Hasbi Ira Sna Bari

58
1 BAB I STATUS PEDIATRIK I. IDENTIFIKASI Nama : An. LA Umur : 9 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Berat Badan : 23 kg Panjang Badan : 126 cm Lingkar Kepala : 51,5 cm Agama : Islam Bangsa : Indonesia Alamat : Luar kota MRS : 2 Januari 2015 II. ANAMNESIS (Alloanamnesis dilakukan tanggal 6 Januari 2015, diberikan oleh ibu pasien) Keluhan utama : Sakit kepala Keluhan tambahan : Muntah, sembab pada wajah Riwayat Perjalanan Penyakit Sejak 7 hari SMRS pada kedua lengan dan tungkai pasien muncul koreng-koreng berukuran diameter ± 0,5-1 cm yang terasa gatal, demam (+), batuk (-), pilek (-), sakit ternggorokan (-), BAK dan BAB seperti biasa, pasien belum dibawa berobat.

description

bdiwlehnljvahrqodiewkajdmfklwjerife

Transcript of Hasbi Ira Sna Bari

30

BAB I

STATUS PEDIATRIKI. IDENTIFIKASI

Nama : An. LA

Umur: 9 tahun

Jenis Kelamin: Perempuan

Berat Badan: 23 kg

Panjang Badan: 126 cm

Lingkar Kepala: 51,5 cm

Agama: Islam

Bangsa: Indonesia

Alamat: Luar kota

MRS: 2 Januari 2015II. ANAMNESIS

(Alloanamnesis dilakukan tanggal 6 Januari 2015, diberikan oleh ibu pasien)

Keluhan utama: Sakit kepala

Keluhan tambahan: Muntah, sembab pada wajah

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak 7 hari SMRS pada kedua lengan dan tungkai pasien muncul koreng-koreng berukuran diameter 0,5-1 cm yang terasa gatal, demam (+), batuk (-), pilek (-), sakit ternggorokan (-), BAK dan BAB seperti biasa, pasien belum dibawa berobat.

Sejak 4 hari SMRS, keluhan koreng di kedua lengan dan tungkai belum menghilang dan bertambah banyak, demam (+), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-), pasien kemudian dibawa berobat ke Puskemas dan diberikan 3 macam obat, yaitu kapsul hijau-putih, tabet kuning, dan tablet putih, ibu pasien tidak ingat nama obatnya.

Sejak 2 hari SMRS, atau setelah 2 hari mengkonsumsi obat dari Puskesmas, koreng-koreng pada lengan dan tungkai sembuh dengan meningkalkan bekas. Setelah itu, muncul sembab pada wajah, dimulai dari bagian pipi, lalu kedua kelopak mata atas dan bawah. Sembab kemudian terjadi pada tungkai bawah, kaki, kemudian perut. Pasien juga mengeluh sakit kepala. Pasien dibawa ke RS Prabumulih, tekanan darah terukur 180/120 mmHg, kemudian pasien dirawat selama 2 hari, namun ibu pasien tidak diberitahu tentang diagnosis pasien. Saat dirawat, pasien mengalami muntah-muntah, muncul bercak merah pada bagian putih bola mata, nyeri perut, dan BAK sedikit. Selama perawatan, pasien diberikan terapi IVFD KAEN 1B gtt 10 x/menit, Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 gram IV, Injeksi Ondansetron 2 x 2 mg IV, Injeksi Lasix 3 x 15 mg IV, Captopril Tab 3 x 25 mg PO, Paracetamol Tab 3 x 375 mg PO. Hasil pemeriksaan darah rutin, yaitu Hb 11,3 g/dl, Leukosit 5.300/mm3, Hitung Jenis Leukosit 4/0/0/45/43/8 %, Trombosit 261.000/mm3, Waktu Perdarahan 3,2 detik, Waktu Pembekuan 7,1 detik, Ureum 12 mg/dl, Kreatinin 0,6 mg/dl. Pada hari kedua rawatan di RS Prabumulih, sembab mulai berkurang, menyisakan sembab pada kelopak mata, namun keluhan lainnya tidak kunjung membaik, tekanan darah masih tinggi, kemudian pasien dirujuk ke RS Bari Palembang.Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat BAK berwarna merah disangkal. Riwayat ISPA berulang disangkal. Riwayat demam lama disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Riwayat BAK berwarna merah dalam keluarga disangkal. Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

Ibu

: G2P1A0

Masa kehamilan: Aterm

Partus

: Spontan

Ditolong Oleh: Bidan

Tanggal

: 10 April 2005

Berat badan

: 2600 gr

Panjang Badan: Tidak diukur

Riwayat Makanan

ASI: Lahir 6 bulanBubur susu: 5 bulanNasi lembek: 10 bulanNasi biasa: 1 tahun, 3 kali sehariDaging: 1-2 x/bulanTempe: 4-5 x/mingguTahu: 2-3 x/mingguSayuran: 2-3 x/hariBuah: 3 x/minggu

Kesan: Asupan makanan cukup

Riwayat Vaksinasi

BCG: Scar (+)

Polio:(Polio 1, Polio 2, Polio 3, Polio 4)DPT-HB:(DPT-HB 1, DPT-HB 2, DPT-HB 3)Campak:(+)Kesan:Imunisasi PPI lengkap, imunisasi PPI booster tidak diberikan, imunisasi non PPI tidak diberikan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik

Pertumbuhan

BB/U:23/29 x 100% = 79,3%

PB/U:123/133 x 100% = 92,5%

BB/PB:23/23 x 100% = 100%

Kesan:Status gizi baik

Perkembangan

Usia 4 bulan:Tengkurap

Usia 6 bulan:Merangkak

Usia 8 bulan:Duduk

Usia 11 bulan: Berdiri dengan bantuan

Usia 12 bulan:Berbicara satu hingga dua patah kata

Usia 14 bulan:Berjalan tanpa bantuan

Usia 24 bulan:Berbicara beberapa kata yang dapat dimengerti

Kesan:Pertumbuhan sesuai usiaIII. PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan Fisik saat diterima di IGD RS Bari

(Dilakukan tanggal 2 Januari 2015, pukul 22.50 WIB)Pemeriksaan Fisik UmumKeadaan Umum: Tampak sakit sedangKesadaran: E4M6V5Tekanan Darah: 150/100 mmHgNadi

: 90 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukupPernapasan: 24 kali/menit

Suhu

: 36,8 oC

Keadaan Spesifik

Kepala

Mata

:Edema palpebra (+/+), perdarahan subkonjungtiva (+/+), konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)Hidung: Sekret tidak ada, napas cuping hidung ada

Telinga: Sekret tidak adaMulut: Sianosis sirkumoral tidak ada

Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenangLeher

:Pembesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat, kaku kuduk tidak ada, Brudzinsky I & II (-), Kernig sign (-)Thorax

Paru-paru

Inspeksi: Statis dan dinamis simetris, retraksi tidak adaPalpasi : Strem fremitus kanan = kiriPerkusi: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi: Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihatPalpasi : Thrill tidak teraba

Perkusi: Batas jantung dalam batas normalAuskultasi: Bunyi jantung I dan II normal, HR = 90 kali/menit, irama reguler,

murmur dan gallop tidak adaAbdomen

Inspeksi: Datar

Auskultasi: Bising usus (+) normalPalpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera kembaliPerkusi: Timpani

Lipat paha dan genitalia

Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas

Superior: Akral hangat, CRT < 2s, tampak krusta multipel diskret berdiameter 0,5-1 cmInferior: Akral hangat, CRT < 2s, tampak krusta multipel diskret berdiameter 0,5-1 cm

Pemeriksaan Fisik di Bangsal Anak RS Bari(Dilakukan tanggal 6 Januari 2015, pukul 13.15 WIB)Pemeriksaan Fisik UmumKeadaan Umum: Tampak sakit sedangKesadaran: E4M6V5Tekanan Darah: 110/70 mmHgNadi

: 92 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukupPernapasan: 28 kali/menit

Suhu

: 36,7 oC

Keadaan Spesifik

Kepala

Mata

: Edema palpebra (-/-), perdarahan subkonjungtiva (+/+), konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada, pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm, refleks cahaya (+/+)Hidung: Sekret tidak ada, napas cuping hidung ada

Telinga: Sekret tidak adaMulut: Sianosis sirkumoral tidak ada

Tenggorok : Dinding faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenangLeher

:Pembesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat, kaku kuduk tidak ada, Brudzinsky I & II (-), Kernig sign (-)Thorax

Paru-paru

Inspeksi: Statis dan dinamis simetris, retraksi tidak adaPalpasi : Strem fremitus kanan = kiriPerkusi: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi: Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihatPalpasi : Thrill tidak teraba

Perkusi: Batas jantung dalam batas normalAuskultasi: Bunyi jantung I dan II normal HR = 92 kali/menit, irama reguler,

murmur dan gallop tidak adaAbdomen

Inspeksi: DatarAuskultasi: Bising usus (+) normalPalpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera kembaliPerkusi: Timpani

Lipat paha dan genitalia

Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

Ekstremitas

Superior: Akral hangat, CRT < 2s, tampak krusta multipel diskret berdiameter 0,5-1 cmInferior: Akral hangat, CRT < 2s, tampak krusta multipel diskret berdiameter 0,5-1 cmIV. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM(1 Januari 2015 di RS Prabumulih)

Hematologi

Hb

: 11,3 g/dl

Leukosit

: 5.800/mm

Diff. Count

: 4*/0/0/45/43*/8 %

Trombosit

: 261.000/mm3

Waktu Perdarahan: 3,2 detik

Waktu Pembekuan: 7,1 detik

Urinalisis

Berat Jenis: 1,015

pH

: 5,0

Leukosit

: (-)

Nitrit

: (-)

Protein

: (+)*

Glukosa

: (-)

Keton

: (-)

Urobilinogen: (-)

Bilirubin

: (-)

Eritrosit

: (+)*(2 Januari 2015 di RS Bari)

Hematologi

Hb

: 12,0 g/dl

Leukosit

: 5.500/mm

Trombosit: 294.000/mm

Ht

: 35 %

Diff. Count: 0/1/2/74*/20/3

ASTO

: (+)*

CRP

: < 5 mg/L

Protein Total: 5,90 g/dl

Albumin

: 3,42 g/dl

Globulin

: 2,48 g/dl

(5 Januari 2015 di RS Bari)

Hematologi

Kolesterol Total : 148 mg/dl

Urinalisis

Warna

: Kuning

Kejernihan: Jernih

pH

: 6,0

Berat Jenis: 1,020

Glukosa

: (-)

Protein

: (-)

Bilirubin

: (-)

Urobilinogen: (+)

Darah

: (-)

Nitrit

: (-)

Keton

: (-)

Sedimen

: Eritrosit: 0-1/LPB

Leukosit: 0-1/LPB

Epitel: (+)*

Silinder: (-)

Kristal: (-)

V. DIAGNOSIS BANDING

Hipertensi Urgensi ec. GNAPS Sindrom NefrotikVI. DIAGNOSIS KERJA

Hipertensi Urgensi ec. GNAPSVII. RENCANA PEMERIKSAAN

Pemeriksaan komplemen C3 & C4 darah Pemeriksaan elektrolit darahVIII. PENATALAKSANAAN

IVFD D5 NS gtt 10 x/menit (mikro) Injeksi Furosemide 2 x 20 mg IV Injeksi Ranitidin 2 x 25 mg IV Injeksi Metochlorpramide 3 x 3 mg IV Injeksi Ampicilin 4 x 500 mg IV Captopril Tablet 2 x 25 mg PO Paracetamol 3 x 250 mg PO Observasi tanda vital / 24 jam Observasi balance cairan / 24 jamIX. PROGNOSIS

Quo ad vitam

: Bonam Quo ad functionam: Bonam

X. RESUME

Pasien an. LA, usia 9 tahun, perempuan dibawa ke IGD RS Bari Palembang dengan keluhan sakit kepala disertai muntah dan sembab pada bagian wajah. Sejak 7 hari SMRS pada kedua lengan dan tungkai pasien muncul koreng-koreng berukuran diameter 0,5-1 cm yang terasa gatal, demam (+), batuk (-), pilek (-), sakit ternggorokan (-), BAK dan BAB seperti biasa, pasien belum dibawa berobat. Sejak 4 hari SMRS, Sejak 4 hari SMRS, keluhan koreng di kedua lengan dan tungkai belum menghilang dan bertambah banyak, demam (+), batuk (-), pilek (-), sakit tenggorokan (-), pasien kemudian dibawa berobat ke Puskemas dan diberikan 3 macam obat, yaitu kapsul hijau-putih, tabet kuning, dan tablet putih, ibu pasien tidak ingat nama obatnya. Sejak 2 hari SMRS, atau setelah 2 hari mengkonsumsi obat dari Puskesmas, koreng-koreng pada lengan dan tungkai sembuh dengan meningkalkan bekas. Setelah itu, muncul sembab pada wajah, dimulai dari bagian pipi, lalu kedua kelopak mata atas dan bawah. Sembab kemudian terjadi pada tungkai bawah, kaki, kemudian perut. Pasien juga mengeluh sakit kepala. Pasien dibawa ke RS Prabumulih, tekanan darah terukur 180/120 mmHg, kemudian pasien dirawat selama 2 hari, namun ibu pasien tidak diberitahu tentang diagnosis pasien. Saat dirawat, pasien mengalami muntah-muntah, muncul bercak merah pada bagian putih bola mata, nyeri perut, dan BAK sedikit. Selama perawatan, pasien diberikan terapi IVFD KAEN 1B gtt 10 x/menit, Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 gram IV, Injeksi Ondansetron 2 x 2 mg IV, Injeksi Lasix 3 x 15 mg IV, Captopril Tab 3 x 25 mg PO, Paracetamol Tab 3 x 375 mg PO. Hasil pemeriksaan darah rutin, yaitu Hb 11,3 g/dl, Leukosit 5.300/mm3, Hitung Jenis Leukosit 4/0/0/45/43/8 %, Trombosit 261.000/mm3, Waktu Perdarahan 3,2 detik, Waktu Pembekuan 7,1 detik, Ureum 12 mg/dl, Kreatinin 0,6 mg/dl. Pada hari kedua rawatan di RS Prabumulih, sembab mulai berkurang, menyisakan sembab pada kelopak mata, namun keluhan lainnya tidak kunjung membaik, tekanan darah masih tinggi, kemudian pasien dirujuk ke RS Bari Palembang. Riwayat penyakit dahulu berupa riwayat BAK merah, riwayat ISPA berulang, dan riwayat demam lama, semuanya disangkal. Riwayat keluhan yang sama dan riwayat hipertensi di dalam keluarga disangkal. Riwayat kehamilan ibu normal dan riwayat kelahiran anak cukup bulan, tanggal 10 April 2005, spontan, ditolong bidan, dengan BBL 2600 gram dan PBL 47 cm. Riwayat asupan makanan cukup. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan normal. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Status gizi baik. Hasil laboratorium di RS Bari adalah Hb 12,0 g/dl, Leukosit 5.500/mm, Trombosit 294.000/mm, Ht 35 %, Diff. Count 0/1/2/74/20/3, ASTO (+), CRP < 5 mg/L, Protein Total 5,90 g/dl, Albumin 3,42 g/dl, Globulin 2,48 g/dl, Kolesterol Total 148 mg/dl, pada urinalisis warna kuning, jernih, pH 6,0, Berat Jenis 1,020, Glukosa (-) Protein (-), Bilirubin (-), Urobilinogen (+), Darah (-), Nitrit (-), Keton (-), Eritrosit 0-1/LPB, Leukosit 0-1/LPB, Epitel (+), Silinder (-), Kristal (-). Diagnosis banding pada pasien adalah Hipertensi Urgensi ec. GNAPS, dan Sindrom Nefrotik. Diagosis kerja yang ditegakkan adalah Hipertensi Urgensi ec. GNAPS. Renacana pemeriksaan lebih lanjut adalah pemeriksaan komplemen C3 dan C4 pada darah dan pemeriksaan elekrolit darah. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah IVFD D5 NS gtt 10 x/menit (mikro), Injeksi Furosemide 2 x 20 mg IV, Injeksi Ranitidin 2 x 25 mg IV, Injeksi Metochlorpramide 3 x 3 mg IV, Injeksi Ampicilin 4 x 500 mg IV, Captopril Tablet 2 x 25 mg PO, dan Paracetamol Tablet 4 x 250 mg PO. Prognosis pasien ini adalah bonam untuk quo ad vitam dan quo ad functionam.XI. FOLLOW UP

Tanggal 7 Januari 2015

BB : 23 kg, LP : 55 cmS:demam (-), edema palpebra (-), rawatan hari ke-6O:Sensorium :compos mentis

TD:100/80 mmHg

N:102 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

RR:30 x/menit

T:36,8oC

Kepala:edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjungtiva (+/+)

Thorax:simetris, retraksi dada (-)

Cor :ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,

BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).

Abdomen

:datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal

Ekstremitas:

akral hangat, CRT < 2 s, edema (-), krusta multipel diskret (+)

Balance:

I : 1500 cc

O: 1300 cc

IWL: 390 cc

-----------------------------

B: - 190 cc

D: 2,35 cc/kgBB/jam

A:GNAPS dengan Hipertensi (terkontrol)P:-IVFD D5 NS gtt 10 x/menit (mikro) Injeksi Furosemide 2 x 20 mg IV Injeksi Ranitidin 2 x 25 mg IV Injeksi Metochlorpramide 3 x 3 mg IV Injeksi Ampicilin 4 x 500 mg IV Captopril Tablet 2 x 25 mg PO Paracetamol 3 x 250 mg POTanggal 8 Januari 2015

BB : 23 kg, LP : 55 cmS:demam (-), edema palpebra (-), rawatan hari ke-7O:Sensorium :compos mentis

TD:100/60 mmHg

N:98 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

RR:26 x/menit

T:36,0oC

Kepala:edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjungtiva (+/+)

Thorax:simetris, retraksi dada (-)

Cor :ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,

BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).

Abdomen

:datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal

Ekstremitas:

akral hangat, CRT < 2 s, edema (-), krusta multipel diskret (+)

Balance:I : 1200 cc

O: 800 cc

IWL: 390 cc

-----------------------------

B: + 10 cc

D: 1,45 cc/kgBB/jam

A:GNAPS dengan Hipertensi (terkontrol)P:-IVFD D5 NS gtt 10 x/menit (mikro)

Injeksi Furosemide 2 x 20 mg IV Injeksi Ampicilin 4 x 500 mg IV Captopril Tablet 2 x 25 mg PO Paracetamol 3 x 250 mg POHasil Urin Rutin 8 Januari 2015

Warna

: Kuning

Kejernihan: Jernih

pH

: 6,0

Berat Jenis: 1,015

Glukosa

: (-)

Protein

: (-)

Bilirubin

: (-)

Urobilinogen: (+)

Darah

: (-)

Nitrit

: (-)

Keton

: (-)

Sedimen

: Eritrosit: 0-2/LPB

Leukosit: 0-2/LPB

Epitel: (-)

Silinder: (-)

Kristal: (-)Tanggal 9 Januari 2015

BB : 22 kg, LP : 55 cmS:demam (-), edema palpebra (-), rawatan hari ke-8O:Sensorium :compos mentis

TD:100/70 mmHg

N:98 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

RR:24 x/menit

T:36,7oC

Kepala:edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

perdarahan subkonjungtiva (+/+)

Thorax:simetris, retraksi dada (-)

Cor :ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,

BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Pulmo :vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).

Abdomen

:datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal

Ekstremitas:

akral hangat, CRT < 2 s, edema (-), krusta multipel diskret (+)

Balance:I : 1200 cc

O: 1000 cc

IWL: 385 cc

-----------------------------

B: - 185 cc

D: 1,90 cc/kgBB/jam

A:GNAPS dengan Hipertensi (terkontrol)P:-IVFD D5 NS gtt 10 x/menit (mikro)

Captopril Tablet 2 x 12,5 mg PO Paracetamol 3 x 250 mg PO Boleh pulangBAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS (GNAPS)

2.1.1 DEFINISI

Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A -hemolytic streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik yang terjadi secara akut.

GNAPS memberikan gejala nefritik sehingga digolongkan ke dalam sindrom nefritik akut (SNA). SNA adalah kumpulan gejala-gejala nefritis yang timbul secara mendadak, terdiri atas hematuria, proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit), dengan atau tanpa disertai hipertensi, edema, kongestif vaskuler atau gagal ginjal akut sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang lazimnya ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli.

Dalam kepustakaan istilah GNA dan SNA sering digunakan secara bergantian. GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA lebih bersifat klinik. Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain:

SNA dengan hipokomplementemia

Glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS)

Endokarditis bakterialis subakut

Shunt nefritis

Systemic Lupus Eritematous (SLE)

SNA dengan normokomplementemia

Purpura Henoch-Schonlein (PHS)

Nefropati IgA

2.1.2 EPIDEMIOLOGI

GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 67 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,515 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio antara : = 1, 34 : 1,1. Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih banyak dijumpai daripada bentuk simtomatik. Di negara maju, insiden GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik dan pengobatan dini terhadap penyakit infeksi, sedangkan di negara berkembang insiden GNAPS masih banyak dijumpai. Di Indonesia dan Kashmir, GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah, masing-masing 68,9%1 dan 66,9%.

2.1.3 ANATOMI DAN FUNGSI GINJAL

ANATOMI

Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dan 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks, yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimal dan distalis, dan duktus kolektivus, serta di lapisan dalam, medula, yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henle, vasa rekta, dan duktus koligens terminal.

Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang keluar dari aorta; arteri renalis utama membagi menjadi cabang-cabang segmental dalam medulla, dan arteri-arteri ini menjadi arteri ini menjadi arteri interlobaris yang melewati medulla ke batas antara korteks dan medulla. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, yang berjalan sejajar dengan permukaan ginjal. Arteri interlobularis berasal dari arteri arkuata dan membentuk arteriole aferen glomerulus.

Sel-sel otot yang terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (macula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk apparatus jukstaglomerular yang mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medulla (glomerulus jukstamedularis) lebih besar daripada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rekta) ke tubulus dan medulla.

Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan tubulus terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif dapat menyebabkan insufisiensi ginjal.

Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi sebagai mekanisme penyaring ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel endothelium yang mempunyai sitoplasma sangat tipis yang berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis glomerulus (MBG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel mesangium pada satu sis dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran ini mempunyai 3 lapisan, (1) lamina densa yang sentralnya padat electron, (2) lamina rara interna, yang terletak antara lamina densa dan sel-sel endothelial; dan (3) lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel.

Sel epitel viscera menutupi kapiler dan menonjolkan tonjolan kaki sitoplasma, yang melekat pada lamina rara eksterna. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) terletak di antara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrane basalis dan membentuk bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung pada kapiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus, filtrasi, dan pembunangan makromolekul (seperti kompleks imun) dari glomerulus, melalui fagositosis intraseluler atau dengan pengangkutan melalui saluran interseluler ke daerah jukstaglomerulus. Kapsula Bowman, yang mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membran basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimal, dan (2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.

FISIOLOGI

Saat darah melewati kapiler glomerulus, plasmanya difiltrasi melalui dinding kapiler glomerulus. Ultrafiltrat, yang bebas sel, mengandung semua substansi dalam plasma (elektrolit, glukosa, fosfat, urea, kreatinin, peptide, protein dengan berat molekul rendah), kecuali protein (seperti albumin dan globulin) yang mempunyai berat molekul lebih dari 68.000. Filtrat terkumpul di ruang Bowman dan masuk tubulus, dimana komposisinya diubah sesuai dengan kebutuhan tubuh sampai filtrat tersebut meninggalkan ginjal sebagai urin.

Filtrasi glomerulus adalah hasil akhir dari gaya-gaya yang berlawanan melewati dinding kapiler. Gaya ultrafiltrasi (tekanan hidrostatis kapiler glomerulus) berasal dari tekanan onkotik kapiler glomerulus, yang dibentuk oleh perbedaan tekanan antara kadar protein plasma yang tinggi dalam kapiler dan ultrafiltrat yang hampir saja bebas protein dalam ruang Bowman. Filtrasi dapat diubah oleh kecepatan aliran plasma glomerulus, tekanan hidrostatis dalam ruang Bowman, dan permeabilitas dan dinding kapiler glomerulus. Permeabilitas, seperti yang diukur dengan koefisien ultrafiltrat (K1), adalah permeabilitas air pada membran dan luas permukaan glomerulus total yang tersedia untuk filtrasi.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) dapat diperkirakan dengan pengukuran kadar kreatinin serum. Kreatinin berasal dari metabolism otot. Produksinya relatif konstan, dan sekresinya terutama melalui filtrasi glomerulus (meskipun sekresi tubulus mungkin menjadi penting pada insufisiensi ginjal). Berbeda dengan kadar nitrogen urea darah, kadar kreatinin serum dipengaruhi secara minimal oleh beberapa faktor (kesetimbangan nitrogen, keadaan hidrasi) selain fungsi glomerulus. Kreatinin serum berfungsi untuk menilai LFG hanya pada keadaan yang mantap (misalnya, sesaat setelah mulainya gagal ginjal akut penderita dapat mempunyai kadar kreatinin yang normal).

Pengukuran LFG yang tepat disempurnakan dengan mengukur klirens substansi yang secara bebas difiltrasi melewati dinding kapiler dan substansi tersebut tidak direabsorpsi atau disekresi di tubulus. Klirens (Ks) suatu substansi tersebut adalah volume plasma yang bila dibersihkan secara total dari substansi yang dikandungnya, akan menghasilkan sejumlah substansi tersebut yang setara dengan substansi yang diekskresikan dalam urin selama waktu tertentu.

2.1.4 PATOGENESIS

GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 615 tahun dan jarang pada usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi Group A -hemolytic streptococci (GABHS) melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), seperti faringitis dan tonsillitis, atau infeksi kulit (piodermi). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.

Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit kompleks imun. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk penyakit imunologik adalah:

Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik

Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah

Kadar komplemen C3 menurun dalam darah

Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus

Titer antistreptolisin O (ASTO) meningkat dalam darah

Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab) tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit dan lamanya periode laten sehingga kuman streptokokus sukar ditemukan. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M).

Tabel 1. Serotipe GABHS yang berhubungan dengan GNAPS

Serotipe terbanyak pada faringitisSerotipe terbanyak pada piodermi

Tipe M1, 3, 4, 12, 25, 492, 49, 55, 57, 60

Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan dua bentuk antigen yang berperan pada GNAPS yaitu:

1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPr)

NAPr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi ginjal pada fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat meningkatkan proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak membran basalis glomerulus.2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB)

SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama-sama dengan IgG komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial yang dikenal sebagai HUMPS.

Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui :

1. Soluble Antigen-Antibody Complex

Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPr sebagai antigen dan antibodi anti NAPr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.2. Insitu FormationKompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS yang terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk

Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM I dan LFA I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak membran basalis glomerulus.

PATOFISIOLOGIPada GNAPS terjadi reaksi peradangan pada glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini:

1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang di glomerulus.

2. Overexpression dari epithelial sodium channel.

3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat.

2.1.5 GEJALA KLINIK

Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.

GNAPS SIMTOMATIK1. Periode latenPada GNAPS yang khas terdapat periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu; periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schenlein atau Benign recurrent haematuria.2. EdemaMerupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.

Distribusi edema bergantung pada dua faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan aktivitas fisik. Kadang-kadang terjadi edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula.

3. Hematuria Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun, sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik.4. HipertensiHipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang- kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi berkisar antara 4-50%.5. Oliguria Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek.6. Gejala KardiovaskularGejala kardiovaskular yang paling penting adalah kongesti vaskuler yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Kongesti vaskuler dahulu diduga terjadi akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik kongesti tetap terjadi walaupun tidak disertai hipertensi atau gejala miokarditis. Kongesti vaskuler diduga akibat retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.

Edema Paru

Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat kongesti vaskuler. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologi toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi pleura. Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus. Kanan (LDK).

Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%, sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan 52%.1 Bentuk yang tersering adalah kongesti paru. Kardiomegali disertai dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7% edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologi paru yang ditemukan pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut beberapa penulis, perbaikan radiologi paru pada GNAPS biasanya lebih cepat terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah kelainan radiologi paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologi paru disebabkan oleh kongesti paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.

7. Gejala-Gejala Lain Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.

2.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANGURINALISA ProteinuriaSecara kualitatif proteinuria pada GNAPS berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik dan harus dibuktikan dengan biopsi ginjal.

Hematuria MikroskopikHematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan silinder eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya silinder eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab silinder ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk silinder eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.PEMERIKSAAN DARAH Reaksi Serologis Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASTO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASTO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASTO, AD Nase-B dan AH ase yang meningkat, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASTO. Sebaliknya titer ASTO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASTO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit.

Aktivitas Komplemen

Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus. Laju Endap DarahLED umumnya meningkat pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang.2.1.7 DIAGNOSISDiagnosis GNAPS ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

a. Anamnesis

Riwayat ISPA atau infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan sakit kepala. Bisa juga dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS (suatu epidemic).b. Pemeriksaan Fisik

Edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat (penglihatan kabur, kejang, penurunan kesadaran).c. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan urinalisis minimal atau hematuria, proteinuria, silinderuria.

ASTO > 200 IU, titer C3 rendah (< 80 mg/dl), C4 biasanya normal.

Gambaran kimia darah menunjukkan kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal atau meningkat, elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu. Kadar kolesterol biasanya normal, sedang kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit merendah, kadar globulin biasanya normal.

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok/koropeng kulit positif untuk kuman Group A -hemolytic streptococci (GABHS) atau ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria, dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 merendah, yang pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal 6-8 minggu dari onset penyakit.

2.1.8 TATALAKSANA Istirahat Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik.

Diet

Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari). Antibiotik Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari. Simptomatika. Kongesti vaskuler

Hal paling penting dalam menangani kongesti vaskuler adalah pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.

b. Hipertensi

Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut di atas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan.Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat dikombinasikan dengan furosemid (1 3 mg/kgbb).

c. Gagal Ginjal Akut

Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.

PEMANTAUAN

Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala-gejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria 98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%.1 Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.

Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal.

Rujukan kepada Konsultan Ginjal AnakMeskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease, masih terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai GNAPS, sehingga memerlukan rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk tindakan khusus (antara lain biopsi ginjal). Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS

Periode laten pendek

Riwayat penyakit ginjal sebelumnya

Riwayat penyakit ginjal dalam keluarga

Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun

2. Adanya kelainan-kelainan laboratorium yang tidak khas untuk GNAPS

Hematuria makroskopik > 3 bulan

Hematuria mikroskopik > 12 bulan

Proteinuria > 6 bulan

Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan

Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan

Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau anti GBM (+)

2.1.9 KOMPLIKASIKomplikasi yang sering dijumpai adalah :

1. Ensefalopati hipertensi (EH)

EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan memberikan nifedipin (0,25 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.

2. Gagal ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)

Pengobatan konservatif:

Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari

Mengatur elektrolit:

Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%

Bila terjadi hiperkalemia diberikan:

Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari

NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari

K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari

Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 1 g glukosa 0,5 g/kgbb

3. Edema paru

Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka sebagai bronkopneumoni.

4. Posterior leukoencephalopathy syndrome Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

2.1.10 PROGNOSISPenyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 15-30% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.

2.2 KRISIS HIPERTENSI

2.2.1 DEFINISI

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik dan atau diastolik > 95 persentil menurut gender, umur, dan tinggi badan pada > 3 kali pemeriksaan pada saat yang berbeda. Berikut klasifikasi tekanan darah menurut National High Blood Pressure Education Program Working on High Blood Pressure in Children and Adolescent:

Normal : Tekanan darah sistolik atau diastolik < 90 persentil menurut gender, umur, dan tinggi badan anak.

Pra hipertensi : Tekanan darah sistolik atau diastolik 90-95 persentil atau pada anak remaja tekanan darah > 120/80 mmHg meskipun < 95 persentil dianggap prahipertensi.

Hipertensi stadium 1 : Tekanan darah > 95 persentil sampai 99 persentil plus 5 mmHg.

Hipertensi stadium 2 : Tekanan darah > 99 persentil plus 5 mmHg.

Krisis hipertensi merupakan peninggian tekanan darah secara akut yang mengganggu fungsi organ vital tubuh yang dapat mengancam jiwa. Hipertensi krisis didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik > 180 mmHg dan atau diastolik > 120 mmHg atau setiap tingkat hipertensi (tekanan darah sistolik > 1 kali batas atas tekanan darah normal berdasarkan umur dan jenis kelamin.

2.2.2 DIAGNOSIS

Pada keadaan krisis hipertensi yang ditunjukkan dengan naiknya tekanan darah secara mendadak dalam waktu yang cepat dapat timbul ensefalopati hipertensif yang ditandai kejang baik kejang fokal maupun kejang umum, diikuti dengan penurunan kesadaran dari somnolen sampai koma. Manifestasi klinik ini lebih sering terlihat pada hipertensi anak daripada orang dewasa. Manifestasi krisis hipertensi ini sering dikacaukan dengan epilepsi dan bila tekanan darah tidak diukur maka diagnosis krisis hipertensi sebagai penyebab ensefalopati akan terlewatkan begitu saja.

Manifestasi lain ensefalopati hipertensif adalah hemiplegia, gangguan penglihatan dan pendengaran, parese nervus fasialis. Pada pemerikasaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berat berupa perdarahan, eksudat, edema pupil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina. Krisis hipertensi jarang meninggalkan gejala sisa, bila penurunan tekanan darah segera dilaksanakan dengan menggunakan obat antihipertensi secara adekuat. Walaupun demikian, ditemukan atrofi otak pada pemeriksaan computer tomography. Manifestasi klinik krisis hipertensi lainnya adalah dekompensatio cordis dengan edema paru yang ditandai dengan gejala edema, dispnu, sianosis, takikardi, ronkhi, kardiomegali, suara bising jantung dan hepatomegali.

Pada pemeriksaan foto thoraks terlihat pembesaran jantung dengan edema paru. Sedang pada pemeriksaan EKG kadang-kadang dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri. Manifestasi dekompensatio cordis ini lebih sering ditemukan pada bayi. Gangguan faal ginjal selain dapat diakibatkan oleh krisis hipertensi juga dapat ditimbulkan oleh hipertensi berat kronik yang menetap. Umumnya manifestasi klinik hipertensi berat atau krisis hipertensi pada bayi dan anak hampir selalu penyebabnya berkaitan dengan hipertensi sekunder.

2.2.3 TATALAKSANA

Prinsip pengobatan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan darah secepat mungkin dengan obat antihipertensi yang onsetnya cepat, mencegah dan menanggulangi kerusakan organ target, dan mencari penyebab hipertensi. Obat-obat yang bekerjanya paling cepat adalah obat parenteral seperti natrium nitroprusid dan diazoksida tetapi kedua obat ini jarang digunakan.

Natrium nitroprusid diberikan melalui pompa infus dengan dosis yang dititrasi, 0,5-8 mg/kgbb per menit. Penggunaan obat ini memerlukan pengawasan ketat dan biasanya dilakukan di ruang perawatan intensif. Diazoksida diberikan secara intravena dengan dosis 2-5 mg/kgbb dengan bertahap. Respons obat ini sangat cepat dan responsnya sering tidak dapat diprediksi. Obat yang sering digunakan adalah klonidin drip. Nifedipin sublingual/oral mulai banyak digunakan karena pemberiannya mudah, tidak memerlukan ruang perawatan intensif, dan hasilnya cukup memuaskan.

Klonidin diberikan per drip dikombinasi dengan furosemid. Klonidin dilarutkan dalam 100 ml glukosa 5% dalam buret infus dan diberikan secara infus menggunakan mikrodrip. Dosis awal klonidin drip adalah 0.002 mg/kgbb/8 jam atau 12 tetes mikrodrip per menit dengan dosis maksimal 36 tetes mikrodrip per menit (3 kali lipat dosis awal atau 0,006 mg/kgbb/8 jam). Tekanan darah diukur secara berkala setiap 30 menit sampai tekanan darah diastolik < 100 mmHg, dan selanjutnya setiap 1-3 jam sampai tekanan darah stabil.

Secara praktisnya, pemberian klonidin drip adalah sebagai berikut: pada permulaan diberikan klonidin 12 tetes mikrodrip per menit. Bila tekanan darah tidak turun, setiap 30 menit dosis dinaikkan 6 tetes per menit sampai tekanan darah diastolik turun di bawah 100 mmHg dengan dosis maksimal 36 tetes mikrodrip per menit. Klonidin drip dikombinasi dengan diuretik furosemid 1-2 mg/kgbb/kali diberikan 2-3 kali sehari. Bila dengan klonidin drip dosis maksimal tekanan darah diastolik belum turun di bawah 100 mmHg, ditambahkan kaptopril oral dosis 0,3 mg/kgbb/kali 2-3 kali sehari dengan dosis maksimal kaptopril adalah 2 mg/kgbb/kali. Bila tekanan darah turun di bawah 100 mmHg, tetesan klonidin drip diturunkan bertahap sambil diberikan kaptopril oral dengan dosis sama seperti di atas.

Bila tekanan darah belum turun juga, dapat ditambahkan obat beta bloker atau alfa-metil dopa. Nifedipin Nifedipin diberikan sublingual dosis 0.1 mg/kgbb/kali dan bila tekanan darah tidak turun, dosis dinaikkan 0,1 mg/kgbb/kali setiap 30 menit sampai tekanan darah diastolik turun di bawah 100 mmHg dengan dosis maksimal 10 mg/kali. Tekanan darah diukur secara berkala setiap 30 menit sampai tekanan darah diastolik stabil. Secara praktisnya, nifedipin disediakan dalam kemasan pulvis 2,5 mg per bungkus. Pemberian obat diawali dengan nifedipin 0,1 mg/kgbb/kali (1 pulvis atau 2,5 mg) dan bila tekanan darah tidak turun, dosis dinaikkan setiap 30 menit menjadi 5 mg (2 pulvis), kemudian 7,5 mg (3 pulvis) sampai tekanan darah diastolik turun di bawah 100 mmHg dengan dosis maksimal 10 mg/kali (4 pulvis).

Nifedipin dikombinasi dengan diuretik furosemid 1-2 mg/kgbb/kali diberikan 2 kali sehari. Bila tekanan darah diastolik sudah < 100 mmHg, diberikan nifedipin oral dengan dosis 0,25 - 1 mg/kgbb/hari 3-4 kali sehari. Bila dengan nifedipin dosis maksimal tekanan darah diastolik belum turun di bawah 100 mmHg, ditambahkan kaptopril oral dosis 0,3 mg/kgbb/kali diberikan 2-3 kali sehari dengan dosis maksimal kaptopril 2 mg/kgbb/kali. Bila tekanan darah belum turun juga, dapat ditambahkan obat beta bloker atau alfa-metil dopa. Selain pemberian obat antihipertensi, dilakukan juga terapi suportif seperti diet rendah garam, mengatasi manifestasi klinis yang terjadi, serta mencari penyebab hipertensi dan menanggulanginya.

BAB IIIANALISIS KASUS

Dilaporkan, kasus An. LA, perempuan, 9 tahun, dengan diagnosis kerja Hipertensi Urgensi ec. GNAPS. Glomerulo Nefritis Akut Post Streptococcus (GNAPS) merupakan salah satu dari menifestasi Sindrom Nefritik Akut (SNA), yang merupakan kumpulan gejala nefritis yang timbul mendadak, terdiri atas hematuria, proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit), dengan/tanpa gejala hipertensi, edema, kongestif vaskuler, atau gagal ginjal akut, sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang lazimnya ditimbulkan oleh reaksi imunologik pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli.

Berdasarkan anamnesis, pada pasien tidak ditemukan adanya keluhan hematuria (BAK merah) maupun proteinuria (BAK pekat dan berbuih), namun pada pemeriksaan laboratorium urinalisis di RS Prabumulih, ditemukan adanya protein (+) dan eritrosit dalam urin (hematuria mikroskopik). Gejala lain yang didapatkan pada pasien adalah hipertensi dan edema di seluruh tubuh.

Saat dibawa ke RS Prabumulih, tekanan darah pasien terukur 180/120 mmHg, yang menandakan pasien mengalami krisis hipertensi, yakni hipertensi urgensi, sebab tidak ada kerusakan taget organ. Keluhan terkait hipertensi di antaranya adalah sakit kepala, tanpa kerusakan ginjal (Ureum 12 mg/dl dan Kreatinin 0,6 mg/dl). Saat dibawa ke IGD RS Bari, tekanan darah terukur adalah 150/100 mmHg, atau lebih dari 99 persentil pada pasien, menandakan hipertensi grade II berdasarkan tabel persentil (Tabel 3.1), kemudian pasien diterapi dengan Captopril Tablet 2 x 25 mg, kemudian dari hasil follow up, didapatkan tekanan darah per hari berturut-turut adalah 110/70, 100/80, 100/60, dan 100/70.

Tabel 3.1. Peresentil Tekanan Darah PasienAn. LA / Perempuan / 9 tahun

50th10361

90th11776

95th12181

99th12888

Gejala edema didapatkan dari anamnesis, di mana ibu pasien mangatakan sejak 2 hari SMRS pasien mengalami sembab yang hebat pada bagian wajah, yaitu pipi dan kelopak mata, kemudian sembab muncul pada tungkai bawah, kaki, kemudian perut. Pada pasien tidak ditemukan adanya tanda-tanda kongesti vaskuler seperti peningkatan JVP, kardiomegali, atau edema paru. Gangguan sistem saraf pusat seperti penglihatan kabur, kejang, dan penurunan kesadaran tidak ditemukan. Tanda-tanda gagal ginjal akut juga tidak ditemukan, yang ditandai dengan ureum dan kreatinin yang normal.

Berdasarkan kadar komplemen dalam darah, SNA dapat dibedakan menjadi hipokom-plementemia atau normokomplementemia. SNA Hipokomplementemia disebabkan oleh: GNAPS: Riwayat ISPA dan infeksi kulit, sembab wajah saat bangun tidur, terkadang sakit kepala, edema, hipertensi, gejala SSP, ASTO (+) > 200 IU, C3 < 80 mg/dL yang mereda setelah 6-8 minggu. Endokarditis bakterial akut: Riwayat panas lama, adanya penyakit jantung bawaan/didapat yang diikuti hematuria, kardiomegali, takikardia, murmur, hepatomegali. Shunt nefritis: Riwayat pemasangan VP shunt, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan SSP, tekanan intrakranial meningkat. SLE: Ruam pada wajah (butterfly rash), lesi discoid, fotosensitif, ulkus pada mulut/nasofaring, pleuritis, nyeri abdomen, asites, splenomegali, panas lama, berat badan turun, anoreksia, muntah, depresi, psikosis, uji Coombs (+), Sel LE (+).

Bentuk SNA normokomplementemia dapat disebabkan oleh: Purpura Henoch-Schonlein: Ruam pada bokong dan ekstensor ekstremitas bawah, nyeri sendi, gangguan gastrointestinal, hematuria, arthritis, nyeri abdomen, gangguan ginjal, ASTO dapat meningkat, IgM normal. Nefropati IgA: Hematuria makroskopis akut yang dipicu demam oleh ISPA. Bersifat sementara, yang hilang jika demam oleh ISPA mereda, dan muncul kembali jika mengalami demam oleh ISPA. Tidak ada edema, hipertensi, dan tanda GGA. Kadar IgA serum meningkat 10,2%.

Pada pasien ditemukan riwayat infeksi kulit, yaitu koreng-koreng berukuran kecil pada keduan lengan dan tungkai, keluhan sakit kepala, sembab di wajah, dan hipertensi urgensi, dengan ASTO (+). Berdasarkan kriteria yang ditemukan, maka SNA pada pasien bersifat hipokomplementemia dengan penyebab yang paling mungkin adalah GNAPS.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah: Tindakan umum: Bed rest hingga gejala edema dan kongesti vaskular menghilang. Membatasi masukan garam (0,5-1 gram/hari) dan cairan selama masih ditemukan edema, oliguria, atau kongesti vaskular. Membatasi protein (0,5 gram/kgBB/hari) bila kadar ureum di atas 50 g/dl. Tatalaksana GNAPS: Untuk hipertensi dapat diberikan Furosemide 1-2 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis (pada pasien diberikan Injeksi Furosemide 2 x 20 mg IV) hingga edema dan tekanan darah menurun. Dapat pula ditambahkan dengan antihipertensi seperti Captopril 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis (pada pasien diberikan Captopril Tablet 2 x 25 mg PO). Antibiotika yang diberikan pada pasien adalah Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis (pada pasien diberikan Injeksi Ampicilin 4 x 500 mg IV) selama 7 hari untuk eradikasi kuman.

Indikasi pulang pada pasien GNAPS adalah saat keadaan umum pasien telah baik dan gejala-gejala nefritik menghilang. Setelah pulang, pasien disarankan kontrol ke poli khusus ginjal anak minimal 1 kali dalam 1 bulan selama 1 tahun. Apabila dalam pengamatan ASTO masih (+) dan kadar C3 dalam darah masih rendah (< 80 mg/dl) lebih dari 8 minggu sejak onset, atau proteinuria masih (+) lebih dari 6 bulan, hematuria mikroskopis masih dijumpai lebih dari 1 tahun, dan terjadi perburukan fungsi ginjal dalam beberapa minggu atau bulan, maka perlu dikhawatirkan penyakit menjadi kronik dan diperlukan tindakan biopsi ginjal.

Prognosis GNAPS adalah bonam, lebih dari 95% anak sembuh sempurna, hanya 3% yang meninggal akibat komplikasi, dan ada kemngkinan 2% untuk berkembang menjadi gagal ginjal kronik (GGK). Kematian pada fase akut dapat dihindari dengan pengelolaan yang baik pada tanda-tanda gagal ginjal akut (GGA), gagal jantung, dan hipertensi. Kekambuhan pada GNAPS amat sangat jarang terjadi.DAFTAR PUSTAKA

1. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among Indonesian Children. Paediatrica Indonesiana. 2005; 45: 26469.

2. Carapetis JR, Steer AC, Mullolans EK. The Global burden of group A streptococcal diseases. The Lancet Infectious Diseases. 2005; 5: hlm. 68594.

3. Manhan RS, Patwari A, Raina C, Singh A. Acute nephritis in Kashmiri children a clinical and epidemiological profile. Indian Pediatric. 1979; 16: 101521.

4. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric Nephrology, Sixth Completely Review, Updated and Enlarged Edition. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2008; hlm. 74355.

5. Bhimma R, Langman CB: Acute Poststreptococcal Glomerulonephritis Diunduh dari: http://medicine.medscape.com/article/980685.overview6. Rivera F, Anaya S, PerezAlvarez J, de la Niela, Vozmediano MC, Blanco J. HenochSchonlein nephritis associated with streptococcal infection and persistent hypocomplementemia: a case report. J Med Case Reports. 2010; 4 (1): 50.

7. Ahnsy, Ingulli E. Acute poststreptococcal glomerlonephritis : an update Curr Opin. Pediatric. 2008; 20 (2): 15762.

8. Batsford SR, Mezzano S, Mihatsch Metal. Is the nephritogenic antigen in poststreptococcal glomerulonephritis pyrogenic exotoxin in (SPEB) or GAPDH. Kidney Int. 2005; 68: 11209.

9. Yoshizawa N, Yamakami K, Fujino Metal. Nephritis associated plasmin receptor and acute poststreptococcal glomerulonephritis characterization of the antigen and associated immune response. J Amer Soc Nephrol. 2004; 15: 178593.

10. Parra G. Romero M, HenriquezRoche C, et al. Expression of adhesion moleculas in poststreptococcal glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant. 1994; 9: 14121417.