HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

62
HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER Larry P. Nucci University of Illinois at Chicago Darcia Narvaez University of Notre Dame Banyak pihak sepakat kalau sekolah harus berperan penting bagi pengembangan dan pembentukan karakter siswa. Di antara karakter tersebut adalah kejujuran, hormat kepada orang lain, demokrasi, hormat kepada orang yang berbeda latarbelakang dan ras, serta toleransi. Namun, dukungan untuk pendidikan moral ini menimbulkan kontroversi seputar makna dan bentuk praktik pendidikan moral itu sendiri. Ini berkaitan dengan budaya generasi muda Amerika dan orang Amerika pada umumnya. Para penganut social konservatif menganggap kondisi sekarang sebagai periode kehancuran social (Bennett, 1998; Putnam, 2003) dan krisis yang melanda generasi muda (Bennett, 1992; Himmelfarb, 1994; Wayne, 1987). Hal ini menuntut perlunya pendidikan karakter yang kembali kepada nilai – nilai moral tradisional (Bennett, 1992; Wynne & Ryan, 1993). 1

Transcript of HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Page 1: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Larry P. NucciUniversity of Illinois at Chicago

Darcia NarvaezUniversity of Notre Dame

Banyak pihak sepakat kalau sekolah harus berperan penting bagi pengembangan

dan pembentukan karakter siswa. Di antara karakter tersebut adalah kejujuran, hormat

kepada orang lain, demokrasi, hormat kepada orang yang berbeda latarbelakang dan ras,

serta toleransi.

Namun, dukungan untuk pendidikan moral ini menimbulkan kontroversi seputar

makna dan bentuk praktik pendidikan moral itu sendiri. Ini berkaitan dengan budaya

generasi muda Amerika dan orang Amerika pada umumnya. Para penganut social

konservatif menganggap kondisi sekarang sebagai periode kehancuran social (Bennett,

1998; Putnam, 2003) dan krisis yang melanda generasi muda (Bennett, 1992;

Himmelfarb, 1994; Wayne, 1987). Hal ini menuntut perlunya pendidikan karakter yang

kembali kepada nilai – nilai moral tradisional (Bennett, 1992; Wynne & Ryan, 1993).

Kalangan politik sayap kiri Amerika memandang kalau masyarakat Amerika

sekarang ini sedang mengalami perubahan social yang cepat di mana banyak sekali

terjadi ketidakadilan social; seperti diskriminasi rasisme dan gender (Turiel, 2002).

Tujuan handbook ini adalah untuk membahas hal – hal yang tidak sekedar wacana

seperti di atas. Buku ini adalah kumpulan penjelasan tentang pendidikan moral &

karakter dari para peneliti yang ahli di bidang tersebut. Berikut penjelasannya.

1

Page 2: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

BAGIAN I

DEFINISI PENDIDIKAN MORAL

SEJARAH, FILOSOFI, TEORI DAN METODOLOGI

Perdebatan seputar pendidikan moral dibagi ke dalam 3 dimensi.

Pertama, anggapan yang mengatakan bahwa moralitas dan pengembangan

karakter berpusat pada cultivation of virtues (pemeliharaan nilai – nilai kebaikan).

Anggapan ini mengacu pada Aristoteles yang menekankan pentingnya pembentukan

sikap awal dan pengaruh kelompok social.

Kedua, asumsi yang mengatakan bahwa moralitas adalah fungsi penilaian dalam

suatu konteks. Asumsi ini mengacu pada argument filosofis dari etika kaum rasionalis

yang menekankan pada justifikasi tindakan moral berdasarkan prinsip keadilan (Rawls,

2001). Fokusnya adalah pemikiran kritis yang berasal dari konsep Piaget (1932) dan

pendekatan Socrates terhadap pendidikan.

Ketiga, asumsi yang menekankan pentingnya peran emosi. Ini didasarkan pada

konsep tentang care ethic (etika kepedulian), attachment theory dan pendidikan spiritual

yang akan dijelaskan di bagian 2 & 3.

Bagian I terdiri atas 8 bab.

Di bab 1, penulis membahas dasar filosofis, historis, dan metodologi seputar

pendidikan moral dan karakter.

Bab 2, yaitu Philosophical Moorings oleh Thomas Wren akan membawa kita

pada aliran pemikiran filosofis tentang pendekatan tradisional dan pengembangan

terhadap pendidikan moral.

2

Page 3: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Di bab 3, Daniel Lapsley membahas wacana tentang kebaikan (virtues) dan alasan

(reason) yang menyinggung dasar filosofis dan psikologis tentang hubungan antara

moralitas dan diri sendiri.

Bab 4 membahas konsep Kohlberg tentang pendekatan terhadap pendidikan

moral.

Di bab 5 & 6, James Arthur dan David Carr membahas pendekatan tradisional dan

kebaikan terhadap pendidikan moral. Mereka menjelaskan tentang analisa Kohlberg

mengenai batasan teori moral berbasis kebaikan.

Di bab 7, Kenneth Strike membahas peran masyarakat dalam membentuk

kehidupan moral siswa.

Bab 8 membahas riset oleh James Leming tentang kurangnya dampak praktik

pengajaran karakter dan moralitas yang dilakukan di kelas.

BAGIAN II

HUBUNGAN DI SEKOLAH DAN KELAS

Bagian ini membahas lingkungan social dan afektif kelas; serta bahwa hubungan

social di sekolah dapat mempengaruhi pembentukan moralitas dan karakter. Bagian ini

terdiri atas bab 9, 10, 11, 12, 13 dan 14.

Di bab 9, Nel Noddings membahas teori kepedulian/pengaturan (care theory)

sebagai hal penting dalam perkembangan moral dan tindakan etis. Teori ini berasal dari

konsep Caroll Gilligan dan gerakan feminisme; namun oleh Noddings, teori tersebut

dimodifikasi menjadi kerangka filosofis yang komprehensif. Noddings menjelaskan

3

Page 4: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

tentang hakikat pengaturan kelas dan sekolah serta membahas hal – hal yang diperlukan

oleh guru dan semua pihak yang terlibat dalam bidang kepedulian.

Di bab 10, Marilyn Watson memperluas konsep kepedulian sebagai apa yang

disebut dengan classroom relationship based on trust (hubungan kelas yang berdasarkan

kepercayaan). Yang ditekankan adalah kebutuhan siswa tingkat dasar untuk membangun

hubungan yang manis dengan pihak bersangkutan. Di bab ini, Watson menjelaskan

pendekatan terhadap struktur kelas dan manajemen sikap yang disebut developmental

discipline (disiplin pengembangan) yang menyangkut motivasi intrinsic anak untuk

mandiri, rasa memiliki dan kompetensi.

Di bab 11, David & Roger Johnson membahas secara terperinci bagaimana

menggunakan struktur kooperatif kelas dengan benar dan riset tentang dampak struktur

tersebut terhadap perkembangan moral dan social siswa.

Di bab 12, Clark Power dan Ann Higgins-D’Allesandro melakukan review

tentang implementasi komunitas sekolah dan riset tentang efektifitas pendekatan ini

terhadap pendidikan moral.

Di bab 13, Maurice Elias, Sarah Parker, Megan Kash, Roger Weissberg dan Mary

Utne O’Brien menjelaskan hubungan antara program SEL (social and emotional learning

= pembelajaran emosi dan social) dengan pendidikan moral dan karakter.

Di bab 14, Stacey Horn, Christopher Daddis dan Melanie Killen membahas

bagaimana hubungan dengan teman di sekolah berimplikasi terhadap perkembangan

moral dan social.

4

Page 5: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

BAGIAN III

PENDEKATAN KONTEMPORER

Bab – bab di bagian ini focus pada pendekatan kontemporer tentang pendidikan

karakter dan moral. Bagian ini terdiri atas bab 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22.

Di bab 15, Larry Nucci membeberkan garis besar sebuah program riset selama 3

tahun yang menunjukkan bahwa konsep moralitas (keadilan, kesejahteraan manusia)

bersifat universal dan membentuk suatu system konseptual yang berbeda dengan isu

personal, preskripsi religi dan konvensi.

Di bab 16, Darcia Narvaez garis besar riset secara kognitif dan neurobiologis

untuk membuat rekomendasi terhadap perkembangan karakter moral.

Di bab 17, Victor Battistich mengemukakan penjelasan komprehensif mengenai

program CDP (child development project = proyek perkembangan anak) dan hasil

evaluasi program tersebut yang memperlihatkan bahwa membangun komunitas

kepedulian di sekolah adalah penting agar perkembangan emosi siswa menjadi lebih baik.

Di bab 18, Carolyn Hildebrant dan Betty Zan membahas asumsi teoritis dan

praktik kelas mengenai pendekatan berbasis perkembangan terhadap perkembangan

moral anak.

Di bab 19, Matthew Davidson, Thomas Lickona, dan Vladimir Khmelkov

menjelaskan bahwa kebaikan moral seperti kejujuran dan keadilan harus didukung oleh

tindakan kebaikan seperti perseverance (terus berusaha walaupun banyak kesulitan) dan

hard work (kerja keras).

Di bab 20, Anne Colby me-review riset yang menjelaskan dampak pengalaman

kampus terhadap perkembangan moral dan keterlibatan sipil dari generasi muda.

5

Page 6: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Di bab 21, Marvin Berkowitz, Victor Battistich dan Melinda Bier menjelaskan

hasil analisa komprehensif mengenai praktik dan kebijakan pendidikan moral dan

karakter.

Di bab 22, ada penjelasan tentang pendekatan terhadap pengajaran moral dan

karakter yang dikembangkan oleh Rachel Kessler dan kawan – kawan di Passage Ways

Institute yang focus pada hubungan antara spiritualitas dan religiusitas.

BAGIAN IV

PENDIDIKAN MORAL & CHARACTER DI LUAR KELAS

Perkembangan moral dan pembentukan karakter anak serta orang dewasa bukan

murni berasal dari sekolah. Bagian 4 ini menjelaskan bagaimana program formal untuk

layanan masyarakat, pembelajaran informal melalui media dan media pembelajaran lain

di luar kelas bisa mempengaruhi perkembangan moral dan karakter.

Bagian ini terdiri atas bab 23, 24, 25, 26 dan 27.

Di bab 23, Richard Catalano, David Hawkins, dan John Toumbourou menjelaskan

tentang positive youth development (perkembangan karakter positif generasi muda).

Di bab 24, Daniel Hart, Kyle Matsuba, dan Robert Atkins menjelaskan tentang

arti service learning (pembelajaran bagi masyarakat) dan service learning (layanan

pembelajaran) dan civic engagement (keterlibatan masyarakat sipil), menjelaskan elemen

dalam program yang efektif, dan bukti yang menjelaskan kalau pengalaman di luar kelas

dapat membentuk perkembangan moral dan karakter generasi muda; termasuk mereka

yang suka terlibat dengan anggota gang, penyalahgunaan obat terlarang, dan kejahatan di

jalanan.

6

Page 7: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Banyak yang mengatakan kalau olah raga dapat membentuk karakter. Hal ini

dibahas oleh David Shields dan Brenda Bredemeier di bab 25. Mereka menjelaskan

perkembangan karakter dan moral dalam kaitannya dengan konteks olah raga.

Di bab 26, Jim Lies, Kendall Cotton Bronk dan Jennifer Menon Mariano

menjelaskan peran positif masyarakat dalam membentuk karakter generasi muda.

Di bab 27, Marjorie Hogan dan Victor Strasburger menjelaskan tentang tantangan

yang bisa menimpa pendidikan karakter generasi muda, yaitu media. Generasi muda di

Negara – Negara berkembang sering menghabiskan waktu dengan menonton TV,

computer, HP, dan alat elektronik lainnya ketimbang melakukan sesuatu di kelas. Mereka

berkomunikasi melalui media elektronik dan mengumpulkan informasi dari internet dan

outlet media lain. Semua media ini bisa mempengaruhi sosialisasi anak. Hogan dan

Strasburger menjelaskan tentang tantangan tersebut, temuan riset, dan memberikan

panduan bagaimana memperlakukan media agar bisa berkontribusi terhadap

perkembangan moral dan pembentukan karakter generasi muda.

BAGIAN V

ISU PROFESSIONAL

Di bagian ini ada penjelasan tentang praktik dan pengalaman pendidikan yang

dirancang untuk memberikan dampak terhadap perkembangan moral dan karakter

generasi muda serta anak – anak.

Bagian ini terdiri atas bab 28, 29 dan 30.

Di bab 28, Muriel Bebeau dan Verna Monson membahas riset mengenai dampak

pendidikan professional terhadap perkembangan moral professional kesehatan.

7

Page 8: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Merle Schwartz di bab 29, menjelaskan analisa tentang kondisi sekarang dalam

upaya mempersiapkan guru pre-service untuk terlibat dalam pendidikan moral dan

karakter. Merle mengatakan bahwa program pendidikan guru sekarang tidak memiliki

komponen formal dalam upaya membekali mereka dengan dasar pengetahuan dan alat

untuk meng-integrasikan pendidikan moral & karakter ke dalam praktik pengajaran dan

rencana pembelajaran (RPP) sehari – hari.

Di bab 30, Elizabeth Campbell membuat analisa tentang dimensi etikal

pengajaran dan bagaimana rasanya menjadi seorang guru. Yang ditekankannya adalah

otonomi dan tanggungjawab moral dalam profesi guru.

8

Page 9: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

I

DEFINISI BIDANG PENDIDIKAN KARAKTER & MORAL:

LANDASAN SEJARAH, FILOSOFIS DAN METODOLOGIS

2

PHILOSOPHICAL MOORINGS (Mata Rantai Filosofis)

Thomas WrenLoyola University Chicago

Pendidikan moral dan moralitas bisa dilihat dari segi internal dan eksternal.

Dilihat dari luar, moralitas adalah cara bergaul dengan orang lain. Dari dalam, moralitas

adalah bergaul dengan diri sendiri. Secara eksplisit, pendidikan moral merupakan hal

penting bagi control social dan alat realisasi diri. Semua pihak; baik filsuf maupun

kalangan pendidik serta orang tua, beranggapan bahwa 2 fungsi moralitas tersebut

(control social & alat realisasi diri) saling menopang satu sama lain; apa yang baik bagi

masyarakat maka baik juga untuk anak – anak kita; begitu juga sebaliknya.

BUDDHA DAN YUNANI

Di Barat, tradisi filosofis berasal dari Yunani. Sementara di Asia, tradisi filosofis

berasal dari Buddhisme. Mari kita bahas Buddha dulu.

Ketika Buddha duduk di bawah pohon Bodhi beberapa tahun sebelum Socrates

lahir di Yunani, dia tiba – tiba mengalami sesuatu luar biasa yang menandakan bahwa dia

akan menjadi Buddhist dalam sejarah perkembangan manusia. Dengan sesuatu luar biasa

tersebut maka datanglah pencerahan (enlightenment) bagi kondisi manusia yang sedang

9

Page 10: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

menderita. Sepanjang hidupnya, Buddha terus mengajarkan nilai – nilai kebaikan yang

pada akhirnya membentuk budaya Hindu. Setelah kematian Buddha, lahirlah 2 sekte

keagamaan; Hinayana & Mahayana. Hinayana menekankan pada asal muasal doktrin

pencerahan sebagai agenda perkembangan manusia; sementara Mahayana menekankan

bahwa setiap individu harus bekerja sebagai sebuah kelompok dalam rangka memperoleh

pencerahan.

Ada perbedaan antara ajaran Buddha dengan Yunani. Contohnya, jalan Buddha

sangat berbatu (ex: lebih ascetic = tidak menghendaki kesenangan fisik); sementara

ajaran Yunani bersifat sistematik. Ajaran Yunani memandang pencerahan sebagai

wisdom (kebijaksanaan), Sophia; sementara Buddha menganggapnya sebagai

pengosongan diri atau nirvana.

Motto Yunani, yaitu know thyself (kenali dirimu) atau gnothi seaution, ditempel

di pintu masuk kuil Appollo, dewa kebijaksanaan; dan diserap oleh filsuf pra-Socrates

yaitu Thales dan Phytagoras dan Socrates sendiri. Sebaliknya, motto Lose thyself

(kosongkan dirimu) adalah pesan dari the Noble Eightfold Path (8 jalan kebaikan) yang

merupakan bagian tradisi Buddha.

8 Jalan Kebaikan di-interpretasikan dalam berbagai cara; sebagai rangkaian

tahapan progresif yang dilalui oleh tindakan seseorang, rangkaian 8 dimensi yang

membutuhkan perkembangan simultan; perampingan dari 3 kategori dasar, yaitu wisdom

(kebijakan), virtuous action (tindakan kebaikan) dan concentration (konsentrasi). Namun,

dalam semua interpretasi, pencerahan dipandang sebagai pencapaian progresif. 8 Jalan

Kebaikan itu adalah:

10

Page 11: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Right Viewpoint (sudut pandang yang benar) – memahami 4 kebaikan (bahwa

semua pengalaman itu menyangkut penderitaan, penderitaan disebabkan oleh

hasrat, hasrat harus bisa dikendalikan bukan dipuaskan dan ini bisa dilakukan

dengan mengikuti 8 Jalan Kebaikan.

Right values (nilai kebenaran) – komitmen untuk tumbuh dalam kesederhanaan

Right speech – berbicara kebenaran

Right action – bertindak dengan benar tidak menyakiti orang lain

Right livelihood – melakukan pekerjaan yang tidak membahayakan diri sendiri

atau orang lain

Right effort – selalu berupaya meningkatkan diri

Right mindfulness – melihat sesuatu dengan benar dan penuh kesadaran

Right meditation – meraih pencerahan, di mana ego harus dihilangkan

Kita harus ingat bahwa pesan Buddha adalah kita harus menghilangkan ide

tentang diri (self) karena entitas itu tidak pernah ada. Walaupun Yunani tidak memiliki

kata khusus untuk self (diri), namun mereka menganggap manusia sebagai sebuah self

yang mengandung thing (sesuatu).

SOCRATES & PLATO

Bagi Socrates (469 – 339 SM) & Plato (428 – 347 SM), jalan menuju pencerahan

itu tidak melibatkan pengetahuan khusus tentang self (diri), baik positif atau negative,

namun melibatkan pengetahuan tentang Ideal of Forms (bentuk ideal) dan tahapan

perkembangan tertinggi manusia, yaitu knowledge of the good (pengetahuan tentang

sesuatu yang baik).

11

Page 12: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Doktrin tentang Ideal of Forms ini dikembangkan oleh Plato melalui berbagai

dialognya yang dikenal dengan the Divided Line (garis yang dibagi – bagi). Berikut

tabelnya:

Ways of knowing (cara mengetahui) Objects of knowledge (objek pengetahuan)

Pemikiran intelektual (pengetahuan

langsung = episteme; & pemikiran rasional

= dianoia)

Bentuk (Kebaikan, bentuk tertinggi

Konsep matematika, bentuk terendah)

Persepsi (persepsi langsung = pistis; &

melihat gambar = eikasia)

objek yang dapat diraba (Objek fisik,

Gambar objek fisik)

ARISTOTELES

Aristoteles (384 – 322 SM) adalah muridnya Plato. Menurut Aristoteles,

perkembangan manusia bergerak ke depan. Perkembangan ini bersifat goal-seeking

(mencapai tujuan). Melalui hal ini, ada 2 bagian penting dalam konsep perkembangan

manusia menurut Aristoteles.

Pertama, hidup manusia disesuaikan dengan alasan (conformity with reason). Jadi,

jika karakter yang baik tidak diiringi dengan alasan, maka itu salah. Kedua, hidup

manusia dipenuhi oleh pemerolehan karakter (habituation).

Ada ambiguitas dalam istilah reason (alasan) yang digunakan oleh Aristoteles

dalam konteks kebaikan dan karakter moral. Kadang, Aristoteles mengartikan reason

sebagai sifat bawaan kognitif seseorang; sementara di lain waktu, dia mengutip konsep

reason menurut Plato; yaitu bahwa reason adalah realita transcendent (berada di luar

jangkauan nalar biasa) yang selalu berada di bawah kebenaran.

12

Page 13: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

3

MORAL SELF-IDENTITY AS THE AIM OF EDUCATION

(identitas diri moral sebagai tujuan pendidikan)

Daniel K. LapsleyUniversity of Notre Dame

Banyak orang tua yang menginginkan agar anaknya menjadi orang baik, orang

yang memiliki sifat terpuji, yang kepribadiannya sesuai dengan etika. Kita berharap

bahwa anak – anak melakukan hal yang benar demi alasan yang benar pula.

Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka kualitas moral seseorang dalam

terminology literature psikologis mengenai identitas dan diri.

Identitas diri moral dalam psikologi perkembangan (Blasi, 1993; Lapsley &

Narvaez, 2004) tercermin dalam tren etika kontemporer yang menghasilkan hubungan

erat antara pertimbangan moral dan personal (Flanagan & Rorty, 1990; Taylor, 1989).

Taylor (1989: 12) mengatakan,”menjadi seorang diri berkaitan dengan keberadaan dalam

ruang isu moral.”

TEORI SELF-IDENTITY

Terdapat hubungan tematik antara teori identitas diri moral dalam psikologi

dengan komponen etika kontemporer. Konsep penghubungnya adalah Harry Frankfurt

(1971) tentang bagaimana kemauan (will) dibangun oleh second-order desires (hasrat

kedua).

Kita memiliki motif dan hasrat yang membangun kemauan dan tindakan. First-

order desire (hasrat pertama) adalah kemauan terhadap segala hal. Second-order desire

(kemauan kedua) adalah kemauan untuk hal – hal tertentu atau yang oleh Frankfurt

(1971) disebut dengan second-order volitions. Contoh, kita ingin memiliki hasrat tertentu

13

Page 14: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

(ex: ingin mengadakan amal, menolak rokok, mengurangi emisi karbon), namun hasrat

tersebut tidak efektif, artinya, hanya bagian dari kemauan kita.

Namun, ketika kita menginginkan hasrat itu bisa menuntun kita pada all the way

to action (semua tindakan) (Frankfurt, 1971: 8), yang artinya, to be willed (dikehendaki),

maka di saat inilah kita memiliki second-order volition. Menurut Frankfurt (1971), yang

memiliki second-order volitions disebut person (orang); sementara yang tidak punya

disebut wantons. Seorang person memperhatikan jenis hasrat, karakteristik, dan motif;

dan ingin agar hal tersebut diimplementasikan dalam kehidupan. Seorang wanton tidak

peduli dengan keinginan hasratnya; tidak peduli dengan kemauannya.

Frankfurt (1971) membedakan antara first- dengan second-order desires yang

dipengaruhi oleh teori identitas diri moral baik dalam filosofi (Taylor, 1989) maupun

psikologi (ex: Blasi, 2004, 2005). Contohnya, menurut Taylor (1989), seorang individu

itu adalah orang yang terlibat dalam strong evaluation (evaluasi yang sangat teliti). Orang

yang evaluasinya tinggi (strong evaluator) adalah mereka yang selalu membuat penilaian

etis tentang first-order desires. Strong evaluator selalu memilah – milah antara sesuatu

yang berharga dengan yang tidak berharga, mana yang tinggi dan mana yang rendah,

mana yang buruk dan mana yang baik. Identitas kita ditentukan oleh strong evaluation;

ditentukan oleh pemikiran tentang sesuatu yang signifikan bagi kita. Menurut Taylor

(1989: 27), to know who I am (untuk tahu siapa diri saya) adalah bagian dari to know

where I stand (tahu di mana saya berada).

14

Page 15: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

KARAKTER MORAL

Karakter moral seseorang terdiri atas virtues (kebaikan). Namun, menurut Blasi

(2005) penting untuk membedakan higher- dengan lower-order virtues (kebaikan tingkat

tinggi dan rendah). Lower-order virtues contohnya adalah empati, keinginan, keadilan,

kejujuran, keramahan, kebaikan, giat dsb. Semua sifat tersebut biasanya untuk merespon

situasi tertentu. Sementara higher-order virtues memiliki generalitas yang lebih luas dan

bisa diaplikasikan ke dalam berbagai situasi.

Higher-order vitues memiliki 2 bagian. Blasi (2005) menyebut bagian pertama

sebagai will power (control diri). Sebagai control diri, willpower adalah jenis

keterampilan yang memudahkan pengaturan diri dalam proses problem-solving. Mampu

memecahkan masalah, menentukan tujuan, menghindari kerusakan, menolak rayuan,

tetap melakukan tugas, ulet dan disiplin merupakan skill dari willpower.

Bagian kedua dari higher-order virtues adalah integrity (integritas/kejujuran),

yang mengacu pada konsistensi diri. Menjadi orang yang selalu memegang janji, jujur

kepada orang lain, bertanggungjawab, dapat diandalkan, tulus dan selalu menghindari

kebohongan merupakan bagian dari integritas. Integritas bisa dianggap sebagai

tanggungjawab (responsibility) ketika kita melakukan tindakan pengontrolan diri dalam

meraih tujuan moral. Integritas dirasakan sebagai identitas (identity) ketika kita

membangun konstruksi pemaknaan diri (self-meaning) disertai keinginan.

15

Page 16: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

4

PENDIDIKAN MORAL DALAM TRADISI PERKEMBANGAN KOGNITIF:

IDE REVOLUSIONER LAWRENCE KOHLBERG

John SnareyEmory University

Peter SamuelsonGeorgia State University

Untuk mengapresiasi ide Lawrence Kohlberg mengenai pendidikan,

perkembangan dan kognisi moral, mari kita mulai dengan sejarah hidup Kohlberg.

Sebagai anak paling kecil dari 4 bersaudara yang lahir dari ibu Kristen dan ayah

Yahudi, Laurie kecil, begitu dia dipanggil, suka bergaul dengan kalangan atas (high

class) yang mengutamakan kebebasan individu, hak istimewa, dan ekonomi kapitalis. Dia

masuk ke sekolah elit di Massachussetts, di mana dia berada dalam kungkungan ketika

melawan apa yang dinamakan konvensi social arbitrer. Sebagai siswa SMA selama

Perang Dunia II, dia mengikuti European Jewry (kelompok Yahudi Eropa) dan mulai

mempelajari warisan keyahudiannya. Pada usia 18, bukannya mengikuti teman

sekolahnya yang bergabung dengan Ivy League College, Kohlberg malah bergabung

dengan Marinir Amerika dan dan berkeliling Eropa, di mana dia bisa menyaksikan

berakhirnya perang dan bertemu dengan para korban yang selamat dari holocaust

(pembunuhan besar – besaran terhadap kaum Yahudi yang dilakukan oleh Hitler).

Pengalaman perang Kohlberg semakin menguatkan simpati Zionisnya dan memberinya

pandangan tentang moral untuk mengatur identitasnya (Snarey & Hooker, 2006).

Setelah menjalankan tugasnya, Kohlberg kembali ke Eropa sebagai anggota awak

kapal Paducah. Kapal tersebut diubah namanya menjadi S.S Redemption oleh Haganah

16

Page 17: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

(angkatan militer Yahudi) dan berupaya untuk menyelamatkan pengungsi Yahudi Eropa

melalui blockade Inggris dan mendaratkan mereka di Palestina dan wilayah control

Inggris. Apakah menyelamatkan kaum Yahudi merupakan bagian dari upaya moral

dibandingkan patuh pada hukum? Kohlberg mengiyakannya dan berpartisipasi dalam

civil disobedience (perlawanan dari warga sipil terhadap hukum) – yaitu melanggar

hukum Inggris (menyelamatkan pengungsi Yahudi berarti melawan hukum) secara

sengaja demi melakukan apa yang disebut tujuan moral yang lebih tinggi (a higher moral

purpose). Kapal S.S Redemption kemudian dicegat sekitar 10 mil dari pesisir pantai

Palestina. Para awak, karena tidak mau dihadapkan pada konsekuensi dari civil

disobedience, bersembunyi dengan cara berbaur dengan para pengungsi yang berjumlah

sekitar 1500 orang. Mereka semua diberangkatkan ke Cyprus. 3 bulan kemudian, dengan

bantuan Haganah, Kohlberg berhasil melarikan diri dan menuju Palestina; berada di sana

selama PD II pada 1948, dan ikut mendirikan Negara Israel (Brabeck, 2000; Kohlberg,

1948; Snarey, 1982; Power, 1991a).

Kohlberg muda ikut berperan dalam menyelamatkan para korban yang selamat

dari Holocaust dan mendirikan Negara Israel. Meskipun demikian, muncul suatu

dilemma moral; apakah menyelamatkan korban yang selamat dari Holocaust di Eropa

dengan mengusir penduduk asli Arab Palestina dari tanah leluhurnya merupakan sebuah

resolusi? Apakah cara ini merupakan metode dari Haganah? Kohlberg kemudian

menjawabnya dengan moral reasoning (alasan moral) tahap 4.

Semasa kuliah, Kohlberg bercita – cita menjadi pengacara atau ahli psikologi

klinik sebagai cara untuk mengabdikan diri dalam bidang keadilan social. Kemudian dia

masuk pada program doctoral psikologi, di mana dia tertarik pada bidang psikologi dan

17

Page 18: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

filosofi. Kohlberg menyelesaikan disertasi doctoral-nya di usia 31, yang berdasarkan

pada interview terhadap 84 anak muda di Chicago tentang beberapa dilemma moral.

Anak – anak itu ditanya,”Haruskah seorang suami mencuri obat untuk menyelamatkan

istrinya atau haruskah dia mematuhi hukum dan membiarkan istrinya mati karena tidak

ada obat? Mengapa dan mengapa tidak?” Sambil mengkaji jawaban dari anak – anak

tersebut, Kohlberg meng-identifikasi perbedaan usia dalam kompleksitas alasan moral

untuk menjustifikasi jawaban pertanyaan tersebut. Disertasi Kohlberg waktu itu

mengemukakan 6 tahap perkembangan kognitif tentang moral judgement (penilaian

moral), di mana seseorang meng-konstruksi pemahaman kompleksnya mengenai

moralitas (Arnold, 2000: 336).

Dilemma yang dihadapi seorang suami tadi merupakan gambaran dilemma

pribadi yang dihadapi oleh Kohlber ketika dia hendak menyelamatkan para korban

selamat Holocaust dan membangun sebuah Negara baru (Israel) meskipun hal tersebut

bertentangan dengan hukum Inggris. Dilemma ini bisa disebut indoctrination atau

enculturation, yaitu dilemma yang menjadi bagian dari proses alami seseorang. Nilai,

norma dan pelajaran moral yang diperoleh dari proses enculturation bisa dibenarkan jika

kondisinya seperti pengalaman yang dihadapi oleh Kohlberg. Haruskah kita

meninggalkan nilai – nilai yang sudah ada (misalnya, melanggar hukum Inggris) tapi

tidak sesuai dengan nilai – nilai baru (ex: demi menyelamatkan pengungsi Yahudi yang

selamat dari Holocaust)? Menurut perspektif kita, itulah dilemma yang tergambar dalam

pengalaman Kohlberg. Pengalamannya semasa perang meruntuhkan nilai – nilai yang

sudah ada yang pada gilirannya, Kohlberg berkomitmen untuk melakukan persamaan hak

asasi dan kehormatan manusia.

18

Page 19: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

TEORI KOHLBERG TENTANG 3 MODEL PERKEMBANGAN

DAN KOGNISI MORAL

Model Kohlberg mengenai perkembangan moral merupakan kontribusi

terbesarnya terhadap psikologi moral. 3 model tersebut adalah: (1) moral stages (tahapan

moral), (2) moral types (tipe moral) dan (3) moral atmosphere (atmosfir moral).

Moral stages

Kohlberg berpendapat kalau perkembangan penilaian moral berlangsung dalam 6

tahap. Yang mengendalikan perkembangan moral adalah struktur pemikiran moral dalam

membuat pengalaman menjadi lebih bisa diterima. 6 tahap tersebut adalah:

Obedience & punishment orientation

Di sini, yang disebut moral itu adalah berupaya tidak melanggar hukum atau

menghindari kontak fisik dengan orang lain. Di tahap ini, seseorang mungkin tidak

menyadari kalau kepentingannya itu bisa bertolak belakang dengan orang lain.

Instrumental purpose & exchange

Di sini, yang disebut moral itu adalah mengikuti aturan hukum. Seseorang sudah

menyadari kalau kepentingannya itu bisa bertentangan dengan orang lain. Di sini,

terjadi pertukaran instrumental: jika kau melukaiku maka aku pun akan melukaimu.

Mutual interpersonal expectation, good relations

Di sini, yang disebut moral adalah menyesuaikan kehendak dengan keinginan orang

lain. Apapun yang kita lakukan harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan

orang lain.

Social system & conscience maintenance

19

Page 20: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Di sini, yang disebut moral adalah melaksanakan kewajiban masing – masing. Untuk

menjadi warganegara yang baik, maka kita harus melakukan hal – hal yang benar.

Prior right & social contract

Di sini, yang disebut moral adalah kesadaran bahwa nilai dan aturan bersifat relative

bagi sebuah kelompok dan nilai relative ini berada dalam hak asasi manusia, seperti

hak hidup dan kebebasan.

Universal ethical principles

Yang disebut moral di sini dipandu oleh prinsip etika universal yang menghasilkan

keputusan untuk memastikan kehormatan manusia dan memperlakukan mereka

sebagaimana mestinya.

Moral types

Kohlberg menjelaskan tentang dua tipe moral, yaitu tipe A & tipe B. Berikut

adalah tabelnya:

Criteria Tipe A (heteronomous) Tipe B (autonomous)

Hirarki Tidak ada hirarki moral yang

jelas

Hirarki nilai moral yang jelas;

kewajiban preskriptif adalah yang

utama

Intrinsicality Pandangan instrument tentang

seseorang

Seseorang dipandang

sebagaimana adanya; menghargai

autonomi dan kehormatan

Preskriptivity Kewajiban moral sebagai

instrumental atau hipotetikal

Tugas moral sebagai kewajiban

moral

Universality Setiap orang memiliki penilian Generalisasi pandangan

20

Page 21: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

berdasarkan kepentingan

pribadi

Freedom Dasar eksternal yang

memvalidasi penilaian

Tidak bersandar pada otoritas atau

tradisi eksternal

Mutual respect Kepatuhan unilateral Kerjasama di antara pihak yang

sama

Reversibility Memandang suatu dilemma

hanya dari satu sudut pandang

Memahami perspektif orang lain

Constructivism Pandangan kaku mengenai

aturan

Pandangan yang fleksibel

mengenai aturan

Choice Tidak memilih dalam hal

keadilan

Memilih solusi sebagai keadilan

Moral atmosphere

Menurut Kohlberg (1980, 1985) dkk (Power, Higgins & Kohlberg, 1989), moral

atmosphere adalah iklim moral atau budaya moral suatu komunitas di mana mereka

saling berbagi nilai normative dan harapan. Kohlberg tahu bahwa konteks utama

perkembangan moral adalah kelompok masyarakat.

KONSEP KOHLBERG TENTANG 3 METODE PENDIDIKAN MORAL

3 metoede pendidikan menurut Kohlberg adalah Moral Exemplars, Dilemma

Discussion dan Just Community.

21

Page 22: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Moral exemplars

Menurut Kohlberg, moral exemplars merupakan alat pedagogis dalam

mendukung sosialisasi dan meningkatkan perkembangan moral. Ini adalah metode

pendidikan moral secara langsung, yaitu dengan melakukan observasi/mencontoh

terhadap individu yang mem-praktikkan prinsip moral (Bigelow, 2001).

Dalam salah satu bab penutup Essays on Moral Development: the Psychology of

Moral Development (1984: 486 – 490), Kohlberg dan co-author Ann Higgins

mengemukakan contoh dari seorang wanita berusia 32 tahun bernama Joan. Joan, yang

bekerja di pengadilan setempat, pernah membiarkan seorang ward (anak yang berada di

bawah perlindungan hukum pengadilan) untuk pergi dari perlindungan hukum menuju

tempat lain demi meraih kehidupan yang lebih baik bahkan Joan memberinya uang

tambahan. Ini jelas melanggar hukum, dan Joan akhirnya dipecat dari pekerjaannya.

Tindakan Joan ini karena didasarkan atas penghormatan terhadap hak asasi dan

kehormatan seseorang; meskipun dianggap melanggar hukum.

Kohlberg (1981: 132) juga menjelaskan tentang tindakan Martin Luther King, Jr.

Pelajaran yang didapat dari orang ini adalah prinsip universal keadilan yang merupakan

kulminasi perkembangan moral. Dr. King adalah contoh utama dari tahap tertinggi alasan

bermoral karena kemauannya untuk memperjuangkan hak asasi manusia bagi kaum kulit

hitam yang tertindas atau kalangan bawah.

Dilemma discussions (pembahasan tentang dilemma moral)

Sekitar 10 tahun setelah Kohlberg (1985) menjelaskan konsep model tahapan

moral, pendidikan moral yang pertama dilakukan adalah melalui eksperimen oleh Moshe

Blatt, salah satu mahasiswa Kohlberg di program doctoral, yang berupaya memfasilitasi

22

Page 23: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

perkembangan tahapan moral di antara siswa kelas 6 melalui diskusi mingguan tentang

dilemma moral hipotetis (Blatt & Kohlberg, 1975). Blatt menemukan bahwa 1/3 siswa di

grup eksperimen mengalami kemajuan perkembangan tahapan moral; sementara siswa

grup control mengalami beberapa perubahan.

Kohlberg dkk mengimplementasikan metode ini melalui integrasi dilemma

discussion ke dalam kurikulum sekolah pada bidang studi humaniora (ex: kesusasteraan)

dan ilmu social (ex: sejarah). Dalam mempersiapkan dilemma discussion, Kohlberg dkk

mengajari para guru bagaimana cara menyelenggarakan moral dilemma discussion

(diskusi dilemma moral) (ex: Fenton & Kohlberg, 1976; Kohlberg & Lickona, 1987).

Pertanyaan yang diajukan kepada siswa yaitu alasan why (mengapa) mereka memilih

suatu posisi. Pertanyaan lainnya adalah meminta siswa untuk memperjelas makna (ex:

Elizabeth, maksudmu apa ketika menggunakan kata “keadilan”?), berbagi pemahaman

(ex: Ashley, maukah kau menjelaskan kepada kelompok apa yang sudah dikatakan oleh

Benjamin?), atau interaksi antar siswa, khususnya tentang perspektif masing – masing

(ex: Ashley, apa pendapatmu mengenai penjelasan Benjamin tadi?). Pertanyaan lainnya

adalah menyangkut pembahasan Socratic (ex: apakah melanggar hukum itu bisa

dibenarkan? Apa yang terjadi bila seseorang melanggar hukum dan hal itu membuat dia

senang?). Georg Lind (2007) juga menjelaskan tentang pentingnya mengatur struktur dan

organisasi diskusi dilemma moral.

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa (1) dilemma discussion adalah

metode yang berguna bagi pendidikan pengembangan moral, (2) dibandingkan dilemma

hipotetis, dilemma kehidupan nyata lebih efektif untuk pengembangan moral, (3) terdapat

zone of proximal development (konsep vygotsky tentang perkembangan kognitif) di mana

23

Page 24: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

dilemma discussion bisa meningkatkan perkembangan moral secara maksimal, (4) teman

siswa merupakan guru terbaik atau rekan untuk berkomunikasi. Diskusi tentang dilemma

atau masalah kehidupan nyata merupakan metode pendidikan moral yang masih

digunakan sampai sekarang.

Just community schools

Kohlberg menciptakan metode ini pada musim semi 1974. Dia mendapatkan dana

untuk melatih para guru SMA dalam pendidikan moral. Siswa, guru dan orang tua serta

Kohlberg melakukan rapat untuk merancang sekolah baru. Hasilnya adalah Cluster

School, yang diatur oleh prinsip berikut (Power, Higgins, & Kohlberg, 1989: 64):

Sekolah tersebut diatur oleh demokrasi langsung. Semua isu utama akan dibahas

dan diputuskan pada rapat mingguan komunitas di mana setiap anggota (guru dan

siswa) akan melakukan voting

Ada sejumlah komite yang akan diisi oleh siswa, guru dan orang tua

Ada kontrak social yang dilakukan oleh para anggota; membahas tentang hak

tanggungjawab setiap anggota

Guru dan siswa memiliki hak sama; termasuk kebebasan berbicara, hormat

kepada orang lain, dan kebebasan dari gangguan fisik atau verbal

Kunci utama dari Just Community Schools adalah rapat mingguan komunitas,

yaitu rapat siswa dengan staf sekolah untuk memutuskan kebijakan dan praktik sekolah

yang berkaitan dengan isu keadilan dan komunitas. Fungsi rapat ini adalah konteks untuk

membahas masalah moral. Tujuan umumnya adalah menciptakan solidaritas komunitas di

antara siswa – untuk menciptakan suatu atmosfir moral – melalui praktik demokrasi

(membahas segala keputusan yang berkaitan dengan moral; dilakukan secara demokrasi).

24

Page 25: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

5

PENDEKATAN TRADISIONAL TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER

DI INGGRIS RAYA DAN AMERIKA

James ArthurCanterbury Christ Church University

Pendidikan karakter berakar pada system persekolahan negeri Amerika. Di abad

18 & 19, setiap sekolah memiliki tujuan untuk mengembangkan karakter. Selama masa

colonial, pendidikan karakter didasarkan atas teologi, suatu ajaran Protestan yang

mendominasi pada waktu itu, dan Founding Fathers memandang kalau pendidikan moral

merupakan cara untuk membentuk generasi muda menjadi warga Negara yang baik.

Namun, menjelang akhir abad 19, pendidikan karakter tidak lagi didasarkan pada ajaran

Kristen. Pendekatan tradisional terhadap pendidikan karakter terus berlanjut pada abad 20

tanpa mengacu pada ajaran Kristen.

Salah satu investigasi riset tentang pendidikan karakter adalah The Character

Education Enquiry yang dilakukan di Amerika oleh Hugh Hartshorne dan Mark May

(1928 – 1939). Inkuiri ini tampaknya membantah kalau tidak semua hal bisa disebut

karakter. Hasil riset tersebut menunjukkan kalau perilaku moral itu hadir dalam situasi

tertentu. Secara signifikan, riset ini mempengaruhi konsep Lawrence Kohlberg dan ahli

riset perkembangan moral lainnya. Namun, metodologi riset inkuiri tersebut sangat

terbatas. Hartshorne dan May menggunakan profil orang yang dewasa secara moral

sebagai model dan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada generasi muda seputar

masalah pencurian, nyontek dan berbohong. Kesimpulannya; pertama, tidak ada

hubungan antara pelatihan karakter dengan perilaku actual. Kedua, perilaku moral

seseorang tidak sama dari satu situasi ke situasi lain. Ketiga, tidak ada hubungan antara

25

Page 26: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

perkataan seseorang tentang moralitas dengan cara mereka bertindak; dan terakhir bahwa

semua orang pasti pernah berbuat cheating (nyontek) walaupun sedikit. Hasil riset

tersebut merupakan tantangan bagi pihak yang berupaya mengajarkan karakter kepada

anak – anak.

Pada 1950an, psikologi kognitif menjadi suatu disiplin yang popular di bidang

pendidikan. Keberhasilan Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, dan Erik Erikson disebabkan

oleh tema mereka mengenai perkembangan. Tema ini sesuai dengan tuntutan budaya

pada waktu itu. Budaya dan social menjadi lebih pluralistic sehingga sekolah menjadi

lebih sensitive terhadap heterogenitas siswa. Pendekatan kognitif terhadap pendidikan

moral – pendidikan karakter – lebih sesuai dengan tradisi liberal pemikiran kritis

ketimbang pendekatan berbasis kebaikan. Kohlberg (1984) mungkin merupakan ahli teori

perkembangan yang paling berpengaruh dan dia percaya bahwa pengetahuan tentang

kebaikan dibangun dalam kemajuan kognitif logis melalui 6 tahap perkembangan.

Sampai saat ini para ahli psikologi kognitif banyak menekankan pada

perkembangan struktur berpikir moral yang melandasi pengambilan keputusan. Bahkan

beberapa ahli meng-klaim keabsahan aplikasi metode ini. Namun, David Carr (2002)

justru berpendapat kalau teori tersebut digunakan untuk mendukung pendekatan progresif

terhadap pendidikan di mana yang ditekankan adalah pilihan gaya hidup. Hal ini tidak

mengindahkan perspektif para ahli tradisional yang berupaya mengajarkan siswa tentang

pengetahuan, nilai dan kebaikan masyarakat sipil. Menurut Carr, pendekatan progresif

menolak perspektif tradisional karena tidak bisa memprediksi tujuan pengembangan

manusia dank arena pendekatan tersebut meragukan nilai dan pengetahuan yang diterima.

26

Page 27: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Pandangan kaum sekuler

James Barclay, seorang Skotlandia, mengatakan bahwa seseorang bisa menjadi

asalkan dia memiliki karakter yang kuat karena segala tindak – tanduk guru merupakan

teladan bagi siapa saja. Orang Skotlandia lainnya, David Fordyce berbicara tentang

perkembangan imajinasi anak dalam hal moral sehingga beranggapan kalau pengajaran

moral secara formal tidak berpengaruh terhadap pembentukan karakter yang baik. Francis

Hutcheson, seorang professor filsafat moral di University of Glasgow pada 1747,

menganjurkan agar studi tentang karakter dilakukan secara lebih mendalam. Dia ingin

mendalami tentang hakikat diri kita sebagai manusia. Yang diperlukan adalah studi

objektif tentang hakikat manusia, terutama tentang motif dan perilaku. John Locke juga

percaya kalau pembentukan karakter lebih penting ketimbang kemampuan intelektual.

Ada juga kritikan terhadap hubungan antara ajaran agama dengan karakter. David Hume

dan Jeremy Bentham mengatakan bahwa moralitas tidak memerlukan konsep keagamaan.

Pendidikan adalah mengenai pengetahuan dan bebas dari nilai sementara agama berkaitan

dengan dogma dan tergantung pada nilai.

Pendekatan kontemporer terhadap pendidikan karakter

Pendekatan kontemporer terhadap pendidikan karakter di sekolah – sekolah

dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif. Semenjak 1960an, metode pengajaran

progresif menekankan pada child-centered learning (pembelajaran yang berpusat pada

siswa), pembelajaran melalui pengalaman, netralitas, dan cooperative learning

(pembelajaran kooperatif). Gagasan ini menganggap guru sebagai pendidik professional

yang harus menanamkan nilai – nilai karakter kepada siswa. Berkowitz dan Bier (2005)

menganalisa sejumlah riset empiric untuk meneliti apakah pendidikan karakter itu

27

Page 28: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

berhasil atau tidak. Kesimpulannya, mereka mengatakan kalau pendidikan karakter itu

bisa berhasil bila di-implementasikan secara efektif. Mereka juga menjelaskan 12

rekomendasi dan 18 praktik dalam pendidikan karakter, di antaranya: problem-solving,

empati, keterampilan social, resolusi konflik, menciptakan kedamaian, dan keterampilan

hidup.

Banyak guru berpendapat kalau kurikulum pengajaran karakter moral di sekolah

sangat terbatas. Banyak yang berpendapat kalau pengajaran moral merupakan

tanggungjawab orang tua bersama masyarakat dan dalam masyarakat yang multi-kultural,

tidak ada kesepakatan untuk menentukan mana karakter yang baik dan karakter yang

buruk. Terdapat juga perkembangan pola pikir pendidikan mengenai perbaikan moral,

karena guru tidak men-cap sesuatu sebagai immoral (tidak bermoral); mereka takut

dikatakan diskriminatif. Nyatanya, guru tidak memberi penilaian terhadap bahasa resmi

yang digunakan siswa. Carr dan Steutel (1999) mengatakan kalau pendidikan karakter

seharusnya didasarkan atas komitmen terhadap etika kebaikan. Meskipun pendekatan

etika kebaikan digunakan dalam pendidikan sekarang, namun belum banyak guru yang

memahami kompleksitasnya. Kebanyakan guru belum mau mengadopsi pendekatan etika

kebaikan dalam pendidikan karakter karena belum memahami wacana etika kebaikan

sepenuhnya. Suzanne Rice (1996) mengatakan bahwa sekolah bertanggungjawab

pengembangan karakter siswa, namun jika John Dewey benar, tanggungjawab ini

merupakan milik semua lembaga pendidikan. Menurutnya, kebaikan itu dikembangkan

dan dipertahankan dalam interaksi dengan semua lingkungan social dan fisik seseorang.

Sekolah hanyalah bagian dari lingkungan siswa, dan lingkungan lainnya di mana siswa

terlibat di dalamnya, juga berperan terhadap perkembangan karakter.

28

Page 29: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Narvaez (2005: 154 – 155) mengatakan bahwa pendidikan karakter harus

didasarkan atas riset yang sah secara psikologi. Dia menjelaskan model pendidikan dan

pengembangan karakter yang dia sebut sebagai IEE (integrative ethical education =

pendidikan etika yang bersifat integratif) yang menganggap karakter sebagai sejumlah

komponen skill yang bisa dipelihara sampai tingkatan tertinggi. Dia mengatakan kalau

perkembangan karakter anak berlangsung mulai dari tingkat pemula sampai tingkat ahli.

Pendekatan ini memerlukan lingkungan sekolah yang terstruktur dengan baik di mana

siswa bisa memahami dan mengembangkan skill serta memperoleh kesempatan untuk

mem-praktikan moral yang baik. Siswa belajar dari berbagai pengalaman dan

membangun dasar pengetahuan yang bisa digunakan dalam pengalaman belajar praktis

yang otentik. Narvaez menjelaskan kalau pendekatannya tidak hanya tentang kemampuan

intelektual atau kompetensi teknis semata; namun juga berupaya mengintegrasikan

pendidikan karakter dengan sains kognitif.

Thomas Rusnak (1998: 3 – 4) mengemukakan sebuah pendekatan pendidikan

karakter yang mengatakan bahwa thinking (pemikiran) – apa yang harus dilakukan atau

dipelajari, feeling (perasaan) – mengapresiasi apa yan dipelajari, dan action (tindakan)

harus diaplikasikan ke dalam tindakan; tidak hanya sebatas wacana. Dari teori ini, ada 6

prinsip yang diperoleh. Pertama, pendidikan karakter seharusnya tidak boleh dianggap

sebagai suatu bidang studi. Kedua, pendidikan karakter seharusnya dianggap sebagai

pendidikan tindakan. Ketiga, pendidikan karakter dibentuk dan dibangun oleh lingkungan

sekolah. Keempat, pendidikan karakter harus menjadi bagian dari kebijakan sekolah.

Kelima, pendidikan karakter harus dilakukan oleh guru tanpa harus terpaku pada

kurikulum yang ada. Keenam, pendidikan karakter harus melibatkan semua komunitas

29

Page 30: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

local dan sekolah. Semua pendekatan ini telah diaplikasikan di sekolah – sekolah

Amerika dan keberhasilannya beragam.

Bill Puka (2000: 131) menjelaskan tentang 6 metode pendidikan karakter; yaitu

(1) pengajaran tentang dasar kebaikan dan nilai, (2) pengajaran kode perilaku, (3)

bercerita tentang pelajaran moral, (4) memberikan contoh teladan tentang nilai dan sifat

yang baik, (5) mencontoh sifat teladan dalam sejarah, kesusasteraan dan agama, (6)

sekolah menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mempraktikan sifat dan nilai

kebaikan.

Kevin Ryan & Thomas Lickona (1987: 20ff) mengemukakan model

pengembangan karakter yang melibatkan 3 elemen dasar – pengetahuan, perasaan dan

tindakan. Lickona selanjutnya mengembangkan model ini. Pertama, siswa mempelajari

warisan konten moral. Siswa mempelajari kebaikan melalui proses pengambilan

keputusan yang rasional. Elemen penting di fase ini adalah alasan moral, pengambilan

keputusan, dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan diri melalui evaluasi dan

mengkaji. Kedua, domain afektif, yang melibatkan perasaan simpati, peduli dan

menyayangi orang lain merupakan hal penting dalam tindakan moral. Ketiga, tindakan

tergantung pada kemauan, kompetensi dan kebiasaan seseorang. Kemauan artinya bahwa

siswa harus bisa mengendalikan keinginan dan ketakutan diri agar tahu bagaimana

bertindak dengan benar. Siswa juga harus mengembangkan kompetensi untuk melakukan

kebaikan, yang melibatkan skill tertentu, dan mereka harus terus melakukan tindakan

kebaikan ini agar menjadi bagian dari kebiasaan diri.

30

Page 31: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

6

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA

UNTUK MENGABADIKAN KEBAIKAN

Pendidikan Moral: Prinsip dan Praktik

Karl Marx berpendapat kalau filsafat bukan untuk menafsirkan dunia; namun

justru untuk merubah dunia (Marx, 1968: 30). Dari perspektif politik, banyak pihak

menginginkan kalau pendekatan pendidikan karakter dapat menjanjikan perubahan

perilaku manusia ke arah yang lebih baik. Di sebuah dunia yang dipenuhi oleh masalah

social dan politik (perang, kriminal, sikap anti-sosial, disfungsi individu, alienasi dan

keputusasaan), manusia lebih menginginkan solusi yang cepat & tepat dalam mengatasi

perilaku yang buruk daripada terlibat dalam pencarian teori. Tidaklah mengherankan

kalau pendidikan karakter banyak mendapatkan dukungan politik.

Kebaikan dan karakter

Mungkin sebaiknya kita harus mengkaji dulu masalah teoritis. Pertama, kita harus

membedakan antara etika kebaikan dengan teori kebaikan. Etika dan teori kebaikan

berhubungan dengan fungsi dan relevansi sifat bawaan karakter terhadap asosiasi dan

kehidupan moral, hubungan pemahaman moral terhadap sifat bawaan karakter seperti

kejujuran, integritas, keadilan, keberanian dan sebagainya. Ada yang mengatakan kalau

“tata bahasa” moral diatur oleh teori kebaikan; sementara penjelasan tentang bagaimana

manusia meng-internalisasikan prinsip moral merupakan bagian dari inkuiri empiric

(psikologi). Teori etika klasik – deontologi ajaran Kant dan Utilitarianisme – dianggap

sebagai salah satu upaya untuk mengabadikan sifat bawaan karakter. Dari perspektif ini,

31

Page 32: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

teori Kant dan Utilitarianisme mengenai karakter moral telah banyak dikembangkan (ex:

Kant, 1964; Munzel, 1999).

Teori Kant dan Utilitarianisme bukanlah bentuk etika kebaikan. Secara sederhana,

etika kebaikan merupakan jenis teori kebaikan yang menjadikan studi karakter moral

menjadi lebih logis. Secara umum, teori deontologist dan utilitarian dimulai dengan

menanyakan jenis pemikiran apa yang dibutuhkan oleh seseorang agar tindakannya

menjadi lebih bermoral. Contoh, orang jujur adalah orang yang terbiasa berpikir secara

benar dalam situasi yang membutuhkan kejujuran.

Teori Aristoteles tentang karakter moral

Pada dasarnya, teori etika Aristoteles merupakan ragam etika naturalistic.

Aristoteles menganggap kualitas moral merupakan fitur hakikat manusia yang tidak jauh

beda dengan makan dan bernafas; pendekatan Aristoteles terhadap studi kebaikan

manusia lebih bersifat quasi-biologis. Pendekatan umum Aristoteles terhadap biologi

adalah teleologis. Pendeknya, untuk memahami fungsi makhluk hidup, entitas atau

properti, Aristoteles memulainya dengan pertanyaan,”Tujuan fundamental mereka apa?”

“Apa yang mereka perlukan untuk mencapai tujuan tersebut?” Menurut sudut teleologis,

pertanyaan ini saling berkaitan. Contoh, untuk memahami hakikat ikan beserta fiturnya,

kita mungkin pertama meng-observasi bahwa ikan adalah sesuatu yang perlu hidup dan

bergerak di lingkungan perairan. Kita lalu meneliti bahwa untuk melakukan hal tersebut

secara efektif, seekor ikan pasti perlu sirip dan insang agar bisa berenang di perairan yang

luas. Kita lalu menjelaskan bahwa fungsi sirip dan insang tersebut adalah untuk

membantu ikan mengarungi perairan; begitu juga bagi makhluk hidup lainnya.

32

Page 33: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Bagi Aristoteles, properti yang berfungsi untuk membantu ikan mengarungi

perairan, seperti insang dan sirip, disebut sebagai arête (bahasa yunani). Arête adalah

sesuatu yang menciptakan keberhasilan atau kebaikan; dalam bahasa Inggris, arête

diartikan sebagai virtue (kebaikan). Arête memiliki konotasi yang lebih luas yaitu

excellence (kemuliaan); jadi yang termasuk arête pada ikan adalah sirip, insang dan hal

penting lainnya yang menciptakan keberhasilan bagi suatu spesies dan spesies lain.

Maka, untuk memahami kebaikan moral manusia, menurut Aristoteles kita harus

menanyakan tujuan umum dan tujuan akhir perilaku manusia. Aristoteles juga

menjelaskan dua fitur keberhasilan manusia; pertama, manusia adalah hewan yang

berpikir – sebutannya adalah Nicomachean Ethics – tujuan akhir manusia mengarungi

kehidupan bisa ditemukan melalui kontemplasi (penghayatan); kedua, manusia adalah

hewan social (zoon politikon) sehingga kebahagiaan atau kehidupannya tidak terlepas

dari orang lain. Namun konsekuensinya, karena keberhasilan manusia dalam mengarungi

kehidupan bisa terjadi bila mereka mempraktikan kebaikan moral, seperti kejujuran,

keadilan, kerendahan hati dan keberanian; maka, kebaikan moral dan intelektual tersebut

bisa dianggap sebagai arête hakikat manusia.

Singkatnya, analisa Aristoteles tentang hakikat manusia dalam kebaikan moral

tergantung pada ide tentang tujuan manusia itu sendiri; dalam pandangan ini, manusia

harus mempraktikan kebaikan moral agar bisa berhasil mengarungi kehidupan, sama

seperti fitur – fitur yang dibutuhkan oleh ikan dalam mengarungi perairan.

33

Page 34: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Kebaikan, karakter dan pendidikan

Menurut Aristoteles, upaya untuk mengabadikan kebaikan moral adalah kita harus

melatih dan membiasakan diri melakukan kebaikan – sama seperti jika seseorang ingin

menjadi musisi yang baik, maka dia harus terus berlatih bermain musik. Upaya pertama

dalam mengabadikan kebaikan itu adalah bersikap rendah hati atau melakukan

pengendalian diri (self-control). Dari sinilah, kita akan bisa melakukan kebaikan moral

lainnya, seperti keadilan, kebijaksanaan atau bahkan keberanian. Dengan rendah hati dan

control diri, semua kejelekan moral; seperti hamil di luar nikah, pelecehan seksual, dan

penyalahgunaan obat terlarang yang suka terjadi di masyarakat kontemporer, akan bisa

diatasi. Hal tersebut merupakan bukti dari kegagalan dalam menerapkan disiplin diri baik

di keluarga, sekolah atau konteks lainnya.

Upaya lain untuk mengabadikan kebaikan moral adalah pendidikan orang tua

yang mengajarkan nilai – nilai keberanian, kasih sayang dan dukungan yang

mengindikasikan bahwa mekanisme utama pedagogis dan psikologis adalah modeling

atau exemplification (memberikan contoh teladan). Dalam mengajarkan kebaikan moral

kepada generasi muda, baik guru maupun orang tua harus memberikan contoh teladan

karakter yang baik.

34

Page 35: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

7

SEKOLAH, KOMUNITAS DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Kenneth A. StrikeSyracuse University

Bab ini membahas peran komunitas dalam pendidikan karakter, di mana yang

ditekankan adalah kurikulum akademik sekolah. Pendidikan adalah inisiasi ke dalam

praktik dan komunitas yang mendukung praktik tersebut. Inisiasi ke dalam komunitas

melibatkan pembelajaran norma dan nilai kebaikan yang berkontribusi terhadap

perkembangan rasa keadilan. Proses inisiasi ini disebut normation (Green, 1999).

Normation memerlukan dukungan norma yang kuat dari komunitas. Namun, sekolah

bukanlah komunitas yang kuat dan terkadang memberikan norma yang salah.

KRITIK KAUM KOMUNITARIAN (COMMUNITARIAN) TENTANG SEKOLAH:

MENGAPA SEKOLAH KESULITAN DALAM MEMBERIKAN NORMA

Kaum komunitarian mengklaim bahwa nilai kebaikan dan keadilan terletak pada

tujuan, tradisi dan atribut komunitas. Tidak ada prinsip universal yang terus ada di

sepanjang waktu dan semua tempat (Nagel, 1986). Pandangan tentang pendidikan moral

yang menekankan otonomi dan kritik terhadap tradisi membuat anggota komunitas

menjadi individu yang abstrak, di mana cirinya adalah kebebasan dan persamaan (Sandel,

1982). Individu, yang tidak lagi memiliki akar nilai tradisi, akan berubah menjadi egois

dan berkembang menjadi individu yang posesif.

Dalam sebuah paper berjudul The Communitarian Critique of Liberalism,

Michael Walzer (1995: 54) mengatakan bahwa kritik kaum komunitarian terhadap

35

Page 36: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

liberalisme itu ada 2 versi. Versi pertama meng-kritik praktik liberal dan beranggapan

bahwa praktik ini mencerminkan teori liberal. Kaum komunitarian menganggap kalau

masyarakat Barat adalah “rumah” bagi individu yang terisolasi, kaum egois rasional, dan

agen eksistensial yang dilindungi oleh hak paten (inalienable rights).

Versi kedua mengklaim bahwa teori liberal salah meng-interpretasi kehidupan

nyata sehingga tidak mungkin seseorang memiliki visi liberalisme. Semua manusia, baik

laki – laki maupun perempuan dipisahkan dari ikatan social. Walzer mengatakan kalau 2

versi ini tidaklah konsisten namun masing – masing versi tersebut sebagian ada yang

benar.

Mungkin perselisihan antara kaum komunitarian dengan liberalisme modern

berhubungan dengan universalisme moral. Liberalisme dihubungkan dengan view from

nowhere (pandangan yang tidak jelas asal usulnya). Liberalisme membuat manusia tidak

lagi memiliki akar nilai tradisi dan membuat mereka menjadi makhluk yang abstrak.

Namun, karakterisasi seperti ini dibantah oleh kalangan liberal. Mereka

mengatakan bahwa kalangan liberal menginginkan kalau norma keadilan harus menjadi

norma bagi setiap orang dalam masyarakat pluralis.

Kaum liberal memandang budaya sebagai kata pertama yang berkaitan dengan

keadilan namun mereka tidak bisa menjamin validitas kata ini. Jadi, kaum liberal

mendukung praktik dan bentuk budaya yang bisa menjamin terciptanya warganegara

liberal yang baik; namun, kaum liberal takut kalau budaya, komunitas dan tradisi menjadi

liberal.

Kaum liberal memiliki kepentingan lain dalam bentuk dan praktik budaya. Rawls

(1971), contohnya, mengklaim kalau semua orang memiliki 2 kemampuan yang

36

Page 37: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

menjelasakan mereka sebagai manusia: kemampuan untuk mengetahui konsep tentang

kebaikan; dan kemampuan untuk memiliki rasa keadilan. 2 kemampuan ini harus

dikembangkan. Perkembangan ini tergantung pada hakikat dan kualitas budaya, tradisi

dan komunitas yang ada bagi manusia. Lebih jauh, ada keterkaitan antara perkembangan

manusia menjadi warganegara yang baik dengan kemampuan mereka dalam mengarungi

kehidupan. Warganegara yang baik diciptakan oleh budaya liberal dan kemampuan

mengarungi kehidupan dibentuk oleh budaya yang baik.

Mungkin kritik dari kaum komunitarian yang bisa ditujukan kepada kaum liberal

adalah seperti ini: mengembangkan rasa keadilan dan konsep kebaikan akan sangat

bergantung pada internalisasi sumber intelektual dan cultural yang terdapat di berbagai

budaya, tradisi dan komunitas. Budaya, tradisi dan komunitas ini bisa dianggap berharga,

diterima atau bahkan autoritatif. Liberalisme bisa menciptakan institusi dan praktik yang

membuat kekayaan budaya, tradisi dan komunitas menjadi lebih bisa diterima tapi tidak

autoritatif.

Sumber budaya yang melanda masyarakat liberal senantiasa hadir tanpa ada

quality control (kendali mutu). Masyarakat harus mampu memilah kekayaan budaya

tersebut dengan cara memilih mana yang bernilai dan mana yang tidak. Tuhan, Bach (ahli

composer musik klasik), Heavy Metal (jenis musik rock), Shakespeare, Marlboro, SUV,

Hip Hop (jenis musik yang disukai anak gaul), Playboy (majalah porno), dan Budweiser

senantiasa hadir di tengah – tengah masyarakat, terutama kalangan anak, secara konstan.

Semua produk budaya modern tersebut tidak memakai cap value (nilai/harga) di “kerah

bajunya.” Maka di sini, kita harus bisa memilah dan memilih produk tersebut secara

bijaksana.

37

Page 38: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Untuk bisa memilah dan memilih secara bijaksana maka kita membutuhkan

norma dan kritera pengakuan. Anak tidak terlahir secara rasional. Memahami

rasionalitas, norma dan criteria pengakuan merupakan artifak cultural yang ditemukan

oleh manusia dan kita mempelajarinya dari orang lain.

Anak – anak mempelajari norma dan criteria dengan cara mencontoh nilai norma

yang dipraktikan oleh kerabat terdekat. Tindakan yang dilakukan anak sebetulnya tidak

berdasarkan pada norma. Mereka memahami nilai – nilai norma melalui keluarga,

masyarakat dan budaya sekitar tempat mereka hidup. Kelompok inilah yang memberi

pemahaman tentang nilai kepada anak. Inilah kebenaran inti dari komunitarianisme.

Jika ini benar, maka kaum liberal harus bisa memastikan kalau anak – anak hidup

di tengah komunitas yang menawarkan nilai – nilai kebaikan dan juga harus menjamin

kalau komunitas tersebut bisa menanamkan nilai norma kepada anak – anak. Tentu saja,

masyarakat liberal pluralisme memiliki criteria tersendiri mengenai nilai kebaikan dan

keadilan. Oleh karena itu, kita harus mengkaji hal tersebut secara lebih mendalam dan

bijaksana.

Kita mungkin berharap kalau sekolah bisa mengadopsi konsep budaya yang

mengajarkan nilai kebaikan; meskipun demikian, harapan terbesar terhadap sekolah

adalah siswa bisa memiliki etos kerja. Maksudnya, sekolah bisa mengajarkan

keterampilan pada siswa sehingga mereka bisa memasuki dunia kerja dengan mudah.

Secara kompetitif, nilai keterampilan ini sangat berharga. Siswa diajarkan kalau mereka

berada dalam persaingan dengan orang lain demi meraih kesempatan dan melakukan

kebaikan.

38

Page 39: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

Bryk, Lee dan Holland (1993: 318 – 319) menjelaskan beberapa poin berikut

terkait budaya di sekolah negeri. Pertama, mereka mengklaim bahwa sekolah negeri

memiliki visi tentang masyarakat di mana setiap individu berusaha meraih keberhasilan

sambil mengejar kepentingan diri mereka sendiri. Norma institusional bersifat kompetitif,

individualistis dan materialistis. Kedua, melalui beberapa praktik seperti kurikulum,

tracking dan tugas yang diberikan guru, sekolah berupaya untuk mendistribusikan

keberhasilan social. Ketiga, sekolah menerapkan aturan yang tidak dipandang sebagai

konsep keadilan atau moral, di mana otoritas moral diganti dengan otoritas birokratik,

dan di mana siswa mempelajari keterampilan memanipulasi system demi kepentingan

mereka sendiri.

Ironisnya, substansi kurikulum sekolah ini didominasi oleh kurikulum akademik;

terdiri atas pelajaran yang dianggap sebagai bagian dari pendidikan seni liberal: sains,

matematik, kesusasteraan dan sejarah. Namun, pelajaran tersebut tidak berhubungan

dengan tujuan pendidikan liberal seperti kewiraan dan kewarganegaraan; justru dianggap

sebagai inti kapitalisme manusia dan dasar keamanan serta kesejahteraan (National

Commission, 1983).

Jika seorang anak harus menjadi warganegara yang baik dan memiliki

pemahaman tentang kebaikan, maka mereka harus berada di lingkungan masyarakat yang

berfungsi sebagai “alat transmisi norma” yang menanamkan nilai – nilai keadilan dan

kebaikan. Jika masyarakat berhasil menanamkan nilai kebaikan tersebut, mereka harus

bisa memberikan dukungan otoritatif terhadap norma tersebut. Namun, liberalisme bisa

saja melemahkan masyarakat dalam memberikan dukungan otoritatif tersebut. Jika

demikian, maka siswa akan didominasi oleh etos kerja pasar sehingga membuat mereka

39

Page 40: HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER

menjadi individu yang lebih egois dan posesif ketimbang individu yang memiliki nilai –

nilai kebaikan. Karena merupakan gambaran masyarakat, maka sekolah tampaknya

mencerminkan nilai – nilai ini.

Argument di atas bukan klaim kaum komunitarian bahwa individu yang egois dan

posesif merupakan nilai inti liberlisme atau inti konsep liberal mengenai individu. Ini

tidak benar. Yang benar adalah bahwa di komunitas liberal kapitalis dan komunitas yang

mendukung nilai kebaikan di mana anak – anak dibesarkan, nilai pasar bisa dikatakan

sebagai nilai paten. Liberalisme tidak mendukung hal ini. Bahkan mungkin menolaknya.

40