HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

93
i HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparasi Antara Imam Asy Syafi’i Dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah ) SKRIPSI Oleh : HERPA EFRIDO SPM.152134 Dosen Pembimbing : Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag ALHUSNI, S.Ag.,M.HI PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019

Transcript of HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

Page 1: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

i

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN (Studi Komparasi Antara Imam Asy Syafi’i

Dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah )

SKRIPSI

Oleh :

HERPA EFRIDO SPM.152134

Dosen Pembimbing :

Dr. A.A. MIFTAH, M.Ag ALHUSNI, S.Ag.,M.HI

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

2019

Page 2: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

ii

Page 3: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

iii

Page 4: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

iv

Page 5: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

v

ABSTRAK

Herpa efrido, SPM.152134, Persetujuan Orang Tua Dalam Pernikahan (Studi Komparasi Antara Imam Asy-Syafi‟i Dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah).

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persetujuan siapa saja yang dianggap sah dalam pernikahan, apakah persetujuan kedua mempelai saja yang menjadi syarat sah pernikahan atau harus adanya persetujuan orang tua atau wali. . Dalam masalah ini, penulis menggunakan studi kepustakaan (library research) dan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analisis. Hasil analisa penulis menunjukkan bahwa Imam Syafi‟i berpendapat persetujuan orang tua dalam pernikahan itu harus ada dan orang tua berhak memaksa anaknya menikah dengan calon pilihannya sedangkan menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyah persetujuan orang tua dalam pernikahan juga harus ada tapi orang tua tidak boleh memaksa anaknya, harus ada pesetujuan dari anak yang akan dinikahkan tersebut. Kata Kunci: Persetujuan, Orang Tua, Pernikahan

Page 6: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

viii

MOTTO

هاا قا لاتنكاح تستاأزانا قاالىا يااراسىلا الله واكايفا ازن لا تنكاح البكر حات مارا وا تستاأ ام حات الا أان الاي

اري اه البخا وا (تاسكتا )را

“Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan

gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya.” Para sahabat bertanya,

“Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?” beliau menjawab: “Bila ia diam tak

berkata” (H.R. Bukhari).1

1 Hadis Ṣaḥīh al-Bukhāri Nomor 5136. Lihat Abū „Abdillah Muḥammad bin Ismail al-

Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 2006, h. 264.

Page 7: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

ix

KATA PENGANTAR

يمه ٱلرحمن ٱلله بسم ٱلرحه

Assalamu’alaikum, Wr,Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang mana dalam

penulisan skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Di samping itu tidak lupa pula

sholawat serta salam penulis sampaikan pada junjungan nabi Muhammad SAW

yang telah memberi kita petunjuk dari zaman kebodohan hingga ke zaman yang

terang benderang, sebagaimana yang kita rasakan saat ini, yang disinari iman dan

islam.

Dalam penulisan skripsi ini penulis akui tidak sedikit hambatan dan

rintangan yang dilalui namun berkat dukungan dari berbagai pihak akhirnya

skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis berharap semoga dapat bermanfaat

khususnya bagi diri penulis dan umumnya bagi seluruh pembaca serta

memberikan kontribusi positif bagi dunia pendidikan, pemerintahan serta

bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang turut berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini, dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:

Page 8: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

x

1. Bapak Prof. Dr. Suaidi Asy‟ari MA.,Ph.D selaku Rektor UIN Sulthan Thaha

Saifuddin Jambi.

2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS

Jambi.

3. Bapak H. Hermanto Harun, lc. M. HI,. Ph.D selaku Wakil Dekan I Fakultas

Syariah bidang Akademik.

4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, M.HI selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah

bidang Administrasi Umum, Keuangan dan Perencanaan.

5. Ibu Dr. Yuliatin, M. HI selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah bidang

Kemahasiswaan dan Kerja Sama.

6. Bapak Al-Husni, S.Ag., M.HI dan Bapak Yudi Armansyah selaku Ketua dan

Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Sayariah UIN Sulthan

Thaha Saifuddin Jambi

7. Bapak Dr. A. A. Miftah, M. Ag selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini

8. Bapak Al-Husni, S.Ag., M.HI selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini.

9. Bapak-bapak dan ibu-ibu dosen, staf, karyawan/i dilingkungan Fakultas

Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi yang telah memberikan

pelayanan dan bantuan serta bimbingannya selama perkuliahan.

10. Pimpinan pustaka serta karyawan/i UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Page 9: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

xi

11. Ibunda dan Ayahanda tercinta yang senantiasa mendo‟akan, mendukung serta

memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini.

12. Rekan-rekan seperjuangan di Prodi Perbandingan Mazhab dan UIN Sulthan

Thaha Saifuddin Jambi yang ikut serta memberikan perhatian dan

partisipasinya dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak luput dari

kekurangan dan kekeliruan, baik dari segi teknis penulisan analisis maupun dalam

mengagungkan adanya tanggapan dan masukan berupa kritik dan saran dari

semua pihak demi kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan tercatat

sebagai amal jariah disisi Allah SWT, dan mendapat pahala atau ganjaran yang

sepantasnya.

Jambi Oktober 2019 Penulis

Herpa Efrido NIM: SPM.152134

Page 10: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

xii

PERSEMBAHAN

يمه ٱلرحمن ٱلله بسم ٱلرحه

Skripsi ini penulis persembahkan khusus untuk ibunda tercinta Suryani

dan ayahanda tersayang Amin Hamidi yang telah bersabar, tulus dan iklhas

membesarkan, membimbing, mendidik hingga dewasa, serta menyekolahkan

ananda sampai keperguruan tinggi ini. Kalianlah kekuatan untukku, yang menjadi

penyemangat di setiap langkah kakiku, yang rela membanting tulang tidak pernah

mengenal kata lelah demi sebuah cita-cita dan masa depan ananda. Tiada kata

yang seindah yang paling bermakna untuk disampaikan kecuali permohonan yang

amat sangat kepada Allah SWT agar mereka diberi balasan yang setimpal atas

segala pengorbanan mereka berikan untuk mendidik anak-anaknya sampai saat

ini.

Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada adik tersayang Ardia

Risuana dan Muhammad Raihan Jarjani yang telah memberikan dan

dukungan dan motivasi dalam perjalanan kuliah ini. Terima kasih kepada teman-

teman yang telah banyak membatu saya dalam pembutan karya ilmiah ini, semoga

kita semua menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Aamiin.

Page 11: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

1

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

ABSTRAK .............................................................................................................. ii

PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI ........................................................ vi

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... vii

MOTTO................................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

PERSEMBAHAN ................................................................................................. xii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 8

C. Batasan Masalah ..................................................................................... 8

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 8

1. Tujuan penelitian ................................................................................. 8

2. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 9

E. Kerangka Teori ....................................................................................... 9

F. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 13

Page 12: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

2

G. Metode Penelitian ................................................................................. 14

1. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 14

2. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................................... 15

3. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 16

4. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 16

5. Metode Analisis Data ........................................................................ 17

H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 17

BAB II BIOGRAFI IMAM SYAFI‟I DAN IBNU QAYYIM AL-JAWZIYAH . 19

A. Imam Syafi‟i ......................................................................................... 19

1. Biografi Imam Syafi‟i ........................................................................ 19

2. Perjalanan imam syafi‟i ..................................................................... 20

3. Buku-buku Imam Syafi‟i ................................................................... 24

4. Guru-Guru Imam Syafi‟i ................................................................... 24

B. Ibnu Qayyim al-Jawziyah ..................................................................... 26

1. Biografi Ibnu Qayyim al-Jawziyah ............................................. 26

2. Guru-guru dan Murid-murid Ibnu Qayyim al-Jawziyzah ........... 29

3. Karya-karya Ibnu Qayyim al-Jawziyah ............................................. 31

4. Metode Istinbath Hukum Ibnu Qayyim Al-Jawziyah ....................... 33

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PERWALIAN DALAM

PERNIKAHAN ..................................................................................................... 38

Page 13: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

3

A. Pernikahan ............................................................................................ 38

B. Rukun Nikah ......................................................................................... 44

C. Syarat Nikah ......................................................................................... 45

D. Perwalian Dalam Pernikahan ............................................................... 46

1. Defenisi Wali ..................................................................................... 46

2. Syarat-syarat Wali ............................................................................. 48

3. Fungsi Wali ....................................................................................... 50

4. Macam-Macam Wali ......................................................................... 51

E. Persetujuan Orang Tua dan Anak ......................................................... 56

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN................................ 59

A. Argumentasi Imam Syafi‟i Tentang Persetujuan Orang Tua Dalam

Pernikahan ......................................................................................................... 59

B. Argumentasi Ibnu Qayyim Al-jawziyah Tentang Persetujuan Orang Tua

Dalam Pernikahan ............................................................................................. 64

C. Analisis Perbandingan .......................................................................... 72

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 76

A.Kesimpulan ............................................................................................ 76

B. Saran ..................................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79

CURRICULUM VITAE ....................................................................................... 83

Page 14: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal bersama tuhan yang maha esa2. Para

ulama sepakat bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu syarat sah dalam

pernikahan 3. Ijab dan qabul itu terjadi dalam sebuah pernikahan yang lazim

disebut akad.

Pembicaraan akad nikah ini menurut Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayah

al-mujtahid wa Nihayah al-muqtashid meliputi beberapa hal yaitu: Pertama,

Bentuk persetujuan yang menyebabkan sahnya nikah, siapakah yang dianggap sah

persetujuannya? Kedua, Apakah akad nikah itu boleh dilakukan berdasarkan

pilihan atau tidak? Dan ketiga, Apakah keterlambatan penerimaan dari salah satu

pihak dibolehkan, atau harus segera?. Ada juga penomena yang sering terjadi

karena tidak ada persetujuan dari kedua belah baik itu pihak orang tua maupun

mempelai yang akan dinikahkan, sehingga kedua mempelai memutuskan untuk

kawin lari. Mereka mengangkat sembarang orang sebagai walinya, menikah

kemudian pergi jauh dari orang tua atau bahkan menikah tanpa wali dan tidak

mendapatkan izin dari wali yang sah dari kedua mempelai. Lebih parahnya,

2 UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan 3Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur dkk, Cet. VII

(Jakarta:Lentera,2008), hlm. 309.

Page 15: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

5

mungkin saja terjadi kawin lari yang diwujudkan dengan kedua mempelai tinggal

bersama dalam satu atap tanpa adanya status pernikahan. Hal ini juga yang

menjadi alasan penulis untuk meneliti tentang persetujuan orang tua dalam

pernikahan.

Bentuk persetujuan dalam pernikahan berupa kata-kata dari pihak laki-laki

dan janda, dan “diam” yakni kerelaan bagi gadis. Sedang untuk penolakan bagi

anak gadis harus dengan kata-kata. Tentang siapa yang persetujuannya yang

dianggap sah dalam pernikahan, meliputi dua golongan. Pertama, persetujuan

kedua belah pihak yang hendak melangsungkan pernikahan, yakni calon suami

dan istri, baik bersama wali atau tidak, bagi fuqaha yang tidak mempersyaratkan

persetujuan wali dan persetujuan wanita yang dapat menguasai dirinya. Kedua,

persetujuan dari wali saja.4

Para ulama berbeda pendapat tentang persetujuan yang dianggap sah dalam

pernikahan terdapat persoalan-persoalan yang disepakati dan persoalan-persoalan

yang masih diperselisihkan. Beberapa perselisihan itu di antaranya sebagai

berikut: Pertama, Mengenai lelaki dewasa, merdeka, dan yang dapat mengurus

dirinya sendiri; fuqaha sepakat bahwa persetujuan dan kerelaan mereka

merupakan salah satu syarat sah pernikahan mereka. Artinya mereka berhak

menikahkan diri sendiri. Kedua, mengenai hak ijbar seorang tuan terhadap hamba

sahaya yang di milikinya, juga orang dewasa yang berada dalam pengampunan,

dalam hal ini fuqaha juga berbeda pendapat apakah mereka boleh dipaksa

menikah oleh tuan maupun pengampunya. Malik dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah

4 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Alih Bahasa Said, Zaidun,

Cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II: 399.

Page 16: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

6

berpendapat bahwa seorang tuan dapat memaksa hamba sahayanya untuk kawin.

Sedangkan syafi‟i berpendapat, hamba sahaya tidak boleh dipaksa kawin oleh

tuannya.5

Dalam pembahasan persetujuan pernikahan seperti yang sudah disebutkan di

atas, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya fuqaha memposisikan orang tua

dalam hal ini? Apakah persetujuan orang tua dalam pernikahan merupakan syarat

mutlak bagi sahnya nikah? Berangkat dari kegelisahan seperti yang diuraikan

diatas, penulis beranggapan perlu dilakukan sebuah penelitian tentang “

Persetujuan Orang Tua Dalam Pernikahan”

Orang tua dalam pembahasan persetujuan pernikahan biasa disebut hanya

dengan penyebutan “ayah” saja. Sebab, dalam hal perwalian, hanya Imam Abu

Hanifah dan para pengikutnya yang membolehkan wanita berhak menjadi wali,

atau bagi wanita dewasa atau janda berhak atas dirinya sendiri dalam hal

bertindak hukum termasuk menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam pernikahan.

Sedangkan Imam malik, Asy-Syafi‟i dan mayoritas ulama mengatakan bahwa

wali itu adalah laki-laki.

Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim merupakan dua tokoh ulama yang sangat luas

ilmunya, sangat tajam analisisnya, dan sangat takut pada tuhannya. Sehingga tidak

ada kekhawatiran bagi siapa saja yang bermaksud mengikuti pandangan mereka.

Sebab tidak mungkin mereka berfatwa hanya untuk kepentingan dunia.

Ketertarikan penyusun terhadap Asy-Syafi‟I dan Ibnu Qayyim, memicu hasrat

5 Ibid., hlm. 400

Page 17: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

7

untuk meneliti pandangan mereka dalam hal “persetujuan orang tua dalam

pernikahan”.

Asy-Syafi‟i berpandangan bahwa bagi gadis dewasa berakal, maka hak

mengawinkannya ada pada wali6, dan boleh dipaksa untuk dinikahkan.7 Urutan

wali menurut Imam Syafi‟i adalah: Ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki

kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman

(saudara ayah), anak paman, dan seterusnya dan bila semuanya tidak ada,

perwalian beralih ke tangan hakim.8 Sebaliknya, Ibnu Qayyim al-Jawziyah

melarang para wali baik ayah, atau selainnya menikahkan anak gadis yang sudah

dewasa tanpa mendapat persetujuan dari anak gadisnya terlebih dahulu. Jelas

dapat dipahami bahwa dalam hal ini persetujuan orang tua menurut Ibnu Qayyim

tidak harus ada. Perbedaan pandangan antara Sya-fi‟i dan Ibnu Qayyim dalam hal

ini sangat menarik untuk diteliti.

Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada bagaimana kedudukan

persetujuan orang tua dalam pernikahan. Sebab, Syafi‟i dan Ibnu qayyim masing-

masing meletakkan orang tua dalam urutan perwalian pada bagian awal. Apakah

ini dipentingkan, sehingga menjadi suatu syarat mutlak akan sah tidaknya suatu

pernikahan, atau hanya sekedar sunat hukumnya.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penyusun tertarik melakukan

penelitian lebih lanjut terkait persoalan tersebut dalam bentuk karya ilmiah

6 Jawad mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Masykur dkk, Cet. VII (Jakarta:

Lentera, 2008), hlm.345. , 7 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Alih Bahasa Said, Zaidun,

cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II:404. 8 Ibid., hlm. 348

Page 18: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

8

(Skripsi) dengan judul “Persetujuan Orang Tua Dalam Pernikahan (Studi

Komparasi Atas Pandangan Asy-Syafi’i dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, penyusun membuat

beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa argument asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah atas pandangan

mereka tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan?

2. Dari dua pandangan ulama tersebut, mana yang lebih maslahah untuk

konteks saat ini?

C. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini agar tidak terjadi perluasan pada pokok

pembahasan penulis akan memfokuskan pada hal bagaimana pandangan Asy-

Syafi‟i dan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah tentang persetujuan orang tua dalam

pernikahan.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian pada hakikatnya mengungkapkan apa yang dicapai

oleh peneliti. Tujuan penelitian ini adalah:

a. Ingin mengetahui argumen asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-

Jawziyah atas pandangan mereka tentang persetujuan orang tua

dalam pernikahan.

b. Ingin mengetahui Dari dua pandangan ulama tersebut, mana yang

lebih maslahah untuk konteks saat ini.

Page 19: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

9

2. Kegunaan Penelitian

a. Mengenalkan konsep berpikir asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-

Jawaziyah yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan

pandangan keislaman.

b. Untuk menambah khazanah keilmuan hukum islam terutama tentang

sejauh mana relevansi pandangan Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-

Jawziyah bila dikaitkan dengan konsep sekarang.

c. Untuk menambah khazanah keilmuan hukum islam terutama dalam

mencari mana yang lebih maslahah antara pandangan Asy-Syafi‟i

dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah pada masa sekarang.

E. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penyusun berusaha memahami dan mengananlisa

persetujuan orang tua dalam pernikahan studi komparasi atas pandangan asy-

Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan menggunakan Teori perbandingan

doktrin hukum. Perbandingan dokrtin hukum adalah pemikiran ahli hukum yang

berkaitan dengan hukum itu sendiri. Perbandingan dokrtin hukum bukanlah

hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara dan sebagainya.9

Melainkan merupakan kegiatan memperbandingkan hukum yang satu dengan

hukum yang lain. Yang dimaksud memperbandingkan disini ialah mencari dan

mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi

penjelasannya dan bagaiman tujuan hukum dan bagaiman pemecahan yuridisnya

dalam prateknya.

9 Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, penerbit (Bandung: Melati, 1989), hlm. 131.

Page 20: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

10

Jadi memperbandingkan pendapat-pendapat ulama misalnya, bukan sekedar

untuk memahami pendapat-pendapat para ulama tersebut dan mencari perbedaan

dan persamaannya saja, akan tetapi perhatian yang paling mendasar dalam

perbandingan doktrin hukum ialah ditujukan kepada seberapa jauh pendapat-

pendapat ulama tersebut dilaksanakan atau diamalkan di dalam masyarakat.

Tujuan menggunakan perbandingan doktrin hukum diantaranya untuk

mengumpulkan pengetahuan baru dan memperoleh gambaran yang lebih baik

tentang hukum tersebut, karena dengan memperbandingkan pendapat-pendapat

ahli hukum kita bisa melihat masalah-masalah tertentu untuk menyempurnakan

pemecahan dari masalah tersebut.10

Islam memiliki seperangkat peraturan yang mengikat setiap pemeluknya.

Peraturan yang mengikat itu disebut dengan hukum. Hukum menurut ulama ushul

fiqh adalah apa yang dikehendaki oleh syari‟ (pembuat hukum), dalam hal ini

syari‟ adalah Allah.11 Kehendak syari‟ ini dapat digali dari sumber utama

penetapan hukum Islam yang dalam hal ini al-Quran dan Sunnah. Sumber hukum

Islam itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Sumber “tekstual” atau sumber tertulis (disebut juga dengan nushus), yaitu

langsung berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi S.A.W.

2. Sumber “nontekstual” atau sumber tak tertulis (disebut juga ghairu an-

nushus), seperti istihsan dan qiyas. Meskipun sumber hukum kedua ini tidak

langsung mengambil dari teks al-Quran dan sunnah, tetapi pada hakikatnya

digali dari al-Quran dan sunnah.

10 Ibid.,hlm. 132 11 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, Cet. II, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001),

hlm.1

Page 21: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

11

Pemahaman akan kehendak syar‟i yang digali dari sumber-sumber hukum

yang telah disebutkan di atas, tergantung sepenuhnya kepada pemahaman ayat-

ayat hukum dalam al-Quran dan Hadits-hadits hukum yang terdapat dalam

sunnah.12 Sebab itu tidak asing bagi kita bila mendapati fatwa-fatwa atau

kesimpulan hukum oleh para fuqaha dalam kasus dan hukum yang sama, tetapi

fatwa-fatwa atau kesimpulan hukum yang diperoleh berbeda.

Demikian halnya dengan fatwa asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah

tentang “hukum persetujuan dalam pernikahan”. Dengan mengambil dasar dari

sumber tekstual (al-Quran dan Hadits), kemudian digali dengan metode yang

menurut mereka tepat digunakan untuk menemukan hukum yang dikehendaki

syar‟i dari teks al-Quran maupun hadits tersebut usaha penggalian hukum ini,

menurut ulama ushul fiqh disebut istinbath.13

Beberapa metode ijtihad yang lazim digunakan dalam istinbath hukum

Islam adalah: Istihsan, Maslahah mursalah, istishab, „adat atau „urf. Mazhab

shahabi, Syar‟u man Qablana dan sad al-Zaria‟ah.

Kaidah-kaidah tersebut di atas menurut penyusun digunakan oleh asy-

Syafi‟i dan Ibnu Qayyaim al-Jawziyah dalam menggali hukum dari dalil-dalil

tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan. Sebab itu, penyusun juga akan

menggunakan kaidah-kaidah atau teori-teori pemahaman lafaz tersebut dengan

segala ketentuannya untuk menganalisa pandangan asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim

tersebut. Penyusun juga menggunakan metode Maslahah dalam menggali hukum

dari tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ini.

12 Ibid,.hlm.2 13 Ibid,.hlm.3

Page 22: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

12

Mushthafa al-Zuhaili membagi maslahah kepada tiga macam ;

1. Maslahah mu‟tabarah, yaitu maslahah yang berupa hukum-hukum syara‟

yang mesti di wujudkan dan dipelihara, bertujuan untuk menjaga maksud

syara‟ seperti kemaslahatan menjaga jiwa, harta dan kehormatan yang di

syariatkan Allah untuk memeliharanya.

2. Maslahah al-Mulghah, yaitu maslahah yang memiliki ketentuan hukum untuk

mengabaikan dan untuk tidak memeliharanya, karena secara zhahir berbentuk

maslahah dan dibaliknya tersembunyi kemudaratan, kerusakan dan

malapetaka bagi agama dan dunia.

3. Maslahah al-Mursalah, yaitu maslahah yang tidak dijelaskan oleh syar‟i, baik

untuk menerima atau menolaknya. Maslahah dalam bentuk ini menjadi ruang

perbedaan pendapat di kalangan ulama, dimana mereka sepakat untuk

mewujudkan berbagai kemaslahatan dan menjadikannya sebagai „illat atau

argumentasi, namun mereka berbeda pendapat dalam menerima atau

menetapkannya sebagai dalil syara‟ yang berdiri sendiri dan apakah ia

merupakan salah satu sumber penetapan hukum syara‟ atau tidak.14

Dari segi kekuatannya maslahah al-Mursalah dibagi ke dalam tiga bagian ;

a. Maslahah al-Dharuriyah, disebut dengan menolak kerusakan, yaitu suatu

maslahah yang menempati posisi dharurah, dalam hal ini hilangnya suatu

maslahah berarti hilang pula sesuatu dari hal-hal yang bersifat dharuriyah

atau keseluruhannya dan ini merupakan puncak maslahah, seperti haramnya

membunuh dan wajibnya qisash.

14 Suhar AM, Metode hukum islam, (Jambi: Salim Media Indonesia, 2015) hlm. 118.

Page 23: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

13

b. Maslahah hajiyah, disebut juga mengambil kemaslahatan, yaitu suatu

maslahah yang menempati posisi hajiyah bukan dharurah. Maslahah ini dapat

mewujudkan kemudahan dan menghasilkan yang bermanfaat dan segi

peringkat kekuatannya tidak sama dengan maslahah dharuriyah, seperti

halnya ijarah dan musaqah.

c. Maslahah tahsiniyah dan disebut juga kesempurnaan, yaitu maslahah yang

bukan menempati posisi dharuriyah dan hajiyah, tetapi merupakan bagian

dari hal-hal yang menyangkut dengan kemuliaan ahklak, mengikuti manhaj

yang baik, demikian juga pengharaman berbagai najis.15

F. Tinjauan Pustaka

Setelah peneliti mengadakan suatu kajian kepustakaan peneliti akhirnya

menemukan beberapa karya tulis hasil penelitian yang memiliki bahasan yang

hampir sama dengan yang akan peneliti teliti. Penelitian-penelitian tersebut antara

lain adalah:

1. Tulisan berjudul pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang persetujuan

anak gadis dalam perkawinan16 oleh Musa Arifin. Dalam tulisannya ia hanya

memaparkan pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang status hukum

persetujuan anak gadis dalam perkawinan dan tidak mengkomparasikan

dengan pandangan ulama lain secara mendalam.

15 Ibid, hal. 119 16 Musa Ariffin, Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah Tentang Persetujuan Anak Gadis

Dalam Perkawinannya,( Jogjakarta: skripsi, 2005).

Page 24: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

14

2. Niswatul Imamah dalam tulisannya Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak

Ijbar Wali Nikah17 menggunakan mashalah sebagai kerangka teori untuk

menelaah pandangan ibnu taimiyah, dan menyimpulkan bahwa laki-laki

maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam penentuan calon

pendamping hidup, artinya tidak ada ijbar wali nikah bagi siapapun dan oleh

siapapun.

3. Rety Bilkis Syam dalam tulisannya Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat

Sah Perkawinan Dalam Pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah18 dalam tulisan

ini ia hanya membahas tentang persetujuan anak gadis dalam pernikahan

menurut pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah dan tidak mengkomparasikan

dengan pandangan ulama lain secara mendalam.

ketiga tinjauan diatas mereka tidak membahas Persetujuan Orang Tua

Dalam Pernikahan dan tidak mengkomparasikan dengan pandangan ulama

lain secara mendalam.

G. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan judul yang ingin diteliti maka jenis penelitian adalah

penelitian kualitatif dengan teknik yuridis normatif.

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan

bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas

17 Niswatul Imamah, Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar wali nikah,(Jogjakarta:

skripsi, 2003) 18 Rety Bilkis Syam, tulisannya Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat Sah Perkawinan

Dalam Pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah, (Cirebon: skripsi, 2017)

Page 25: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

15

hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian

ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan

mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang

berhubungan dengan penelitian ini.19

Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat

fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.

Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu

menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah

untuk dipahami dan disimpulkan.20

2. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan

(library research). Penelitian kepustakaan (library reserch) adalah pengumpulan

data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat di

ruang perpustakaan, yaitu tentang data-data tertulis seperti buku, al-Qur‟an, hadis,

dll.

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat dekriptif analitis yaitu suatu penelitian yang meliputi

proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Dalam penelitian

ini akan dijelaskan tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan studi

19 Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm.

129. 20 Ibid, hlm. 5.

Page 26: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

16

komparasi Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah kemudian membandingkan

pemikiran keduanya.

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu

jenis data yang menguraikan beberapa pendapat, konsep, atau teori yang

menggambarkan atau menyajikan masalah yang berkaitan dengan persetujuan

orang tua dalam pernikahan studi komparasi Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-

Jawziyah.

b. Sumber Data

sumber data adalah tempat sumber dari mana data itu diperoleh. Adapun

sumber dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, yaitu sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer terutama diambil dari Alquran dan Hadis, dan dari

kitab-kitab Mazhab Syafi‟i seperti al umm dan kitab Ibnu Qayyim al-

jawziyah yaitu zaadul maad.

2) Bahan hukum skunder adalah data yang tidak berkaitan langsung dengan

sumbernya yang asli. Dengan demikian data sekunder adalah sebagai

pelengkap. Pada data ini penulis berusaha mencari sumber lain atau karya-

karya yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan proposal skripsi ini dilakukan

dengan cara riset perpustakaan (library research) yaitu riset yang digunakan

Page 27: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

17

dengan membaca buku, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan

penelitian ini. Dalam riset perpustakaan ini pengumpulan data yang ditemukan

dari berbagai macam buku yang ada hubungannya dengan hukum islam sesuai

dengan judul penelitian.

5. Metode Analisis Data

Di dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode komparasi

(perbandingan). Data-data yang terkumpul di analisis dengan cara

membandingkan di antara keduanya. Metode komparatif adalah metode

membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, atau penelitian yang

dilakukan dengan mengkaji beberapa fenomena-fenomena sosial, sehingga

ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan pendapat.21

Selain menggunakan metode komparasi, penulis juga menggunakan metode

tarjih (menguatkan atau memberatkan). Metode tarjih dapat didefinisikan sebagai

metode membandingkan dua dalil atau dasar yang bertentangan dan mengambil

yang terkuat di antara keduanya.

H. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mudah dalam memahami isi skripsi ini agar tidak memperluas

objek kajian dalam penelitian, maka perlu adanya sistematika penulisan. Skripsi

ini merujuk pada teknik penulisan yang disepakati pada Fakultas Syariah UIN

STS Jambi. Penelitian ini terbagi kepada lima bab, di setiap babnya terdiri dari

sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-permasalahan

21 Suharsimi Arikunto, prosedur penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 6.

Page 28: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

18

tersendiri, tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang

berikutnya. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:

Bab I, merupakan bab pendahuluan yang mana dalam bab ini memaparkan,

latar belakang masalah, rumusan masalah. Batasan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian.

Bab II, Penyusun memaparkan biografi imam asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim

al-Jawziyah.

Bab III, Penyusun memaparkan tentang gambaran umum tentang perwalian

dalam pernikahan.

Bab IV, pembahasan dan hasil penelitian yaitu memaparkan bagaimana

pandangan dan argumentasi Imam Syafi‟i dan Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang

permasalahan yang diteliti.

Bab V, merupakan penutup, berisikan tentang kesimpulan akhir dari

penelitian dan saran penulis

Page 29: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

19

BAB II

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I DAN IBNU QAYYIM AL-JAWZIYAH

A. Imam Syafi’i

1. Biografi Imam Syafi’i

Imam syafi‟i lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 H/767 M. Dan

meninggal dunia di Fustat (Cairo), Mesir pada tahun 204 H/ 20 Januari 820 M. Ia

adalah ulama mujtahid (ahli ijtihat) di bidang fiqh dan salah seorang dari empat

imam mazhab yang terkenal dalam islam. Ia hidup dimasa pemerintahan khalifah

Harun al-Rasyid, al-Amin, dan al-Ma,mun dari dinasti abbasiyah.

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asi-Syafi‟i.

ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah karena salah seorang anaknya

bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak

pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Syafi‟I dan mazhabnya di sebut Mazhab

Syafi‟i.22

Ayahnya bernama Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin Sa‟ib bin

Abid bin Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abd Manaf, sedangkan

ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al-Hasan bin Husein bin Ali bin Abi

Talib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi‟i bersatu dengan keturunan Nabi

Muhammad SAW pada Abd Manaf, kakek Nabi Muhammad yang ketiga,

sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Talib. Jadi kedua

orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy. Imam Syafi‟i dilahirkan

22 Saiful Hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, (Jakarta, Insan Cemerlang, 2007),

Cet. Ke-I; hlm 413.

Page 30: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

20

dalam keadaan yatim. Dalam usia 9 tahun dia sudah menghafal seluruh isi al-

Quran dengan lancer.23

2. Perjalanan imam syafi’i

a. Perjalanan Imam Syafi‟i ke Iraq

Saat masih di Madinah, Imam Syafi‟i mengetahui bahwa Imam Abu

Hanifah dulu berada di Iraq. Ketika wafat, beliau telah melahirkan banyak ulama,

diantaranya Imam Abu Yusuf dan Muhammad bun Hasan. Dan Imam Syafi‟i

bertekat untuk bertemu dengannya dan para ulama yang lain.24

Imam Syafi‟i tinggal beberapa waktu Kufah bersama Muhammad bin

Hasan, selama itu, dia sudah menulis banyak buku. Ketika hendak pergi

meninggalkan Iraq, untuk meneruskan petualangannya dalam mengais ilmu,dia

hendak sekali keliling beberapa kota di Iraq dan Persia juga tempat-tempat

lainnya. Sehingga, disampaikanlah keinginan ini kepada Muhammad bin Hasan,

beliau pun setuju. Akhirnya, Imam Syafi‟i di bekali uang 3.00- Dinar, sebagai

bekal perjalanannya.25

b. Perjalanan Menuju Negeri Persia dan Sekitarnya

Imam Syafi‟i berkeliling di Negeri Persia dan sekitarnya, lalu menuju Al-

Harran, dimana dia sempat menginap disana beberapa waktu, lalu melanjutkan ke

Palestina dan menginap di Ramlah (sebelah selatan Baitul Maqdis). Perjalanan ini

memakan waktu tepat dua tahun 182-184 H, dari apa yang dihafal dari ulama

23 Ibid hlm 414 24 M. Hasan Al-jamal, Biografi 10 Imam Besar, ( Kairo-Mesir: Dar-Fadhillah 2003), Cet.

Ke-I; hlm 70 25 Ibid hlm 72

Page 31: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

21

ternama, serta wawasan tentang kondisi umat, baik dari sisi ahklak maupun adat,

keilmuan Imam syafi‟i bertambah secara drastis.26

c. Kembali ke Madinah

Pada kondisi Imam Syafi‟i dilapangkan rezekinya, dia sangat rindu untuk

kembali ke Madinah, untuk bertemu Imam Malik, sehingga dia membeli

kendaraan dan langsung pergi menuju Madinah, setelah perjalanan selama 38 hari

dia sampai disana, tepatnya pada waktu Ashar, tahun 184 H. dia langsung menuju

Masjid untuk sholat Ashar, lalu mengikuti pelajaran Imam Malik, ketia beliau

mengetahui bahwa Imam Syafi‟i ada di tengah-tengah muridnya, beliau

memanggilnya lalu memeluknya. Setelah menyelesaikan perjalanan, Imam Malik

mengajak kerumahnya.27

d. Perjalanan ke Yaman

Walaupun Imam Syafi‟i sudah sangat terkenal di Mekkah dan Madinah,

juga di kalangan pelajar yang datang dari seluruh penjuru Negeri Islam, yang aktif

mengikuti pelajarannya dan sangat mencintainya, namun demikian, dia tidak

pernah mengambil upah baik di Madinah maupun di Mekkah.

Lain halnya, dengan di Yaman. Disana mereka mencarikan Imam Syafi‟i

pekerjaan, dimana dia mengambil gaji dari pekerjaan tersebut, pekerjaan ini

berkaitan dengan peradilan, pekerjaan ini sangat sesuai dengan pemahaman,

keahlian dan bidangnya. Disini Imam Syafi‟i benar-benar berbuat maksimal

sehingga mendapat pujian dan ucapan terima kasih dari berbagai pihak, dia pun

26 Ibid hlm 72 27 Ibid hlm 73

Page 32: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

22

mulai terkenal di kalangan khalayak ramai. Dia menjalankan tugasnya sesuai

dengan amanat yang di embannya dan sesuai dengan petunjuk agama.28

e. Kembali ke Mekah

Kepulangan Imam Syafi‟i bukan untuk bergabung dengan halaqah yang

ada di Masjidil Haram, tetapi untuk membuat halaqah baru, disini dia mulai

meletakkan pondasi dimana dia telah memiliki kemampuan yang cukup besar

serta ilmu yang memadai untuk melakukan ijtihad.

Halaqah yang dibentuknya di Masjidil Haram, menarik banyak kalangan

ulama, mereka turut mendengar metode-metode baru yang dia terapkan dalam

mengambil hukum, sehingga mengisi akal mereka dedngan keilmuan yang

berbobot.29

f. Perjalanan ke Baghdad

Perjalanan Imam Syafi‟i ke Baghdad kali ini merupakan perjalanan yang

kedua kalinya. Ini terjadi pada tahun 195 H, Imam Syafi‟I memasuki Baghdad

seraya mengumumkan ijtihadnya, dengan berbekal ilmu, argumentasi yang

kuat,serta kemampuan untuk menjelaskan ide-idenya, senjata yang

mengantarkannya mampu berdialog dengan siapa saja dalam As-Sunnah dan fiqh.

Ketika datang ke Baghdad ia menatap di rumah Az-Za‟farani, seorang sastrawan

yang kaya dan memiliki kedekatan dengan para penguasa Iraq.

Imam Syafi‟i mendatangi Masjid Al-jami‟ barat kota Baghdad yang

biasanya di adakan halaqah ilmu, ia menempati salah satu sudut dan memulai

pelajaran dalam bidang ushul fiqh, kaidah serta sumber-sumber fiqh, para ulama

28 Ibid hlm 73-74 29 Ibid hlm 76

Page 33: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

23

dan pelajar berbondong datang untuk menimba ilmunya, sementara Imam Syafi‟i

terus menyampaikan madzhabnya dengan dalil dan argumentasi yang kuat dan

akurat, sehingga setiap hari mereka menemukan pemahaman dan informasi baru

tentang Kalamullah, serta hadits Rasullullah SAW, sehingga para ulama mau tak

mau harus mengakui kredebilitas keilmuannya, selanjutnya ia menjadi sangat

popular di mata masyarakat.30

g. Perjalanan ke Mesir

Dalam kepergiannya Imam Syafi‟i di temani oleh murid-muridnya,

diantaranya: Ar-Rabi‟ Al-Mirawi, Abdullah bin Zubair Al-Humaidi dan yang

lainnya. Imam Syafi‟I mulai menyampaikan pelajaran di Masjid Amru bin Al-

Ashsetelah shalat subuh, langsung satu hari setelah kedatangannya. Banyak laki-

laki maupun perempuan hadir secara rutin ke majlis ini. Pada saat itu aturan

tentang etika campur laki-laki dan perempuan belum dikenal. Sehingga

percampuran laki-laki dan perempuan dalam satu majlis tidak menjadi masalah,

karean adanya menjaga diri dari rasa malu.

Pelajaran yang disampaikan Imam Syafi‟i tidak dikhususkan untuk

kalangan tertentu, namun dihadiri oleh para murid dan pelajaran dari berbagai

kalangan, majelis ini diatur berbentuk halaqah (dimana sang guru duduk di tengah

sementara para murid duduk mengelilinginya), sementara Imam Syafi‟I duduk

diatas kursi yang agak tinggi agar bisa melihat semua yang hadir, dan mereka pun

dapat melihat dirinya.31

30 Ibid hlm 78 31 Ibid hkm 81-82

Page 34: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

24

3. Buku-buku Imam Syafi’i

Imam Syafi‟i adalah seorang ulama yang tekun dan berbakat dalam

menulis. Karangannya yang sampai kepada kita antara lain:

a. “Ar-Risalah”, suatu kitab yang khusus membahas tentang ushul fiqh dan

merupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang ushul fiqh.

b. “Kitab al-Umm”, sebuah kitab fiqh yang komprehensif. “Kitabal-Umm” yang

ada sekarang terdiri atas tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab Syafi‟i yang

lain seperti “Siyar al-Ausa‟i, Jima‟ al-„Ilm, Ibtal al-Istihsan”, dan “ar-Radd „Ala

Muhammad Ibn Hasan”.

c. “Kitab al-Musnad”, berisi tentang hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dari

“Kitab al-Umm”. Disana dijelaskan sanad setiap hadits.

d. “Iktilaf al-Hadits”, suatu kitab hadits yang menguraikan pendapat Syafi‟I

mengenai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadits.32

4. Guru-Guru Imam Syafi’i

Imam Syafi‟i mempelajari ilmu-ilmu diantaranya ilmu tafsir, ilmu fiqh dan

ilmu hadits kepada guru-guru yang tempat tinggal Imam Syafi‟i dan gurunya

saling berjauhan dan guru-guru Imam Syafi‟i juga mempunyai metode keilmuan

yang berbeda. Ia memperoleh pelajaran dari guru-gurunya di Mekah, Madinah,

Yaman dan Irak.33

Guru-guru Imam Syafi‟I yang terkenal, diantaranya :

a. Di Mekah

1. Muslim bin Khalid az Zanji.

32 Saiful Hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, hlm 421-422 33 Muhammad Abu Zahra, Imam Syafi‟i: Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah

Aqidah, Politik dan Fiqh, (Jakarta, Lentera,2005), cet. Ke-2. hlm 70

Page 35: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

25

2. Ismail bin Qusthantein.

3. Sopyan bin „Ujainah.

4. Sa‟ad bin Abi Salim al-Qaddah.

5. Daud bin Abdurrahman al „Athar.

6. Abdul Hamid bin Abdul Aziz.

b. Di Madinah

1. Imam Malik bin Anas. (Pembangun Mazhab Maliki).

2. Ibrahim Ibnu Sa‟ad al Anshari.

3. Abdul „Azia bin Muhammad ad Daruri.

4. Ibrahim Ibnu Abi Yahya al Asaami.

5. Muhammad bin Sa‟id.

6. Abdullah bin Nafi‟

c. Di Yaman

1. Mathraf bin Mazin.

2. Hisyam bin Abu Yusuf Qadli Shan‟a.

3. Umar bin Abi Salamah. ( Pembangun Mazhab Auza‟i).

d. Di Irak

1. Waki‟ bin al-Jarrah

2. Abu Usamah Hamad Bin Usamah.

3. Ismail bin „Aliyah

4. Abdul Wahab bin Abdul Majid.34

34 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟I,( Jakarta, Pustaka

Tarbiyah, 2006), hlm 153

Page 36: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

26

B. Ibnu Qayyim al-Jawziyah

1. Biografi Ibnu Qayyim al-Jawziyah

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin

Sa‟d bin Haeiz bin Makki, Zainuddin az-Zura‟I, kemudian ad-Dimasyqi al-

Hanbali. Kunyah beliau adalah Abu Abdillah dan gelarnya Syamsuddin.

Beliau masyhur dengan Ibnu Qoyyim al-Jawziyah. Dimutlakkan padanya

secara ringkas dengan nama Ibnu al-Qayyim, dan tidak benar dimutlakkan

padanya dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Sebab pemimpin madrasah al-

Jawziyah di Damaskus adalah ayahnya, Abu Bakar Ibnu Ayyub az-Zura‟i, lalu

keturunan dan anak cucunya setelah itu masyhur dengannya. Kemudian salah satu

dari mereka dipanggil dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Sedangkan al-Jauizi

adalah nisbat kepada suatu tempat di Bashrah. Ada yang mengatakan, dinisbatkan

kepada al-jauz (buah kelapa) dan jual belinya.

Ibnu Qayyim al-Jawziyah lahir di Damaskus pada tanggal 7, bulan shafar

tahun 691 H / 4 Februari 1292 M. Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan, “kitab-kitab

biografi bersepakat bahwa sejarah kelahirannya pada 691 H. muridnya, ash-

Shafadi menyebutkan kepastian hari dan bulannya, dengan menjelaskan bahwa

kelahirannya pada tanggal 7 bulan Shafar dari tahun tersebut. Pendapatnya ini

diikuti oleh Ibnu Thagri Badri, addawuri, dan as-Suyuti.35

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, dia memiliki ibadah dan tahajjud,

shalat panjang hingga mencapai klimaksnya, beribadah, berdzikir, lahap dengan

cinta, inabah (taubat), istighfar, butuh kepada Allah, tunduk kepadanya, dan

35 Syeikh Ahmad Farid, Min A‟lam al-Salaf, alij bahasa Ahmad Syaikhu, Biografi 60

Ulama Ahlussunnah ,(,Jakarta: Darul Haq, 2013), hlm . 921-924.

Page 37: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

27

bersimpuh dihadapannya di pintu ubudiyahnya. Dari kecilnya, seperti dilukiskan

oleh Mustofa al-Maragi dalam kitabnya al-Fath al-Mubin, sudah terkenal sebagai

seorang yang sangat tabah dan tekun dalam menghadapi suatu masalah.

Masyarakat pada masanya mengenalnya sebagai seorang alim yang taat, banyak

shalatnya dan sangat gemar membaca al-Quran. Di riwayatkan bahwa selesai

shalat subuh, ia tetap duduk di atas sajadahnya mengerjakan dzikir sampai terbit

matahari. Ia adalah seoarang alim yang rendah hati seperti dicatat oleh syekh al-

Maragi, sangat penyayang sebagai sesama manusia dan mukanya selalu manis di

hadapan sesamanya. Ia pernah berpesan bahwa dengan kesabaran, keteladanan

dan ketinggian dalam agama akan dapat dicapai. Sseorang yang ingin mencapai

ketinggian di jalan Allah Swt hendaklah mempunyai. Cita-cita yang tinggi itu

dapat mengantarkan seorang hamba kepada martabat yang tinggi di sisi-Nya.36

Banyak keahlian syekh pembela salaf ini, di samping sebagai ahli usul

fikih, ushuluddin dan ahli hadits, ia juga terkenal sebagai seorang ahli bahasa

Arab, seorang sastrawan, juru dakwah kenamaan dan bicaranta sangat menarik

dan memukau siapa yang mendengarnya. Ia juga mendalami berbagai cabang ilmu

dari ulama-ulama kenamaan di Damaskus. Bahasa Arab ia dalami dari ahli-ahli

baha Arab kenamaan, seperti Syekh Abu al-Fatih al-Majid at-Tunisi. Di bidang

fikih ia belajar dari Syekh al-Majid al-Harrani. Ilmu faraid ia pelajari dan dalami

dari ayahnya Abu Bakar Ibnu Ayyub dan ilmu ushul fikih ia dalami dari Syekh as-

Safi al-Hindi dan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah.

36 Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), hlm.

374.

Page 38: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

28

Ia sangat dekat dengan Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah dan penganut

pahamnya yang setia. Ia terkenal gigih dalam membela dan menyebarluaskan

pemikiran-pemikiran guru itu. Ibnu Qayyim, sebagaimana gurunya Ibnu

Taimiyah, adalah seorang yang mempunyai keberanian dan kebebasan berpikir,

sehingga ia tidak pernah merasa takut mengemukakan pendapat yang ia yakini.

Dalam menyampaikan kebenaran yang di yakininya itu, tidak kurang cobaan dan

rintangan yang dialaminya dari apa yang dialami oleh gurunya Ibnu Taimiyah.

Bahkan bersama guru yang sangat dikaguminya itu ia pernah diasingkan dan

dipenjarakan.37

Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Ibnu Qayyim al-Jawziyah bersifat

pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang tasawuf. Ibnu Qayyim al-Jawziyah

menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya yaitu al-Quran dan

as-sunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan. Ajaran-ajaran tasawuf

seharusnya memperkuat syari‟at dengan itu beroleh kesegaran dan penghayatan

hakiki yang tumbuh dari kedalaman batin manusia.38

Gelora pemikiran Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang tegas dengan berpegang

kepada al-Quran dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bid‟ah dan

khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi masyrakat

dimana Ibnu Qayyim al-Jawziyah hidup. Di timut Hulaghu Khan datang

mengobrak-abrik umat Islam dan dari barat kekuatan-kekuatan yang membentuk

37 Ibid.hlm, 374. 38 M. Laily Mansyur, Ajaran dan Teladan Para Sufi,(Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,

1996), Cet. I, hlm.222.

Page 39: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

29

perang salib, sementara Aqidah dan pemikiran umat Islam dalam keadaan beku

(jamud) dibalut oleh lumpur taklid, khurafat dan bid‟ah.39

Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah

ditutup dan diterima secara umum di zaman tersebut. Disamping itu pengaruh

tarekat-tarekat bertambah mendalam dan meluas di dunia Islam. Demikianlah

kehidupan yang melanda orang Islam pada masa itu, penuh dengan bentrokan

fisik dan perpecahan sesame mereka, disebabkan mereka menyimpang dari ajaran

agama.

Keadaan seperti ini membutuhkan terjadinya perubahan dan pembaharuan,

kesempatan seperti ini lah kesempatan seperti inilah yang paling tepat untuk

mengajak dan mengarahkan bangsa kembali kepada ajaran Islam. Kondisi tersebut

mendorong Ibnu Qayyim al-Jawziyah untuk menegakkan dakwah perdamaian,

mempersatukan paham Aqidah dan Fikih, membuang pertikaian sesama orang

Islam serta membuka kembali pintu ijtihad dengan tetap atau selalu berpegang

pada al-Quran dan as-Sunnah.40

2. Guru-guru dan Murid-murid Ibnu Qayyim al-Jawziyzah

Adapun guru-gurunya Ibnu Qayyim al-Jawziyah adalah sebagai berikut:

a. Ayahnya sendiri Abu Bakar bin Ayyub Qayyim al-Jawziyah

b. Ibnu Abd ad-„Daim

c. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

d. Asy-Syihab al-Abir

e. Ibnu Asy-Syirazi

39 Ibid,. hlm.223. 40 Ibid.,hlm.225.

Page 40: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

30

f. Al-Majd Al-Harrani

g. Ibnu Maktum

h. Al-Kuhhali

i. Al-Baha‟ bin Asakir

j. Al-Hakim Sulaiman Taqiyudddin Abu Al-Fadl bin Hamzah

k. Syarafuddin bin Taimiyah saudara Syaikhul Islam

l. Al-Mutha‟im

m. Fathimah binti Jauhar

n. Majuddin At-Tunisi

o. Al-Badar bin Jama‟ah

p. Abu Al-Fath Al-Ba‟labaki

q. Ash-Shaf Al-Hindi

r. Az-Zamlakani

s. Ibnu Muflih dan

t. Al-Mizzi.41

Adapun murid-murid Ibnu Qayyim Al-Jawziyah adalah:

a. Al-Burhan bin Al-Qayyim Al-Jauzi, anaknya bernama

Burhanuddin

b. Ibnu Kasir

c. Ibnu Rajab

d. Syarafuddin bin Al-Qayyim, anaknya bernama Abdullah bin

Muhammad

41 Syeikh Ahmad Farid, Min A‟lam al-Salaf, op. cit, hlm.930.

Page 41: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

31

e. As-Subki

f. Ali bin Abdulkafi bin Ali bin Tamam As-Subki

g. Adz-Zahabi

h. Ibnu Abdul Hadi

i. An-Nablusi

j. Al-Ghazi dan

k. Al-Fairuz Abadi Al-Muqri.42

3. Karya-karya Ibnu Qayyim al-Jawziyah

Adapun karya-karya Ibnu Qayyim al-Jawziyah diantaranya adalah sebagai

berikut:

a) Ijtima‟ Al-Juyusy Al-Islamiyah „Ala Ghazwil Mu‟athalah wa Al-

Jahmiyah.

b) Ahkam Ahli Adz-Dzimmah.

c) Asma‟ Mu‟allafat Ibnu Taimiyah.

d) I‟lam Al-Muwaqi‟in „an Rabbil „Alamin.

e) Ighatsah Al-Lahfan min Mashayid Asy-Syaithan.

f) Ighatsah Al-Lahfan fi Hukmi thalaq Al-Ghadban.

g) Ar-Ruh.

h) Zad Al-Ma‟ad fi Hadyi Khairil Ibad.

i) Bada‟ai Al-Fawaid.

j) At-Tibyan fi Aqsam Al-Quran.

k) Tuhfah Al-Mahdud fi Ahkam Al-Maulud.

42 Ibid. hlm. 931.

Page 42: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

32

l) Tahzib Mukhatashar Sunan Abi Dawud.

m) Hukmu Tarik Ash-Shalah.

n) Ar-Risalah At-Tubukiyah.

o) Ath-Thib An-Nawawi.

p) Al-Furusiyah. Kitab iniadalah ringkasan dari kitabnya Al-furusiyah

Asy-Syar‟iyyah.

q) Al-Fawaid

r) „Iddah Ash-Shabirin wa dakhirah Asy-Syakirin.

s) Jala‟ Al-Ifham fi Shalah wa As-Salam „ala Khairil Anam.

t) Hidayah Al-Hiyari fi Ajwibah Al-Yahud wa An-Nashara. Dan

masih banyak lagi karya-karya beliau yang lainnya.43

Beliau wafat pada malam kamis, 13 Rajab H waktu adzan Isya. Dalam

usia 60 tahun, semoga Allah merahmatinya. Beliau dishalatkan keesokan harinya

setelah shalat Zhuhur di al-Jami‟ al Umawi, kemudian di Jami‟ Jaeeah, dan

manusia berdesak-desakkan untuk melayat jenazahnya.

Ibnu Katsir mengatakan, “Jenazahnya disaksikan oleh penuh manusia,

disaksikan para qadi, para tokoh, dan orang-orang shalih, baik dari kalangan

khusus maupun umum. Orang-orang berdesak-desakan untuk memikul

kerandanya.

Beliau dimakamkan di Damaskus, di pekuburan al-Bab ash-Shaghir di sisi

ibunya semoga Allah merahmati keduanya. Sebagian muridnya menyebutkan

bahwa tidak lama sebelum kematiannya, dia bermimpi melihat Syeikh Taqiyyudin

43 Ibid, hlm. 933-934

Page 43: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

33

dan bertanya kepadanya tentang kedudukan para tokoh, kemudian mengatakan,

“Engkau sebentar lagi akan menyusul kami, tetapi engkau sekarang berada pada

tingkatan Ibnu Khuzaimah Wallahu a‟lam.44

4. Metode Istinbath Hukum Ibnu Qayyim Al-Jawziyah

Metode penulisannya memiliki ciri khas menonjol, diantaranya sebagian

tulisan sependapat dengan gurunya, Ibnu Taimiyah, sedangkan sebagian lagi

merupakan pendapat pribadi yang berbeda dari pendapat gurunya.45 Ciri khas ini

secara umum telah menjadi metode yang diikuti oleh para penganut aliran

salafiyah. Beberapa aspek dari penelitian tersebut, yaitu:

a. Menjadikan dalil Al-Quran dan as-Sunnah sebagai landasan pendapat.

b. Mendahulukan pendapat para sahabat dari pada para ulama sesudahnya.

c. Luas dan lengkap

d. Kebebasan memilih pendapat yang paling kuat.

e. Penjelasan panjang tentang perbandingan pendapat.

f. Upaya memahami kelebihan syariat dan hikmah Pensyariatan.

g. Perhatian kepada ilat hukum dan alasan pengambilan dalil.

h. Sensifitas dan kepekaan terhadap perasaan masyarakat.

i. Daya Tarik dalam metode penjelasan.

j. Organisasi dan penyusunan kerangka yang baik.

k. Sangat jelas dalam ketawadhuan, permohonan dan do‟a.46

44 Ibid, hlm. 935. 45 Ibnu Qayyim Al-Jawziyah, Ighasatul Lahfan Min Mahayidisy Syaithan, Alih Bahasa

Hawin Murtdho, Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Al-Qowam, cet IV, 2011), hlm. Xii. 46 Ibid, hlm. Xii.

Page 44: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

34

Ibnu Qayyim al-Jawziyah berbeda pandangan dengan ulama-ulama

lainnya tentang urutan dasar istinbath hukum. Menurutnya urutan dasar istinbath

hukum seperti dikutip Abdul Fatah Idris dalam bukunya yang berjudul, “Istinbath

Hukum Ibnu Qayyim Studi Kritik terhadap Metode Penetapan hukum Ibnu

Qayyim al-Jawziyah” sebagai berikut.47

1) Nash (Al-Qur‟an dan Sunnah)

Nash yang dimaksud oleh Ibnu Qayyim al-Jawziyah adalah teks-teks al-

Quran dan as-Sunnah. Menurutnya seorang ahli hukum jika menentukan suatu

persoalan yang menghendaki pemecahan hukum, maka pertama-pertama ia harus

mencari jawaban persoalan tersebut kepada nash. Apabila ia mendapatkan nash,

maka wajib menetapkan hukum berdasarkan nash tersebut.48 Untuk memperkuat

pandangan tersebut Ibnu Qayyim al-Jawziyah mengemukan bukti dalam al-Quran

sebagai berikut:

ٱىخشح ى ن ٴۥ أشا أ عى س ٱلله خ إرا قض ؤ ل ؤ ى ب مب

اب أش ج لا ٴۥ فقذ ضوه ضي سعى عص ٱلله

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi

perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan

suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan

mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka

sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al ahzab ayat 36).49

47 Abdul Fatah Idris, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim: Studi Kritik Terhadap Metode

Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jawziyah,(Semarang: Pustaka Zaman, 2007), hlm.39. 48Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in „An Rabb al-„Alamin, ed. In, Panduan

Hukum Islam, (terj: Asep Saefullah FM & Kamaluddi Sa‟diyatulharamain), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hlm. 9.

49 Q.S, Al-Ahzab (33): 36.

Page 45: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

35

Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyah, ayat tersebut menjelaskan bahwa

seorang mukmin tidak di benarkan mengambil alternative hukum yang lain

sesudah Allah dan Rasulnya untuk menetapkan hukum, dan barangsiapa yang

mengambil alternative lain, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata.50

Ibnu Qayyim al-Jawziyah mendahulukan teks-teks Hadis sebagai dasar

atau sumber hukum dari pada Ijma‟, ra‟yu, maupun qiyas. Selanjutnya Ibnu

Qayyim al-Jawziyah menjelaskan posisi as-sunnah terhadap al-Quran yang

menurutnya ada tiga fungsi yakni, As-sunnah menguatkan ketentuan-ketentuan

yang ada dalam al-Quran, As-sunnah menjelaskan al-Quran dan sekaligus tafsir

baginya, dan As-sunnah berdiri sendiri dalam menetapkan hukum.51

2) Fatwa atau Ijma‟ Sahabat

Sahabat adalah orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw dan

mengimani serta mengikuti ajaran Rasulullah Saw. Apabila ada fatwa para

sahabat yang diketahui saling bertentangan, seorang mujtahid tidak boleh

mengambil fatwa mereka untuk dijadikan sebagai dasar hukum, sebab fatwa

mereka itu tidak bisa dikatakan ijma' sahabat lagi. Ibnu Qayyim al-Jawziyah

dalam menerapkan hukum selain di atas jarang menggunakan katan ijma‟ sesuai

ungkapan-ungkapannya atau tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya.52

3) Usaha Mengkompromikan Pendapat Sahabat yang Saling Bertentangan

Apabila terjadi pertentangan pendapat antara para sahabat, ia memilih

pendapat yang berdalil Al-Quran dan Hadits. Apabila pendapat mereka tidak bisa

dikompromikan, ia tetap mengemukakan pendapat mereka masing-masing tetapi

50 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I‟lam al-Mawaqi‟in, op.cit.,hlm. 10. 51 Ibid, hlm. 10. 52 Abdul Fatah Idris, op. cit. hlm. 42.

Page 46: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

36

ia tidak mengambil pendapat sebagai sumber hukum.53 Mayoritas ulama

mengakui fatwa sahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula

menurutnya, dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan salaf,

dan fatwa-fatwa para sahabat. Fatwa mereka lebih utama daripada ulama

kontemporer.54 Karena fatwa para sahabat lebih dekat pada kebenaran. Masa

hidup mereka lebih dekat dengan masa hidup rasul. Imam syafi‟I dalam qawl

qadim seperti dikutip al-Baihaqi, mengatakan bahwa semua sahabat berada di atas

kita dalam hal kualitas keilmuan, ijtihad, wara‟, dan intelektualnya. Menurutnya

pendapat mereka lebih mulia dan lebih utama daripada pendapat kita secara

keseluruhan.55 Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyah pandangan tersebut didasarkan

pada firman Allah:

ٱلله سهض غ د ثئ ٱرهجع ٱىهز ٱلصبس جش ٱى هى ٱل ٱىغهجق ن

ل ٱىفص ٱىع ا رى ب أثذا ف ش خيذ ذزب ٱل ر ذ رجش جه أنذه ى ٴ ا ن سض ظ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari

golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan

baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah

menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya

selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S

At-Taubah:100)56

4) Hadits Mursal dan Hadits Dha‟if

53 Ibid, hlm 43. 54 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, op. cit.hlm.10. 55 Ibid.,hlm. 10. 56 Q.S, At-Taubah (9): 100.

Page 47: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

37

Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi dan sanadnya setelah

tabi‟in. hadits dha‟if, adalah hadits mardud, yaitu hadits yang ditolak atau tidak

dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Kata al-dha‟if,

secara bahasa adalah lawan dari al-qawiy, yang berarti lemah.57

5) Qiyas dalam Keadaan Darurat

Ketika tidak ditemukan pada nas, hadits atau salah satu diantaranya dan

juga tidak ditemukan dalam atsar, hadits dha‟if dan hadits mursal maka, sumber

kelima yang dipakai Qiyas ketika dalam keadaan darurat.58

Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup setelah

mati kepada terjaga (bangun) setelah tidur, dan membuat beberapa perumpamaan,

serta menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiyas aqli, dimana Allah

ingin mewujudkan bahwa hukum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang

serupa.59

57 Abu Al Maira, Mustalahul Hadits,( Jakarta: Darul Suudiyah, 1998), hlm. 12. 58 Ibnu Qayyim al-Jawziyah, I‟lam al-Muwaqi‟in, op. cit.hlm. 26. 59 Ibid.,hlm. 27.

Page 48: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

38

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG PERWALIAN DALAM PERNIKAHAN

A. Pernikahan

1. Pengertian, Tujuan dan Dasar Hukum Pernikahan

Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan

dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas

pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.

Pendapat-pendapat tentang pengertian perkawinan antara lain adalah:

a. Menurut Hanabilah: nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang

bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.60

b. Menurut Sajuti Thalib: pernikahan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh

untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-

mengasihi, tentram dan bahagia.61

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran

Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

60 Abdurrahman Al-Jaziri, 1986. Kitab „ala Mazahib al-Arba‟ah. Beirut Libanon: Dar

Ihya al-Turas al-Arabi. hlm. 3 61 Moh. Idris Ramulyo, 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 2

Page 49: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

39

menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati

perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.62

Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam

adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-

laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai

ajaran Allah dan Rasul-Nya.63 Tujuan pernikahan dalam Pasal 3 Kompilasi

Hukum Islam yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah (keluarga yang tentram penuh kasih sayang). Tujuan-

tujuan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai harapan, adakalanya dalam

kehidupan rumah tagga terjadi salah paham, perselisihan, pertengkaran, yang

berkepanjangan sehingga memicu putusnya hubungan antara suami istri. Penipuan

yang dilakukan salah satu pihak sebelum perkawinan dilangsungkan dan di

kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan diketahui oleh pihak lain dapat

dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan perkawinan atau pernikahan.

Dasar Hukum Perkawinan:

a. Dalil Al-Quran Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa Ayat 3 dan Al

A‟raaf ayat 189 sebagai berikut:

ع ث سث ثي غبء ث ٱى ة ىن ا ب طب ذ ن فٱ ز ٱى ا ف أله رقغط خفز إ خفز فئ

ا أله رعى ل أد رى ن ذ أ ب ين دذح أ ا ف أله رعذى

62 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2007), hlm.

7 63 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,( Yogyakarta: UI Pres,2000) hlm. 86

Page 50: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

40

“Dan jika kamu tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah

perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat dan jika

kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang”.

ذ دي ب هب رغشهى ب في إى غن جب ى ب ص جعو دذح ظ هف خيقن ٱىهز ل د

ه ن ذاب ىه زب صي ءار ب ىئ سثه ا ٱلله ذ دهن هب أثقي ٴ ۦ في د ث خففاب فشه ٱىشهنش

“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan dari padanya dia

menciptakan isterinya agar dia merasa senang”.

Sehingga pernikahan adalah menciptakan kehidupan keluarga antar suami

isteri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan

tentram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah), dan saling

menyantuni (rahmah).

b. Dalil As-Sunnah

Dari H.R. Bukhari Muslim diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud r.a

dari Rasulullah yang bersabda:

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka

nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga

kehormatan. Dan siapa yang tidak memiliki kemampuan itu, hendaklah ia selalu

berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya.”

Pada dasarnya hukum menikah itu adalah jaiz (boleh) namun karena

berbagai situasi dan kondisi hukum menikah terbagi menjadi 4 macam, yaitu:

a. Wajib bagi yang sudah mampu, nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus

pada perzinahan, serta sudah punya calon untuk dinikahi.

Page 51: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

41

b. Sunnah bagi orang yang nafsunya sudah mendesak dan mampu menikah tetapi

masih mampu menahan dirinya dari berbuat zina, hukum menikah baginya adalah

sunnah.

c. Haram bagi seseorang yang yakin tidak akan mampu memenuhi nafkah lahir

dan batin pasangannya, atau kalau menikah akan membahayakan pasangannya,

dan nafsunya pun masih bisa dikendalikan, maka hukumnya haram untuk

menikah.

d. Makruh bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan lahir batin,

namun isterinya mau menerima kenyataan tersebut, maka hukum perkawinannya

adalah makruh.

2. Pencegahan Pernikahan

Pencegahan pernikahan adalah usaha untuk membatalkan pernikahan

sebelum pernikahan itu berlangsung. Perncegahan pernikahan itu dapat dilakukan

apabila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan

berdasarkan hukum Islam yang termuat dalam Pasal 13 Undang-Undang

Perkawinan, yaitu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak

memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.64 Peraturan Nomor 9 Tahun

1975 tidak mengatur lebih lanjut mengenai pencegahan perkawinan ini. Tidak

diaturnya mengenai pencegahan perkawinan dalam peraturan pelaksanaan, agak

64 Zainuddin Ali, 2007, Hukum Perdata Islam…, Loc.Cit., hlm. 33.

Page 52: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

42

mengherankan, mungkin pembuat peraturan pelaksanaan menganggap sudah

cukup apa yang diatur di dalam undang-undang.65

Tujuan pencegahan perkawinan atau pernikahan adalah untuk menghindari

suatu perkawinan yang dilarang hukum agamanya dan kepercayaannya serta

perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan

apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan. Selain itu pencegahan perkawinan dapat pula dilakukan apabila salah

seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan

perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon

mempelai lainnya.66 Dalam Pasal 14 sampai 16 Undang-Undang Perkawinan

dinyatakan siapa-siapa yang berhak mengajukan pencegahan perkawinan, yaitu:

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari salah

seorang calon mempelai.

b. Saudara dari salah seorang calon mempelai.

c. Wali nikah dari salah seorang calon mempelai.

d. Wali dari salah seorang calon mempelai.

e. Pengampu dari salah seorang calon mempelai.

f. Pihak-pihak yang berkepentingan.

65 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia,2006) hlm. 29.

66 Rahmadi Usman, 2006, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 282.

Page 53: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

43

g. Suami atau istri dari salah seorang calon mempelai.

h. Pejabat yang ditunjuk, yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan

perundang-undangan.

Pencegahan perkawinan yang dapat dilakukan pegawai pencatat

perkawinan berkenaan dengan pelanggaran: calon mempelari belum cukup umur

(19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita), terkena larangan melangsungkan

perkawinan, terikat tali perkawinan dengan orang lain, dan tidak memenuhi tata

cara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam hukum.

Dalam KHI juga dijelaskan yang bisa mencegah atau membatalkan perkawinan sebagaiman dijelaskan dalam KHI Pasal 62: (1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan

lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah

seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.

(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksanakan fungsinya sebagai kepala

keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akan

dilakukan oleh wali nikah yang lain.67

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua

kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan

sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya

67 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,2007)

Page 54: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

44

tidak boleh tertinggal. Dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada

atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa

rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau

unsur yang mewujudkannya. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di

luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan

rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada

pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur

rukun.68

B. Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1) Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar‟i

untuk menikah.

2) Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan

posisi wali.

3) Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya.

4) Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang

yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.

5) Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu

pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma:

68 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan,( Jakarta: Kencana,2009) hlm. 59

Page 55: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

45

Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (HR. Al-

Khamsah kecuali An-Nasa`i).

C. Syarat Nikah

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai tersebut

adalah:69

1) Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama Islam, laki laki, jelas

orangnya, cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga, tidak terdapat

halangan perkawinan.

2) Bagi calon mempelai wanita antara lain beragama Islam, perempuan, jelas

orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan.

3) Bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain: laki-laki, beragama Islam,

mempunyai hak perwaliannya, tidak terdapat halangan untuk menjadi wali.

4) Syarat saksi nikah antara lain minimal dua orang saksi, menghadiri ijab qabul,

dapat mengerti maksud akad, beragama Islam dan dewasa.

5) Syarat-syarat ijab qabul yaitu:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;

c) Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;

d) Antara ijab dan qabul bersambungan;

e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

f) Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ikhram haji atau

umrah;

69 Zainuddin Ali, 2007, Hukum Perdata … .op.cit., hlm.12

Page 56: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

46

g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal empat orang, yaitu calon

mempelai pria atau yang mewakilinya, wali mempelai wanita atau yang

mewakilinya, dan dua orang saksi.

Sesudah pelaksanaan akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta

perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan

ketentuan yang berlaku, diteruskan kepada kedua saksi dan wali. Dengan

penandatanganan akta nikah dimaksud, perkawinan telah dicatat secara resmi dan

mempunyai kekuatan hukum. Akad nikah yang demikian disebut sah atau tidak

sah dapat dibatalkan oleh pihak lain.

D. Perwalian Dalam Pernikahan

1. Defenisi Wali

Perwalian dalam arti umum yaitu “segala sesuatu yang berhubungan

dengan wali”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata wali mempunyai banyak

makna antara lain:

a. Orang (menurut Islam) yang diserahi kewajiban mengurus anak yatim

serta hartanya sebelum anak itu dewasa;

b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu dinikahi seorang laki-laki;

c. Orang suci, penyebar agama;

d. Orang yang menjadi “wakil” Allah dalam menyebarkan agama Islam.70

Menurut bahasa Arab, berarti yang menolong, yang mencintai. Perwalian

berarti an-nusrah (pertolongan) atau mahabah (kecintaan).71 Pengertian ini dapat

dilihat pada firman Allah SWT dalam Al-Quran:

70 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena(ttp: Gitamedia Press, t.t), hlm 795.

Page 57: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

47

ا ءا ٱىهز ٴۥ عى س هه ٱلله ز ٱىغيج ة ٱلله دض ه فئ

Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman

menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang

pasti menang.72

Perwalian juga berarti kekuasaan atau otoritas seperti dalam ungkapan al-

wali, yaitu orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat dari al-walayah (al-

wilayah) adalah “tawalliy al-amr” (mengurus atau menguasai sesuatu).73

Dalam istilah, fuqaha memiliki makna kemampuan untuk langsung

bertindak dengan tanpa bergantung pada izin seseorang, orang yang melaksanakan

akad ini dinamakan wali. Termasuk diantaranya adalah firman-Nya,

ه ٴۥ ثٱىعذ يو ى في

Artinya: “maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar.”74

Atas dasar pengertian semantik kata wali di atas, dapatlah dipahami

dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling

berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya,

karena ayah adalah tentu orang yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang

selama itu mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya

barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah

dan seterusnya.75

71 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

cet ke-4,1997), jilid v: 171. 72Q.S Al-Maidah (5): 56. 73 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam(Jakarta: Raja

Grafindo, 2005), hlm. 134. 74 Q.S Al-Baqarah (2): 282. 75 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia islam(Jakarta: Raja

Grafindo, 2005), hlm. 135.

Page 58: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

48

Dapat disimpulkan bahwa wali dalam pernikahan itu adalah seseorang

yang bertindak atas nama perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai

laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.

2. Syarat-syarat Wali

Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang

dilakukan tanpa adanya wali.oleh karena itu maka seorang wali haruslah

memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut adalah :

a. Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali)

b. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)

c. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)

d. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)

e. Adil

f. Tidak sedang ihrom atau umroh.76

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa

persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal

sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali,

karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi

terhadap orang lain. Syarat keempat untuk menjadi wali ialah beragama Islam,

maka yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.77 Allah

berfirman:

76 Ibid, hlm. 136. 77 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut : Dar al Fikr, 1968), hlm. 261.

Page 59: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

49

مب إ هعن ن ا أى قبى ٱلله فزخ ىن مب فئ ثن زشثهص ٱىهز

غز ا أى ت قبى ص ىينفش ن ث ذن فٱلله ؤ ٱى عن ن ر ني ذ

ل عج ؤ ٱى ني ىينفش جعو ٱلله خ ى ٱىق

Artinya: (yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan

terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu

kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang)

beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan

(kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan

membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan

di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan

kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.78

Dari pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan persyaratan untuk

menjadi wali secara umum adalah :

1. Islam

Orang yang bertindak sebagai wali bagi orang Islam haruslah beragama Islam

pula sebab orang yang bukan beragama Islam tidak boleh menjadi wali bagi orang

Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah An nisa ayat 141.

2. Baligh

Anak-anak tidak sah menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap

kemampuan berpikir dan bertimdak secara sadar dan baik.

3. Laki-laki

78Q.S An Nisa‟ (4): 141.

Page 60: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

50

Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan

dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri,

maka pernikahannya tidak sah.

4. Berakal

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali harus bertanggung jawab,

karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat. Orang yang sehat

akalnya atau gila atau juga orang yang berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi

syarat untuk menjadi wali.79

5. Adil

Adil, maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik orang

shaleh, orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.80 Ada pendapat yang

mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud cerdas

disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-

baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: Artinya:

“Dari Imran Ibn Husen dari Nabi SAW bersabda: “Tidak sah pernikahan kecuali

dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR.Ahmad Ibn Hanbal).

Berdasarkan hadis di atas, maka seseorang yang tidak cerdas dan tidak mampu

berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan.

3. Fungsi Wali

Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya

pada masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil (berakal),

maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal ini berbeda dengan

79 Ibid. hlm. 120. 80 Zakiah Drajat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid. 2, hlm. 82.

Page 61: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

51

wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh walinya. Tetapi tidak

diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Suatu perkawinan sangat

mungkin menjadi titik tolak berubahnya hidup dan kehidupan seseorang. Dengan

adanya anggapan bahwa wanita (dalam bertindak) lebih sering mendahulukan

perasaan daripada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat melakukan sesuatu

yang menimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal itu juga akan menimpa

walinya. Di samping itu pada prakteknya di masyarakat, pihak perempuanlah

yang mengucapkan qabul (penerimaan). Karena wanita itu pada umumnya

(fitrahnya) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada

walinya.81 Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah untuk

menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab dalam akad

nikahnya.

4. Macam-Macam Wali

Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu wali nasab, wali

hakim dan adhal, di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai ke-3 macam

wali tersebut.

a. Wali nasab

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai

wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya adalah:

1. Ayah, kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya ke atas.

2. Saudara laki-laki kandung (seibu seayah).

3. Saudara laki-laki seayah.

81 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet. Ke-2 (Jakarta: Bumi aksara,1999),

hlm.30

Page 62: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

52

4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah seterusnya ke bawah.

6. Paman (saudara dari ayah) kandung.

7. Paman (saudara dari ayah) seayah.

8. Anak laki-laki paman kandung.

9. Anak laki-laki paman seayah dan seterusnya ke bawah.

Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak

menjadi wali adalah ayah, apabila ayah telah meninggal atau tidak memenuhi

persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek telah meninggal

atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka wali jatuh kepada

ayahnya kakek dan seterusnya ke atas sampai urutan yang terakhir.

Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu dapat

diganti oleh wali yang lebih jauh, yaitu: Wali yang lebih berhak tidak ada, belum

baligh, menderita sakit gila, pikun karena tua, bisu tidak bisa diterima isyaratnya,

tidak beragama Islam sedangkan wanita itu beragama Islam. Jika wali yang lebih

berhak tidak ada, maka wali yang menggantikannya adalah wali yang lebih jauh

dengan memperhatikan urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila

terjadi di luar ketentuan tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang

lain, yaitu sultan atau hakim. Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab yang

berhak memaksa menentukan pernikahan dan dengan siapa seorang perempuan itu

meski nikah. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut mujbir. Wali mujbir

yang mempunyai hak untuk menikahkan anak perempuannya dengan tidak harus

Page 63: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

53

meminta izin terlebih dahulu kepada anak perempuannya harus memenuhi

beberapa persyaratan, yaitu:

a. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut.

b. Sekufu‟ antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya.

c. Calon suami itu mampu membayar mas kawin.

d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan

dia, seperti orang buta.

Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa pernikahan

dikatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan

ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yangtelah ditentukan. Akan tetapi

bila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi maka anak perempuan itu

dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan. Kedua, wali nasab yang tidak

mempunyai hak kekuasaan memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki

kandung atau seayah. Paman yaitu saudara laki-laki kandung atau seayah dari

ayah dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan

patrilineal.

b. Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak

sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab

apabila:

1. Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali.

2. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keadaannya.

Page 64: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

54

3. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang

sederajat dengan dia tidak ada.

4. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh

perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.

5. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.

6. Wali sedang melakukan obadah haji atau umroh.

7. Anak zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).

8. Walinya gila atau fasik.82

Apabila terjadi hal-hal seperti di atas, maka wali hakim berhak untuk

menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan

kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga orang lain yang

diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya berhak menjadi wali.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh

Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA kecamatan.

c. Wali Muhakkam (Wali Tahkim)

Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suamu-

istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa

diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani,

luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, Islam

dan laki-laki. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan

wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan

dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya ialah kedua calon suami-istri

82 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Cet ke-1 (Bandung : Al-

Bayan,1994), hlm. 62.

Page 65: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

55

mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-hukum untuk

menjadi wali dalam pernikahan mereka.

Dalam masalah keberadaan wali dalam akad nikah, adakalanya orang yang

berhak menjadi wali itu bersikap enggan (al-adl) untuk menikahkan wanita yang

berada di bawah perwaliannya karena beberapa alasan.

Wali al-adl adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah baligh

dan berakal dengan seorang lelaki pilihannya, sedangkan masing-masing pihak

menginginkan pernikahan itu dilangsungkan. Ulama Fiqh sepakat menyatakan

bahwa apabila seorang wanita yang telah baligh dan berakal meminta walinya

untuk mengawinkannya dengan lelaki pilihannya yang sepadan, maka wali

tersebut tidak boleh menolak permintaan itu. diriwayatkan bahwa Ma'qil bin

Yasar mengawinkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, kemudian

mereka bercerai. Ketika iddah adik perempuannya itu habis, bekas suaminya

datang kembali melamar adiknya. Lalu Ma'qil bin Yasar mengatakan : "Dahulu

saya telah kawinkan engkau dengan dia, saya hormati engkau, tetapi kemudian

engkau ceraikan dia, lalu engkau datang lagi melamarnya. Demi Allah, saya tidak

akan membiarkan engkau kembali kepadanya." Sementara adik perempuannya

ingin suaminya kembali (HR. Bukhari dan Muslim). Ketika itu turunlah firman

Allah SWT yang melarang seluruh wali enggan menikahkan wanita yang berada

di bawah perwaliannya dengan lelaki pilihannya (QS. 2: 232).

Apabila wali enggan menikahkan anaknya maka wali hakim bisa

menggantikannya dengan syarat sudah ada putusan dari pengadilan agama.

Page 66: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

56

Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang wali nikah Pasal

23 ayat 1 dan 2:

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak

ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya

atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.83

Persoalan yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama Fiqh adalah

keengganan wali itu disebabkan mahar perkawinan kurang atau tidak memenuhi

tuntutan wali. dalam kasus seperti ini ulama mazhab Maliki, mazhab Syafi'i,

mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan al- Syaibani

berpendapat bahwa wali tidak boleh enggan menikahkan wanita dalam

perwaliannya, padahal wanita itu rela, mengingat mahar adalah hak wanita.

E. Persetujuan Orang Tua dan Anak

Persetujuan menurut Kamus besar bahasa indonesia ialah pernyataan

setuju atau pernyataan menyetujui, pembenaran, pengesahan, perkenan dan

sebagainya.84 Bentuk persetujuan dalam pernikahan berupa kata-kata dari pihak

laki-laki dan janda, dan “diam” yakni kerelaan bagi gadis. Sedang untuk

penolakan bagi anak gadis harus dengan kata-kata. Tentang siapa yang

persetujuannya yang dianggap sah dalam pernikahan, meliputi dua golongan.

Pertama, persetujuan kedua belah pihak yang hendak melangsungkan pernikahan,

yakni calon suami dan istri, baik bersama wali atau tidak, bagi fuqaha yang tidak

83 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara,2007), 84 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena(ttp: Gitamedia Press, t.t)

Page 67: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

57

mempersyaratkan persetujuan wali dan persetujuan wanita yang dapat menguasai

dirinya. Kedua, persetujuan dari wali saja.85

Orang tua dalam pembahasan persetujuan pernikahan biasa disebut hanya

dengan penyebutan “ayah” saja. Sebab, dalam hal perwalian, hanya Imam Abu

Hanifah dan para pengikutnya yang membolehkan wanita berhak menjadi wali,

atau bagi wanita dewasa atau janda berhak atas dirinya sendiri dalam hal

bertindak hukum termasuk menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam pernikahan.

Sedangkan Imam malik, Asy-Syafi‟I dan mayoritas ulama mengatakan bahwa

wali itu adalah laki-laki.

Asy-Syafi‟i dan Ibnu Qayyim merupakan dua tokoh ulama yang sangat luas

ilmunya, sangat tajam analisisnya, dan sangat takut pada tuhannya. Sehingga tidak

ada kekhawatiran bagi siapa saja yang bermaksud mengikuti pandangan mereka.

Sebab tidak mungkin mereka berfatwa hanya untuk kepentingan dunia.

Asy-Syafi‟i berpandangan bahwa bagi gadis dewasa berakal, maka hak

mengawinkannya ada pada wali86, dan boleh dipaksa untuk dinikahkan.87 Urutan

wali menurut Imam Syafi‟i adalah: Ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki

kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman

(saudara ayah), anak paman, dan seterusnya dan bila semuanya tidak ada,

perwalian beralih ke tangan hakim.88 Sebaliknya, Ibnu Qayyim al-Jawziyah

melarang para wali baik ayah, atau selainnya menikahkan anak gadis yang sudah

85 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, alih bahasa Said, Zaidun,

cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II: 399. 86 Jawad mughniyah, fiqih lima mazhab, alih bahasa masykur dkk, cet. VII (Jakarta:

Lentera, 2008), hlm.345. , 87 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, alih bahasa Said, Zaidun,

cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), II:404. 88 Ibid., hlm. 348

Page 68: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

58

dewasa tanpa mendapat persetujuan dari anak gadisnya terlebih dahulu. Jelas

dapat dipahami bahwa dalam hal ini persetujuan orang tua menurut Ibnu Qayyim

tidak harus ada.

Dalam penelitian ini hanya difokuskan pada bagaimana kedudukan

persetujuan orang tua dalam pernikahan. Sebab, Syafi‟i dan Ibnu qayyim masing-

masing meletakkan orang tua dalam urutan perwalian pada bagian awal. Apakah

ini dipentingkan, sehingga menjadi suatu syarat mutlak akan sah tidaknya suatu

pernikahan, atau hanya sekedar sunat hukumnya.

Page 69: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

59

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS PENELITIAN

A. Argumentasi Imam Syafi’i Tentang Persetujuan Orang Tua Dalam

Pernikahan

Pada umumnya, tujuan pernikahan adalah untuk membentuk masyarakat

dan rumah tangga. Masyarakat dan rumah tangga tidak dapat dibina dengan

sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami

dan keluarga pihak isteri. Wanita dianggap kurang cakap dalam memilih calon

suaminya karena wanita adalah manusia yang cepat merasa dan sering

terpengaruh oleh perasaan (emosional). Kedaan demikan menimbulkan

kekhawatiran akan terjadi salah pilih; dan jika kurang teliti bukan saja bisa terpilih

laki-laki yang tidak bermoral, tetapi mungkin terjadi bahwa laki-laki yang

dipilihnya adalah orang yang mempunyai sejarah buruk terhadap keluarga wanita

itu sendiri. Supaya jangan sampai terjadi demikan agama melarang wanita

menikahkan dirinya sendiri demikan menururut jumhur ulama.89

Dalam pandangan Syafi‟i, jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu

masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, sedangkan bagi

wanita yang sudah pernah menikah (janda) maka hal ada pada keduanya, seorang

wali tidak boleh menikahkan kecuali atas persetujuannya. Namun dalam akad

masih hak wali untuk mengucapkannya walaupan akad sendiri memerlukan

persetujuan. Sementara itu hanafi menyatakan bahwa bagi perempuan yang

bailigh dan berakal dalam kondisi perawan maupun janda dapat memelih sendiri

89 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan jilid I, hlm.167.

Page 70: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

60

suminya dan dengan akadnya sendiri. Adapun persyaratan yang harus di penuhi

adalah bahwa dia dengan calon harus sekufu.apabila persyaratan ini tidak di

lakukan maka wali dapat menetang pekawinan tersebut, dan apabila maharnya

kurang dari mahar mistli maka wali boleh meminta kepada qadhi untuk

membatalkan pernikahan tersebut.

Mengenai seorang janda, Imam Mālik berpendapat harus lebih dulu ada

persetujuan yang tegas dari seorang janda sebelum pelaksanaan akad nikah.

Dengan kata lain, janda lebih berhak menentukan perkawinannya dibandingkan

walinya. Pemahaman sebaliknya menunjukkan bahwa wali berhak memberikan

persetujuan pada perkawinan gadis. Sehingga, hukum meminta persetujuan gadis

dalam pernikahan hanyalah sunah atau sebagai penyempurna. Adapun persetujuan

dari janda hukumnya wajib. Hak janda atas dirinya terhadap walinya dalam

pernikahan adalah hak memberikan persetujuan terhadap persepsi walinya dan

bukan dalam konteks menikahkan dirinya sendiri. Adapun yang berhak

menikahkan seorang janda tetap menjadi kewenangan walinya. Dengan demikian,

seorang janda tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.

Imam Syāfi'i selanjutnya berpendapat bahwa mengenai anak gadis yang

belum dewasa yang berumur sekitar 15 (lima belas) tahun atau belum mengalami

haid, seorang bapak boleh menikahkannya tanpa merugikan si anak tersebut.

Sebaliknya, seorang wali tidak boleh memaksa menikahkan anak gadisnya jika

berpontensi merugikan atau menyusahkan anak gadis tersebut.

Imam Syafi‟i tidak berbeda dengan para imam terdahulu dalam menetukan

bahwa sumber utama dari hukum Islam adalah al-Qur‟an. Imam Syafi‟i

Page 71: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

61

mendalami al-Qur‟an secara intensif sebelum beliau mengeluarkan pendapat

tentang al-Qur‟an yang diperolehnya dengan mempelajari secara mendalam

tentang makna yang terkandung di dalamnya.

Imam Syafi‟i juga menetapkan Al-Qur‟an pada urutan pertama sebagai

sumber hukum yang paling kuat. Ia beranggapn bahwa tidak ada suatu kekuatan

pun yang dapat menolak keotentikan Al-Qur‟an, meskipun sebagian hukumnya

masih ada yang bersifat dzanni, sehingga dalam penafsirannya masih ada terdapat

perbedaan pendapat.90

Adapun dasar-dasar Al-qur‟an yang menjadi landasan bagi Imam Syafi‟i

salah satunya tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ialah:

ٱلله غ ا فقشاء ن إ إبئن نجبدم ذ ٱىصهي ن ا ٱل ذ ن أ ٴۦ فضي

ٱلله عع ني

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang

yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-

hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan

mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha

Mengetahui”(Q.S An-Nur:32).91

90 Rizem Aizid, Biografi Empat Imam Mazhab (Plus Riwayat Intelektual dan Pemikiran

Mereka), (Jakarta Selatan: Saufa, 2016), hlm. 183.

91 Q.S Al-Baqarah 32.

Page 72: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

62

ٱى إرا طيهقز ا ث ه إرا رشض ج أص ذ ن ه أ ه فل رعضي أجي غبء فجيغ

ىن أصم ٱلخش رىن ٱى ثٱلله ؤ ن مب ٴۦ نع ث ل ف رى عش ثٱى ٱلله أطش

ل رعي ز أ عي

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka

janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal

suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang

ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara

kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci.

Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS Al-Baqarah(2): 232).92

Menurut Sayyid Sabiq, surat al-Baqarah ayat 232 ini turun berkaitan

dengan riwayat Muaqqil bin Yasar yang menceritakan bahwa ayat ini turun

berkenaan dengan dirinya. Katanya "Saya menikahkan salah seorang saudara

perempuanku dengan seorang pria, tetapi kemudian diceraikannya. Ketika

'iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya. Maka saya jawab: dulu kamu saya

jodohkan, saya nikahkan, dan saya muliakan, tapi kemudian kamu ceraikan. Dan

kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah kamu tidak dapat kembali

lagi kepadanya untuk selamalamanya. Lelaki ini orangnya biasa. Tetapi bekas

istrinya mungkin mau kembali kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat ini "maka

janganlah kamu menghalang-halangi mereka", kemudian saya berkata "sekarang

saya menerima, wahai Rasulullah, dengan ucapannya: maka aku nikahkan

saudaraku itu kepadanya".93

92 Q.S Al-Baqarah (2); 232). 93 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah VII, Terj. Moh. Thalib, (Bandung: PT. al-Ma'arif, 1987),

hlm.13.

Page 73: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

63

Menurut Imam Syafi'i, ayat ini merupakan ayat yang paling tegas

mensyaratkan adanya persetujuan wali dalam perkawinan, maka larangan Allah

Swt., kepada wali dalam ayat itu tidak akan ada artinya.

Adapun dasar-dasar Hadis yang menjadi landasan bagi Imam Syafi‟i yaitu

sebagai berikut:

ث ا ح ث د ش ث ث ا ن عيي ص الله ه ع س به ق : به ق ٴ ث ا ن ,ع ل )يٴ نيٴ خ ن

( س ى ث له ا اث ٴ ذ ذ ص اىشثعخ ذ د ا ا اى ش ذ د اىز اث 94بج ز

"Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali

dengan wali." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-

Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban..

Bentuk nafi pada kata كااحا نلا mendapat interpretasi beragam dari para

ulama‟. Ada yang menyebut nafi pada sah dan tidaknya perbuatan Dengan

demikian كااحا نلا berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafi

diinterpretasikan sebagai hakikat syari‟at, maka pernikahan yang dilaksanakan

tanpa wali ataupun saksi maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah, hal ini

senada dengan argumen dari Imam Syafi‟i bahwa wali termasuk rukun nikah dan

harus ada di dalam sebuah pernikahan tanpanya sebuah perkawinan tidak sah.

Sebagian ulama menginterpretasikan bahwa nafi tersebut hanya menunjukkan arti

ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadis di atas dapat diartikan ‚tidak

sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil‛. Dalam konteks hukum,

tidak sempurna berarti wali atau saksi bukan merupakan syarat sah, sehingga

94 Imam Ibnu Hajar al-asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Hlm. 1008

Page 74: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

64

pernikahan yang tidak dihadiri wali masih tetap dihukumi sah. Dengan kata lain,

wali hanya sebatas disunnahkan.

Imam Syafi‟i dalam kitabnya al-Umm juga menyatakan:

ذ ا: فأقبه اىشبفع ذ ل ل نبح ىب ىب ثغش ار شأح ن صييٴ نيٴ اىج

دب قبه: عي 95 ثبطو فنب

Artinya: “Imam Syafi'i berkata: wanita manapun yang kawin dengan tidak seizin

walinya, maka tiada perkawinan bagi wanita tersebut. Karena Nabi Saw.

bersabda: "maka nikahnya itu batal"

Maka jelas lah bahwa Imam Syafi‟i menyatakan bahwa dalam pernikahan

itu diharuskan adanya izin atau persetujuan orang tua.

B. Argumentasi Ibnu Qayyim Al-jawziyah Tentang Persetujuan Orang Tua

Dalam Pernikahan

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa orang tua atau wali tidak

boleh memaksa anaknya atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya

untuk menikah kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaan anak terlebih dulu.

Meskipun orang tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk menikahkan anak

maupun orang yang berada di bawah perwaliannya. Namun, hal tersebut tidak

mutlak dilakukan jika terdapat unsur paksaan yang menyebabkan tidak adanya

kesediaannya oleh anak dalam rangka perkawinannya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

mengemukakan pandangannya sebagai berikut: “Wanita gadis yang sudah balig

tidak boleh dipaksa dalam masalah pernikahan dan tidak boleh dinikahkan

95Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi‟î, Al-Umm, Juz. 5, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 14.

Page 75: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

65

kecuali dengan ridanya. Ini merupakan pendapat jumhur salaf, mazhab Abū

Hanīfah dan Ạhmad dalam salah satu riwayat. Inilah yang memang sejalan

dengan hukum Rasulullah Saw, perintah dan larangan beliau, kaidah-kaidah

syariat serta kemaslahatan umat”.96

Ayat Alquran yang menjadi landasan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah adalah

surah al-baqarah ayat 230 sebagai berikut:

طيهقب فل جبح ۥ فئ جب غش نخ ص ر دزه ثعذ ٴۥ ذو ى طيهقب فل ر فئ

د دذ ل ري د ٱلله دذ ب ق ظهب أ زشاجعب إ ب أ ني ج ٱلله ب ىق

عي

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), akal

perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.

Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi

keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya

berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum

Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”(QS. Albaqarah:

230).

Dikemukakan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Muqatil bin

Hibban. Muqatil bin Hibban berkata: “ayat ini turun mengenai „Aisyah binti

Abdirrohman bin „Atiek yang pada awal mulanya adalah istri Rifa‟ah bin Wahab

bin „Atiek, dia anak paman „Aisyah binti Abdirrohmân bin „Atiek sendiri. Lalu

terjadilah perceraian tiga kali(thalaq ba‟in). sesudah itu „Aisyah binti

96Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād alMa‟ād fī Hadyī Khairil „Ibād, ed. In, Bekal Pejalanan

Akhirat, (terj: Amiruddin Djalil), cet. 5, jilid 6, (Jakarta: Griya Ilmu, 2016), hlm. 703

Page 76: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

66

Abdirrohman bin „Atiek dinikahi oleh „Abdurrahman bin az-Zubair al-Qura‟zhi.

Kemudian „Aisyah binti Abdirrohman bin „Atiek dicerai oleh „Abdurrahman bin

az-Zubair al-Qura‟zhi dan hendak dikembalikan lagi kepada Rifa‟ah bin Wahab

bin „Atiek, maka „Aisyah binti Abdirrohman bin „Atiek mengadu kepada Nabi

SAW, katanya(„Aisyah binti Abdirrohman bin „Atiek): “ Abdurrahman bin az-

Zubair al-Qura‟zhi telah mencerai saya sebelum menyetubuhiku(Aisyah binti

Abdirrohmân bin „Atiek), bolehkah saya kembali kepada suami saya yang

pertama(Rifa‟ah bin Wahab bin „Atiek) ?” , Nabi SAW menjawab: “tidak,

kecuali kamu(„Aisyah binti Abdirrohmân bin „Atiek) sudah disetubuhi oleh

suamimu yang kedua”. Lalu turunlah ayat tersebut.

Ayat ini dipahami bahwa pelaksanaan pernikahan disandarkan kepada

seorang perempuan, dan ayat ini juga menunjukkan bahwa seorang perempuan

boleh menikahkan dirinya tanpa perlu persetujuan walinya.

Dilandasi ayat di atas, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa

penggunaan hak ijbār tidak seharusnya dilakukan orang tua terhadap anaknya.

Dalam hal ini peneliti beranggapan bahwa orang tua atau wali tidak berhak untuk

memaksa anak atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk

menikah, sebelum diminta izin dan persetujuannya terlebih dulu.

Terkait dengan pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di atas dalam

pernikahan tentunya perlu menekankan pada pendekatan yang ia gunakan dalam

penetapan hukumnya. Sehingga pendekatan pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

merupakan polarisasi antara naql (naṣ) dan aql (rasio). Selain itu, corak

Page 77: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

67

pemikirannya cenderung rasional, mendasar, mapan secara syar'i, argumentatif

serta konsisten.

Mengenai konteks persetujuan orang tua dalam pernikahan menurut

pandangan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa orang tua atau wali tidak berhak

memaksa anak atau orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah

tanpa diminta izin dan persetujuannya terlebih dulu, Ibnu Qayyim menilai

keridaan dan persetujuan anak, khususnya anak perempuan harus ada memberikan

respon dalam prosesi penjajakan awal perkawinan (peminangan). Hal ini

dimaksudkan karena pada hakikatnya yang akan menjalani biduk rumah tangga

setelah pernikahan ke depannya adalah si anak dan bukan orang tuanya.97

Berbeda halnya dengan pendapat jumhur ulama fikih yang membolehkan

penggunaan hak ijbar(paksaan) orang tua untuk menikahkan anaknya mesikpun

tanpa diminta izinnya terlebih dulu dengan dilandasi pada hadis Rasulullah Saw

berkenaan dengan tindakan yang dilakukan oleh Abu Bakar yang menikahkan

anaknya, Aisyah yang belum dewasa. Selain itu, juga didasarkan bahwa semua

urusan anak merupakan tanggungjawab orang tua, menjadi landasan adanya hak

ijbar orang tua terhadap anaknya.

Penyusun menilai bahwa pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauziyyah tentang

persetujuan orang tua dalam pernikahan dalam pernikahan tidak terlepas dari latar

belakang (background) sosio historis dan kultural kehidupannya saat itu. Ibnu

Qayyim hidup pada periode pertengahan, yaitu akhir abad ke tujuh hingga

pertengahan abad ke delapan hijriyah atau akhir abad ke tigabelas hingga

97 Ibid. hlm. 704

Page 78: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

68

pertengahan abad ke empat belas masehi. Saat itu, umat Islam mengalami krisis

multi dimensi, meliputi bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik serta ditambah

situasi dalam pemikiran umat Islam yang mengalami kebekuan (jumud) karena

dibalut taqlid, khurafat dan bid‟ah. Dalam situasi semacam itu, beliau berusaha

membangkitkan sikap umat Islam dari tidur panjang. Ibnu Qayyim menentang

sikap taklid, khurafat dan bid‟ah serta menyeru kembali kepada Alquran dan

hadis. Selain itu, beliau berupaya menggemakan tauhid, mengobarkan semangat

tajdid serta membuka kembali pintu ijtihad yang (seakan) tertutup.

Jika mencermati pada pendapat jumhur ulama fikih yang membolehkan

orang tua atau wali memaksa anaknya dalam pernikahan walaupun tanpa

persetujuan si anak, boleh jadi pemikiran Ibnu Qayyim yang berbeda dengan

pendapat jumhur ulama fikih tersebut dengan tidak membolehkan pemaksaan

orang tua atau wali untuk menikahkan anak tanpa diminta izinnya lebih dulu,

merupakan counter (tanggapan berbeda) terhadap sikap fanatisme masyarakat saat

itu terhadap pendapat ulama mazhab, salah satunya dalam bidang fikih

munakahat. Utamanya, dalam hal pemaksaan orang tua untuk menikahkan

anaknya, meskipun tanpa diminta pendapat dan izin anak lebih dulu. Apalagi

tanpa disertai keridaan dan persetujuan anak atas pilihan orang tuanya. Meskipun

realitasnya, baik pendapat jumhur ulama fikih maupun pendapat Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah sama-sama memiliki landasan hukum berupa alquran dan hadis.

Namun, pada dasarnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah memandang bahwa tidak

seharusnya orang tua memaksa anaknya untuk menikah tanpa disertai dengan izin

dan persetujuan anak lebih dulu.

Page 79: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

69

Berkenaan dengan konteks persetujuan orang tua dalam pernikahan, Ibnu

Qayyim al-Jauziyyah berpendapat bahwa orang tua atau wali tidak boleh

memaksa anaknya atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk

menikah kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaannya terlebih dulu. Meskipun

orang tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk menikahkan anak maupun orang

yang berada di bawah perwaliannya. Namun, hal tersebut tidak mutlak dilakukan

jika terdapat unsur paksaan yang menyebabkan tidak adanya kesediaannya oleh

anak dalam rangka perkawinannya.

Adapun metode istinbaṭ hukum yang digunakan Ibnu Qayyim al-

Jauziyyah dalam menetapkan ketentuan wali mujbir tersebut didasarkan pada

beberapa hadis Rasulullah Muhammad Saw mengenai penolakan pernikahan yang

dilakukan orang tua terhadap anak yang masih gadis/perawan serta anak yang

sudah janda meskipun tanpa disertai izin anak sebelumnya, sebagai berikut:

ش ن ب ث ذ د ش ش ج ب ث ذ د ذ ذ ث غ د ب ث دذ خ ج ش ث ا ث ب ا ن بص د ث خ ش ن ن ن ة

ط ج ن اث ن ف الله ي ص ج اى ذ ر ا أ ش ن ث خ بس ج ا ب عي ٴ ث أ ه أ د ش م ض ني ج ه ص بب خ بس م ب

ش خ ف صي اللهب اى ج ٴ عي اث ني 98داد()سا

“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan

kepada kami Ḥusain bin Muḥammad, telah menceritakan kepada kami Jarīr bin

Ḥazim, dari Ayyub, dari Ikrimah dari Ibnu „Abbas, bahwa seorang gadis datang

kepada Nabi ṣallallahu „alaihi wasallam dan menyebutkan bahwa ayahnya telah

98H.R. Imam Abū Dāwud Nomor 2096. Lihat As-Sijistani, Abū Dāwud Sulaiman bin al-

Asy„aṣ al-Azdi, Sunan Abī Dāwud Juz II, Beirut: Dār al-Fikr, 1994, h. 192. Lihat juga Abū Dāwud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadis: Sunan Abu Dawud Jilid V, alih bahasa Muhammad Ghazali, Penerbit Almahira, 2013, Cet. I, h. 431.

Page 80: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

70

menikahkannya sementara ia tidak senang. Kemudian beliau memberikan

pilihan” (H.R. Abu Dawud).

Hadis ini dikeluarkan ketika seorang gadis datang kepada nabi Saw ia mengadu

kepada Rasulullah Saw bahwa ayahnya telah menikahkan gadis tersebut

sementara gadis tersebut tidak senang dengan laki-laki pilihan orang tuanya

tersebut maka nabi Saw memberikan gadis tersebut hak untuk memilih.

Hadis lainnya yang menjadi dasar hukum Ibnu Qayyim:

ش ق غه ى ا ث ب أ ث دذه ش ش ج ث ذه د ص س ش اى ذ ه ذ ث غ ذ ب اى ث ذه د ش ن غ ع اى اد د ض ث ذ

ة أ ن ص بد ث ط جه ن اث ن خ ش ن ن ن ٴ ي ن الله يه ص ه ج اىه ذ ر ا أ ش ن ث خ بس ج ه أ ب

ث أ ه أ ٴ ى د ش م ض ف يه ع ج ه ب ص ب )س يه ع ٴ ي ن الله يه ص ج ب اىه ش ه خ ف خ ضبس م ب ا

99ٴ(ج ب ث ا

“Telah menceritakan kepada kami Abu As-Saqr Yaḥya bin Yazdad al- Askari

berkata, telah menceritakan kepada kami al-Ḥusain bin Muḥammad al-

Marwarudzi berkata, telah menceritakan kepadaku Jarīr bin Ḥazim dari Ayyub

dari Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, "Seorang budak wanita yang masih gadis

mendatangi Nabi ṣallallahu „alaihi wasallam, ia mengabarkan bahwa ayahnya

telah menikahkannya dengan seseorang yang tidak ia sukai, hingga Rasulullah

ṣallallahu „alaihi wasallam memberikan pilihan untuknya” (H.R. Ibnu Majah).

Hadis ini dikeluarkan ketika ada Seorang budak wanita yang masih gadis

mendatangi Nabi ṣallallahu „alaihi wasallam, ia mengabarkan bahwa ayahnya

99Hadis Imam Ibnu Mājah Nomor 1875 Lihat: Abū „Abdullah Muḥammad bin Yazīd al-

Qazwini Ibnu Mājah, Ensiklopedia Hadis: Sunan Ibnu Majah Jilid VIII, alih bahasa Saifuddin Zuhri, Jakarta: Penerbit Almahira, 2013, Cet. I, h. 333.

Page 81: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

71

telah menikahkannya dengan seseorang yang tidak ia sukai, hingga Rasulullah

ṣallallahu „alaihi wasallam memberikan pilihan untuknya.

Hadis yang digunakan Ibnu Qayyim mengenai janda yang berhak memilih

calon pendampingnya:

د اىشه ذ ج ن ن ٴ ث أ ن بع ق ىا ث د اىشه ذ ج ن ل ن بى ث ذه د به ق و ن ب ع ب ا ث ذه د

اث ع ه ج ض خ ذ ث بء غ خ ن خ بس ج ث ذ ض ج ه ب ص بث أ ه أ خ ه بس ص ال ا ت ث ب

د ن ده ش ف يه ع ٴ ي ن الله ه ع س ذ ر أ ف ل ى ص ذ ش ن ف )س ٴ ب 100(بس خ ج اى ا

“Telah menceritakan kepada kami Isma„il ia berkata; Telah menceritakan

kepadaku Mālik dari „Abdurraḥman bin al-Qasim dari bapaknya dari

Abdurraḥman dan Mujammi‟ keduanya anak Yazid bin Jariyah, dari Khansa

binti Khizam al-Anṣariyyah bahwa bapaknya menikahkannya saat ia janda, lalu

ia pun tak suka. Lalu ia pun mendatangi Rasulullah ṣallallahu „alaihi wasallam,

maka beliau pun menolak pernikahannya”. (H.R. Bukhari)

Asbabul Wurud hadis ini ketika Khansa binti Khizam al-ansariyyah mendatangi

rasulullah Saw bahwa bapaknya ingin menikahkan dia saat ia masih janda, lalu ia

pun tak suka nabi Saw pun bersabda boleh wanita janda tersebut menolak

pernikahannya.

Dalam pencermatan peneliti, perlunya persetujuan seorang anak dalam

memilih pasangan sebagaimana diungkapkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di atas,

didasarkan pada hadis tentang penolakan seorang gadis untuk dinikahkan walinya.

Lebih lanjut, Ibnu Qayyim juga menguatkan pendapatnya dengan mengemukakan

100Hadis Ṣaḥīh al-Bukhāri Nomor 5138. Lihat Abū „Abdillah Muḥammad bin Ismail al-

Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 2006, h. 265.

Page 82: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

72

hadis lainnya tentang janda yang tidak boleh dipaksa untuk dinikahkan oleh

walinya.

Dilandasi berbagai hadis di atas, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menyatakan

bahwa penggunaan hak ijbar tidak seharusnya dilakukan orang tua terhadap

anaknya. Dalam hal ini, orang tua atau wali tidak berhak untuk memaksa anak

atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, sebelum

diminta izin dan persetujannya terlebih dulu.

C. Analisis Perbandingan

Berdasarkan analisa penyusun dari uraian pembahasan diatas maka bisa

diambil kesimpulan bahwa menurut Imam Syafi‟i: persetujuan orang tua dalam

pernikahan itu harus ada terutama bagi anak gadis yang sudah baligh dan berakal

orang tua tersebut berhak memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki

pilihan orang tuanya. Akan tetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya;

wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sedangkan

wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Menurut

imam Syafi‟i keridhoan orang tua sangat lah penting dan harus ada. Dan wali

menurut Imam Syafi‟i merupakan syarat sah wali. Sebagaimana firman Allah:

ه هب جيغ ب إ غ د إ ىذ ثٱى إهب ا إله ل أله رعجذ سث ب فل قض مل ب أ دذ ذك ٱىنجش أ ن

اب لا مش ب ق قو ىه ب ش ل ر ب أف رقو ىه“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia

dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika

salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut

Page 83: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

73

dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada

keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan

ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (Q.S Al-Isra‟:23).

Dan hadis nabi yang berbunyi:

ة اىه ض س ة اىه ظ خ ع ذ اى اى ض س ف ش ذ اى اى ظ خ ع ف ش

“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada

murka orang tua”

Sedangkan yang penyusun dapat dipahami dari pendapat Ibnu Qayyim

bahwa beliau berpendapat bahwa orang tua atau wali tidak boleh memaksa

anaknya atau seseorang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah

kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaan anak terlebih dulu. Meskipun orang

tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk menikahkan anak maupun orang yang

berada di bawah perwaliannya.

Implikasi hukum terkait persetujuan orang tua ini adalah karena tidak ada

persetujuan dari kedua belah baik itu pihak orang tua maupun mempelai yang

akan dinikahkan, sehingga kedua mempelai memutuskan untuk kawin lari.

Mereka mengangkat sembarang orang sebagai walinya, menikah kemudian pergi

jauh dari orang tua atau bahkan menikah tanpa wali dan tidak mendapatkan izin

dari wali yang sah dari kedua mempelai. Lebih parahnya, mungkin saja terjadi

kawin lari yang diwujudkan dengan kedua mempelai tinggal bersama dalam satu

atap tanpa adanya status pernikahan. Maka banyak terjadi kasus mempelai

menikah dengan memakai wali ab‟ad atau wali hakim padahal wali nasab atau

wali aqrabnya ada.

Page 84: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

74

Dari kedua pendapat imam di atas dalam masalah persetujuan orang tua

dalam pernikahan apabila diterapkan pada masa sekarang, penyusun lebih

memilih pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah dikarenakan Setiap anak laki-laki

maupun anak perempuan mempunyai hak atas pernikahannya, begitu pula

walinya. Supaya tidak terjadinya implikasi hukum seperti di jelaskan di atas, oleh

karena itu orang-orang yang akan menikah tentu lebih besar haknya dibanding

dengan hak walinya dalam pernikahan tersebut. Dalam hukum agama, suatu

prinsip kebebasan kemauan dalam masalah memilih pasangan untuk membentuk

sebuah keluarga sama sekali tidak bertentangan dengan Alquran. Persetujuan dari

pihak laki-laki maupun perempuan sangatlah penting dalam sebuah perkawinan.

Karena perkawinan itu sendiri merupakan ikatan atau kesepakatan suci antara

suami istri secara makruf.

Apabila dikaitkan dengan konsep hak ijbar orang tua, maka tidak

seharusnya orang tua melakukan pemaksaan sepihak terhadap anaknya untuk

menikah tanpa diminta izin dan persetujuan anak terlebih dulu. Karena pada

hakikatnya, hak orang tua lebih mengarah kepada hak untuk menikahkan sebagai

bentuk tanggungjawab terhadap anak. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

dalam rangka pernikahan, setiap anak baik laki-laki maupun perempuan

mempunyai hak dalam menyatakan pendapat dan menentukan pilihan terhadap

calon pasangan hidupnya kelak. Meskipun begitu, hak anak tersebut tidak bersifat

bebas tanpa batasan (absolut), namun juga perlu memperhatikan nasihat dan saran

dari orang tua dan keluarga besar. Sebab ini juga menyangkut ahklak terhadap

orang tua kita. Sehingga, dalam pelaksanannya, hak asasi anak harus seimbang

Page 85: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

75

dengan pelaksanaan hak asasi pihak-pihak lainnya yang terkait, termasuk peran

orang tua.

Page 86: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

76

BAB V

PENUTUP

A.Kesimpulan

Setelah membaca uraian dari beberapa bab diatas, maka dengan demikian

dapat diambil suatu kesimpulan :

1. Imam Syafi‟i menggunakan dalil alquran dan hadis sebagaimana dijelaskan di

atas, bahwa ia berpendapat tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ialah

jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak untuk

menggawinkan dirinya ada pada walinya. Akan tetapi jika ia janda maka hak itu

ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa

persetujuannya. Sedangkan Ibnu Qayyim Al-Jawziyah mengunakan dalil alquran

dan hadis yang berbeda dari imam syafi‟i sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa ia

berpendapat tentang persetujuan orang tua dalam pernikahan ialah bahwa orang

tua atau wali tidak boleh memaksa anaknya atau seseorang yang berada di bawah

perwaliannya untuk menikah kecuali dengan persetujuan dan rida/kerelaan anak

terlebih dulu. Meskipun orang tua atau wali mempunyai kekuasaan untuk

menikahkan anak maupun orang yang berada di bawah perwaliannya. Namun, hal

tersebut tidak mutlak dilakukan jika terdapat unsur paksaan yang menyebabkan

tidak adanya kesediaannya oleh anak dalam rangka perkawinannya.

2. Dapat disimpulkan dari kedua pandangan ulama diatas dalam masalah

persetujuan orang tua dalam pernikahan yang lebih maslahah untuk konteks saat

ini penyusun lebih memilih pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah dikarenakan

Setiap anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak atas

Page 87: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

77

pernikahannya, begitu pula walinya. Persetujuan dari pihak laki-laki maupun

perempuan sangatlah penting dalam sebuah perkawinan. Karena perkawinan itu

sendiri merupakan ikatan atau kesepakatan suci antara suami istri secara makruf.

Meskipun begitu, hak anak tersebut tidak bersifat bebas tanpa batasan (absolut),

namun juga perlu memperhatikan nasihat dan saran dari orang tua dan keluarga

besar. Sebab ini juga menyangkut ahklak terhadap orang tua kita. Sehingga, dalam

pelaksanannya, hak asasi anak harus seimbang dengan pelaksanaan hak asasi

pihak-pihak lainnya yang terkait, termasuk peran orang tua.

B. Saran

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam pembahasan

skripsi yang penulis susun dan dihubungkan dengan kondisi sekarang ini, maka

penulis ingin memberikan saran yaitu:

1. Kepada seluruh kaum muslimin dan muslimat menyarankan agar ajaran Islam

tetap dijadikan pegangan hidup, termasuk dalam urusan perkawinan.

2. kepada seluruh orang tua dalam Islam khususnya supaya menghargai dan

menghormati pilihan anaknya dalam memilih suami maupun istrinya.

3. kepada seluruh anak laki-laki maupun perempuan dalam islam khusunya

supaya menghormati pendapat orang tuanya, karena orang tua lebih tau mana

yang baik dan mana yang buruk untuknya.

C. Kata Penutup

Dengan mengucapkan syukur Al-Hamdulillah, dipersembahkan

kepada zat Yang Maha sempurna. Yang telah memberi petunjuk dan jalan

keluar bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Page 88: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

78

walaupun dengan beberapa rintangan dan hambatan yang dihadapi. Tetapi

rintangan dan hambatan itu penulis anggap sebagai motivasi untuk meraih

kesuksesan pada masa yang akan datang.

Dalam hal ini penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi

ini masih jauh dari sempurna, masih banyak terdapat kekeliruan dan

kekurangan dalam penulisannya. Oleh karena itu penulis sangatlah

mengharap sumbangan saran dan kritikan yang sifatnya membangun dari para

pembaca guna menyempurnakan pembahasan skripsi ini.

Semoga apa yang tertuang dalam skripsi ini dapat menjadi salah satu

sumber informasi serta bermanfat bagi pembaca dan merupakan amal ibadah

bagi penulis.

Akhir kata dari penulis : Wasalamu‟alaikum Wr, Wb

Page 89: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

79

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Amir syarifuddin, ushul fiqh Jilid II, cet. II, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001).

Abdul Fatah Idris, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim: Studi Kritik Terhadap Metode

Penetapan Hukum Ibnu Qayyim al-Jawziyah,(Semarang: Pustaka Zaman,

2007).

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab „ala Mazahib al-Arba‟ah, (Beirut Libanon: Dar

Ihya al-Turas al-Arabi 1986).

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UI Pres, 2000).

A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Cet ke-1 (Bandung : Al-

Bayan,1994).

Al-Mawardi, Al-Jawi al-Kabir, (Beirut Libanon: Daar al- Kutub al-Ilmiyah,

1994).

Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi‟î, Al-Umm, Juz. 5, Beirut:

Dâr al-Kutub al-Ilmiah.

Abu Al Maira, Mustalahul Hadits,( Jakarta: Darul Suudiyah, 1998).

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra

Umbara,2007).

Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008).

H.R. Imam Abū Dāwud Nomor 2096. Lihat As-Sijistani, Abū Dāwud Sulaiman

bin al-Asy„aṣ al-Azdi, Sunan Abī Dāwud Juz II, Beirut: Dār al-Fikr, 1994.

Hadis Imam Ibnu Mājah Nomor 1875 Lihat: Abū „Abdullah Muḥammad bin

Yazīd al-Qazwini Ibnu Mājah, Ensiklopedia Hadis: Sunan Ibnu Majah

Page 90: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

80

Jilid VIII, alih bahasa Saifuddin Zuhri, Jakarta: Penerbit Almahira, 2013,

Cet. I,

Hadis Ṣaḥīh al-Bukhāri Nomor 5138. Lihat Abū „Abdillah Muḥammad bin Ismail

al-Bukhāri, Ṣaḥīh al-Bukhāri, Beirut: Dār al-Fikr, 2006.

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, alih bahasa Said,

Zaidun, cet. III (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).

Ibnu Qayyim Al-Jawziyah, Ighasatul Lahfan min Mahayidisy Syaithan, alih

bahasa Hawin Murtdho, Salafuddin Abu Sayyid, (Surakarta: Al-Qowam,

cet IV, 2011).

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqi‟in „an Rabb al-„Alamin, ed. In,

Panduan Hukum Islam, (terj: Asep Saefullah FM & Kamaluddi

Sa‟diyatulharamain), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000).

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zād alMa‟ād fī Hadyī Khairil „Ibād, ed. In, Bekal

Pejalanan Akhirat, (terj: Amiruddin Djalil), cet. 5, jilid 6, (Jakarta: Griya

Ilmu, 2016).

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan jilid I.

Imam Ibnu Hajar al-asqalany, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam.

Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa masykur dkk, cet. VII

(Jakarta:lentera,2008).

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia,( Jakarta: Ghalia, 2006).

M. Hasan Al-jamal, biografi 10 Imam Besar, ( Kairo-Mesir: Dar-Fadhillah 2003),

cet. Ke-I.

Page 91: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

81

Muhammad Abu Zahra, Imam Syafi‟i: biografi dan pemikirannya dalam masalah

aqidah, politik dan fiqh, (Jakarta, Lentera,2005).

M. Laily Mansyur, Ajaran dan Teladan Para Sufi,(Jakarta: PT. Raja Grapindo

Persada, 1996), Cet. I.

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia islam(Jakarta: Raja

Grafindo, 2005).

Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).

Rizem Aizid, Biografi Empat Imam Mazhab (Plus Riwayat Intelektual dan

Pemikiran Mereka), (Jakarta Selatan: Saufa, 2016).

Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia,( Jakarta: Sinar Grafika, 2006).

Suhar AM, Metode hukum islam, (Jambi: Salim Media Indonesia, 2015).

Suharsimi Arikunto, prosedur penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).

Soerjono Soekanto, Perbandingan Hukum, penerbit (Bandung: Melati, 1989).

Saiful hadi, 125 Ilmuan Muslim Pengukir Sejarah, (Jakarta, Insan Cemerlang,

2007), cet. Ke-I.

Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi‟I,( Jakarta, Pustaka

Tarbiyah, 2006).

Syeikh Ahmad Farid, Min A‟lam al-Salaf, alij bahasa Ahmad Syaikhu, Biografi

60 Ulama Ahlussunnah ,(,Jakarta: Darul Haq, 2013).

Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut : Dar al Fikr, 1968).

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam.(Jakarta: Sinar Grafika, 2007).

Zakiah Drajat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid. 2.

Page 92: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

82

B. Lain-Lainnya

Musa Ariffin, Pandangan ibnu Qayyim Al-Jawziyah Tentang Persetujuan Anak

Gadis Dalam perkawinannya,( Jogjakarta: skripsi, 2005).

Niswatul Imamah, Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbar wali

nikah,(Jogjakarta: skripsi, 2003).

Rety Bilkis Syam, tulisannya Persetujuan Anak Gadis Sebagai Syarat Sah

Perkawinan Dalam Pandangan Ibnu Qayyim al-Jawziyah, (Cirebon:

skripsi, 2017).

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Prima Pena(ttp: Gitamedia Press, t.t)

Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992).

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Semarang: PT Karya

Toha Putra, 2002).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Page 93: HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN ORANG TUA DALAM PERNIKAHAN SKRIPSI

CURRICULUM VITAE

Nama : Hendi Efrido Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Resam, 04 September 1997 Email : [email protected] No. kontak/HP : 082289277082 Alamat : Desa. Lubuk Resam, Kec. Cermin Nan Gedang,

Kab. Sarolangun Pendidikan Formal: 1. SD : SDN 145 Lubuk Resam

Kecamatan Cermin Nan Gedang : Lulus Tahun 2009

2. SMP/MTS : MTS AS‟AD Kota Jambi : Lulus Tahun 2012

3. SMA/MAN : MAS AS‟AD Kota Jambi : Lulus Tahun 2015

Pengalaman Organisasi: 1. PMII 2. Pengurus Himpunan Mahasiswa Prodi Perbandingan Mazhab 3. Ikatan Mahasiswa Pemuda Pemudi Alumni As‟ad Jambi

Motto Hidup :