HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon ... · Filum : Platyhelminthes Kelas :...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon ... · Filum : Platyhelminthes Kelas :...
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Cacing Parasitik pada Ikan Bunglon Batik Jepara
Infestasi Cacing Parasitik pada Ukuran Ikan yang Berbeda
Total jumlah sampel ikan yang diamati sebanyak 32 ekor. Untuk mengetahui
kisaran ukuran sampel, dilakukan pengukuran panjang total dan berat ikan. Dari
32 sampel diperoleh ukuran panjang total terendah yaitu 7 cm dan panjang total
tertinggi 11 cm dengan berat terendah 2,1 g dan berat tertinggi 8,9 g. Ukuran
panjang total ikan sampel selanjutnya dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan
ukuran yang diperdagangkan yaitu ukuran S (<8,5 cm), M (8,5 -10 cm) dan L
(>10 cm). Data ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara secara lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengamatan infestasi cacing parasitik berdasarkan
ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Prevalensi infestasi cacing parasitik dan ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara
Ukuran Panjang Jumlah S M L
Jumlah Sampel yang diamati 17 8 7 32 Jumlah Sampel terinfestasi cacing 8 4 3 15 Prevalensi (%) 47,06 50 42,86 46,88
Chi Kuadrat (X2) = 5,991
Data pada Tabel 2 menunjukkan hubungan prevalensi infestasi cacing
parasitik dengan ukuran panjang tubuh ikan Bunglon Batik Jepara. Total sampel
yang diamati 32 ekor dan 15 sampel terinfestasi cacing parasitik (46,88%).
Prevalensi infestasi cacing parasitik dari setiap kelompok ukuran sampel relatif
tinggi. Hasil uji statistik non parametrik Chi Kuadrat (X2) menunjukkan bahwa
nilai Chi Kuadrat hasil perhitungan lebih rendah dari nilai Chi Kuadrat tabel (Chi
Kuadrat = 5,991). Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara ukuran panjang
ikan dengan prevalensi infestasi cacing parasitik.
Berdasarkan waktu pengambilan sampel, jumlah sampel ikan yang diamati
terdiri dari 20 ekor pada bulan April dan 12 ekor pada bulan September. Jumlah
dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati pada bulan
19
April yaitu S, M dan L. Pada bulan September ukuran panjang sampel ikan terdiri
dari ukuran S dan M. Jumlah dan variasi ukuran panjang ikan Bunglon Batik
Jepara yang diamati pada bulan April dan September disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan
ukuran panjang tubuh
Bulan Ukuran Panjang
Jumlah Ikan yang
Diamati
Jumlah Ikan yang
Terinfestasi
Jumlah Total
Cacing Parasitik
Prevalensi (%)
Intensitas Cacing
Parasitik
April S 7 2 13 28,57 6,50 (6-7) M 6 2 6 33,33 3 (2-4) L 7 3 5 42,86 1,67 (1-2)
Jumlah 20 7 24 35 3,40 (1-7)
September
S 10 6 18 60 3 (1-7) M 2 2 14 100 7 (2-11) L - - - - -
Jumlah 12 8 32 66,66 4 (1-11)
Data hasil penelitian menunjukkan prevalensi infestasi parasit pada bulan
April lebih rendah daripada bulan September. Prevalensi terendah infestasi cacing
parasitik pada bulan April ditemukan pada ikan yang berukuran S yaitu sebesar
28,57%, kemudian meningkat menjadi 33,33% pada ikan ukuran M, dan
prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran L yaitu sebesar 42,86%. Pada bulan
September, prevalensi infestasi cacing parasitik terendah pada ikan dengan ukuran
S yaitu 60% dan prevalensi tertinggi pada ikan dengan ukuran M sebesar 100%.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan prevalensi infestasi
cacing parasitik seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh. Prevalensi infestasi
cacing parasitik relatif tinggi pada ikan berukuran lebih besar (M dan L). Hasil
pengamatan ini berbeda dengan hasil penelitian Akinsanya et al. (2007) yang
menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil lebih sering terinfestasi parasit
dibandingkan dengan ikan yang berukuran besar. Namun hasil penelitian ini
selaras dengan Poulin (2000) diacu dalam Dezfuli et al. (2001) bahwa adanya
kecenderungan akumulasi parasit pada inang dari waktu ke waktu sehingga parasit
sering ditemukan pada inang yang lebih besar daripada inang yang lebih kecil.
20
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya tingkat infestasi cacing parasitik
pada ikan berukuran besar diduga karena adanya pengaruh jenis makanan yang
dikonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bush et al. (2001) diacu dalam
Tavares et al. (2005) bahwa ikan yang lebih besar sering mengalami perubahan
jenis makanan sehingga lebih mudah terpapar oleh parasit. Selain kebiasaan
makanan (feeding habit), tingkat aktifitas yang tinggi dari ikan dewasa juga
merupakan salah satu faktor penyebab tingginya infestasi parasit pada ikan
dewasa dibandingkan dengan juvenil. Ikan dewasa lebih aktif mencari makan dan
kontak dengan makanan lebih banyak sehingga cenderung lebih mudah
terinfestasi parasit (Ayanda 2008).
Identifikasi Cacing Parasitik
Total jumlah sampel ikan Bunglon Batik Jepara yang diamati sebanyak 32
ekor dan 15 ekor terinfestasi cacing parasitik. Dari hasil pengamatan 15 sampel
ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik ditemukan 7 jenis
cacing parasitik dan larva nematoda. Jenis-jenis cacing parasitik terdiri dari 2
monogenea, Pseudempleurosoma sp. dan Benedenia sp.; 2 digenea, Podocotyle
sp. dan Plagioporus sp.; dan 3 nematoda Procamallanus sp., Gnathostoma sp.,
Cucullanus sp. dan larva nematoda.
Deskripsi masing-masing cacing parasitik diuraikan sebagai berikut :
Monogenea
Pseudempleurosoma sp. (Gambar 4)
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Monogenea
Ordo : Dactylogyrida
Famili : Ancyrocephalidae
Genus : Pseudempleurosoma
Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki 1 pasang head organ yang bentuknya
belum sempurna; memiliki 2 pasang bintik mata; pharinx berbentuk
bulat; sistem genital terdiri dari cirrus sac, ovary dan testis. Testis
berbentuk oval dan terdapat dibawah ovary; vitellaria terdapat
disepanjang tubuh; Haptor berbentuk rudimeter, memiliki 14 hook, 2
21
pasang anchor (1 pasang menyerupai marginal hook), memiliki 2
pasang transfer bar (1 pasang jarang terlihat); memiliki 2 anchor root
(inner root dan dorsal root).
Gambar 4 Pseudempleurosoma sp. Keterangan gambar : ho-head organ; es-
eyes spot; ph-pharinx; o-ovary; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.
Benedenia sp. (Gambar 5)
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Monogenea
Ordo : Dactylogyrida
Famili : Capsalidae
Genus : Pseudempleurosoma
Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; pada bagian anterior terdapat 1 pasang
sucker; memiliki 2 pasang bintik mata; ukuran bintik mata pada
bagian anterior lebih kecil dibandingkan dengan posterior; memiliki
pharinx; ovary berada ditengah, testis berjumlah 1 pasang dan
ho es ph
o
v
h
a
22
terdapat dibawah ovary, memiliki vagina; haptor berbentuk
cakra/bulat, memiliki 14 hook, 2 pasang anchor.
Gambar 5 Benedenia sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; e-eyes spot; ph-
pharinx; v-vitellaria; h-haptor; a-anchor.
Digenea
Podocotyle sp. (Gambar 6)
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Digenea
Famili : Opecoelidae
Genus : Podocotyle
Deskripsi : Tubuh memanjang; memiliki oral sucker, pharinx dan acetabulum.
Acetabulum berukuran lebih besar dari pada pharinx dan posisinya
dibagian tengah tubuh. Pada bagian atas acetabulum tertutup oleh
pinggiran yang berbentuk lipatan dari sucker; usus memanjang
sampai ke bagian posterior; vitellaria berada di belakang tubuh;
saluran excretory memanjang hingga bagian anterior ovary.
os
e
ph
v
h a
23
os
a
ds
v
ev
Gambar 6 Podocotyle sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; ac-acetabulum;
ds-digestive system; ev-excretory vesicle; v-vitellaria. Skala 100 µm.
Plagioporus sp. (Gambar 7)
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Digenea
Famili : Opecoelidae
Genus : Plagioporus
Deskripsi : Tubuh berbentuk oval; memiliki oral sucker, pharinx dan
acetabulum. Acetabulum berukuran lebih besar dari pada oral sucker
dan posisinya equatorial; vitellaria menyebar disepanjang tubuh;
memiliki excretory vesicle yang berbentuk tubular.
Gambar 7 Plagioporus sp. Keterangan gambar : os-oral sucker; a-acetabulum; ev-excretory vesicle.
24
Nematoda
Procamallanus sp. (Gambar 8)
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Famili : Camallanidae
Genus : Procamallanus
Deskripsi : Buccal capsul menyatu; memiliki nerve ring, oesophagus dan
intestine; bagian ekor berukuran kecil dan pada bagian ujung
terdapat mucrones yang berukuran kecil.
Gambar 8 Procamallanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; oes-oesophagus; i-intestine. (B) Bagian posterior : cg-caudal glands; m-mucrones.
Gnathostoma sp. (Gambar 9)
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Famili : Gnathostomatidae
Genus : Gnathostoma
Deskripsi : Bagian kepala seperti balon dan memiliki kumpulan hook; memiliki
oesophagus; tubuh diliputi dengan lapisan cuticular.
A B
i
oes
bc
m
cg
25
Gambar 9 Gnathostoma sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : h-head;
oes-oesophagus. (B) bagian posterior: a-anus. Skala 100 µm.
Cucullanus sp. (Gambar 10)
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Famili : Cucullanidae
Genus : Cucullanus
Deskripsi : Tidak terdapat chitin pada bagian buccal capsul; usus sederhana;
memiliki ovary, bersifat ovipar, telur memiliki selaput yang tipis
dan tersebar pada bagian tengah tubuh sampai ke bagian posterior.
Gambar 10 Cucullanus sp. Keterangan gambar : (A) Bagian anterior : bc-buccal capsul; nr-nerve ring. (B) Bagian posterior : t-tail. Skala 100 µm.
B A
oes
h
a
B A
bc nr
t
26
Berdasarkan hasil identifikasi, cacing parasitik yang ditemukan pada ikan
Bunglon Batik Jepara yang berasal dari perairan Kepulauan Seribu sebanyak 7
jenis yang terdiri dari monogenea, digenea dan nematoda. Hasil pengamatan ini
berbeda dengan hasil penelitian Kvach (2005), dari 10 jenis ikan goby yang
diamati ditemukan 24 jenis cacing parasitik dari kelompok digenea, cestoda,
nematode dan acanthocephala dan tidak ditemukan cacing monogenea.
Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa terdapat
infestasi monogenea Gyrodactylus spp. pada ikan goby dari jenis Pamataschistus
microps dan Clupea harengus dari perairan Belgia, Prancis dan Belanda.
Perbedaan jenis-jenis cacing parasitik dari hasil penelitian ini terjadi karena jenis
ikan goby dan lingkungan geografis yang diamati berbeda. Menurut Kvach
(2005), komposisi jenis fauna cacing dari kelompok ikan goby yang diamati
sangat tergantung pada kondisi geografis dan ekologi inang.
Cacing parasitik yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara
berdasarkan habitat pada tubuh inang terdiri dari ektoparasit dan endoparasit.
Jenis ektoparasit yang menginfestasi ikan Bunglon Batik Jepara yaitu Benedenia
sp. Menurut Ogawa et al. (1995) diacu dalam Jithendran et al. (2005), diantara
genus Benedenia, B. epinepheli dan B. hawaiensis merupakan spesies yang
memiliki kisaran inang yang sangat luas. Sekitar 25 jenis ikan dapat berperan
sebagai inang dari B. epinepheli. Benedenia sp. merupakan salah satu jenis
monogenea yang ditemukan pada ikan air laut dan menginfeksi insang. Selain
menginfeksi insang, monogenea dari family capsalidae juga menginfeksi kulit
(Jithendran et al. 2005).
Endoparasit yang ditemukan pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari
monogenea : Pseudempleurosoma sp.; digenea : Podocotyle sp., Plagioporus sp.;
dan nematoda : Procamallanus sp., Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva
nematoda. Dari hasil penelitian, pada usus ikan Bunglon Batik Jepara ditemukan
endoparasit Pseudempleurosoma sp. yang termasuk dalam kelompok monogenea.
Menurut Santos et al. (2001), umumnya monogenea merupakan ektoparasit.
Namun beberapa monogenea ada yang dapat beradaptasi menjadi endoparasit
seperti Diplectanotrema, Pseudempleurosoma, Neodiplectanotrema,
27
Paradiplectanotrema, Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang
ditemukan pada organ pharinx dan oesophagus ikan air laut.
Jenis endoparasit yang menginfeksi ikan Bunglon Batik Jepara umumnya
dari dari kelompok nematoda yaitu 4 jenis. Nematoda ini ditemukan di usus dan
rongga tubuh ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moller dan Anders (1986)
bahwa nematoda sering ditemukan menempel pada dinding usus, lambung dan
lumen.
Pada ikan Bunglon Batik Jepara, juga ditemukan cacing parasitik jenis
Gnathostoma sp. yang termasuk dalam jenis parasit zoonosis. Infestasi
Gnathostoma sp. pada rongga tubuh ikan Bunglon Batik Jepara diduga berasal
dari makanan. Ikan Bunglon Batik Jepara termasuk dalam kelompok ikan
karnivora dan jenis makanannya antara lain zooplankton dan invertebrata yang
berukuran kecil yang terdapat di dasar perairan (MAE 2009, MC 2009). Mengacu
pada Hoffman (1999), inang antara pertama dari cacing nematoda adalah
invertebrata seperti copepoda, insekta dan polychaeta.
Gnathostoma spinigerum merupakan cacing parasitik penyebab penyakit
“creeping disease” yang dapat menimbulkan kerusakan serius pada jaringan
tubuh manusia. Meskipun cacing parasitik ini tidak berkembang menjadi dewasa
pada tubuh manusia, Gnathostoma spinigerum dapat bertahan hidup selama
beberapa tahun didalam tubuh manusia dan bermigrasi keberbagai organ seperti
otot, paru-paru dan kornea. Penyebaran cacing parasitik pada manusia terjadi
melalui konsumsi ikan air tawar mentah (Miyazaki 1960 diacu dalam Moller dan
Anders 1983). Menurut Akester (1988) diacu dalam Hoffman (1999), infestasi
Gnathostoma spinigerum di Mexico berasal dari konsumsi ikan air tawar yang
diasinkan.
Hasil penelitian ini merupakan data awal infestasi Gnathostoma sp. yang
terjadi pada ikan hias laut sehingga belum diperoleh informasi lebih lanjut
mengenai peranan ikan Bunglon Batik Jepara dalam penyebaran cacing zoonosis
Gnathostoma sp. di perairan laut. Menurut Hoffman (1999), Gnathostoma
merupakan jenis parasit di perairan tawar yang menginfeksi dinding lambung dan
esophagus mamalia. Tahap larva, Gnathostoma terdapat pada copepoda dan ikan.
Infestasi Gnathostoma sp. pada ikan Bunglon Batik Jepara diduga karena
28
pengaruh perubahan iklim. Menurut Dobson dan Carper (1992), perubahan iklim
dapat mempengaruhi penyebaran parasit dan penyakit di daerah tropis. Perubahan
iklim memungkinkan parasit dengan siklus hidup heteroxenic memanfaatkan
inang yang baru dari habitat yang berbeda.
Prevalensi dan Intensitas Cacing Parasitik
Pengukuran prevalensi dan intensitas dilakukan untuk mengetahui tingkat
infestasi masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara.
Prevalensi dan intensitas masing-masing cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik
Jepara disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis-jenis cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara
No Jenis Cacing Parasitik Lokasi Jumlah
Ikan yang Terinfestasi
Prevalensi (%)
Intensitas Cacing
1 Monogenea Pseudempleurosoma sp. Usus 8 21,87 2,71 (1 – 6) Benedenia sp. Insang 4 12,5 1,75 (1 – 3)
2 Digenea Podocotyle sp. Usus 1 3,10 3 (0 – 3) Plagioporus sp. Usus 1 3,10 1 (0 – 1)
3 Nematoda Procamallanus sp. Usus 2 6,25 1 (0 – 1) Gnathostoma sp. Usus 1 3,10 1 (0 – 1) Cucullanus sp. Usus 1 3,10 2 (0 – 2) Larva Nematoda Usus 4 12,5 5 (1 – 11)
Lokasi infestasi cacing parasitik pada ikan Bunglon Batik Jepara lebih
banyak di usus. Jenis cacing parasitik di usus ikan Bunglon Batik Jepara yaitu
Pseudempleurosoma sp., Podocotyle sp., , Plagioporus sp., Procamallanus sp.,
Gnathostoma sp., Cucullanus sp. dan larva nematoda sedangkan cacing parasitik
di insang yaitu Benedenia sp.
Prevalensi dan intensitas cacing parasitik yang terdapat diusus lebih tinggi
daripada di insang. Pseudempleurosoma sp. merupakan monogenea yang terdapat
di usus yang memiliki prevalensi tertinggi yaitu sebesar 21,87%. Jumlah parasit di
usus cukup tinggi karena terkait dengan aktifitas pencernaan makanan di usus
yang kemungkinan menyebabkan terjadinya perpindahan kista atau telur parasit
29
dari makanan dan kemudian berkembang di saluran pencernaan. Sedangkan
sedikitnya jumlah parasit yang ditemukan di insang mungkin disebabkan oleh
adanya gerakan air kedalam insang secara terus menerus sehingga tidak
mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup parasit. (Onyedineke et al.
2010). Hal sesuai dengan hasil penelitian bahwa dari kelompok nematoda yang
terdapat di usus, larva nematoda memiliki prevalensi tinggi yaitu 12,5%. Selain
prevalensi yang tinggi, intensitas larva nematoda juga tinggi yaitu sebesar 5 (1-
11). Berdasarkan Luque dan Poulin (2004), kelimpahan larva nematoda pada
inang dipengaruhi oleh jenis makanan. Kelimpahan larva nematoda lebih tinggi
pada ikan predator dibandingkan dengan ikan herbivor dan pemakan plankton.
Adanya infestasi beberapa jenis cacing parasitik menunjukkan bahwa ikan
Bunglon Batik Jepara merupakan inang defenitif, inang antara atau inang
paratenik beberapa jenis parasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Kvach (2005),
ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang paratenik
parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan ikan.
Diferensial Leukosit
Pengamatan diferensial leukosit dilakukan untuk mengetahui komposisi
leukosit ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik. Sampel
yang diamati terdiri dari 3 sampel darah ikan yang diasumsikan tidak terinfestasi
cacing parasitik dan 5 sampel darah ikan yang terinfestasi cacing parasitik. Data
diferensial leukosit dapat dilihat pada Lampiran 3.
Leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari limfosit, monosit,
eosinofil, neutrofil dan basofil (Gambar 11). Hasil pengamatan diferensial
leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara
Jenis Leukosit Kondisi Ikan Tidak Terinfestasi (%) Terinfestasi (%)
Trombosit 62,3 38,4 Limfosit 23,3 42,4 Monosit 6,3 6 Eosinofil 2,7 3,4 Neutrofil 5,3 7,8 Basofil - 1,8
30
Gambar 11 Jenis dan bentuk sel darah (tanda panah) ikan Bunglon Batik Jepara
yang terinfestasi cacing parasitik. Keterangan gambar (a) : basofil; (b) : eosinofil; (c): trombosit; (d) : neutrofil.
Komposisi leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara berbeda. Tabel 5
menunjukkan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara yang tidak
terinfeksi cacing parasitik terdiri dari 23,3% limfosit, 6,3% monosit, 2,7%
eosinofil, dan 5,3% neutrofil sedangkan komposis leukosit pada ikan yang
terinfeksi cacing parasitik yaitu 42,4 % limfosit, 7,8% neutrofil, 6% monosit,
3,4% eosinofil dan 1,8% basofil. Jumlah dan persentase komposisi leukosit dalam
sirkulasi darah ikan sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit, dan
tahapan siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).
Pengamatan diferensial leukosit pada ikan Bunglon Batik Jepara
menunjukkan bahwa persentase eosinofil dan basofil rendah. Pada ikan Bunglon
Batik Jepara yang tidak terinfestasi cacing parasitik tidak ditemukan adanya sel
basofil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tavares-Dias et al. (2008) bahwa hanya
sedikit jenis ikan yang memiliki eosinofil atau basofil, dan jarang sekali
c
c. Trombosit
b. Eosinofil
d. Neutrofil
a. Basofil
31
ditemukan ikan yang memiliki sel eosinofil dan basofil secara bersama dalam
sirkulasi leukosit.
Ikan Bunglon Batik Jepara yang terinfestasi cacing parasitik mengalami
penurunan jumlah trombosit, namun presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil
meningkat. Leukosit merupakan komponen sel yang berperan dalam respon
kekebalan tubuh. Peningkatan presentase limfosit, eosinofil dan neutrofil diduga
merupakan respon yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Jenkins
(2003) menyatakan bahwa peningkatan jumlah neutrofil mengindikasikan
terjadinya stres atau adanya infeksi penyakit. Neutrofil merupakan jenis leukosit
yang pertama kali bermigrasi ke lokasi infeksi parasit dan pada ikan yang
terinfeksi cacing parasitik D. dendriticum juga terdapat jumlah neutrofil dan
limfosit yang tinggi (Rahkonen dan Pasternack 1999). Selain itu, infestasi cacing
parasitik dapat menyebabkan terjadinya neutrofilia dan eosinofilia pada ikan yang
terinfeksi (Martins et al. 2004).
Selain sel limfosit, eosinofil dan neutrofil, pada leukosit ikan Bunglon Batik
Jepara yang terinfestasi oleh cacing parasitik juga ditemukan adanya basofil.
Basofil yang terdapat pada ikan Bunglon Batik Jepara berperan dalam mengatasi
inflamasi yang timbul akibat adanya infestasi cacing parasitik. Menurut Suzuki
(1992), pada ikan puffer terjadi migrasi basofil dalam jumlah besar akibat adanya
peradangan.
Patologi
Perubahan Patologi Anatomi
Berdasarkan pengamatan perubahan makroskopis PA pada ikan Bunglon
Batik Jepara umumnya dalam keadaan normal. Perubahan makroskopis PA yang
diamati pada organ sirip, insang, kulit dan hati berupa sirip rontok, insang pucat,
warna tubuh menjadi pudar, dan hati pucat. Jenis parasit yang berbeda dalam
kondisi lingkungan yang berbeda akan menimbulkan dampak yang berbeda
terhadap inang (Overstreet 1993). Hasil penelitian Martins et al. (2004)
menunjukkan bahwa insang, hati, jantung dan kantung empedu ikan yang
terinfeksi cacing nematoda mengalami perubahan warna menjadi pucat. Data
perubahan makroskopis PA secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.
32
Secara umum, perubahan makroskopis PA yang diamati pada ikan
Bunglon Batik Jepara tidak spesifik menunjukan perubahan yang disebabkan oleh
infestasi cacing parasitik.
Perubahan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan untuk melihat perubahan patologi yang
disebabkan oleh infestasi cacing parsitik pada organ insang dan usus ikan
Bunglon Batik Jepara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat lesio
mikroskopis pada organ yang terinfeksi cacing parasitik. Lesio mikroskopis organ
insang dan usus di skor untuk melihat derajat keparahan. Skor histopatologi organ
insang dan usus disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Histogram skor lesio histopatologi organ ikan Bunglon Batik Jepara.
Gambar 12 merupakan data hasil pengamatan skor lesio organ insang dan
usus yang terdiri dari skor 1, 2, 3 dan 4. Skor lesio 1 menunjukkan derajat
keparahan sangat ringan, skor 2 adalah lesio dengan derajat keparahan ringan,
skor lesio 3 menunjukkan derajat keparahan sedang dan skor lesio 4
menggambarkan derajat keparahan berat. Berdasarkan data histogram diatas, skor
lesio terbanyak yang ditemukan pada organ insang dan usus adalah 2 dengan
derajat keparah ringan.
Organ Insang
Jaringan insang normal dituangkan pada Gambar 13. Hasil pemeriksaan HP
menunjukkan terjadinya kongesti (Gambar 14), peradangan (Gambar 16), fusi dan
0
4
8
12
16
20
1 2 3 4Skor Lesio
Jum
lah
orga
n
Insang
Usus
33
erosi lamella sekunder (Gambar 15). Dari perubahan diatas disimpulkan bahwa
insang mengalami brankhitis. Brankhitis dicirikan dengan adanya kongesti,
hemoragi, proliferasi sel khlorid dan infiltrasi sel radang. Menurut Noga (2000),
lesio brankhitis dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit.
Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan Parameter terjadinya nekrosa
seperti ekskresi lendir berlebihan dan penggabungan (fusi) lamella merupakan
suatu indikasi adanya respon sistem kekebalan tubuh terhadap cacing parasitik.
Kerusakan pada sel epithel insang disebabkan oleh haptor monegenea yang
menempel pada lamella sekunder ikan Bunglon Batik Jepara. Sekresi yang
dihasilkan parasit menyebabkan kerusakan sel epithel (Buchmann 1999). Menurut
Camargo dan Martinez (2007), perubahan lapisan epithelial, hyperplasia dan
hypertrofi sel epithel, fusi lamella sekunder merupakan mekanisme pertahan
tubuh ikan.
Menurut Leong (2001) diacu dalam Jithendran et al. (2005), infeksi
monogenea B. epinepheli tidak hanya menyebabkan terjadinya hemoragi dan lesio
abrasif, tetapi juga dapat menyebabkan kematian pada ikan laut yang
dibudidayakan karena nekrosa berat pada jaringan insang sehingga mengganggu
sistem pernafasan.
Gambar 13 Jaringan insang normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.
34
Gambar 14 Lesio lamella sekunder berupa kongesti yang menyebabkan
pembengkakan pada ujung lamella sekunder (tanda panah) dan hemoragi lamella sekunder (tanda asterik). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.
Gambar 15 Lesio pada lamella sekunder berupa akumulasi sel radang sehingga menyebabkan fusi lamella sekunder (tanda asterik) dan erosi lamella sekunder (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.
∗
∗
35
Gambar 16 Perubahan lamella insang berupa hyperplasia sel epithel lamella
sekunder (tanda asterik), sel radang (tanda kepala anak panah) dan MMC (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 10 µm.
Perubahan pada insang digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan
derajat keparahannya. skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti dan
hyperplasia epithel; skor 2 ditandai dengan fusi lamella sekunder, hemoragi
peradangan dan nekrosa ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan
nekrosa sedang; skor 4 ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.
Skoring terhadap perubahan histopatologi insang diperoleh bahwa skor
terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa peradangan ringan, hemoragi
ringan, dan fusi lamella sekunder. Ini menunjukkan bahwa organ insang
mengalami kerusakan derajat ringan.
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), insang merupakan hal yang penting
dalam penyelenggaraan homeostasis lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi
dalam pertukaran gas, insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam
dan air, dan pengeluaran limbah-limbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang
terdiri dari lapisan yang tipis yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama
∗
36
penyakit. Kerusakan ringan pada struktur insang ikan dapat mengganggu
pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan.
Organ Usus
Dari hasil pengamatan histopatologi, lesio yang terjadi pada organ usus
adalah hyperplasia dan proliferasi sel goblet, kongesti pada lapisan muskularis,
edema, hemoragi pada lapisan muskularis (Gambar 19), adanya MMC pada
lapisan muskularis, adanya Eosinophilic Granular Cell (EGC) pada lamina propria
dan infiltrasi cacing parasitik pada villi (Gambar 20).
Usus ikan yang terinfeksi cacing parasitik menunjukkan enteritis. Enteritis
diindikasikan oleh adanya infiltrasi sel radang (limfosit dan EGC) di mukosa.
Jaringan usus normal dapat dilihat pada Gambar 17. Alat penempel dan sekresi
yang dihasilkan cacing parasitik menyebabkan sel-sel pada mukosa mengalami
peradangan yang diindikasikan dengan kongesti (Gambar 18) dan infiltrasi EGC.
Infiltrasi sel radang terjadi pada lapisan mukosa dan lamina propria usus yang
mengandung pembuluh darah.
Gambar 17 Usus normal. Pewarnaan HE. Skala 200 µm.
37
Gambar 18 Perubahan pada organ usus berupa kongesti (tanda kepala anak
panah) dan proliferasi sel goblet (tanda panah). Pewarnaan HE. Skala 20 µm.
Gambar 19 Perubahan pada organ usus berupa hemoragi pada lapisan mukosa
(tanda panah) dan adanya sel radang (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.
38
Gambar 20 Infestasi cacing parasitik pada organ usus (tanda panah) dan infiltrasi EGC pada lamina propria (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE. Skala 50 µm.
Perubahan histopatologi pada organ usus diduga karena adanya infestasi
cacing parasitik. Menurut Roberts (2001), parasit cacing yang terdapat di dalam
gastrointestinal dapat menyebabkan lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan
kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi pada usus yang mengakibatkan
terjadinya anemia pada ikan. Umumnya cacing parasitik pada saluran pencernaan
ikan bersifat patogenik. Perubahan patologi oleh cacing berupa kerusakan yang
disebabkan oleh organ penempel (Akinsanya dan Otubanjo 2006).
Adanya cacing parasitik pada permukaan villi akan memacu terjadi produksi
mukus sebagai bentuk pertahan diri terhadap infestasi cacing parasitik. Menurut
McGavin et al. (2001), hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan
reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada di saluran cerna.
Sel goblet merupakan sel penghasil mukus. Hiperplasia sel goblet menyebabkan
produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen
penyebab kerusakan.
39
Selain produksi mukus yang berlebihan, adanya infestasi cacing parasitik
pada villi usus juga memicu terjadinya proliferasi MMC dan infiltrasi sel radang
EGC. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada
ikan (Roberts 2001). Peradangan berupa infiltrasi EGC merupakan respon yang
diberikan ikan terhadap alergen. EGC merupakan bagian dari respon inflamasi
pada inang yang disebabkan oleh infeksi parasit (Reite 1998 diacu dalam Dezfuli
et al. 2000).
Hasil pemeriksaan mikroskopis, ditemukan radang pada usus. Peradangan
pada dasarnya merupakan suatu mekanisme perlindungan yang reaksinya bisa
merupakan indikasi awal terjadinya suatu penyakit. Keberadaan EGC yang rusak
di dalam jaringan akan membantu merangsang secara kimiawi datangnya
makrofag secara kemotaktik untuk melakukan perbaikan dalam jaringan dan
menghancurkan mikroorganisme patogen yang berada dalam jaringan (Tizard
1982). Peradangan didefenisikan rangkaian reaksi yang terjadi pada suatu jaringan
apapun penyebabnya termasuk yang diakibatkan agen patogen (Nabib dan
Pasaribu 1989).
Perubahan histopatologi berupa kongesti mengindikasikan adanya kenaikan
jumlah darah di dalam pembuluh darah, kapiler darah tampak melebar penuh terisi
eritrosit. Hemoragi mengindikasikan keluarnya darah dari pembuluh darah, baik
keluar tubuh maupun ke dalam jaringan tubuh, tampak adanya bintik hemoragi di
lapisan mukosa pada organ tubuh. Perdarahan yang terbatas disebut hematoma.
Bila perdarahan meluas akan terjadi purpura, dan eritrosit terlihat di luar
pembuluh darah (Robert 2001). Pada penelitian ini, cacing parasitik terbukti
menyebabkan gangguan sirkulasi darah yaitu dengan timbulnya kongesti dan
hemoragi pada usus ikan Bunglon Batik Jepara.
Perubahan pada usus digolongkan menjadi 4 skor lesio berdasarkan derajat
keparahannya. Skor lesio 1 ditandai dengan adanya kongesti, hiperplasia sel
goblet dan edema; skor 2 ditandai dengan hemoragi, peradangan dan nekrosa
ringan; skor 3 ditandai oleh hemoragi, peradangan dan nekrosa sedang; skor 4
ditandai dengan hemoragi, peradangan, dan nekrosa berat.
Skoring terhadap perubahan histopatologi usus diperoleh bahwa skor
terbanyak yang ditemukan adalah 2 yaitu berupa hiperplasia sel goblet,
40
peradangan ringan berupa akumulasi sel radang EGC, hemoragi ringan, dan
proliferasi MMC. Ini menunjukkan bahwa organ usus mengalami kerusakan
derajat ringan.
Ringannya tingkat lesio pada organ usus dipengaruhi oleh jenis dan tingkat
intensitas infestasi cacing parasitik pada ikan. Berdasarkan data pengamatan, jenis
cacing parasitik yang terdapat pada usus ikan Bunglon Batik Jepara terdiri dari
monogenea, digenea dan nematoda. Menurut Dezfuli et al. (2003), kerusakan
yang disebabkan oleh cacing parasitik sangat berkaitan erat dengan intensitas
infeksi dan dalamnya penetrasi parasit pada jaringan inang. Trematoda, cestoda
dan nematoda yang terdapat di usus secara umum tidak menyebabkan kerusakan
parah pada saluran pencernaan vertebrata.