HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon ... · Filum : Platyhelminthes Kelas :...

23
18 HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari 32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5 -10 cm) dan L (>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara Ukuran Panjang Jumlah S M L Jumlah Sampel yang diamati 17 8 7 32 Jumlah Sampel terinfestasi cacing 8 4 3 15 Prevalensi (%) 47,06 50 42,86 46,88 Chi Kuadrat (X 2 ) = 5,991 Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan prevalensi infestasi cacing parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%). Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X 2 ) menunjukkan bahwa nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik. Berdasarkan waktu pengambilan sampel, jumlah sampel ikan yang diamati terdiri dari 20 ekor pada bulan April dan 12 ekor pada bulan September. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan

Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon ... · Filum : Platyhelminthes Kelas :...

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara

Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda

Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui

kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari

32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total

tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran

panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan

ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5 -10 cm) dan L

(>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat

dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan

ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara

Ukuran Panjang Jumlah S M L

Jumlah Sampel yang diamati 17 8 7 32 Jumlah Sampel terinfestasi cacing 8 4 3 15 Prevalensi (%) 47,06 50 42,86 46,88

Chi Kuadrat (X2) = 5,991

Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan prevalensi infestasi cacing

parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel

yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%).

Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif

tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2) menunjukkan bahwa

nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi

Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang

ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik.

Berdasarkan waktu pengambilan sampel, jumlah sampel ikan yang diamati

terdiri dari 20 ekor pada bulan April dan 12 ekor pada bulan September. Jumlah

dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan

19

April yaitu S, M dan L. Pada bulan September ukuran panjang sampel ikan terdiri

dari ukuran S dan M. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik

Jepara yang diamati pada bulan April dan September disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan

ukuran panjang tubuh

Bulan Ukuran Panjang

Jumlah Ikan yang

Diamati

Jumlah Ikan yang

Terinfestasi

Jumlah Total

Cacing Parasitik

Prevalensi (%)

Intensitas Cacing

Parasitik

April S 7 2 13 28,57 6,50 (6-7) M 6 2 6 33,33 3 (2-4) L 7 3 5 42,86 1,67 (1-2)

Jumlah 20 7 24 35 3,40 (1-7)

September

S 10 6 18 60 3 (1-7) M 2 2 14 100 7 (2-11) L - - - - -

Jumlah 12 8 32 66,66 4 (1-11)

Data hasil penelitian menunjukkan prevalensi infestasi parasit pada bulan

April lebih rendah daripada bulan September. Prevalensi terendah infestasi cacing

parasitik pada bulan April ditemukan pada ikan yang berukuran S yaitu sebesar

28,57%, kemudian meningkat menjadi 33,33% pada ikan ukuran M, dan

prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran L yaitu sebesar 42,86%. Pada bulan

September, prevalensi infestasi cacing parasitik terendah pada ikan dengan ukuran

S yaitu 60% dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran M sebesar 100%.

Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan prevalensi infestasi

cacing parasitik seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Prevalensi infestasi

cacing parasitik relatif tinggi pada ikan berukuran lebih besar (M dan L). Hasil

pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Akinsanya et al. (2007) yang

menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil lebih sering terinfestasi parasit

dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar. Namun hasil penelitian ini

selaras dengan Poulin (2000) diacu dalam Dezfuli et al. (2001) bahwa adanya

kecenderungan akumulasi parasit pada inang dari waktu ke waktu sehingga parasit

sering ditemukan pada inang yang lebih besar daripada inang yang lebih kecil.

20

Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat infestasi cacing parasitik

pada ikan berukuran besar diduga karena adanya pengaruh jenis makanan yang

dikonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bush et al. (2001) diacu dalam

Tavares et al. (2005) bahwa ikan yang lebih besar sering mengalami perubahan

jenis makanan sehingga lebih mudah terpapar oleh parasit. Selain kebiasaan

makanan (feeding habit), tingkat aktifitas yang tinggi dari ikan dewasa juga

merupakan salah satu faktor penyebab tingginya infestasi parasit pada ikan

dewasa dibandingkan dengan juvenil. Ikan dewasa lebih aktif mencari makan dan

kontak dengan makanan lebih banyak sehingga cenderung lebih mudah

terinfestasi parasit (Ayanda 2008).

Identifikasi Cacing Parasitik

Total jumlah sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati sebanyak 32

ekor dan 15 ekor terinfestasi cacing parasitik. Dari hasil pengamatan 15 sampel

ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik ditemukan 7 jenis

cacing parasitik dan larva nematoda. Jenis-jenis cacing parasitik terdiri dari 2

monogenea, Pseudempleurosoma sp. dan Benedenia sp.; 2 digenea, Podocotyle

sp. dan Plagioporus sp.; dan 3 nematoda Procamallanus sp., Gnathostoma sp.,

Cucullanus sp. dan larva nematoda.

Deskripsi masing-masing cacing parasitik diuraikan sebagai berikut :

Monogenea

Pseudempleurosoma sp. (Gambar 4)

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Monogenea

Ordo : Dactylogyrida

Famili : Ancyrocephalidae

Genus : Pseudempleurosoma

Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki 1 pasang head organ yang bentuknya

belum sempurna; memiliki 2 pasang bintik mata; pharinx berbentuk

bulat; sistem genital terdiri dari cirrus sac, ovary dan testis. Testis

berbentuk oval dan terdapat dibawah ovary; vitellaria terdapat

disepanjang tubuh; Haptor berbentuk rudimeter, memiliki 14 hook, 2

21

pasang anchor (1 pasang menyerupai marginal hook), memiliki 2

pasang transfer bar (1 pasang jarang terlihat); memiliki 2 anchor root

(inner root dan dorsal root).

Gambar 4 Pseudempleurosoma sp. Keterangan gambar : ho-head organ; es-

eyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.

Benedenia sp. (Gambar 5)

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Monogenea

Ordo : Dactylogyrida

Famili : Capsalidae

Genus : Pseudempleurosoma

Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; pada bagian anterior terdapat 1 pasang

sucker; memiliki 2 pasang bintik mata; ukuran bintik mata pada

bagian anterior lebih kecil dibandingkan dengan posterior; memiliki

pharinx; ovary berada ditengah, testis berjumlah 1 pasang dan

ho es ph

o

v

h

a

22

terdapat dibawah ovary, memiliki vagina; haptor berbentuk

cakra/bulat, memiliki 14 hook, 2 pasang anchor.

Gambar 5 Benedenia sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; e-eyes spot; ph-

pharinx; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.

Digenea

Podocotyle sp. (Gambar 6)

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Digenea

Famili : Opecoelidae

Genus : Podocotyle

Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum.

Acetabulum berukuran lebih besar dari pada pharinx dan posisinya

dibagian tengah tubuh. Pada bagian atas acetabulum tertutup oleh

pinggiran yang berbentuk lipatan dari sucker; usus memanjang

sampai ke bagian posterior; vitellaria berada di belakang tubuh;

saluran excretory memanjang hingga bagian anterior ovary.

os

e

ph

v

h a

23

os

a

ds

v

ev

Gambar 6 Podocotyle sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; ac-acetabulum;

ds-digestive system; ev-excretory vesicle; v-vitellaria. Skala 100 µm.

Plagioporus sp. (Gambar 7)

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Digenea

Famili : Opecoelidae

Genus : Plagioporus

Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; memiliki oral sucker, pharinx dan

acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada oral sucker

dan posisinya equatorial; vitellaria menyebar disepanjang tubuh;

memiliki excretory vesicle yang berbentuk tubular.

Gambar 7 Plagioporus sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; a-acetabulum; ev-excretory vesicle.

24

Nematoda

Procamallanus sp. (Gambar 8)

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Famili : Camallanidae

Genus : Procamallanus

Deskripsi : Buccal capsul menyatu; memiliki nerve ring, oesophagus dan

intestine; bagian ekor berukuran kecil dan pada bagian ujung

terdapat mucrones yang berukuran kecil.

Gambar 8 Procamallanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; oes-oesophagus; i-intestine. (B) Bagian posterior : cg-caudal glands; m-mucrones.

Gnathostoma sp. (Gambar 9)

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Famili : Gnathostomatidae

Genus : Gnathostoma

Deskripsi : Bagian kepala seperti balon dan memiliki kumpulan hook; memiliki

oesophagus; tubuh diliputi dengan lapisan cuticular.

A B

i

oes

bc

m

cg

25

Gambar 9 Gnathostoma sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : h-head;

oes-oesophagus. (B) bagian posterior: a-anus. Skala 100 µm.

Cucullanus sp. (Gambar 10)

Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Famili : Cucullanidae

Genus : Cucullanus

Deskripsi : Tidak terdapat chitin pada bagian buccal capsul; usus sederhana;

memiliki ovary, bersifat ovipar, telur memiliki selaput yang tipis

dan tersebar pada bagian tengah tubuh sampai ke bagian posterior.

Gambar 10 Cucullanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; nr-nerve ring. (B) Bagian posterior : t-tail. Skala 100 µm.

B A

oes

h

a

B A

bc nr

t

26

Berdasarkan hasil identifikasi, cacing parasitik yang ditemukan pada ikan

Bunglon Batik Jepara yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu sebanyak 7

jenis yang terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Hasil pengamatan ini

berbeda dengan hasil penelitian Kvach (2005), dari 10 jenis ikan goby yang

diamati ditemukan 24 jenis cacing parasitik dari kelompok digenea, cestoda,

nematode dan acanthocephala dan tidak ditemukan cacing monogenea.

Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa terdapat

infestasi monogenea Gyrodactylus spp. pada ikan goby dari jenis Pamataschistus

microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda.

Perbedaan jenis-jenis cacing parasitik dari hasil penelitian ini terjadi karena jenis

ikan goby dan lingkungan geografis yang diamati berbeda. Menurut Kvach

(2005), komposisi jenis fauna cacing dari kelompok ikan goby yang diamati

sangat tergantung pada kondisi geografis dan ekologi inang.

Cacing parasitik yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara

berdasarkan habitat pada tubuh inang terdiri dari ektoparasit dan endoparasit.

Jenis ektoparasit yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Benedenia

sp. Menurut Ogawa et al. (1995) diacu dalam Jithendran et al. (2005), diantara

genus Benedenia, B. epinepheli dan B. hawaiensis merupakan spesies yang

memiliki kisaran inang yang sangat luas. Sekitar 25 jenis ikan dapat berperan

sebagai inang dari B. epinepheli. Benedenia sp. merupakan salah satu jenis

monogenea yang ditemukan pada ikan air laut dan menginfeksi insang. Selain

menginfeksi insang, monogenea dari family capsalidae juga menginfeksi kulit

(Jithendran et al. 2005).

Endoparasit yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari

monogenea : Pseudempleurosoma sp.; digenea : Podocotyle sp., Plagioporus sp.;

dan nematoda : Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva

nematoda. Dari hasil penelitian, pada usus ikan Bunglon Batik Jepara ditemukan

endoparasit Pseudempleurosoma sp. yang termasuk dalam kelompok monogenea.

Menurut Santos et al. (2001), umumnya monogenea merupakan ektoparasit.

Namun beberapa monogenea ada yang dapat beradaptasi menjadi endoparasit

seperti Diplectanotrema, Pseudempleurosoma, Neodiplectanotrema,

27

Paradiplectanotrema, Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang

ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut.

Jenis endoparasit yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara umumnya

dari dari kelompok nematoda yaitu 4 jenis. Nematoda ini ditemukan di usus dan

rongga tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moller dan Anders (1986)

bahwa nematoda sering ditemukan menempel pada dinding usus, lambung dan

lumen.

Pada ikan Bunglon Batik Jepara, juga ditemukan cacing parasitik jenis

Gnathostoma sp. yang termasuk dalam jenis parasit zoonosis. Infestasi

Gnathostoma sp. pada rongga tubuh ikan Bunglon Batik Jepara diduga berasal

dari makanan. Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam kelompok ikan

karnivora dan jenis makanannya antara lain zooplankton dan invertebrata yang

berukuran kecil yang terdapat di dasar perairan (MAE 2009, MC 2009). Mengacu

pada Hoffman (1999), inang antara pertama dari cacing nematoda adalah

invertebrata seperti copepoda, insekta dan polychaeta.

Gnathostoma spinigerum merupakan cacing parasitik penyebab penyakit

“creeping disease” yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada jaringan

tubuh manusia. Meskipun cacing parasitik ini tidak berkembang menjadi dewasa

pada tubuh manusia, Gnathostoma spinigerum dapat bertahan hidup selama

beberapa tahun didalam tubuh manusia dan bermigrasi keberbagai organ seperti

otot, paru-paru dan kornea. Penyebaran cacing parasitik pada manusia terjadi

melalui konsumsi ikan air tawar mentah (Miyazaki 1960 diacu dalam Moller dan

Anders 1983). Menurut Akester (1988) diacu dalam Hoffman (1999), infestasi

Gnathostoma spinigerum di Mexico berasal dari konsumsi ikan air tawar yang

diasinkan.

Hasil penelitian ini merupakan data awal infestasi Gnathostoma sp. yang

terjadi pada ikan hias laut sehingga belum diperoleh informasi lebih lanjut

mengenai peranan ikan Bunglon Batik Jepara dalam penyebaran cacing zoonosis

Gnathostoma sp. di perairan laut. Menurut Hoffman (1999), Gnathostoma

merupakan jenis parasit di perairan tawar yang menginfeksi dinding lambung dan

esophagus mamalia. Tahap larva, Gnathostoma terdapat pada copepoda dan ikan.

Infestasi Gnathostoma sp. pada ikan Bunglon Batik Jepara diduga karena

28

pengaruh perubahan iklim. Menurut Dobson dan Carper (1992), perubahan iklim

dapat mempengaruhi penyebaran parasit dan penyakit di daerah tropis. Perubahan

iklim memungkinkan parasit dengan siklus hidup heteroxenic memanfaatkan

inang yang baru dari habitat yang berbeda.

Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik

Pengukuran prevalensi dan intensitas dilakukan untuk mengetahui tingkat

infestasi masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara.

Prevalensi dan intensitas masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik

Jepara disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara

No Jenis Cacing Parasitik Lokasi Jumlah

Ikan yang Terinfestasi

Prevalensi (%)

Intensitas Cacing

1 Monogenea Pseudempleurosoma sp. Usus 8 21,87 2,71 (1 – 6) Benedenia sp. Insang 4 12,5 1,75 (1 – 3)

2 Digenea Podocotyle sp. Usus 1 3,10 3 (0 – 3) Plagioporus sp. Usus 1 3,10 1 (0 – 1)

3 Nematoda Procamallanus sp. Usus 2 6,25 1 (0 – 1) Gnathostoma sp. Usus 1 3,10 1 (0 – 1) Cucullanus sp. Usus 1 3,10 2 (0 – 2) Larva Nematoda Usus 4 12,5 5 (1 – 11)

Lokasi infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara lebih

banyak di usus. Jenis cacing parasitik di usus ikan Bunglon Batik Jepara yaitu

Pseudempleurosoma sp., Podocotyle sp., , Plagioporus sp., Procamallanus sp.,

Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda sedangkan cacing parasitik

di insang yaitu Benedenia sp.

Prevalensi dan intensitas cacing parasitik yang terdapat diusus lebih tinggi

daripada di insang. Pseudempleurosoma sp. merupakan monogenea yang terdapat

di usus yang memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 21,87%. Jumlah parasit di

usus cukup tinggi karena terkait dengan aktifitas pencernaan makanan di usus

yang kemungkinan menyebabkan terjadinya perpindahan kista atau telur parasit

29

dari makanan dan kemudian berkembang di saluran pencernaan. Sedangkan

sedikitnya jumlah parasit yang ditemukan di insang mungkin disebabkan oleh

adanya gerakan air kedalam insang secara terus menerus sehingga tidak

mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup parasit. (Onyedineke et al.

2010). Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa dari kelompok nematoda yang

terdapat di usus, larva nematoda memiliki prevalensi tinggi yaitu 12,5%. Selain

prevalensi yang tinggi, intensitas larva nematoda juga tinggi yaitu sebesar 5 (1-

11). Berdasarkan Luque dan Poulin (2004), kelimpahan larva nematoda pada

inang dipengaruhi oleh jenis makanan. Kelimpahan larva nematoda lebih tinggi

pada ikan predator dibandingkan dengan ikan herbivor dan pemakan plankton.

Adanya infestasi beberapa jenis cacing parasitik menunjukkan bahwa ikan

Bunglon Batik Jepara merupakan inang defenitif, inang antara atau inang

paratenik beberapa jenis parasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kvach (2005),

ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik

parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan.

Diferensial Leukosit

Pengamatan diferensial leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi

leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Sampel

yang diamati terdiri dari 3 sampel darah ikan yang diasumsikan tidak terinfestasi

cacing parasitik dan 5 sampel darah ikan yang terinfestasi cacing parasitik. Data

diferensial leukosit dapat dilihat pada Lampiran 3.

Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit,

eosinofil, neutrofil dan basofil (Gambar 11). Hasil pengamatan diferensial

leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara

Jenis Leukosit Kondisi Ikan Tidak Terinfestasi (%) Terinfestasi (%)

Trombosit 62,3 38,4 Limfosit 23,3 42,4 Monosit 6,3 6 Eosinofil 2,7 3,4 Neutrofil 5,3 7,8 Basofil - 1,8

30

Gambar 11 Jenis dan bentuk sel darah (tanda panah) ikan Bunglon Batik Jepara

yang terinfestasi cacing parasitik. Keterangan gambar (a) : basofil; (b) : eosinofil; (c): trombosit; (d) : neutrofil.

Komposisi leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara berbeda. Tabel 5

menunjukkan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak

terinfeksi cacing parasitik terdiri dari 23,3% limfosit, 6,3% monosit, 2,7%

eosinofil, dan 5,3% neutrofil sedangkan komposis leukosit pada ikan yang

terinfeksi cacing parasitik yaitu 42,4 % limfosit, 7,8% neutrofil, 6% monosit,

3,4% eosinofil dan 1,8% basofil. Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam

sirkulasi darah ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, dan

tahapan siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).

Pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara

menunjukkan bahwa persentase eosinofil dan basofil rendah. Pada ikan Bunglon

Batik Jepara yang tidak terinfestasi cacing parasitik tidak ditemukan adanya sel

basofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tavares-Dias et al. (2008) bahwa hanya

sedikit jenis ikan yang memiliki eosinofil atau basofil, dan jarang sekali

c

c. Trombosit

b. Eosinofil

d. Neutrofil

a. Basofil

31

ditemukan ikan yang memiliki sel eosinofil dan basofil secara bersama dalam

sirkulasi leukosit.

Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami

penurunan jumlah trombosit, namun presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil

meningkat. Leukosit merupakan komponen sel yang berperan dalam respon

kekebalan tubuh. Peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga

merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Jenkins

(2003) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil mengindikasikan

terjadinya stres atau adanya infeksi penyakit. Neutrofil merupakan jenis leukosit

yang pertama kali bermigrasi ke lokasi infeksi parasit dan pada ikan yang

terinfeksi cacing parasitik D. dendriticum juga terdapat jumlah neutrofil dan

limfosit yang tinggi (Rahkonen dan Pasternack 1999). Selain itu, infestasi cacing

parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang

terinfeksi (Martins et al. 2004).

Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik

Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil.

Basofil yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara berperan dalam mengatasi

inflamasi yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Suzuki

(1992), pada ikan puffer terjadi migrasi basofil dalam jumlah besar akibat adanya

peradangan.

Patologi

Perubahan Patologi Anatomi

Berdasarkan pengamatan perubahan makroskopis PA pada ikan Bunglon

Batik Jepara umumnya dalam keadaan normal. Perubahan makroskopis PA yang

diamati pada organ sirip, insang, kulit dan hati berupa sirip rontok, insang pucat,

warna tubuh menjadi pudar, dan hati pucat. Jenis parasit yang berbeda dalam

kondisi lingkungan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda

terhadap inang (Overstreet 1993). Hasil penelitian Martins et al. (2004)

menunjukkan bahwa insang, hati, jantung dan kantung empedu ikan yang

terinfeksi cacing nematoda mengalami perubahan warna menjadi pucat. Data

perubahan makroskopis PA secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.

32

Secara umum, perubahan makroskopis PA yang diamati pada ikan

Bunglon Batik Jepara tidak spesifik menunjukan perubahan yang disebabkan oleh

infestasi cacing parasitik.

Perubahan Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang

disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan

Bunglon Batik Jepara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat lesio

mikroskopis pada organ yang terinfeksi cacing parasitik. Lesio mikroskopis organ

insang dan usus di skor untuk melihat derajat keparahan. Skor histopatologi organ

insang dan usus disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Histogram skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara.

Gambar 12 merupakan data hasil pengamatan skor lesio organ insang dan

usus yang terdiri dari skor 1, 2, 3 dan 4. Skor lesio 1 menunjukkan derajat

keparahan sangat ringan, skor 2 adalah lesio dengan derajat keparahan ringan,

skor lesio 3 menunjukkan derajat keparahan sedang dan skor lesio 4

menggambarkan derajat keparahan berat. Berdasarkan data histogram diatas, skor

lesio terbanyak yang ditemukan pada organ insang dan usus adalah 2 dengan

derajat keparah ringan.

Organ Insang

Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 13. Hasil pemeriksaan HP

menunjukkan terjadinya kongesti (Gambar 14), peradangan (Gambar 16), fusi dan

0

4

8

12

16

20

1 2 3 4Skor Lesio

Jum

lah

orga

n

Insang

Usus

33

erosi lamella sekunder (Gambar 15). Dari perubahan diatas disimpulkan bahwa

insang mengalami brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti,

hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang. Menurut Noga (2000),

lesio brankhitis dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit.

Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan Parameter terjadinya nekrosa

seperti ekskresi lendir berlebihan dan penggabungan (fusi) lamella merupakan

suatu indikasi adanya respon sistem kekebalan tubuh terhadap cacing parasitik.

Kerusakan pada sel epithel insang disebabkan oleh haptor monegenea yang

menempel pada lamella sekunder ikan Bunglon Batik Jepara. Sekresi yang

dihasilkan parasit menyebabkan kerusakan sel epithel (Buchmann 1999). Menurut

Camargo dan Martinez (2007), perubahan lapisan epithelial, hyperplasia dan

hypertrofi sel epithel, fusi lamella sekunder merupakan mekanisme pertahan

tubuh ikan.

Menurut Leong (2001) diacu dalam Jithendran et al. (2005), infeksi

monogenea B. epinepheli tidak hanya menyebabkan terjadinya hemoragi dan lesio

abrasif, tetapi juga dapat menyebabkan kematian pada ikan laut yang

dibudidayakan karena nekrosa berat pada jaringan insang sehingga mengganggu

sistem pernafasan.

Gambar 13 Jaringan insang normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.

34

Gambar 14 Lesio lamella sekunder berupa kongesti yang menyebabkan

pembengkakan pada ujung lamella sekunder (tanda panah) dan hemoragi lamella sekunder (tanda asterik). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.

Gambar 15 Lesio pada lamella sekunder berupa akumulasi sel radang sehingga menyebabkan fusi lamella sekunder (tanda asterik) dan erosi lamella sekunder (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.

35

Gambar 16 Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel lamella

sekunder (tanda asterik), sel radang (tanda kepala anak panah) dan MMC (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 10 µm.

Perubahan pada insang digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan

derajat keparahannya. skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti dan

hyperplasia epithel; skor 2 ditandai dengan fusi lamella sekunder, hemoragi

peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan

nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.

Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor

terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi

ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang

mengalami kerusakan derajat ringan.

Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), insang merupakan hal yang penting

dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi

dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam

dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang

terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama

36

penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu

pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan.

Organ Usus

Dari hasil pengamatan histopatologi, lesio yang terjadi pada organ usus

adalah hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis,

edema, hemoragi pada lapisan muskularis (Gambar 19), adanya MMC pada

lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria

dan infiltrasi cacing parasitik pada villi (Gambar 20).

Usus ikan yang terinfeksi cacing parasitik menunjukkan enteritis. Enteritis

diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (limfosit dan EGC) di mukosa.

Jaringan usus normal dapat dilihat pada Gambar 17. Alat penempel dan sekresi

yang dihasilkan cacing parasitik menyebabkan sel-sel pada mukosa mengalami

peradangan yang diindikasikan dengan kongesti (Gambar 18) dan infiltrasi EGC.

Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan mukosa dan lamina propria usus yang

mengandung pembuluh darah.

Gambar 17 Usus normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.

37

Gambar 18 Perubahan pada organ usus berupa kongesti (tanda kepala anak

panah) dan proliferasi sel goblet (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.

Gambar 19 Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan mukosa

(tanda panah) dan adanya sel radang (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.

38

Gambar 20 Infestasi cacing parasitik pada organ usus (tanda panah) dan infiltrasi EGC pada lamina propria (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.

Perubahan histopatologi pada organ usus diduga karena adanya infestasi

cacing parasitik. Menurut Roberts (2001), parasit cacing yang terdapat di dalam

gastrointestinal dapat menyebabkan lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan

kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi pada usus yang mengakibatkan

terjadinya anemia pada ikan. Umumnya cacing parasitik pada saluran pencernaan

ikan bersifat patogenik. Perubahan patologi oleh cacing berupa kerusakan yang

disebabkan oleh organ penempel (Akinsanya dan Otubanjo 2006).

Adanya cacing parasitik pada permukaan villi akan memacu terjadi produksi

mukus sebagai bentuk pertahan diri terhadap infestasi cacing parasitik. Menurut

McGavin et al. (2001), hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan

reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada di saluran cerna.

Sel goblet merupakan sel penghasil mukus. Hiperplasia sel goblet menyebabkan

produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen

penyebab kerusakan.

39

Selain produksi mukus yang berlebihan, adanya infestasi cacing parasitik

pada villi usus juga memicu terjadinya proliferasi MMC dan infiltrasi sel radang

EGC. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada

ikan (Roberts 2001). Peradangan berupa infiltrasi EGC merupakan respon yang

diberikan ikan terhadap alergen. EGC merupakan bagian dari respon inflamasi

pada inang yang disebabkan oleh infeksi parasit (Reite 1998 diacu dalam Dezfuli

et al. 2000).

Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada usus. Peradangan

pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan yang reaksinya bisa

merupakan indikasi awal terjadinya suatu penyakit. Keberadaan EGC yang rusak

di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya

makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan

menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard

1982). Peradangan didefenisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan

apapun penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib dan

Pasaribu 1989).

Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya kenaikan

jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar penuh terisi

eritrosit. Hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik

keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi di

lapisan mukosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma.

Bila perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar

pembuluh darah (Robert 2001). Pada penelitian ini, cacing parasitik terbukti

menyebabkan gangguan sirkulasi darah yaitu dengan timbulnya kongesti dan

hemoragi pada usus ikan Bunglon Batik Jepara.

Perubahan pada usus digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat

keparahannya. Skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti, hiperplasia sel

goblet dan edema; skor 2 ditandai dengan hemoragi, peradangan dan nekrosa

ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4

ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.

Skoring terhadap perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor

terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet,

40

peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, hemoragi ringan, dan

proliferasi MMC. Ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan

derajat ringan.

Ringannya tingkat lesio pada organ usus dipengaruhi oleh jenis dan tingkat

intensitas infestasi cacing parasitik pada ikan. Berdasarkan data pengamatan, jenis

cacing parasitik yang terdapat pada usus ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari

monogenea, digenea dan nematoda. Menurut Dezfuli et al. (2003), kerusakan

yang disebabkan oleh cacing parasitik sangat berkaitan erat dengan intensitas

infeksi dan dalamnya penetrasi parasit pada jaringan inang. Trematoda, cestoda

dan nematoda yang terdapat di usus secara umum tidak menyebabkan kerusakan

parah pada saluran pencernaan vertebrata.