatan di lingkungan sekitarnya yaitu PKK yang dilakukan secara rutin
sebulan sekali. Kegiatan lain yang juga banyak diminati oleh orang tua tunggal
adalah kegiatan rohani berupa pengajian-pengajian. Sebanyak 16,2 persen
bergabung dengan supporting group yang dikoordinir oleh LSM perempuan
dengan tujuan memberikan bantuan dalam menghadapi masalah-masalah yang
terkait dengan perceraian, konflik dengan mantan pasangan dan pengasuhan anak.
Jenis bacaan yang paling digemari oleh orang tua tunggal adalah surat
kabar yang dimaksudkan untuk mendapatkan berita dan menambah wawasan.
Tabloid adalah jenis bacaan ke dua yang paling digemari. Selebihnya jenis bacaan
tergantung pada minat seperti filsafat, kesehatan, hobi dan sebagainya.
61
Jenis tontonan yang paling digemari adalah berita disusul kemudian dengan
infotainment, film dan sinetron. Jenis tontonan ini menunjukkan tujuan
penggunaan media massa adalah untuk mendapatkan informasi dan hiburan.
Karakteristik Responden Anak
Karakteristik responden anak ditunjukkan pada Lampiran 7 yang meliputi
jenis kelamin, usia, jumlah saudara, status sekolah dan lamanya penggunaan
media .
Responden anak diambil satu dari setiap keluarga karena di dalam keluarga
dengan dua anak atau lebih hanya ditemukan satu orang anak yang sesuai dengan
kriteria usia yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu 7-12 tahun. Beberapa anak
berstatus sebagai anak sulung dengan adik berusia kurang dari 7 tahun, sedangkan
yang lain berstatus sebagai anak bungsu dengan kakak yang berusia lebih dari 12
tahun, bahkan ada yang sudah kuliah atau berkeluarga.
Kebanyakan responden anak berjenis kelamin perempuan dan berusia
antara 10 – 12 tahun. Sebagian besar responden (40 %) merupakan anak tunggal.
Jika dilihat dari sekolahnya, maka sebagian besar responden anak bersekolah di
SD, hanya ada tiga orang anak yang bersekolah di SMP dengan usia 12 tahun.
Jenis sekolah dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. Jumlah
responden yang bersekolah di sekolah negeri tidak berbeda jauh dengan yang
bersekolah di sekolah swasta.
Selain bersekolah, anak-anak mengisi waktu luang dengan mengikuti
kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan minat, ketersediaan waktu serta biaya.
Kegiatan Pramuka merupakan kegiatan wajib dari sekolah yang harus diikuti
anak-anak kelas 4-6 SD. Di luar kegiatan tersebut, kebanyakan anak mengikuti
kegiatan kesenian dan olah raga. Lebih banyak anak perempuan mengikuti
kegiatan kesenian sedangkan kegiatan olah raga lebih banyak diikuti anak laki-
laki.
Jenis bacaan yang disukai baik oleh anak laki- laki maupun anak perempuan
adalah komik yang sering difilmkan sebagai film kartun di televisi, seperti Dora
Emon, Tsubasa, Scoby Doo dan Detektif Conan. Selain membaca komik, anak
perempuan juga suka membaca majalah anak.
62
Tontonan yang paling digemari baik oleh anak perempuan maupun anak
laki- laki adalah film kartun. Reality show seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar),
Indonesian Idol dan Pildacil (Pemilihan Dai Kecil) lebih digemari anak
perempuan. Lebih banyak anak perempuan menyukai sinetron dibandingkan anak
laki- laki. Sinetron yang ditonton anak bertema komedi dan kehidupan remaja.
Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal
Pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua tunggal dapat
dikategorikan menjadi linier, interaksi dan transaksi. Beberapa situasi yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari mendorong penggunaan pola komunikasi
yang berbeda. Dengan demikian satu orang tua tunggal dapat menggunakan lebih
dari satu pola komunikasi.
Tabel 5. Pola Komunikasi pada berbagai Situasi Komunikasi, Yogyakarta, 2006
Situasi Komunikasi Pola Komunikasi Jumlah Linier Interaksi Transaksi
n % n % n % n %
Menghadapi anak yang mempunyai masalah dengan teman.
2 8 17 68 6 24 25 100
Menghadapi anak yang prestasi belajarnya menurun.
2 8 15 60 8 32 25 100
Mengatur uang saku anak.
3 12 9 36 13 52 25 100
Tidak bisa memenuhi permintaan anak.
2 8 16 64 7 28 25 100
Mengajar anak memanfaatkan waktu
4 16 9 36 12 48 25 100
Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum penggunaan pola komunikasi
interaksi lebih dominan dibandingkan penggunaan pola komunikasi linier maupun
pola komunikasi transaksi kecuali pada situasi pengaturan uang saku anak dan
pemanfaatan waktu luang anak penggunaan pola komunikasi transaksi lebih
dominan. Sementara itu, pola komunikasi interaksi paling banyak digunakan
63
ketika menghadapi anak yang bermasalah dengan teman, prestasi belajar anak
menurun dan jika orang tua tidak bisa memenuhi permintaan anak. Komunikasi
yang bersifat dua arah atau dialogis lebih tepat digunakan pada situasi tersebut
karena lewat komunikasi dua arah, orang tua bisa memberikan pengertian kepada
anak tentang situasi yang dihadapi.
Meskipun ditemukan variasi penggunaan beberapa pola komunikasi sesuai
dengan situasi yang dihadapi, secara umum bisa ditentukan kecenderungan
penggunaan pola komunikasi yang dominan berdasarkan jawaban kuesioner dan
hasil wawancara. Tabel 6 memperlihatkan sebaran pola komunikasi yang
digunakan oleh orang tua tunggal yang menjadi responden penelitian ini.
Tabel 6. Kecenderungan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal Pola Komunikasi Jumlah
(25) Persentase
(%) Linier 3 12 Interaksi 13 52 Transaksi 9 36 Jumlah 25 100
Secara umum pola komunikasi interaksi paling dominan digunakan oleh
orang tua tunggal. Menurut Fisher (1986), pola komunikasi interaksi menekankan
pentingnya interaksi dalam pembentukan sikap atau perilaku. Konsep diri anak
terbentuk melalui interaksinya dengan lingkungan terdekatnya, terutama keluarga.
Dialog adalah suatu bentuk interaksi yang terjadi di antara peserta komunikasi.
Pola komunikasi interaksi ditandai dengan terjadinya dialog antara peserta
komunikasi yang berarti bersifat dua arah. Melalui dialog pula bisa dibentuk sikap
dan perilaku anak seperti yang terungkap dari wawancara dengan O3 yang
menyatakan bahwa anaknya bersedia melanjutkan mengikuti TPA (Taman
Pendidikan Al-Quran) setelah berdialog dengan ibu seperti pernyataannya di
bawah ini.
“Dia ikut TPA dulu saya suruh. Biar pinter baca Al Quran. Banyak temannya yang sudah berhenti dari TPA. Dia pengin nggak usah TPA lagi, terus saya bilang kalau saya nggak bisa baca Quran, kalau bodoh semua gimana? Apalagi dia cowok kan besok harus bisa membimbing, terus dia bilang : O, ya, ya. Dia mau. Bangkit lagi. Kalau dibiarkan maunya cuma sampai kelas empat.”
64
Pada pola komunikasi interaksi, anak dapat menyampaikan keinginan dan
pendapatnya secara terbuka sedangkan ibu memberikan reaksi positif kemudian
secara perlahan mengarahkan anak kepada satu pengertian yang diinginkan ibu
untuk dilakukan oleh anak. Dengan demikian terjadi dialog tidak setara yang
artinya ada salah-satu pihak yang lebih dominan yang dalam hal ini adalah orang
tua. Menurut DeVito (1997), pola komunikasi seperti ini disebut the unbalanced
split pattern karena ada salah satu pihak yang mendominasi pihak lain dan
menuntutnya agar melakukan apa yang diinginkannya.
Pola komunikasi transaksi menempati urutan kedua sebagai pola
komunikasi yang digunakan orang tua tunggal dalam penelitian ini. Salah satu ciri
pola komunikasi transaksi menurut Cangara (2004) adalah semua peserta
komunikasi aktif. Orang tua dan anak mempunyai posisi sejajar dalam
menghadapi berbagai situasi. Anak diberi kesempatan untuk berperanserta dalam
memutuskan sesuatu dalam porsi yang seimbang dengan orang tua. Misalnya
dalam pengaturan uang saku anak diputuskan bersama oleh orang tua dan anak
dengan jumlah yang dianggap sesuai untuk anak. Persepsi anak dan orang tua
tentang jumlah uang saku yang sesuai tentu saja berbeda tetapi mereka harus
mencapai kesepakatan bersama mengenai hal itu. Situasi ini sesuai dengan model
konvergensi dari Rogers dan Kincaid (1981) yang memandang komunikasi
sebagai transaksi di antara partisipan yang akan menghasilkan pengertian
bersama.
Pola komunikasi linier ternyata masih digunakan orang tua sampai saat ini
meskipun tingkat penggunaannya oleh orang tua tunggal sedikit. Dari wawancara
dengan responden diketahui bahwa komunikasi linier dinilai sangat tepat untuk
mendisiplinkan anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Teknik instruktif
digunakan untuk menyuruh anak melakukan kegiatan sehari-hari sedangkan untuk
menyuruh anak belajar secara teratur digunakan teknik persuasi dengan
menjelaskan bahwa anak yang pintar kelak akan mempunyai lebih banyak pilihan
dalam menentukan bidang pekerjaan yang akan ditekuni. Paksaan dan ancaman
hukuman ternyata juga digunakan oleh orang tua tunggal yang menggunakan pola
komunikasi linier seperti pengakuan O5 berikut ini :
65
“ Saya akan berusaha dengan berbagai cara supaya anak saya menuruti keinginan saya. Kalau dia harus tidur siang, bagaimanapun caranya harus tidur, kalau perlu dicubit. Kalau waktunya mandi, saya paksa dia mandi, biasanya saya hitung satu sampai tiga sambil saya bawa sulak atau sapu. Kalau sampai hitungan tiga dia belum juga mandi, sapu saya pukulkan ke dinding dan dia akan lari masuk kamar mandi.”
Hubungan Lingkungan dan Pola Komunikasi
Penelitian ini melihat bagaimana faktor lingkungan menentukan
kecenderungan penggunaan suatu jenis pola komunikasi oleh orang tua tunggal.
Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif untuk memberikan penjelasan terhadap
fenomena-fenomena yang muncul di lapangan.
Tabel 7. Faktor Lingkungan dan Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal, Yogyakarta, 2006
Faktor Lingkungan Pola Komunikasi Jumlah Linier Interaksi Transaksi
n % n % n % n % Keluarga Luas Interaksi rendah 1 4 3 12 - - 4 16 Interaksi sedang 1 4 6 24 4 16 11 44 Interaksi tinggi 1 4 4 16 5 20 10 40 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 Sekolah Negeri - - 8 32 5 20 13 52 Swasta 3 12 5 20 4 16 12 48 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 Teman Sebaya Interaksi rendah 1 4 - - - - 1 4 Interaksi sedang 1 4 6 24 4 16 11 44 Interaksi tinggi 1 4 7 28 5 20 13 52 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 Media massa Intensitas rendah - - 1 4 - - 1 4 Intensitas sedang - - 2 8 - - 2 8 Intensitas tinggi 3 12 10 40 9 36 22 88 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100
Tabel 7 menunjukkan bahwa orang tua tunggal berinteraksi dengan keluarga
luas dalam tingkat yang berbeda tetapi sebagian besar (44 %) berinteraksi sedang.
Pola komunikasi linier digunakan pada semua tingkat interaksi secara merata,
pola komunikasi interaksi digunakan lebih banyak pada interaksi sedang,
sementara pada interaksi tinggi lebih banyak digunakan pola komunikasi
66
transaksi. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Olsen (1974) di Taiwan yang
menyatakan bahwa keterlibatan keluarga luas dalam pengasuhan anak
mempengaruhi orang tua menggunakan pola komunikasi linier.
Hasil wawancara dengan beberapa responden mengungkapkan bahwa pola
komunikasi interaksi dan transaksi digunakan untuk menjaga konsistensi pola
pengasuhan anak. Orang tua berdialog dengan anak mengenai perbedaan pola
asuh yang terjadi di dalam keluarga mereka dan keluarga luas. Dalam hal ini,
anak wajib mengikuti arahan dari orang tua sendiri dan mengabaikan arahan dari
keluarga luas jika hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dari orang tua. Pola
komunikasi linier digunakan dengan tujuan supaya anak patuh dan mau mengikuti
petunjuk dari orang tua setelah mengalami pola asuh dan pola komunikasi dari
keluarga luas yang berbeda dengan yang digunakan oleh orang tua sendiri.
Pola komunikasi interaksi lebih banyak digunakan oleh orang tua tunggal
yang anaknya bersekolah di negeri. Dengan pola komunikasi ini anak tidak perlu
disuruh belajar karena kepada anak ditanamkan kesadaran bahwa belajar adalah
tugas seorang pelajar sehingga anak lebih bertanggungjawab dalam mengerjakan
tugas-tugas dan PR (Pekerjaan Rumah) dari sekolah.
Tingkat penggunaan pola komunikasi transaksi tidak berbeda jauh di
kalangan orang tua tunggal yang anaknya bersekolah di negeri dan swasta. Pola
komunikasi transaksi cenderung digunakan untuk menanamkan kesadaran kepada
anak tentang pentingnya belajar. Temuan menarik penelitian ini adalah pola
komunikasi linier hanya digunakan oleh orang tua tunggal yang anaknya
bersekolah di swasta. Berdasarkan pengamatan di lapangan, hal ini terjadi karena
sekolah swasta menerapkan standar prestasi akademis yang tinggi dan penerapan
disiplin yang ketat bagi para siswanya. Orang tua merasa khawatir jika anaknya
tidak bisa memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh pihak sekolah
sehingga menggunakan pola komunikasi linier untuk menyuruh anaknya giat
belajar dan mematuhi peraturan sekolah.
Frekuensi penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi oleh orang
tua tunggal nampak dominan pada interaksi sedang dan tinggi antara anak dengan
teman sebaya. Semakin sering anak berinteraksi dengan teman sebaya maka orang
tua harus memberi pengertian kepada anak agar tidak mengikuti sikap dan
67
perilaku teman yang kurang baik. Lewat dialog ditekankan bahwa setiap orang
mempunyai target dan tujuan hidup yang berbeda sehingga cara bersikap dan
berperilaku juga harus berbeda.
Berdasarkan pemahaman anak tentang berbagai ragam karakter teman
yang mungkin dijumpai mereka di dalam lingkungan pergaulannya, orang tua
mengharapkan mereka bisa memilih teman yang baik. Hal ini didasari oleh
pemahaman orang tua bahwa teman sebaya sangat mempengaruhi sikap dan
perilaku anak. Menurut Tarmudji (2002), pengaruh buruk yang mungkin muncul
sebagai hasil interaksi anak dengan teman sebaya adalah perilaku agresif. Tentu
saja orang tua tidak menginginkan pengaruh buruk tersebut terjadi pada anaknya.
Pada interaksi rendah dengan teman sebaya nampak hanya digunakan pola
komunikasi linier. Dari wawancara terungkap bahwa anak ternyata mempunyai
teman sebaya yang berperilaku kurang baik sehingga orang tua menyuruh anak
membatasi pergaulannya dengan teman tersebut.
Intensitas penggunaan media massa yang tinggi oleh anak ternyata
menunjukkan penggunaan ketiga pola komunikasi tetapi pola komunikasi
interaksi dan transaksi nampak lebih dominan. Menurut Rakhmat (2001), salah
satu pengaruh media massa adalah perilaku agresif. Sehubungan dengan hal
tersebut maka dalam menghadapi anak yang menggunakan media massa dalam
intensitas tinggi orang tua mengantisipasinya dengan komunikasi dua arah, yaitu
interaksi dan transaksi, yang dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada
anak tentang isi pesan media massa yang bertemakan kekerasan dan meminta
anak supaya tidak menirunya. Sementara itu, pola komunikasi linier digunakan
untuk melarang anak menonton film kartun tertentu yang dinilai tidak mendidik.
Bahkan beberapa orang tua menetapkan jenis tontonan dan jenis bacaan yang
boleh ditonton dan dibaca oleh anak.
Sesudah mendapatkan gambaran distribusi frekuensi penggunaan pola
komunikasi berdasarkan faktor lingkungan, selanjutnya dilihat kecenderungan
penggunaan pola komunikasi secara umum berdasarkan faktor lingkungan anak
dengan menunjukkan rata-rata skor pola komunikasi.
68
Tabel 8. Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Pola Komunikasi
Faktor Lingkungan
Nilai Rata-rata Skor Pola Komunikasi
Kategori Pola Komunikasi
Keluarga Luas Interaksi rendah 1,7 Interaksi Interaksi sedang 2,2 Interaksi Interaksi tinggi 2,3 Interaksi Sekolah Negeri 2,2 Interaksi Swasta 2,1 Interaksi Teman Sebaya Interaksi rendah 1.3 Linier Interaksi sedang 2,2 Interaksi Interaksi tinggi 2,2 Interaksi Media massa Intensitas rendah 2,4 Interaksi Intensitas sedang 1,9 Interaksi Intensitas tinggi 2,2 Interaksi Catatan : Skor 0 - < 1 = Linier, 1,5 - < 2,5 = Interaksi, = 2,5 = Transaksi
Berdasarkan skor pola komunikasi pada semua faktor lingkungan maka
secara umum pada semua faktor lingkungan yang dihadapi anak terlihat
penggunaan pola komunikasi interaksi. Hanya pada satu orang anak yang
berinteraksi rendah dengan teman sebaya ditemukan penggunaan pola komunikasi
linier oleh orang tua tunggal. Dengan demikian faktor lingkungan anak
menyebabkan digunakannya pola komunikasi interaksi oleh orang tua tunggal.
Hal ini sejalan dengan pendapat Mulyana (1999) tentang bentuk komunikasi yang
bisa digunakan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yaitu bentuk
komunikasi yang bisa mencapai tingkat empati optimal. Menurut Fisher (1986),
pengertian bersama yang diperoleh melalui empati adalah ciri pola komunikasi
interaksi.
Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi
Sikap dan faktor personal yang ada dalam diri seseorang atau karakteristik
individu menentukan pola komunikasi yang digunakan. Penelitian ini
mendeskripsikan pengaruh karakteristik orang tua tunggal terhadap pola
komunikasi antara orang tua tunggal dan anak. Tabel 9 menunjukkan distribusi
pola komunikasi yang digunakan berdasarkan karakteristik orang tua tunggal.
69
Tabel 9. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Pola Komunikasi, Yogyakarta, 2006
Karakteristik Orang Tua Tunggal
Pola Komunikasi Jumlah Linier Interaksi Transaksi
n % n % n % n % A. Usia (tahun) a. 30 - 35 1 4 6 24 3 12 10 40 b. 36 - 46 2 8 5 20 4 16 11 48 c. 47 - 57 - - 2 8 2 8 4 16 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 B.Jumlah Anak (Orang) a. 1 2 8 5 20 4 16 11 44 b. 2 1 4 6 24 3 12 10 40 c. 3 - - 2 8 1 4 3 12 d. > 3 - - - - 1 4 1 4 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 C. Pendidikan a. SD 1 4 1 4 1 4 3 12 b. SMP - - 1 4 - - 1 4 c. SMU 2 8 4 16 4 16 10 40 d. D1 - - 1 4 - - 1 4 e. D3 - - 1 4 1 4 2 8 g. S1 - - 5 20 2 8 7 28 h. S2 - - - - 1 4 1 4 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta 1 4 6 24 4 16 11 44 b. Wiraswasta 1 4 2 8 4 16 7 28 c. PNS - - 3 12 1 4 4 16 d. Buruh 1 4 2 8 - - 3 12 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 E. Pendapatan (Rp) a. < 1 juta 1 4 7 28 5 20 13 52 b. 1 - 2 juta 2 8 5 20 3 12 10 40 c. > 2 juta - - 1 4 1 4 2 8 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 F. Lama Waktu Bekerja (Jam/hari)
a. < 8 1 4 3 12 3 12 7 28 b. 8 - 10 1 4 9 36 6 24 16 64 c. > 10 1 4 1 4 - - 2 8 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100 G. Lama Penggunaan Media (Jam/minggu)
a. 1 - 3 - - 5 20 2 8 7 28 b. 3 - 5 1 4 2 8 2 8 5 20 c. 5 - 7 1 4 3 12 2 8 6 24 d. > 7 1 4 3 12 3 12 7 28 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100
Berlanjut
70
Lanjutan Karakteristik Orang Tua Tunggal
Pola Komunikasi Jumlah Linier Interaksi Transaksi
n % n % n % n % H. Lama Kegiatan Sosial
(Jam/minggu)
a. Tidak ada 2 8 6 24 2 8 10 40 b. 2 - 4 1 4 6 24 6 24 13 52 c. 5 - 7 - - 1 4 1 4 2 8 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100
Orang tua tunggal berusia 47-57 tahun terlihat hanya menggunakan
komunikasi dua arah yaitu interaksi dan transaksi sedangkan pada dua kelompok
usia di bawahnya masih terlihat digunakannya pola komunikasi linier. Dari
temuan ini nampak bahwa seiring dengan bertambahnya usia membuat orang tua
berkomunikasi secara lebih baik dengan anak-anaknya. Hal ini didasari oleh
pengalaman mereka dalam hal cara mengasuh anak, baik yang dialami sendiri
maupun dari melihat atau membaca informasi dari media massa tentang pola asuh
anak. Hal tersebut terungkap dari wawancara dengan O1 dan O2 yang
menyatakan bahwa mereka dididik secara otoriter oleh orang tua sehingga tidak
ingin melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka sekarang, karena itu
mereka cenderung menggunakan pola komunikasi transaksi di dalam
berkomunikasi dengan anak.
Hal menarik yang ditemukan di sini adalah orang tua tunggal dengan tiga
anak atau lebih menggunakan pola komunikasi interaksi dan transaksi. Hal ini
berbeda dengan pendapat Gunarsa (1991) yang menyatakan bahwa kepadatan di
dalam keluarga menimbulkan kesulitan berkomunikasi sehingga pola hubungan
menjadi otoriter yang berarti menunjukkan digunakannya pola komunikasi linier.
Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan responden penelitian ini
ternyata mereka memiliki anak-anak yang sudah dewasa bahkan ada yang sudah
berkeluarga sehingga perhatian lebih banyak diarahkan kepada anak bungsu, yaitu
yang menjadi subjek penelitian ini sehingga bisa berkomunikasi lebih baik.
Ketiga jenis pola komunikasi digunakan oleh orang tua tunggal yang
berpendidikan SD dan SMU, tetapi mulai dari D1 hingga S2 hanya menggunakan
komunikasi dua arah yaitu D1 sampai S1 menggunakan komunikasi interaksi
71
sedangkan S2 menggunakan komunikasi transaksi. Hal ini menguatkan anggapan
Widjaja (1989) dalam Rahmah (2004) yang mengungkapkan bahwa ibu yang
berpendidikan akan bersikap lebih baik kepada anak termasuk juga dalam
berkomunikasi dengan anak yaitu cenderung menggunakan pola komunikasi dua
arah.
Pekerjaan dan pendapatan merupakan indikator untuk melihat kelas sosial
ekonomi seseorang. Hasil penelitian Olsen (1974) menunjukkan bahwa kelas
sosial ekonomi bawah cenderung menggunakan komunikasi linier sementara kelas
menengah menggunakan komunikasi dua arah. Data yang disajikan pada Tabel 9
menunjukkan bahwa pola komunikasi linier digunakan oleh semua jenis pekerjaan
kecuali PNS dan hanya pada orang tua tunggal berpenghasilan lebih dari dua juta
rupiah tidak ditemukan penggunaan pola komunikasi linier. Frekuensi
penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih sering ditemukan pada
kelas menengah meskipun pada kelas bawah juga ditemukan penggunaan pola
komunikasi ini. Dengan demikian komunikasi dua arah cenderung digunakan oleh
kelas sosial ekonomi menengah tetapi penggunaan pola komunikasi linier bukan
kecenderungan dari kelas bawah.
Lebih dari setengah jumlah responden bekerja antara delapan sampai
sepuluh jam sehari dan pada kelompok ini terlihat dominan penggunaan pola
komunikasi interaksi. Dengan jam kerja yang tidak terlalu lama memungkinkan
mereka mempunyai lebih banyak waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka,
termasuk juga mendengarkan cerita dan keluh kesahnya.
Pola komunikasi linier dan interaksi digunakan oleh orang tua tunggal
yang bekerja lebih dari sepuluh jam sehari. Fakta ini berbeda dengan hasil
penelitian Kohn (1963) dalam Chilman (1988) yang menyatakan bahwa lamanya
waktu bekerja menyebabkan orang tua cenderung menuntut kepatuhan anak dan
memaksakan kehendak dengan pola komunikasi linier. Berdasarkan pengamatan
ternyata orang tua tunggal menggunakan pola komunikasi linier jika jam kerja
lama dan tidak mendapat bantuan dari keluarga luas dalam pengasuhan anak. Hal
ini bisa dimaklumi karena mereka sudah sangat lelah ketika sampai di rumah
sehingga dalam berkomunikasi dengan anak lebih sering menggunakan teknik
instruktif, infromatif dan persuasif yang merupakan ciri komunikasi linier.
72
Lama penggunaan media massa oleh orang tua tunggal sangat bervariasi.
Hampir sepertiga dari mereka menggunakan media massa lebih dari tujuh jam
seminggu. Jumlah yang sama juga menggunakan media massa antara satu sampai
tiga jam seminggu. Frekuensi penggunaan pola komunikasi interaksi terlihat
dominan pada kelompok yang terakhir ini. Hal ini tidak sejalan dengan
pernyataan Mulyana (1999) yang menyatakan bahwa keterampilan berkomunikasi
bisa diperoleh sebagai hasil dari akses terhadap media massa. Artinya, semakin
lama seseorang mengakses media massa maka akan semakin terampil dalam
berkomunikasi yang ditunjukkan dengan kecenderungan menggunakan
komunikasi dua arah, yaitu interaksi dan transaksi. Ternyata yang ditemukan di
sini, orang tua tunggal yang menggunakan media massa antara satu atau tiga jam
seminggu, yang bisa dikategorikan rendah, justru menunjukkan penggunaan pola
komunikasi interaksi yang dominan. Hal ini terjadi karena sebagian besar dari
mereka menyukai jenis tontonan berita dan jenis bacaan surat kabar, yang tentu
saja tidak berperan dalam peningkatan ketrampilan berkomunikasi melainkan
hanya sebagai sarana menambah wawasan dan pengetahuan.
Kegiatan sosial menjadi sarana bagi orang tua tunggal untuk berinteraksi
dengan komunitas di lingkungan sekitar maupun lingkungan profesi. Meskipun
demikian lebih dari sepertiga di antara mereka tidak mengikuti kegiatan sosial.
Padahal dengan mengikuti kegiatan sosial mereka bisa mendapatkan banyak
teman yang siap menampung keluh kesahnya dan memberi banyak nasehat
tentang pengasuhan anak. Alasan mereka tidak mengikuti kegiatan sosial adalah
karena jam kerja yang panjang dan mempunyai kesibukan mengurus anak,
terutama anak balita.
Dari data di atas terlihat dominan penggunaan pola komunikasi interaksi,
baik pada mereka yang mengikuti kegiatan sosial maupun yang tidak. Pola
komunikasi linier lebih banyak digunakan oleh mereka yang tidak mengikuti
kegiatan sosial sebaliknya tidak terlihat digunakan oleh mereka yang mengikuti
kegiatan sosial lebih lama, yaitu 5-7 jam seminggu. Kelihatannya partisipasi orang
tua tunggal dalam kegiatan sosial mendorong mereka menggunakan pola
komunikasi interaksi, tetapi lamanya mengikuti kegiatan sosial tidak menentukan
digunakannya pola komunikasi tertentu.
73
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana karakteristik orang tua tunggal
menentukan digunakannya suatu pola komunikasi maka ditunjukkan
kecenderungan pola komunikasi seperti pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Pola Komunikasi Karakteristik Individu Rata-rata Skor
Pola Komunikasi Kategori
Pola Komunikasi A. Usia (tahun) a. 30 - 35 2,2 Interaksi b. 36 - 46 2,1 Interaksi c. 47 - 57 2,5 Transaksi B.Jumlah anak (orang) a. 1 2,2 Interaksi b. 2 2,0 Interaksi c. 3 2,3 Interaksi d. > 3 3,0 Transaksi C. Pendidikan a. SD 2,1 Interaksi b. SMP 1,8 Interaksi c. SMU 2,2 Interaksi d. D1 1,7 Interaksi e. D3 2,4 Interaksi f. S1 2,2 Interaksi g. S2 2,9 Transaksi D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta 2,2 Interaksi b. Wiraswasta 2,3 Interaksi c. PNS 2,2 Interaksi d. Buruh 1,7 Interaksi E. Pe ndapatan (Rp) a. < 1 juta 2,2 Interaksi b. 1 - 2 juta 2,1 Interaksi c. > 2 juta 2,4 Interaksi F. Lama Waktu Bekerja ( Jam/hari) a. < 8 2,2 Interaksi b. 8 - 10 2,2 Interaksi c. > 10 1,6 Interaksi G. Lama Penggunaan Media
(Jam/minggu)
a. 1- 3 2,0 Interaksi b. 3 - 5 2,2 Interaksi c. 5 - 7 2,2 Interaksi d. > 7 2,3 Interaksi H.Lama Kegiatan Sosial (Jam/minggu) a. Tidak ada 2,1 Interaksi b. 2 - 4 2,2 Interaksi c. 5 - 7 2,4 Interaksi Catatan : Skor 0 - < 1 = Linier, 1,5 - < 2,5 = Interaksi, = 2,5 = Transaksi
74
Dari Tabel 10 terlihat bahwa karakteristik orang tua tunggal yang
menentukan penggunaan pola komunikasi adalah usia, jumlah anak dan
pendidikan. Pola komunikasi transaksi digunakan oleh orang tua tunggal berusia
47-57 tahun, mempunyai anak lebih dari tiga orang dan berpendidikan S2. Pola
komunikasi interaksi terlihat dominan berdasarkan karakteristik orang tua tunggal.
Kemandirian Anak
Terbentuknya kemandirian anak adalah tujuan dari pendidikan yang
dilakukan oleh orang tua. Gambaran kemandirian anak dilihat berdasarkan aspek
inisiatif, kemampuan memutuskan (keputusan) dan kesediaan mengerjakan sendiri
(tindakan) sedangkan kategori tingkat kemandirian anak dibedakan menjadi
kurang mandiri, cukup mandiri dan sangat mandiri. Tabel 11 menyajikan
distribusi aspek kemandirian anak berdasarkan kategori tingkat kemandirian anak.
Tabel 11. Distribusi Aspek Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006
Kemandirian Anak
Aspek Kemandirian Inisiatif Keputusan
Tindakan
n % n % n % Kurang mandiri 1 4 Cukup mandiri 6 24 8 32 13 52 Sangat mandiri 19 76 17 68 11 44 Jumlah 25 100 25 100 25 100
Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar anak sangat mandiri dalam
berinisiatif dan membuat keputusan, sedangkan pada aspek tindakan terlihat anak
cukup mandiri. Secara keseluruhan terlihat sebagian besar anak sangat mandiri.
Hanya ditemukan satu anak yang kurang mandiri dalam aspek tindakan, namun
dengan mempertimbangkan dua aspek lainnya maka secara umum anak tetap
dikategorikan cukup mandiri. Fakta bahwa semua anak mandiri sesuai dengan
pendapat Erikson dalam Lie dan Prasasti (2004) bahwa pada usia 6 – 12 tahun,
atau pada usia sekolah, anak memang seharusnya sudah mandiri.
75
Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak
Hubungan pola komunikasi dan kemandirian anak diperlihatkan pada
Tabel 12. Terlihat penggunaan pola komunikasi interaksi dan transaksi lebih
dominan dibandingkan pola komunikasi linier. Demikian pula halnya dengan
jumlah anak sangat mandiri terlihat lebih banyak dibandingkan jumlah anak
cukup mandiri.
Tabel 12. Pola Komunikasi dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006
Kemandirian Anak Pola Komunikasi
Jumlah
Linier Interaksi Transaksi n % n % n % n %
Cukup mandiri 2 8 6 24 1 4 9 36 Sangat mandiri 1 4 7 28 8 32 16 64 Jumlah 3 12 13 52 9 36 25 100
Tampak lebih banyak anak sangat mandiri pada penggunaan pola
komunikasi interaksi dan transaksi, sedangkan pada penggunaan pola komunikasi
linier ternyata lebih banyak anak yang cukup mandiri. Menurut Mutadin (2002),
komunikasi yang bisa membentuk kemandirian anak adalah komunikasi dua arah
karena kedua belah pihak, dalam hal ini orang tua tunggal dan anak, bisa saling
mendengarkan pendapat satu sama lain. Demikian juga hasil penelitian Baumrind
dan Bach dalam Wijaya (1986) menyatakan bahwa komunikasi dialogis
mendorong tindakan-tindakan mandiri pada anak. Hasil penelitian ini
menunjukkan hal yang berbeda yaitu selain pola komunikasi interaksi dan
transaksi (dua arah) ternyata pola komunikasi linier (satu arah) juga bisa
membentuk kemandirian anak.
Kecenderungan kemandirian anak berdasarkan pola komunikasi yang
digunakan orang tua tunggal diperlihatkan pada Tabel 13. Ternyata hasilnya
sesuai dengan yang ditunjukkan pada Tabel 12, yaitu pola komunikasi interaksi
dan transaksi menghasilkan anak yang sangat mandiri sedangkan pola komunikasi
linier membuat anak cukup mandiri.
76
Tabel 13. Pola Komunikasi dan Kecenderungan Kemandirian Anak
Pola Komunikasi Rata-rata Skor Kemandirian Anak
Tingkat Kemandirian Anak
Linier 2,3 Cukup mandiri Interaksi 2,5 Sangat mandiri Transaksi 2,5 Sangat mandiri Catatan : Skor 0 - < 1 = Linier, 1,5 - < 2,5 = Interaksi, = 2,5 = Transaksi
Tabel 12 dan Tabel 13 menunjukkan bahwa pola komunikasi yang
digunakan orang tua tunggal memberikan pengaruh yang berbeda kepada anak.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Kelman dalam Brigham (1991) bahwa
pengaruh komunikasi pada orang lain adalah berupa internalisasi, identifikasi dan
ketundukan.
Pola komunikasi interaksi dan transaksi memberikan pengaruh berupa
internalisasi yaitu anak bersedia memenuhi keinginan dan harapan orang tua
karena hal tersebut dianggap sesuai untuknya. Dalam upaya membentuk
kemandirian anak maka orang tua tunggal menyampaikan harapan agar anak
belajar mandiri sejak kecil karena kemandirian menentukan keberhasilan
seseorang. Hal ini juga terungkap dari hasil wawancara dengan O2 yang
menyatakan sebagai berikut :
“ Saya jelaskan kepada anak bahwa nanti sesudah dia dewasa dan jadi orang tua harus bisa mandiri, karena itu harus dari sekarang belajar mandiri. Walaupun ada pembantu dia tidak suka main perintah atau minta dilayani”
Pola komunikasi linier mempengaruhi ketundukan yaitu anak patuh kepada
orang tua karena mengharapkan reaksi positif dari orang tua. Anak mengikuti
kehendak atau instruksi dari orang tua karena tidak ingin dimarahi atau dihukum,
seperti nampak pada kejadian yang diceritakan O3 berikut ini :
“Kalau anak saya nggak mau membereskan mainan sesudah bermain, sudah diingatkan berkali-kali masih begitu, ya saya beri hukuman. Sementara dia nggak boleh main dulu. Mungkin dua atau tiga hari lagi baru boleh.”
Ketiga jenis pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua tunggal
ternyata bisa membentuk kemandirian anak meskipun dalam tingkat yang berbeda
seperti yang disajikan pada Tabel 13. Selanjutnya Tabel 14 memperlihatkan cara
77
membentuk kemandirian anak melalui tiga pola komunikasi tersebut yang
diperoleh berdasarkan pengamatan dan wawancara.
Tabel 14. Pola Komunikasi dalam Membentuk Kemandirian Anak, Yogyakarta,
2006 Pola Komunikasi Cara Membentuk Kemandirian Anak
Linier
- Menyuruh anak patuh pada orang tua. - Menyuruh anak mengerjakan sendiri apa yang bisa dilakukannya - Mengungkapkan kesulitan kepada anak.
Interaksi
- Menumbuhkan rasa mampu pada diri anak. - - Membiarkan anak membuat keputusan sendiri untuk hal-hal
yang menyangkut kepentingannya. - Melatih anak bertanggungjawab.
- - Melibatkan anak dalam mengerjakan tugas-tugas di rumah.
Transaksi
- Menanamkan kesadaran untuk mandiri. - Mengajarkan kedisiplinan. - Mencontohkan dengan tindakan. - Membiarkan anak belajar dari pengalaman. - Membiarkan anak menentukan sikap dan perilakunya.
Hubungan Lingkungan dan Kemandirian Anak Faktor yang mempengaruhi kemandirian anak berasal dari dalam diri anak
dan dari luar, yaitu lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
kemandirian anak menurut Hurlock (1991) antara lain adalah keluarga, sekolah,
teman sebaya, dan media massa. Interaksi anak dengan anggota keluarga luas dan
teman sebaya mempengaruhi perkembangan sosial dan emosional anak, termasuk
dalam hal kemandirian. Sekolah mengajarkan dan menerapkan kedisiplinan agar
anak bisa mandiri. Media massa berperan dalam proses sosialisasi dan penanaman
nilai-nilai tertentu termasuk nilai-nilai tentang kemandirian. Tabel 15
menunjukkan faktor lingkungan dan kemandirian anak.
Dari Tabel 15 terlihat bahwa anak sanga t mandiri paling banyak
ditemukan berinteraksi rendah dengan keluarga luas, yaitu 3 dari 4 anak. Hal ini
berbeda dengan hasil penelitian Dhamayanti (2006) yang menyatakan bahwa
faktor keluarga tidak mempengaruhi kemandirian anak. Sementara Olsen (1974)
berpendapat bahwa figur otoritas dari keluarga luas berperan membentuk
78
kemandirian anak dengan cara mempengaruhi pola pengasuhan yang dilakukan
ibu. Menurut Suyoto (1982), salah satu faktor pembentuk kemandirian anak
adalah pola asuh orang tua yaitu pola asuh demokratis akan menghasilkan anak
yang mandiri.
Tabel 15. Faktor Lingkungan dan Kemandirian Anak, Yogyakarta, 2006
Faktor Lingkungan Kemandirian Anak Jumlah Cukup Mandiri Sangat Mandiri
n % n % n % Keluarga Luas Interaksi rendah 1 4 3 12 4 16 Interaksi sedang 5 20 6 24 11 44 Interaksi tinggi 3 12 7 28 10 40 Jumlah 9 36 16 64 25 100 Sekolah Negeri 4 16 9 36 13 52 Swasta 5 20 7 28 12 48 Jumlah 9 36 16 64 25 100 Teman Sebaya Interaksi rendah 1 4 - - 1 4 Interaksi sedang 2 8 9 36 11 44 Interaksi tinggi 6 24 7 28 13 52 Jumlah 9 36 16 64 25 100 Media Massa Interaksi rendah 1 4 - - 1 4 Interaksi sedang 2 8 - - 2 8 Interaksi tinggi 6 24 16 64 22 88 Jumlah 9 36 16 64 25 100
Interaksi rendah dengan keluarga luas memungkinkan ibu selaku orang tua
tunggal menerapkan pola asuhnya sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
Artinya, ibu berperan utama dalam proses pembentukan pribadi dan proses
sosialisasi di dalam keluarga. Ibu juga bertanggung jawab penuh dalam
menanamkan kesadaran untuk mandiri kepada anak dan melatih kemandirian
anak. Disamping itu berdasarkan pengamatan nampak bahwa rendahnya interaksi
dengan keluarga luas mendorong anak untuk mandiri karena mereka tidak bisa
mengharapkan bantuan dari keluarga luas. Apalagi anak juga menyadari
kesibukan ibu yang harus membagi perhatian antara pekerjaan dan rumahtangga.
Pada interaksi tinggi dengan keluarga luas nampak bahwa keterlibatan
keluarga luas dalam pengasuhan anak menghambat proses kemandirian anak
sehingga anak menjadi kurang mandiri. Pada kasus ini ibu tunggal tidak bisa
79
menjaga konsistensi pola pengasuhan anak karena ada banyak pihak yang terlibat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wallerstein dan Kelly dalam Cherlin (2002) dan
Frankl (1972) yang menyatakan bahwa orang tua tunggal menjalankan pola
pengasuhan yang kurang konsisten. Anak mengalami kebingungan dan cenderung
mengikuti apa yang memberikan kesenangan atau kemudahan, misalnya
menerima bantuan dan dilayani oleh anggota keluarga luas serta mengabaikan
nasehat ibu untuk berusaha mandiri. Disamping itu anak juga cenderung
mengikuti petunjuk dan arahan dari anggota keluarga luas karena dianggap lebih
berpengalaman dari pada ibu.
Suyoto (1982) menyatakan bahwa proses belajar mengajar di sekolah
mempengaruhi kemandirian anak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih
banyak anak sangat mandiri ditemukan bersekolah di negeri. Sedangkan
wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sekolah swasta
maupun sekolah negeri tidak secara langsung mengajarkan kemandirian. Lewat
pemberian tugas dan penerapan disiplin di sekolah secara tidak langsung
diharapkan anak dapat menjadi mandiri. Beberapa cara penerapan kedisiplinan
adalah pemberian sanksi terhadap pelanggaran aturan dan tata-tertib sekolah.
Setiap sekolah memiliki cara berbeda dalam pemberian sanksi tetapi tujuannya
sama yaitu agar anak bertindak ke arah yang lebih baik dan tidak mengulangi
kesalahannya.
Penerapan disiplin berlaku lebih ketat di sekolah swasta tetapi justru anak-
anak yang bersekolah di sekolah negeri rata-rata lebih mandiri dibandingkan
dengan anak-anak yang bersekolah di swasta. Pada umumnya penerapan disiplin
seharusnya berperan dalam membentuk kemandirian anak, tetapi tidak demikian
yang terjadi.
Beban pelajaran di sekolah negeri tidak sebanyak di sekolah swasta
sehingga anak-anak mempunyai lebih banyak waktu untuk bermain atau bersantai.
Kompetisi anak dalam meraih prestasi akademis di sekolah juga tidak seberat
yang terjadi di sekolah swasta. Hal ini membuat orang tua tidak perlu terlalu
banyak terlibat dalam kegiatan belajar anak di rumah. Anak tidak tergantung pada
orang tua untuk menyelesaikan tugas-tugas dari sekolah.
80
Para orang tua yang anaknya bersekolah di swasta banyak membantu anak
dalam hal-hal yang berkaitan dengan sekolah seperti menemani belajar dan
mengerjakan PR karena tidak ingin anak ketinggalan pelajaran. Mereka juga
menyiapkan peralatan sekolah dan seragam anak karena tidak ingin anak
mendapat hukuman. Selain itu, diakui pula bahwa mahalnya biaya pendidikan di
sekolah swasta mendorong mereka untuk memberikan banyak bantuan kepada
anak karena tidak ingin anak gagal di sekolah. Tampaknya para orang tua tunggal
kurang mempercayai kemampuan anak dalam mengatasi masalah belajar dan tata-
tertib sekolah sehingga anak menjadi kurang bertanggungjawab terhadap tugas
dan kewajibannya sebagai pelajar, dan hal inilah yang membuat tingkat
kemandirian mereka kurang dibandingkan anak-anak yang bersekolah di negeri.
Interaksi anak dengan teman sebaya menunjukkan adanya perbedaan pada
tingkat kemandiriannya. Pada interaksi rendah hanya ditemukan anak yang cukup
mandiri, pada interaksi sedang dan tinggi ditemukan lebih banyak anak yang
sangat mandiri. Hal ini menguatkan pendapat Hurlock (1991) yang menyebutkan
bahwa anak belajar mandiri melalui teman sebaya. Dengan demikian, tingkat
interaksi dengan teman sebaya menentukan tingkat kemandirian anak. Interaksi
anak dengan teman sebaya mempengaruhi proses pembentukan kemandirian
karena pada dasarnya seorang anak ingin menjadi sama dengan temannya melalui
proses imitasi dan identifikasi.
Salah satu pengaruh media massa menurut Rakhmat (2001) yaitu efek
prososial behavioral, di mana seseorang bisa memiliki keterampilan yang
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain melalui media massa. Data pada Tabel 15
menunjukkan bahwa anak yang sangat mand iri hanya ditemukan pada intensitas
penggunaan media massa yang tinggi. Nampaknya intensitas penggunaan media
massa menentukan kemandirian anak melalui efek prososial behavioral.
Media massa memang tidak secara langsung mempengaruhi perubahan
perilaku tetapi diyakini adanya efek kognitif dari media massa. Dari efek kognitif
inilah yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan sikap dan perilaku. Jenis
bacaan dan tontonan anak dengan tema yang beragam bisa jadi menumbuhkan
kesadaran pada diri anak untuk mandiri.
81
Beberapa jenis tontonan dan bacaan mengajarkan nilai-nilai tertentu kepada
anak seperti persahabatan dan kesetiakawanan. Media massa tidak secara
langsung mengajarkan kemandirian kepada anak tetapi bisa menanamkan
kesadaran untuk mandiri kepada anak lewat tema cerita dalam film maupun
bacaan namun orang tua perlu membantu menjelaskannya kepada anak karena
pesan yang disampaikan oleh sebuah cerita kadang-kadang sulit dipahami oleh
anak.
Selanjutnya untuk mengetahui faktor lingkungan yang menentukan
kemandirian anak, data pada Tabel 15 dibandingkan dengan data faktor
lingkungan dan kecenderungan kemandirian anak. Tabel 16 menunjukkan faktor
lingkungan dan kecenderungan kemandirian anak.
Tabel 16. Faktor Lingkungan dan Kecenderungan Kemandirian Anak
Faktor Lingkungan Rata-rata Skor Kemandirian Anak
Tingkat Kemandirian Anak
Keluarga Luas Interaksi rendah 2,7 Sangat mandiri Interaksi sedang 2,4 Cukup mandiri Interaksi tinggi 2,4 Cukup mandiri Sekolah
Berlanjut
Negeri 2,5 Sangat mandiri Swasta 2,4 Cukup mandiri Teman Sebaya Interaksi rendah 2,2 Cukup mandiri Interaksi sedang 2,6 Sangat mandiri Interaksi tinggi 2,4 Cukup mandiri Media Massa Intensitas rendah 2,1 Cukup mandiri Intensitas sedang 2,0 Cukup mandiri Intensitas tinggi 2,5 Sangat mandiri Catatan : Skor = 2,5 = sangat mandiri, 1,5 - < 2,5 = cukup mandiri
Tabel 16 memperkuat hasil yang diperoleh pada Tabel 15 karena ternyata
menunjukkan hal yang sama. Hasil yang didapat dari kecenderungan kemandirian
anak menunjukkan bahwa anak yang sangat mandiri ditemukan pada interaksi
rendah dengan keluarga luas, bersekolah di negeri, berinteraksi sedang dengan
teman sebaya dan menggunakan media massa dalam intensitas tinggi.
82
Hubungan Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak
Karakteristik orang tua tunggal diduga berperan dalam membentuk
kemandirian anak. Data usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan,
lama waktu bekerja, lama penggunaan media dan lama mengikuti kegiatan sosial
mengungkapkan karakteristik orang tua tunggal dalam kaitannya dengan tingkat
kemandirian anak seperti ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kemandirian Anak, Yogyakarta 2006 Karakteristik Kemandirian Anak Jumlah Orang Tua Tunggal Cukup Mandiri Sangat Mandiri n % n % n % A. Usia (tahun) a. 30 - 35 5 20 5 20 10 40 b. 36 - 46 4 16 8 32 12 48 c. 47 - 57 - - 3 12 3 12 Jumlah 9 36 16 64 25 100 B. Jumlah Anak (orang) a. 1 5 20 6 24 11 44 b. 2 4 16 6 24 10 40 c. 3 - - 3 12 3 12 d. > 3 - - 1 4 1 4 Jumlah 9 36 16 64 25 100 C. Pendidikan a. SD - - 3 12 3 12 b. SMP 1 4 - - 1 4 c. SMU 5 20 5 20 10 40 d. D1 - - 1 4 1 4 e. D3 - - 2 8 2 8 f. S1 2 8 5 20 7 28 g. S2 1 4 - - 1 4 Jumlah 9 36 16 64 25 100 D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta 4 16 7 28 11 44 b. Wiraswasta 2 8 5 20 10 40 c. PNS 2 8 2 8 4 16 d. Buruh 1 4 2 8 3 12 Jumlah 9 36 16 64 25 100 E. Pendapatan (Rp) a. < 1 juta 4 16 9 36 13 52 b. 1 – 2 juta 4 16 6 24 10 40 c. > 2 juta 1 4 1 4 2 8 Jumlah 9 36 16 64 25 100 Berlanjut
83
Lanjutan
Karakteristik Kemandirian Anak Jumlah Orang Tua Tunggal Cukup Mandiri Sangat Mandiri n % n % n % F. Lama Waktu Bekerja (Jam/hari) a. < 8 3 12 4 16 7 28 b. 8 - 10 6 24 10 40 16 64 c. > 10 - - 2 8 2 8 Jumlah 9 36 16 64 25 100 G. Lama Penggunaan Media (Jam/minggu)
a. 1 - 3 2 8 5 20 7 28 b. 3 - 5 1 4 4 16 5 20 c. 5 - 7 4 16 2 8 6 24 d. > 7 2 8 5 20 7 28 Jumlah 9 36 16 64 25 100 H. Lama Kegiatan Sosial (Jam/ minggu)
a. Tidak ada b. 2 - 4 c. 5 - 7
6 2 1
24 8 4
4 11
16 44
10 13
40 55
Jumlah 9 36 16 64 25 100
Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian anak
cenderung ada hubungannya dengan usia orang tua tunggal. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Suyoto (1982) yang mengemukakan bahwa kemandirian anak
berhubungan dengan usia orang tua. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
tua usia orang tua ternyata anaknya semakin mandiri. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah anak sangat mandiri pada masing-masing kelompok usia. Pada orang tua
berusia 47-57 tahun ternyata semua anak sangat mandiri. Usia berkaitan dengan
pengalaman orang tua dalam mendidik anak sehingga mereka tahu bagaimana
cara yang tepat dalam membentuk kemandirian anak.
Menurut Ahmadi (1999), jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi
perkembangan anak, yaitu anak pada keluarga besar lebih toleran yang berarti
mampu mengendalikan diri. Menurut Masrun dalam Rahmah (2004),
pengendalian diri merupakan salah satu aspek kemandirian dalam konteks
Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa semua anak sangat mandiri pada
kelompok orang tua tunggal dengan tiga anak atau lebih. Dengan semakin
banyaknya anak di rumah maka tentu sulit bagi orang tua untuk memperhatikan
dan memberikan bantuan kepada setiap anak sehingga dengan sendirinya anak-
84
anak menjadi mandiri. Hal menarik yang ditemukan di sini ternyata sebagian
besar anak tunggal juga sangat mandiri. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak
benar bahwa orang tua tunggal memanjakan anaknya seperti anggapan
kebanyakan orang selama ini. Seperti juga dinyatakan oleh O3 bahwa ia tidak
memanjakan anak, bahkan selalu menanamkan kesadaran kepada anak tentang
pentingnya mandiri sejak kecil.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli dalam Rahmah (2004), pendidikan
ibu mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam menghadapi anak. Makin tinggi
pendidikan ibu akan mendorong kemandirian anak. Pendapat tersebut berbeda
dengan hasil penelitian ini, yaitu ibu tunggal berpendidikan SD justru anaknya
sangat mandiri sedangkan yang berpendidikan S2 anaknya cukup mandiri. Anak-
anak dari ibu tunggal berpendidikan Diploma juga sangat mandiri sementara pada
tingkat pendidikan SMU jumlah anak yang sangat mandiri dan cukup mandiri
ternyata sama dan pada tingkat pendidikan S1 terdapat lebih banyak anak yang
sangat mandiri. Mulai dari pendidikan Diploma hingga S2 tingkat kemandirian
anak terlihat menurun seperti terlihat pada Tabel 18.
Dilihat berdasarkan pekerjaan orang tua, ternyata sebagian besar anak
sangat mandiri, terutama anak dari karyawan swasta dan buruh. Hal ini
menguatkan pendapat Amal (1990) dan beberapa ahli dalam Rahmah (2004)
yang menyatakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja mencari nafkah justru
sangat mandiri dan lebih mandiri dibandingkan dari anak-anak dari ibu yang tidak
bekerja. Berdasarkan pengamatan ternyata anak lebih mandiri ketika orang tua
sibuk bekerja di luar rumah karena anak tidak bisa mengharapkan bantuan dari
orang tua.
Hasil penelitian Prestel dan Hetzer dalam Ahmadi (1999), menyimpulkan
bahwa kondisi sosial yang sangat tinggi dan sangat rendah mempunyai pengaruh
terhadap perkembangan anak. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa anak dari
orang tua tunggal berpenghasilan rendah (kurang dari 1 juta) dan tinggi (lebih dari
2 juta) cenderung sangat mandiri (Lihat Tabel 18). Pendapatan orang tua tunggal
terlihat berperan dalam menentukan kemandirian anak
Jika orang tua menghabiskan banyak waktu untuk bekerja maka frekuensi
berkomunikasi orang tua dengan anak berkurang. Sedangkan anak pada usia yang
85
masih muda membutuhkan banyak perhatian orang tua dan membutuhkan kualitas
komunikasi yang memuaskan. Keadaan ini bisa mempengaruhi perkembangan
anak ke arah negatif tetapi hasil penelitian ini menunjukkan lama waktu bekerja
orang tua ternyata mendorong terbentuknya kemandirian anak. Dari Tabel 17
terlihat semua anak dari orang tua tunggal yang bekerja lebih dari 10 jam sehari
ternyata sangat mandiri. Hal ini makin menguatkan pernyataan Amal (1990) yang
menyatakan bahwa anak-anak dari ibu yang bekerja justru sangat mandiri
Semakin lama orang tua tidak bersama anak, karena bekerja, membuat
anak semakin terdorong untuk mandiri karena harus berusaha mengatasi
masalahnya sendiri dan mengerjakan pekerjaan sendiri. Kemandirian anak
didorong oleh keadaan yang memang memaksa mereka untuk berinisiatif, berani
membuat keputusan dan bisa mengerjakan sendiri suatu pekerjaan tanpa bantuan
orang tua. Sedangkan pada anak yang orangtuanya bekerja kurang dari delapan
jam sehari mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari
orang tua. Hal ini makin menguatkan pernyataan Amal (1990) bahwa anak-anak
dari ibu yang bekerja justru sangat mandiri
Lamanya penggunaan media massa oleh orang tua tunggal tidak berperan
dalam menumbuhkan kemandirian anak. Jumlah anak sangat mandiri ternyata
sama pada intensitas penggunaan media massa rendah dan tinggi oleh orang tua
tunggal. Kebanyakan responden mengaku menggunakan media massa untuk
mendapatkan informasi tentang kejadian yang terjadi di sekitarnya (berita) dan
juga hiburan. Oleh karena itu lamanya orang tua menggunakan media tidak
memberikan tambahan pengetahuan tentang cara mendidik anak dan mengajarkan
kemandirian kepada anak.
Lamanya orang tua mengikuti kegiatan sosial menunjukkan lamanya
interaksi dan aktivitas komunikasi antara orang tua tunggal dan orang tua lain.
Kesempatan ini bisa dimanfaatkan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman
tentang cara mendidik dan mengasuh anak. Ternyata jumlah anak yang sangat
mandiri ditemukan lebih banyak di kalangan orang tua tunggal yang mengikuti
kegiatan sosial antara 2-4 jam seminggu. Sedangkan di kalangan orang tua
tunggal yang menggunakan 5-7 jam seminggu untuk berkegiatan sosial ditemukan
jumlah yang sama antara anak yang sangat mandiri dan cukup mandiri. Artinya,
86
tidak ditemukan lebih banyak anak yang sangat mandiri pada kelompok ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang sangat mandiri ditemukan di
kalangan orang tua tunggal yang melakukan kegiatan sosial namun kemandirian
anak tidak ada hubungannya dengan lamanya orang tua tunggal melakukan
kegiatan sosial. Tabel 18 menyajikan gambaran kemandirian anak berdasarkan
karakteristik orang tua tunggal
Tabel 18. Karakteristik Orang Tua Tunggal dan Kecenderungan Kemandirian Anak
Karakteristik Rata-rata Tingkat Orang Tua Tunggal Skor
Kemandirian Kemandirian
Anak A. Usia (tahun) a. 30 - 35 2,4 Cukup mandiri b. 36 - 46 2,6 Sangat mandiri c. 47 - 57 2,5 Sangat mandiri B. Jumlah Anak (orang) a. 1 2,5 Sangat mandiri b. 2 2,4 Cukup mandiri c. 3 2,7 Sangat mandiri d. > 3 2,5 Sangat mandiri C. Pendidikan a. SD 2,7 Sangat mandiri b. SMP 2,4 Cukup mandiri c. SMU 2,4 Cukup mandiri d. D1 2,8 Sangat mandiri e. D3 2,6 Sangat mandiri f. S1 2,4 Cukup mandiri g. S2 2,2 Cukup mandiri D. Pekerjaan a. Karyawan Swasta 2,5 Sangat mandiri b. Wiraswasta 2,4 Cukup mandiri c. PNS 2,4 Cukup mandiri d. Buruh 2,6 Sangat mandiri E. Pendapatan (Rp) a. < 1 juta 2,5 Sangat mandiri b. 1 - 2 juta 2,4 Cukup mandiri c. > 2 juta 2,6 Sangat mandiri F. Lama Waktu Bekerja (Jam/hari) a. < 8 2,2 Cukup mandiri b. 8 - 10 2,5 Sangat mandiri c. > 10 2,8 Sangat mandiri G.Lama Penggunaan Media (Jam/minggu) a. 1 - 3 2,5 Sangat mandiri b. 3 - 5 2,5 Sangat mandiri c. 5 - 7 2,3 Cukup mandiri d. > 7 2,5 Sangat mandiri Berlanjut
87
Lanjutan
Karakteristik Rata-rata Tingkat Orang Tua Tunggal Skor Kemandirian Kemandirian Anak H. Lama Kegiatan Sosial ( Jam/minggu)
a. Tidak ada 2,3 Cukup mandiri b. 2 - 4 2,6 Sangat mandiri c. 5 - 7 2,5 Sangat mandiri
Catatan : Skor = 2,5 = sangat mandiri, 1,5 - < 2,5 = cukup mandiri
Faktor karakteristik orang tua tunggal yang ada hubungannya dengan
kemandirian anak adalah usia, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan
dan lamanya waktu bekerja. Usia orang tua 36-46 tahun dan 47-57 tahun
menunjukkan kebanyakan anak yang sangat mandiri, sedangkan jumlah anak satu
orang dan tiga orang atau lebih cenderung membuat anak sangat mandiri. Faktor
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan menunjukkan kelas sosial ekonomi, dan
ternyata pada kelas sosial ekonomi rendah ditemukan anak yang sangat mandiri.
Kesadaran anak untuk meringankan beban orang tua mendorong terbentuknya
kemandirian anak. Faktor lamanya waktu bekerja juga mendorong tumbuhnya
kemandirian anak yaitu semakin lama orang tua bekerja justru anak semakin
mandiri. Partisipasi orang tua tunggal dalam kegiatan sosial ada hubungannya
dengan kemandirian anak tetapi lamanya waktu mengikuti kegiatan sosial tidak
menentukan tingkat kemandirian anak.