HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Pertanaman Kakao · varietas hibrida (77.50%), sementara...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Keadaan Pertanaman Kakao · varietas hibrida (77.50%), sementara...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keadaan Pertanaman Kakao
Pertanaman kakao di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara
tersebar pada 20 kecamatan dengan luas areal 78.054 ha yang melibatkan 30.408
KK petani dengan produksi 49.449.37 ton. Keseluruhan areal tanaman tersebut,
18.079 ha (23.16%) merupakan tanaman belum menghasilkan (TBM), 56.082 ha
(71.85%) tanaman menghasilkan (TM) dan 3.893 ha (4.98%) tanaman tua dan
rusak (TTR). Di Kecamatan Lambandia luas pertanaman kakao 26.658 ha dengan
5.993 KK petani. Areal tanaman tersebut 5.481 ha (20.56%) areal tanam belum
menghasilkan, 20.447 ha (76.70%) tanaman menghasilkan dan 730 ha (2.74%)
tanaman tua dan rusak (Dishutbun Sultra 2010). Keseluruhan responden (100%)
yang diwawancarai berusahatani kakao pada lahan milik sendiri.
Kendala dalam pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten
Kolaka sampai saat ini adalah : (1) masih terbatasnya sumber daya petugas,
petani dan pelaku usaha agribisnis dibidang budidaya dan pengelolaan hasil ;
(2) jenis/klon yang ditanam beragam; (3) sebagian tanaman sudah tua dan kurang
produktif; (4) masih adanya serangan hama PBK dan penyakit busuk buah; (5)
sarana dan prasarana penunjang belum memadai (ketersediaan saprodi dengan
harga yang terjangkau, air bersih, listrik, prasarana jalan dan jembatan dari dan ke
sentra-sentra produksi serta pelabuhan yang standar dan (6) belum terjalinnya
hubungan kemitraan antara hulu dan hilir yang saling menguntungkan serta masih
banyaknya spekulan pada usaha perdagangan kakao (Dishutbun Sultra 2009).
Praktek Budidaya Kakao
Karakteristik Petani
Secara umum keadaan petani kakao di Desa Lambandia, Kecamatan
Lambandia, Kabupaten Kolaka mempunyai persamaan terutama dalam hal
pengembangan areal pertanaman kakao. Petani yang mempunyai kesempatan
untuk menambah areal, kurang memikirkan potensi tenaga kerja pengelolaan
28
lahan. Hal tersebut berdampak pada kurangnya waktu untuk mengelola kebun
dengan baik, sehingga berpengaruh pada nilai ekonomi yang diperoleh oleh
petani.
Responden pada umumnya berumur antara 40 hingga 60 tahun (92.50%)
dan selebihnya di atas umur 60 tahun (Tabel 1). Kondisi ini dianggap masih
dalam potensi untuk dapat dikembangkan dan pengelolaan tanaman kakao dapat
ditingkatkan secara lebih intensif. Bertahannya masyarakat untuk tetap
mengusahakan budidaya kakao disebabkan harga yang menjanjikan dan
pemasarannya mudah (selalu ada pembeli) walaupun produksinya cenderung
menurun setiap tahun. Soeharjo dan Patong (1998) mengelompokkan umur petani
kakao berdasarkan kelompok produktif dan kurang produktif, yaitu umur di
bawah 15 tahun dan diatas 60 tahun dikategorikan umur kurang produktif.
Kondisi saat ini menunjukkan sebagian besar petani tergolong dalam usia yang
masih produktif dalam melakukan usahatani kakao.
Faktor umur sangat mempengaruhi kemampuan fisik seorang petani dalam
mengelola usahataninya. Pada umumnya petani yang berumur muda memiliki
kemampuan fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan petani yang berumur tua,
termasuk dalam penerimaan inovasi baru. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa
makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk mengetahui apa yang
mereka belum ketahui, sehingga dalam berusahatani mereka lebih cepat
melakukan adopsi inovasi walaupun sifatnya masih belum berpengalaman.
Tabel 1 Persebaran umur responden petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Kelompok Umur Jumlah responden Persentase (%)
< 30 2 5.00 30 - < 40 7 17.50 40 - < 50 16 40.00 50 - < 60 14 35.00 ≥ 60 1 2.50
Latar belakang pendidikan formal menunjukkan bahwa sebagian besar
petani pernah mengikuti pendidikan. Keseluruhan responden pernah mengalami
jenjang pendidikan formal. Gambaran tingkat pendidikan ini merupakan indikator
penting dalam usaha pengembangan teknologi, termasuk PHT hama PBK.
29
Interaksi antara pendidikan dan pengalaman usaha dapat dijadikan prediksi dalam
menilai kemampuan petani mengelola usahataninya atau dalam proses menerima
atau menolak penerapan teknologi. Dengan pendidikan yang dimiliki maka
teknologi yang disampaikan diharapkan dapat dengan mudah diadopsi. Rata –
rata petani memiliki tingkat pendidikan SMA (62.50%) dan selebihnya SD, SMP
dan malahan ada Perguruan Tinggi (Tabel 2).
Tabel 2 Latar belakang pendidikan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Tingkat Pendidikan Jumlah responden Persentase (%)
SD 1 2.50 SMP 13 32.50 SMA 25 62.50 Perguruan Tinggi 1 2.50
Pendidikan pada umumnya dapat mempengaruhi pola berpikir, khususnya
pendidikan formal. Petani yang berpendidikan cenderung bersifat lebih dinamis
terhadap perubahan teknologi yang ditawarkan. Dengan tingkat pendidikan yang
dimiliki petani diharapkan akan lebih mudah memahami, menerapkan dan
mengembangkan suatu inovasi baru terkait perubahan harga, teknologi baru dan
cara pemasaran yang lebih efisien (Prayitno & Arsyad 2003).
Namun menurut Hernanto (1992) petani umumnya tumbuh dan dewasa
dalam proses menjalankan usahataninya melalui proses pembelajaran dari orang
tua yang diwariskan secara turun temurun. Kondisi demikian berpengaruh pada
penerimaan inovasi baru, karena cara-cara lama masih tetap dipertahankan.
Dengan kondisi tersebut maka dalam mengadopsi inovasi baru tidak cukup
dengan penyuluhan atau pelatihan tetapi diperlukan demplot agar petani bisa lebih
menyakini kebenaran inovasi yang disampaikan.
Pengalaman berusaha seorang petani merupakan bentuk pendidikan yang
diperoleh di luar bangku sekolah yang dapat membawa perubahan bagi petani
dalam mengelola usahataninya. Seorang petani dengan pengalaman banyak
diharapkan dapat memilih dan menentukan alternatif yang lebih baik bagi
peningkatan produksi usahataninya. Namun kendala pada petani kakao dengan
pengalaman berusaha tani yang sudah lama cenderung lamban dalam menerima
adopsi teknologi karena telah terbiasa mengelola kebun pada kondisi tanah yang
30
masih subur, serangan hama penyakit masih kurang, dan umur tanaman yang
masih produktif.
Untuk mengetahui pengalaman seorang petani dalam berusahatani dapat
dilihat dari lamanya petani tersebut melakukan kegiatan usahatani. Semakin lama
pengalaman seorang petani mengelola usahatani, maka dapat diasumsikan bahwa
petani tersebut semakin matang dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam
usahatani, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil produksi usahatani
yang dikelolanya. Pengalaman responden dalam lama berusahatani kakao
sebagian besar berkisar antara >15 hingga 20 tahun (55.50%) (Tabel 3).
Tabel 3 Latar belakang pengalaman berusahatani petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Pengalaman berusahatani (tahun) Jumlah responden Persentase (%)
>5 - 10 1 2.50 >10 – 15 13 32.50 > 15 – 20 22 55.00 > 20 – 25 3 7.50 > 25 1 2.50
Walaupun sebagian besar petani telah mengikuti pendidikan dan
pengalaman yang cukup lama, namun belum semua praktek budidaya kakao dan
pengendalian hama mereka terapkan dengan baik karena berbagai alasan.
Beberapa praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi pemangkasan,
pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik budidaya yang belum
diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah panen, pengolahan biji
kakao dan perlakuan terhadap kulit buah dan plasenta. Sebagian petani
mendapatkan pengetahuan praktek budidaya kakao melalui pelatihan yang
merupakan sarana belajar yang baik untuk menambah pengetahuan serta dapat
memadukan teori dan pengalaman petani di lapangan.
Luas lahan garapan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat
penting, karena akan menentukan besar kecilnya skala usahatani, mempengaruhi
jumlah penggunaan faktor produksi yang lain, dan pada akhirnya akan
menentukan tingkat pendapatan petani. Mubyarto (2001) mengemukakan bahwa
luas tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan kuantitas produksi yang
akan dihasilkan.
31
Penguasaan lahan usahatani kakao di Desa Lambandia berkisar antara 2 –
5 ha (55.00%) bahkan sampai lebih dari 20 ha (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa
sebagian besar petani memiliki lahan yang cukup luas dan dengan status sebagai
pemilik. Petani yang memiliki lahan < 0.5 ha hanya mengusahakan tanaman
kakao di sekitar rumah karena pekerjaan utamanya sebagai Pegawai Negeri Sipil,
selain itu juga sebagai pembeli hasil panen kakao (pengumpul).
Tabel 4 Luas lahan garapan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Luas lahan (ha) Jumlah responden Persentase( % )
< 0.5 – 2.0 5 12.50 > 2.0 – 5.0 22 55.00 > 5.0 – 10.0 8 20.00 > 10.0 – 15.0 2 5.00 > 15.0 – 20.0 1 2.50 > 20.0 2 5.00
Budidaya Kakao
Hasil wawancara yang dilakukan terhapap petani menunjukkan bahwa
minat masyarakat untuk mengembangkan tanaman kakao cukup besar. Menurut
petani, alasan utama sejak awal sampai sekarang untuk mengembangkan tanaman
kakao adalah: (1) masih tersedia lahan yang cukup luas; (2) dapat dipanen
sepanjang waktu; (3) harga cukup menarik serta mudah memasarkannya dan (4)
perawatan yang tidak terlalu sulit. Menurut data Dishutbun (2010) masih cukup
tersedia lahan untuk pengembangan kakao seluas 22.642 ha.
Kualitas bibit merupakan salah satu faktor yang menentukan tinggi
rendahnya produksi kakao. Jika benih yang digunakan adalah benih unggul, maka
kemungkinan produksi yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan benih lokal. Jenis klon yang ditanam oleh petani responden
menunjukkan bahwa petani menanam kakao jenis Na 32, Na 33, Sulawesi 1,
Sulawesi 2, 246 A, 461 A dan semiotic embryogenesis yang merupakan kakao
varietas hibrida (77.50%), sementara sebagian petani menanam varietas lokal
(22.50%) (Tabel 5). Benih tersebut diperoleh dari pemerintah dan perusahaan
perkebunan yang ada di Kabupaten Kolaka. Benih yang berasal dari pemerintah
32
diberikan secara cuma-cuma sementara yang berasal dari perusahaan dibeli oleh
petani.
Tabel 5 Varietas kakao yang ditanam oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Jenis varietas Jumlah responden Persentase (%)
Hybrida 31 77.50 Lokal 9 22.50
Saat ini umur tanaman kakao di lokasi penelitian bervariasi, tetapi sebagian
besar berumur >15-20 (30.00%) dan > 20 tahun (45.00%) (Tabel 6). Hal tersebut
menunjukkan rata-rata umur tanaman kakao telah tua yang berakibat pada
menurunnya produktivitas kakao. Kondisi ini menjadi salah satu dasar bagi
pemerintah untuk melakukan Program Revitalisasi Kakao yang dilakukan oleh
Departemen Pertanian dengan metode teknik sambung samping menggunakan
bibit Somatic Embryogenesis (SE), Sulawesi I dan Sulawesi II. Penyambungan
dilakukan oleh tenaga terlatih dari masyarakat setempat yang diberi honorarium
setiap bulan oleh Dinas Perkebunan. Program tersebut merupakan upaya
akselerasi pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan
rehabilitasi perkebunan untuk kembali meningkatkan produksi kakao Indonesia
dimasa yang akan datang.
Tabel 6 Umur tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Umur Tanaman (tahun) Jumlah responden Persentase (%)
2 – 5 3 7.50 > 5 – 10 5 12.50 > 10 – 15 2 5.00 > 15 - 20 12 30.00 > 20 18 45.00
Populasi tanaman pada kebun kakao berkisar <1000 pohon per ha (65%)
dan selebihnya 1000-1200 pohon (Tabel 7). Jarak tanam bervariasi antara 4 m x
4 m, 4 m x 3 m dan 4 x 2 m, dengan pola tanam tumpang sari yang
dikombinasikan dengan tanaman rambutan, kelapa, jeruk, mangga, lada, pisang,
gamal dan durian. Rendahnya populasi tanaman disebabkan petani melakukan
penananaman secara tumpang sari. Hal tersebut akan berpengaruh pada
33
rendahnya produksi kakao per satuan luas. Puslitkoka (2006) merekomendasikan
jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m dengan populasi sekitar 1000 pohon/ha adalah
pola tanam yang paling sesuai untuk budidaya kakao jangka panjang di Indonesia.
Tanaman yang paling banyak digunakan sebagai tanaman tumpang sari
adalah tanaman kelapa yang juga berfungsi sebagai penaung dan hasilnya dapat
dipanen sepanjang tahun. Tumpang sari dilakukan karena tanaman kakao
memerlukan tanaman penaung yang berfungsi mengurangi intensitas penyinaran,
menekan suhu maksimun dan laju evapotranspirasi, serta melindungi tanaman
kakao dari angin kencang. Menurut Bakri et al. (2004) alasan kebanyakan petani
untuk memilih tanaman kelapa dikarenakan kelapa relatif tahan kering dan tidak
mengalami gugur daun selama musim kemarau, bentuk tajuk dan sistem
perakaran kelapa yang kuat menyebabkan kelapa tahan terhadap embusan angin
dan apabila kelapa sudah dewasa terdapat jarak yang cukup lebar antara tajuk
kelapa dan tajuk kakao.
Tabel 7 Populasi tanaman per ha di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Populasi tanaman per ha Jumlah responden Persentase (%)
<1000 26 65.00 1000 – 1200 14 35.00
Pemangkasan tanaman adalah satu cara budidaya kakao agar tidak terjadi
kelembaban yang tinggi, karena beberapa jenis hama menyenangi kondisi yang
lembab. Pemangkasan juga dilakukan sebagai salah satu upaya agar laju
fotosintesis berlangsung secara optimal. Menurut Suntoro (1995) pemangkasan
tanaman bertujuan untuk memperoleh kerangka arsitektur dasar (frame)
percabangan tanaman kakao yang baik, mengatur penyebaran cabang dan daun-
daun produktif pada tajuk merata, meningkatkan kemampuan tanaman
menghasilkan buah dan menekan risiko terjadinya serangan hama dan penyakit.
Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemangkasan intervalnya
bervariasi antar 12, 24 dan 36 kali dalam setahun. Pemangkasan yang paling
banyak dilakukan adalah pemangkasan pemeliharaan (62.50%) dan selebihnya
pemangkasan pemeliharaan dan produksi (Tabel 8). Pemangkasan dilakukan
untuk membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki seperti tunas air, cabang
34
yang sakit, patah dan menggantung, dimaksudkan untuk pemangkasan
pemeliharaan dan produksi. Dalam kaitan ini belum semua pekebun melakukan
pemangkasan dengan baik, hal tersebut terlihat dari banyaknya pohon kakao yang
tajuknya masih terlalu tinggi sehingga menyulitkan dalam pemanenan buah. Hal
ini mengakibatkan serangan hama PBK selalu ada setiap tahun karena kondisi
kebun yang gelap dan lembab.
Tabel 8 Pemangkasan tanaman kakao di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Jenis Pemangkasan Jumlah responden Persentase (%)
Pemeliharaan 25 62.50 Pemeliharaan + Produksi 7 17.50 Produksi 8 20.00
Budidaya tanaman kakao yang dilakukan pekebun cenderung
menyebabkan kemunduran lahan jika tidak diimbangi dengan pemupukan.
Kemunduran lahan tersebut diakibatkan berkurangnya kesuburan, kerusakan sifat-
sifat fisik dan biologis, serta menipisnya ketebalan tanah. Berkurangnya
kesuburan disebabkan kehilangan unsur hara dari daerah perakaran melalui
pencucian dan erosi. Kerusakan sifat-sifat fisik dan biologis tanah antara lain
berupa rusaknya agregat tanah, berkurangnya kemantapan struktur, berkurangnya
kadar bahan organik serta berkurangnya jumlah dan aktivitas organisme yang
hidup dalam tanah, sementara itu berkurangnya ketebalan tanah terjadi karena
erosi yang merupakan penyebab utama kerusakan tanah di lahan yang berlereng
curam (Arsyad 2001).
Petani di Desa Lambandia dalam melakukan pemupukan menggunakan
pupuk Urea, KCL dan TSP yang dilakukan pada awal terjadinya musim buah
puncak yaitu bulan Januari dan Agustus dengan frekuensi 1 sampai 3 kali dalam
setahun dan sebagian petani menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam atau
sapi. Pemupukan dengan Urea dengan frekuensi 1 kali lebih banyak dilakukan
petani (50.00%) dan selebihnya pemupukan dengan TSP, KCl dan pupuk
kandang dengan frekuensi yang bervariasi (Tabel 9).
35
Tabel 9 Frekuensi pemupukan dan jenis pupuk yang digunakan petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Jenis Pupuk Frekuensi
Pemupukan Jumlah
responden Persentase (%)
Urea 1 20 50.00 Urea 2 14 35.00 TSP 1 13 32.50 TSP 2 11 27.50 KCl 1 8 20.00 KCl 2 7 17.50 Pupuk kandang 1 4 10.00 Pupuk kandang 2 2 5.00 Pupuk kandang 3 1 2.50
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu di perkebunan kakao yang
menjadi masalah mulai persiapan lahan sampai pemeliharaan tanaman. Gangguan
gulma tidak terjadi secara eksplosif seperti hama dan penyakit, tetapi
gangguannya terjadi secara terus menerus dalam jangka panjang. Pada
perkebunan kakao keberadaan gulma dapat merugikan di antaranya menghambat
pertumbuhan dan produksi tanaman sebagai dampak dari persaingan hara, air dan
cahaya, meningkatkan kelembaban kebun dan menyulitkan pekerjaan di kebun.
Untuk mengendalikan gulma, petani di Desa Lambandia melakukannya
dengan cara kimiawi (47.50%) dan selebihnya dengan cara kimia + mekanik dan
mekanik (Tabel 10). Secara kimiawi petani menggunakan herbisida dan secara
mekanik menggunakan alat pemaras dan mesin rumput. Sebagian besar petani
menggunakan bahan kimia berupa herbisida, hal tersebut mengindikasikan bahwa
belum ada kesadaran petani dalam keberlanjutan perkebunan kakao. Gulma yang
ada sebaiknya dibuatkan lubang kemudian ditimbun karena dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk sehingga dapat berpengaruh terhadap produktivitas lahan dimasa
yang akan datang.
Tabel 10 Pengendalian gulma oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Pengendalian gulma Jumlah responden Persentase (%)
Kimiawi 19 47.50 Kimiawi + Mekanik 12 30.00 Mekanik 9 22.50
36
Panen buah kakao yang telah matang secara fisiologis dilakukan
sepanjang tahun dan puncaknya pada musim buah yaitu bulan Juli. Jumlah
petani dengan frekuensi panen < 5 hari (52.50%) dan selebihnya 5 sampai >15
hari (Tabel 11). Tanaman dengan luasan 15-20 ha memerlukan waktu selama >
15 hari ; luasan 10-14 ha memerlukan waku selama 11–15 hari ; luasan 5-10 ha
memerlukan waktu selama 8-10 hari dan luasan 0.5 sampai 4 ha memerlukan
waktu selama 5-7 hari. Hal tersebut dikarenakan kurangnya tenaga kerja dalam
melakukan panen. Panen dilakukan hanya dengan bantuan anggota keluarga.
Untuk luasan di atas 10 ha, petani menggunakan tenaga harian untuk melakukan
panen terutama pada saat puncak musim buah.
Tabel 11 Frekuensi panen kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Frekuensi panen Jumlah responden Persentase (%)
< 5 hari 21 52.50 5 – 7 hari 6 15.00 8 – 10 hari 8 20.00 11 – 15 hari 3 7.50 > 15 hari 2 5.00
Buah yang dipanen tidak langsung dibelah tetapi disimpan terlebih dahulu
selama 2 sampai 3 hari (67.50%), beberapa petani menyimpan buah di atas 3 hari
(Tabel 12). Penyimpanan buah dilakukan agar buah dapat dibelah secara
bersamaan pada saat buah sudah terkumpul.
Tabel 12 Pengolahan buah setelah panen oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Pengolahan buah Jumlah responden Persentase (%)
Dibiarkan 2 hari 21 52.50 Dibiarkan 3 hari 6 15.00 Dibiarkan > 3 hari 13 32.50
Pada saat buah telah selesai dibelah dan diambil bijinya, beberapa petani
menyimpan terlebih dahulu biji hasil panen selama 1 – 3 hari dan sebagian
langsung menjemurnya tanpa fermentasi, hal tersebut mengakibatkan larva dapat
berkembang menjadi pupa. Alasan petani yang menyimpan biji karena
keseluruhan buah belum dibelah dan nantinya biji akan dijemur secara bersamaan.
Petani langsung menjemur biji hasil panen (42.50%) dan selebihnya melakukan
37
fermentasi selama 1 – >3 hari (Tabel 13). Rata-rata petani tidak melakukan
fermentasi karena berat biji yang difermentasi lebih ringan dibandingkan dengan
kakao yang difermentasi sementara pedagang pengumpul hanya
memperhitungkan bobot massa bukan pada kualitas biji. Hal tersebut akan
menyebabkan berat biji kakao yang menjadi lebih ringan dan selanjutnya
berdampak pada penghasilan petani.
Belum berhasilnya upaya fermentasi kakao disebabkan petani belum
mempunyai budaya fermentasi dan kelembagaan petani yang lemah sehingga
tidak bisa menjamin komitmen bersama menghasilkan biji kakao fermentasi
dalam jumlah yang besar untuk menarik pembeli yang membutuhkan kakao
fermentasi. Idealnya petani melakukan fermentasi terlebih dahulu lebih dari tiga
hari.
Tabel 13 Pengolahan biji kakao oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Pengolahan biji kakao Jumlah responden Persentase (%)
Langsung dijemur 17 42.50 Biji difermentasi 1 hari 7 17.50 Biji difermentasi 2 hari 4 10.00 Biji difermentasi 3 hari 4 10.00 Biji difermentasi > 3 hari 8 20.00
Setelah panen, sebagian petani hanya membiarkan kulit buah kakao
dikebun, dan sebagian kecil petani mengambil untuk makanan ternak atau
mengubur buah dan plasenta. Buah yang dibiarkan di kebun oleh sebagian besar
responden tidak dikubur karena dibutuhkan waktu dan tenaga untuk
melakukannya, di samping itu mereka juga beranggapan bahwa buah dan plasenta
akan mengering dengan sendirinya.
Tabel 14 Perlakuan terhadap buah dan plasenta oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Perlakuan terhadap buah dan plasenta Jumlah responden Persentase (%)
Dibiarkan di kebun 33 82.50 Dikubur di kebun 5 12.50 Makanan ternak 2 5.00
Perlakuan terhadap buah dan plasenta menunjukkan bahwa sebagian besar
petani (82.50%) membiarkan kulit buah dan plasenta tetap berada di kebun
38
(Tabel 14). Pada saat pengamatan, pupa banyak ditemukan pada kulit buah
setelah panen dan dapat menjadi sumber infeksi. Dalam teknik pengendalian
hama PBK disarankan untuk mengubur kulit buah dalam tanah agar siklus hidup
hama dapat diputus.
Hama PBK dan Pengendaliannya
Berdasarkan hasil wawancara, hama yang paling dominan menyerang
tanaman kakao adalah hama PBK (95.00%), Helopeltis (37.50%), hama
penggerek batang (22.50%) dan tikus (10.00%) (Tabel 15).
Tabel 15 Persepsi masyarakat terhadap jenis hama yang paling merugikan akibat serangan hama di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Hama Jumlah responden Persentase (%)
Penggerek buah kakao (PBK) 38 95.00 Helopeltis 15 37.50 Penggerek batang 9 22.50 Tikus 4 10.00
Cara pengendalian hama yang dilakukan oleh petani di lapangan
umumnya berdasarkan pengalaman, penyuluhan dan pelatihan-pelatihan yang
pernah diikuti baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat (Tabel 16).
Tabel 16 Cara pengendalian hama oleh petani di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Jenis Hama Cara Pengendalian
Penggerek buah kakao Penyemprotan dengan insektisida kimia, sanitasi, pemangkasan, panen sering, pemupukan, penyemprotan dengan pestisida nabati.
Helopeltis Penyemprotan dengan insektisida kimia, sanitasi, pemangkasan.
Penggerek batang Lubang ditutup dengan kapas yang telah di olesi insektisida kimia, mengorek batang untuk mengeluarkan ulat.
Tikus Tidak ada perlakuan/pengendalian
Sebagian besar petani mengenali kehadiran hama PBK dengan melihat
gejala serangan yang didasarkan pada gejala serangan setelah buah dipanen,
yaitu biji saling melengket dan daging buah berwarna kehitam-hitaman.
39
Sementara sebagian petani mengenali dengan melihat larva hama PBK yang
masih ada di dalam buah saat panen dilakukan. Pengetahuan petani tentang
keberadaan telur hama PBK bervariasi, sebagian besar (77.50%) mengetahui dan
adapula yang tidak mengetahui (27.50%) (Tabel 17). Untuk larva PBK
keseluruhan petani (100%) pernah melihat pada saat panen.
Tabel 17 Pengetahuan petani tentang letak telur hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Pengetahuan petani tentang tempat hama PBK meletakkan telur Jumlah responden Persentase (%)
Tahu 31 77.50 Tidak tahu 9 22.50
Kehilangan produksi biji kakao akibat adanya hama PBK bervariasi antara
satu responden dengan responden lainnya. Kehilangan produksi mencapai >20-
40% (47.50%) bahkan sampai >40 – 60 % (Tabel 18). Persentase tersebut
dihitung berdasarkan kehilangan pendapatan petani pada saat tanaman kakao
terserang hama PBK dengan kategori ringan dibandingkan dengan saat kakao
terserang hama PBK dengan kategori berat.
Tabel 18 Kehilangan produksi biji akibat hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Kehilangan produksi Jumlah responden Persentase (%)
< 10 % 0 0 10 – 20 % 6 15.00 > 20 – 40% 19 47.50 > 40 – 60 % 15 37.50
[
Untuk pengendalian hama PBK, sebagian besar petani responden
(62.50%) masih bergantung pada penggunaan insektisida dan yang lainnya
melakukan sanitasi, panen sering, penyemprotan dengan pestisida nabati,
mengubur kulit buah dan plasenta (Tabel 19).
Tabel 19 Cara pengendalian hama PBK di Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia, Kabupaten Kolaka
Cara pengendalian hama PBK Jumlah responden Persentase (%)
Insektisida kimia 25 62.50 Sanitasi 23 57.50 Panen sering 19 47.50 Pestisida nabati 8 20.00
40
Jenis insektisida yang banyak digunakan oleh petani sebagian besar
mengandung bahan aktif deltamethrin dan cypermethrin. Pestisida tersebut
banyak digunakan petani karena dapat membunuh serangga dengan cepat
terutama Helopeltis tetapi untuk hama PBK petani tidak pernah melihat secara
langsung imago yang dapat terbunuh karena perlakukan pestisida tersebut dan
terbukti tidak efektif menekan hama PBK.
Petani yang melakukan pengendalian dengan pemangkasan, pemupukan
dan panen sering juga melakukan penyemprotan dengan insektisida kimia untuk
mengendalikan Helopeltis yang dapat mempengaruhi tampilan fisik buah.
Komponen pemangkasan tanaman dilakukan seluruhnya oleh petani dengan
frekuensi yang bervariasi. Sebagian petani melakukan pengendalian dengan
penggunaan pestisida nabati yang banyak berada disekitar lokasi perkebunannya.
Pengetahuan tersebut diperoleh dari kegiatan SL-PHT (Sekolah Lapang
Pengendalian Hama Terpadu) yang diadakan oleh Dinas Perkebunan dan
Lembaga Swadaya Masyarakat.
Untuk mengendalikan hama PBK, penggabungan berbagai macam
teknologi yaitu : sanitasi, pemangkasan, panen sering, sarungisasi buah, mengubur
sisa kulit buah dan plasenta serta penggunaan musuh alami perlu dilakukan untuk
menekan intensitas kerusakan buah dan biji yang dilakukan secara kontinyu dan
terorganisir dengan baik.
Dari hasil wawancara dengan petani yang melakukan penyemprotan
dengan pestisida nabati didapatkan bahwa mereka telah memahami peranan semut
sehingga keberadaannya di kebun perlu dipertahankan. Pestisida nabati yang
digunakan seperti umbi gadung, jeringau, brotowali dan daun sirsak. Petani yang
melakukan pengendalian hanya dengan insektisida kimia disebabkan mereka
memiliki lahan kakao yang luas sehingga penggunaan insektisida dianggap lebih
efisien dari segi waktu dan tenaga.
Mencermati masing-masing responden terhadap penerapan komponen
teknologi PHT (panen sering, pemangkasan, pemupukan, sanitasi, mengubur kulit
dan pengembangan musuh alami), terlihat bahwa belum semua komponen
teknologi dapat diterima dan diterapkan oleh petani. Penggunaan insektisida kimia
41
masih menjadi komponen pengendali yang dominan dilakukan petani. Walaupun
demikian ada komponen teknologi yang diterapkan oleh petani yaitu melakukan
panen sering, sanitasi, pemupukan dan pemangkasan ringan. Hal ini disebabkan
sebagian diantara mereka pernah mengikuti kegiatan SL-PHT dan manfaatnya
telah dirasakan. Roumasset (1996) dalam Hendayana (1998) mengemukakan
bahwa keputusan petani dalam mengadopsi teknologi yang diterapkan
dipengaruhi oleh pandangan terhadap risiko dan ketersediaan sumberdaya
manusia serta faktor kelembagaan pendukung yang ada di pedesaan.
Sikap Petani terhadap Penggunaan Insektisida dan Musuh Alami
Mayoritas petani responden (92.50%) menganggap penggunaan
insektisida dalam pengendalian hama PBK sudah tidak efektif lagi karena
intensitas serangan setiap tahunnya tidak mengalami perubahan bahkan produksi
tanamannya cenderung mengalami penurunan, sementara (7.50%) menganggap
bahwa penggunaan insektisida efektif dalam mengendalikan hama PBK (Tabel
20). Penggunaan insektisida kimia tetap dilakukan di samping untuk
mengendalikan hama PBK juga hama lain seperti Helopeltis. Pengendalian hama
PBK dengan insektisida kurang efektif karena larva berada dalam buah dan hanya
akan keluar menjelang pembentukan pupa.
Penggunaan insektisida kimia di kalangan petani diakibatkan kuatnya
dukungan dari pemerintah. Program revitalisasi kakao yang diadakan oleh
Departemen Pertanian pada sentra perkebunan rakyat di Sulawesi masih
merekomendasikan insektisida kimia untuk mengendalikan hama pada tanaman
kakao yang telah disambung samping/pucuk dengan klon Semiotic
embryogenesis, Sulawesi I dan Sulawesi II. Insektisida dan fungisida kimia
diberikan kepada petani secara cuma-cuma, program ini merupakan kerjasama
antara pemerintah dengan perusahaan pestisida kimia.
Petani responden (82.5%) menyatakan bahwa pengendalian hama dengan
musuh alami tidak perlu dilakukan karena menurut mereka keberadaan semut
pada kakao justru mengganggu terutama pada saat panen. Semut juga dianggap
sebagai agen penyebar jamur yang menyebabkan penyakit busuk buah. Di
samping itu populasi musuh alami di lapang sudah jarang ditemui akibat
penggunaan pestisida yang intensif. Pendapat petani tentang tidak perlunya
42
melakukan pengendalian dengan musuh alami karena sebagian besar petani
(85.00%) tidak mengetahui serangga yang berperan sebagai musuh alami dan
peranannya dalam mengendalikan hama PBK (Tabel 20).
Tabel 20 Sikap petani terhadap insektisida dan pengetahuan tentang musuh alami
Pernyataan Jumlah responden Persentase (%)
Insektisida efektif mengendalikan hama PBK
Efektif 3 7.50 Tidak efektif 37 92.50 Perlunya pengendalian hama PBK dengan musuh alami
Perlu 7 17.50 Tidak perlu 33 82.50 Pengetahuan tentang musuh alami Tahu 6 15.00 Tidak tahu 34 85.00
Partisipasi Petani dalam Kegiatan SL-PHT
Keikutsertaan dalam pelatihan merupakan aspek yang sangat penting bagi
petani untuk mendapatkan informasi dari luar sehingga dapat membantu petani
dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang dihadapi. Hasil wawancara
menunjukkan bahwa sebagian petani responden telah mengikuti pelatihan
SL-PHT baik pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan maupun oleh
organisasi non pemerintah yang diadakan oleh LSM ACDI VOCA dengan nama
program SUCCES ALLIANCE (Sustainable Cocoa Extension Services for
Smallholders). Sementara sebagian yang lainnya belum pernah mengikut i
pelatihan secara khusus tetapi pernah mengikuti penyuluhan dari Petugas
Penyuluh Lapangan (PPL).
Dalam kegiatan SL-PHT komponen yang diajarkan adalah biologi dan
ekologi hama PBK, pengendalian hama PBK yang meliputi : pemanfaatan
pestisida nabati, pemangkasan, pemupukan, panen sering, sanitasi dengan
membersihkan kebun, mengatur drainase dan mengubur kulit buah dan plasenta.
Agar teknologi pengendalian hama PBK dapat diadopsi oleh petani perlu
adanya pendampingan yang lebih intensif yang dilakukan dalam kurun waktu
yang cukup lama untuk merubah kebiasaan petani dalam berusahatani kakao. Di
samping itu kelembagaan petani yang telah ada hendaknya diperkuat agar terbina
43
kebersamaan dalam melakukan budidaya kakao yang baik. Upaya pembinaan
kelembagaan yang dilakukan oleh berbagai stakeholder belum terintegrasi
dengan baik, masing-masing melakukan pendekatan yang berbeda. Misalnya
dalam pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah peserta diberi honorarium dan
transport sementara pelatihan yang diadakan oleh LSM peserta tidak diberi
honorarium dan uang transport. Dalam rangka penerapan PHT penguatan
kelembagan diharapkan menjadi prioritas, karena berbagai efisiensi dan
kemudahan dalam berusahatani mulai dari pengadaan saprodi, pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit serta pemasaran dapat lebih ditingkatkan.
Pelatihan yang selama ini dilakukan tidak cukup untuk merubah perilaku
petani karena pelatihan dilakukan dalam jangka waktu singkat dan tidak ada
pendampingan secara kontinyu sehingga kemandirian dan partisipasi petani
menjadi lemah karena budaya masyarakat petani kakao di Desa Lambandia telah
terbiasa bekerja tidak berkelompok.
Wawancara yang dilakukan terhadap petani yang pernah mengikuti
kegiatan SL-PHT menunjukkan bahwa petani peserta 100% telah merasakan
manfaat positif dari model transfer teknologi PHT dalam mengatasi kehilangan
hasil akibat hama PBK di lapangan. Hal ini dapat dirasakan langsung oleh petani
berupa peningkatan pendapatan karena kualitas biji kakao yang semakin baik dan
pengurangan pengeluaran biaya untuk pestisida. Bagi masyarakat yang belum
mengikuti pelatihan SL-PHT 100% berkeinginan untuk mengikuti kegiatan
tersebut apabila mendapatkan kesempatan.
44
Pemanfataan Semut Hitam dan Semut Rangrang
Kerapatan populasi telur, pupa dan imago hama PBK
Telur PBK mulai ditemukan pada buah yang berukuran 2-3 cm (bulan
Mei) dengan kerapatan yang masih rendah. Pada bulan Juni populasi telur
meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Juli, yaitu saat buah berukuran
panjang 10-12 cm, kemudian menurun kembali pada bulan Agustus, populasi telur
sangat rendah pada bulan September saat buah sudah mengalami proses
pematangan (Gambar 2). Hal ini menunjukkan bahwa ngengat PBK paling
banyak meletakkan telur pada saat buah berukuran 10-12 cm dimana kulit buah
sudah mulai membentuk alur. Imago PBK meletakkan telur pada buah yang telah
memiliki alur pada permukaannya (Sulistyowati et al. 2002). Telur diletakkan
secara terpisah, pada saat baru diletakkan telur berwarna oranye dan setelah 3-4
hari berwarna abu-abu kehitaman.
Gambar 2 Perkembangan populasi telur PBK selama bulan April sampai
September 2009
Hasil pengamatan pupa dan imago menunjukkan bahwa populasinya
hampir merata selama pengamatan, yaitu mulai bulan April sampai September
(Gambar 3 dan 4). Hal tersebut kemungkinan disebabkan sumber makanan larva
PBK selalu tersedia karena buah terus menerus ada di lapangan. Pupa dan imago
yang terbentuk berasal dari buah-buah lain yang tidak diamati perkembangannya.
Pupa ditemukan menempel pada serasah dan buah kakao, sementara imago
0
20
40
60
80
100
April Mei Juni Juli Agustus September
Jum
lah
telu
r / b
uah
Waktu pengamatan (Bulan)
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merah P3=Semut rangrang+jeroan ayam
P4=Semut rangrang+jeroan sapi P5=Kontrol
45
ditemukan pada cabang-cabang horizontal dan batang kakao. Secara umum
terlihat bahwa populasi telur pada perlakuan semut rangrang relatif lebih rendah
dari kontrol khususnya pengamatan pada bulan Juni, Juli dan Agustus (Gambar
2), sedangkan populasi pupa dan imago relatif lebih rendah pada perlakuan semut
rangrang pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September (Gambar 3 dan 4). Untuk
perlakuan semut hitam, populasi telur, pupa dan imago tampak tidak jauh berbeda
dengan kontrol.
Gambar 3 Perkembangan populasi pupa PBK selama bulan April sampai
September 2009
Gambar 4 Perkembangan populasi imago (ngengat) PBK selama bulan April sampai September 2009.
0
10
20
30
40
50
60
70
April Mei Juni Juli Agustus SeptemberBulan
Pupa
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merah P3=Semut rangrang+jeroan ayamP4=Semut rangrang+jeroan sapi P5=Kontrol
0
10
20
30
40
50
60
April Mei Juni Juli Agustus September
Jum
lah
imag
o /
peta
k
Waktu pengamatan (bulan)
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merah P3=Semut rangrang+jeroan ayam
P4=Semut rangrang+jeroan sapi P5=Kontrol
0
10
20
30
40
50
60
70
April Mei Juni Juli Agustus September
Jum
lah p
upa /
pet
ak
Waktu Pengamatan (Bulan)
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merah P3=Semut rangrang+jeroan ayam
P4=Semut rangrang+jeroan sapi P5=Kontrol
46
Di Desa Lambandia salah satu faktor yang mendukung serangan hama
penggerek buah kakao adalah karena kebiasaan sebagian petani tidak melakukan
sentralisasi pemecahan buah terutama kulit buah dan plasenta, akibatnya kulit
serta plasenta buah yang berserakan dan tidak dibenamkan akan menyebabkan
larva yang terdapat pada kulit dan plasenta buah masih dapat menyelesaikan
siklus hidupnya dan pada akhirnya membentuk pupa. Pada pengamatan
lapangan jumlah pupa yang ditemukan pada kulit buah yang ditumpuk pada saat
panen sebanyak 986 (30.62%) sementara pada serasah dan buah sebanyak 2234
(69.38%). Hal ini menunjukkan preferensi larva pada serasah, buah dan kulit
buah saat panen sebagai tempat berkepompong pada saat larva keluar dari buah.
Menurut Suntoro (2001) larva yang baru keluar dari buah kakao untuk menjadi
kepompong diawali dengan menjatuhkan diri menggunakan benang sutera ke
permukaan tanah. Jika di atas permukaan tanah tersedia daun kakao, maka larva
akan segera membentuk kokon. Sebaliknya jika larva tersebut tidak menemukan
lembar daun kakao maka larva kembali naik menuju buah kakao dan membuat
kokon pada kulit buah.
Salah satu cara untuk memutus siklus pupa di lapangan dengan
menggunakan daun kakao dan limbah kulit buah kakao untuk dijadikan sebagai
perangkap, pupa yang melekat pada daun dan kulit buah dapat dimusnahkan
dengan berbagai cara yang sederhana. Dengan demikian, upaya sanitasi dengan
menanam kulit buah dalam tanah yang memerlukan tenaga dan biaya tambahan
yang cukup tinggi dapat dikurangi dengan cara sederhana tersebut. Pemusnahan
daun perangkap dan kulit buah harus segera dilakukan apabila telah terdapat pupa
melekat pada daun dan buah, sehingga kepompong tidak sempat menjadi imago
(Sulistyowati et al. 2002).
Keberadaan telur, pupa dan imago di lapangan juga dipengaruhi oleh
intensitas sinar matahari yang tidak langsung menjangkau keseluruhan tanaman
kakao (Gambar 5). Pemeliharaan yang dilakukan petani kurang maksimal seperti
pemangkasan dan sanitasi kebun, sehingga kebun menjadi lembab dengan
naungan berat baik dari daun kakao maupun dari tanaman lain yang
dibudidayakan dalam kebun seperti pisang, mangga, jeruk dan kelapa. Sanitasi
yang kurang baik juga menciptakan tingkat kelembaban yang tinggi yang
47
disenangi oleh hama PBK untuk berkembang biak, sehingga perlu dicari alternatif
untuk memutus siklus hama PBK di lapangan.
a b c Gambar 5 (a) telur, (b) pupa dan (c) imago hama penggerek buah kakao
Perbedaan kerapatan populasi telur, pupa dan imago yang ditemukan
pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang pada saat buah berukuran ±10
cm diduga karena di lapangan penyebaran semut hitam untuk mencari
makanan/mangsa dari satu pohon ke pohon lain relatif lebih lambat dibandingkan
semut rangrang. Semut hitam yang diinfestasikan pada bulan April setelah tiga
sampai empat bulan kemudian rata-rata hanya menjangkau 5-10 pohon. Berbeda
dengan semut rangrang dalam waktu yang sama mampu menjangkau 30-37 pohon
kakao di sekitar tempat pelepasan (Gambar 6).
Gambar 6 Kemampuan menyebar semut hitam dan semut rangrang pada bulan
April sampai September 2009.
a 05
10152025303540
April Mei Juni Juli Agustus September
Juml
ah po
hon t
erinf
estas
i
Waktu pengamatan (Bulan)
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merahP3=Semut rangrang+jeroan ayam P4=Semut rangrang+jeroan sapi
a
b b
b b b b
b b b b b b
a a a a a a
a a a a
a
48
Aktivitas Semut
Semut termasuk serangga yang melakukan kerjasama dalam mencari
makanan. Apabila salah satu semut pekerja menemukan makanan maka akan
diinformasikan pada semut lainnya lewat feromon kemudian terjadi
agregasi/pengelompokan, dan akhirnya pekerjaan dilakukan bersama-sama untuk
mendapatkan kebutuhan makanan. Pada saat semut ratu dan pejantan telah
terdapat pada agregasi maka akan terbentuk sarang dengan jumlah populasi semut
yang lebih besar (Pasteels et al. 1993). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
agregasi semut mulai ditemukan setelah dua bulan diinfestasikan, agregasi banyak
ditemukan pada tempat di sekitar tempat pelepasan baik untuk semut hitam
maupun semut rangrang (Gambar 7 dan 8). Agregasi yang terbentuk pada lokasi
penelitian merupakan kumpulan dari individu semut yang terkoordinasi dan
bergerak sebagai satu unit dalam melakukan tugas masing-masing untuk
memenuhi kebutuhan makanan, perlindungan, serta reproduksi.
Gambar 7 Rataan jumlah agregasi semut hitam pada bulan April sampai September 2009
Gambar 8 Rataan jumlah agregasi semut rangrang pada bulan April sampai
September 2009
00.5
11.5
22.5
33.5
4
April Mei Juni Juli Agustus September
Juml
ah ag
regas
i / pe
tak
Waktu pengamatan (Bulan)
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merah
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
April Mei Juni Juli Agustus September
Jum
lah ag
rega
si / p
etak
Waktu pengamatan (Bulan)
P3=Semut rangrang+jeroan ayam P4=Semut rangrang+jeroan sapi
a
b
a
a
b
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
49
Di Lokasi penelitian, agregasi semut hitam memanfaatkan celah-celah
yang telah ada di lapangan, seperti misalnya rongga di dalam kayu lapuk, celah di
bawah kayu, di antara kulit batang pohon, di antara serasah, rongga di dalam
ranting, juga liang bekas sarang rayap atau kumbang (Gambar 9). Hal tersebut
merupakan salah satu cara semut mempertahankan kelembaban karena pada celah
dapat menyimpan air dan menghambat penguapan akibat panas matahari. Pintu
masuk lubang seringkali membentuk kawah kecil atau cerobong. Konstruksi
seperti ini dibuat untuk mengoptimalkan tingkat kelembaban, suhu, dan ventilasi
udara yang diperlukan semut (Atkinds & Wilson 1999).
Menurut Khoo (2001) keberadaan sarang semut hitam seringkali
berpindah-pindah, meskipun sebagian dapat bertahan hingga tahunan. Kepindahan
ini disebabkan terjadinya perubahan suhu atau kelembaban, berkurangnya sumber
makanan, atau karena tersedianya lokasi sarang yang lebih baik. Tekanan dari
semut pesaing, parasit dan pemangsa juga dapat memicu migrasi semut. Oleh
karena itu disarankan apabila sumber makanan semut hitam berkurang maka perlu
dilakukan konservasi kutu putih dan pemberian gula pada tanaman kakao.
Gambar 9 Tempat terbentuknya agregasi semut hitam
Agregasi semut rangrang di lapangan ditemukan pada daun kakao dengan
merajut 3-4 daun yang letaknya paling tinggi dan memilih daun kakao yang
rimbun (Gambar 10). Walaupun daun yang letaknya tinggi rawan terhadap
penguapan karena terbuka dan berada di udara bebas, apalagi bila terkena angin
dan sinar matahari langsung, akan tetapi semut rangrang memiliki kemampuan
melipat dan merekatkan dedaunan. Dengan perlindungan anyaman dedaunan
kelembaban sarang dapat terjaga (Van Mele & Cuc 2004).
50
Gambar 10 Agregasi semut rangrang
Menurut Khoo (1992) semut hitam dan semut rangrang bersifat polidomi
yaitu membentuk lebih dari satu sarang. Koloni polidomi dimulai dari satu
sarang, lalu kemudian muncul sarang-sarang selanjutnya karena populasi semut
melebihi daya tampung sarang utama. Sarang-sarang tambahan ini disebut sarang
satelit, dan tidak hanya menampung semut dewasa, namun juga pradewasa dan
semut reproduktif. Sarang satelit juga dapat menampung semut ratu baru yang
telah dibuahi, namun terkadang sarang satelit tidak berisi semut ratu.
Dalam kaitannnya dengan pengendalian hayati, apabila semut rangrang
akan dipindahkan pada pertanaman kakao maka perlu diberi makanan apakah
berupa jeroan atau gula dan diberikan secara menyebar agar semut rangrang tetap
mencari mangsa serangga. Agar semut rangrang dapat menjangkau setiap pohon
maka perlu dibuat penghubung berupa tali dari satu pohon ke pohon yang tidak
saling bersinggungan dengan mengikatkannya pada tempat yang paling sering
dilewati. Dengan jembatan tersebut, semut rangrang dapat berpindah dari satu
pohon ke pohon lain dengan daya jelajah yang luas untuk mendapatkan makanan
dan akan menambah jumlah individu dalam koloni mereka (Van Mele & Cuc
2004).
Salah satu faktor lingkungan yang sangat menentukan keberadaan semut
adalah kelembaban. Ukuran tubuh semut yang kecil membuat rasio antara luas
permukaan dan volume tubuhnya bernilai besar. Hal ini menyebabkan penguapan
air melalui permukaan tubuh lebih besar dan cepat sehingga semut rentan terhadap
kekeringan, terutama larva semut yang permukaan tubuhnya belum memiliki
lapisan kutikula. Uap air juga merupakan sumber air yang dimanfaatkan semut
untuk metabolisme tubuh. Karena itu, semut lebih menyukai lingkungan lembab.
51
Akan tetapi, lingkungan kering tidak selalu menjadi hambatan bagi semut, karena
sebagian semut dapat memodifikasi lingkungan sekitar untuk disesuaikan dengan
kebutuhan. Untuk mendapatkan tempat hidup yang tepat, sebagian semut dapat
memodifikasi sarang untuk mendapatkan kelembaban yang diperlukan (Andersen
2000).
Populasi kutu putih (Cataenococcus hispidus) di lapangan mulai
meningkat setelah satu sampai dua bulan infestasi semut yang dapat dijadikan
sebagai sumber makanan bagi semut hitam dan semut rangrang (Gambar 11).
Hasil penelitian yang dilakukan Meldy (2004) di Lembah Pallolo Sulawesi
Tengah menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara keberadaaan semut hitam
dan semut rangrang dengan kutu putih, dimana keduanya membutuhkan embun
madu yang dihasilkan dari kutu putih. Menurut Khoo & Chung (1995) semut dan
kutu putih memiliki hubungan simbiosis mutualistik dimana kutu putih
menghasilkan embun madu bagi semut sementara semut dapat melindungi kutu
putih dari serangga lain. Menurut Way and Khoo (1991), pada pertanaman
kakao di Malaysia, sarang D. thoracicus dan O. smaradigna cukup stabil apabila
terdapat embun madu yang dihasilkan oleh kutu putih. Untuk itu penggunaan
pestisida kimia yang dapat membunuh kutu putih harus dikurangi apabila ingin
mengembangkan semut sebagai musuh alami.
a b
Gambar 11 Interaksi semut rangrang dengan kutu putih (a) dan semut hitam dengan kutu putih (b).
Dari hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa petani enggan
memanfaatkan semut rangrang karena perilaku menggigit yang menyakitkan
dapat menghambat proses pemetikan buah, di samping itu peranannya belum
52
tersosialisasi dengan baik dan merata, sehingga kehadirannya dianggap sebagai
serangga yang tidak berguna. Untuk itu sosialisasi dan demplot pemanfaatan
semut rangrang perlu dilakukan agar dapat memberikan keyakinan kepada petani
bahwa musuh alami dapat digunakan sebagai salah satu komponen PHT dalam
pengendalian hama PBK.
Aktivitas semut hitam dan semut rangrang dilihat dari jumlah yang
melintas pada pohon kakao menunjukkan bahwa aktivitas semut rangrang lebih
tinggi dibandingkan semut hitam dan menunjukkan perbedaan nyata. Namun
perlakuan gula merah dan gula pasir untuk semut hitam tidak menunjukkan
perbedaan. Demikian juga perlakuan jeroan sapi dan jeroan ayam untuk semut
rangrang tidak menunjukkan perbedaan. Peningkatan aktivitas semut hitam dan
semut rangrang mulai terjadi setelah dua bulan diinfestasikan. Rata-rata semut
hitam yang melintas per 15 menit mencapai 139 ekor dan semut rangrang
mencapai 612 ekor (Gambar 12). Semut rangrang dalam mencari makan lebih
aktif dibandingkan dengan semut hitam karena dapat berpindah dengan cepat dari
satu pohon ke pohon lain.
Gambar 12 Rataan jumlah semut hitam dan semut rangrang yang melintas per 15 menit pada bulan April sampai September 2009
Semut rangrang dan semut hitam yang melintas pada tanaman kakao
aktivitasnya diamati pada pagi hari (Gambar 13). Hasil penelitian Meldy (2004)
di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa aktivitas semut hitam dan semut
rangrang paling tinggi pada pagi dan sore hari. Hal tersebut berkaitan dengan
pola pencarian makan semut hitam dan semut rangrang lebih aktif mencari makan
pada pagi dan sore hari (Way & Khoo 1991).
0
100
200
300
400
500
600
700
April Mei Juni Juli Agustus September
Jum
lah se
mut/
15 m
enit
Waktu pengamatan (Bulan)
P1=Semut hitam+gula pasir P2=Semut hitam+gula merahP3=Semut rangrang+jeroan ayam P4=Semut rangrang+jeroan sapi
a a
b b
a a a a a a a a a a
b b b b b b b b b b
53
a b
Gambar 13 Semut rangrang (a) dan semut hitam (b) yang melintas pada pohon kakao
Intensitas Buah Terserang
Hasil pengamatan intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam
dan semut rangrang menunjukkan bahwa perlakuan semut rangrang berbeda nyata
dengan kontrol sementara perlakuan semut hitam tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Perlakuan dengan pemanfataan semut rangrang memberikan pengaruh
yang berbeda nyata terhadap intensitas serangan buah akibat serangan hama PBK
dibandingkan dengan penggunaan semut hitam (Gambar 14, 16, 17).
Semut hitam yang diberikan pakan gula pasir dan gula merah tidak
menunjukkan perbedaan terhadap persentase buah yang terserang, hal yang sama
juga dijumpai pada perlakuan semut rangrang yang diberikan pakan jeroan ayam
dan jeroan sapi (Gambar 15). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan
gula pasir dan gula merah untuk semut hitam, jeroan ayam dan jeroan sapi untuk
semut rangrang dapat digunakan sebagai sumber makanan pada saat akan
melepaskan semut pada tanaman kakao sebagai pengendali hayati.
54
Gambar 14 Perbandingan intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam
dan semut rangrang dengan kontrol.
Gambar 15 Perbandingan intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam
dan semut rangrang dengan pakan yang berbeda
Gambar 16 Perbandingan intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam
pakan gula pasir dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0
10
20
30
40
50
60
70
80
a a
P1 = Semut hitam + cairan gula pasir P3 = Semut rangrang + jeroan ayam P2 = Semut hitam + cairan gula merah P4 = Semut rangrang + jeroan sapi
P1 P2 P3 P4
a a
a a
P1 = Semut hitam + cairan gula pasir P3 = Semut rangrang + jeroan ayam P4 = Semut rangrang + jeroan sapi
P1 P3 P1 P4
a
b
a
b
Inte
nsita
s bua
h te
rser
ang
(%)
Inte
nsita
s bua
h te
rser
ang
(%)
Inte
nsita
s bua
h te
rser
ang
(%)
P1 = Semut hitam + cairan gula pasir P4 = Semut rangrang + jeroan sapi P2 = Semut hitam + cairan gula merah P5 = Kontrol P3 = Semut rangrang + jeroan ayam
P1 P5 P2 P5 P3 P5 P4 P5
a a
b
a
b
a
55
Gambar 17 Perbandingan intensitas buah terserang pada perlakuan semut hitam
pakan gula merah dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi.
Buah kakao yang terserang oleh hama PBK akan terlihat masak lebih awal
dengan perubahan warna yang tidak merata, buah yang terserang nampak
berwarna hijau kekuningan. Gejala lanjut serangan hama ini dapat juga diketahui
dengan adanya lubang gerekan keluar larva pada kulit buah dengan meninggalkan
lubang kecil berwarna kecoklatan, biji berwarna hitam dan melengket satu dengan
lainnya (Gambar 18).
Tingginya intensitas serangan dan kerusakan biji pada perlakuan semut
hitam dibandingkan pada perlakuan semut rangrang disebabkan kemampuan
menyebar dan aktivitas dari semut hitam dari satu tanaman ketanaman lain lebih
rendah dibandingkan dengan semut rangrang. Semut hitam menyebar sejauh 5-10
tanaman setelah tiga sampai empat bulan diinfestasikan berbeda dengan semut
rangrang yang menyebar sejauh 30-37 tanaman. Di samping itu semut rangrang
lebih aktif berkeliaran pada buah dibandingkan semut hitam yang lebih banyak
terdapat pada tangkai buah dan pangkal buah yang dapat menghambat imago
meletakkan telur pada buah. Menurut Van Mele & Cuc (2004) semut rangrang
aktif mencari makanan dan membawanya ke dalam sarang. Semut rangrang dapat
memangsa larva PBK yang keluar dari buah untuk membentuk pupa dan dapat
menghalangi imago untuk meletakkan telur karena selalu berkeliaran pada buah.
La Daha (2007) melaporkan bahwa dari beberapa jenis semut yang ditemukan
pada kakao, semut rangrang merupakan predator yang memiliki tingkat
pengendalian yang paling baik.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
P2 = Semut hitam + cairan gula merah P3 = Semut rangrang + jeroan ayam P4 = Semut rangrang + jeroan sapi
P2 P3 P2 P4
a
b
a
b
Inte
nsita
s bua
h te
rser
ang
(%)
56
Tingginya serangan pada perlakuan semut hitam kemungkinan juga
disebabkan pada saat buah berukuran 10-12 cm semut hitam masih jarang yang
berkeliaran pada buah kakao, kebanyakan berada pada tangkai buah dan pangkal
buah. Hal tersebut terjadi karena populasinya yang masih rendah. Semut hitam
terlihat berkeliaran pada buah setelah buah mencapai ukuran 15-20 cm sampai
pada proses pematangan buah berbeda dengan semut rangrang yang aktif
berkeliaran pada semua buah pada saat berukuran 5-7 cm sampai buah masak.
Mekanisme penekanan populasi hama PBK oleh semut dilaporkan sebagai
akibat keberadaan semut yang lalu lalang pada permukaan buah sehingga
mengganggu imago hama PBK untuk meletakkan telur, disamping itu semut juga
bertindak sebagai predator atau pemangsa telur dan imago (Way & Khoo 1992).
Oleh karena itu, semut berpotensi untuk dijadikan sebagai agen pengendali hayati
untuk mengendalikan hama PBK dan Helopeltis karena memiliki kelimpahan
pada tanaman kakao yang lebih banyak dibandingkan dengan serangga lain
(Meldy 2004)
Hasil studi yang dilakukan di Australia, semut rangrang dapat menjaga
kualitas buah jambu mete dari serangan hama. Kualitas dan hasil panen mete
lebih tinggi pada tanaman yang dihuni semut rangrang tanpa menggunakan bahan
kimia bila dibandingkan dengan kebun yang menggunakan bahan kimia untuk
mengendalikan hama (Peng et al. 1999). Semut rangrang dapat menurunkan
intensitas serangan ulat pengorok daun pada jeruk di Delta Mekong Vietnam dan
buah yang dihasilkan lebih menarik dan segar (Cuc 2001).
a b c Gambar 18 (a) buah sehat, (b) buah terserang ringan, (c) buah terserang berat
57
Intensitas Kerusakan Biji
Hasil pengamatan intensitas kerusakan biji kakao yang terserang setelah
perlakuan semut hitam dan semut rangrang menunjukkan bahwa perlakuan
dengan pemanfataan semut rangrang memberikan pengaruh yang lebih nyata
terhadap intensitas kerusakan biji akibat serangan hama PBK dibandingkan
dengan penggunaan semut hitam dan kontrol (Gambar 19, 21, 22). Perlakuan
semut rangrang berbeda nyata dengan kontrol sementara perlakuan semut hitam
tidak berbeda nyata dengan kontrol. Semut hitam yang diberikan pakan gula pasir
dan gula merah tidak menunjukkan perbedaan terhadap persentase intensitas
kerusakan biji, hal yang sama juga dijumpai pada perlakuan semut rangrang yang
diberikan pakan jeroan ayam dan jeroan sapi (Gambar 20.)
Gambar 19 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan kontrol
Gambar 20 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam dan semut rangrang dengan pakan yang berbeda
0
10
20
30
40
50
60
70
0
10
20
30
40
50
60
70
P1 = Semut hitam + cairan gula pasir P4 = Semut rangrang + jeroan sapi P2 = Semut hitam + cairan gula merah P5 = Kontrol P3 = Semut rangrang + jeroan ayam
P1 P5 P2 P5 P3 P5 P4 P5
a a
a a
b
a
b
a
P1 = Semut hitam + cairan gula pasir P3 = Semut rangrang + jeroan ayam P2 = Semut hitam + cairan gula merah P4 = Semut rangrang +
j i
P1 P2 P3 P4
a a
a a
Inte
nsita
s ker
usak
an b
iji (%
) In
tens
itas k
erus
akan
biji
(%)
58
Gambar 21 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam
pakan gula pasir dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi
Gambar 22 Perbandingan intensitas kerusakan biji pada perlakuan semut hitam pakan gula pasir dengan semut rangrang pakan jeroan ayam dan jeroan sapi.
Rendahnya intensitas kerusakan pada biji pada perlakuan semut rangrang
dibandingkan dengan semut hitam diduga diakibatkan tingkat agresifitas yang
dimiliki oleh semut rangrang lebih tinggi sehingga dapat menghambat imago
hama PBK untuk bertelur pada saat buah masih muda pada saat fenologi buah
pada fase pertama dan kedua. Semut rangrang lebih aktif berkeliaran pada
pohon dan buah untuk mencari makan/mangsa dibandingkan dengan semut hitam.
Tinggi rendahnya persentase kerusakan biji ini juga ditentukan oleh saat
kapan terjadinya serangan pada buah. Serangan hama PBK yang terjadi pada
buah yang masih muda akan menyebabkan kerusakan yang berat, karena selain
biji saling melengket dan melekat kuat pada buah, juga berpengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas biji. Apabila serangan terjadi pada buah tua atau menjelang
0
10
20
30
40
50
60
0
10
20
30
40
50
60
70
P1 = Semut hitam + cairan gula pasir P3 = Semut rangrang + jeroan ayam P4 = Semut rangrang + jeroan sapi
P1 P3 P1 P4
a
b
a
b
P2 = Semut hitam + cairan gula merah P3 = Semut rangrang + jeroan ayam P4 = Semut rangrang + jeroan sapi
P2 P3 P2 P4
a
b
a
b
Inte
nsita
s ker
usak
an b
iji (%
) In
tens
itas k
erus
akan
biji
(%)
59
masak maka pengaruhnya terhadap kerusakan biji tidak terlalu besar. Suntoro
(1995) mengemukakan bahwa kerusakan biji yang diakibatkan oleh hama
PBK yang menyerang buah yang masih muda dan buah tua atau menjelang
masak sangat berbeda.
Tingginya intensitas kerusakan biji kakao oleh hama PBK juga sangat
ditentukan oleh kemampuan larva menggerek buah untuk masuk ke dalam kulit
buah kakao bagian dalam. Hal ini dipengaruhi oleh sifat morfologi yang dimiliki
oleh tanaman itu sendiri. Sifat – sifat yang dimiliki tanaman akan berpengaruh
pada kemampuan dalam melindungi dirinya dari serangan hama. Hal ini sejalan
dengan Susanto (1994), kakao jenis forestero memiliki sifat tidak disenangi oleh
hama PBK karena perkembangan tanaman kuat, kulit buah keras dan alur buah
tidak dalam lain halnya dengan jenis criollo yang cenderung lebih disenangi oleh
hama penggerek buah kakao karena memiliki sifat pertumbuhan tanaman kurang
kuat, permukaan buah yang kasar, kulit buah kasar, alur buah agak dalam. Jenis
criollo tersebut mendukung perkembangan hama PBK seperti peletakan telur
yang lebih menyukai pada permukaan buah yang kasar dan alur buah dalam, serta
kulit buah yang tipis akan memudahkan larva menembus kulit buah, sehingga
mengakibatkan kerusakan biji yang lebih tinggi.
Namun pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara kedua varietas tersebut, hal ini diduga karena hama PBK
telah endemik dan telah menjadi inang utama dengan adaptasi tinggi yang telah
terjadi antara hama PBK dengan tanaman kakao. Dalam kaitannya dengan hama
PBK penggunaan varietas yang memiliki sifat tahan dikombinasikan dengan agen
pengendali hayati adalah komponen pengendalian yang dapat diterapkan di masa
yang akan datang.
60
Gambar 23 (a) biji kakao sehat (b) biji kakao rusak
Kerusakan yang ditimbulkan oleh larva PBK berupa rusaknya biji,
mengeriputnya biji dan timbulnya warna gelap pada kulit biji (Wiryadiputra &
Prawoto 1994), hal itu berarti turunnya berat dan mutu biji kakao. Gambar 23,
menunjukkan perbedaan penampilan biji kakao sehat dan rusak akibat terserang
hama PBK. Kerugian yang disebabkan oleh hama PBK merupakan akumulasi
dari turunnya berat dan mutu biji serta meningkatnya biaya panen karena
pemisahan biji sehat dari biji yang rusak memerlukan waktu yang cukup lama.
Pembahasan
Kabupaten Kolaka merupakan daerah penghasil kakao terbesar di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan kakao di
daearah ini adalah adanya serangan hama PBK yang sampai saat ini telah
menyerang seluruh areal perkebunan baik perkebunan rakyat maupun perkebunan
negara. Desa Lambandia, Kecamatan Lambandia sebagai salah satu desa
penghasil kakao terbesar di Kabupaten Kolaka. Berdasarkan hasil survei, petani
di desa ini masih tergolong usia produktif yaitu berumur antara 40–60 tahun, hal
ini merupakan salah satu potensi untuk pengembangan dan pengelolaan tanaman
kakao yang lebih intensif. Bertahannya petani mengusahakan tanaman kakao
disebabkan harga yang menjanjikan dan pemasarannya mudah. Keseluruhan
petani berusahatani pada kebun milik sendiri, dengan lahan umumnya datar
dengan naungan tanaman kelapa. Sebagian besar petani menanam kakao varietas
hibrida.
a b
61
Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek budidaya yang dilakukan
petani belum sesuai dengan praktek budidaya kakao yang dianjurkan (Good
Agricultural Practice) yaitu: persiapan lahan, penggunaan varietas unggul,
pemupukan, pemangkasan, sanitasi dan pengolahan pasca panen. Beberapa
praktek budidaya kakao yang telah dilakukan meliputi penggunaan varietas
unggul, pemangkasan, pemupukan dan pengendalian gulma. Sementara teknik
budidaya yang belum diterapkan sepenuhnya adalah pengolahan buah setelah
panen, pengolahan biji kakao, fermentasi dan perlakuan terhadap kulit buah dan
plasenta. Hal yang disebut terakhir menyebabkan hama PBK dapat terus
berkembang biak di lapangan. Untuk mengendalikan hama pada tanaman kakao
sebagian besar petani masih menggunakan insektisida.
Dalam rangka mendukung agribisnis perkebunan rakyat yang
berkelanjutan dan adanya tuntutan konsumen kakao, maka strategi pengendalian
OPT diarahkan untuk menerapkan konsep PHT dengan prioritas pengendalian
hayati dan tanaman tahan (Wardoyo 2000). Salah satu metode pengendalian
yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama PBK adalah pengendalian
hayati, dengan memanfaatkan semut hitam dan semut rangrang sebagai predator.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semut rangrang memiliki potensi
yang lebih baik sebagai agen pengendali hama PBK dibandingkan dengan semut
hitam. Hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan menyebar semut rangrang dari
satu pohon ke pohon lain lebih cepat, aktivitas lebih tinggi, intensitas buah
terserang dan intensitas kerusakan biji lebih rendah pada petak yang diberi
perlakuan semut rangrang.
Dengan demikian, pemanfaatan semut rangrang dapat dikembangkan untuk
pengendalian hama PBK. Semut rangrang yang berada pada pertanaman lain di
sekitar pertanaman kakao dapat dipindahkan ke pertanaman kakao. Pada tahap
awal pemindahan semut rangrang dapat diberikan makanan berupa jeroan ayam
atau jeroan sapi. Selanjutnya perkembangan populasinya diamati dan dievaluasi
keberadaannya. Untuk memudahkan agar semut dapat menyebar dari satu
62
tanaman ke tanaman lain perlu diberi semacam penghubung berupa tali rafia atau
bambu terutama untuk tajuk tanaman kakao yang tidak saling bersinggungan.
Kajian pemanfaatan semut rangrang ini diharapkan dapat menambah
informasi yang dapat digunakan sebagai acuan bagi petani dalam mengendalikan
hama PBK yang dikombinasikan dengan sanitasi, pemangkasan, panen sering dan
sarungisasi buah.