HAM DALAM HAN.docx
Transcript of HAM DALAM HAN.docx
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PERSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK (Summary)
OlehMilyan Risydan Al Anshori
PENDAHULUAN
Pengertian administrasi dari bahasa latin ad dan ministrare yang berarti membantu,
melayani dan memenuhi. Dalam bahasa inggris administration yang merupakan segenap
proses penyelenggaraan atau penataan tugas-tugas pokok pada suatu usaha kerjasama
sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Hubungan administrasi dengan
managemen dan tata usaha sering dikacaukan pengertiannya. Managemen merupakan bagian
dari administrasi sedangkan tata usaha ialah kegiatan pengumpulan data dan informasi
dengan pencatatan secara sistematis pada suatu organisasi.
Dalam tulisan ini digunakan istilah hukum administrasi negara dengan pertimbangan
tidak menutup kemungkinan pada fakultas hukum untuk menggunakan istilah lainnya,
misalnya hukum tata pemerintahan dan hukum tata usaha negara. Penggunaan istilah ini juga
didasari pertimbangan bertambah luasnya lapangan pekerjaan administrasi negara, termasuk
pelayanan publik dan perlindungan HAM terkait dalam perlindungan hukum.
Pengertian administrasi negara mencakup semua kegiatan negara untuk menunaikan
dan melaksanakan kebijakan negara. Jadi pengertian administrasi terdiri dari tiga unsur yaitu
(1.) kegiatan melibatkan dua orang atau lebih, (2.) kegiatan dilakukan secara bersama-sama,
dan (3.) ada tujuan yang ingin dicapai. Ada dua pengertian administrasi negara yaitu secara
luas dan sempit. Dalam arti luas sebagai bentuk kegiatan negara dalam melaksanakan
kekuatan politiknya, sedangkan dalam arti sempit sebagai kegiatan badan eksekutif dalam
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. Melengkapi pengertian ini Prajudi Admosudijo
memberikan tiga arti dari administrasi negara, yaitu (1) sebagai aparatur negara, aparatur
pemerintahan, (2) sebagai aktifitas melayani pemerintah, dan (3) sebagai proses tehnis
penyelenggara undang-undang. Dengan demikian administrasi negara dasar dan tujuannya
adalah sesuai dengan dasar dan tujuan negara republik Indonesia, yaitu tercapainya
kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Administrasi negara yang baik memperlukan social
partisipation, social responsibility, social report dan social control.
Pengertian hukum administrasi negara berdasarkan pendapat para ahli dapat
dikemukakan bahwa hukum administrasi negara adalah peraturan-peraturan hukum yang
mengatur dan mengikat para penyelenggara negara dan pemerintahan dalam melaksanakan
tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan. Penyelenggaraan pemerintahan yang
baik adalah penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum. Sejalan dengan
penalaran ini, maka hukum administrasi negara dijadikan instrumen untuk terselenggaranya
pemerintahan yang baik. Dengan adanya hukum administrasi negara akan terlihat secara
konkrit sejauh mana kualitas hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
Perkembangan hukum administrasi negara sebelum abad ke-19 hukum dibagi
kedalam hukum publik dan hukum privat. Hukum publik meliputi hukum tata negara, hukum
administrasi negara dan hukum pidana. Sedangkan hukum privat terdiri dari hukum perdata
dan hukum dagang. Sesudah abad ke-19 kedudukan hukum administrasi negara (HAN) dalam
ilmu hukum tidak lagi menjadi bagian dari tata negara, tetapi sudah merupakan hukum publik
yang berdiri sendiri.
Hubungan hukum administrasi negara dengan ilmu tata pemerintahan sangat erat
karena hukum administrasi negara menjadi salah satu bagian dari ilmu tata pemerintahan
yang membahas aturan-aturan tertulis dan yang tidak tertulis. Pemerintah melakukan dua
macam tindakan, tindakan atau perbuatan biasa dan tindakan atau perbuatan hukum. Dalam
kajian hukum administrasi negara arahnya pada perbuatan kedua yaitu perbuatan atau
tindakan hukum (recths handeligen).
Hukum administrasi negara juga mempunyai hubunganm erat dengan hukum tata
negara karena obyek penyelidikannya sama, hanya pendekatannya yang berbeda. Hukum tata
negara untuk mengetahui atau mengkaji organisasi negara serta badan-badan lainnya,
sedangkan hukum administrasi negara menghendaki bagaimana caranya negara
menyelenggarakan atau melakukan tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan negara.
SUMBER HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Pengertian sumber hukum adalah segala sesuatu yang memuat ketentuan-ketentuan
hukum yang dapat dijadikan dasar pembentukan, pelaksanaan dan penerapan hukum secara
konkrit. Dalam kajian ilmu pengetahuan hukum, pengertian sumber hukum oleh para ahli
dipergunakan dalam beberapa pengertian, yaitu :
(1.) Sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum. Hal ini berupa keputusan
penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan hukum.
(2.) Sumber hukum dalam pengertian sebagai tempat ditemukannya peraturan-peraturan hukum
yang berlaku. Hal ini berupa undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, serta doktrin
yang terdapat dalam undang-undang Republik Indonesia, TAP MPR, UU, Perpu, PP, Perpres,
kepres, perda dan lain-lainnya.
(3.) Sumber hukum dalam pengertian hal-hal yang dapat mempengaruhi penguasa dalam
menentukan hukum. Hal ini berupa keyakinan, rasa keadilan atau perasaan akan hukum.
Dalam ilmu hukum, sumber hukum terdiri dari sumber pengenalan hukum. Sumber
hukum ini mengharuskan menyelidiki asal dan tempat ditemukannya hukum. Sumber hukum
berikutnya berupa sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan tumbulnya atau lahirnya aturan
hukum. Sumber hukum ini mengharuskan menelaah asal sumber nilai yang menyebabkan
sebagai dasar aturan hukum.
Sumber hukum dalam ilmu hukum ada dua, yaitu material dan formal. Secara filosofis
sumber hukum dapat dilihat dari dua aspek, yaitu sumber isi hukum dan sumber kekuatan
mengikat hukum. Sumber isi hukum ada yang berpandangan teokratis: isi hukum berasal dari
Tuhan, pandangan hukum kodrat: isi hukum berasal dari asal manusia dan pandangan
madzhab historis: isi hukum berasal dari kesadaran hukum masyarakat.
Pancasila sebagai falsafah negara merupakan sumber hukum administrasi negara
dalam arti material, dan sekaligus sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sumber hukum
ini mengharuskan adanya prinsip hukum material yang berasaskan ketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pimpin oleh
khitmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/keadilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Hal ini berarti hukum material administrasi negara tidak boleh bertentangan
dengan agama, menjunjung tinggi martabat manusia, berlaku seluruh bangsa Indonesia
sebagai pemersatu, kekuasaan harus tunduk pada hukum dan semua orang dihadapan hukum
adalah sama.
Sumber hukum formal hukum administrasi negara secara hierarkis adalah UUD 1945,
TAP MPR, UU/ perpu, PP, perpres, keppres dan perda. Dalam pembentukan undang-undang
pelandasan yang tergambar dalam konsideran harus memuat norma hukum yang baik. Hal ini
terdiri atas pelandasan filosofis (norma ideal), sosiologis (kebutuhan masyarakat), politis,
yuridis dan administratif.
Hakekat hukum administrasi negara adalah mengatur hubungan antara alat-alat
pemerintah dengan masyarakat dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari
tindakan sewenang-wenang aparatur pemerintah. Hukum administrasi negara berperan
mengatur, membatasi dan menguji hubungan hukum antara warganegara dengan
penguasa.Hibungan hukum terjadi karena pemerintah menjalankan tugas tugas umum
pemerintahan dan pembangunan melalui pengambilan keputusan pemerintah yang bersifat
strategis,dan melalui tindakan tindakan pemerintahan dalam menegakkan ketertiban umum,
penegakan hukum, kewibawaan negara dan kekuasaan negara.
Fungsi hukum administrasi negara secara umum untuk tercapainya ketertiban umum
dan keadilan. Ketertiban umum adalah keadaan yang menyangkut penyelenggaraan
kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama.ketertiban umum sangat penting otuk
menjamin kelangsungan hidup bersama. Fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan
masyarakat yaitu berfungsi sebagai direktif, stabilitatif, integratif, perfektif (penyempurna)
dan korektif intuk mendapatkan keadilan.
Hukum administrasi negara mencakup tiga fungsi, yaitu : fungsi normatif, instumental
dan fungsi jaminan.Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan pemerintah, fungsi
instumental untuk menetapkan instumen yang digunakan pemerintah dalam melakukan
pemerintahan dan fungsi jaminan untuk menjamin adanya perlindungan hukum.
Fungsi normatif hukum administrasi negara melalui menelaah serangkaian peraturan
perundang undangan. Setiap tindakan pemerintah harus didasarkan asas legalitas, yang berarti
terlebih dahulu mencari legalitasnya tindakan dalam UU .Jika tidak terdapat dalam UU
pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Apabila
tidak ditemukan legalitasnya, sementara harus dilakukan tindakan segera, maka pemerintah
dapat menggunakan kewenangan bebas yang disebut freies ermessen .Pelaksanaan freies
ermessen harus memperhatikan asas asas pemerintahan yang baik. Kemudian fungsi
instrumen hukum administrasi negara dimaksudkan untuk menciptakan kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan.Akhirnya fungsi jaminan hukum administrasi negara harus
dapat memberikan perlindungan warga masyarakat sehingga tercapai keadilan dan
kesejahteraan secara merata
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik telah dituangkan peraturan perundang-
undangan, seperti : tertuang dalam ketentuan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Asas-asas umum yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Asas Kepastian Hukum (Principles of Legal Security)
Artinya, pemerintah di dalam menjalankan wewenangnya haruslah sesuai dengan aturan-
aturan hukum yang telah ditetapkannya. Pemerintah harus menghormati hak-hak seseorang
yang telah diperoleh dari pemerintah dan tidak boleh ditarik kembali. pemerintah harus
konsekuen atas keputusannya demi terciptanya suatu kepastian hukum.
b. Asas Keseimbangan (Principles of Proportionality)
Artinya, ada keseimbangan antara pemberian sanksi terhadap suatu kesalahan seseorang
pegawai, janganlah hukuman bagi seseorang berlebihan dibandingkan dengan kesalahannya.
c. Asas Kesamaan (Principle of Equality)
Artinya, pemerintah dalam menghadapi kasus/fakta yang sama, pemerintahan harus bertindak
yang sama tidak ada perbedaan, tidak ada pilih kasih dan lain sebagainya.
d. Asas Bertindak Cermat (Principle of Carefulness)
Asas ini menghendaki agar administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar
tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat.
e. Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan (Principle of Motivation)
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat administrasi negara
(pemerintah) bersandar pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar, adil dan
jelas. Artinya, setiap keputusan pemerintah harus mempunyai motivasi (alasan) yang benar,
adil dan jelas.
f. Asas Jangan Mencampur Adukan Kewenangan (Principle of Non Misuse of Competence).
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat administrasi negara
(pemerintah) tidak menggunakan kewenangan atas kekuasaan di luar maksud pemberian
kewenangan atau kekuasaan itu. Artinya, pemerintah jangan menggunakan kewenangan
untuk tujuan yang lain, selain tujuan yang sudah ditetapkan untuk kewenangan itu.
g. Asas Permainan yang Layak (Principle of Fair Play)
Artinya, pemerintah harus memberikan kesempatan yang layak kepada warga masyarakat
untuk mencari kebenaran dan keadilan. Misalnya: memberi hak banding terhadap keputusan
pemerintah yang tidak diterima individu melalui PT Tata Usaha Negara (PT TUN).
h. Asas Keadilan atau Kewajaran (Principle of Reasonable or Prohibition of Arbitrariness)
Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakan pemerintahan tidak berlaku sewenang-
wenang atau berlaku tidak layak. Artinya pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-
wenang atau menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk kepentingan
pribadinya.
i. Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar (Principle of Meeting Raisesd Expectation)
Artinya, tindakan pemerintah yang dapat menimbulkan secercah harapan bagi pegawai negeri
sipil yang berprestasi dalam kinerjanya, untuk memperoleh penghargaan dari pemerintah atau
atasannya.
j. Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang Batal
Asas ini menghendaki jika terjadi pembatalan atas suatu keputusan, maka akibat dari
keputusan yang dibatalkan itu dihilangkan, sehingga yang bersangkutan (terkena putusan)
harus diberikan ganti kerugian atau rehabilitasi. Misalnya membuat keputusan
memberhentikan seorang pegawai. Kemudian keputusan pemberhentian (pegawai) itu
dibatalkan oleh lembaga peradilan administrasi negara (PTUN). Maka semua akibat dari
keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga instansi yang membuat keputusan
pemberhentian itu bukan saja harus menerima pegawai yang bersangkutan untuk bekerja lagi
di instansi tersebut, tetapi juga harus mengganti kerugian akibat keputusan yang pernah
dibuatnya.
k. Asas Perlindungan atas Pandangan Hidup Pribadi (Principle of Protecting the Personal Way
of Life)
Asas ini menghendaki setiap pegawai negeri diberi kebebasan atau hak untuk mengatur
kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan (cara) hidup yang dianutnya. Penerapan asas
ini harus dikenakan pada pembatasan dari garis-garis moral Pancasila yang merupakan
falsafah hidup bangsa. Dengan demikian, pandangan hidup itu dalam pelaksanaannyaharus
diberikan batasan moral sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang religius.
l. Asas Kebijaksanaan (Principle of Wisdom – Sapientia)
Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya pemerintah diberi kebebasan untuk
melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi. Artinya, pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan undang-undang dan menyelenggarakan kepentingan
umum.
Untuk itu, asas kebijakan ini jangan dikacaukan pengertiannya dengan freies ermessen,
sebab freies ermessen pada hakikatnya memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah
dalam menghadapi situasi yang konkret (darurat); sedangkan kebijakan merupakan satu
pandangan jauh ke depan (terpola) dari pemerintah. Oleh sebab itu, freies ermessen harus
didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas kebijaksaan yang menghendaki bahwa
pemerintah dalam segala tindakannya harus berpandangan luas dan selalu dapat
menghubungkan dengan gejala-gejala masyarakat yang harus dihadapinya serta dapat
memperhitungkan atau mempredik-sikan atas tindakan itu jauh ke depan.
m. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (Principle of Public Service)
Artinya, tugas pemerintah harus mendahulukan kepentingan umum dari pandangan
kepentingan pribadi.
Konsep Pemerintahan yang Baik
Dari sudut pandang hukum administrasi negara, konsep good governance berkaitan
dengan aktivitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Good
Governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah, yaitu :
1) Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the security of all person
and society it self).
2) Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan masyarakat (to
mange an effective framework for the public sector, the private sector and civil society).
3) Memajukan asaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to
promote economic, social and other aims in accordance with the wisches of the population).
Pemerintahan yang Baik dalam Perspektif Pelayanan Publik
Pelayanan publik (public service) adalah produk yang dihasilkan oleh pemerintah
kepada masyarakat. Dalam hubungan pemerintah dengan masyarakat, semakin maju suatu
masyarakat makin meningkat pula kesadaran akan haknya, maka pelayanan publik menjadi
suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Ruang lingkup pelayanan publik tersebut meliputi : pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan,
jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor
lain yang terkait (Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik).
a. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan
daerah yang dipisahkan;
c. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari
anggaran pendapatna dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau
badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan
negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi
negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat (3) UU Nomor 25
Tahun 2009).
Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh
penyelenggara negara. Dalam hal ini negara didirikan oleh masyarakat (rakyat atau publik)
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarkat.
PERBUATAN PEMERINTAH
Perbuatan atau tindakan pemerintah adalah tiap-tiap tindakan atau perbuatan dari
suatu alat administrasi negara (bestuur organ) yang mencakup juga perbuatan atau hal-hal
yang berada di luar lapangan hukum tata pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-
lain dengan maksud menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi. Atau
dengan kata lain perbuatan pemerintah adalah perbuatan yang dilakukan oleh pejabat tata
usaha negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan.
Perbuatan pemerintah memiliki beberapa unsur, yaitu :
a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa
maupun sebagai alat perlengkapan pemerintan (bestuur orgamen) dengan prakarsa dan
tanggung jawab sendiri;
b. Perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang
hukum administrasi;
d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan
rakyat.
Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan
perundang-undangan karena beberapa alasan berikut. Pertama, paham pembagian kekuasaan
menekankan pada perbedaan fungsi dari pada pemisahan organ, karena itu fungsi
penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah
membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Ketiga,
untuk menunjang perubahan masyarakat yangh cepat, mendorong administrasi negara
berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan tugasnya penyelenggara pemerintahan atau administrasi negara
melakukan berbagai jenis perbuatan melalui berbagai kebijakan. Perbuatan-perbuatan
penyelenggara pemerintah dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Feitelijke handelingen (perbuatan non-yuridi) yaitu perbuatan pemerintah yang tidak
berakibat hukum atau sering juga disebut perbuatan pemerintah yang didasarkan pada fakta-
fakta saja, seperti perbuatan pemerintah untuk meresmikan proyek pembangunan irigasi;
2. Rechts handelingen (perbuatan yuridis) yaitu perbuatan pemerintah yang berakibat hukum.
Perbuatan dalam hukum administrasi negara yang penting adalah perbuatan yang
dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan atau negara yang berakibat hukum atau lazim
disebut perbuatan hukum pemerintah. Perbuatan hukum pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan digolongkan ke dalam dua golongan perbuatan hukum,
yaitu : (1) perbuatan pemerintah yang bersifat hukum privat, dan (2) perbuatan pemerintah
yang bersifat hukum publik.
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumber pada tiga hal, yaitu :
1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu
organ pemerintahan, baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Suatu atribusi
menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum tata negara.
2. Delegasi
Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ
yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula
kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah
diberikan oleh si pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang.
3. Mandat
Mandat tidak demikian hal dengan atribusi dan delegasi. Pada mandat tidak terjadi suatu
pemberian wewenang baru maupun pelimbahan wewenang dari badan atau pejabat tata usaha
negara yang satu kepada yang lain. Dengan kata lain, pejabat penerima mandat (mandataris)
bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans). Di dalam pemberian mandat,
pejabat yang memberi mandat (mandans) menunjuk pejabat lain (mandataris) untuk
bertindak atas nama mandans (pemberi mandat). Adapun tanggung jawab kewenangan atas
dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PROSPEKTIF PELAYANAN PUBLIK
Secara faktual (empiris) pelayanan publik yang dilakukan oleh aparat pemerintah
selama ini masih menampilkan ciri-ciri yang berbelit-belit, lambat, mahal, serta melelahkan.
Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang
melayani, bukan yang dilayani.
Untuk itu, diperlukan suatu perubahan paradigma dalam bidang pelayanan publik
dengan mengembalikan dan mendudukkan pelayan dan yang dilayani pada posisi yang
sesungguhnya. Secara filosofi, pelayanan yang diberikan oleh aparat pemerintah kepada
masyarakat ditafsirkan sebagai kewajiban bukan hak, karena mereka (birokrat) diangkat dan
ditugasi untuk melayani masyarakat, oleh karena itu harus dibangun komitmen yang kuat
untuk melayani sehingga pelayanan akan menjadi responsif terhadap kebutuhan masyarakat
dan dapat merancang model pelayanan yang lebih kreatif serta lebih efisien.
Menurut Inu Kencana, pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang
menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun
hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik adalah pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara terhadap masyarakatnya guna
memenuhi kebutuhan masyarakat itu sendiri dan memiliki tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi
penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-
undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata
untuk kegiatan pelayanan publik (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 25 Tahun 2009).
Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan
maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengukuran kualitas pelayanan publik didasarkan pada indikator-indikator berikut :
1. Tangible, artinya kualitas pelayananyang berupa sarana fisik perkantoran, ruang tunggu, dan
lainnya;
2. Reliability, yakni kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya;
3. Responsiveness, yakni kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara
cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen;
4. Assurance, yakni kemampuan dan keramahan serta sopan santun pegawai dalam meyakinkan
dan menumbuhkan kepercayaan konsume;
5. Emphaty, yakni sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan
dasar dan hak sipil setiap warga masyarakat atas barang, jasa dan administratif harus
berdasarkan pada : (1) Kepentingan umum, (2) Kepastian hukum, (3) Kesamaan hak, (4)
Keseimbangan hak dan kewajiban, (5) Keprofesionalan, (6) Partisipatif, (7) Persamaan
perlakuan / tidak diskriminatif, (8) Keterbukaan, (9) Akunntabilitas, (10) Fasilitas dan
perlakuan khusus bagi kelompok rentan, (11) Ketepatan waktu, (12) Kecepatan, kemudahan
dan keterjangkauan.
Adapun standar pelayanan meliputi : (a) Prosedur pelayanan, (b) Waktu penyelesaian,
(c) Biaya pelayanan, (d) Produk pelayanan, (e) Sarana dan prasarana, (f) Kompetensi petugas
pemberi pelayanan.
Biaya Pelayanan Publik
a. Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat
b. Nilai atau harga yang berlaku atas barang dan/atau jasa
c. Rincian biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang memerlukan tindakan seperti
penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan
d. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan prosedur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Izin adalah suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan suatu
perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenankan dan bersifat konkret. Asep
Warlan Yusuf, izin sebagai suatu instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang
digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat.
Sjachran Basah, izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang
menghasilkan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur
sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan undang-undang.
Kegiatan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada intinya adalah untuk
menciptakan kondisi bahwa kegiatan pembangunan sesuai dengan peruntukannya, disamping
itu agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.
Pengertian Dispensasi
Dispensasi adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan
dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu.
Dengan demikian, dispensasi bertujuan untuk menebus rintangan yang sebenarnya
secara formal tidak diizinkan, jadi dispensasi hal yang khusus.
Pengertian Lisensi dan Konsesi
Lisensi adalah suatu pengertian khas Indonesia yang di Negara Belanda tidak ada.
Istilah tersebut berasal dari istilah hukum administrasi Amerika Serikat dari kata license,
yang berarti dalam bahasa Belanda vergunning. Istilah lisensi banyak dipergunakan pada
tahun-tahun 50-an pada waktu perdagangan masih terkait kepada sistem devisa ketat,
sehingga setiap importir memerlukan license dari Kantor Urusan Impor yang bekerjasama
dengan Kantor Urusan Devisa, yakni Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri
(LAAPLN) untuk dapat mengimpor barang atau jasa.
Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat
kompleks oleh karena merupakan seperangkat (set) dispensasi-dispensasi, izin-izin, lisensi-
lisensi disertai dengan pemberian semacam “wewenang pemerintahan” terbatas kepada
konsesionaris. Bahwa konsesi merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar
berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, namun
oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan
pejabat pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk kombinasi atau lisensi
dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syarat-syarat tertentu.
Perizinan sebagai instrumen hukum perbuatan pemerintah mengarahkan
(mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas tertentu, mencegah bahaya bagi lingkungan,
keinginan melindungi objek-objek tertentu, hendak membagi benda-benda yang sedikit, dan
mengarahkan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.
Asas dan prinsip-prinsip pelayanan publik adalah : (1) transparan, (2) akuntabel, (3)
partisipatif, (4) kesamaan hak, (5) efektif, (6) efisien, (7) keseimbangan, (8) profesional.
Prinsip-prinsip Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah : (1) kesederhanaan, (2)
kejelasan, (3) kepastian waktu, (4) kepastian hukum, (5) kemudahan akses, (6) kenyamanan,
(7) kedisiplinan.
PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK
Pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan
menerapkan tindakan korektif, jika perlu memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.
Pengertian pengawasan yang lain adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas
secara dovacto, sedangkan tujuannya terbatas pada pencocokan. Apakah kegiatan yang
dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi,
pengawasan merupakan proses kegiatan pemantauan, evaluasi dan membandingkan apa yang
direncanakan dengan apa yang dicapai (daya guna, hasil guna dan tepat guna) terhadap
pelaksanaan rencana kegiatan.
Pengawasan masyarakat terhadap pelayanan publik adalah pengawasan yang
dilakukan oleh masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang
penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan, fungsi
pengendalian melalui pengawasan melekat harus terbuka terhadap pengawasan masyarakat,
yang harus dikembangkan sebagai penunjang pengawasan fungsional.
Pengawasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik merupakan salah
satu bentuk pengawasan eksternal, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU Nomor
25 tahun 2009, dimana masyarakat berhak antara lain : (a) mengawasi pelaksanaan standar
pelayanan, (b) mendapatkan tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan, (c)
memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, (d) mengadukan pelaksana
yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan
kepada penyelenggara dan ombudsman, (e) mengadukan penyelenggaran yang melakukan
penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina
penyelenggara dan ombudsman, dan (f) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan
asas dan tujan pelayanan.
Apabila masyarakat atau stakeholders merasa haknya untuk mendapatkan pelayanan
yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan
asas dan tujuan pelayanan tidak terpenuhi, masyarakat hendak untuk menyampaikan
pengaduan, laporan dan/atau gugatan. Dalam perspektif hukum, pengaduan dilakukan
terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan
dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Pengaduan tersebut disampaikan kepada Penyelenggara, Ombudsman dan/atau
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten / Kota. Sedangkan laporan adalah tindakan hukum yang dilakukan
masyarakat apabila penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan disampaikan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan
KPK). Selanjutnya, gugatan merupakan tuntutan hukum yang disampaikan oleh masyarakat
kepada penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara dan/atau melalui Pengadilan Negeri dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan
melawan hukum (aspek perdata) dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Masyarakat (seluruh pihak, baik warganegara maupun penduduk sebagai orang
perorangan, kelompok maupun badan hukumyang berkedudukan sebagai penerima manfaat
pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung) yang melakukan pengaduan
dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan. Dalam ketentuan Pasal 42 UU
Nomor 25 Tahun 2009, pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak
lain yang menerima kuasa mewakilinya dan disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak pengadu menerima pelayanan. Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat nama
dan alamat lengkap (dalam keadaan tertentu dapat dirahasiakan), uraian pelayanan yang tidak
sesuai dengan standar pelayanan dan uraian kerugian mterial atau immaterial yang diderita,
permintaan penyelesaian yangdiajukan (dapat memasukkan tuntutan ganti kerugian), tempat,
waktu penyampaian dan tandatangan. Pengaduan tersebut disertai dengan bukti-bukti sebagai
pendukung pengaduannya.
Penyelenggaraan pelayanan publik wajib menerima, merespon dan memeriksa
pengaduan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang diselenggarakannya.
Pemeriksaan tersebut wajib berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasim tidak
memihak dan tidak memungut biaya.
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan usaha milik negara, Badan usaha
milik daerah dan Badan hukum milik negara serta Badan swasta atau perorangan yang diberi
tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggarna pendapata daerah
(Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia).
Ombudsman dalam menjalankan tugas dan wewenangnya mendasarkan pada asas:
kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, kesimbangan,
keterbukaan dan kerahasiaan (Pasal 3 UU Nomor 37 Tahun 2008). Adapun fungsi, tugas dan
wewenang Ombudsman sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 UU
Nomor 37 Tahun 2008.
Pasal 6, Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayan publik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik dipusat maupun di daerah
termasuk yang diselenggarakan oleh Badan usaha milik negara, Badan usaha milik daerah,
dan Badan hukum milik negara serta Badan swasta atau perorang yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.
Pasal 7, Ombudsman bertugas : (a) Menerima laporan atas dugaan maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (b) melakukan pemeriksaan substansi atas laporan;
(c) menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
(d) melakukan investiasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik; (e) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga
negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakan dan perseorangan;
(f) membangun jaringankerja; (g) melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik; dan (h) melakukan tugas lain yang diberikan oleh
undang-undang.
Salah satu tugas Ombudsman adalah memeriksa laporan atas dugaan maladministrasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Maladministrasi dimaksud dalah perilaku atau
perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan
lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabdian
kewajiban hukum dalam peneyelnggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara negara dan pemerintah yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau imateriil
bagi masyarakat dan orang perorangan (Pasal 1 angka 3 UU Nomor 37 Tahun 2008).
Selanjutnya, Laporan dimaksud adalah pengaduan atau penyampaian fakta yang diselesaikan
atau ditindaklanjuti oleh Ombudsman yang disampaikan secara tertulis atau lisan oleh setiap
ornga yang telah menjadi korban maladministrasi (Pasal 1 angka 4 UU Nomor 37 Tahun
2008).
Wewenang Ombudsman sebagaimana atur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) dalam
menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7,
Ombudsman berwenang : (a) Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pelapor,
atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; (b)
Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pelapor atau pun terlapor
untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan; (c) Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau
fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari
instansi terlapor; (d) Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang
terkait dengan laporan; (e) Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas
permintaan para pihak; (f) Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporanm termasuk
rekomendasi atau membayar ganti rugi dan/atau rehabilitsi kepada pihak yang dirugikan; (g)
Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Dalam melaksanakan wewenang Ombudsman tersebut, berupa antara lain memeriksa
laporan tidak hanya mengutamakan kewenangan yang bersifat memaksa, misalnya
pemanggilan, namun dituntut pula untuk mengutamakan pendekatan persuasif kepada para
pihak agar penyelenggara negara dan pemerintahan mempunyai kesadaran sendiri dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan pendekatan persuasif berarti tidak semua laporan
harus diselesaikan melalui mekanisme rekomendasi. Hal ini yang membedakan Ombudsman
dengan lembaga penegak hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan laporan atas dugaan
maladministrasi.
Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan yang diterimanya, Ombudsman dapat
memanggil terlapor dan saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor dan saksi telah
dipanggil tiga kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah,
Ombudsman dapat meminta bantuan Kepolisian untuk menghadirkan yang bersangkutan
secara paksa (subpoena power).
Selanjutnya, Ombudsman menyampaikan laporan berkala dan laporan tahunan, atau
dapat menyampaikan laporan khusus kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang
dapat dijadikan bahan bagi Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden untuk mengambil
kebijakan dalam membangun pelayanan publik yang lebih baik. Untuk memperlancar
pelaksanaan tugas dan wewenang Ombudsman di daerah, jika dipandang perlu Ombudsman
dapat mendirikan perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mempunyai
hubungan hirarkis dengan Ombudsman dan dipimpin oleh seorang kepala perwakilan (Pasal
43 UU Nomor 37 Tahun 2008). Namun, sejak diberlakukannya UU Nomor 37 Tahun 2008
hingga kini sudah 2 tahun 8 bulan (saat ditulis buku ini) belum dibentuk perwakilan di
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, sehingga penanganan pengaduan atas pelanggaran
maladministrasi di bidang pelayanan publik di daerah tidak efektif.
Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan
Rakyat baik di pusat maupun di Daerah. Atau disebut dengan istilah pengawasan
representatif. Dalam Pasal 69, Pasal 70 dan Pasal 71 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, DPRD, pada intinya bahwa “fungsi pengawasan DPR dilaksanakan
melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Demikian pula DPRD Provinsi pengawasan diatur dalam Pasal 292 dan
Pasal 293 dan DPRD Kabupaten/Kota pengawasan diatur dalam Pasal 343 dan Pasal 344 UU
Nomor 27 Tahun 2009, yang pada intinya bahwa “DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan
anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, dan Kabupaten/Kota.
http://milyansay.blogspot.com/2013/07/hukum-administrasi-negara-dalam.html
Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik
Submitted by datinlitbang on Tue, 06/28/2011 - 06:49
BULETIN
Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis di bawah ini, terdapat dua pendekatan; personal dan sistem. Secara personal telah dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi. Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna. Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.
Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam HAN, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain HAN memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi HAN baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.
Identifikasi Masalah
Bagaimana pelaksanaan fungsi-fungsi HAN dalam mewujudkan pemerintahan yang baik ?
Upaya apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan pemerintahan yang baik ?
Kerangka Pemikiran
Secara teoretis, Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara, pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik dalam lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (besturen). Penyelenggaraan pemerintahan yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah sebagai administrasi negara. Bukan sebagai organ negara.
Di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanapa dasar kewenangan. Ketentuan bahwa setiap tindakan pemerintahan ini harus didasarkan pada asas legalitas, tidak sepenuhnya dapat diterapkan ketika suatu negara menganut konsepsi welfare state, seperti halnya Indonesia. Dalam konsepsi welfare state, tugas utama pemerintah adalah memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Secara alamiah, terdapat perbedaan gerak antara pembuatan undang-undang dengan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat. Pembuatan undang-undang berjalan lambat, sementara persoalan kemasyarakatan berjalan dengan pesat. Jika setiap tindakan pemerintah harus selalu berdasarkan undang-undang, maka akan banyak persoalan kemasyarakatan yang tidak dapat terlayani secara wajar. Oleh karena itu, dalam konsepsi welfare state, tindakan pemerintah tidak selalu harus berdasarkan asas legalitas. Dalam hal-hal tertentu pemerintah dapat melakukan tindakan secara bebas yang didasarkan pada freies Ermessen, yakni kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum.
Meskipun pemberian freies Ermessen atau kewenangan bebas (discresionare power) kepada pemerintah merupakan konsekuensi logis dalam konsepsi welfare state, akan tetapi pemberian freies Ermessen ini bukan tanpa masalah. Sebab adanya kewenangan bebas ini berarti terbuka peluang penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Atas dasar ini penerapan fungsi Hukum Administrasi Negara (HAN) dalam konsepsi welfare state merupakan salah satu alternatif bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Menurut Philipus M. Hadjon, HAN memiliki tiga fungsi yaitu fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Fungsi normatif menyangkut penormaan kekuasaan memerintah dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Fungsi instrumental berarti menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah. Adapun fungsi jaminan adalah fungsi untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat.
Eksistensi Pemerintah dalam konsepsi Welfare State Indonesia.
Negara Hukum Indonesia
Unsur-unsur yang berlaku umum bagi setiap negara hukum, yakni sebagai berikut : Adanya suatu sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas
hukum atau peraturan perundang-undangan. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas
dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Unsur-unsur negara hukum ini biasanya terdapat dalam konstitusi. Oleh karena itu, keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan kemestian. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Apabila kita meneliti UUD 1945, kita akan menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31),keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Esensi dari negara hukum yang berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, isi dari setiap konstitusi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, negara merupakan organisasi kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat, agar kekuasaan ini tidak liar maka perlu dikendalikan dengan cara disusun, dibagi dan dibatasi, serta diawasi baik oleh lembaga pengawasan yang mandiri dan merdeka maupun oleh warga masyarakat, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Seandainya unsur jaminan terhadap hak-hak asasi manusia ini ditiadakan dari konstitusi, maka penyususnan, pembagian, pembatasan, dan pengawasan kekuasaan negara tidak diperlukan karena tidak ada lagi yang perlu dijamin dan dilindungi.
Karena esensi dari setiap konstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, maka menuntut adanya kesamaan setiap manusia di depan hukum. Tiadanya kesamaan akan menyebabkan satu pihak merasa lebih tinggi dari pihak lainnya, sehingga akan mengarah pada terjadinya penguasaan pihak yang lebih tinggi kepada yang rendah. Situasi demikian merupakan bentuk awal dari anarki yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak manusia, dan ini berarti redaksi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang terdapat dalam setiap konstitusi menjadi tidak berarti atau kehilangan makna.
Adanya kesamaan antar manusia dalam suatu negara akan memungkinkan lahirnya partisipasi aktif dari setiap orang. Partisipasi ini penting dalam suatu negara yang memiliki konstitusi,
agar isi dari konstitusi sebagai hukum dasar ini merupakan kristalisasi dari keinginan-keinginan dan kehendak dari sebagian besar masyarakat, kalau tidak dapat dikatakan semua masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam suatu negara ini merupakan esensi dari demokrasi.
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945; “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan panjang.
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsepsocialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
ter-akhir; Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
Ada hubungan yang erat antara agama dan negara; Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa; Kebebasan beragama dalam arti positip; Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang; Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia. Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi.
Tindakan Pemerintahan dalam Negara Hukum
Pengertian Tindakan Pemerintahan
Dalam melakukan aktifitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam katagori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan; Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di
bidang hukum administrasi; Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan
negara dan rakyat.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi
hukum warga masyarakatnya. Asas legalitas menurut Sjachran Basah, berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif.
Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.
Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatifuntuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum;Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Freies Ermessen merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state, akan tetapi dalam kerangka negara hukum, freies Ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur freies Ermessen dalam suatu negara hukum yaitu sebagai berikut :
Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik; Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara; Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum; Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri; Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang
timbul secara tiba-tiba; Sikap tindak itu dapat dipertanggung jawab baik secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa maupun secara hukum.
Sumber-sumber Kewenangan Tindakan Pemerintahan
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah bersumbar pada tiga hal, atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali. Menurut Indroharto, legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang itu dibedakan antara :
Yang berkedudukan sebagai original legislator; di negara kita di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembantuk konstitusi (konstituante) dan DPR bersama-sama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang, dan di tingkat daerah adalah DPRD dan Pemerintah Daerah yang melahirkan Peraturan Daerah;
Yang bertindak sebagai delegated legislator : seperti Presiden yang berdasarkan pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan Peraturan Pemerintah dimana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada Badan atau Jabatan TUN tertentu.
Sedangkan yang dimaksud delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintahan kepada organ yang lain. Dalam delegasi mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula kewenangan si A, untuk selanjutnya menjadi kewenangan si B. Kewenangan yang telah diberikan oleh pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang. Adapun pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat TUN yang satu kepada yang lain. Tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat.
Fungsi-Fungsi Hukum Administrasi Negara
Dalam pengertian umum, menurut Budiono fungsi hukum adalah untuk tercapainya ketertiban umum dan keadilan. Ketertiban umum adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menyiratkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepantasan minimal yang diperlukan, supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki.
Menurut Sjachran Basah ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara.
Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk ke dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan
penjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Secara spesifik, fungsi HAN dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yakni fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Fungsi Normatif Hukum Administrasi Negara
Penentuan norma HAN dilakukan melalui tahap-tahap. Untuk dapat menemukan normanya kita harus meneliti dan melacak melalui serangkaian peraturan perundang-undangan.28 Artinya, peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja kita temukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan TUN yang satu dengan yang lain saling berkaitan.29 Pada umumnya ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan HAN hanya memuat norma-norma pokok atau umum, sementara periciannya diserahkan pada peraturan pelaksanaan. Penyerahan ini dikenal dengan istilah terugtred atau sikap mundur dari pembuat undang-undang. Hal ini terjadi karena tiga sebab, yaitu :
Karena keseluruhan hukum TUN itu demikian luasnya, sehingga tidak mungkin bagi pembuat UU untuk mengatur seluruhnya dalam UU formal;
Norma-norma hukum TUN itu harus selalu disesuaikan de-ngan tiap perubahan-perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang tidak mungkin selalu diikuti oleh pembuat UU dengan mengaturnya dalam suatu UU formal;
Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat mendetail, sehingga tidak sewajarnya harus diminta pembuat UU yang harus mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan dengan pengeluaran peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan Menteri, dan sebagainya.30
Seperti disebutkan di atas bahwa setiap tindakan pemerintah dalam negara hukum harus didasarkan pada asas legalitas. Hal ini berarti ketika pemerintah akan melakukan tindakan,
terlebih dahulu mencari apakah legalitas tindakan tersebut ditemukan dalam undang-undang. Jika tidak terdapat dalam UU, pemerintah mencari dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Ketika pemerintah tidak menemukan dasar legalitas dari tindakan yang akan diambil, sementara pemerintah harus segera mengambil tindakan, maka pemerintah menggunakan kewenangan bebas yaitu dengan menggunakan freies Ermessen. Meskipun penggunaan freies Ermessen dibenarkan, akan tetapi harus dalam batas-batas tertentu. Menurut Sjachran Basah pelaksanaan freies Ermessen harus dapat dipertanggung jawabkan, secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,31 dan secara hukum berdasarkan batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas yaitu peraturan yang tingkat derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi. Sedangkan batas-bawah ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif maupun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga.32 Di samping itu, pelaksanaan freies Ermessen juga harus memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Berdasarkan keterangan singkat ini dapat dikatakan bahwa fungsi normatif HAN adalah mengatur dan menentukan penyelenggaraan pemerintahan agar sesuai dengan gagasan negara hukum yang melatarbelakanginya, yakni negara hukum Pancasila.
Fungsi Instrumental Hukum Administrasi Negara
Pemerintah dalam melakukan berbagai kegiatannya menggunakan instrumen yuridis seperti peraturan, keputusan, peraturan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam negara sekarang ini khususnya yang mengaut type welfare state, pemberian kewenangan yang luas bagi pemerintah merupakan konsekuensi logis, termasuk memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan berbagai instrumen yuridis sebagai sarana untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Pembuatan instrumen yuridis oleh pemerintah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Administrasi Negara memberikan beberapa ketentuan tentang pembuatan instrumen yuridis, sebagai contoh mengenai pembuatan keputusan. Di dalam pembuatan keputusan, HAN menentukan syarat material dan syarat formal, yaitu sebagai berikut :
Syarat-syarat material :
Alat pemerintahan yang mem buat keputusan harus berwenang; Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis seperti penipuan,
paksaan, sogokan, kesesatan, dan kekeliruan; Keputusan harus diberi bentuk sesuai dengan peraturan dasarnya dan pembuatnya
juga harus memperhatikan prosedur membuat keputusan; Isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.
Syarat-syarat formal :
Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi;
Harus diberi dibentuk yang telah ditentukan;
Syarat-syarat berhubung de-ngan pelaksanaan keputusan itu dipenuhi; Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya
dan diumumkannya keputusan itu dan tidak boleh dilupakan.
Berdasarkan persyaratan yang ditentukan HAN, maka peyelenggarakan pemerintahan akan berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sejalan dengan tuntutan negara berdasarkan atas hukum, terutama memberikan perlindungan bagi warga masyarakat.
Fungsi Jaminan Hukum Ad-ministrasi Negara
Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya. Sedangkan perlindungan terhadap administrasi negara itu sendiri, dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan perkataan lain, melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum.34 Di dalam negara hukum Pancasila, perlindungan hukum bagi rakyat diarahkan kepada usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa antara pemerintah dan rakyat, menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musayawarah serta peradilan merupakan sarana terakhir dalam usaha menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat.35 Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menurut Paulus E. Lotulung, sesungguhnya tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga sekaligus melindungi hak-hak masyarakat, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi perseorangan. Hak dan kewajiban perseorangan bagi warga masyarakat harus diletakan dalam keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat, sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara dan bangsa kita, yaitu Pancasila.
Berdasarkan pemaparan fungsi-fungsi HAN ini, dapatlah disebutkan bahwa dengan menerapkan fungsi-fungsi HAN ini akan tercipta pemerintahan yang bersih, sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Pemerintah menjalankan aktifitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau berdasarkan asas legalitas, dan ketika menggunakan freies Ermessen, pemerintah memperhatikan asas-asas umum yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Ketika pemerintah menciptakan dan menggunakan instrumen yuridis, maka dengan mengikuti ketentuan formal dan material penggunaan instrumen tersebut tidak akan menyebabkan kerugian terhadap masyarakat. Dengan demikian, jaminan perlindungan terhadap warga negarapun akan terjamin dengan baik.
Aktualisasi fungsi hukum administrasi negara dalam mewujudkan perintahan yang baik.
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik
Meskipun diketahui bahwa penyelenggaraan negara dilakukan oleh beberapa lembaga negara, akan tetapi aspek penting penyelenggaraan negara terletak pada aspek pemerintahan. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan sebagai penyelenggara pemerintahan atau sebagai administrasi negara. Sebagai administrasi negara, pemerintah diberi wewenang
baik berdasarkan atribusi, delegasi, ataupun mandat untuk melakukan pembangunan dalam rangka merealisir tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan oleh MPR. Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah berwenang untuk melakukan pengaturan dan memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Agar tindakan pemerintah dalam menjalankan pembangunan dan melakukan pengaturan serta pelayanan ini berjalan dengan baik, maka harus didasarkan pada aturan hukum. Di antara hukum yang ada ialah Hukum Administrasi Negara, yang memiliki fungsi normatif, fungsi instrumental, dan fungsi jaminan. Seperti telah disebutkan di atas, fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah berkaitan dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus menjamin perlindungan hukum bagi rakyat.
Ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan, maka kepada pemerintah diberikan kekuasaan, yang dengan kekuasaan ini pemerintah melaksanakan pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya, maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah. Dalam Penyelenggaraan pembangunan, pengaturan, dan pelayanan, pemerintah menggunakan berbagai instrumen yuridis. Pembuatan dan pelaksanaan instrumen yuridis ini harus didasarkan pada legalitas dengan mengikuti dan mematuhi persyaratan formal dan metarial. Dengan didasarkan pada asas legalitas dan mengikuti persyaratan, maka perlindungan bagi administrasi negara dan warga masyarakat akan terjamin. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya Meningkatkan Peme-rintahan yang Baik
Penyelenggaraan pemerintahan tidak selalu berjalan sebagaimana yang telah ditentukan oleh aturan yang ada. Bahkan sering terjadi penyelenggaraan pemerintahan ini menimbulkan kerugian bagi rakyat baik akibat penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) maupun tindakan sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan pemerintah yang sewenang-wenang terjadi apabila terpenuhi unsur-unsur; pertama, penguasa yang berbuat secara yuridis memeliki kewenangan untuk berbuat (ada peraturan dasarnya); kedua, dalam mempertimbangkan yang terkait dalam keputusan yang dibuat oleh pemerintah, unsur kepentingan umum kurang diperhatikan; ketiga, perbuatan tersebut menimbulkan kerugian konkret bagi pihak tertentu.37 Dampak lain dari penyelenggaraan pemerintahan seperti ini adalah tidak terselenggaranya pembangunan dengan baik dan tidak terlaksananya pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat sebagaimana mestinya. Keadaan ini menunjukan penyelenggaraan pemerintahan belum berjalan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melalui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kesimpulan
Pelaksanaan fungsi-fungsi HAN adalah dengan membuat penormaan kekuasaan, mendasarkan pada asas legalitas dan persyaratan, sehingga memberikan jaminan perlindungan baik bagi administrasi negara maupun warga masyarakat.
Upaya meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan antara lain dengan pengawasan lembaga peradilan, pengawasan masyarakat, dan pengawasan melalui lembaga ombusdman. Di samping itu juga dengan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Saran
Agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan baik, maka sebaiknya pengawasan lembaga peradilan, masyarakat, dan lembaga ombusdmen dilakukan dengan efektif. Di samping itu, pemerintah sebaiknya memperhatikan dan menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van be-horlijk bestuur).
Oleh Iskatrinah SH, Mhum., Dosen Unwiku Purwokerto
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/pelaksanaan-fungsi-hukum-administrasi-negara-dalam-mewujudkan-pemerintahan-yang-baik
PEMIKIRAN HANS KELSEN TENTANG HUKUM DAN NEGARA SERTA IMPLEMENTASINYA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK ASASI
MANUSIA (KAJIAN DARI PERSPEKTIF TEORI HUKUM)
Oleh:
Dr. LILIK MULYADI, S.H, M.H.[1]
I. Pendahuluan
Paul Vinogradoff[2] menyebutkan manusia diidentifikasikan sebagai mahkluk biologis dan mahkluk sosial sehingga manusia akan selalu senantiasa hidup bersama-sama dengan manusia dan mahluk hidup lainnya. Aristoteles, berkata manusia itu “zoon politicon”.[3] Oleh karena itu Cicero menyebutkan bahwa dimana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ibi ius) sehingga hukum tersebut lahir, tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Tegasnya, tidak ada suatu masyarakat dan negara yang beradab tidak memerlukan hukum.
Dikaji dari perspektif hukum tata negara positif maka terhadap lahirnya suatu negara, dikenal beberapa teori seperti teori kenyataan,
teori ketuhanan, teori penaklukan dan teori perjanjian.[4] Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro menyatakan “negara adalah suatu organisasi diantara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami suatu wilayah (territoir) tertentu dengan mengakui adanya suatu Pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa manusia tadi”[5]. Sri Soemantri Martosoewignjo secara lebih sederhana lagi mengemukakan bahwa “mendirikan dan membentuk negara pada hakikatnya mendirikan dan membentuk organisasi kekuasaan”[6]. Negara karena sifatnya yang abstrak dan luas dapat dipahami dari berbagai aspek. Disamping sebagai organisasi kemsyarakatan, negara juga dapat dipandang sebagai “organisasi kekuasaan”[7]. Bilamana dikaji dari unsur-unsurnya, menurut H. Abu Daud Busroh[8] dikemukakan ada 3 (tiga) hal, yakni terdiri atas daerah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat. Penetapan ini sejalan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro[9] yang membedakan unsur-unsur negara terdiri atas masyarakat, wilayah/territoir dan unsur pemerintahan. Perbedaan terhadap unsur-unsur negara baru dapat dijumpai bila pendapat di bidang Hukum Tata Negara itu dibandingkan dengan pendapat di bidang Hukum Internasional.
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara menurut Hukum Internasional, mengemukakan unsur-unsur negara terdiri atas 4 (empat) hal, yakni :
1). Adanya penduduk yang tetap (a permanent population);
2). Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory);
3). Adanya Pemerintah (a government);
4). Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with athor states).
Keempat unsur ini menjadi elemen dasar dari adanya suatu negara dalam pandangan Hukum Internasional. Disamping keempat unsur di atas, secara doktrinal menurut pendapat Huala Adolf[10] dan Wayan Parthiana[11], disamping keempat unsur tersebut ditambahkan lagi adanya unsur negara dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabat-pejabatnya terhadap pihak negara lain, dan negara harus merdeka
Negara untuk dapat mewujudkan ketertiban memerlukan adanya suatu sistem pengendalian masyarakat, salah satunya berupa hukum[12]. Oleh karena itu maka persoalan hukum dan negara telah mendapat perhatian dan menjadi obyek kegiatan intelektual dari para pemikir dunia sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu sampai sekarang. Plato (429-347 s.M) dan Cicerio (106-43 s.M) merupakan pemikir-pemikir besar tentang
negara dan hukum pada zaman Purbakala, Thomas Aquinas (1225 – 1274) sebagai pemikir pada zaman Pertengahan serta Montesquieu (1689-1755), Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan Hans Kelsen sebagai pemikir setelah pada zaman pertengahan[13].
Pada asasnya Hans Kelsen mendapat pengaruh ajaran neo-Kantianisme[14], khususnya mazhab Marbug sehingga Hans Kelsen mengembangkan filsafat hukumnya dengan bertolak pada tesis-tesis epistimilogi sebagai berikut :[15]
1). Adanya keyakinan bahwa cara pendekatan menentukan pengetahuan dan struktur sistem ilmiah;
2). Ilmu harus berusaha dengan analisis konsep-konsep secara eksak untuk menjaring unsur-unsur essensial dan merumuskannya kedalam generalisasi-generalisasi secara formal;
3). Salah satu aspek dari setiap ilmu adalah masalah hubungan dengan kenyataan.
Tolok ukur tesis konteks di atas maka B. Arief Sidharta mengkritisi konsepsi Hans Kelsen tentang ilmu hukum dan teori hukum adalah:[16]
a. Ilmu Hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna hukum positif (normological apprehenson of the meaning of positive law).
b. Teori hukum (legal theory) adalah teori umum tentang hukum positif yang menggunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni.
Melalui pemahaman normologis ilmu hukum hanya mempelajari norma-norma sehingga sebagai ilmu kognitif yang murni tentang hukum positif. Konteks dan problematika korelasi tentang latar belakang lahirnya hukum, baik buruknya isi hukum bukan merupakan dilema bagi Hans Kelsen. Selanjutnya melalui metode yuristik, maka hukum sebagai ketentuan normatif dipandang secara holistik dan dibebaskan dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan di luar hukum seperti pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis dan etis suatu penlolakan terhadap sinkretisme metodelogis. Disamping teori hukum murni yang mengemukakan bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”[17] di atas, Hans Kelsen juga mengembangkan teori Stufenbau des Recht (Teori Pertingkatan Hukum). Menurut teori Pertingkatan Hukum sistem hukum itu pada hakikatnya bersifat hierarkis, dimana suatu ketentuan hukum tertentu akan bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi.
Oleh karena itu dengan titik tolak polarisasi pemikiran di atas berikut tulisan ini akan lebih intens, detail dan terperinci mengkaji lebih dalam tentang pemikiran Hans Kelsen tentang hukum dan negara serta implementasinya terhadap perlindungan hak asasi manusia dikaji dari perspektif teori hukum.
II. Polarisasi Pemikiran Hans Kelsen Tentang Hukum Dan Negara Dalam General Theory Of Law And State Serta Implementasinya Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia Dikaji Dari Perspektif Teori Hukum
1. Pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara
Pada bagian 2 Bab I tentang Hukum dan Negara maka dalam buku General Theory of Law and State khususnya terhadap konteks Hak Asasi Manusia maka dikemukakan polarisasi pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dan Negara adalah sebagai berikut:
Pemikiran bahwa pada hakikatnya negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional, sehingga tertib hukum tidak ada bedanya dengan tertib negara[18].
Pandangan yang menempatkan Negara sebagai personifikasi dari Tata Hukum Nasional menunjukkan negara diidentikan dengan hukum. Hal ini merupakan pandangan yang ekstrim bilamana dikaitkan dengan teorinya tentang hukum, yakni teori hukum murni. Sebagaimana telah dibahas, menurut teori hukum murni bahwa “hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya”[19]. Pandangan ini menunjukkan hukum itu bebas nilai (in free value) serta dilepaskan dari faktor-faktor realitas yang berpengaruh dalam pembentukannya. Berbagai ahli non hukum mengkritik pendapatnya. Hans Kelsen dipandang telah meremehkan peranan dan manfaat dari bidang di luar hukum terhadap pembangunan dan pengembangan hukum tersebut. Kami sependapat dengan kritikan yang diajukan kepada Hans Kelsen. Hukum sebagai hasil budaya manusia yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia atas kehidupan yang tentram dan tertib tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh-pengaruh bidang lain di luar hukum. Tiap kaidah hukum positif pada hakikatnya merupakan hasil penilaian manusia terhadap prilaku manusia yang mendapat keajegan sebagai suatu kebiasaan yang telah diterima dan disepakati untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, hukum merupakan produk yang komprehensif sehingga dapat dipandang sebagai gejala budaya, gejala sejarah, gejala politik, disamping sebagai gejala sosial.
Menganalogikan dengan konsep hukumnya, maka sangat sulit dapat diterima secara ilmiah bilamana negara dimurnikan dan terlepas dari pengaruh disiplin ilmu lainnya. Pandangannya bahwa “tidak ada konsep sosiologis tentang negara selain konsep hukum”[20] tidaklah benar sepenuhnya. Negara bukanlah obyek hukum semata, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu pemerintahan, bahkan biologi (melalui teori organis) sebagai ilmu eksak juga dapat menjadikan negara sebagai obyek kajiannya. Dengan kata lain, kami kurang sependapat dengan pandangannya bahwa “negara dan hukum bukan dua obyek yang berbeda”[21], “menolak adanya kehendak atau kepentingan kolektif dari warga negara beserta negara itu sendiri”[22]. Dilain pihak dalam rangka menegakkan supremasi hukum, kami sependapat dengan pendapat beliau bahwa “untuk dapat mengetahui perbedaan antara perintah atas nama organ negara dengan yang bukan adalah melalui tata hukum yang membentuk negara tersebut”[23], “segala bentuk tindakan memerintah dan mematuhi perintah yang beraneka ragam hanya terjadi menurut tata hukum”[24]. Oleh karena itu, pendapat Hans Kelsen untuk sebagian dapat diterima, baik dalam kaitannya dengan konsep negara hukum yang menjunjung supremasi hukum maupun berkaitan dengan konsepsi negara disamping sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum nasional”[25], sekaligus juga sebagai organisasi kekuasaan atau organisasi kemasyarakatan.
Organ negara adalah individu yang menjalankan suatu fungsi tertentu yang ditetapkan oleh tata hukum.
Organ negara dibedakan dalam artian luas (bersifat formal) dan artian sempit (bersifat material). Mendasarkan kepada pendekatan fungsi, adapun organ-organ negara yang melaksanakan fungsi membuat norma, fungsi menerapkan norma, fungsi menerapkan sanksi hukum serta fungsi memilih parlemen dikatagorikan sebagai organ negara dalam artian luas. Sedangkan organ negara yang melaksanakan ketiga fungsi selain fungsi memilih parlemen diklasifikasikan sebagai organ negara dalam artian sempit. Secara sederhana, organ negara tersebut terdiri dari organ pemerintah dan non pemerintah (warga negara). Adapun fungsi memilih parlemen merupakan jenis fungsi yang dilakukan di luar pemerintah. Pandangan ini tampak tidak mendikotomikan antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini berarti keduanya memiliki kekuasaan sesuai dengan fungsinya yang ditetapkan oleh tata hukum.
Dalam arti sempit, pengertian organ negara yang dikemukakan Hans Kelsen tampak dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika yang membedakan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pembidangan ini secara doktriner dikenal dengan organ negara dalam arti luas, sehingga pendapat Hans Kelsen lebih luas dari pendapat para sarjana seperti Montesquieu ataupun John Locke sebagai penganut ajaran Trias Politika. Dalam
realitanya kami kurang sependapat dengan pandangan Hans Kelsen, oleh karena pengertian organ negara erat kaitannya dengan wewenang dan warga negara tentunya tidak mempunyai wewenang untuk memerintah kecuali mereka telah menjadi pegawai negeri pada salah satu organ negara dalam pengertian yang sempit.
Negara sebagai personifikasi tata hukum tidak memiliki kewajiban dan hak.
Hans Kelsen yang tidak menerima adanya pembedaan antara hukum dan negara, dalam konteks nasional menolak pembebanan kewajiban dan pemberian hak kepada negara. Beliau mengemukakan “sebenarnya tidak ada kewajiban dan hak negara. Kewajiban dan hak selalu merupakan kewajiban dan hak para individu”[26]. Namun demikian, beliau tidak menyangkal keterikatan dari pemerintah atau orang-orang yang mewakili negara terhadap norma-norma hukum dalam hal berhubungan dengan warga negara. Dengan kata lain, penyangkalan Hans Kelsen terhadap keterikatan negara dengan hukum tidak bersifat absolut, karena organ-organ negara (dalam arti sempit/materiil) tetap terikat perbuatannya dengan norma-norma hukum. Disamping itu, dalam kaitan dengan pergaulan masyarakat dunia dikemukakan bahwa negara dapat juga dibebankan kewajiban yang tercermin dari sanksi yang harus dipertanggungjawabkannya.
Adanya pengakuan kedaulatan negara dalam wilayah nasional suatu negara sejalan dengan teori kedaulatan negara yang menempatkan negara secara utuh dan berdaulat dalam wilayahnya. Pengakuan ini menurut pendapat kami sangat penting untuk mempertahankan keutuhan suatu negara dari rongrongan warga negara atau rakyatnya sendiri. Namun demikian pengukuhan keutuhan negara ini bukan berarti melepaskan tanggung jawab aparat pelaksana atau organ negara yang diduga dan/atau terbukti melakukan perbuatan yang melawan hukum sehingga merugikan rakyatnya. Supremasi hukum harus tetap ditegakkan, dan siapapun bersalah dan mempunyai kemampuan bertanggung jawab wajib tunduk pada hukum. Mengenai pertanggungan jawab dari aparat/organ negara tidaklah bersifat serta merta, artinya terhadap perbuatan melanggar hukum yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan bukanlah menjadi kewajiban organ negara bersangkutan. Tindakan aparat pemerintah yang menurut hukum meskipun telah menimbulkan kerugian atau pelanggaran terhadap hak-hak rakyat bukan menjadi kewajiban aparat bersangkutan yang mempertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban akan muncul bilamana tindakan pemerintah yang diduga atau telah menimbulkan kerugian dan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dilakukannya dengan melanggar hukum atau tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang telah ditetapkan terkait dengan pelaksanaan tugas negara bersangkutan.
Adanya kewajiban pertanggungjawaban pemerintah atau organ negara ini secara contrario merupakan wujud perlindungan hukum dari negara melalui aparatnya terhadap warga negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat Hans Kelsen secara tersirat pada hakikatnya mengakui keberadaan dari konsep negara hukum, yang menurut Sri Soemantri Martosoewignjo memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke controle)[27] .
Selanjutnya berkenaan dengan negara dalam hubungan internasional, Mochtar Kusumaatmadja[28] mengemukakan kedaulatan negara akan berakhir bilamana kedaulatan negara lain dimulai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap negara berdaulat memiliki kemerdekaan serta persamaan derajat, sehingga kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat merupakan tiga rangkaian kata yang selaras. Perkembangan lebih lanjut dari dianutnya prinsip itu adalah tidak dapat digugatnya suatu negara yang berdaulat dihadapan forum hakim negara lain. Aspek kedaulatan suatu negara ini melahirkan doktrin kekebalan atau imunitas kedaulatan (Sovereign Immunity Doctrine) yang dikembangkan dalam hubungan antar negara. Namun demikian, implementasi doktrin ini juga tidak bersifat mutlak, oleh karena dalam beberapa hal ada pembatasan yakni apabila negara didalam melakukan hubungan dengan negara lain tidak dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik. Dengan kata lain, perlindungan terhadap negara dalam bentuk immunitas kedaulatannya hanya diberikan apabila negara tersebut bertindak dalam kualitasnya sebagai negara dalam artian kesatuan politis (iure imperii) dan perlindungan tidak diberikan bilamana negara sebagai badan hukum perdata seperti dalam hubungan perdagangan (iure gestionis)[29].
Mendasarkan pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat, negara dikualifikasikan dapat melakukan hubungan hukum publik dan hukum privat.
Menurut tata hukum tradisional, negara semata-mata sebagai badan hukum publik yang diatur oleh hukum publik. Perkembangannya dalam tata hukum modern, menurut beliau bahwa negara disamping sebagai badan hukum publik juga dapat berkedudukan sebagai badan hukum perdata yang tunduk pada Hukum Perdata[30]. Negara dinyatakan memiliki hak-hak kebendaan (jus in rem) dan hak-hak perorangan (jus in personam), sehingga perselisihan yang terjadi berkenaan dengan pelaksanaan hak-hak itu dengan warga negara akan diselesaikan menurut Hukum Acara Perdata.
Konsep seperti di atas dapat membawa dampak negatif bagi negara maupun rakyatnya. Negara menurut Hans Kelsen dimungkinkan sebagai pemilik (eighnaar) wilayah yang ditempati rakyatnya. Kekuasaan seperti ini dapat mengakibatkan lahirnya negara otoriter yang dapat secara sewenang-wenang mencabut hak-hak atas tanah yang telah ditempati rakyatnya. Di lain pihak, konsep di atas memungkinkan terjadinya negara pailit yang berefek kepada pembubaran negara sepertinya halnya pembubaran perusahaan dalam hal negara dipandang wanprestasi oleh sebagian besar rakyatnya. Wanprestasi dapat muncul bilamana dikaitkan dengan kewajiban atau prestasi negara untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak warga negara seperti hak atas hidup yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas keamanan dan sebagainya. Oleh karena itu, sebaiknya derajat negara dalam lingkungan wilayah negara tidak diturunkan sebagai para pihak yang tunduk pada kaidah-kaidah hukum perdata. Negara secara teoritis sangat tepat bilamana mengkuasakan kepada aparat pemerintahan didalam hal melakukan hubungan perdata. Dengan pelimpahan kewenangan melalui “atribusi atau delegasi”[31], maka negara secara organisatoris terlepas dari kewajiban pertanggungjawaban perdata.
2. Keberadaan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Pemikiran Hans Kelsen mengenai Hukum dan Negara
Menyimak berbagai pemikiran Hans Kelsen yang telah dikemukakan di atas, dalam perspektif Hak Asasi Manusia ada beberapa hal yang menarik dicermati. Beberapa hal yang dimaksudkan dalam konteks wilayah kedaulatan negara adalah terkait dengan kewajiban negara beserta pemerintahnya untuk melindungi hak asasi manusia, dapat dipertanggungjawabkannya aparat pemerintah atas dugaan atau adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia, adanya kewajiban negara untuk memperbaiki dan menyempurnakan tata hukum nasional yang terbukti menjadi sebab tindakan aparat pemerintah yang menurut hukum telah melanggar hak asasi manusia. Sedangkan dalam konteks hubungan internasional, salah satu masalah yang menarik adalah tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung dinegaranya.
Negara beserta pemerintahnya berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan negara Indonesia sebagai negara hukum[32], hal ini tentunya merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan. Mengingat perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah satu syarat negara hukum. Pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar manusia dalam konstitusi suatu negara sejalan dengan hasil penelitian K. C Wheare[33] yang menunjukkan bahwa dari sebagian besar konstitusi negara-negara di dunia, hampir semuanya memuat tentang perlindungan hak asasi manusia.
Kewajiban perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas melalui penormaan melalui UUD 1945. Penormaannya lebih lanjut melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD 1945 untuk mengatur mengenai mekanisme penerapan atau penegakannya menjadi sangat penting agar ada acuan yang jelas dan tegas bagi aparat penyelenggara (organ) negara. Dengan kata lain, secara asas dan kaidah, maka hak-hak dasar manusia sebaiknya diatur pada UUD 1945, sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga dan proses penegakan hak-hak dasar bersangkutan perlu didelegasikan kepada perundang-undangan yang lebih rendah, seperti Ketetapan MPR, undang-undang dan peraturan pemerintah. Kewajiban penormaan seperti di atas sejalan dengan amanat ayat (5) Pasal 28 I UUD 1945 Amandemen Kedua yang menetapkan “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Adanya penormaan yang jelas serta tegas merupakan instrumen yuridis yang sangat penting bagi pihak yudikatif maupun warga negara dalam menilai dan meminta pertanggungjawaban aparat pemerintah bilamana diduga atau terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di lain pihak penormaan seperti itu menjadi penuntut bagi aparat/organ pemerintah dalam bertindak menurut hukum sehingga sulit diminta pertanggungjawaban secara individu meskipun tindakan yang dilakukannya diduga melanggar hak asasi manusia.
Pertanggungjawabana aparat pemerintah atas dugaan atau adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan wujud implementasi dari prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah[34]. Terdapat beberapa sarana yang dapat ditempuh rakyat didalam memperjuangkan hak asasinya, baik melalui jalur yuridis maupun non yuridis. Jalur yuridis antara lain dilakukan melalui pengajuan gugatan ke Peradilan Hak Asasi Manusia yang saat ini telah dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 1999 tertanggal 8 Oktober 1999. Jalur non yuridis yang dapat ditempuh, antara lain melalui pengaduan kepada Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia yang telah dibentuk di Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, pemberitaan melalui media massa sebagai sarana penekan (pressure) kepada Pemerintah, maupun pengaduan kepada lembaga-lembaga internasional yang mempunyai akses menekan kepada Pemerintah Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia, seperti IMF, Bank Dunia, PBB dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan lembaga Pengadilan Hak Asasi Manusia, adapun yang melatarbelakangi pembentukannya di Indonesia adalah karena adanya dugaan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di berbagai tempat di Indonesia. Pelanggaran yang diduga terjadi seringkali cenderung berupa tindakan bersifat pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang- wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary /extra judicialkilling), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination), yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perorangan maupun masyarakat. Kondisi seperti itu mempunyai dampak yang sangat luas baik nasional maupun internasional, antara lain mengakibatkan menurunnya kepercayaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu, juga untuk menjawab tuntutan reformasi yakni terciptanya suasana yang kondusif berupa ketertiban, ketenteraman, dan keamanan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh bangsa yang beradab.
Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan “Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dibentuk di lingkungan Peradilan Umum”. Tugas dan wewenang pengadilan ini adalah untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berupa :
a. pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa, kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau cacat mental atau fisik dengan :
1) melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok tersebut;
2) melakukan perbuatan yang menyebabkan penderitaan frsikatau mental yang berat pada anggota kelompok;
3) menciptakan keadaan kehidupan yang bertujuan mengakibatkan kelompok tersebut musnah secara fisik;
4) memaksakan cara-cara yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok tersebut; atau
5) memindahkan dengan paksa anak-anak kelompok tersebut kekelompok lain.
b. pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan;
c. penghilangan orang secara paksa;
d. perbudakan;
e. diskriminasi yang dilakukan secara sistematis;
f. penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan atau pengakuan baik dari yang bersangkutan maupun orang ketiga, atau untuk menakut-nakuti atau memaksa yang bersangkutan atau orang ketiga atau dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.
Perbuatan-perbuatan seperti di atas dilarang dilakukan baik oleh pemerintah maupun warga negara terhadap warga negara lainnya. Bahkan pejabat atau aparat pemerintah yang terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f di atas, menurut Pasal 8-nya dapat dikenakan pidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun.
Tidak dapat dipertanggungjawabkannya suatu negara oleh negara lain terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung di negaranya
Negara Indonesia sebagai salah satu anggota PBB berkewajiban untuk menghormati terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dicapai PBB di bidang HAM baik yang diatur dalam bentuk deklarasi, perjanjian, piagam, konvensi maupun fakta-fakta. Negara Indonesia secara moral berkewajiban untuk mengusahakan agar berbagai kesepakatan dan pemikiran yang dihasilkan oleh masyarakat Internasional terkait hak-hak
dasar manusia dapat dijabarkan dalam kebijakan nasional maupun Sistem Hukum Nasional Indonesia. Dalam kaitan ini menarik dikutip pendapatnya Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan “hukum di negara kita agar dapat berkembang dan kita bisa berhubungan dengan bangsa lain di dunia sebagai sesama masyarakat hukum, kita perlu memelihara dan mengembangkan asas-asas dan konsep-konsep hukum yang secara umum dianut umat manusia atau asas hukum yang universal”[35]. Namun demikian, dalam mengembangkan asas-asas dan konsep-konsep hukum global tersebut pada sistem hukum kita tidaklah dilakukan secara serta merta. Hal ini tidak terlepas dari konsepsi bahwa pada hakikatnya “setiap negara adalah berdaulat dan setara”[36].
Pengakuan terhadap prinsip kesetaraan seperti di atas membawa konsekuensi terhadap negara-negara anggota masyarakat dunia untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Dalam hubungan internasional yang telah berlangsung diterima prinsip bahwa suatu negara berdaulat tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara berdaulat lainnya (par in parem non habet jurisdictionem)[37] prinsip hidup bertetangga secara baik (Good neighbourhood principle), serta prinsip hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existance). Prinsip-prinsip tersebut menurut pendapat kami melahirkan adanya doktrin kekebalan kedaulatan (sovereign immunity), yakni “suatu negara yang berdaulat tidak dapat diadili oleh hakim-hakim dari negara-negara lain, mengingat suatu negara yang berdaulat kedudukannya sama rata terhadap sesama negaranya itu”[38]. Demikian pula dalam kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia di masa perang, maupun peradilan tentang hak asasi manusia yang bersifat internasioanl yang secara khusus dibentuk untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, sifatnya bersifat subsider. Lembaga-lembaga itu baru akan berfungsi bilamana negara-negara berdaulat seperti misalnya Indonesia tidak berupaya atau tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan terhadap dugaan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah Indonesia.
III. Konklusi dan Rekapitulasi
Polarisasi pemikiran Hans Kelsen berkaitan dengan hukum dan negara dimana negara adalah sebagai personifikasi tata hukum nasional sehingga negara dilepaskan atau dimurnikan dari pengaruh disiplin ilmu lainnya serta tidak memiliki hak dan kewajiban, organ negara adalah individu yang menjalankan fungsi tertentu yang ditetapkan oleh tata hukum, negara dapat melakukan hubungan hukum baik bersifat publik maupun privat. Dalam beberapa hal, seperti pendapat Hans Kelsen dalam kaitannya dengan konsep negara hukum yang menjunjung supremasi hukum dapat diterima, namun berkaitan dengan konsepsi negara yang menekankan sebagai “komunita yang diciptakan oleh suatu tata hukum nasional” semata, dan negara dapat melakukan hubungan perdata dalam kedaulatannya adalah kurang tepat. Oleh karena itu melalui pemikiran Hans Kelsen mengenai hukum dan negara yang
menjunjung supremasi hukum maka keberadaan hak asasi manusia mendapat perlindungan baik dalam perspektif penormaan maupun penegakkannya. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tidak terbatas dalam wilayah nasional suatu negara namun juga bersifat internasional melalui jalur-jalur yuridis dan non yuridis dengan membatasi sifat kemutlakan suatu kedaulatan negara ataupun kewajiban pertanggungjawaban aparat/organ pemerintah terhadap tindakannya yang diduga atau telah menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi atau hak dasar manusia.
Oleh karena itu, kedepan maka konsepsi hukum dan negara yang dikemukakan Hans Kelsen dalam penerapannya di Indonesia perlu disesuaikan atau dikaji dengan perkembangan kebutuhan negara modern serta ideolgi Pancasila. Pendekatan yang memerlukan jawaban yang tuntas tidak dapat dilakukan melalui pendekatan dari satu bidang ilmu tertentu namun perlu dilakukan secara holistik, multi dan interdisipliner. Oleh karena itu, konsekuensi logisnya maka ajaran Kedaulatan Hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum seperti yang dikembangkan oleh Hans Kelsen cukup tepat untuk diikuti dan diimplementasikan dalam perlindungan terhadap hak asasi manusia, sehingga dapat diminimalisir ikut sertanya kepentingan politik, ekonomi maupun pertahanan keamanan didalam penormaan maupun penegakan hukum hak asasi manusia bersangkutan.*****
[1] Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Hakim Niaga dan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial serta Penulis Buku Ilmu Hukum dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka, Malang
[2]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 26.
[3]Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1989, hlm. 2
[4]Teori kenyataan menyebutkan bahwa suatu negara lahir sebagai suatu kenyataan apabila unsur-unsur negara (daerah, rakyat dan pemerintahan yang berdaulat) telah terpenuhi. Teori ketuhanan menentukan timbulnya suatu negara atas kehendak Tuhan, karena segala sesuatu tidak akan terjadi bilamana Tuhan tidak menghendakinya. Kemudian Teori penaklukan menentukan bahwa negara itu lahir karena adanya serombongan manusia lain yang berusaha untuk tetap menguasai hasil penaklukannya melalui pembentukan suatu organisasi negara. Selanjutnya Teori perjanjian menetapkan bahwa negara timbul karena adanya perjanjian yang diadakan antara orang-orang yang tadinya hidup bebas
merdeka, sehingga kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin. Antara satu teori dengan teori yang lain tidaklah ada suatu pertentangan, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan situasi manusia (situationsgebundenheit) sehingga tidak jarang antara teori di atas dijadikan landasan pembenaran terbentuknya suatu negara secara bersama-sama.
[5]Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hlm. 2.
[6]Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar Dan Ketetapan Majeleis Permusyawaratan Rakyat, Pidato Pengukuhan pada penerimaan jabatan Guru Besar Tetap dalam Mata Kuliah Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNPAD, pada tanggal 21 Pebruari 1987, UNPAD, Bandung, 1987, hlm. 4.
[7]Sri Soemantri Martosoewignjo, Undang-Undang Dasar….., Loc. cit.
[8]H. Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 29.
[9]Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum……, Op. cit., hlm. 3.
[10]Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm. 2-8.
[11]Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hlm. 63-67.
[12]Lili Rasjidi, Introduksi, dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat Hukum Mazhab dan Repleksinya, Remadja Karya, Bandung, 1989, hlm. 1.
[13]J.J. Von. Schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT. Pembangunan, Jakarta, 1980, 5-6. Bandingkan dengan R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1986, hlm. 41.
[14]Aliran ini adalah aliran idealisme yang tumbuh pada akhir abad kesembilanbelas sebagai reaksi terhadap aliran postivisme, khususnya positivisme materialis yang dianggap sebagai bahaya yang akan mematikan filsafat. Oleh karena itu neo-kantianisme diartikan sebagai upaya untuk menanggulangi cara berpikir positivistik pada abad kesembilanbelas dengan jalan berbalik kepada pemikiran kritik ajaran Kant. Lihat Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, hlm. 48.
[15]B. Arief Sidharta, Teori Murni tentang Hukum, dalam Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta (ed), Filsafat Hukum…….., Op. cit., hlm. 57-58.
[16]B. Arief Sidharta, Teori Murni….., Ibid., hlm. 58.
[17]Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 39.
[18]Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Dasar Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif, alih bahasa dari Somardi, Rimdi Press, 1995, hlm. 183.
[19]Lili Rasjidi, Dasar-Dasar……, Loc. cit.
[20]Hans Kelsen, Teori Hukum…….., Op. cit., hlm. 190.
[21]Hans Kelsen, Teori Hukum…….., Ibid., hlm. 184.
[22]Hans Kelsen, Teori Hukum…….., Ibid.,, hlm. 186.
[23]Hans Kelsen, Teori Hukum…….., Ibid., hlm. 188.
[24]Hans Kelsen, Teori Hukum…….., Ibid., hlm. 189.
[25]Hans Kelsen, Teori Hukum………., Ibid, hlm. 183.
[26]Hans Kelsen, Teori Hukum………., Ibid, hlm. 198.
[27]R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29; bandingkan dengan pendapat Van Wijk & W. Koninjnenbelt, Hoofdstukken van Administratiefrecht, Culemborg, Lemma, 1988, hlm. 55 dalam A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun WaktuPelita I - Pelita IV, Disertasi, Univ. Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 311.
[28]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum…………, Loc. cit.
[29]Yudha Bhakti, Perkembangan Arti Kedaulatan…….., Op. cit., hlm. 16.
[30]Hans Kelsen, Teori Hukum………., Op. cit., hlm. 203.
[31]Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan, sedangkan dalam delegasi terjadi pelimpahan wewenang yang telah ada oleh Badan yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. Pada atribusi maupun delegasi, adapun pihak yang bertanggung jawab kepada pelaksanaan tugas bersangkutan dibebankan kepada penerima kewenangan. Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hlm. 64-66.
[32]Konsep negara hukum yang tumbuh di dunia Barat mengalami modifikasi disesuaikan dengan cita hukum dan cita negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dapat disimak pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang sampai sekarang disepakati tidak diamandemen dan lebih dipertegas pada Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang pada hakikatnya menetapkan “Negara Indonesia ialah Negara Hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila”. Lihat Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cet. ke-1,
Bandung, 1985, hal. 11; dan Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, CV. Rajawali, Cet. ke-1, Jakarta, 1983, hal. 2, bandingkan dengan Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat Dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi, Fakultas Pasca sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hal. 109.
[33]K.C. Wheare, Modern Constitutional, Oxford University Press, London, 1975, hlm. 33.
[34]Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 38.
[35]Mochtar Kusumaatmadja, Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Makalah pada Seminar tentang Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional di Jakarta, 22 – 24 Mei 1995, BPHN, Jakarta, 1995, hlm. 6.
[36]R.Y. Jennings dan AD. Watts (ED)., Oppenheim’s International Law, Volume I Peace (London : Longman), 1992, hlm. 52.
[37]J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Diterjemahkan oleh Bambang Iriana Djadjaatmadja, Sinar Grafika, Bandung, 1980, hlm. 2-3.
[38]Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 27.