HALAMAN SAMPULetheses.iainponorogo.ac.id/10364/1/UPLOAD ETHESES.pdf2 2 akan ditemukan sebuah konsep...
Transcript of HALAMAN SAMPULetheses.iainponorogo.ac.id/10364/1/UPLOAD ETHESES.pdf2 2 akan ditemukan sebuah konsep...
ANALISIS FATWA MUI NOMOR 12 TAHUN 2009
TENTANG STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL
TERHADAP PEMOTONGAN AYAM DI RPH “RESTU IBU”
DESA KARANGAN KECAMATAN BALONG KABUPATEN PONOROGO
HALAMAN SAMPUL
SKRIPSI
Oleh:
EVI YULIANA
NIM. 210215153
Pembimbing:
Dr. H. SAIFULLAH, M.Ag
NIP. 196208121993031001
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi atas nama saudara:
Nama : Evi Yuliana
NIM : 210215153
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Judul : Analisis Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Standart
Sertifikasi Penyembelihan Halal Terhadap Pemotongan
Hewan di RPH Restu Ibu Desa Karangan Kecamatan
Balong Kabupaten Ponorogo.
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji dalam ujian munaqasah
Ponorogo, 09 Maret 2020
Mengetahui,
Ketua jurusan
Hukum Ekonomi Syariah
Hj. Atik Abidah, M.S.I
NIP. 197605082000032001
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. H. Saifullah, M.Ag
NIP. 196208121993031001
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
PENGESAHAN
Skripsi atas nama saudari:
Nama : Evi Yuliana
Nim : 210215153
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Judul : Analisis Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal Terhadap
Pemotongan Ayam di RPH Restu Ibu Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Skripsi ini telah dipertahankan pada sidang munaqosah Fakultas Syariah
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Institut Agama Islam Negeri Ponorogo pada:
Hari : Kamis
Tanggal : 19 Maret 2020
Dan telah diterima sebagai bagian dari persyaratan untuk memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Syariah pada:
Hari : Rabo
Tanggal : 25 Maret 2020
Tim Penguji:
1. Ketua sidang : Rifah Roihanah, S.H, M.Kn ( )
2. Penguji l : Hj. Atik Abidah, M.S.I. ( )
3. Penguji ll : Dr. H. Saifullah, M.Ag. ( )
Ponorogo, 22 Maret 2020
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah
Dr. H. Moh. Munir, Lc., M.Ag.
NIP. 196807051999031001
ABSTRAK
Yuliana, Evi, 2020. Analisis Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal Terhadap Pemotongan Ayam Di RPH Restu
Ibu Desa Karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Skripsi.
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Ponorogo. Pembimbing Dr.H Saifullah, M.Ag
Kata kunci: Fatwa MUI, Penyembelihan halal, Ayam.
Penyembelihan menurut bahasa artinya memotong, adapun menurut istilah
ialah menyembelih atau memotong hewan dengan cara memotong saluran
pernafasan, saluran makanan dan dua pembuluh darah. Hewan yang disembelih
haruslah hewan yang sehat dan boleh dimakan. Penyembelih harus mengetahui tata
cara penyembelihan berdasarkan hukum Islam dan memiliki keahlian di dalam
menyembelih. Penyembelihan harus dilakukan dengan satu kali dan secara cepat.
Adapun hewan yang gagal penyembelihan harus dipisahkan. Di dalam praktik
pemotongan ayam yang dilakukan di RPH Restu Ibu ini, dalam pemilihan dan
standar kesehatan hewan, masih terdapat hewan yang kurang layak dikonsumsi.
Seperti halnya ada bagian yang sudah membusuk, warna daging lebam dan juga
jeroan busuk. Terkait penyembelihannya ada beberapa hewan yang belum mati
setelah disembelih disebabkan urat nadinya belum terputus sehingga dilakukan dua
kali penyembelihan. Dari ayam yang gagal penyembelihan tersebut, tidak ada
pemisahan daging, antara ayam yang gagal disembelih dan yang berhasil disembelih.
Dari latar belakang diatas penulis menggunakan rumusan masalah sebagai
berikut: 1. Bagaimana analisa Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar
Sertifikasi penyembelihan Halal terhadap pemilihan hewan di RPH Restu Ibu Balong
Kabupaten Ponorogo? 2. Bagaimana analisa Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009
tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal terhadap cara pemotongan ayam di
RPH Restu Ibu Balong Kabupaten Ponorogo? 3. Bagaimana analisa Fatwa MUI
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal terhadap
pengolahan pasca sembelih di RPH Restu Ibu Balong Kabupaten Ponorogo?.
Didalam penelitihan ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
penelitihan lapangan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan teknik
wawancara, observasi Teknik pengelolaan data dengan cara editing, organizing, dan
penemuan hasil data. Selanjutnya data akan dianalisis menggunakan cara berfikir
deduktif dengan teori penyembelihan. Setelah itu, permasalahan tersebut akan
dibahas dengan menggunakan fatwa MUI.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, berdasarkan fatwa MUI No 12
Tahun 2009 terhadap pemilihan hewan ada yang sudah sesuai dan juga belum sesuai.
Dikarenakan kurangnya ketelitihan didalam memilih ayam, sehingga masih terdapat
ayam yang mengandung kecacatan. Berdasarkan ketentuan Fatwa MUI Nomor 12
Tahun 2009 Di dalam penyembelihannya, pemotongan ayam di Rumah Potong
Hewan Restu Ibu ini sebagian sudah sesuai dan juga ada yang belum sesuai. Karena
penyembelih tidak memastikan bahwa ayam tersebut benar-benar mati oleh sebab
penyembelihan tersebut. Dan berdasarka fatwa MUI nomor 12 Tahun 2009 terhadap
pengolahan pasca penyembelihan, rumah potong ayam Restu Ibu belum sesuai,
karena di dalam proses pengolahannya ayam masih dijadikan satu antara hewan yang
mati karena sembelihan dengan hewan yang gagal penyembelihan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
manusia, Islam memberikan aturan-aturan yang global untuk memberikan
kesempatan bagi perkembangan hidup manusia yang seiring dengan
berkembangnya zaman, berbedanya tempat dan situasi. Karena memang pada
dasarnya alam semesta ini diciptakan oleh Allah SWT untuk memenuhi
kebutuhan manusia, yang mana telah diatur hal-hal sedemikian rupa. Oleh
karena itu, manusia bisa diharapkan bisa menjalankan semua aturan-aturan
yang telah diatur dalam Al-Qur‟an.1
Usaha yang dilakukan di bidang muamalah meliputi beberapa bidang
diantaranya, bisnis atau perdagangan, industri, pertanian, peternakan maupun
ketrampilan dan kemahiran yang dimiliki seseorang melalui pekerjaan. Yang
dilakukan dalam prinsip umum yang baik dan halal untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.2
Islam sebagai sebuah ajaran agama dan falsafah kehidupan juga
menjadikan ekonomi sebagai kajian yang tidak bisa dilepaskan dari Islam itu
sendiri. Ekonomi merupakan aspek muamalah yang sangat mengedapankan
nilai dan moralitas. Sehingga ketika mendekatkan Islam dengan ekonomi,
1 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 11.
2 Qomarul Huda, Fikih Muamalah (Yogyakarta: Teras, 2011), 1.
2
2
akan ditemukan sebuah konsep yang sangat tinggi dalam sistem ekonomi
terebut.3
Islam telah mengatur cara untuk memenuhi kebutuhan makanan, ada
makanan yang dihalalkan dan ada pula makanan yang diharamkan. Bahan
makanan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari sangatlah beragam, salah satunya adalah protein yang bisa
diperoleh dari ikan, daging hewan dll. Islam mempunyai garis tegas yang
menyatakan bahwa diharamkan memakan sebagian hewan tanpa disembelih
secara syara‟ terlebih dahulu.4
Pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia yang dimulai sejak
tahun 1991 diawali dengan pelaksanaan perbankan syariah dan merebak ke
bidang kegiatan ekonomi lainnya yaitu asuransi syariah, pasar modal syariah,
dan pembiayaan syariah. Perkembangan ini memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum yang mengakomodasi kegiatan ekonomi syariah.
Sehingga seiring dengan perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, MUI
menambah perangkat dalam struktur organisasinya dengan nama Dewan
Syariah Nasional.5
Berdasarkan SK Dewan Kepemimpinan MUI tentang Pembentukan
Dewan Syariah Nasional (DSN) No. Kep-754/MUI/II/1999, salah satu yang
3 Sumar‟in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 6.
4Kamil Musa, Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman, (Solo: Ziyad Visi
Media, 2006), hal. 91 5 Atho Mudzhar, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif Hukum Dan
Perundang-Undangan (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2012), 256.
3
menjadi tugas dan wewenang DSN ialah mengeluarkan fatwa. Fatwa adalah
suatu perkataan, yang diartikan sebagai pernyataan hukum mengenai suatu
masalah yang muncul kepada siapa saja yang ingin mengetahuinya. Dengan
berdasarkan pada dalil-dalil syariah secara umum dan menyeluruh.6
Selama ini lembaga yang merepresentasikan ormas Islam di Indonesia
dan diberi kewenangan untuk mengeluarkan fatwa adalah MUI. Oleh karena
itu, menjadi suatu hal yang logis jika penetapan fatwa ekonomi syariah juga
diamanatkan kepada MUI. Kemudian untuk menangani hal ini, MUI
membentuk Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia yang khusus
menjalankan fungsi MUI dalam bidang ekonomi syariah, sehingga posisi
DSN-MUI adalah mufti di Indonesia terkait dengan ekonomi syariah. Tugas
utama DSN-MUI adalah menjalankan fungsi MUI dalam bidang ekonomi
syariah, yang meliputi penetapan fatwa ekonomi syariah, pemberian opini
syariah produk lembaga keuangan syariah ataupun regulator,pengawasan
kesesuaian syariah disetiap LKS, dan pemberian rekomendasi Dewan
Pengawas Syariah.7
Fatwa muncul selain didasarkan atas nushush syar‟iyyah juga
didasarkan atas refleksi dari kondisi sosial yang melingkupinya. Sedemikian
besar pengaruh kondisi sosial terhadap lahirnya sebuah fatwa, sehingga dapat
dikatakan bahwa relevensi sebuah fatwa sangat tergantung pada kondisi sosial
6 Ichwan Sam Dkk, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah DSN-MUI (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2014), 7-8. 7 Ichwan Sam, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah DSN-MUI (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2014), 905.
4
yang melingkupinya. Karakteristik fatwa yang merupakan respon terhadap
suatu masalah yang berkembang merupakan pintu masuk yang realistis bagi
pembaharuan hukum Islam. Fatwa DSN-MUI dalam tatanan tertentu secara
sadar dimaksudkan untuk melakukan pembaharuan tersebut. Pembaharuan
yang dilakukan oleh DSN-MUI melalui fatwanya lebih kepada menguji
validitas „illah terhadap pendapat ulama terdahulu, jika „illah nya dipandang
relevan dengan kondisi kekinian, maka pendapat ulama tersebut akan dipakai.
Dan begitupun sebaliknya. Fatwa tentang ekonomi syariah yang ditetapkan
oleh DSN-MUI, selain dibangun diatas manhaj tertentu, juga tidak terlepas
dari landasan umum hukum ekonomi syariah.8
Menurut Amir Syarifuddin, kata al-fatwa bermakna jawaban atas
persoalan-persoalan syariat atau perundang-undangan yang sulit. Bentuk
jamaknya adalah fataawin dan fataaway.9 Sedangkan al-iftaa‟ adalah
penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-undang
dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang yang
bertanya. Al- Muftiy adalah orang yang menyampaikan penjelasan hukum atau
menyampaikan fatwa di tengah-tengah masyarakat. Mufti adalah seorang
faqih yang diangkat oleh Negara untuk menjawab persoalan-persoalan.
Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada perselisihan pendapat
mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa‟ berdasarkan makna
bahasanya. Oleh karena itu, fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum
syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada,
8 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Elsas, 2008), 281.
9 Amir Syarifuddin, Ushul Fikih Jilid ll (Jakarta: Kencana Prenada Media Grop, 2011), 455.
5
yang didukung oleh dalil yang berasal dari Al-Qur‟an, sunnah nabawwiyyah,
dan ijtihad.10
Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia,
dikarenakan tidak semua orang menggali hukum-hukum syariat. Pada zaman
modern sekarang ini, fatwa adalah pendapat hukum Islam dari mufti atau
ulama sebagai individu atau kolektif sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan atau sebagai respon atas masalah yang berkembang dalam
masyarakat. Dari pengertian dan sifat fatwa tersebut di atas maka fatwa pada
satu sisi adalah objek kajian hukum Islam, tetapi pada sisi yang lain fatwa juga
dapat digunakan sebagai sumber penting bagi penulisan sejarah sosial dan
ekonomi dalam masyarakat Islam, dimana mufti atau ulama itu hidup.11
Dalam istilah fiqh pemotongan disebut dzukāt/dzabh. Qathruf
mengatakan bahwa asal kata dzukāt dalam bahasa adalah tamām
(penyempurnaan). Sedangkan dalam syar‟i, dzukāt adalah ungkapan untuk
sebuah penumpahan darah yang disertai dengan niat kepada Allah SWT.12
Pemotongan adalah sengaja memutus saluran makanan, tenggorokan dan dua
pembuluh darah hewan dengan alat yang tajam selain kuku dan gigi.
Pemotongan dilakukan untuk melepaskan nyawa binatang dengan jalan paling
mudah, yang kiranya meringankan dan tidak menyakiti. Penyembelihan
adalah syarat halalnya memakan hewan darat yang boleh dimakan. Artinya,
tidak halal memakan hewan apa pun yang boleh dimakan tanpa dilakukan
10
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum
Nasional Di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kemenag Ri, 2010), 63. 11
Muhammad Sugiono, Kedudukan Fatwa Dalam Islam,
Http//Muhammadsugionowordpress.Com, Diakses Pada Tanggal 21 Agustus 2019. 12
Kamil Musa, Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman, Terj. Ahkaamul
Ath-„Imati fil Islaami oleh Suyatno, (Solo: Ziyad Visi Media, 2006), 91.
6
penyembelihan yang sesuai dengan aturan syari‟at. Dari uraian diatas Allah
SWT mengaitkan kehalalan memakan hewan–hewan tersebut dengan
penyembelihan. Sementara itu, hikmah dilakukannya penyembelihan adalah
melindungi kesehatan manusia secara umum dan menghindarkan tubuh dari
kemudharatan dengan cara memisahkan darah dari daging dan mensucikannya
dari cairan merah tersebut. Mengkonsumsi darah yang mengalir hukumnya
haram, sebab membahayakan kesehatan tubuh manusia dikarenakan ketika itu
darah menjadi tempat bersemayamnya berbagai kuman dan mikroba
berbahaya.13
Sembelihan adalah semua binatang yang halal untuk dimakan yang
disembelih dengan baik dalam keadaan berbaring (dzabh) maupun berdiri
(nahr) pada saat menyembelihnya. Demikian kambing dari jenis domba
maupu kambing biasa, demikian pula seluruh jenis unggas seperti ayam dan
lain-lainnya, semuanya di sembelih dalam keadaan berbaring.14
Proses pemotongan hewan harus mendapat perhatian yang khusus
sehingga pemotongannya benar-benar sesuai dengan syariat yang sah. Yang
sudah diatur didalam Fatwa MUI no 12 tahun 2009 tentang standar sertifikasi
penyembelihan halal. Untuk itu harus mengetahui dan menentukan dengan
jelas bagaimana pemotongannya, profesi penyembelih, proses pemotongan
pada hewan, alat pemotongan, tata caranya, tasmiyah (penyebutan) nama
13
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i, (Jakarta Timur: Almahira, 2010), hal 305-306 14
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Tata cara Qurban Tuntunan Nabi, (Jogjakarta:Media
Hidayah,2003),75.
7
Allah Swt, niat serta hal-hal yang berhubungan dengan pemotongan termasuk
syarat-syarat sah dan syarat-syarat yang bersifat etis.15
Perhatian ini dianggap perlu karena semakin banyak dan kompleksnya
jenis makanan yang menurut sebagian orang dianggap modern dan memenuhi
syarat kesehatan, tetapi tidak jelas halal-haramnya. Hewan yang boleh
dimakan dagingnya oleh manusia tidak halal dimakan kecuali dengan
penyembelihan secara syara‟ atau dengan cara yang semakna dengannya. Ada
dua binatang yang dikecualikan oleh syariat Islam dari kategori bangkai, yaitu
belalang dan ikan dengan semua jenisnya dari berbagai macam binatang yang
hidup didalam air.16
Untuk memastikan kehalalan sembelihan, harus diperhatikan hewan
yang hendak disembelih. Standar hewan yang boleh disembelih adalah hewan
yang halal dimakan, hewan harus dalam keadaan hidup ketika disembelih,
kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan. Dalam Islam seorang penyembelih harus
memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Penyembelih disyaratkan beragama
Islam dan sudah akil baligh, memahami tata cara penyembelihan yang syar'i,
serta memiliki keahlian dalam penyembelihan.
Syarat sah nya suatu penyembelihan adalah dengan mengalirkan darah,
memutuskan urat leher, dan memutuskan tempat penyembelihan (tenggorokan
15
Kamil Musa, Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman, (Solo: Ziyad Visi
Media, 2006), 90. 16
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya,
2010), 60.
8
dan kerongkongan) dengan tidak memecahkannya. Penyembelihan ini tidak
boleh dilakukan dengan kuku dan gigi.17
Penyembelihan dilakukan dengan
mengalirkan darah melalui pemotongan saluran makanan, saluran
pernafasan/tenggorokan, dan dua pembuluh darah. Proses penyembelihan
dilakukan satu kali dan secara cepat serta memastikan adanya aliran darah
dan/gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan dan memastikan matinya
hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut.18
Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat Al-Maidah:3 sebagai berikut:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain nama Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu menyembelihya, dan (diharamkan bagimu) yang di
sembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi nasib dengan anak
panah, mengundi nasib dengan anak panah itu adalah kefasikan”.19
17
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Al‟um Buku 1 jilid 1-2, (Jakarta:
Pustaka Azzam,2013)., hal. 758 18
Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal, hal. 70 19
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an Dan Terjemahannya, 108.
9
Di Barat, metode penyembelihan konvensional dengan menggorok
leher hewan (slaugthering) dianggap menyakiti hewan. Oleh karenanya,
seiring kemajuan teknologi, orang-orang Eropa mengembangkan teknik
stunning atau pemingsanan sebelum melakukan penyembelihan. Dengan
pemingsanan, hewan belum mati, tapi pingsan lalu disembelih. Tujuan
pemingsanan sebenarnya bukan sekadar belas kasihan terhadap hewan, namun
efisiensi waktu penyembelihan. Jumlah kebutuhan daging di Eropa sangat
tinggi. Ribuan ternak harus disembelih tiap harinya. Penyembelihan manual
akan memakan waktu yang lama, khususnya bagi rumah pemotongan hewan
yang besar. Sementara dengan stunning, hewan lebih mudah ditenangkan lalu
disembelih. Lebih efisien secara waktu dan terkesan lebih berbelas kasihan
kepada hewan. Saat sekarat lalu mati, hewan tak bergerak karena sudah
pingsan. Lain halnya jika digorok, hewan terlihat tersiksa saat sekarat.20
Disini penulis mengambil lokasi penelitihan di pemotongan ayam,
tepatnya di RPH Restu Ibu yang bertempat di Dusun Bulak Desa Karangan
Kecamatan Balong. Penulis memilih lokasi ini dengan alasan karena di RPH
ini marketingnya sudah mecapai luar kota dan tentunya sudah sangat luas,
selain dari pada itu penulis tau bahwa pemotongan ayam tersebut sudah masuk
dalam kategori besar. Selain dari marketing dan lokasinya penulis menemukan
permasalahan di dalam pemilihan hewan, penyembelihan serta pengolahannya
20
Hujjah,“Majalah Fikih Islam”, Stunning Pemingsanan Hewan Sebelum Disembelih, 6 Juni
2015. http://www.hujjah.net/2015/06/06/stunning-pemingsanan-hewan-sebelum-disembelih/ (11
September 2019).
10
yang belum penulis temukan ditempat lainnya.21
Mata pencahariaan
masyarakat Desa Karangan Kecamatan Balong Ponorogo ini yaitu rata- rata
pekerjaannya berdagang dan bertani. Di dalam sektor perdagangan, yang
dilakukan oleh masyarakat desa Karangan yaitu berdagang ayam dan juga
melayani pemotongan ayam yang dilakukan di RPH nya pribadi, di dalam
praktiknya pemotongan ayam tersebut dibagi menjadi dua yaitu, pemotongan
ayam yang berasal dari lokasi pemotongan dan juga ayam yang dibawa dari
rumah oleh masyarakat Desa Karangan dan sekitarnya untuk dipotongkan.
Ayam yang dibawa dari rumah hanya dikenakan membayar jasa
pemotongannya saja. Biaya pemotongannya yaitu sebesar 5000 rupiah.
Sedangkan ayam yang membeli dari RPH tersebut tidak dikenai biaya
pemotongan. Sedangkan di dalam sektor pertanian, masyarakat desa Karangan
biasa yang mereka lakukan yaitu seperti berladang, kesawah dan juga mencari
rumput.22
Didalam standar kesehatan hewan, penulis menemukan bahwa ada
beberapa hewan yang belum memehuhi standar kesehatan, yang mana penulis
ketahui pada saat ayam sudah dibersihkan ternyata ada ayam yang warnanya
hitam lebam dan ada juga yang sebagian dari daging ayam tersebut sudah
tidak layak konsumsi.23
Akan tetapi, untuk standar kesehatan ayam pembeli
tidak bisa memilih mana ayam yang benar-benar sehat dan mana ayam yang
mengandung penyakit. Karena di dalam praktiknya ada pembeli yang datang
21
Observasi, 22 September 2019. 22
Budi, Wawancara, 22 September 2019. 23
Observasi, 10 Desember, 2019.
11
untuk membeli daging ayam tersebut, penjual langsung mengambilkannya
ayam yang masih hidup, sehingga setelah sudah disembelih dan dipotong,
banyak pembeli yang menemukan kecacatan tehadap fisik hewan tersebut.24
Di dalam penyembelihan ayam penulis mendapatkan kejanggalan yang
mana di dalam penyembelihannya masih diragukan apakah ayam tersebut
sudah benar-benar terpotong urat nadinya, tenggorokannya dan juga alat
pernafasannya. Sebab, pada saat ayam sudah disembelih masih ada beberapa
ayam yang masih hidup kembali. Sehingga ayam tersebut disembelih kembali.
Penyembelihan yang dilakukan sangat cepat. Dengan menggunakan pisau.25
Di dalam Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal disebutkan bahwa hewan yang gagal penyembelihan
harus dipisahkan, akan tetapi didalam proses pengolahannya semua daging
yang sudah melewati proses mulai dari penyembelihan hingga pencucian
dijadikan satu, tanpa dipisahkan antara ayam yang gagal sembelih dengan
ayam yang mati karena sembelihan.26
Sehingga, berdasarkan permasalahan yang penulis temui, dapat
disimpulkan bahwa didalam praktik pemotongan ayam tersebut penulis
merangkum tiga permasalahan. Yang pertama didalam pemilihan hewan
antara yang sehat dan yang mengandung penyakit dan yang kedua didalam
pemotongannya dan yang ke tiga di dalam pengolahannya. Maka dari itu
24
Eva, Wawancara, 10 Agustus 2019. 25
Observasi, 10 Desember, 2019. 26
Observasi, 12 Januari, 2020.
12
penulis ingin mengkajinya lebih dalam melalui skripsi yang berjudul
“Analisis Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal Terhadap Pemotongan Ayam Di RPH “Restu Ibu”
Desa Karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diambil
beberapa pokok permasalahan. Agar terancang dan sistematis maka dapat
diambil beberapa garis besar tentang pokok permasalahan yang ada, untuk
dibahas dalam sebuah skripsi, yaitu:
1. Bagaimana analisa Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar
Sertifikasi penyembelihan Halal terhadap pemilihan hewan di RPH Restu
Ibu Balong Kabupaten Ponorogo?
2. Bagaimana analisa Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal terhadap cara pemotongan ayam di RPH
Restu Ibu Balong Kabupaten Ponorogo?
3. Bagaimana analisa fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Hewan Halal terhadap pengolahan pasca
penyembelihan ayam di RPH Restu Ibu Balong Ponorogo?
13
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui analisa Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal terhadap pemilihan hewan di
RPH Restu Ibu Balong Ponorogo.
2. Untuk mengetahui analisa Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal terhadap cara pemotongan di
RPH Restu Ibu Balong Ponorogo.
3. Untuk mengetahui apakah sudah sesuai atau belom antara Fatwa MUI
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi penyembelihan Halal
dengan pemilihan hewan dan juga cara pemotongan yang dipraktekan di
RPH Restu Ibu Balong Ponorogo.
D. Manfaat Penelitian
Agar tujuan dari penelitian skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan,
maka penulis berharap agar penelitian ini berguna untuk:
1. Kegunaan Ilmiah
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam rangka memperkaya hazanah keilmuan dan berpartisipasi dalam
pengembangan pemikiran dibidang hukum Islam.
2. Kegunaan Terapan
Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangsih pemikiran didalam
meghadapi problematika yang ada, khususnya dalam masalah pemilihan
14
hewan dan juga cara pemotongan ayam di RPH Restu Ibu Balong
Ponorogo.
E. Kajian Pustaka
Sejauh penelusuran penulis, belum ada karya tulis yang membahas
tentang standar sertifikasi penyembelihan halal ini. Oleh karena itu penulis
beranggapan bahwa penelitian ini masih layak untuk dilakukan.
Diantara karya tulis yang penulis temukan adalah:
Pertama, Skripsi Hasan Saiful Rizal S, 2014 , Prespektif Fiqih
Muamalah Terhadap Praktik Jual Beli Ayam Potong Di Desa Ginuk
Kecamatan Karas Kabupaten Magetan, di dalam praktik jual beli tersebut ada
pemotongan timbangan, bahkan disini terjadi dua kali pemotongan dan ada
juga pengembalian ayam setelah penimbangan cacat atau mati karena
penimbangan. Pemotongan timbangan ½ kg setiap sekali penimbangan dan
pemotongan timbangan seberat keranjang yang digunakan untuk menimbang
dilakukan setelah penimbangan selesai. Sedangkan pengembalian ayam
karena cacat atau mati dilakukan setelah penimbangan selesai. Dengan alasan
untuk mengantisipasi jika ada susut di kemudian hari dan untuk memperoleh
berat bersih. Dengan fokus permasalahan, a. bagaimana perspektif fikih
muamalah terhadap kuantitas timbangan pada jual beli ayam potong di Desa
Ginuk kecamatan Karas kabupaten Magetan?. b. bagaimana perspektif fikih
muamalah terhadap pengembalian ayam potong di Desa Ginuk Kecamatan
Karas Kabupaten Magetan?.
15
Didalam penelitihan ini peneliti menggunakan jenis penelitihan
lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan dan wawancara.
Pendekatan yang penulis gunakan didalam penelitihan ini adalah penelitihan
kualitatif. Dari hasil pembahasan dan analisis tersebut dapat diperoleh
kesimpulan bahwa, a. pemotongan timbangan ½ kg dan pemotongan
timbangan seberat keranjang yang digunakan pada jual beli ayam potong di
Desa Ginuk Kecamatan Karas Kabupaten Magetan adalah sah menurut fiqh
muamalah, karena kedua belah pihak telah setuju dan suka sama suka untuk
melakuakan jual beli diantara kedua belah pihak tidak ada yang merasa
dirugikan. b. pengembalian setelah penimbangan karena cacat atau mati, sah
menurut fiqh muamalah, karena hal ini sudah menjadi adat kebiasaan diantara
kedua belah pihak dan atas dasar suka sama suka.27
Kedua, skripsi Wiwik Dwi Astuti, 2016, Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Praktik Jual Beli Ayam Dirumah Potong Hewan Hidayah
Ponorogo. Didalam prakteknya jual beli ayam ini menggunakan dua macam
akad jual beli dan menggunakan 4 macam cara pembayaran serta adanya
perubahan harga ayam ketika telah jatuh tempo. Dari praktik tersebut penulis
menyajikan pembahasan sebagai berikut:
a. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik akad jual beli ayam.
b. Tinjauan hukum Islam terhadap cara pembayaran ayam.
c. Tinjauan hukum Islam terhadap perubahan harga ayam ketika jatuh tempo.
27
Hasan Saiful Rizal, “Prespektif Fiqih Muamalah Terhadap Praktik Jual Beli Ayam Potong
Di Desa Ginuk Kecamatan Karas Kabupaten Magetan”, Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo,
2014), 77.
16
Penelitihan ini merupakan penelitihan lapangan yang menggunakn
metode penelitihan kualitatif dengan pengumpulan data melalui observasi dan
wawancara, analisis, dan menggunakan metode deduksi, dengan
menggunakan hukum Islam.
Dari pembahasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa, (a). akad jual
beli ayam di RPH Hidayah Ponorogo telah sesuai dengan hukum Islam,
karena semua syarat dan rukun jual beli telah terpenuhi. (b). cara pembayaran
di RPH Hidayah Ponorogo dengan menggunakan cara pembayaran secara
DP, mengangsur, atau membayar dibelakang adalah tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Karena adanya kesepakatan yang menunjukkan
kerelaan dari kedua belah pihak dengan tidak adanya suatu paksaan. (c).
perubahan setelah jatuh tempo di RPH Hidayah Ponorogo telah sah menurut
hukum Islam karena kedua belah pihak sudah saling rela dan juga tidak ada
yang dirugikan. selain itu hal ini sudah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat tersebut.28
Jadi bisa disimpulkan, dari karya tulis diatas sangat berbeda dengan
karya tulis yang ingin penulis buat, baik dari segi sudut pandang dan juga dari
segi rumusan masalah. Karena didalam skripsi yang pertama menggunakan
sudut pandang fikih muamalah dengan rumusan masalah dari segi kuantitas
dan pengembalian ayam dan skripsi yang kedua ditinjau dari segi hukum
islam, dengan rumusan masalah terkait akad, cara pembayaran, dan juga
perubahan harga. Sedangkan skripsi yang akan penulis buat, disini penulis
28
Wiwik Dwi Astuti, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli Ayam Dirumah
Potong Hewan Hidayah Ponorogo”, Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2016), 79.
17
menggunakan analisis fatwa MUI yang menerangkan tentang pemotongan
ayam. Dengan rumusan masalah terkait pemilihan hewan atau standar hewan
yang disembelih dan juga didalam praktik penyembelihannya serta di dalam
pengolahannya. Dari sangat jelas disini bahwa skripsi yang penulis akan buat
sangat berbeda dengan skripsi-skripsi yang sudah ada.
F. Metode Penelitian
Agar mendapatkan data yang akurat dan lengkap dalam hasil
penelitian yang akan dilaksanakan nantinya, maka jenis penelitian yang
penyusun gunakan adalah sebagi berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
lapangan (field research) yaitu yang mana penelitian dilakukan secara
mendalam terhadap subjek dan objek penelitian yaitu praktek pemotongan
ayam di RPH Restu Ibu Desa Karangan Kecamatan Balong Kabupaten
Ponorogo. Dengan sifat penelitian yaitu deskriptif, dan untuk memecahkan
masalah dengan pendekatan normatif dengan analisa kualitatif. Pendekatan
kualitatif, yaitu menurut Bogdan dan Taylor didefinisikan sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang disusun. Ide
pentingnya adalah bahwa penelitian ini berangkat dari lapangan untuk
18
mengamati atau mengadakan tentang suatu fenomena dalam suatu
keadaan.29
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai partisipan penuh,
yang artinya peneliti terjun langsung untuk mengamati fenomena yang
terjadi dilapangan yaitu praktek pemotongan ayam di RPH Restu Ibu di
Balong Ponorogo. Begitu juga dengan pengamatan yang dilakukan adalah
pengamatan secara terang-terangan. Selain itu peneliti juga melakukan
wawancara langsung kepada penjual atau pemotong dan juga pembeli
yang berfungsi sebagai informan yang dapat memberikan penjelasan dan
data yang akurat sebagai bahan dalam penelitian ini. Selama penelitian
berlangsung, informan juga mengetahui akan keberadaan peneliti dengan
melakukan pertemuan dan tanya jawab langsung. Hal ini peneliti lakukan
untuk mendapatkan data dan fakta yang benar-benar terjadi.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan objek Penelitian ini terletak desa Karangan
Kec Balong Ponorogo. Penulis memilih lokasi ini dikarenakan masih perlu
dilakukan kajian terhadap praktik pemotongan ayam di RPH Restu Ibu
Balong Kabupaten Ponorogo.
4. Data dan Sumber Data Penelitian
a. Data
29
Lexy J.Moloeng, metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2004),26.
19
Data adalah kumpulan keterangan-keterangan atau deskripsi
dasar dari suatu hal (objek atau kejadian) yang diperoleh dari hasil
pengamatan (observasi) dan dapat diolah menjadi bentuk yang lebih
kompleks, seperti; informasi, database, atau solusi untuk masalah
tertentu. Data yang digunakan penulis disini yaitu data tentang praktek
pemotongan ayam antara pemotong dengan pembeli di RPH Restu Ibu
Balong Kabupaten Ponorogo.
b. Sumber Data Penelitian
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
1) Sumber data primer
Penelitian dengan menggunakan sumber data primer
membutuhkan informasi dari sumber pertama atau responden. Data
atau informasi diperoleh melalui pertanyaan tertulis dengan
menggunakan lisan dengan menggunakan metode wawancara.30
Data utama dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan
para informan, yaitu kepada para penjual ayam maupun kepada
pembeli di RPH Restu Ibu Balong Ponorogo yaitu sebagai berikut:
Pemilik rumah potong ayam Restu Ibu : pak budi dan keluarga
Pengelola : bapak budi dan bapak iswahyudi
Keuangan : bapak iswahyudi
30
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006), 16.
20
Karyawan : Yuli, Arif, Wawan, Surya, Pak Ren, Rijal, Rochim,
dan Si Pur.
Pembeli : Eva, Sutris, Angga, Anjar, Rina, Boinah dan Sarji.
2) Sumber data sekunder
Penelitian dengan menggunakan sumber data sekunder
adalah penelitihan yang menggunakan bahan yang bukan dari
sumber pertama sebagai sarana untuk memperoleh data atau
informasi untuk menjawab masalah yang diteliti. Penelitian ini
juga dikenal dengan penelitian yang menggunakan studi
kepustakaan dan yang biasanya digunakan oleh para peneniti yang
menganut paham pendekatan kualitatif.31
Peneliti menggunakan
data sekunder ini untuk memperkuat penemuan atau informasi
yang telah dikumpulkan melalui observasi dan wawancara secara
langsung dengan penjual atau pemotng dan juga pembeli di RPH
Restu Ibu balong Kabupaten Ponorogo.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang akan
digunakan peneliti adalah:
a. Wawancara
Metode wawancara bebas terpimpin. Yaitu suatu wawancara
dimana peneliti bebas melakukan wawancara dengan berpijak
kepada cacatan mengenai pokok-pokok pertanyaan. Wawancara
31
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006), 17.
21
yang di lakukan dalam metode kualitatif cenderung tidak formal
seperti obrolan-obrolan ringan. Bersifat mendalam dan segala
sesuatunya dikembangkan sendiri oleh penelitinya.32
Materi
wawancara adalah tema yang berkisar pada ruang lingkup fenomena
bisnis berbasis syariah dalam fatwa-fatwa tersebut, seperti yang
tertera dalam rumusan masalah. Wawancara ini dilakukan dengan
pihak-pihak yang mendukung, yaitu : pemotong atau penjual,
pembeli, serta orang-orang yang mengetahui praktik jual beli
tersebut.33
Di dalam proses wawancara, yang penulis lakukan yaitu
dengan bersilaturahmi dengan pemilik RPH sekaligus tuan rumah.
Berawal dari terkait perizinan dan dilanjutkan bertanya tentang
sejarah, profil RPH, visi misi dan juga proses di dalam pemotongan
ayam tersebut. Mulai dari ayam sampai di lokasi sampai ayam
sudah siap dipasarkan oleh para pedagang-pedagang pasar. Setelah
itu, penulis terjun langsung sekaligus mengikuti atau membantu
proses pemotongan ayam. Dan bertemu dengan orang-orang yang
menyembelih, karyawannya serta para pembeli yang berjumlah
begitu banyak yang juga saya beri pertanyaan terkait apa yang
penulis bahas di dalam skripsi ini.
b. Observasi
32
Mudjaharin Thohir, Memahami Kebudayaan, Teori, Metodologi, dan Aplikasi
(Semarang: Fasindo Press, 2007), 58. 33
Roni Hanijito Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, cet, Ke-2 (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1993), 72.
22
Observasi atau pengamatan secara langsung yaitu
melakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian. Karena
teknik pengamatan ini memungkinkan melihat dan mengamati
sendiri kemudian mencatat kejadian sebagaimana yang terjadi pada
keadaan yang sebenarnya.34
Yaitu suatu aktivitas yang
memperhatikan dan mencermati bagaimana pelaksanaan praktek
pemotongan ayam di RPH Restu Ibu Balong Kabupaten Ponorogo.
Dengan metode observasi ini, peneliti secara langsung terjun di
lapangan dan melakukan pencatatan terhadap praktek pemotongan
ayam serta mengamati dan mengikuti proses pemotongan dari awal
sampai akhir.
6. Teknik Pengolahan Data
Adapun pengolahan data yang digunakan oleh penyusun adalah
dengan cara sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang
terkumpul, terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna,
keselarasan satu dengan yang lainnya, relevansi, dan beragam
masing-masing dalam kelompok data.35
34
Lexy J. Meloers, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet, ke-XXIII (Bandung: Raja
Resdakarya, 2007), 174. 35
Misri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3IES,
1982), 191.
23
b. Organizing, yaitu menyusun data dan sekaligus mensistematis dari
data-data yang diperoleh dalam rangka paparan yang sudah dan
direncanakan sebelumnya sesuai dengan permasalahannya.36
c. Penemuan hasil data, melakukan analisis lanjutan terhadap hasil
pengorganisasian data dengan teori-teori sehingga diperoleh
kesimpulan sebagai pemecahan dari rumusan yang ada.
7. Analisa Data
Untuk memperoleh hasil yang lengkap, tepat dan benar maka,
analisis data yang digunakan adalah metode data kualitatif dengan cara
berfikir deduktif. Metode ini digunakan untuk menganalisis data
kualitatif (data yang tidak berupa angka), sedang dalam menganalisis
data tersebut digunakan cara berfikir deduktif yaitu berangkat dari
dalil-dalil yang bersifat umum kemudian diteliti untuk diambil suatu
kesimpulan yang bersifat khusus.
8. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data dalam suatu penelitian ditentukan dengan
menggunakan kriteria kredibilitas. Yang dapat ditentukan dengan
beberapa teknik agar keabsahan data dapat dipertanggung jawabkan.
Dalam penelitian ini, untuk menguji kredibilitas data menggunakan
teknik sebagai berikut:
a. Ketekunan Pengamatan
36
Ibid.,192.
24
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan
secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut
maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara
pasti dan sistematis.37
Meningkatkan ketekunan itu ibarat kita
mengecek soal-soal, atau makalah yang telah dikerjakan, apakah
ada yang salah atau tidak. Dengan meningkatkan ketekunan itu,
maka peneliti dapat melakukan pengecekan kembali apakah data
yang telah ditemukan itu salah atau tidak. Demikian juga dengan
meningkatkan ketekunan maka, peneliti dapat memberikan
deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang
diamati.38
Teknik ketekunan pengamatan ini digunakan peneliti agar
data yang diperoleh dapat benar-benar akurat. Untuk meningkatkan
ketekunan pengamatan peneliti, maka peneliti akan membaca
berbagai referensi buku maupun hasil penelitian atau dokumentasi-
dokumentasi yang terkait dengan teori fatwa MUI Nomor 12 tahun
2009 tentang standar sertifikasi halal .39
Dalam teknik ketekunan pengamatan, penulis membaca dan
mencari sumber-sumber referensi berupa buku, hasil penelitihan,
ataupun dokumen-dokumen yang terkait dengan teori tentang
penyembelihan halal. Selain daripada itu penulis mengecek
37
Ibid., 272. 38
Ibid,. 39
Ibid.
25
kembali, apakah data-data yang telah penulis kumpulkan benar-
benar valid. Baik data lapangan maupun referensi.
b. Triangulasi
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan
sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai
cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi
sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi
sumber. Dimana peneliti melakukan pengecekan data tentang
keabsahannya, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen dengan memanfaatkan berbagai sumber data informasi
sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal ini peneliti
membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara,
dan juga membandingkan hasil wawancara dengan wawancara
lainnya yang kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan
sebagai hasil temuan lapangan.40
G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini menghasilkan bentuk tulisan yang ilmiah dan
baik, untuk mempermudah penulis dalam menyusun skripsi, maka susunan
skripsi ini dalam pembahasannya dibagi dalam beberapa bab, sebagai
berikut:
40
Ibid., 273.
26
Pada bab pertama, pendahuluan. Dalam bab ini merupakan
gambaran umum untuk memberi pola pemikiran skripsi ini, yang akan
menjelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan, telaah pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
Pada bab kedua akan diuraikan tentang konsep Fatwa MUI No 12
Tahun 2009 Tentang Standart Serttifikasi Penyembelihan Halal,
pengertian penyembelihan, rukun dan syarat penyembelihan, tata cara
penyembelihan, pengolahan.
Pada bab ketiga diuraikan tentang praktik pemotongan ayam di
RPH Restu Ibu Desa Karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo.
Untuk itu penulis akan menggambarkan seajarah singkat wilayah
penelitian, dilanjut dengan prakteknya.
Pada bab keempat, membahas mengenai inti dari pembahasan
skripsi ini, dalam bab ini akan membahas mengenai hasil analisis Fatwa
MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan
Halal terhadap pemotongan ayam di RPH Restu Ibu Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo.
Pada bab kelima merupakan penutup, berisi kesimpulan yang
merupakan jawaban dari rumusan masalah yang dilengkapi dengan saran
sebagai bahan rekomendasi dari hasil penelitian penulis.
Bagian akhir skripsi ini memuat tentang lampiran-lampiran, terdiri
dari salinan Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Standart Sertifikasi
27
Penyembelihan Halal, lampiran izin rekomendasi penelitian, lampiran
pedoman wawancara dan lampiran curriculum vitae serta lampiran lainya
yang dianggap penting.
28
BAB II
KONSEP PENYEMBELIHAN HALAL
BERDASARKAN KETENTUAN FATWA MUI NOMOR 12 TAHUN 2009
TENTANG STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL
A. Konsep Pemilihan Hewan Berdasarkan Ketentuan Fatwa MUI No 12
Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal
Di dalam penyembelihan harus memperhatikan standar hewan yang akan
di sembelih. Penyembelihan yang dilakukan terhadap hewan yang halal
dimakan dimaksudkan untuk mensucikan hewan dari najis sehingga
menjadikannya halal untuk dimakan. Hal ini disebabkan karena mengalirnya
darah dari hewan yang disembelih menjadikan hewan itu suci dan baik. Semua
hewan yang dinilai oleh orang Arab (pada masa turunnya Al-Qur‟an) halal,
kecuali yang diharamkan agama. Dengan penyembelihan hewan tersebut,
dapat membedakannya dengan bangkai yang diharamkan.1 Hewan yang
disembelih merupakan hewan yang halal dimakan, di bawah ini adalah keadaan
hewan yang harus disembelih, diantaranya yaitu:
1. Hewan yang halal dimakan, baik yang ada di darat, udara, maupun yang ada
di laut, seperti kambing, kerbau, sapi, unta, ayam, burung, ikan dan
lain sebagainya.
2. Hewan maqdur „alaih, Ulama‟ Fiqih sepakat bahwa hewan darat apabila
keadaannya maqdur „alaih dan hidupnya belum putus serta disembelih
dengan ketentuan syara‟ maka halal untuk dimakan.
1 Abdul Fatah Idris, Terjemahan Ringkas Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1987),
305.
3. Hewan yang dicekik, dipukul, jatuh, atau diterkam dan diketahui adanya
hayyat mustaqirrah pada hewan itu dan tidak sampai mati, jika hewan
itu dibiarkan tidak disembelih tentu hewan itu hidup menurut dugaan
yang kuat, dan hewan itu disembelih maka halal untuk dimakan.
4. Hewan ghair maqdur „alaih, seperti menjadi liar sesudah dijinakkan,
jatuh ke dalam sumur, atau sepertinya jika dilukai bagian manapun dari
tubuhnya dan dianggap sebagai tempat untuk menyembelihnya maka halal
untuk dimakan.
5. Hewan yang hampir mati, disebabkan sakit dan berada dalam keadaan
hidupnya yang paling minim lalu disembelih, maka hewan itu halal dimakan.2
Diantara syarat-syarat hewan yang disembelih berdasarkan ketentuan Fatwa
MUI nomor 12 tahun 2009 tentang standar sertifikasi penyembelihan halal,
diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Hewan yang disembelih adalah hewan yang halal dan boleh untuk dimakan
Allah menciptakan berbagai jenis binatang juga dikaruniakan kepada
manusia, tetapi tidak semuanya boleh atau halal untuk dimakan dagingnya.
Dalam hukum agama sendiri Islam juga telah memberikan kategori macam-
macam binatang yang halal untuk dimakan. Jika melihat tempat hidup hewan
yang terbagi menjadi tiga yaitu darat, air dan bisa di darat ataupun di laut (dua
alam). Maka hewan yang dihalalkan dalam hukum Islam adalah hewan yang
hidupnya menetap pada satu alam, di laut saja, ataupun di darat saja. Seperti
binatang ternak (kecuali babi) dan ikan. Dalam Al-Qur‟an sendiri juga telah
dijelaskan mengenai halalnya daging binatang ternak ini.
2 Yusuf Qordhowi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Diterjemahkan Oleh Tim Kuadran Dari
Halal Wal Haram Fil Islam, (Bandung: Jabal, 2007), 67-68.
Dan untuk hewan yang hidup di air, baik itu di laut atau di air tawar,
juga dijelaskan dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 96 sebagai berikut:
أ …
Artinya: “ Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-
orang yang dalam perjalanan…”
Khusus binatang yang hidupnya di darat, semuanya adalah halal
selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, dan juga melalui
penyembelihan yang sah pula. Adapun untuk hewan buruan yang ditangkap
oleh hewan yang sudah terlatih, asalkan melepas hewannya juga dengan
menyebut asma Allah. Seperti yang tertera dalam QS. Al-Maidah (5): 4
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi
mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar
dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa
yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang
buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”.
2. Hewan harus dalam keadaan hidup sebelum disembelih
Di dalam ketentuan hukum Islam hewan yang akan disembelih
dianjurkan harus masih dalam keadaan hidup. Tidak boleh hewan yang sudah
mati. Karena apabila hewan yang disembelih sudah mati itu dinakan bangkai,
dan itu haram dimakan. Kecuali bangkai belalang dan ikan. Seperti dijelaskan
dalam Q.S Al-Maidah ayat 3 sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al
Maidah: 3)
3. Kondisi hewan harus sehat.3
Hewan yang akan disembelih harus masih dalam keadaan sehat, agar
baik dan sehat untuk dimakan. Tidak dianjurkan hewan yang tidak layak
konsumsi dilakukan penyembelihan. Kondisi hewan harus memenuhi standar
kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
B. Konsep Penyembelihan Hewan Berdasarkan Ketentuan Fatwa MUI No 12
Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal
1. Pengertian penyembelihan
Penyembelihan adalah tindakan memotong urat-urat kehidupan yang
ada pada hewan itu, yaitu empat buah urat, diantaranya yaitu tenggorokan,
3 Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Sertifikasi Penyembelihan Halal, 706.
kerongkongan dan dua urat besar yang terletak di bagian samping leher. Letak
penyembelihan itu sendiri adalah bagian diantara bagian bawah leher dengan
tempat tumbuhnya jenggot, yaitu tulang rahang bawah. Sementara itu, yang
disebut penyembelihan dalam pandangan madhab Syafi‟i dan Hambali adalah
tindakan menyembelih hewan tertentu yang boleh dimakan dengan cara
memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Adapun posisi dan letak
pemotongan itu bisa di bagian atas leher atau di bagian bawah leher, atau
dalam situasi yang tidak memungkinkan dilakukannya penyembelihan dileher,
akan dilakukan penikaman yang mematikan dibagian mana saja dari tubuh
hewan itu.4
Perlu diperhatikan bahwa semakin banyak dan kompleksnya jenis
makanan yang menurut sebagian orang dianggap modern dan memenuhi
syarat kesehatan, tetapi tidak jelas halal-haramnya. Sebab makanan yang
masuk ke dalam tubuh seseorang mempengaruhi tingkah laku orang tersebut.
Karena selain merupakan suatu aturan pastinya juga terkandung manfaat
disana yaitu terjaminnya kesehatan dan keberkahan atas makanan tersebut.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 168:
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
4 Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 4, (Damaskus: Darul Fikr, 2007), 304 -
305.
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.5
Hewan yang boleh dimakan dagingnya oleh manusia, tidak halal
dimakan kecuali dengan penyembelihan secara syara‟ atau dengan cara yang
semakna dengannya. Ada dua binatang yang dikecualikan oleh syariat Islam
dari kategori bangkai, yaitu belalang dan ikan dengan semua jenisnya dari
berbagai macam binatang yang hidup di dalam air.6 Islam telah mengatur
cara untuk memenuhi kebutuhan makanan, ada makanan yang dihalalkan dan
ada pula makanan yang diharamkan. Bahan makanan yang dibutuhkan oleh
tubuh manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sangatlah beragam,
salah satunya adalah protein yang bisa diperoleh dari ikan, daging hewan dan
lainnya. Islam mempunyai garis tegas yang menyatakan bahwa diharamkan
memakan hewan halal tanpa disembelih secara syar‟i.
dapun yang menjadi dasar peraturan mengenai penyembelihan
terhadap binatang yang halal dimakan, adalah firman Allah dalam surat al-
Maidah ayat 3:
Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu,
sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
5 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Mubin, 2013), 25. 6 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Alih bahasa oleh Mu‟ammal Hamidy
(Surabaya: PT Bina Ilmu Surabaya, 2010), 60.
terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. al-Maidah:3)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat diambil keterangan
bahwasannya Allah telah memberi kemampuan kepada manusia khususnya
kepada orang Islam untuk mengukur perkara yang halal dan yang haram
sesuai dengan yang telah ditentukan. Terutama dalam hal makanan karena
apa yang masuk dalam perut kita itu merupakan energi yang dibutuhkan otak
untuk selalu menjaga tingkah laku kita. Dalam uraian ayat di atas dapat
disimpulkan bahwa makanan hewan yang berhubungan dengan
penyembelihan ini, harus diperhatikan betul tentang jenis hewan apa yang
harus disembelihnya, siapa yang menyembelihnya, bagaimana cara
menyembelihnya, serta apa yang dibaca pada saat menyembelih. Oleh karena
itu, diharamkan makan daging binatang yangmatinya karena tercekik,
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, atau yang
disembelih bukan atas nama Allah. Jadi makanan yang tidak disembelih
menurut ajaran Islam sama dengan bangkai, oleh karena itu haram dimakan.7
Penyembelihan menurut bahasa bermakna memotong, adapun
menurut syara‟ ialah menyembelih hewan yang terkendali dan halal
dikonsumsi dengan cara memotong saluran pernafasan dan saluran makanan.
Sedangkan penyembelihan menurut Kamus Dewan berarti perbuatan
menyembelih, atau memotongan.8 Adapun menurut syara‟ ialah
7Yusuf Qordhowi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Diterjemahkan Oleh Tim Kuadran Dari
Halal Wal Haram Fil Islam, (Bandung: Jabal, 2007), 67-68 8Sheikh Othman bin Sheikh Salim, Kamus Dewan (Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1989), Cet. 1, 1154.
menyembelih hewan yang terkendali dan halal dikonsumsi dengan cara
memotong saluran pernafasan dan saluran makanan.9
Sembelihan dalam istilah fiqh disebut dzakāt‟ yang berarti baik atau
suci, dipakai istilah dzakāt untuk sembelihan karena dengan penyembelihan
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara‟. Dalam syar‟i, dzukāt adalah
ungkapan untuk sebuah penumpahan darah yang disertai dengan niat kepada
Allah SWT.10
Sembelihan dalam istilah Fiqh disebut “Dzakaat” yang berarti baik
atau suci. Dipakai istilah dzakaat untuk sembelihan karena dengan
penyembelihan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara‟ akan
menjadikan binatang yang disembelih itu baik,suci dan halal dimakan. Jika
seekor binatangtidak disembelih terlebih dahulu, maka binatang itu tidak
halal dimakan.11
Yang dimaksud dengan sembelih atau penyembelihan hewan
adalah suatu aktifitas, pekerjaan atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan
atau binatang dengan memakai alat bantu atau benda yang tajam ke arah urat
leher dan saluran pernafasan. Dengan kata lain mematikan binatang agar
halal dimakan dengan memotong tenggorokan dan urat nadi pokok di
lehernya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara‟.
Penyembelihan disebut dzakah karena ibahah syar‟iyah (pemubahan
secara syar‟i) dapat menjadikan binatang yang disembelih itu menjadi baik.
9Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Al‟um jilid 1-2 (Jakarta: Pustaka
Azzam,2013), 758. 10
Kamil Musa, Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman, hal. 91 11
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh Jilid I Cet II (Jakarta:
Press , 1983), 505.
Yang dimaksud disini ialah penyembelihan binatang secara syar‟i, karena
sesungguhnya hewan yang halal dimakan tidak boleh dimakan sedikit pun
darinya kecuali disembelih terlebih dahulu, terkecuali ikan dan belalang.
Tujuan penyembelihan yaitu, untuk membedakan apakah binatang
yang telah mati itu halal atau haram dimakan. Binatang yang disembelih
sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara‟ halal dimakan, sedang binatang
yang mati tanpa disembelih atau disembelih tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syara‟, seperti bangkai, binatang yang disembelih
dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya, haram dimakan.12
Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui
pemotongan saluran makanan (mari‟/esophagus), saluran pernafasan/
tenggorokan (ulqū/trachea), dan dua pembuluh darah (wadajain/vena
jugularis dan arteri carotids). Proses penyembelihan dilakukan satu kali dan
secara cepat serta memastikan adanya aliran darah dan/gerakan hewan
sebagai tanda hidupnya hewan (hayah mustaqirrah) dan memastikan matinya
hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut.13
Dan adapun sunah-sunah dalam menyembelih yaitu:
a. Menajamkan alat penyembelih
b. Membaca basmallah (Bismillahirohmaanirrohiim) dan shalawat atas
Nabi SAW
c. Menghadapkan diri dan yang disembelih kearah kiblat
d. Memutuskan kedua urat pada kiri kanan leher mengikuti hukum
12
Ibid, 506. 13
Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal, 707.
(tenggorokan)
e. Menyembelih dipanggal leher
f. Digulingkan ke tulang rusuknya sebelah kiri
Firman Allah SWT:
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah
ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS.
Al-An‟am [6]: 118)
2. Syarat orang yang menyembelih
Penyembelih disyaratkan seorang muslim atau Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani). Khusus untuk Ahli Kitab disyaratkan dia meyakini kaumnya telah
memeluk agama Musa dan Isa sebelum terjadinya perubahan dan
penyimpangan dalam kitab sucinya. Menurut syara‟ ada tiga kelompok yang
boleh dan tidak boleh dalam penyembelihan.14
Kelompok yang disepakati
boleh menyembelih. Para ulama sepakat bahwa orang yang boleh
menyembelih itu memenuhi syarat yaitu sebagai berikut:
a. Islam
b. Laki-laki
c. Balig
d. Berakal sehat
e. Tidak menyia-nyiakan shalat
Sementara itu, sebagaimana standar penyembelih berdasarkan
ketentuan fatwa mui nomor 12 tahun 2009 tentang standar sertifikasi
penyembelihan halal yaitu sebagai berikut;
14
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Dar al-jiil, Cet. ket-3, 1989), 314.
a. Beragama Islam dan sudah akil baligh
b. Memahami tata cara penyembelihan
c. Memiliki keahlian di dalam penyembelihan15
Sembelihan yang disepakati oleh seluruh ulama kehalalan
memakannya adalah sembelihan seorang Muslim laki-laki yang balig dan
berakal serta tidak meninggalkan shalat.16
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat.Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan: “orang yang meninggalkan shalat adalah kafir”, kekafiran yang
menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika
tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat. Maka jika orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, hukum sembelihannya pun menjadi haram.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi‟i mengatakan: “orang yang
meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat
mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi‟ i “diancam hukuman
mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman
ta‟zir, bukan hukuman mati”. Hukum sembelihan dari orang fasik adalah
makruh17
Dalam penyembelihan diwajibkan bahwa penyembelih adalah orang
yang berakal baik ia seorang pria atau seorang wanita, baik muslim atau ahli
kitab. Jika ia tidak memenuhi syarat ini, misalnya seorang pemabuk, atau
orang gila, atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka
sembelihannya dinyatakan tidak halal. Demikian pula sembelihan orang
15
Fatwa Mui No 12 Tahun 2009 Tentang Sertifikasi Penyembelihan Halal, 706. 16
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Ibadah, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2002, 118. 17
Bnu Rusyd, Bidayatul ....., 307.
musyrik penyembah patung, orang zindik, dan orang yang murtad dalam
Islam.18
Syarat-syarat yan disepakati oleh para ulama‟ fiqih rajih, yang harus
dilakukan supaya hewan yang disembelih itu halal, diuraikan sebagai berikut:
a. Muslim Tamyiz
Penyembelihan merupakan salah satu ibadah yang membutuhkan niat
dengan menyebut nama Allah. Karena itu, orang yang menyembelih bisa
berakibat haramnya daging hewan yang disembelihnya. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah penyembelih diutamakan laki-laki, karena dianggap
lebih kuat, tapi sembelihan wanitapun halal.19
b. Ahli Kitab Timbul perselisihan pendapat dikalangan ulama tentang siapa
yang dimaksud ahli kitab, dan apakah Yahudi dan Nasrani masa kini masih
dapat dan wajar disebut ahli kitab, dan apakah selain dari mereka, seperti
penganut agama Budha dan Hindu dapat dimasukan ke dalam ahli kitab
atau tidak.
Imam Syafi„i menyatakan bahwa sembelihan ahli kitab halal, baik
menyebut nama Allah atau tidak, dengan syarat tidak menyebut nama selain
Allah ketika menyembelih dan tidak diperuntukan untuk tempat
peribadatannya.20
Demikian pula imam Hanafi dan Hambali sependapat
dengan imam Syafi„i. Dalam hal ini yang dimaksud ahli kitab oleh imam
Syafi„i, Hambali dan Hanafi adalah ahli kitab pada masa Rasulullah
18
Sayyid Sabit, Fiqih Sunnah 13, diterjermahkan oleh Kamalaudin A. Marzuki dari
Fiqhussunnah, (Bandung: PT. Alma‟arif, 1987), 132 19
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Cet.7, 2006), 1969 20
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6,... 1971
Muhammad SAW, sedangkan imam Malik memandang makruh sembelihan
ahli kitab demi menjaga diri dari sesuatu yang diragukan.21
c. Sadar dan Berakal Sehat Penyembelihan merupakan ibadah yang
disyaratkan dan membutuhkan niat, maksud, dan tujuan. Karena itu, hal
lain yang perlu diperhatikan adalah keadaan orang yang menyembelih saat
melakukan penyembelihan. Penyembelih harus mempunyai akal dan sadar
dengan apa yang dilakukan sebab penyembelihan itu merupakan ibadah
kepada Allah. Hal itu tidak akan nyata bila orang yang menyembelih adalah
orang gila, orang mabuk, atau anak kecil yang belum tamyiz, ketika orang-
orang tersebut malakukan penyembelihan tidak akan tepat pada bagian
leher yang ditentukan oleh syara‟.22
3. Alat penyembelihan
Berdasarkan ketentuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal standar alat penyembelihan yaitu
sebagai berikut:
a. Alat penyembelihan harus tajam
Salah satu syarat penyembelihan adalah penggunaan alat
penyembelihan. Disyaratkan menyembelih dengan alat yang tajam dan
sekiranya mempercepat kematian hewan dan meringankan rasa sakit
hewan tersebut.11 Untuk itu disyaratkan mempertajam alat
penyembelihan supaya dapat mengalirkan darah dengan deras sekali
21
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,... 258 22
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,... 258
sayatan pada leher agar tidak terlalu menyakitkan dan mempercepat
kematian hewan sembelihan.
b. Alat dimaksud bukan kuku, taring/gigi dan juga tulang.
Dilarang menyembelih dengan menggunakan gigi dan kuku, karena
penyembelihan dengan alat tersebut dapat menyakiti binatang, pada
dasarnya gigi dan kuku hanya bersifat mencekik.
Ijmak ulama menetapkan bahwa besi, batu, kayu dan belahan
kayu yang bisa mengalirkan darah dan memutuskan urat-urat leher boleh
dipakai untuk menyembelih.23
Dan segala sesuatu yang tajam dan dapat
memotong boleh dipergunakan untuk menyembelih. Kecuali gigi, tulang
dan kuku manusia atau hewan lainnya. Tidak sah menyembelih dengan
tiga benda ini, baik ia masih melekat atau telah terpisah dari jasad.
Proses penyembelihan hewan yang dapat dikendalikan disyaratkan harus
memutus saluran pernafasan dan saluran makanan. Praktik seperti ini
merupakan cara penyembelihan dalam kondisi normal.
4. Tata cara penyembelihan
Pada dasarnya, penyembelihan merupakan perkara yang ta„abbudi
yang tata cara pelaksanaannya telah ditentukan oleh syara‟. Karena itu, tidak
diperbolehkan menyembelih dengan kehendak hati sendiri. Secara umum,
gambaran tenteng penyembelihan dapat dibedakan kedalam dua bentuk
berdasarkan keadaan hewan yang akan disembelih, yaitu penyembelihan atas
hewan yang dapat disembelih lehernya (maqdur „alaih), dan penyembelihan
23
Ibnu Rusyd, Bidayatul ....., 307.
atas hewan yang tidak dapat disembelih lehernya karena liar (ghair maqdur
„alaih).
Berkenaan dengan keduanya, Fuqoha‟ telah menyepakati bahwa ada
dua macam cara penyembelihan yaitu dengan cara nahr, merupakan
penyembelihan yakni di atas dada dan penyembelihan dengan cara zabh.
a. Maqdur „Alaih
Dalam keadaan maqdur „alaih, hewan dapat disembelih dengan cara
nahr, yaitu penyembelihan yang ditujukan pada bagian pangkal leher di
atas dada dan dengan cara zabh. Zabh merupakan salah satu Tazkiyah.
Tazkiyah merupakan penyembelihan yang ditujukan pada ujung pangkal
leher sehingga dapat melenyapkan nyawa hewan seperti dengan
memburunya. Sedangkan zabh berarti memotong suatu bagian pada leher
hewan yang dapat menyebabkan kematiannya.
Penyembelihan hendaknya dilaksanakan dengan menghadapkan kearah
kiblat yang merupakan arah yang diagungkan. Beberapa tata cara dalam
menyembelih, yaitu:
1) Menyebut nama Allah, Imam Syafi„i menyatakan kehalalan atas
sembelihan dengan menyebut nama Allah, baik karena lupa atau
disengaja. Beliau memandang sunnah menyebut nama Allah atas
sembelihan. Meninggalakn menyebut nama Allah dengan sengaja tidak
mempengaruhi hasil sembelihan selama dilakukan oleh orang yang
mempunyai keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
ليجادلىكم أوليائهم إلى ليىحىن الشياطيه وإن لفسق وإوه عليه الله اسم يذكر لم مما تأكلىا ولا
لمشركىن إوكم أطعتمىهم وإن
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya
perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-
kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu
menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi
orang-orang yang musyrik”. (QS: Al-An'am Ayat: 121)
Jika sengaja tidak menyebut nama Allah padahal ia tidak bisu
dan mampu mengucapkan maka hasil sembelihannya tidak boleh
dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang
lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil
sembelihannya boleh dimakan.24
Allah SWT berfirman sebagai
berikut:
ولا تأكلىا هوا لن يركس اسن اللو عليو وإنو لفسق
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya
perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-
An‟am: 121)
Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam
penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (penyebutan nama Allah
atau basmalah). Sedangkan Imam Asy Syafi‟i dan salah satu pendapat
dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah
(dianjurkan). Mereka beralasan dengan hadits „Aisyah R.A sebagai
berikut:
ا يأتىنا باللحن لا ندزي أذكس اسن اللو إى قىه –صل الله عليو وسلن –أى قىها قالىا للنب
. قالت وكانىا حديث عهد بالكفس« . سوىا عليو أنتن وكلىه » عليو أم لا فقال
“Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan
hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah
ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah
menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ‟Aisyah
24
Yusuf Qardhawi, Tuntas Memahami Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: PT Serambi
Semesta Distribusi, 2017), 91-93.
berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.” (HR.
Bukhari no. 5507)
Namun pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib
tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati.
Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi‟i adalah
untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah
ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini, sebelum
dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih dahulu.
2) Mengasah pisau penyembelihan jauh dari hewan sembelihan.
3) Menjauhkan hewan yang disembalih jauh dari hewan lainnya.
4) Membawa dan membaringkannya dengan lembut dan
menyenangkannya.
5) Hendaknya digulingkan kesebelah rusuk kirinya, agar memudahkan
bagi orang yang menyembelihnya.
6) Kerongkongan dan tenggorokan harus terpotong.25
b. Ghair maqdur „alaih
Berkenaan dengan hewan ghair maqdur „alaih yang terbagi atas hewan
buruan dan hewan ternak yang karena suatu hal menjadi liar dihukumi
sama dengan hewan buruan. Hewan dalam keadaan ini bisa dibunuh
dibagian manapun dari tubuhnya dengan menggunakan benda tajam atau
alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan mempercepat kematiannya.
Ulama fiqih menyepakati bahwa selama masih ada hayyat
mustaqirrahnya, maka hewan tersebut boleh disembelih. Tanda-tanda
hayyat mustaqirrah adalah gerakan yang keras pada hewan setelah
25
Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6, ...1971
diputuskan bagian-bagian tubuhnya disertai dengan memancar dan
mengalirnya darah dengan deras. Jadi, jika penyembelihan dilakukan
secara perlahan dan usaha pemotongan terlalu lamban sehingga ketika
penyembelihan selesai ternyata hewan itu tidak bergerak-gerak lagi berarti
nyawanya yang menetap telah tiada sebelum sempurnanya penyembelihan.
Maka jelaslah hewan itu belum sempat disembelih sudah mati dan halal
dimakan. Jika nyawanya sudah tidak menetap lagi sebelum disembelih,
maka tidak halal dimakan kecuali sebelumnya telah disembelih secara
darurat. Dalam hal ini, mengalirnya darah dari urat leher setelah
pemotongan bukan merupakan petunjuk atas adanya nyawa yang menetap.
Berdasarkan ketentuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal, proses penyembelihan hewan yaitu,
sebagai berikut:
a. Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma
Allah, sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-An'am (6) ayat 118:
Artinya: "Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut
nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada
ayat-ayatnya." (QS. Al-An'am [6]: 118).
b. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui pemotongan
saluran makanan (mari‟/esophagus), saluran pernafasan/tenggorokan
(hulqūm/trachea), dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan
arteri carotids).
c. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali dan secara cepat.
d. Memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda
hidupnya hewan (hayah mustaqirrah).
e. Memastikan matinya hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut.
5. Syarat-syarat penyembelihan
Penyembelihan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat–syarat
berikut:
a. Binatang itu hidup (mustaqirrah) diawal penyembelihannya walaupun
secara dugaan saja. Apabila ada binatang ternak yang jatuh, atau sudah
disembelih lehernya, tetapi belum putus (belum putus dua urat pernafasan
dan makanan) haram hukumnya memakan daging binatang itu dengan
penyembelihan yang kedua kali, karena dianggap menganiaya binatang.
Selain itu binatang yang hendak disembelih adalah binatang yang halal
dimakan, seperti ayam, sapi, kambing dan sebagainya.26
b. Alat penyembelihannya harus tajam yang dapat mengalirkan darah. Haram
memakan daging binatang yang mati terhimpit, mati jatuh, atau ditembak
dengan peluru (bukan berburu), atau disembelih dengan pisau tumpul yang
tidak dapat dikeratkan melainkan semata-mata dengan kekuatan yang
menyembelih.27
c. Menyebut nama Allah. berdasarkan Firman Allah SWT Al–An‟am:121:
26
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi'I (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007),
453. 27
Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi'i, 454.
Artinya: Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang
(ketika di sembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu
benar–benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan–setan akan
membisikan kepada kawan–kawannya agar mereka membantah
kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah
menjadi orang musyrik.28
d. Memotong tenggorokan di bagian bawah jakun (lidah kecil), serta
memotong kerongkongan dan dua urat leher sekaligus.
C. Konsep Pengolahan Hewan (Ayam) setelah disembelih berdasarkan
ketentuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal
Pengolahan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12
Tahun 2009 disebutkan bahwa “Pengolahan adalah proses yang dilakukan
terhadap hewan setelah disembelih, yang meliputi antara lain pengulitan,
pencincangan, dan pemotongan daging”. Dari keterangan tersebut dapat
diketahui bahwa pengolahan adalah proses yang dilakukan setelah hewan
disembelih. Proses tersebut diantaranya adalah pengulitan, pencincangan dan
pemotongan daging jika hewan yang disembelih adalah seperti sapi,
sedangkan untuk ayam atau unggas, maka pengulitan disini yang dimaksud
adalah proses pencabutan bulu.29
Tidak hanya berhenti pada pengulitan, pencincangan dan pemotongan
daging saja yang harus diperhatikan setelah proses penyembelihan,
penyimpanan dan pendistribusian daging tersebut juga harus diperhatikan
untuk menjamin agar daging tetap dalam keadaan baik dan sehat. Dalam
28
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, 143. 29
Ma‟ ruf Amin, dkk., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak1975...., hlm. 747
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 juga dijelaskan
mengenai standar pengolahan hewan setelah disembelih, yaitu:
a. Pengolahan dilakukan setelah hewan dalam keadaan mati oleh sebab
penyembelihan.
b. Hewan yang gagal penyembelihan harus dipisahkan.
c. Penyimpanan dilakukan secara terpisah antara yang halal dan nonhalal.
d. Dalam proses pengiriman daging, harus ada informasi dan jaminan
mengenai status kehalalannya, mulai dari penyiapan (seperti
pengepakan dan pemasukan ke dalam kontainer), pengangkutan (seperti
pengapalan/shipping), hingga penerimaan.
49
BAB III
PRAKTIK PEMOTONGAN AYAM DI RPH “RESTU IBU”
DESA KARANGAN KECAMATAN BALONG
KABUPATEN PONOROGO
A. Gambaran Umum Rumah Potong Ayam Restu Ibu
1. Sejarah Singkat Rumah Potong Ayam Restu Ibu Desa
Karangan Kecamatan Baling Kabupaten Ponorogo
Dimulai dari sang ibu menjual ayam dalam skala kecil, dari
pasar ke Pasar. Mulai dari 2, 5 hingga 30 ekor perhari yang di ikuti
oleh kedua anaknya. Dengan etos kerja yang besar yang berawal
dari penjualan berskala kecil menjadi besar yang berawal dari
jumlah ayam yang sedikit menjadi banyak. Bisnis yang Pak Budi
kelola saat ini dikembangkan oleh satu keluarga tersebut, sehingga
menjadi usaha keluarga hingga saat ini.
Seiring berjalannya waktu, pemasaran dan penjualan
semakin berjalan pesat. Mulai mengenal banyak konsumen baik
dalam jumlah pembelian kecil maupun besar. Dan juga pemesanan
dalam maupun luar kota. Sehingga bapak Budi beserta keluarga
memutuskan untuk mendirikan usaha dirumah, yaitu rumah
pemotongan hewan yag berupa ayam dirumahnya. Rumah potong
ini didirikan pada tahun 2014, dan sudah beroperasi sekitar 5 tahun
yang lalu hingga sekarang. Dengan tenaga karyawan sebanyak 8
orang untuk dipekerjakan sebagai penyembelih dan pengola
daging ayam tersebut dan juga sebagai sopir pengiriman ayam
dalam jumlah besar. RPH ini bertempat di Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Rumah potong hewan
Restu Ibu ini didirikan oleh Bapak Budi sekeluarga.
Usaha Rumah Potong Ayam “Restu Ibu” ini tidak pernah
sepi pembeli atau pemesan, selalu ada pesanan daging ayam baik
dari lingkungan sekitar maupun para pedagang daging ayam.
Berdasarkan hasil wawancara penulis, rumah potong ayam ini bisa
berkembang hingga saat ini berdasarkan usaha, doa dan juga restu
dari ibunda tercinta. Sehingga rumah potong ayam ini diberi nama
“RESTU IBU”. 1
2. Visi Dan Misi
a. Visi
Untuk membangun kesejahteraan dalam keluarga dan untuk
meningkatkan pengembangan SDA dalam hidup.
b. Misi
Terus mengembangkan usaha dibidang peternakan dan juga
pemotongan ayam. Semakin menambah dan menggali potensi
terhadap perkembangan didunia bisnis perdagangan.
3. Struktur organisasi RPH Restu Ibu
1 Wawancara, 22 September, 2019.
Organisasi merupakan salah satu wadah dimana terdapat
sekumpulan orang-orang yang melakukan kerjasama untuk
mencapai suatu tujuan. Jadi struktur organisasi dapat diartikan
sebagai kerangka yang mewujudkan pola tetap dari hubungan
diantara bidang-bidang kerja maupun orang-orang yang
menunjukkan kedudukan dan peranan masing-masing dalam
kerjasama. Rumah potong ayam “Restu Ibu” dalam menjalankan
usahanya membagi peran serta masing - masing personalia dalam
struktur yang jelas dan sistematis sesuai dengan tujuannya masing
- masing agar proses operasionalnya berjalan dengan lancar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di
rumah potong ayam Restu Ibu dapat dikemukakan mengenai
struktur organisasi tersebut yaitu sebagai berikut:2
Pemilik RPH Budi Dan Keluarga
Pengelola Budi
Iswahyudi
Keuangan Iswahyudi
Karyawan Yuli, Arif, Wawan, Surya, Pak
ren, Rizal, Rokhim, dan Si pur.
2 Bapak Budi, Wawancara, 22 September 2019.
Adapun tugas dari masing-masing organisasi diatas yaitu
sebagaiberikut:
a. Pemilik RPH yaitu bertanggung jawab atas semua aspek
operasional RPH, termasuk produk, pemasaran dan keuangan.
b. Pengelola yaitu bertugas Menyusun perencanaan, mengarahkan /
mengendalikan kegiatan, mengkoordinasikan kegiatan,
melaksanakan pengawasan, menentukan kebijaksanaan,
mengadakan rapat mengambil keputusan dan mengatur proses
berjalannya usaha rumah potong ayam restu ibu.
c. Keuangan bertugas untuk membuat pembukuan dan mengatur
keuangan dalam pemasukan dan pengeluaran uang dari hasil
penjualan dan pembelian ayam tersebut.3
d. Karyawan yaitu bertugas sebagai pelaksana usaha, dari mulai
proses penimbangan, pemilihan, pemotongan, pembersihan
hingga sampai daging ayam siap untuk dipasarkan.4
B. Praktik Pemilihan Ayam Di RPH “RESTU IBU” Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Rumah potong ayam Restu Ibu Desa Karangan merupakan
salah satu perusahaan yang menghasilkan daging ayam untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat daerah Balong, Ngrayun, Magetan,
Pacitan dan juga kota lainnya. Pemilik rumah potong ayam
mempunyai alasan selain jiwa wirausaha ada pula bahwa usaha
3 Bapak budi, Wawancara, 22 September 2019.
4 Pak Ren, Wawancara, 10 Januari 2019.
tersebut yang paling tepat dan mempunyai keuntungan yang dapat
diandalkan di masa depan.
Di samping itu, pemasarannya cukup baik serta mendapat
respon baik dari para konsumen. Mengingat harganya yang ekonomis
menjadikannya cepat laku dan penyembelihannya relatif singkat.
“Disini itu banyak para penjual daging ayam. Tetapi masih jarang ada
yang menyediakan tempat penyembelihan. Jadi saya rasa usaha ini
sangat efektif sekali dilingkungan masyarakat sini yang kebutuhan
tentang daging ayam lumayan tinggi”.5
Sebelum melakukan penyembelihan pihak RPH Restu Ibu
sebelumnya sudah melakukan pemesanan kepada para peternak ayam
di wilayah Madiun dan juga yang ada di Ponorogo dan wilayah
sekitarnya untuk distok di rumah. Hal tersebut dipilih karena sudah
berlangganan selain dari pada itu, dengan pertimbangan bahwa
meminimalisir kerugian dan waktu perjalanan yang lama
mengakibatkan kondisi kesehatan ayam menjadi menurun, ayam
menjadi lemas dan stres, dan hal tersebut membuat berat ayam
menjadi berkurang.6
RPH Restu Ibu biasanya melakukan pemesanan ayam dengan
jumlah cukup banyak, kurang lebih setiap harinya mengambil dua
mobil pengangkut ayam atau bisa disebut rak ayam bahkan lebih.
5 Iswahyudi, Wawancara, 24 Desember 2019
6 Bapak Budi, Wawancara, 13 November 2019.
Sedangkan pemesanannya pada peternak tergantung jumlah ayam
yang masih tersisa pada saat sebelum pemesanan. Bisa pada waktu
pagi, siang, ataupun malam hari. Sedangkan pengirimannya dilakukan
sore dan pagi hari sesuai kemampuan peternak ayam atau bisa
mengambil sendiri ketempat peternak. Akan tetapi, biasanya waktu
pengiriman ayam dari peternak ke RPH Restu Ibu Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo kebanyakan pada siang hari.
Proses ayam yang baru datang di siang hari, sampai saat
penyembelihan ayam diturunkan dan di timbang terlebih dahulu per
jenis ayam hingga habis. Karena di RPH ini ada tiga jenis ayam yang
dijual. Yaitu ayam Ras, Induk dan ayam Potong. Kemudian setiap
setelah selesai penimbangan ayam tersebut ditempatkan di dalam
tempat penampungan sementara atau kandangnya masing-masing
untuk di istirahatkan. Sampai waktu tiba ayam untuk disembelih. Bisa
sore ataupun pagi.7
Jadi, ayam yang akan disembelih langsung mengambil dari
kandangnya dan ditimbang sesuai permintaan konsumen. “Ayam yang
datang itu sebelum dimasukkan ke kandang ditimbang terlebih dahulu.
penimbangan dilakukan tergantung waktu kapan ayam tersebut
7 Wawan, Wawancara, 10 Januari 2020.
datang. Jika ingin menyembelih ya tinggal ngambil di kandang dan
ditimbang lali sesuai dengan jumlah pembelian konsumen”.8
Di dalam pemotongan ayam Restu Ibu, bahwa didalam hal
pemilihan hewan sebelum proses penyembelihan, konsumen yang
datang ada yang langsung mengambil sendiri ayam di kandang ada
yang diambilkan oleh petugas rumah potong. Akan tetapi kebanyakan
diambilkan oleh pihak rumah potong. Dengan tujuan agar lebih cepat
lalu ditimbang sesuai permintaan pembeli.9 Setelah ayam sudah
dicabut bulunya di mesin bubut ternyata ayam ada yang kurang sehat.
Seperti bagian sayapnya busuk, luka lebam di badan ayam bahkan
jeroannya busuk. “Jika ada pembeli yang datang biasanya ada yang
mengambil sendiri ada pula yang di ambilkan oleh pihak rumah
potong mbak. Proses pemilihannya ya kita ngambil dari kandangnya
dan kemudian kita timbang sesuai permintaan konsumen”.10
C. Praktik penyembelihan Ayam Di RPH “RESTU IBU” Desa
Karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yakni dari rumah
potong ayam Restu Ibu yang ada di desa Karangan Kecamatan Balong
kabupaten Ponorogo mempunyai cara penyembelihan dan pengolahan
yang hampir sama dengan tempat lain akan tetapi ada pula hal yang
menjadi perbedaan. Terdapat beberapa tahapan yang dilalui untuk
8 Yuli, Wawancara Dan Observasi, 7 Oktober 2019.
9 Observasi, 10 Januari 2020.
10 Pak Ren, Wawancara, 10 Januari 2020.
mendapatkan ayam yang siap dipasarkan oleh konsumen, yaitu
sebagai berikut.
Dalam proses penyembelihanya, Restu Ibu memilki sebanyak
8 karyawan yang setiap harinya mampu menyembelih rata-rata 1,5-2
ton ayam bahkan lebih, tergantung banyak sedikitnya permintaan
pasar. Di dalam pemotongannya Restu Ibu mengunakan teknik
manual. Proses penyembelihan yang terjadi pada rumah potong ayam
Restu Ibu dimulai pada pukul 17:00-20:00 dan 02.00-08.00 WIB.11
Kondisi ayam yang akan disembelih tidak semuanya sehat, terkadang
ayam yang sakit atau cacat ikut disembelih jika dilihat ayam tersebut
masih layak konsumsi dan dicampur bersama dengan ayam yang
benar-benar sehat, Kemudian alat yang digunakan untuk menyembelih
adalah pisau. Dan disembelih dengan sangat cepat. Petugas yang
bertugas menyembelih ada beberapa orang. Tergantung pembelinya,
jika mau menyembelih dan memotong sendiri juga diperbolehkan.12
Adapun tata cara penyembelihan ayam di RPH Restu Ibu
adalah, sebagai berikut:
1. Petugas penyembelih mengambil ayam dari kandangnya terlebih
dahulu dan langsung ditempatkan di timbangan dan ditimbang
sesuai berat yang dipesan.
11
Bapak Budi, Wawancara, 22 September 2019. 12
Observasi, 24 Desember 2019.
2. Petugas penyembelih menghadap satu tong, tempat darah ayam
yang sudah disembelih. Petugas mengambil satu persatu ayam
untuk disembelih, dengan begitu cepat. Dengan memegang leher
setengah di tegakkan ke belakang.
3. Lalu ayam yang sudah disembelih tersebut langsung di letakkan di
dalam tong tempat darah ayam bersama ayam yang lainnya agar
benar-benar ayam tersebut mati. Akan tetapi disini tidak semua
dari ayam tersebut bisa mati, di dalam praktiknya masih ada
beberapa ayam disetiap penyembelihan yang masih belum mati,
hingga akhirnya penyembelih menyembelih kembali ayam
tersebut.
4. Setelah itu ayam dimasukkan kedalam panci yang berisi air panas
selama beberapa detik. Dengan tujuan agar bulu-bulu ayam
tersebut dapat lebih mudah di bubut.
5. Dan setelah ayam di angkat, ayam tersebut dimasukkan kedalam
mesin bubut, hingga bulunya hilang dan bersih. Alat bubut ayam
ini berkapasitas 5 sampai 6 ayam. Dan di RPH ini ada dua mesin
bubut ayam. Dan selanjutnya proses pembersihan atau pencucian.13
“kita dalam hal menyembelihnya tidak orang khusus tukang
menyembelih mbak, kita disini serabutan, jadi ya mana yang
nganggur aja. Kayak tadi ada yam yang belum mati ya kita tinggal
sembelih saja, ya mau gimana lagi. Kan nggak mungkin saya
langsung celupkan ke air yang panas itu. Kasian juga ayamnya
kalau belum mati”.14
13
Observasi, 10 Januari 2020. 14
Budi, Hasil Wawancara, Ponorogo. 23 Januari 2020.
Dari hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 24 Desember
2019 menunjukan, dari banyaknya ayam yang disembelih ternyata ada
beberapa ekor ayam di antaranya yang masih bergerak menunjukkan
kalau ayam tersebut masih hidup, disebabkan penyembelihannya
kurang sempurna sehingga urat nadinya belum terputus. Kemudian
ayam tersebut di sembelih lagi dan langsung dimasukkan ke dalam
bak perendam hingga proses pembubutan bulu oleh mesin pembubut
bulu. Jadi, matinya ayam yang uratnya masih belum terputus
disebabkan karena di sembelih dua kali dan juga direndam ke dalam
air panas.
D. Praktik Pengolahan Ayam di RPH “Restu Ibu” Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Dalam proses ayam yang telah disembelih rumah potong ayam
telah mempunyai mesin pencabut bulu. Mesin bubut bulu ayam,
harganya sekitar 3,5 - 4.5 juta dengan kapasitas 12 kg per menit.
Tujuan pencabutan bulu dengan mesin adalah agar pembersihan dan
pencabutan bulu ayam lebih mengefesienkan waktu dan tenaga
petugas pencabut bulu. Jadi, semua kegiatan penyembelihan bisa
berjalan seekonomis mungkin. Setelah diangkat dari bak perendam
lalu dimasukkan oleh petugas pembubutan ke dalam mesin bubut
untuk dibersihkan bulunya.15
15
Observasi, 23 Desember 2019.
“Ya pasti ada perbedaan antara ayam yang bulunya dicabut
dengan mesin dengan ayam yang bulunya dicabut dengan tangan.
Kalau dilihat dari segi kualitas jelas bagus yang dicabut dengan
tangan, soalnya kalau dicabut dengan mesin kadang tulangnya patah-
patah. Tapi kalau tidak menggunakan mesin ya jadi lama prosesnya.”
Kata pak budi.16
Di sinilah ayam yang belum terputus uratnya pada waktu
penyembelihan terakhir melepaskan nyawanya. Dari proses
pengolahan ayam pasca penyembelihan kemudian dilakukan beberapa
tahapan, yaitu sebagai berikut:
1. Kegiatan Pembersihan
Setelah dilakukan kegiatan penyembelihan dan
pencabutan bulu, maka langkah selanjutnya yang dilakukan oleh
petugas rumah potong ayam dalam proses penyembelihan yaitu
kegiatan pengambilan jeroan. Dari semua ayam yang sudah
bulunya dicabut maka semua juga di potong bagian perut dan
dadanya untuk mengambil jeroannya untuk dibersihkan. Setelah
itu baru semua dilakukan pencucian.17
a. Pencucian pertama
Dalam kegiatan pencucian pertama ini, petugas pencuci
melakukan pencucian terhadap daging ayam yang
dimasukkan ke dalam bak dan disiram air panas untuk
membersihkan darah-darah yang ada ditubuh ayam. Dan juga
pencucian usus ayam, untuk membersikhan kotoran ayam.
16
Bapak Budi, Wawancara, 22 September 2019. 17
Observasi, 10 Januari 2020
b. Pencucian Kedua
Dalam kegiatan pencucian kedua ini, daging ayam
dimasukkan ke bak lagi dan direndam lalu dicuci dengan air
bersih. Adapun kegunaannya adalah untuk menjaga
kebersihan dan kesegaran daging ayam.18
2. Kegiatan pengepakan (Packing)
Dalam kegiatan pengepakan (packing) ini, petugas hanya
memasukkan daging ayam sesuai dengan pesanan atau perrmintaan
pasar tradisional. Namun demikian ayam yang akan dipacking
tidak dipisahkan antara daging ayam yang berasal dari ayam sehat
atau cacat dan tidak. “proses selanjutnya ya seperti biasa
dimasukkan dalam kantong plastik sesuai dengan pesanan. Tidak
ada yang dipisahkan dari hasil ayam yang benar-benar mati saat
disembelih ataupun ayam yang disembelih dua kali. Ya untuk
mempermudah mbawanya mbak dan juga mempersingkat
waktunya”. 19
Keadaan Ayam yang dipacking ada ayam yang masih utuh dan
juga ada yang sudah dipotong. Selanjutnya langsung dibawa oleh
pemesannya ataupun bisa diantarkan.20
18
Observasi, 10 Januari 2020 19
Pak Budi, Wawancara, 24 Desember 2019. 20
Observasi, 24 desember 2019.
61
BAB IV
ANALISIS FATWA MUI NOMOR 12 TAHUN 2009
TENTANG STANDAR SERTIFIKASI PENYEMBELIHAN HALAL
TERHADAP PEMOTONGAN AYAM DI RPH “RESTU IBU”
DESA KARANGAN KECAMATAN BALONG KABUPATEN PONOROGO
A. Analisis Proses Pemilihan Hewan di RPH “Restu Ibu” Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Di dalam penyembelihan harus memperhatikan standar hewan
yang akan di sembelih. Penyembelihan yang dilakukan terhadap hewan
yang halal dimakan dimaksudkan untuk mensucikan hewan dari najis
sehingga menjadikannya halal untuk dimakan. Hewan yang disembelih
merupakan hewan yang halal dimakan, di bawah ini adalah keadaan hewan
yang harus disembelih, diantaranya yaitu:
1. Hewan yang halal dimakan, baik yang ada di darat, udara, maupun
yang ada di laut, seperti kambing, kerbau, sapi, unta, ayam,
burung, ikan dan lain sebagainya.
2. Hewan maqdur „alaih, Ulama‟ Fiqih sepakat bahwa hewan darat
apabila keadaannya maqdur „alaih dan hidupnya belum putus
serta disembelih dengan ketentuan syara„ maka halal untuk dimakan.
3. Hewan yang dicekik, dipukul, jatuh, atau diterkam dan diketahui
adanya hayyat mustaqirrah pada hewan itu dan tidak sampai
mati, jika hewan itu dibiarkan tidak disembelih tentu hewan itu
hidup menurut dugaan yang kuat, dan hewan itu disembelih maka
halal untuk dimakan.
4. Hewan ghair maqdur „alaih, seperti menjadi liar sesudah
dijinakkan, jatuh ke dalam sumur, atau sepertinya jika dilukai bagian
manapun dari tubuhnya dan dianggap sebagai tempat untuk
menyembelihnya maka halal untuk dimakan.
5. Hewan yang hampir mati, disebabkan sakit dan berada dalam
keadaan hidupnya yang paling minim lalu disembelih, maka hewan itu
halal dimakan.1
Di dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standart
Sertifikasi Penyembelihan Halal, disebutkan bahwa di dalam ketentuan
hukum standart hewan yang disembelih, sebagai berikut:
1. Hewan yang disembelih adalah hewan yang boleh dimakan.
2. Hewan harus dalam keadaan hidup ketika disembelih.
3. Kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang
ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
Dari fatwa di atas dapat diketahui bahwa, hewan yang disembelih
adalah hewan yang boleh dan baik dimakan, dan juga sebelum disembelih
hewan harus dipastikan benar-benar hidup. Selain dari pada itu kondisi
hewan harus benar-benar sehat.2
Di dalam praktiknya pemotongan ayam Restu Ibu tersebut,
bahwa didalam hal pemilihan hewan sebelum proses penyembelihan,
1 Yusuf Qordhowi, Halal Dan Haram Dalam Islam, Diterjemahkan Oleh Tim Kuadran
Dari Halal Wal Haram Fil Islam, (Bandung: Jabal, 2007), 67-68.
2 Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal, 707.
konsumen sudah diberikan pilihan didalam memilih ayam.
Bisa memilih ayam sendiri atau diambilkan, akan tetapi
terkadang juga disaat pembeli mengambil sendiri ayam didalam
kandangnya juga dibantu oleh petugas rumah potong ayam Restu Ibu
tersebut untuk lebih cepatnya lalu ditimbang sesuai permintaan
pembeli.3 Setelah ayam sudah disembelih dan sudah dibersihkan
ternyata ada beberapa hewan yang ternyata kurang sehat. Karena
disebabkan tidak adanyanya pengecekan terlebih dahulu oleh pihak
karyawan tersebut.
Sehingga dari praktik pemilihan ayam di rumah potong hewan
Restu Ibu tersebut sudah memenuhi standar hewan pada poin satu dan
dua di atas. Yaitu yang disembelih hewan yang diperbolehkan yaitu
ayam. Dan di dalam pra penyembelihan ayam tersebut masih dalam
keadaan hidup. Akan tetapi dalam standar kesehatan hewan yang di
sembelih, rumah potong ini masih belum sesuai dengan ketentuan pada
poin tiga, karena di dalam praktiknya ternyata masih ada ayam yang
kurang sehat dan tidak layak konsumsi seperti tulangnya patah, bahkan
jeroannya membusuk dan dagingnya hitam lebam. Jadi, Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Fatwa MUI Nomor 12
Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan halal.
3 Observasi, 10 Januari 2020.
64
Dalam hal pemilihan hewan tersebut ada yang sudah sesuai dengan
Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal yaitu hewan yang di sembelih adalah hewan yang
halal dan boleh dimakan dan di dalam pra penyembelihan hewan
tersebut masih dalam keadaan hidup. Dan dalam hal pemilihan hewan
tersebut berdasarkan ketentuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009
Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal ada juga yang belum
sesuai, yaitu dalam kesehatan hewan masih belum terpenuhi.
B. Analisis Proses Penyembelihan Ayam Di RPH “Restu Ibu” Desa
Karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Di keluarkannya Fatwa MUI Nomor 12 tahun 2009 Tentang
Standart Sertifikasi Penyembelihan Halal, diharapkan mampu menjadi
acuan untuk memberikan jawaban dan solusi yang dihadapi oleh umat
muslim khususnya dalam bidang standart kehalalan pangan.93
Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui pemotongan
saluran makanan (mari‟/esophagus), saluran pernafasan/ tenggorokan
(ulqū/trachea), dan dua pembuluh darah (wadajain/vena jugularis dan
arteri carotids). Proses penyembelihan dilakukan satu kali dan secara
cepat serta memastikan adanya aliran darah dan/gerakan hewan sebagai
tanda hidupnya hewan (hayah mustaqirrah) dan memastikan matinya
hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut. Pada dasarnya,
penyembelihan merupakan perkara yang ta‟abbudi yang tata cara
93
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011),
215.
65
pelaksanaannya telah ditentukan oleh syara‟. Karena itu, tidak
diperbolehkan menyembelih dengan kehendak hati sendiri. Secara umum,
gambaran tentang penyembelihan dapat dibedakan kedalam dua bentuk
berdasarkan keadaan hewan yang akan disembelih, yaitu penyembelihan
atas hewan yang dapat disembelih lehernya (maqdur „alaih), dan
penyembelihan atas hewan yang tidak dapat disembelih lehernya karena
liar (ghair maqdur „alaih).
Berkenaan dengan keduanya, Fuqoha‟ telah menyepakati bahwa
ada dua macam cara penyembelihan yaitu dengan cara nahr, merupakan
penyembelihan yakni di atas dada dan penyembelihan dengan cara zabh.
1. Maqdur „Alaih
Dalam keadaan maqdur „alaih, hewan dapat disembelih dengan
cara nahr, yaitu penyembelihan yang ditujukan pada bagian pangkal
leher di atas dada dan dengan cara zabh. Zabh merupakan salah satu
Tazkiyah. Tazkiyah merupakan penyembelihan yang ditujukan pada
ujung pangkal leher sehingga dapat melenyapkan nyawa hewan seperti
dengan memburunya. Sedangkan zabh berarti memotong suatu bagian
pada leher hewan yang dapat menyebabkan kematiannya.
Penyembelihan hendaknya dilaksanakan dengan menghadapkan
kearah kiblat yang merupakan arah yang diagungkan. Beberapa tata
cara dalam menyembelih, yaitu:
a. Menyebut nama Allah, Imam Syafi„i menyatakan kehalalan atas
sembelihan dengan menyebut nama Allah, baik karena lupa atau
66
disengaja. Beliau memandang sunnah menyebut nama Allah atas
sembelihan. Meninggalakn menyebut nama Allah dengan sengaja
tidak mempengaruhi hasil sembelihan selama dilakukan oleh orang
yang mempunyai keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
أوليائهم إلى ليىحىن الشياطيه وإن لفسق وإوه عليه الله اسم يذكر لم مما تأكلىا ولا
لمشركىن إوكم أطعتمىهم وإن ليجادلىكم
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan
kepada kawan-kawannya agar mereka membantah
kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya
kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.
(QS: Al-An'am Ayat: 121)
Jika sengaja tidak menyebut nama Allah padahal ia tidak
bisu dan mampu mengucapkan maka hasil sembelihannya tidak
boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan
bagi yang lupa untuk menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka
hasil sembelihannya boleh dimakan.94
Allah SWT berfirman
sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya
perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS.
Al-An‟am: 121)
94
Yusuf Qardhawi, Tuntas Memahami Halal dan Haram dalam Islam, (Jakarta: PT
Serambi Semesta Distribusi, 2017), 91-93.
67
Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu
dalam penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (penyebutan
nama Allah atau basmalah). Sedangkan Imam Asy Syafi‟i dan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa hukum
tasmiyah adalah sunnah (dianjurkan). Mereka beralasan dengan
hadits „Aisyah R.A sebagai berikut:
إى قىها يأتىنا باللحن لا ندزي أذكس اسن –يو وسلن صل الله عل –أى قىها قالىا للنب
. قالت وكانىا حديث عهد بالكفس« . سوىا عليو أنتن وكلىه » اللو عليو أم لا فقال
“Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam, “Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan
hasil sembelihan. Kami tidak tahu apakah itu disebut nama
Allah ataukah tidak. Nabi SAW mengatakan, “Kalian hendaklah
menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ‟Aisyah
berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk
Islam.” (HR. Bukhari no. 5507)
Namun pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan
wajib tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-
hati. Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi‟i
adalah untuk sembelihan yang masih diragukan disebut nama
Allah ataukah tidak. Maka untuk sembelihan semacam ini,
sebelum dimakan, hendaklah disebut nama Allah terlebih
dahulu.
b. Mengasah pisau penyembelihan jauh dari hewan sembelihan.
c. Menjauhkan hewan yang disembalih jauh dari hewan lainnya.
68
d. Membawa dan membaringkannya dengan lembut dan
menyenangkannya.
e. Hendaknya digulingkan kesebelah rusuk kirinya, agar
memudahkan bagi orang yang menyembelihnya.
f. Kerongkongan dan tenggorokan harus terpotong.95
2. Ghair maqdur „alaih
Berkenaan dengan hewan ghair maqdur „alaih yang terbagi atas
hewan buruan dan hewan ternak yang karena suatu hal menjadi liar
dihukumi sama dengan hewan buruan. Hewan dalam keadaan ini bisa
dibunuh dibagian manapun dari tubuhnya dengan menggunakan benda
tajam atau alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan
mempercepat kematiannya. Ulama fiqih menyepakati bahwa selama
masih ada hayyat mustaqirrahnya, maka hewan tersebut boleh
disembelih. Tanda-tanda hayyat mustaqirrah adalah gerakan yang
keras pada hewan setelah diputuskan bagian-bagian tubuhnya disertai
dengan memancar dan mengalirnya darah dengan deras. Jadi, jika
penyembelihan dilakukan secara perlahan dan usaha pemotongan
terlalu lamban sehingga ketika penyembelihan selesai ternyata hewan
itu tidak bergerak-gerak lagi berarti nyawanya yang menetap telah
tiada sebelum sempurnanya penyembelihan. Maka jelaslah hewan itu
belum sempat disembelih sudah mati dan halal dimakan. Jika
nyawanya sudah tidak menetap lagi sebelum disembelih, maka tidak
95
Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6, ...1971
69
halal dimakan kecuali sebelumnya telah disembelih secara darurat.
Dalam hal ini, mengalirnya darah dari urat leher setelah pemotongan
bukan merupakan petunjuk atas adanya nyawa yang menetap.
Dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal. Menyebutkan ketentuan Hukum
didalam standart Proses penyembelihan harus memenuhi standart
sebagai berikut:
1. Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan
menyebut atas nama-Nya.
2. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui
pemotongan saluran makanan (mari'), saluran pernafasan atau
tenggorokan (hulqum), dan dua pembuluh darah (vena dan arteri).
3. Pembelihan dilakukan satu kali dan secara cepat.
4. Memastikan adanya aliran darah atau gerakan hewan sebagai tanda
hidupnya hewan.
5. Memastikanmatinya hewan disebabkan oleh penyembelihan hewan
tersebut.96
Rumah potong hewan dalam hal ini menjadi target utama.
Pihak yang harus benar-benar menerapkan fatwa MUI tersebut.
Termasuk rumah potong ayam juga harus bersertifikasi halal.
Sertifikasi halal pada rumah potong ayam sangat diperlukan sebagai
jaminan bahwa daging ayam yang akan dikonsumsi oleh konsumen
96
Ma‟ruf Amin Dkk, mpunanHi Fatwa Indonesia Sejak 1975 (Edisi Baru) (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2015), 846.
70
telah benar-benar halal dan baik.
Pelaksanaan pemotongan ayam di Rumah potong hewan Restu
Ibu masih menggunakan cara tradisional dengan menggunakan
peralatan pisau tajam. Sebelum proses penyembelihan petugas
penyembelih atau karyawan selalu memastikan bahwa pisau yang akan
digunakan memang benar-benar tajam, dengan cara selalu
mengasahnya sebelum digunakan.97
Jika dilihat dari segi proses
penyembelihan hal tersebut merupakan tindakan yang memang harus
dilakukan oleh seorang penyembelih. Guna meminimalisir rasa sakit
hewan sampai mencegah tindakan penyiksaan hewan ketika proses
penyembelihan dan juga mempercepat proses penyembelihan.
Dalam hal ini sebelum ayam disembelih, petugas penyembelih
memegang leher ayam yang kemudian dihadapkan kebelakang, untuk
mempermudah dalam penyembelihan yang dapat menyebabkan rasa
sakit pada hewan yang akan disembelih. Disini proses penyembelihan
sangat cepat dan terlihat sudah mahir didalam hal penyembelihan.
Namun setelah proses penyembelihan berlangsung ayam yang sudah
disembelih langsung dilempar pada tong yang berfungsi sebagai
penampungan darah dan juga ruang bergeraknya hewan ketika sekarat
setelah disembelih.98
Selanjutnya setelah itu ayam ketika akan di celupkan kedalam
97
Observasi, 24 Desember 2019. 98
Observasi, 23 Desember 2019.
71
air panas, ternyata masih ada beberapa hewan yang belum mati dengan
sempurna bahkan uratnya ada yang belum terputus. Sehingga ayam-
ayam tersebut disembelih yang kedua kalinya dan dibiarkan sampai
ayam tersebut benar- benar mati. Pada proses ini perlu diperhatikan
agar penyembelihan benar-benar memutus uratnya agar ayam tersebut
benar-benar mati karena penyembelihan.
Dari uraian di atas dapat di analisa bahwa Rumah Potong
Hewan Restu Ibu tersebut melakukan tindakan penyembelihan sudah
sesuai dengan ketentuan dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009
Tentang Standart Sertifikasi Penyembelihan Halal pada poin d, yang
disebutkan di dalam standart proses penyembelihan bahwa,
memastikan adanya aliran darah atau gerakan hewan sebagai tanda
hidupnya hewan. Dan di dalam penyembelihannya rumah potong ini
ada beberapa hewan yang dilakukan dua kali penyembelihan karena
disebabkan oleh tidak diperiksannya atau tidak memastikan ayam
setelah di sembelih. Sedangkan di dalam Fatwa MUI No 12 Tahun
2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal sudah
disebutkan bahwa penyembelihan harus dilakukan satu kali dan secara
cepat. Dan juga pada poin b bagian standar proses penyembelihan
disebutkan bahwa, penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan
darah melalui pemotongan saluran makanan (mari'), saluran
pernafasan atau tenggorokan (hulqum), dan dua pembuluh darah (vena
72
dan arteri).99
Hanya saja setelah penyembelihan, penyembelih tidak
memastikan ayam tersebut benar-benar mati setelah disembelih satu
kali dan dengan cepat ayam langsung ditaruh pada bak penampungan.
Setelah penulis telusuri apakah ayam tersebut disembelih dengan cara
yang benar sebagaimana fatwa diatas, penulis menemukan bahwa hasil
dari penyembelihannya dipangkal leher masih ada nadi yang belum
terpotong. Sehingga ayam susah untuk mati.100
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ketentuan
Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal, pemotongan ayam di Rumah Potong Hewan
Restu Ibu Desa karangan Kecamatan Balong kabupaten Ponorogo ini
ada yang sudah sesuai dan juga belum sesuai. Yang sudah sesuai
dengan ketentuan fatwa di atas yaitu penyembelih menyebut nama
Allah SWT atau berniat sebelum menyemnbelih, penyembelih
melakukan penyembelihan dengan mengalirkan darah melalui
pemotongan saluran makanan (mari'), saluran pernafasan atau
tenggorokan (hulqum), dan dua pembuluh darah (vena dan arteri). Dan
yang belum sesuai dengan ketentuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun
2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal yaitu ada
beberapa hewan yang penyembelihannya dilakukan dua kali, karena
pihak penyembelih tidak memastikan bahwa ayam tersebut benar-benar
99
Emir, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 Edisi Baru (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2015), 846. 100
Observasi, 18 Februari 2020.
73
mati oleh sebab penyembelihan.
C. Analisis Proses Pengolahan Ayam Di RPH “Restu Ibu” Desa
Karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo
Berkaitan dengan proses pengolahan hewan sembelihan telah
disebutkan dalam Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal, dalam ketentuan hukumnya
menyebutkan bahwa :
1. Pengolahan dilakukan setelah hewan dalam keadaan mati oleh sebab
penyembelihan.
2. Hewan yang gagal penyembelihan harus dipisahkan.
3. Penyimpanan dilakukan secara terpisah antara yang halal dan
nonhalal.
4. Dalam proses pengiriman daging, harus ada informasi dan jaminan
mengenai status kehalalannya, mulai dari penyiapan (seperti
pengepakan dan pemasukan kedalam kontainer), pengangkutan
(seperti pengapalan atau shipping), hingga penerimaan.101
Dari fatwa diatas dapat diketahui bahwa setelah proses
penyembelihan ayam, harus dibedakan antara ayam yang gagal
disembelih dan ayam yang berhasil disembelih.. Kemudian harus diolah
secara terpisah karena termasuk barang nonhalal. Namun dipemotongan
ayam Restu Ibu tersebut, setelah penulis melakukan observasi, tidak ada
pemisahan antara ayam yang gagal disembelih dan ayam yang berhasil
101
Ma‟ruf Amin, dkk., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.hlm 747.
74
disembelih. Hal tersebut terlihat dari pasca penyembelihan, ayam
langsung dijadikan satu pada bak penampungan darah untuk selanjutnya
diolah. Karena hasil penyembelihan yang tidak sempurna atau gagal
disembelih pada proses penyembelihan tidak dipisahkan sehingga tidak
ada kejelasan antara ayam yang gagal disembelih yang menjadi haram
untuk dimakan dengan ayam yang berhasil disembelih seperti yang
telah disebutkan diatas.
Selanjutnya dalam tahap pengolahan yaitu perendaman,
pengeluaran jeroan, pencucian dan persiapan pemasaran harus
dilakukan di tempat yang bersih dan terpisah, karena persyaratan utama
sebuah bangunan rumah potong ayam harus dibedakan antara daerah
kotor dan daerah bersih. Menurut Standar Nasional Indonesia, daerah
kotor adalah daerah dengan tingkat pencemaran bologik, kimiawi dan
fisik tinggi, sedangkan daerah bersih adalah daerah yang tingkat
pencemaran biologik, kimiawi dan fisik yang rendah.102
Dalam hal ini, rumah potong hewan Restu Ibu Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo tersebut, setelah penulis
melakukan observasi di pemotongan ayam tersebut belum memisahkan
daerah atau ruang kotor dengan daerah atau ruang bersih dalam proses
penyembelihan ayam, hal ini karena rumah potong ayam tidak
mempunyai lahan yang cukup bagi sebuah rumah potong ayam dalam
102
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6160-1999 Rumah
Pemotongan Unggas.
75
pengembangannya. Sehingga rumah potong ayam tersebut dalam
melakukan proses pemotongan ayam dalam masih satu ruangan, yaitu
tempat penyembelihan bersatu dengan proses perendaman, pencabutan
bulu, pencucian, pengeluaran jeroan, dan proses-proses lain. Selain itu,
hasil penyembelihan yang tidak sempurna atau gagal disembelih pada
proses penyembelihan tidak dipisahkan sehingga tidak ada kejelasan
antara ayam yang gagal disembelih yang menjadi haram untuk dimakan
dengan ayam yang berhasil disembelih seperti yang telah disebutkan
diatas.
berdasarkan dalam buku panduan Auditor Internal Halal juga
disebutkan mengenai pemprosesan dan pengendalian dalam
penyembelihan hewan, yaitu:
1. Binatang yang diproses hendaklah dipastikan benar-benar halal.
2. Pabrik yang menmproses sembelihan halal tidak bercampur dengan
sembelihan tidak halal.
3. Pemrosesan, pembungkusan, penyimpanan, dan pengangkutan
hendaklah tidak bercampur dengan yang haram.103
Dari uraian diatas berdasarkan ketentuan Fatwa MUI No 12
Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi penyembelihan Halal di dalam
praktik pengolahan ayam pasca penyembelihan belum sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam fatwa tersebut. Karena dalam
103
Tsin Zuyyina Zarkasi, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Melalui Sertifikasi
Halal Rumah Potong Hewan (RPH) Di Pulau Lombok, (Mataram: 2014).
76
praktik pengolahan ayam pasca sembelihan tersebut, tidak ada
pemisahan antara ayam yang benar-benar mati oleh sebab
penyembelihan dan hewan yang gagal penyembelihan dan masih
dicampur dalam satu wadah. Sehingga tidak ada kejelasan antara mana
ayam yang halal untuk dikonsumsi dan mana ayam yang tidak harus
dikonsumsi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
77
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan ketentuan Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Sstandar
Sertifikasi Penyembelihan Hahal, bahwa rumah potong ayam Restu Ibu
Desa karangan Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo dalam pemilihan
hewan tersebut ada yang sudah sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 12
Tahun 2009 Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal yaitu hewan
yang di sembelih adalah hewan yang halal dan boleh dimakan dan di
dalam pra penyembelihan hewan tersebut masih dalam keadaan hidup.
Dan ada juga yang belum sesuai, yaitu dalam standar kesehatan hewan
masih belum terpenuhi.
2. Berdasarkan kententuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal, pemotongan ayam di Rumah
Potong Hewan Restu Ibu Desa karangan Kecamatan Balong ini ada yang
sudah sesuai dan juga belum sesuai dengan ketentuan fatwa tersebut. Yaitu
yang sudah sesuai dengan ketentuan fatwa di atas yaitu penyembelih
menyebut nama Allah SWT atau berniat sebelum menyembelih,
penyembelih melakukan penyembelihan dengan mengalirkan darah
melalui pemotongan saluran makanan (mari'), saluran pernafasan atau
tenggorokan (hulqum), dan dua pembuluh darah (vena dan arteri). Dan
yang belum sesuai dengan ketentuan Fatwa MUI Nomor 12 Tahun 2009
Tentang Standar Sertifikasi Penyembelihan Halal yaitu ada beberapa
hewan yang penyembelihannya dilakukan dua kali, karena pihak
penyembelih tidak memastikan bahwa ayam tersebut benar-benar mati
78
oleh sebab penyembelihan.
3. Berdasarkan kententuan Fatwa MUI No 12 Tahun 2009 Tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal. praktik pengolahan ayam pasca
penyembelihan belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di
dalam fatwa tersebut. Karena dalam praktik pengolahan ayam pasca
sembelihan tersebut, tidak ada pemisahan antara ayam yang benar-benar
mati oleh sebab penyembelihan dan hewan yang gagal penyembelihan dan
masih dicampur dalam satu wadah. Sehingga tidak ada kejelasan antara
mana ayam yang halal untuk dikonsumsi dan mana ayam yang tidak harus
dikonsumsi.
B. Saran
1. Lebih baiknya pihak Rumah Potong Hewan Restu Ibu Desa Karangan
Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo lebih memperhatikan dan
lebih hati-hati di dalam melakukan proses penyembelihan dan juga
proses pengolahannya. Dan juga harus lebih diperhatikan lagi kwalitas
kesehatan ayam tersebut. Usahakan antara kententuan syariat islam di
terapkan di dalam proses usaha rumah potong hewan ini. Agar hasil
dari pada ayam yang telah disembelih menjadi halal dan baik untuk
dikonsumsi.
2. Perlu diperhatikan kembali kepada para pedagang ayam khususnya,
masyarakat sekitar dan konsumen lainnya untuk lebih berhati-hati di
dalam memilih tempat pemotongan ayamdan juga harus lebih jeli di
dalam memilih daging ayam.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Imam Syafi‟i. Al‟um Buku 1 jilid 1-2.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2013.
Amin, Ma‟ruf. HimpunanFatwa Indonesia Sejak 1975 (Edisi Baru). Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2015.
Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Elsas, 2008.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 4. Damaskus: Darul
Fikr, 2007.
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6160-
1999 Rumah Pemotongan Unggas.
Barkan, Riadi. “Proses Penyembelihan Hewan dengan Metode stunning
dalam Perspektif Hukum Islam”.Skripsi. Jakarta: Fak. Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
Bin Shalih Al Utsaimin, Muhammad. Tata cara Qurban Tuntunan Nabi.
Jogjakarta:Media Hidayah, 2003.
Budi, Wawancara, 22 September 2019.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur‟an dan Terjemahannya.
Jakarta Timur: Pustaka Al-Mubin, 2013.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Ilmu Fiqh Jilid I Cet
II. Jakarta: Press , 1983.
Dwi, Astuti. Wiwik. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Jual Beli
Ayam Dirumah Potong Hewan Hidayah Ponorogo”. Skripsi.
Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2016.
Emir. Himpunan Fatwa Mui Sejak 1975 Edisi Baru. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2015.
Eva, Wawancara, 10 Agustus 2019.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 12 Tahun 2009 Tentang Standar
Sertifikasi Penyembelihan Halal.
Hanijito, Soemitro. Roni. Metodologi Penelitian Hukum, cet, Ke-2. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1993.
Hasan Saiful Rizal. “Prespektif Fiqih Muamalah Terhadap Praktik Jual Beli
Ayam Potong Di Desa Ginuk Kecamatan Karas Kabupaten Magetan”.
Skripsi. Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2014.
Huda, Qomarul. Fikih Muamalah. Yogyakarta: Teras, 2011.
Hujjah. “Majalah Fikih Islam”, Stunning Pemingsanan Hewan Sebelum
Disembelih. 6 Juni 2015. http://www.hujjah.net/2015/06/06/stunning-
pemingsanan-hewan-sebelum-disembelih/. 11 September 2019.
Ibnu Mas'ud. Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi'I. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007.
Ichwan Sam. Dkk. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah DSN-MUI. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2014.
Khsan Dwitama. Proses S tunning.
https://www.academia.edu/9065468/Stunning_Process. 29 agustus
2019.
Mardani. Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama,
2011.
Misri Singarimbun. Sofyan Efendi. Metode Penelitian Survey. Jakarta:
LP3IES, 1982.
Moloeng, Lexy J. metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Mudzhar, Atho. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dalam Perspektif
Hukum Dan Perundang-Undangan. Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
Musa,Kamil. Ensiklopedia Halal Haram dalam Makanan dan Minuman.
Solo: Ziyad Visi Media, 2006.
Mustofa, Yaqub. Ali Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat dan
Kosmetika Menurut Al-Quran dan Hadists. Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 2009.
Othman bin. Sheikh. Salim, Sheikh. Kamus Dewan cet 1. Selangor: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1989.
Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram dalam Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu
Surabaya, 2010.
Salma, Yeni. Barlinti. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam
Sistem Hukum Nasional Di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Dan
Diklat Kemenag RI, 2010.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitati.
fYogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Sugiono. Kedudukan Fatwa Dalam Islam,
Http//Muhammadsugionowordpress.Com, Diakses Pada Tanggal 21
Agustus 2019.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Sumar‟in. Konsep Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fikih Jilid ll. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grop, 2011.
Thohir, Mudjaharin. Memahami Kebudayaan, Teori, Metodologi, dan
Aplikasi. Semarang: Fasindo Press, 2007.
Yuli, Wawancara Dan Observasi, 7 Oktober 2019.
Zuhaili, Wahbah Fiqih Imam Syafi‟i. Jakarta Timur: Almahira, 2010.
Zuyyina, Zarkasi. Tsin. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Melalui
Sertifikasi Halal Rumah Potong Hewan (RPH) Di Pulau Lombok.
Mataram: 2014.