Harmonisasi Ketentuan Hukum Persaingan dan … Dijelaskan dalam Kebijakan tersebut ... mengacu pada...
Transcript of Harmonisasi Ketentuan Hukum Persaingan dan … Dijelaskan dalam Kebijakan tersebut ... mengacu pada...
0
Harmonisasi Ketentuan Hukum Persaingan dan Pembentukan Competition Authority dalam Kerangka
Masyarakat Ekonomi ASEAN
2017
Suatu Proposal melalui Hukum Responsif
TONY W. PRATAMA
Harmonisasi Ketentuan Hukum Persaingan dan
Pembentukan Competition Authority dalam Kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN:
Suatu Proposal melalui Hukum Responsif*
Tony W. Pratama**
* Materi ini merupakan naskah ringkas dari Tesis yang disusun oleh Penulis pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia dengan pembimbing Dr. Teddy Anggoro dan Dr. Anna Maria Tri Anggraini dan telah lulus uji pada Juli 2017 dengan Ketua Penguji Dr. Fernando Manullang. ** Alumni Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia 2015-2017.
1
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam lingkup ekonomi saat ini, perilaku anti persaingan tidak lagi terbatas pada
pasar domestik tetapi juga lazim dalam perdagangan internasional dan investasi. Sebuah
negara tunggal akan memiliki lebih banyak kesulitan menegakkan hukum persaingan
usaha domestik mereka dalam lingkungan global. Sweeney menyebutkan bahwa ada tren
di mana negara-negara berkembang, termasuk negara-negara sosialis seperti China dan
Vietnam, yang lebih mengandalkan pendekatan berbasis pasar untuk pertumbuhan
ekonomi juga menunjukkan bahwa persaingan yang sehat dapat mencapai pertumbuhan
ekonomi yang efisien untuk negara-negara berkembang dan maju.2
Perusahaan multinasional (MNC), sebagai perusahaan terkemuka di pasar dunia,
dapat melakukan perilaku anti-persaingan yang dapat menghalangi persaingan usaha jika
tidak ada peraturan yang jelas bertujuan untuk melindungi persaingan yang sehat di
tingkat domestik3 dan internasional. Selain itu, menurut UNCTAD, ada peningkatan
signifikan dari FDI (Foreign Direct Investment) di seluruh dunia dan bersama dengan
kenaikan tersebut, perilaku anti-persaingan swasta yaitu kartel internasional
(international cartel), hambatan vertikal (vertical restrain), dan merger lintas batas (cross
border-merger) juga meningkat. Dengan demikian, salah satu solusi untuk mengekang
masalah ini adalah untuk mengembangkan hukum persaingan atau kebijakan untuk
mengatur dan kontrol perilaku perusahaan. Kebutuhan ASEAN untuk meregulasi, jelas
dapat tercermin dalam pengenalan Pedoman Regional ASEAN tentang Kebijakan
Persaingan Usaha (Introduction of ASEAN Regional Guideline on Competition Policy)4
2 Brendan J. Sweeney, The Internationalisation of Competition Rules: The Approach of European States
(Abingdon UK: Routledge, 2010), 19. 3 Branson mengatakan bahwa: “Strong competition in domestic markets prepares exporters for the
competitive rigors of the international market. Through reducing barriers to entry, competition policy promotes the establishment of a strong and sustainable small and medium-sized enterprise sector”. Lebih lanjut lihat: Johannah Branson, Competition Policy in ASEAN: Case Studies (Canberra: Australia-Japan Research Centre, 2008), 1.
4 Dijelaskan dalam Kebijakan tersebut mengenai definisi dari Competition Policy (Kebijakan Persaingan) mengacu pada ketentuan Chapter 2 sebagai berikut: Competition policy can be broadly defined as a governmental policy that promotes or maintains the level of competition in markets, and includes governmental measures that directly affect the behaviour of enterprises and the structure of industry and markets. Lebih lanjut dijelaskan: For the purposes of the Regional Guidelines, the term “competition policy” refers to public policies and general governmental directions aimed at introducing, increasing and/or maintaining competition. It does include, but it is not limited to, “competition law”, which refers, more in particular, to legal acts (in the form of laws, regulation, guidelines, etc.), including the establishment and maintenance of a competition regulatory body, aimed at preventing anti-competitive business practices, abuse of market power and anti-competitive mergers. Hereinafter, the Regional Guidelines will use the general term “competition policy”. Lihat lebih lanjut pada:
yang diterbitkan pada tahun 2010, yang bertujuan untuk memberikan pedoman bagi
negara-negara anggota dalam mengembangkan atau merevisi hukum atau kebijakan
persaingan usaha guna membangun kerangka hukum yang terintegrasi dalam konteks
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC).5
Idealnya, di tengah perkembangan ekonomi ASEAN yang tinggi, usaha untuk
menciptakan persaingan usaha yang lebih sehat menjadi variabel esensial untuk
pertumbuhan ekonomi guna menyediakan keadilan bagi seluruh pelaku usaha di ASEAN,
terutama untuk mengatasi tantangan area perdagangan bebas. Untuk itu, tujuan
mendirikan dan mengembangkan komunitas persaingan di tingkat regional akan
menentukan masa depan ASEAN sendiri.6 Komitmen MEA sendiri sendiri per 2015
menunjukan adanya keyakinan negara-negara ASEAN bahwa integrasi ekonomi regional
adalah ukuran yang diinginkan untuk meningkatkan kehidupan rakyat mereka dan dengan
demikian memperkuat legitimasi dan posisi kekuasaan dari pemimpin mereka. Komitmen
pada penciptaan pasar regional yang besar juga dimaksudkan untuk mengirim sinyal ke
komunitas bisnis internasional yang akan menguntungkan untuk perdagangan dengan dan
investasi di Asia Tenggara dan negara-negara di dalamnya. Namun, pelaksanaan
komitmen tersebut terletak di tangan masing-masing pengambil kebijakan nasional, yang
sering terkendala oleh kekuatan politik dalam negeri yang kuat yang menghambat
pelaksanaannya.7
Dengan melihat paparan di atas maka dalam rangka mewujudkan tujuan dari
komitmen kerja yang ada di dalam kerangka MEA, khususnya guna mengurangi
hambatan-hambatan perdagangan dan menciptakan kondisi pasar yang bebas dari sikap
anti-persaingan maka diperlukan seperangkat aturan positif yang terintegrasi melalui
konteks kesepahaman persepsi dan tradisi antarnegara anggota dan tentunya dapat
mengakomodasi kepentingan penyelesaian konflik/sengketa persaingan usaha yang
berpotensi timbul di kemudian hari. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu upaya
http://www.asean.org/storage/images/2012/publications/ASEAN%20Regional%20Guidelines%20on%20Competition%20Policy.pdf diakses 23 Oktober 2016.
5 Phanomkwan Devahastin Na Ayudhaya, “Asean harmonization of the International Competition Law: What is the Most Efficient Option?” International Journal of Business, Economics, and Law Vol.2, Issue 3 (Juni 2013): 1.
6 Sumber lihat pada: http://www.kppu.go.id/ina/2012/07/tadjuddin-2015-semua-anggota-asean-punya-hukum-persaingan-usaha/ diakses 23 Oktober 2016.
7 Sanchita Basu Das et.al., editors., The ASEAN Economic Community: A Work in Progress (Pasir Panjang, Singapore: ISEAS Publishing, 2013), 29.
harmonisasi ketentuan hukum persaingan dan pembentukan competition authority dalam
kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah dimungkinkan untuk dilakukannya harmonisasi aturan hukum persaingan
dalam konteks Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dapat dijadikan pedoman
umum bagi negara-negara anggotanya?
1.2.2 Bagaimana struktur ideal lembaga Otoritas Persaingan (Competition Authority)
dalam kerangka Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)?
1.3 Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini, kiranya dipergunakan beberapa teori yang relevan guna
memberikan pedoman dalam melakukan kajian terkait dengan persoalan tersebut di atas.
Adapun teori-teori sebagaimana dimaksud secara singkat dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.3.1 Theory of Economic Integration8
Theory of Economic Integration atau dikenal dengan Teori Integrasi
Ekonomi diperkenalkan Bela Balasa9 pada 1967. Integrasi ekonomi dalam
konteks ini mencakup beberapa bentuk yang mewakili tingkat dari integrasi itu
sendiri yakni: (1) Free trade area (wilayah/area perdagangan bebas); (2) A
customs union (serikat pabean dalam konteks penghilangan bea masuk); (3) A
common market (pasar bersama); (4) An economic union (kesatuan ekonomi
dalam konteks regional); (5) Complete economic integration (integrasi ekonomi
secara utuh). Adapun mengapa teori ini digunakan sebagai acuan dalam
penelitian yakni didasarkan pada argumentasi bahwa pada prinsipnya
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan suatu konsep integrasi ekonomi
khususnya di kawasan Asia Tenggara. Bahwa sebelum melakukan identifikasi
terhadap kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang cakupan hukum
persaingan perlulah terlebih dahulu memahami bagaimana suatu kawasan
regional bergerak menuju suatu proses integrasi, untuk selanjutnya menjadi
wilayah yang memiliki pola-pola sebagaimana dijelaskan dalam tahapan
8 Sumber utama merujuk pada: Bela A. Balassa, The Theory of Economic Integration (Greenwood Press,
1961), 173-175. 9 Bela Balassa (1928—1991), a professor of political economy at The Johns Hopkins University, was one
of the most productive students of economic integration. Drawing on the work of Jacob Viner and others, Bassa made a major contribution to our understanding of the effects of integration on trade and other economic activities in the 1960s and 1970s. Lihat Bela A. Balassa, The Theory of Economic Integration, 173.
integrasi ekonomi versi Balassa tersebut yang pada akhirnya memiliki
mekanisme hukum supranasional yang akan dapat memproduksi kebijakan-
kebijakan yang bersifat mengikat bagi negara-negara peserta/anggota.
1.3.2 Theory of Rational Choice10
Pada prinsipnya Theory of Rational Choice atau dikenal dengan Teori
Pilihan Rasional merupakan jantung dari teori microekonomi modern. Ini adalah
suatu konstruksi yang kuat, lugas, menarik, dan bermanfaat bagi para sarjana di
berbagai disiplin ilmu yang menaruh minat juga pada bidang ekonomi. Pada
prinsipnya Posner juga mengatakan bahwa teori ini merupakan penerapan prinsip-
prinsip ekonomi dalam rangka melakukan analisis terhadap persoalan hukum.11
Ilmu ekonomi dipahami sebagai ilmu pilihan yang dibuat oleh aktor-aktor rasional
dan mempunyai kepentingan diri sendiri di dunia dengan kelangkaan sumber
daya. Analisis mikroekonomi modern mendalilkan bahwa aktor-aktor rasional
akan berusaha memaksimalkan kesejahteraan mereka dari sumber daya terbatas
yang tersedia. Posner mengasumsikan bahwa orang adalah pemaksimal rasional
kepuasan mereka dan berupaya menerapkan asumsi ini dan disiplin ilmu ekonomi
yang dibangun atas dasar asumsi tersebut kepada bidang hukum.
Dalam konteks ini, teori pilihan rasional dipilih karena mampu
menjelaskan hubungan antara hukum dan ekonomi yang berbasis pada nilai
manfaat. Dalam penelitian nantinya akan menganalisis pentingnya dan manfaat
dari kebijakan persaingan usaha dan hukum, guna menemukan nilai-nilai efisien
yang berdasarkan sifatnya sebenarnya adalah ditujukan bagi pembuat kebijakan
dalam upaya mengkaji kondisi-kondisi yang mendukung nilai dan prinsip-prinsip
rasional sehingga diperloeh kebijakan-kebijakan yang mengedepankan
kemanfaatan secara efektif pada akhirnya.
1.3.3 Theory of Responsive Law12
Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas oleh Nonet-
Selznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis terhadal liberal legalism.13 Di tengah
10 Sumber utama merujuk pada: Russel B. Korobkin & Thomas S. Ullen, “Law and Behavioral Science:
Removing the Rationality Assumption from Law and Economics,” California Law Review 88, No.4 (Juli 2000): 1051-1144.
11 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law. 4th ed. (London: Little, Brown and Company, 1992), 3. 12 Sumber utama merujuk pada: Tanya, Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), 183-190. 13 Liberal legal theory atau dikenal dengan teori legalisme liberal pada prinsipnya mengandaikan hukum
sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang objektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom atau biasa dikenal dengan ikon otonomi hukum. Lebih lanjut terdapat setidaknya empat proporsi tentang
rangkaian kritik atas realitas krisis otoritas hukum model hukum responsif inilah
dilahirkan. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum
yang responsif. Kebutuhan ini, sesungguhnya telah menjadi tema utama dari
semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat
purposif (berorientasikan tujuan), seperti halnya Roscoe Pound, para penganut
paham realisme hukum, dan kritikus-kritikus kontemporer.
Melalui hukum responsif ini, Nonet-Selznick menempatkan hukum
sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.
Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan
akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan
dan emansipasi publik. Dijelaskan pula bahwa hukum responsif pada prinsipnya
merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan di dalam masa transisi.
Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif
tidak saja dituntut sebagai sistem hukum yang terbuka, tetapi juga harus
mengandalkan the souvereignity of purpose (keutamaan tujuan), yaitu tujuan
sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya
hukum tersebut.
Dengan melihat konteks ini dan dikaitkan dengan penelitian yang
senyatanya adalah untuk mencoba memperoleh model hukum yang aplikatif,
dengan mengingat bahwa konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan
suatu keadaan transisi di mana masing-masing negara sedang bergerak untuk
menyatukan kesepahaman dalam rangka membentuk kebijakan-kebijakan
regional yang terintegrasi maka teori hukum responsif ini kiranya tepat
dipergunakan sebagai model acuan dalam menganalisis dinamika perkembangan
hukum yang terjadi di ruang dan waktu yang demikian.
1.4 Metode Penelitian
hukum dan sosial yang diterima dalam aliran ini yakni sebagaimana dijelaskan Suri Ratnapala mencakup: (1) Law is a public good: law serves the public interest by providing a framework of rules that allows individuals to coordinate and harmonise their actions; (2) The rule of law is necessary for liberty: it means subjection of both public and private actions to the governance of knowable and reasonably certain law; (3) The rule of law is possible: There are three essential conditions (a) the law must be knowable and reasonably stable, (b) facts must be ascertainable to a generally acceptable standard, (c) the making of the law and the application of the law must be distinguishable to an appreciable degree; (4)The political institutions of liberalism protect liberty and the rule of law. Lebih lanjut lihat Suri Ratnapala, Jurisprudence (Port Melbourne, Australia: Cambridge University Press, 2009), 214-217.
Penelitian ini dilakukan dengan mendasarkan pada model doctrinal legal research
(penelitian hukum doktrinal) berbasis normatif.14 Pendekatan yang dipergunakan dalam
konteks ini adalah pendekatan perbandingan (comparative approach) yakni
mengidentifikasikan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan persaingan usaha di
negara-negara anggota MEA, pun terhadap aturan-aturan hukum persaingan European
Community (EC) atau dikenal Masyarakat Eropa sebagai referensi komparisi.15
Penelitian ini dilakukan berbasis kepustakaan menggunakan teks hukum yang
relevan, dokumen dan sumber daya sekunder. Penelitian ini mengidentifikasi data yang
sistematis dan terhadapnya akan diterapkan analisis mendalam untuk mengatasi masalah
utama yang dipersoalkan. Penelitian ini secara kritis mengkaji data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
II. Pembahasan
2.1 Upaya Harmonisasi
Proyek harmonisasi mengenai kebijakan persaingan dalam konteks AEC ini
pada prinsipnya telah didengungkan sejak lama dengan mengingat belum terdapat ukuran
dan kesefahaman bersama di dalam AMSs terkait dengan pengaturan hukum persaingan
itu sendiri.16 Harmonisasi hukum sendiri merupakan suatu yang esensial dalam proses
integrasi regional, yang tanpanya hampir mustahil suatu integrasi ekonomi dapat tercapai.
Kesadaran serta komitmen merupakan langkah yang wajib diambil dalam rangka menuju
unifikasi. Di Afrika, konteks harmonisasi hukum dimaknai dalam upaya integrasi Afrika,
yang pada akhirnya juga menuntut pemahaman bagi pengadilan domesti dalam
14 Doctrinal legal research is concerned with the formulation of legal ‘doctrines’ through the analysis of
legal rules. The methods of doctrinal research are characterised by the study of legal texts and, for this reason, it is often described colloquially as ‘black-letter law’. The validity of doctrinal research findings is unaffected by the empirical world. As will be described below, the actual process of analysis by which doctrines are formulated owes more to the subjective, argument-based methodologies of the humanities than to the more detached data-based analysis of the natural and social sciences. The normative character of the law also means that the validity of doctrinal research must inevitably rest upon developing a consensus within the scholastic community, rather than on an appeal to any external reality. Lihat Paul Chynoweth, “Legal Research,” dalam Advance Research Methods in Built Environment, eds. Andrew Knight, Les Ruddock (Oxford, United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2008), 29-30.
15 Dijelaskan bahwa pendekatan perbandingan hukum dibedakan menjadi pendekatan yang bersifat deskriptif yang tujuan utamanya mendapatkan informasi, serta pendekatan yang bersifat terapan yakni mempunyai sasaran tertentu misalnya menciptakan keseragaman hukum dagang. Hasil dari penelitian ini dapat diserahkan kepada ahli hukum untuk dianalisis atau diterapkan dalam situasi konkret. Lebih lanjut lihat: Peter Mahmud, Penelitian Hukum ed.revisi (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), 172-173.
16 AMSs = ASEAN Member States terdiri dari (Indonesia, Thailand, Singapore, Malaysia, Brunei, Philippines, Vietnam, Cambodia, Myanmar, Lao PDR).
memberikan intepretasi terhadap ketentuan community law.17 Perbedaan dalam sistem
hukum dapat dimediasikan melalui proses harmonisasi ini, sementara kebijakan
persaingan dan hukum berfungsi sebagai alat guna memastikan tujuan efisiensi dan non-
efisiensi yakni kesejahteraan dari konsumen (dalam konteks masyarakat umum) itu
sendiri.18 Sebagai gantinya, harmonisasi haruslah dipahami sebagai usaha terpadu
komprehensif yang mencakup kemauan politik dan hukum semua negara untuk
menetapkan kebijakan persaingan dalam suatu masyarakat/komunitas ekonomi tertentu.
Harmonisasi regional harus mencakup, terutama legislasi yang mendefinisikan ketentuan
kebijakan persaingan, interpretasi konsep di dalamnya, dan prosedur untuk menentukan
status harmonisasi.19
Harmonisasi dalam konteks antar jurisdiksi dapat dicapai melalui persetujuan
internasional antarnegara atau melalui pendelegasian/mandat dari institusi supranasional
dari suatu regional/kawasan.20 Nakagawa menjelaskan mengenai tiga metode
harmonisasi yang memungkinkan. Pertama, harmonisasi dapat dicapai melalui
pemenuhan kewajiban berdasarkan perjanjian yang mengikat secara hukum yang
dilembagakan dalam organisasi internasional (hard law concept). Kedua, dapat dicapai
dengan pembentukan rekomendasi atau pedoman yang tidak mengikat yang mendorong
negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah harmonisasi secara sukarela (soft law
concept).21 Metode ketiga membutuhkan pengupayaan harmonisasi oleh negara atas dasar
inisiatif mereka sendiri, berdasarkan konsultasi timbal balik atau koordinasi kebijakan.22
Konsep hard law ini berhubungan dengan peraturan yang mengikat instrumen
hukum, baik prosedural maupun substantif, atau keduanya.23 Sebaliknya, soft law
17 Muna Ndulo, “Harmonisation of Trade Laws in the African Economic Community,” International and
Comparative Law Quarterly 42 (1993): 101-118. 18 Giandomenico Majone, “Policy Harmonization: Limits and Alternatives,” Journal of Comparative Policy
Analysis: Research and Practice 16 No.1 (2014). 4, 12. 19 Jose H Fischel De Andrade, “Regional Policy Approaches and Harmonization: A Latin American
Perspective,” International Journal of Refugee Law 10 No.3 (1998) 389, 395. Kronthaler dan Stephan mengatakan bahwa suatu persetujuan dagang regional juga memainkan peran yang signifikan dalam memberlakukan legislasi persaingan. Lihat juga Franz Kronthaler dan Johannes Stephan, “Factors Accounting for the Enactment of a Competition Lawan Empirical Analysis,” Antitrust Bulletin 52 (2007) 137, 149.
20 George A Zaphiriou, “Unification and Harmonization of Law Relating to Global and Regional Trading,” Northern Illinois University Law Review 14 (1993): 407, 407.
21 Gersen dan Posner juga mengatakan bahwa model soft law ini terdiri dari peraturan yang dikeluarkan oleh badan pembuat undang-undang yang tidak sesuai dengan formalitas prosedural yang diperlukan untuk memberi status hukum namun tetap mempengaruhi perilaku badan pembuat undang-undang lainnya dan masyarakat. Jacob Gersen dan Eric Posner, “Soft Law: Lessons from Congressional Practice,” Stanford Law Review 61 No.3 (2008): 573, 573.
22 Junji Nakagawa, International Harmonization of Economic Regulation (Jonathan Bloch and Tara Cannon trans, Oxford University Press, 2011), 3.
23 Diane P. Wood, “Soft Harmonization Among Competition Laws: Track Record and Prospects,” Antitrust Bulletin 48 No.2 (Summer2003) 305, 310.
mengacu pada konsep: (1) diadopsi secara sukarela oleh negara anggota; (2) tidak
memerlukan perubahan hukum dari peserta manapun; (3) tidak tergantung pada peraturan
substantif bersama; dan (4) memiliki tujuan yang lebih sederhana, seperti peningkatan
pemahaman masing-masing sistem dan penghindaran konflik antar negara anggota. Soft
law ini tidak mencukupi untuk memenuhi persyaratan formal untuk disahkannya suatu
legislasi, namun secara moral mengikat perilaku masyarakat.24
Dalam konteks ASEAN, model soft law ini merujuk pada the ASEAN Regional
Guidelines on Competition Policy Guidelines yang menjadi framework dalam rangka
memberikan advokasi negara-negara anggota dalam mengembangkan kebijakan
domestik persaingan mereka.25 Melalui ASEAN Expert Group on Competition (AEGC)
yang dibentuk pada 2007 ini, ASEAN juga berupaya melakukan harmonisasi kebijakan
persaingan melalui penyusunan Handbook on Competition Policy and Law. Meskipun
Handbook ini tidak sepenuhnya ditujukan sebagai pedoman yang komprehensif dan
mengikat, akan tetapi sepenuhnya merupakan alat dokumentasi yang dapat dijadikan
rujukan referensi bagi negara anggotanya.26 Lebih lanjut, berbeda dengan soft law, model
hard law merupakan konsep legalisasi yang memiliki kekuatan untuk mengikat. Traktat
(treaties) selalu menjadi model hard law karena memiliki kekuatan untuk mengikat.27
Mengingat kembali mengenai kajian teori hukum responsif Nonet-Selznick
dalam pembahasan sebelumnya yang pada prinsipnya menampilkan konteks rasionalis-
fungsionalis di mana tujuan utamanya adalah sebagai sarana responsif dalam rangka
24 Gersen dan Eric Posner, Soft Law: Lessons from Congressional Practice, 573. Gold dalam pandangannya
juga mengemukakan bahwa terdapat berbagai definisi mengenai konsep soft law ini, namun yang terpenting yakni adanya preferensi bagi negara untuk mengikutinya atau tidak. Lihat Joseph Gold, “Strengthening the Soft International Law of Exchange Arrangements,” American Journal of International Law 77 (1983): 443, 443-444.
25 Lihat kembali ASEAN, ASEAN Regional Guidelines on Competition (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2015).
26 Lihat juga An ASEAN Competition Action Plan (2016-2025). Disebutkan bahwa The ASEAN Competition Action Plan (ACAP) 2025 details the strategic goals, initiatives and outcomes on competition policy and law in ASEAN over the next 10 years (2016-2025). The ACAP 2025 is based on the strategic measures under the ASEAN Economic Community Blueprint 2025 and builds upon the initiatives under the AEC Blueprint 2015.
27 Abbot dan Snidal juga mengemukakan bahwa “The term hard law as used in this special issue refers to legally binding obligations that are precise (or can be made precise through adjudication or the issuance of detailed regulations) and that delegate authority for interpreting and implementing the law. By using hard law to order their relations, international actors reduce transac tions costs, strengthen the credibility of their commitments, expand their available political strategies, and resolve problems of incomplete contracting. Doing so, how ever, also entails significant costs: hard law restricts actors' behavior and even their sovereignty. While we emphasize the benefits and costs of legalization from a rational perspective focused on interests, law simultaneously engages normative considerations. In addition to requiring commitment to a background set of legal norms including engagement in established legal processes and discourse-legalization provides actors with a means to instantiate normative values. Legalization has effect through normative standards and processes as well as self-interested calculation, and both interests and values are constraints on the success of law.” Lihat Kenneth W. Abbott dan Duncan Snidal, “Hard and Soft Law in International Governance,” International Organization 54 No.03 (2000): 421-422.
mencapai keadilan dan emansipasi publik yang dibutuhkan dalam masa transisi, dalam
hal ini ASEAN menuju suatu integrasi ekonomi sebagaimana telah didengungkan
sebelumnya. Konsep hukum responsif inilah yang menjadi dasar pertimbangan untuk
mengambil pendekatan yang dipergunakan dalam mengupayakan suatu proses
harmonisasi. Dengan kembali mengingat bahwa kebijakan-kebijakan yang akan
dilahirkan daripadanya haruslah bersifat fungsional, pragmatik, rasional serta menjadi
pedoman dalam pelaksanaannya sehinga tidak terkesan kaku dan dipaksakan tentunya
dengan mempertimbangkan disparitas yang ada di masing-masing negara anggota
ASEAN itu sendiri.28
Mendasarkan pada pertimbangan tersebut di atas, dalam konteks ini akan
diusulkan kerangka kerja terhadap upaya harmonisasi kebijakan persaingan dalam
konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan mengadopsi pendekatan hukum responsif
melalui aplikasi hard law model. Model inilah yang menurut penulis disebut sebagai
konsep Harmonisasi Model Integrasi Regional, dalam artian pendekatan akan didasarkan
pada konsep legalisasi kebijakan melalui konteks community law yang lebih mengikat
dari pada sekedar soft law model. Penulis memandang secara rasional pendekatan inilah
yang memungkinkan dan merefleksikan konsep integrasi regional ASEAN yang ingin
dituju, tentunya juga dengan tanpa mengesampingkan keyakinan bahwa aplikasi hukum
dimaksud harus pula diberikan keleluasaan dalam menyikapi konteks perbedaan yang
ada, sementara di sisi lain akan tetap memiliki fungsi dan bertujuan pada emansipasi
publik yang lebih luas yakni melampaui batasan negara tanpa mengorbankan karakteristik
nasional.29
Gagasan mengenai kerangka kerja yang dibangun dalam rangka menyelaraskan
kebijakan persaingan di ASEAN juga membahas sifat ASEAN itu sendiri sebagai sebuah
organisasi internasional yang telah memiliki personalitas hukum sendiri. Model hard law
dipergunakan sebagai landasan bagi aspek subtantif dan prosedural dari regulasi hukum
28 Lihat kembali konsep Nonet-Selznick pada pembahasan kerangka teori sebelumnya dalam tulisan ini. 29 Jika dilihat secara keseluruhan konsep yang disuguhkan oleh Ducan dan Snidal juga sangat kental dengan
konsep rasionalis “In international legal scholarship, interest- and norm-based agreements are essentially interchangeable; but international relations scholarship (like other analyses of law) often seeks to distinguish between them: contracts and covenants correspond to the rationalist and constructivist perspectives, respectively, on international institutions, approaches that are usually seen as contrasting, if not mutually exclusive. In the stereotypical view, rationalists (1) see the relevant actors (usually states) as motivated largely by material interests; (2) view international agreements as "contracts" created to resolve problems of coordination, collaboration, or domestic politics; and (3) understand contracts as operating by changing incentives or other material features of interactions, such as interaction, reciprocity, information, or the influence of particular interest groups, or through enforcement. Kenneth W. Abbott dan Duncan Snidal, Hard and Soft Law in International Governance,424-425.
persaingan dalam konteks sebagai community law yang merupakan sumber hukum yang
dipergunakan dalam merespon regional and international issues (persoalan persaingan di
tingkat regional dan internasional). Sebagai contoh yakni membentuk ASEAN
Competition Act atau ketentuan Undang-Undang Persaingan ASEAN.
Kerangka harmonisasi pada kasus ini akan difokuskan pada tiga hal yakni:
materi substantif yang diatur (hukum materiil), prosedural beracara (hukum formil), dan
bidang penegakan hukum persaingan usaha (competition law enforcement). Pada
prinsipnya, di dalam masyarakat ekonomi regional, hukum persaingan dan otoritas
persaingan akan bersinggungan dengan persoalan yang termasuk dalam tiga tema yang
utama yakni: (1) monopoli atau penyalahgunaan posisi dominan; (2) kartel; dan (3)
pengaturan merger, akuisisi dan pengambilalihan perusahaan.30 Dapat dikatakan bahwa
advokasi persaingan harus diberikan bobot yang sama di ketiga wilayah tema ini.31
ASEAN pada akhirnya akan harus mempertimbangkan adanya otoritas persaingan dalam
upaya menegakkan standar undang-undang persaingan. Bagian ini sangat penting karena
efektivitas undang-undang persaingan bergantung pada penegakannya.
Berdasarkan hasil penelitian penulis, dari perspektif formalitas harmonisasi
dapatlah diajukan suatu proposal kerangka kebijakan supranasional mencakup:
(1) Perlu dilakukan pembentukan terlebih dahulu mengenai regime persaingan pada
tiap-tiap AMSs dan koordinasi berkelanjutan guna memberikan kesamaan
pandangan baik dari sisi substansi materi hukum persaingan juga secara
institusional dengan membentuk competition authority di masing-masing negara.
Dalam konteks ini, ASEAN sedang dalam tahap mengembangkan kebijakan
tersebut, hampir seluruh AMSs kecuali Kamboja yang saat ini sedang berupaya
mengembangkan kebijakan sebagaimana yang digariskan di dalam ASEAN
Blueprint 2025;
(2) Pengadopsian suatu model ASEAN Competition Act (dalam konteks sebagai suatu
community law) yang akan menjadi payung hukum dan diberlakukan bagi seluruh
AMSs secara Supranational menjadi relevan. Dalam pengertian umum, model Act
ini setidaknya mencakup pengaturan sebagai berikut:
30 Lihat tema kebijakan ASEAN yang mengindikasikan pentingnya 3 (tiga) hal tersebut. http://www.asean-
competition.org/cpl diakses 25 Juni 2017. 31 Pradeep S. Mehta, “Competition Policy in Developing Countries: An Asia-Pacific Perspective,” Bulletin
on Asia-Pacific Perspectives 3 (2002): 79, 84.
(a) Materi substantif mengenai pengaturan: anti-competitive agreement;
abuse of dominant position; dan anti-competitive merger & acquisition;
serta pengaturan terhadap block exemption yang masing-masingnya
haruslah dilakukan penyesuaian melalui kesepahaman dan persetujuan
bersama mengenai cakupan dan batasan pengaturannya;
(b) Materi prosedural yang mengatur mengenai pembatasan jenis persoalan
yang tercakup dalam model Act ini khususnya terhadap persoalan anti
persaingan regional atau lintas batas negara anggota (regional anti-
competitive conduct) termasuk di dalamnya pengaturan mekanisme
penanganan perkara persaingan, pendekatan pembuktian dan enforcement
putusan melalui hukum domestik di negara-negara anggota;
(c) Institusi supranasional dalam hal ini ASEAN Competition Authority (CA)
yang memiliki kewenangan menyelesaikan persoalan sengketa persaingan
lintas batas, termasuk di dalamnya mekanisme pengangkatan anggota
komisi melalui model representasi dari AMSs, serta financial support;
(d) Pengenaan sanksi / punishment termasuk di dalamnya jenis dan tingkatan
pemberian sanksi;
(e) Transitional provisions yang mengatur mengenai keberlakuan model Act
ini terhadap legislasi domestik AMSs seperti melalui adopsi terhadap
konsep direct applicability32 dan dalam hal terjadi konflik antara model
Act ini dengan kebijakan persaingan domestik, maka secara dinyatakan
tegas kewenangan model Act ini berada di atas kebijakan domestik.
Umumnya ini akan terkait dengan persoalan transformasi kebijakan
persaingan ke dalam konteks hukum domestik pada AMSs;
32 Telaah kembali konsep direct applicability. Dengan mempertimbangkan karakteristik ASEAN yang unik
termasuk adanya disparitas yang cukup signifikan terlebih dalam hal sistem hukum domestik negara-negara anggotanya, maka pada prinsipnya upaya mengadopsi model konsep direct applicability sebagai mana diterapkan pada EU patutlah dipertimbangkan dengan melakukan penyesuaian terhadap kondisi ASEAN itu sendiri. Pada EU, penerapan direct applicability umumnya dibarengi dengan penerapan direct effect. Pada saat legislasi EU menerbitkan suatu aturan hukum yang membunyikan adanya penerapan konsep yang demikian maka dapat diberlakukan tanpa harus melalui upaya legislasi di tingkat domestik, sejauh ini model seperti itu masih memungkinkan dalam konteks proposal ACA yang penulis ajukan. Namun demikian perbedaannya terletak pada konsep penerapan direct effect. Pada EU, seseorang dapat mengajukan aturan community law sebagaimana dimaksud di hadapan pengadilan nasionalnya untuk menggunakan ketentuan tersebut dalam persoalan terkait yang dihadapinya, tidaklah demikian dalam konsep ACA pada ASEAN, persoalan penggunaan ketentuan ACA seyogyanya hanya dapat diajukan terkait dengan regional issue yang melampaui batas negara dan hanya diajukan di hadapan otoritas persaingan di level regional untuk memperoleh decision. Barulah pada akhirnya terkait upaya enforcement atas decision tersebut dilakukan melalui ketentuan hukum nasional negara-negara anggota ASEAN. Hal ini tidaklah mudah, kesulitan utama yakni mengingat perlu lebih lanjut diatur secara jelas mengenai standarisasi prosedural enforcement atas aturan supranasional ini di masing-masing negara anggota.
(f) Dibentuknya pengawasan baik melalui internal dan eksternal, hal ini
merupakan upaya untuk memitigasi adanya penyalahgunaan kewenangan
sebagai akibat dari potensi kepentingan dari anggota komisi menyangkut
state interest-nya.
(3) Dalam hal keberlakuan ASEAN Competition Act (ACA) ini dapat diterapkan
pendekatan yang berbasis pada model hard law yang memiliki kekuatan mengikat
AMSs yang telah meratifikasinya33 sehingga kredibilitas dari output yang
dihasilkan oleh institusi penegaknya (competition authority) jelas dan merupakan
manifestasi dari persetujuan bersama AMSs sehingga penanganan persoalan-
persoalan persaingan diharapkan menjadi lebih mudah apabila dikaitkan dengan
persoalan enforcement. Adapun terhadap penerapan prinsip ekstrateritorial34 tidak
lebih jauh lagi diperlukan karena persoalan prilaku anti-persaingan yang
dilakukan di salah satu atau lebih AMSs dan berdampak bagi anggota lainnya
sudah tercakup dalam model penanganan melalui ASEAN Competition Authority
(CA) under ACA;
(4) Bahwa dengan model Act seperti ini, maka AMSs tetap dapat meng-exercise
kebijakan domestik persaingannya terhadap issues anti persaingan yang
berkembang dalam cakupan domestiknya, sementara itu dalam hal terdapat
prilaku persaingan yang sudah melibatkan lintas batas antarnegara anggotanya
(regional issues) maka dapat diberlakukan ketentuan ACA guna menghadapi
persoalan tersebut yang akan dibawa ke hadapan CA; Terakhir kali yakni
komitmen untuk menempatkan ACA sebagai model hukum supranasional yang
33 Sebenarnya persoalan ratifikasi ini, atau persetujuan atas keberlakuan ACA oleh AMSs dalam konteks
hukum internasional lebih dikenal dengan model pendekatan regional (regional approach). Sebagaimana dikemukakan oleh Lloyd, bahwa regional approach ini ditujukan secara khusus bagi adanya kebutuhan akan suatu perkembangan hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Pendekatan ini dipergunakan guna menghindari dua potensi kegagalan dalam penerapan kebijakan hukum. Pertama, undang-undang persaingan nasional biasanya tidak mencakup prilaku anti-persaingan yang mempengaruhi pasar nasional, namun dilakukan di jurisdiksi lain (dengan kata lain tidak dianutnya prinsip ekstrateritorial dalam hal ini); Kedua, undang-undang persaingan nasional kiranya gagal mempertimbangkan nilai kerugian atau biaya yang dikenakan atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku anti persaingan di wilayah jurisdiksinya terhadap pihak yang berada di negara lain. Lihat Peter J. Lloyd, “Multilateral Rules for International Competition Law?” World Economy 21 No.8 (1998): 1129, 1132.
34 Penerapan prinsip ekstrateritorial terhadap tindakan anti persaingan lintas batas negara dalam pandangan penulis sebenarnya berpotensi menciptakan kondisi yang kontraproduktif di dalam suatu upaya regionalisasi, di mana hampir sebagian besar upaya yang dapat dilakukan oleh negara yang menerapkan prinsip ini (host state) merupakan tindakan retaliation, hal tersebut pada prinsipnya dapat menciderai semangat integrasi itu sendiri. Untuk itulah, melalui konsep kesefahaman, komitmen, dan persetujuan bersama dalam membentuk suatu community law on competition di level supranasional dipandang sebagai upaya yang lebih produktif dalam menciptakan stabilitas pasar regional ketimbang melakukan upaya tindakan balasan.
keberlakuannya mengikat, serta komitmen untuk menjalankan putusan dari CA
oleh para AMSs.
(5) Adapun gambar proposal kerangka kebijakan supranasional hukum persaingan
ASEAN dalam konteks community law adalah sebagai berikut:
Gambar Kerangka Kebijakan Supranasional Hukum Persaingan ASEAN
2.2 Pembentukan Struktur Ideal Competition Authority
Hingga sampai dengan saat ini, kiranya belum terdapat official ASEAN body
yang menjadi perangkat bagi adanya suatu otoritas persaingan supranasional.
Pembentukan ASEAN Expert Group on Competition (AEGC) oleh ASEAN Economic
Minister pada Agustus 2007 yang bertindak selaku kelompok kerja dan menjadi satu-
satunya forum regional dalam rangka membina diskusi serta kerjasama terkait dengan
persoalan kebijakan hukum dan persaingan (Competition Policy and Law-CPL). AEGC
sendiri bekerja dengan mengedepankan empat prioritas utama yakni (1) Memperkuat
lingkungan peraturan dalam ASEAN; (2) Pengembangan kapasitas kelembagaan dan
penegakan hukum atas CPL dalam ASEAN; (3) Mengembangkan strategi dan perangkan
dalam rangka advokasi persaingan regional; (4) Membangun inisiatif regional lintas
sektoral.35 Menemukan pola yang potensial dari adanya kebutuhan suatu model institusi
supranasional yang dikhususkan guna melakukan penanganan terhadap persoalan anti-
persaingan tidaklah mudah. Sebagaimana yang dikatakan Lloyd dan Vautier bahwa
pendekatan lain yang dapat digunakan guna mencapai suatu harmonisasi di ASEAN
yakni melalui pendekatan regional (regional approach).36 Banyak negara telah
menerapkan pendekatan ini dan telah menerapkan kebijakan persaingan yang
komprehensif, namun tanpa instrumen yang sesuai untuk menerapkan peraturan
persaingan domestik terhadap praktik anti-persaingan dengan dimensi internasional, atau
untuk mendapatkan informasi yang relevan di luar jurisdiksinya.
Bagaimana pun juga, dengan menerapkan pendekatan regional terhadap konteks
ASEAN, AMSs harus menyerahkan sebagian kedaulatan mereka kepada institusi
supranasional. Dalam pengalaman EU, EU sendiri mengembangkan serangkaian
kebijakan persaingan yang luas dan diberlakukan bagi pasar untuk semua barang dan jasa,
yang mencakup baik tindakan publik atau swasta. Dasar dari pendekatan terhadap
kebijakan persaingan adalah pasar bersama (common market) dalam konteks ini menurut
penulis menjadi penting peranan suatu pasar regional dalam membangun suatu integrasi.
Adap pun mendasarkan pada studi perbandingan struktur competition authority/agency
yang ada di negara-negara anggota ASEAN, dapatlah diajukan suatu proposal kerangka
ideal ASEAN Competition Authority yang setidaknya mencakup sebagai berikut:
35 Lebih lanjut lihat http://www.asean-competition.org/aegc diakses 28 Juni 2017. 36 Peter Lloyd dan Kerrin Vautier, “Regional Approaches to Cross-Border Competition Policies,” dalam
Regionalism and Globalization: Theory and Practice S. Lahiri and V.D.V.P.E.S. Lahiri eds. (Hoboken, New Jersey: Taylor & Francis, 2002), 287.
(1) Komisioner pada prinsipnya berisikan perwakilan dari seluruh AMSs yang duduk
bertanggung jawab terhadap jalannya suatu otoritas persaingan di tingkat
ASEAN. Dikepalai oleh seorang Chairman yang seharusnya ditunjuk melalui
ASEAN Summit. Adapun fungsi utama ASEAN Competition Authority (ACA)
yakni bertanggung jawab terhadap aktifitas penegakan suatu Undang-Undang
Persaingan tingkat regional ASEAN termasuk di dalamnya pengawasan agar
pelaku usaha dalam konteks regional tetap mempertahankan aktifitas usahanya
dengan mengacu pada hukum persaingan ASEAN (ASEAN Competition Act);
Dalam menjalankan fungsinya setidaknya ACA dibantu oleh beberapa Direktorat
dan Sekretariat;
(2) Direktorat Pencegahan
Pada prinsipnya memiliki fungsi dalam rangka upaya preventif atas suatu aktifitas
yang berpotensi merusak persaingan, termasuk di dalamnya yakni aktivitas
advokasi dan/atau konsultas yang berfungsi untuk mensosialisasikan kebijakan-
kebijakan di level regional; aktivitas monitoring yang melakukan kegiatan
monitor terhadap perkembangan kegiatan usaha/bisnis di tingkat regional; serta
penanganan aktivitas merger litas batas termasuk penerapan model pre-
notification dsb;
(3) Direktorat Penindakan
Pada dasarnya memiliki fungsi menegakkan kebijakan hukum persaingan di level
regional terkait aktivitas praktik usaha anti-persaingan lintas batas sebagaimana
diatur dalam model ASEAN Competition Act, termasuk di dalamnya aktivitas
investigasi yang dilakukan oleh Divisi Investigasi serta penyelesaian sengketa
persaingan lintas batas yang dilakukan melalui Divisi Penyelesaian Sengketa,
serta dalam hal pengenaan sanksi/hukuman. Penegakan atas pemberian sanksi
akan dilakukan melalui Divisi Pemulihan & Penghukuman (Remedies &
Punishment Division) yang bekerja sama dengan Competition Agency pada level
domestik dalam rangka enforecement;
(4) Direktorat Strategis dan Pengembangan
Pada prinsipnya memiliki fungsi membina hubungan strategis dan kerja sama
antara seluruh komponen pendukung persaingan terkait baik di tingkat regional
melalui Divisi Hubungan Regional atau pun di tingkat internasional dalam rangka
mendukung internasionalisasi kebijakan persaingan melalui Divisi Hubungan
Internasional, serta kajian-kajian perkembangan kebijakan-kebijakan terkait guna
melakukan pengembangan dan penyesuaian yang berkelanjutan;
(5) Sekretariat
Pada dasarnya memiliki fungsi yang mencakup bidang dukungan finance
(financial support), bagian hukum, penyediaan tenaga kerja, serta urusan kantor
terkait dengan sarana dan prasarana.
(6) Pengawasan Internal & Compliance
Pada pokoknya memiliki fungsi guna mengawasi kinerja dari Otoritas Persaingan
dari sisi internal, bagaimana suatu Otoritas menjalankan aktivitas fungsionalnya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan terkait.
(7) Komite Audit
Pada pokoknya memiliki fungsi melakukan audit terhadap penggunaan anggaran
dari Otoritas Persaingan.
III. Kesimpulan dan Rekomendasi
(1) Pada prinsipnya harmonisasi kebijakan persaingan dalam konteks Masyarakat Ekonomi
ASEAN atau dikenal dengan ASEAN Economic Community (AEC) dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan 3 (tiga) persoalan utama yakni substansi materi, prosedural,
dan otoritas persaingan. Adapun aspek substansi mencakup empat poin utama yakni
persoalan (i) Larangan Perjanjian Anti-Persaingan; (ii) Larangan Penyalahgunaan Posisi
Dominan; (iii) Larangan Merger dan Akuisisi Anti-Persaingan; (iv) Block Exemption.
Sementara aspek prosedural adalah terkait dengan mekanisme prosedur penanganan
sengketa persaingan juga termasuk di dalamnya enforcement terhadap pengenaan sanksi,
dalam hal ini diperlukan standarisasi aturan penegakkan, serta mekanisme audit dan
pengawasan. Sedangkan aspek otoritas persaingan yakni potensi pembentukan suatu
otoritas persaingan di tingkat regional. Ada pun langkah harmonisasi ini pada akhirnya
akan membawa pada kemungkinan penerapan hukum persaingan bersama (community
law on competition) yang akan dipergunakan sebagai norma utama dalam menjalankan
kebijakan persaingan di tingkat regional. Kebutuhan akan adanya suatu model ASEAN
Competition Act (CA) berikut perangkat kelembagaan seperti ASEAN Competition
Authority (ACA) pun menjadi relevan. Pendekatan melalui pengadopsian doktrin direct
applicability dalam memberlakukan model CA ini pun menjadi perlu dipertimbangkan.
(2) Di sisi lain, pembentukan ASEAN Competition Authority (ACA) pada dasarnya tidaklah
mudah, dengan mengingat adanya diferensiasi latar belakang sistem hukum dan
kebudayaan serta politik, berbagai pendekatan telah dilakukan termasuk di dalamnya
penggunaan pendekatan regional dalam mengadopsi suatu institusi supranasional yang
akan bertanggung jawab terhadap penegakan hukum persaingan regional. Adapun
struktur ideal bagi ASEAN Competition Authority ini merujuk pada studi perban8dingan
dari negara-negara anggota ASEAN lainnya yakni setidak-tidaknya mencakup:
Komisioner yang beranggotakan perwakilan seluruh AMSs diketuai oleh seorang yang
diangkat oleh ASEAN Secretary General berdasarkan rekomendasi dari AMSs dengan
menerapkan pola rotasi sehingga setiap negara anggota memiliki giliran untuk menjabat
sebagai Ketua Otoritas, ada pun Komisioner dibantu oleh empat direktorat utama yakni
Direktorat Pencegahan, Direktorat Penindakan, Direktorat Strategis dan Pengembangan
serta didukung oleh Fungsi Sekretariat, Pengawasan Internal, juga Komite Auditor. Pada
akhirnya, dengan mempertimbangkan derajat disparitas yang ada di antara negara-negara
anggota ASEAN itu sendiri, memperhatikan adanya komitmen bersama menuju
kerjasama yang ditingkatkan dalam perspektif regionalisasi, konsep kedaulatan negara
secara multak sebagaimana dianut oleh ASEAN sendiri terkesan tidak lagi menjadi
relevan. Dalam artian, penyerahan sebagian wujud kedaulatan melalui pelaksanaan
kewajiban bersama, aturan hukum bersama, serta institusi bersama menjadi prioritas bagi
para pimpinan politik negara anggota ASEAN dalam mengukur tingkat keseriusan tujuan
yang telah disepakati bersama.
IV. Daftar Referensi
Buku-buku:
ASEAN. ASEAN Regional Guidelines on Competition Policy. Jakarta: ASEAN Secretariat, August 2010.
Balassa, Bela A. The Theory of Economic Integration. Greenwood Press, 1961. Branson, Johannah. Competition Policy in ASEAN: Case Studies. Canberra: Australia-Japan
Research Centre, 2008. Chynoweth, Paul. “Legal Research.” Dalam Advance Research Methods in Built Environment,
diedit oleh Andrew Knight, Les Ruddock, 28-38. Oxford, United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2008.
Das, Sanchita Basu., Jayant Menon, Rudolfo Severino, Omkar Lal Shrestha, editors. The
ASEAN Economic Community: A Work in Progress. Pasir Panjang, Singapore: ISEAS Publishing, 2013.
Lloyd, Peter dan Kerrin Vautier. “Regional Approaches to Cross-Border Competition Policies.”
Dalam Regionalism and Globalization: Theory and Practice edited by S. Lahiri and V.D.V.P.E.S. Hoboken, New Jersey: Taylor & Francis, 2002.
Mahmud, Peter. Penelitian Hukum ed.revisi. Jakarta: Prenadamedia Group, 2011. Nakagawa, Junji. International Harmonization of Economic Regulation. Jonathan Bloch and
Tara Cannon trans, Oxford University Press, 2011. Posner, Richard A. Economic Analysis of Law. 4th ed. London: Little, Brown and Company,
1992. Ratnapala, Suri. Jurisprudence. Port Melbourne, Australia: Cambridge University Press, 2009. Sweeney, Brendan J. The Internationalisation of Competition Rules: The Approach of
European States. Abingdon UK: Routledge, 2010. Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage. Teori Hukum: Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Jurnal/Artikel/Working Paper:
Abbott, Kenneth W. dan Duncan Snidal. “Hard and Soft Law in International Governance.” International Organization 54 No.03 (2000): 421-456.
Andrade, Jose H Fischel De. “Regional Policy Approaches and Harmonization: A Latin
American Perspective.” International Journal of Refugee Law 10 No.3 (1998): 389-409.
Ayudhaya, Phanomkwan Devahastin Na. “ASEAN Harmonization of the International
Competition Law: What is the Most Efficient Option?”. International Journal of Business, Economics, and Law Vol.2, Issue 3 (Juni 2013): 1-5.
Gersen, Jacob dan Eric Posner, “Soft Law: Lessons from Congressional Practice.” Stanford
Law Review 61 No.3 (2008): 573-628. Gold, Joseph. “Strengthening the Soft International Law of Exchange Arrangements.”
American Journal of International Law 77 (1983): 443-489. Korobkin, Russel B., & Thomas S. Ullen. “Law and Behavioral Science: Removing the
Rationality Assumption from Law and Economics.” California Law Review Vol.88, Issue 4 (Juli 2000): 1051-1144.
Kronthaler, Franz dan Johannes Stephan. “Factors Accounting for the Enactment of a
Competition Law an Empirical Analysis.” Antitrust Bulletin 52 (2007): 137-168. Lloyd, Peter John. “Multilateral Rules for International Competition Law?” World Economy 21
No.8 (1998): 1129-1149. Majone, Giandomenico. “Policy Harmonization: Limits and Alternatives.” Journal of
Comparative Policy Analysis: Research and Practice 16 No.1 (2014): 4-21. Mehta, Pradeep S. “Competition Policy in Developing Countries: An Asia-Pacific
Perspective.” Bulletin on Asia-Pacific Perspectives 3 (2002): 79-88. Wood, Diane P. “Soft Harmonization Among Competition Laws: Track Record and Prospects.”
Antitrust Bulletin 48 No.2 (Summer2003): 305-318. Zaphiriou, George A. “Unification and Harmonization of Law Relating to Global and Regional
Trading.” Northern Illinois University Law Review 14 (1993). Website: http://www.asean.org/storage/images/2012/publications/ASEAN%20Regional%20Guidelines
%20on%20Competition%20Policy.pdf diakses pada 23 Oktober 2016. http://www.kppu.go.id/ina/2012/07/tadjuddin-2015-semua-anggota-asean-punya-hukum-
persaingan-usaha/ diakses 23 Oktober 2016. http://www.asean-competition.org/cpl diakses 25 Juni 2017.
http://www.asean-competition.org/aegc diakses 28 Juni 2017