SNA Pada Anak
-
Upload
atep-lutpia-pahlepi -
Category
Documents
-
view
101 -
download
6
description
Transcript of SNA Pada Anak
SNA pada anak
12:11 Edit This 0 Comments »
BAB I
PENDAHULUAN
Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel
glomerulus). Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap
akhir dan tingginya angka morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar
glomerulonefritis bersifat kronik dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar
tampak bersifat imunologis. Glomerulonefritis menunjukkan kelainan yang terjadi pada
glomerulus, bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain seperti misalnya tubulus, jaringan
interstitial maupun sistem vaskulernya.
Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki
dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini
umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.
Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam
penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh
suatu mekanisme imunologis. Sedangkan istilah akut (glomerulonefritis akut) mencerminkan
adanya korelasi klinik selain menunjukkan adanya gambaran etiologi, patogenesis, perjalanan
penyakit dan prognosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom Nefritis Akut (SNA) adalah sekumpulan gejala-gejala yang timbul secara
mendadak, terdiri atas hematuria, proteinuria, silinderuria (terutama silinder eritrosit), dengan
atau tanpa disertai hipertensi, edema, gejala-gejala dari kongesti vaskuler atau gagal ginjal
akut, sebagai akibat dari suatu proses peradangan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologik
pada ginjal yang secara spesifik mengenai glomeruli. Penyakit ini paling sering diakibatkan
oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, oleh karena itu istilah sindrom nefritis akut
sering disamakan dengan glomerulonefritis akut.
Sindrom nefritis akut merupakan kelainan ginjal yang disebabkan oleh respon imun yang
dipicu oleh inflamasi dan proliferasi jaringan glomerular, sehingga mengakibatkan kerusakan
pada membran basal, mesangium, atau endotel kapiler.
Gambar 1. Struktur Anatomi dari Ginjal
Etiologi
1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus (Glomerulonefritis
Akut Pasca Streptokokus).
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus, misalnya strep
throat (radang tenggorokan). Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus.
Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri
streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus
selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu
(rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian
antibiotik akan efektif.
b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis subakut
dan Shunt Nephritis.
Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal dan sistemik,
endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus. Virus :
Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan parasit :
Toxoplasma gondii, filariasis, dll.
2. Penyakit multisistemik, antara lain :
a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS)
3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain :
a. Nefropati IgA
Patofisiologi
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum penderita.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama
kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen
daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan
gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah
infeksi kuman streptococcus.
Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS adalah suatu
glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-imun in situ diduga
sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang
telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang
kemudian mengendap di ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini
diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen. Pada pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada
glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat menahan
terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi kuman. Protein M terikat pada
antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG antibodi yang terdapat dalam sirkulasi.
Gambar 2. Patofisiologi Kerusakan Ginjal
Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan ditemukannya endapan C3
dan IgG pada subepitelial basal membran. Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta
normalnya komplemen pada jalur klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen
melalui jalur alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit
dan neutrofil, dan menghasilkan infiltrat akibat adanya proses inflamasi dan selanjutnya
terbentuk eksudat. Pada proses inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang
mengalami injuri dan proliferasi dari sel mesangial.
Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli
mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus
dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan
auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis
ginjal.
Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau
alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan
terjadinya :
1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga
menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat
kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti
vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali),
azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia
semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang
bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal
semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya hipertensi.
Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan
aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia
dan hipertensi.
Bentuk Klinik
1. SNA dengan hipokomplemenemia, dapat asimtomatik atau simtomatik, termasuk
kelompok ini adalah :
a. Glomerulonefritis Akut pasca infeksi streptokokus.
b. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik, seperti :
i. Endokarditis bakterialis akut / subakut
ii. Shunt nefritis
c. Glomerulonefritis proliferatif membranosa
d. Nefritis yang berhubungan dengan Lupus Eritematosus Sistemik (Nefritis Lupus)
2. SNA dengan normokomplemenemia (dapat asimtomatik atau simtomatik). Termasuk
kelompok ini adalah :
a. Nefritis yang berhubungan dengan PHS (Purpura Henoch-Schonlein)
b. Nefropati IgA
Gejala Klinik
SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul
adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan
kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan
di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi
hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung
darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri
abdomen, dan malaise. Gejalanya :
- Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30% ditemukan
pada anak-anak.
- Oliguria
- Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak ; edema bisa ditemukan
sedang sampai berat.
- Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
- Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
- Flank pain
- Kadang disertai dengan gejala spesifik ; mual dan muntah, purpura pada Henoch-
Schoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan systemic lupus erythematosus (SLE).
Pemeriksaan Fisik :
Pada pasien dengan SNA, pemeriksaan fisik dan tekanan darah kadang dalam batas normal;
tetapi kebanyakan pada pemeriksaan ditemukan adanya edema, hipertensi, dan oliguria.
- Edema sering pada daerah muka, terutama daerah periorbital
- Hipertensi sering ditemukan pada 80% kasus SNA
- Hematuria, baik pada pemeriksaan makroskopik atau mikroskopik
- Skin rash
- Kelainan neurologis ditemukan pada kasus hipertensi malignant atau hipertensi
encepalopaty.
- Artritis
- Tanda-tanda lain :
-Faringitis
-Impetigo
-ISPA
-Murmur (menunjukan adanya endokarditis)
-Nyeri perut
-Kenaikan berat badan
-Purpura palpebra pada pasien dengan Henoch Schoenlein purpura
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium
· Darah Lengkap
o Hemoglobin bisa menurun karena hemodilusi
o Adanya pleocitosis jika disebabkan oleh infeksi
· Elektrolit, BUN dan kreatinin ( untuk mengetahui fungsi filtrasi glomerolus): BUN dan
kreatinin akan menunjukan kompresi ginjal.
· Urinalisa
o Urin gelap
o Berat jenis urin lebih dari 1020 osm
o Eritrosit ditemukan dalam urin
o Proteinuria
o Silinderuria
Gambar 3. Gross Hematuria (kiri), urin tampak seperti air cucian daging
Gambar 4. Silinder Leukosit
Gambar 5. Silinder Eritrosit
Gambar 6. Silinder Granular (Protein)
Gambar 7. Silinder Lemak
· Test Streptozyme ; dengan menggunakan banyak antigen streptokokus yang sensitif untuk
screening tetapi tidak secara kuantitatif.
· ASTO (anti streptolysin type O), Secara kuantitatif titer meningkat pada 60-80% pasien
SNA (>dari 100 kesatuan Todd)
o Mulai meningkat pada 1-3 minggu pertama, mencapai puncak pada 3-5 minggu berikutnya,
dan kembali normal pada minggu ke 6
o Anti streptolysin type O (ASTO) tidak berhubungan dengan berat, lama dan prognosis dari
penyakit ginjal
o Peningkatan titer anti streptolision O (ASTO) dapat menyatakan adanya antibodi terhadap
organisme streptokokus.
· Komplemen (C1, C3, C4 dan CH50); pada GNAPS C3 menurun < 50 mg/dl.
· Antibodi DN-ase B meningkat
· Sedimen eritrosit biasanya meningkat
· Kreatinin plasma atau urin lebih dari 40 µg/dL
· Kultur darah :
o Pada pasien dengan demam, imunosupresi, ada riwayat penggunaan obat IV, kateter.
o Pada kultur darah bisa ditemukan hipertriglyceridemia, penurunan laju filtrasi glomerolus,
atau anemia.
Pencitraan
· Radiografi :
o Foto thorak diperlukan pada pasien dengan batuk, dengan atau tanpa hemoptysis.
o Foto abdomen diperlukan pada suspek abses viseral, atau abses dada.
· Echocardiografi pada pasien dengan murmur, atau positif adanya endokarditis pada kultur
darah atau efusi perikardial.
· Ultrasonografi ginjal untuk mengevaluasi ukuran ginjal, untuk mengetahui adanya fibrosis.
Ukuran ginjal kurang dari 9 cm menandakan adanya luka dan kemungkinan kecil untuk
kembali seperti semula.
Diagnosis
Dasar Diagnosis :
1. SNA hipokomplemenemia :
a. Hematuria (makroskopik atau mikroskopik), proteinuria, silinderuria (terutama silinder
eritrosit) dengan atau tanpa edema, hipertensi, oligouria yang timbul secara mendadak
disertai merendahnya kadar sejumlah komplemen.
b. SNA hipokomplemenemia asimtomatik
Hanya menunjukan kelainan urinalisis minimal (hematuria mikrokopik, silinder eritrosit,
proteinuria trace atau +1) tanpa gejala lain.
c. SNA dengan hipokomplemenemia simtomatik
Adanya kelainan urinalisis yang nyata dengan gejala-gejala.
2. SNA dengan normokomplemenemia
Adanya gejala-gejala nefritis akut dengan kadar komplemen normal.
Diagnosis Banding
o Hematuria idiopatik
o Nefropati IgA
o Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
o Nefritis herediter
o Sistemik Lupus Eritematosus
o Henoch-Scholein Purpura
Langkah Diagnostik
Cari penyebab dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang :
1. Penyebab SNA dengan hipokomplemenemia :
a. GNAPS
Dicurigai sebagai penyebab SNA tanpa gejala bila pada anamnesis dijumpai riwayat kontak
dengan keluarga yang menderita GNAPS (pada suatu epidemi). Kelainan urinalisis minimal.
ASTO > 200 IU. Titer C3 rendah (80mg/dL). Dicurigai sebagai penyebab SNA dengan gejala
bila ditemukan riwayat ISPA atau infeksi UTI seperti cucian daging, dengan atau tanpa
disertai oligouria. Sembab pada muka sewaktu bangun tidur, kadang-kadang ada keluhan
sakit kepala.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya edema, hipertensi, kadang-kadang gejala
kongestif vaskuler (sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem
saraf pusat (penglihatan kabur, kejang, penurunan kesadaran). Hasil urinalisis menunjukan
hematuria, proteinuria (2+), silinderuria. Gambaran kimia darah menunjukan kadar BUN,
kreatinin serum, dapat normal atau meningkat; Elektrolit darah (Na, K, Ca, P, Cl) dapat
normal atau sedikit rendah; Kadar Globulin biasanya normal.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan tenggorok / keropeng kulit positif
untuk kuman Streptococcus Beta Hemolyticus atau ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria,
dan silinderuria. Kadar CH50 dan C3 rendah (<80 mg/dL), yang pada evaluasi lebih lanjut
menjadi normal. Sekitar 6-8 minggu dari onset penyakit, kadar C4 biasanya normal.
Gambar 8. Pada biopsi ginjal didapatkan adanya proliferasi sel mesangial.
b. Endokarditis bakterialis subakut
Dicurigai sebagai penyebab SNA bila pada anamnesis didapatkan riwayat panas lama, adanya
penyakit jantung kongenital / didapat yang diikuti oleh kemih berwarna seperti coca cola
(hematuria makroskopik). Pada pemeriksaan fisik ditemukan panas, rash, sesak,
kardiomegali, takikardia, suara bising jantung, hepatosplenomegali, artritis, hipertensi jarang
dijumpai.
Pada urinalisis, dapat ditemukan hematuria, proteinuria, atau kelainan pada sedimen urine,
berupa hematuria mikroskopik, lekosituria, silinderuria. Fungsi ginjal lazimnya mengalami
gangguan (BUN dan kreatinin serum). Gambaran darah tepi berupa leukositosis. LED
meningkat. CRP (+), titer komplemen C3 dan C4 menurun, kadang-kadang ditemukan pula
peningkatan titer faktor reumatoid, kompleks imun dan krioglobulin dalam serum. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan temuan di atas disertai kultur darah (+) terhadap kuman penyebab
infeksi dan pada ekokardiografi dijumpai vegetasi pada katup jantung.
c. Shunt Nephritis
Diagnosis dibuat berdasarkan adanya riwayat pemasangan shunt atrio-ventrikulo-atrial /
peritoneal untuk penanggulangan hidrosefalus, panas lama, muntah, sakit kepala, gangguan
penglihatan, kejang-kejang, penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
hidrosefalus dengan shunt yang terpasang, suhu tubuh meninggi, hipertensi, edema, kadang-
kadang dengan asites dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Urinalisis
menunjukkan hematuria, proteinuria, silinderuria, fungsi ginjal biasanya terganggu. Kadar
total protein dan albumin serum biasanya rendah. Kultur yang diperoleh dari shunt yang
terinfeksi (+).
d. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan :
Keluhan yang dijumpai pada anamnesis dapat berupa : panas lama, berat badan turun,
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, depresi, psikosis, kejang, sakit sendi, ruam pada
kulit.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan : Alopesia, butterfly rash, discoid lupus
photosensitivity, ulkus pada mulut / nasofaring, pleuritis, perikarditis, hepatitis, nyeri
abdomen, asites, splenomegali.
Pemeriksaan laboratorium :
Darah tepi : Anemia normositik normokrom, retikulositosis, trombositopenia, leukopenia,
waktu protrombin / waktu tromboplastin partial biasanya memanjang. Imunoserologis : Uji
Coomb (+), Sel LE (+).
Diagnosis dari nefritis lupus ditegakkan berdasarkan kelainan diatas, dengan gambaran biopsi
ginjal, mulai dari yang ringan berupa GN proliferatif fokal ringan sampai yang berat berupa
proliferatif difusa.
Gambar 9. Pada histopatologi terdapat gambaran bentuk bulan sabit pada sebelah dalam
kapsula Bowman dan terdiri dari : sel-sel epitel kapsul yang berproliferasi, fibrin, bahan
seperti membrana basalis, serta makrofag. Rangsangan untuk pembentukan bulan sabit
diduga adalah endapan fibrin dalam ruang Bowman, sebagai akibat nekrosis / gangguan
dinding kapiler glomerolus.
2. Penyebab SNA dengan normokomplemenemia :
a. Purpura Henoch-Schonlein (PHS)
Diagnosa PHS sebagai peyebab SNA ditegakkan berdasarkan riwayat ruam pada kulit, sakit
sendi dan gangguan gastrointestinal (mual, muntah, nyeri abdomen, diare berdarah atau
melena) dan serangan hematuria.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai edema, hipertensi, ruam pada daerah bokong, bagian
ekstensor dan ekstremitas bawah, athralgia/arthritis, nyeri abdomen. Pada urinalisis dijumpai
hematuria, proteinuria, dan silinderuria. BUN dan kreatinin serum dapat normal atau
meningkat tergantung dari beratnya kerusakan ginjal. Pada kerusakan ginjal berat dapat
terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar
ureum dan kreatinin serum. Kadar protein total, albumin, kolesterol, dapat normal, atau
menyerupai gambaran sindroma nefrotik. ASTO biasanya normal sedang kadar C3 dan C4
tidak merendah. Uji anti nuclear antibodies negatif. Trombosit, waktu protrombin, dan
tromboplastin normal. Pada PHS dengan kelainan ginjal berat, biopsi ginjal perlu dilakukan
untuk melihat morfologi dari glomeruli, pengobatan dan untuk keperluan prognosis.
Gambar 10. Penderita PHS
b. Nefropati IgA
Kecurigaan kearah nefropati IgA pada seorang anak dibuat bila timbulnya serangan
hematuria makroskopik secara akut dipicu oleh suatu episode panas yang berhubungan
dengan ISPA. Hematuria makroskopik biasanya bersifat sementara dan menghilang bila
ISPA mereda, namun akan berulang kembali bila penderita mengalami panas yang berkaitan
dengan ISPA. Diantara 2 episode, biasanya penderita tidak menunjukkan gejala, kecuali
hematuria mikroskopik dengan proteinuria ringan masih ditemukan pada urinalisis. Edema,
hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal biasanya tidak ditemukan. Kadar IgA serum biasanya
meningkat pada 10-20% dari jumlah kasus yang telah dilaporkan, kadar komplemen (C3 dan
C4) dalam serum biasanya normal. Diagnosis pasti biasanya dibuat berdasarkan biopsi ginjal.
Gambar 11. (Kiri) Gambaran fluoresen dari deposit IgA di sel Mesangial. (Kanan) Deposit
IgA dengan pewarnaan PAS.
Penatalaksanaan
Semua SNA simtomatik perlu mendapat perawatan. Pengobatan ditujukan terhadap penyakit
yang mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya.1
· Tindakan umum :
Istirahat di tempat tidur sampai gejala edema dan kongesti vaskuler (dispneu, edema paru,
kardiomegali, hipertensi) menghilang.
· Diit :
Masukan garam (0,5-1 gr/hari) dan cairan dibatasi selama edema, oligouria atau gejala
vaskuler dijumpai. Protein dibatasi (0,5/KgBB/hari) bila kadar ureum diatas 50 gr/dL.
· Pengobatan terhadap penyakit penyebab :
1. GNAPS tanpa komplikasi berat :1
· Diuretika
Untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam, diberikan
furosemide (1-2) mg/KgBB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan tekanan darah
turun.
· Antihipertensif
Bila hipertensi dalam derajat sedang samapi berat disamping pemberian diuretika
ditambahkan obat antihipertensif oral (propranolol atau kaptopril).
· Antibiotika
Penisilin Prokain (PP) 50.000 U/KgBB/hari atau eritromisin oral 50 mg/KgBB/hari dibagi 3
dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman.
2. GNAPS dengan komplikasi berat :
· Kongesti vaskuler (edema paru, kardiomegali, hipertensi)
o Pemberian oksigen
o Diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/KgBB/kali)
o Antihipertensif oral (kaptopril 0,3 mg/KgBB/kali 2-3 kali pemberian/hari)
o Bila disertai gagal jantung kongestif yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian digitalis
· Gagal Ginjal Akut
o Ensefalopati hipertensif
Labetalol (Normodyne)2
Dosis dewasa ; 20mg IV microdrip labetalol hydrochloride injeksi perlahan selama 2 menit
Dosis anak ; dosis yang disarankan 0.4 -1mg/kg/jam IV; tidak lebih dari 3 gr
o Glomerulonefritis progresif cepat (GN kresentik) : merupakan bentuk GNAPS berat yang
ditandai serangan hematuria makroskopik, perburukan fungsi ginjal yang berlangsung cepat
dan progresif, dan pada biopsi ginjal dijumpai gambaran glomerular crescents.
o Disamping penanggulangan hipertensi dan gagal ginjal diberikan pula pulse
methylprednisolone :
Ø 15 mg/KgBB metil prednisolone (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-90
menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau : TTV dan kadar elektrolit.
Ø Lanjutkan dengan metilprednisolon oral 2 mg/KgBB/hari selama 1 bulan.
Ø Lalu dosis prednisolone diberikan secara alternate 2 mg/KgBB/2 hari selama 1 bulan,
kemudian dilanjutkan separo dosis dengan interval 1 bulan, setelah itu diberikan 0,2 mg/Kg/2
hari selama 1 bulan, lalu obat dihentikan.
o Tindak lanjut :
Ø Timbang berat badan 2 kali seminggu
Ø Ukur masukan cairan dan diuresis setiap hari
Ø Ukur tekanan darah 3 kali sehari selama hipertensi masih ada, kemudian 1 kali sehari bila
tekanan darah sudah normal.
Ø Pemeriksaan darah tepi dilakukan pada saat penderita mulai dirawat, diulangi 1 kali
seminggu atau saat penderita mau dipulangkan. Urinalisis minimal 2 kali seminggu selama
perawatan. Perlu dilakukan biakan urine untuk mencari kemungkinan adanya ISK. Bila
ditemukan, diobati sesuai dengan hasil sensitifitas.
Ø Kimia darah saat dirawat dan waktu dipulangkan. Pada penderita dengan komplikasi berat
pemeriksaan kimia darah, terutama ureum/kreatinin dan elektrolit lebih sering dilakukan.
Pemeriksaan EKG perlu dilakukan secara serial, sedang foto toraks diulangi bila gejala-gejala
kongesti vaskuler sudah menghilang atau pada saat penderita mau dipulangkan. Pemeriksaan
funduskopi secara serial perlu dilakukan bila penderita datang dengan hipertensi berat atau
dengan gejala ensefalopati.
Ø Biopsi ginjal dilakukan berdasarkan indikasi terjadinya perburukan faal ginjal secara cepat
dan progresif.
o Idikasi Pulang :
Ø Keadaan penderita baik, gejala-gejala SNA menghilang.
Ø Pengamatan lebih lanjut perlu dilakukan di poli khusus ginjal anak minimal 1 kali 1 bulan
selama 1 tahun. Bila pada pengamatan ASTO (+) dan C3 masih rendah setelah 8 minggu dari
onset, proteinuria masih + setelah 6 bulan dan hematuria mikroskopik masih dijumpai setelah
1 tahun, atau fungsi ginjal menurun secara insidius progresif dalam waktu beberapa minggu
atau bulan kemungkinan penyakit jadi kronik, perlu dilakukan biopsi ginjal.
3. Endokarditis bakterialis akut/subakut :
· Pengobatan ditujukan terhadap endokarditis dan penyakit yang ditimbulkannya.
4. Shunt Nephritis :
· Pengobatan ditujukan terhadap kuman penyebab dan mengangkat shunt yang terinfeksi
terhadap komplikasi dari shunt nephritis.
o AB diberikan sesuai dengan tes sensitivitas
o Atasi gejala yang berkaitan dengan peningkatan tekanan intra kranial.
o Bila dijumpai gejala ensefalopati hipertensif atau GGA, segera diatasi.
· Indikasi Pulang :
o Keadaan anak baik, gejala-gejala dari nefritis minimal, komplikasi yang terjadi terkontrol
dengan baik. Untuk evaluasi, perlu kontrol berobat jalan ke poli khusus ginjal / neurologi
anak paling kurang sekali sebulan.
5. Nefritis yang berhubungan dengan Lupus Eritematosus :
· Pengobatan terdiri dari pemberian kortikosteroid (prednisolone) 2 mg/KgBB/hari dibagi 3
dosis selama 4 – 6 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sedikit demi sedikit
sampai mencapai dosis 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/KgBB/hari. Dosis ini dipertahankan
sampai 4-6 minggu. Setelah itu diberikan secara alternatif.
· Bila selama perawatan penderita menunjukan perburukan fungsi ginjal secara progresif atau
dengan sindroma nefrotik diobati dengan pulse methyl prednisolone therapy, diuretika dan
obat anti hipertensif.
· Indikasi pulang :
Keadaan umum baik, gejal-gejala nefritis membaik atau menunjukan kelainan minimal. Perlu
kontrol berobat ke poli khusus ginjal anak.
6. Nefritis yang berhubungan dengan Purpura Henoch Schonlein :
· Steroid diberikan dalam waktu pendek untuk menghilangkan gejala nyeri perut. Penderita
PHS berat (dengan manifestasi ginjal berat : NS, GGA, dan hipertensi) membutuhkan
pengawasan yang ketat. Biopsi ginjal perlu dilakukan pada keadaan ini. Obat yang digunakan
dalam hal ini adalah : prednisolone oral, methrylprednisolone bolus intravena, obat-obat
sitostatika (siklofosfamid, azatiopin), antikoagulan, antiplatelet, dan plasmaforesis, disamping
penanggulangan GGA dan hipertensi.
· Tindak lanjut :
o Semua pasien dengan HSP yang dirawat perlu dilakukan pengamatan terhadap tekanan
darah, urinalisis dan faal ginjal. Bila selama dalam perawatan dijumpai hipertensi dan
perburukan faal ginjal secara progresif, merupakan indikasi untuk biopsi ginjal.
· Indikasi pulang :
o Keadaan umum baik, urinalisis normal atau menunjukan kelainan minimal, tekanan darah
dan fungsi ginjal normal. Dianjurkan kepada penderita untuk kontrol berobat jalan ke poli
khusus ginjal anak.
7. Nefropati IgA :
· Pengobatan yang spesifik untuk nefropati : IgA asimtomatik belum ada. Pengobatan hanya
berupa pemerian antibiotika bila dijumpai ISPA atau tonsilitis untuk mengurangi episode dari
hematuria makroskopik.
· Tindak lanjut :
o Penderita nefropati IgA tidak perlu dirawat, namun memerlukan pemantauan terus menerus
terhadap kemungkinan terjadinya hipertensi dan perburukan fungsi ginjal.
Komplikasi
· Fase Akut :
o Gagal Ginjal Akut
Perkembangan kearah sklerosis jarang, bagaimanapun juga pada 0.5%- 2% pasien dengan
Glomerulonefritis Akut tahap perkembangan kearah gagal ginjal periodenya cepat.
o Komplikasi lain, yang berhubungan dengan kerusakan organ pada sistem saraf pusat dan
kardiopulmo, bisa berkembang dengan pasien hipertensi berat, encephalopati, dan pulmonary
edema. Komplikasinya antara lain :
§ Retinopati hipertensi
§ Encephalopati hipertensif
§ Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload)
§ Glomerulonefritis progresif
· Jangka Panjang :
o Abnormalitas urinalisis (microhematuria) selama setahun
o Gagal ginjal kronik
o Sindrom nefrotik
Prognosis
Sebagian besar penderita (>95 %) mengalami penyembuhan yang sempurna, tetapi 5%
diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat. Diuresis akan
menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit dengan menghilangnya
sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi normal kembali.
Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam
waktu 3-4 minggu. Potter dan kawan-kawan menemukan kelainan sediment urine yang
menetap (proteinuria dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17
tahun di Trinidad.Gejala fisis menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah menjadi
normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau makroskopik dapat menetap
selama 4-6 minggu. LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine
dan dapat menetap untuk beberapa bulan.
Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi
umumnya tidak mengubah proses penyakitnya. Penderita yang tetap menunjukkan kelainan
urine selama 1 tahun dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun dapat
terjadi penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur progresivitas penyakit ini,
karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang menjadi kronis. Diperkirakan 95 % akan
sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit ini dan 2% menjadi
glomerulonefritis kronis.
1. SNA dengan hipokomplemenemia tergantung pada penyebabnya :
a. GNAPS. Prognosis baik, 95% sembuh sempurna, 3% meninggal karena komplikasi, 2%
berkembang menjadi GGK.
b. Nefritis yang berhubungan dengan endokarditis bakterialis akut/subakut. Prognosis baik
bila pengobatan terhadap penyebab dilakukan secara intensif dengan antibiotika yang cocok
dan kadar komplemen kembali normal. Bila pengobatan terlambat, dapat terjadi gagal ginjal.
c. Shunt Nephritis. Prognosis umumnya baik, 50% dari kasus dilaporkan sembuh, bila shunt
yang mengalami infeksi segera diangkat dan antibiotika yang cocok segera diberikan, 20%
meninggal disebabkan oleh penyakit neurologik primer, atau komplikasi pembedahan,
sisanya dengan gejala sisa berupa gangguan faal ginjal, hematuria dan proteinuria.
d. Nefritis Lupus Eritematosus Sistemik (NEFLES). Prognosis berkorelasi dengan presentasi
klinik saat serangan dan kelainan histologi dari glomeruli. Penderita NEFLES dengan
kelainan minimal, tanpa gagal ginjal, dan gambaran glomeruli normal atau proliferatif
mesangial ringan biasanya prognosis baik. Penderita dengan nefritis berat (urine nefritik,
hipertensi dan gagal ginjal) dengan kelainan glomeruli proliferasi difus memiliki prognosis
buruk. Prognosis lebih buruk lagi bila terjadi pula sindroma nefritik-nefrotik, gagal ginjal
berat dengan gambaran biopsi ginjal berupa GN proliferatif difus dengan bulan sabit.
2. SNA dengan normokomplemenemia :
a. Nefritis Henoch Schonlein (NHS)
Prognosis bergantung pada berat dan luasnya keterlibatan ginjal saat serangan penyakit. Pada
anak dengan hematuria dengan/tanpa proteinuria ringan, prognosis baik, dimana kelainan
yang dijumpai pada pemeriksaan urinalisis akan menghilang sekitar 2-4 bulan, meskipun
pengamatan jangka panjang menunjukan 5-10% dari penderita timbul gagal ginjal kronik.
Penderita dengan gambaran SNA dengan sindroma nefrotik saat serangan, kelainan urinalisis
terus berlanjut, atau berkembang menjadi gagal ginjal kronik stadium lanjut. Setengahnya
dapat terjadi GGK dalam beberapa bulan pertama dari onset, setengahnya lagi dapat terjadi
GGK pada sekitar 5 sampai 15 tahun pengamatan. Indikator buruknya prognosis meliputi :
dijumpainya sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal saat serangan dan terdapatnya
gambaran Glomerular Crescents (bulan sabit) pada biopsi ginjal.
b. Nefritis IgA
Prognosis umumnya baik. Pada pengamatan dalam jangka waktu yang singkat tidak pernah
dijumpai terjadinya gagal ginjal progresif, meskipun kelainan urine, termasuk hematuria
berulang biasanya menetap. Pada pengamatan jangka panjang yang dilakukan dari 1 sampai
15 tahun, angka kejadian gagal ginjal kronik dijumpai antara 5-9%, dikaitkan dengan
dijumpainya gambaran Glomerular Crescents pada biopsi ginjal.
BAB III
KESIMPULAN
· Sindrom Nefritis Akut (SNA) / Glomerulonefritis Akut (GNA) adalah suatu sindrom yang
ditandai dengan gejala hematuria, hipertensi, edema, dan berbagai derajat insufisiensi ginjal.
· SNA disebabkan oleh faktor infeksi (paling sering diakibatkan oleh glomerulonefritis akut
pasca streptokokus), penyakit multisistemik (vaskulitis, SLE, Henoch-Schonlein Purpura,dll),
penyakit ginjal lain dan Nefropati IgA.
· Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit, sehingga pencegahan dan
pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan kejadian penyakit ini.
Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
· Gejala : edema di wajah terutama kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai
dan bisa menjadi hebat, berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena
mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi,
demam, nyeri abdomen, dan malaise.
· Pemeriksaan penunjang :
o Laboratorium : Darah lengkap, Urinalisa, ASTO meningkat, antibodi Dn-ase meningkat,
C3 menurun, elektrolit, BUN, kreatinin
o Radiografi : foto thorax, EKG, USG ginjal
· Dasar Diagnosis
o SNA hipokomplemenemia : Hematuria (makroskopik atau mikroskopik), proteinuria,
silinderuria terutama silinder eritrosit, dengan atau tanpa edema, hipertensi, oliguria yang
timbul secara mendadak disertai merendahnya kadar sejumlah komplemen.
o SNA dengan normokomplementemia : Gejala-gejala nefritis akut dengan kadar komplemen
normal.
· Terapi :
o Umum : Istirahat di tempat tidur pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi
berat, payah jantung.
o Diet rendah garam dan rendah protein jika bila kadar ureum di atas 50 gram/dl
o Diuretik untuk edema dan hipertensi ringan, antihipertensi untuk hipertensi sedang- berat,
Antibiotik ; Penisilin prokain 50.000 U/kgBB/kali i.m. 2 x/hari,atau Penisilin V 50 mg
/kgBB/hari p.o. dibagi dalam 3 dosis untuk infeksi aktif. Untuk anak-anak <12 tahun :
40mg /kgBB/hari p.o dibagi 4 dosis. Apabila hipersensitif terhadap penisilin bisa diberikan
eritromisin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, selama 10 hari.
· Prognosis diperkirakan > 95 % akan sembuh sempurna, tetapi 5% diantaranya mengalami
perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Pengobatan Sindrom Nefritis berat :
Sindroma Nefrotik yang berkembang dengan cepat (Glomerulonefritis yang berkembang
dengan cepat) adalah suatu penyakit yang jarang terjadi, dimana sebagian besar glomeruli
mengalami kerusakan parsial sehingga terjadi gagal ginjal yang berat disertai proteinuria
(protein dalam air kemih), hematuria (darah dalam air kemih) dan gumpalan Sel Darah Merah
dalam air kemih.
Jika hasil biopsi menunjukan bahwa penyakitnya berat, maka segera dimulai pemberian obat.
Kortikosteroid dosis tinggi biasanya diberikan secara intravena selama 1 minggu dan
selanjutnya diberikan per oral.
· Dosis : 15 mg/KgBB metilprednisolone (tidak boleh melebihi 1 gram) perinfus sekitar 60-
90 menit setiap hari selama 5-6 hari. Perlu dipantau : TTV dan kadar elektrolit. Lanjutkan
dengan metilprednisolon oral 2 mg/KgBB/hari selama 1 bulan. Lalu dosis prednisolone
diberikan secara alternate 2 mg/KgBB/2 hari selama 1 bulan, kemudian dilanjutkan separuh
dosis dengan interval 1 bulan, setelah itu diberikan 0,2 mg/Kg/2 hari selama 1 bulan, lalu
obat dihentikan.
Bisa juga diberikan Obat Sitostatik yang bersifat imunusupresan (Obat untuk menekan
aktivitas sistem kekebalan).
· Siklofosfamid
o Secara umum, siklofosfamid mengurangi respon imun humoral dan meningkatkan respon
imun seluler. Siklofosfamid, selain pada bedah cangkok juga digunakan pada artritis
reumatoid, sindrom nefrotik (terutama pada anak), dan granulomatosis Wegener.
o Siklofosfamid mempertahankan remisi yang lebih lama dibandingkan dengan
kortikosteroid dengan dosis : 2 – 3 mg/KgBB/hari selama 8 minggu. Alternatif :
Siklofosfamid 2 mg/KgBB/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa
bulan (maks 6 bulan).
o Efek samping : Depresi sum sum tulang; leukopenia berat terjadi pada hari ke 10-12 setelah
pengobatan dan pemulihan pada hari 17-21; Sistitis hemoragik (20% pada anak); alopesia
yang bersifat reversible; anoreksia; mual dan muntah; amenorea; infertilitas bila diberikan > 6
bulan; stomatitis; hiperpigmentasi kulit; enterokolitis; ikterus; hipoprotrombinemia;
miokarditis pada pemberian dosis tinggi (100 mg/KgBB); bersifat teratogenik.
· Siklosporin A
o Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid atau untuk
memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid.
o Dosis : 3 – 5 mg/KgBB/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis
diturunkan 25% setiap 2 bulan).
o Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan prednisolon pada kasus
Sindrom Nefritis yang gagal.
o Efek samping : obat ini tidak menekan sum sum tulang; hiperplasia ginggival; hipertrikosis;
hiperurisemia; hipertensi; nefrotoksik.
Selain itu, bisa dilakukan tindakan plasma feresis, yaitu suatu prosedur untuk membuang
antibodi dari darah penderita.
Jika penyakit berkembang lebih lanjut, maka satu-satunya pengobatan yang efektif adalah
dengan dialisa. Dialisa dilakukan bila terdapat komplikasi berupa adanya tanda Gagal Ginjal :
(140 – Umur) x Berat Badan
LFG (ml/menit/1.73 m2) =
72 x Kreatinin Plasma (mg/dL)Rumus menghitung Laju Filtrasi Glomerolus dengan rumus
Kockcroft-Gault :
Tabel 1 : stadium gagal ginjal berdasarkan GFR :
STADIUM DARI GAGAL GINJAL
Stadium
Deskripsi
GFR
(mL/mnt/1.73 m2)
1
Kerusakan Ginjal dengan
≥ 90
GFR Normal atau ↑
2
Kerusakan Ginjal dengan
60-89
↓ GFR ringan
3
Kerusakan Ginjal dengan
30-59
↓ GFR sedang
4
Kerusakan Ginjal dengan
15-29
↓ GFR berat
5
Gagal Ginjal
<15 atau dialisis
Indikasi dilakukannya dialisis :
1. Adanya penurunan laju filtrasi ginjal (<15 ml/mnt)
2. Adanya peningkatan kadar ureum di atas 200 µ/dL
3. Kadar kreatinin mendekati 10 mg/dL
4. Adanya tanda-tanda berupa overload cairan yaitu: edema, sesak napas akibat edema paru,
serta gagal jantung
5. Adanya sindrom uremia berupa mual, muntah, anoreksia
6. Adanya metabolik asidosis
7. Adanya hiperkalemia, hiperkalsemia
Ada dua tipe utama :
¶ Hemodialisis
¶ Peritoneal Dialisis
Indikasi spesifik untuk Peritoneal Dialisis :
1. Pasien dengan ketidakstabilan sistem kardiovaskular / hemodinamik.
2. Pasien dengan gangguan vaskuler (pada pasien diabet)
3. Resiko tinggi dengan penggunaan anti koagulasi
4. Pasien usia > 65 tahun atau pada anak-anak
5. Masalah sosial
Pilihan lainnya adalah dengan pencangkokan ginjal, meskipun penyakit ini juga bisa
menyerang ginjal yang di cangkokan.
Prognosis :
Prognosis tergantung kepada beratnya gejala. Jika tidak menjalani dialisa, penderita yang
mengalami gagal ginjal akan meninggal dalam waktu beberapa minggu. Prognosis juga
bergantung kepada penyebab dan usia penderita. Jika penyebabnya adalah penyakit
autoimun, maka biasanya pengobatan akan mampu memperbaiki keadaan penderita. Jika
penyebabnya tidak diketahui / usia penderita telah lanjut, maka prognosisnya lebih buruk.
Sebagian besar penderita yang tidak menjalani pengobatan akan menderita gagal ginjal dalam
waktu 2 tahun.