HAK pilih TNI

15
Bahan mosi hak pilih militer dalam pemilu HAK pilih TNI kembali mewacana ke publik sepekan ke belakang, sekaligus menuai kontrovesi pro dan kontra. Di saat Indonesia membangun kembali tatanan berdemokrasi pasca-Orde Baru menuju reformasi di aspek mendorong tata kelola pemerintahan. Tak terelakan agenda tersebut menjadi prioritas yang harus dijadikan gerakan politik bersama. Berangkat dari polemik itu, memunculkan tanda tanya besar. Apakah yang melatarbelakanginya? Bagaimana dengan reformasi di institusi TNI yang telah berjalan? Atau ini muncul dari dorongan kelompok tertentu yang memiliki tujuan mempertahankan kekuasaannya. Max Weber mengatakan, monopoli kekerasan berada dalam tangan Negara. Pada dasarnya monopoli kekerasan itu dijalankan oleh tentara suatu bangsa. Selanjutnya S. E. Finer, pengamat militer terkemuka, kehadiran militer atau intervensi militer dalam dunia politik, memiliki model-model intervensi. Ia mengklasifikasikan menjadi 6 (enam) model. Pertama, melalui saluran konstitusional yang resmi, kedua, kolusi dan kompetisi dengan otoritas sipil, ketiga, intimidasi terhadap otoritas sipil, keempat, ancaman non kooperasi dengan, atau kekerasan terhadap otoritas sipil, kelima, kegagalan untuk mempertahankan otoritas sipil menentang kekerasan, dan keenam, penggunaan kekerasan terhadap otoritas sipil. Selain itu Todung Mulya Lubis (Military Without Militarism:167, 2001), berpendapat jika militer telah melakukan intervensi politik, mereka kemudian melakukan peran- peran politik seperti konsolidasi kekuasaan mempromosikan integrasi nasional membangun institusi politik dan menjadi broker politik. Proses transisi demokrasi yang diinisiasi oleh Jenderal Erneste Geisel di tahun 1974 antara lain dilakukan dengan mencabut hak anggota militer Brasil untuk menggunakan hak pilihnya sejak pemilu 1978. Penyebab utama yang melatarbelakangi pencabutan hak pilih tentaranya di negara- negara tersebut, dikarenakan sejarah intervensi militer dalam sistem politik negara tersebut. Institusi TNI didesain untuk mempertahankan gangguan keamanan dari ancaman pihak luar atas kedaulatan Negara dan keutuhan wilayah Indonesia. Hal itu diperkuat atas ketetapan MPR No VII/MPR/2004, pasal 5 menyebutkan, Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Selanjutnya dipertegas lagi pada ketetapan UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) di dalam memperjelas peran, tugas pokok, dan fungsi TNI. Menjalankan mandatnya itu TNI membutuhkan kesolidan yang terarah dan terkoordinasi dengan jelas. Bagi saya, bila hak pilih itu direaliasasikan berakibat kendornya (melemahnya) mandat TNI yang tertuang dalam UU 34 tersebut. Kalau dibenturkan dengan pemikiran hak pilih TNI sebagai hak asasi manusia (HAM). Itu benar, akan tetapi yang harus dipahami yaitu TNI adalah institusi khusus dan berbeda. Di sisi lain kemunculan ide hak pilih TNI menunjukan kemunduran reformasi institusi itu sendiri. Intervensi politik ini menjadi indikasi bahwa institusi militer gagal mengembangkan karakter profesionalismenya. Sedang itu rangkaian di dalam reformasi keamanan. Dikhwatirkan berefek perpecahan di internal TNI. Bagi

Transcript of HAK pilih TNI

Page 1: HAK pilih TNI

Bahan mosi hak pilih militer dalam pemilu

HAK pilih TNI kembali mewacana ke publik sepekan ke belakang, sekaligus menuai kontrovesi pro dan kontra. Di saat Indonesia membangun kembali tatanan berdemokrasi pasca-Orde Baru menuju reformasi di aspek mendorong tata kelola pemerintahan. Tak terelakan agenda tersebut menjadi prioritas yang harus dijadikan gerakan politik bersama.

Berangkat dari polemik itu, memunculkan tanda tanya besar. Apakah yang melatarbelakanginya? Bagaimana dengan reformasi di institusi TNI yang telah berjalan? Atau ini muncul dari dorongan kelompok tertentu yang memiliki tujuan mempertahankan kekuasaannya.

Max Weber mengatakan, monopoli kekerasan berada dalam tangan Negara. Pada dasarnya monopoli kekerasan itu dijalankan oleh tentara suatu bangsa. Selanjutnya S. E. Finer, pengamat militer terkemuka, kehadiran militer atau intervensi militer dalam dunia politik, memiliki model-model intervensi. Ia mengklasifikasikan menjadi 6 (enam) model. Pertama, melalui saluran konstitusional yang resmi, kedua, kolusi dan kompetisi dengan otoritas sipil, ketiga, intimidasi terhadap otoritas sipil, keempat, ancaman non kooperasi dengan, atau kekerasan terhadap otoritas sipil, kelima, kegagalan untuk mempertahankan otoritas sipil menentang kekerasan, dan keenam, penggunaan kekerasan terhadap otoritas sipil. Selain itu Todung Mulya Lubis (Military Without Militarism:167, 2001), berpendapat jika militer telah melakukan intervensi politik, mereka kemudian melakukan peran-peran politik seperti konsolidasi kekuasaan mempromosikan integrasi nasional membangun institusi politik dan menjadi broker politik.

Proses transisi demokrasi yang diinisiasi oleh Jenderal Erneste Geisel di tahun 1974 antara lain dilakukan dengan mencabut hak anggota militer Brasil untuk menggunakan hak pilihnya sejak pemilu 1978. Penyebab utama yang melatarbelakangi pencabutan hak pilih tentaranya di negara-negara tersebut, dikarenakan sejarah intervensi militer dalam sistem politik negara tersebut.

Institusi TNI didesain untuk mempertahankan gangguan keamanan dari ancaman pihak luar atas kedaulatan Negara dan keutuhan wilayah Indonesia. Hal itu diperkuat atas ketetapan MPR No VII/MPR/2004, pasal 5 menyebutkan, Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Selanjutnya dipertegas lagi pada ketetapan UU 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) di dalam memperjelas peran, tugas

pokok, dan fungsi TNI. Menjalankan mandatnya itu TNI membutuhkan kesolidan yang terarah dan terkoordinasi dengan jelas.

Bagi saya, bila hak pilih itu direaliasasikan berakibat kendornya (melemahnya) mandat TNI yang tertuang dalam UU 34 tersebut. Kalau dibenturkan dengan pemikiran hak pilih TNI sebagai hak asasi manusia (HAM). Itu benar, akan tetapi yang harus dipahami yaitu TNI adalah institusi khusus dan berbeda.

Di sisi lain kemunculan ide hak pilih TNI menunjukan kemunduran reformasi institusi itu sendiri. Intervensi politik ini menjadi indikasi bahwa institusi militer gagal mengembangkan karakter profesionalismenya. Sedang itu rangkaian di dalam reformasi keamanan. Dikhwatirkan berefek perpecahan di internal TNI. Bagi saya, dibenarkan pihak TNI berkecimpung dalam perpolitikan. Itu hak dasar yang melekat. Hak itu dipergunakan, jikalau sudah resmi keluar dari institusi (pensiun).

Ada ketakutan bagi masyarakat, jika TNI berpolitik akan menggunakan otoritas kekuatan untuk mengarahkan pada kepentingan partai politik. Ketakutan itu beralasan, karena pengalaman orde baru membuat trauma politik (ketakutan politik) itu mengkristal di masyarakat Indonesia.

Benar pada UU No 12/2005 menyatakan seseorang tidak boleh dibatasi hak politiknya hanya karena profesi. Tetapi bagi saya, profesi TNI harus diposisikan sebagai profesi yang berbeda. Mengapa, dikarenakan memiliki kekuatan intervensi yang besar terhadap penegakan supremasi sipil. Hal ini juga memperkecil peluang mempergunakan posisi jabatan untuk kepentingan politik partai tertentu maupun secara pribadi.

Untuk menghilangkan minat politik TNI, tugas negara melalui representasi pemerintah wajib berpikir agar dapat memenuhi kebutuhan dalam hal kesejahteraan. Dengan kata lain gaji TNI dinaikan. Selain itu, memperkuat kapasitas personil prajurit, alutsista dan alutkom, sehingga TNI disibukan dengan urusan untuk mengoperasikan dan menjalankan itu semua.

Harapan saya, stabilitas dan independensi yang telah dibangun TNI saat ini tidak dirusak, hanya lantaran berkeinginan untuk berkecimpung kembali ke dunia politik. Kedewasan TNI tidak berpolitik merupakan terobosan reformasi. Tetapi harus digarisbawahi bukan sesaat saja hanya dalam hitungan beberapa tahun.

Page 2: HAK pilih TNI

PEMULIHAN HAK PILIH TNI BUKAN AGENDA PRIORITAS DALAM REFORMASI MILITER

Wacana pemulihan hak pilih TNI yang menguat akhir-akhir ini menunjukkan sikap inkonsistensi pemerintah dalam melanjutkan agenda reformasi sector keamanan, khususnya reformasi TNI. KontraS memandang pemulihan hak pilih TNI bukanlah agenda prioritas yang mendesak. Lebih dari 12 tahun masa reformasi, masih banyak agenda utama reformasi militer yang masih terbengkalai, seperti revisi UU Pengadilan Militer maupun penertiban bisnis TNI. Belum tercapainya amanat reformasi tersebut menjadi ukuran sejauhmana militer bisa dikatakan sebagai institusi yang profesional dan akuntabel.

Hak politik prajurit TNI untuk memilih pada pemilu sebagai bagian dari warga Negara Indonesia merupakan hak asasi manusia. Meski demikian Konvensi Hak Sipil dan Politik –yang telah diratifikasi Indonesia- menegaskan bahwa hak politik seseorang bisa menjadi subjek “pembatasan yang layak (reasonable restriction)”, termasuk pertimbangan pemisahan tegas antara “political sphere” dari “military sphere”. Sudah menjadi kebiasaan bahwa hak memilih dalam pemilu bisa dibatasi atas pembatasan yang layak seperti pertimbangan usia, kewarganegaraan, domisili, kesehatan mental, atau terpidana kejahatan serius. Pembatasan yang layak atas hak politik anggota militer juga termasuk untuk menjadi anggota atau pengurus partai politik, ikut dalam suatu demonstrasi politik (selagi mengenakan seragam), bebas menyatakan pendapatnya di luar izin atasannya, atau membentuk suatu serikat buruh dan melakukan mogok. Pembatasan di atas dibenarkan sejauh untuk menjaga profesionalisme, integritas, disiplin dan untuk mencegah insubordinasi. pembatasan hak memilih dalam suatu pemilu bagi anggota militer, bisa diterima sejauh dikaitkan dengan kebutuhan mencegah terjadinya konflik kepentingan atau menjaga netralitas politik dan juga mempertimbangkan konteks sejarah politik militer dalam masyarakat bersangkutan.

Atas pertimbangan ini, kami meminta agar pemulihan hak politik TNI didasarkan pada prasyarat dan prakondisi yang ketat. TNI harus memiliki komitmen tinggi untuk membuka ruang akuntabilitas serta transparansi publik. Dalam konteks Indonesia yang berada pada masa keadilan transisi, harus ada garis yang jelas untuk memisahkan “political sphere” dan “military sphere”.

Pada kenyataaannya TNI masih menjadi pihak yang menikmati atmosfer impunitas dimana rekam jejak politik militer sangat gelap –baik untuk urusan politik maupun hak asasi manusia- serta absennya akuntabilitas atas rekam jejak tersebut. TNI belum mampu membuktikan dirinya bisa bekerjasama dalam penuntasan kasus masa lalu, belum

tuntasnya penertiban bisnis-bisnis ilegal TNI serta masih menutup diri bagi proses-proses akuntabilitas dengan menolak revisi UU Pengadilan Militer dan melaksanakan UU Keterbukaan Informasi Publik. Pemerintah bahkan masih memberikan jabatan strategis kepada perwira-perwira TNI yang diduga kuat terlibat dalam kasus pelanggaran HAM yang berarti juga menolak membuat kebijakan vetting dalam sebuah negara transisi.

Di sisi lain, dalam sistem politik lokal, TNI merupakan institusi vertikal yang unitaris di mana di tingkat lokal tidak ada suatu institusi kontrol eksternal, karena struktur teritorial TNI terpisah dan di luar kontrol pemerintahan dan parlemen daerah. Hak pilih TNI dalam pemilu akan memiliki efek politik yang lebih besar dalam konteks politik lokal (pemilu daerah) dan akan menempatkan komandan militer teritorial sebagai aktor politik yang menentukan.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bukti atas abainya komitmen TNI atas kontrol sipil. Apalagi ruang-ruang kontrol sipil demokratik masih sulit untuk menembus barikade sistem komando TNI. Kondisi ini diperparah dengan ketidaksigapan DPR untuk mengawal agenda reformasi sektor keamanan.

Kami meminta Pemerintah dan DPR kembali memprioritaskan diri untuk menyelesaikan agenda prioritas reformasi TNI yang hingga saat ini tertunda. Langkah ini perlu diambil dengan cepat sebagai upaya untuk mendorong TNI agar benar-benar tunduk pada kontrol sipil yang demokratis, supremasi hukum dan HAM.

Kontroversi Hak Memilih Militer Vs Trauma Masa lalu

(Vibizdaily-Polhukam) Kontroversi boleh tidaknya pengembalian hak politik bagi militer (TNI/Polri) masih terus bergulir. Kontroversi ini muncul saat presiden mulai ‘menyentil’ isu tersebut saat konferensi persnya di Cipanas, Jumat (18/06/2010) ?lalu.

"Hak politik anggota TNI tidak boleh dikebiri, tidak boleh dicabut," kata SBY.

Pro-Kontra Fraksi-Fraksi DPR

Pernyataan presiden ini tentu langsung mendapat respon dari berbagai pihak. Ditingkat DPR, fraksi-fraksi bervariasi dalam menanggapi isu ini. Partai Golkar menyambut positif wacana Presiden SBY hak politik TNI diberikan kembali. Golkar sedang menimbang untung ruginya pemberian hak pilih kepada TNI dalam Pemilu 2014 mendatang.

"Itu adalah pikiran progresif dan kami sedang memikirkan untung ruginya. Sebenarnya periode yang lalu Golkar pernah menawarkan ide tersebut dalam pembahasan RUU politik,"

Page 3: HAK pilih TNI

ujar Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/6/2010).

Priyo menambahkan, ada sejumlah hal penting yang harus dihitung secara matang soal kesiapan TNI menerima dinamika demokrasi. Sebab, selama ini TNI melakukan komando terpusat.

"Saya tidak yakin Kostrad membawa bendera kuning dan Kopasus membawa bendera biru," terang Priyo.

Selain itu, Priyo juga menyampaikan agar TNI benar-benar menjaga independensinya jika nantinya memiliki hak pilih. Jika tidak, Golkar khawatir akan mencederai proses demokrasi. "Tentu kami lebih tenang," terang Priyo.

Hal ini senada dengan pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta yang juga mendukung usulan tersebut sebelumnya.

"Secara pribadi mendukung. Saya kira situasinya sudah normal, sudah waktunya TNI punya hak pilih," ujar Anis di sela-sela acara Munas II PKS di Hotel Ritz-Carlton, Pacific Place, SCBD, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (20/6/2010).

Anis mengatakan TNI telah melakukan reformasi dengan baik. Bahkan lebih bagus dibandingkan dengan institusi-institusi lainnya. “Contohnya TNI kini sudah tidak lagi berbisnis,” kata Anis.

Berlawanan dengan itu, PPP menilai wacana pengembalian hak pilih prajurit TNI dalam Pemilu 2014 terlalu beresiko. Hal itu akan memicu politisasi TNI yang dikhawatirkan bisa menganggu stabilitas proses demokrasi yang sedang berjalan.

"Politisasi TNI dengan memberikan hak memilih kepada anggota TNI dalam Pemilu 2014 akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya," ujar Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin, Senin (21/6/2010).

Lukman menilai sebagai pasukan keamanan, TNI memang lebih baik tetap berada dalam posisi netral. Karena jika masuk ke panggung politik akan mengingatkan pada memori masa lalu yang menuai protes keras dari parpol dan warga sipil.

"Ancaman destruktifnya bagi proses demokratisasi lebih besar daripada nilai positif yang mau diraih," terang Lukman.

Ketua MPP PAN Amien Rais juga tidak sepakat dengan rencana mengembalikan hak politik kepada TNI

dalam Pemilu 2014. Amien khawatir akan terjadi konflik kepentingan di internal TNI dan membahayakan stabilitas nasional.

"Sampai kapan pun TNI harus netral. Sampai kapan pun politik itu konflik kepentingan," ungkap Amien

Dua partai oposisi Gerindra dan Hanura lain juga ikut menolak keras pengembalian hak politik TNI. TNI diyakini tidak bisa netral dalam berpolitik jika hak pilihnya diberikan pada Pemilu 2014.

"Menggunakan hak pilih TNI sebaiknya tidak diterapkan. TNI sulit netral," ujar Sekjen Gerindra Ahmad Muzani dalam diskusi bertemakan 'Menyoal Hak Pilih TNI' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/6/2010).

Muzani menyampaikan, garis komando yang keras dan lugas membedakan TNI dengan rakyat sipil. Muzani menilai pilihan politik anggota TNI pun akan cukup seragam. "Bagaimana garis komandonya, apakah mungkin komandannya pilih Gerindra, anak buahnya pilih Golkar?" papar Muzani.

Muzani khawatir dominasi kekuasaan pada saat TNI memiliki hak pilih dalam pemilu era Orba akan terulang kembali. "Pada saat itu kalau suara TNI kecil maka yang akan kena marah adalah komandannya," keluh Muzani.

Penolakan wacana pengembalian hak politik TNI juga disampaikan oleh Partai Hanura. Partai yang pimpinannya mantan Panglima TNI ini juga keberatan prajurit TNI bisa ikut nyoblos dalam Pemilu 2014.

"Hak berpolitik TNI belum perlu. Lebih baik TNI bersikap netral sebagai pengaman," terang Ketua Fraksi Partai Hanura DPR Abdillah Fauzi Ahmad.

Menurut Fauzi, pengembalian hak pilih TNI tidak akan efektif mengingat jumlah TNI yang tidak signifikan. "Karena jumlahnya sedikit dan tersebar di seluruh Indonesia sehingga suaranya tidak akan signifikan dan tidak akan mendapat satu kursi pun di DPR," terang Fauzi.

Fauzi menyarankan TNI lebih baik konsentrasi mewujudkan ketertiban umum. Fauzi khawatir hak pilih TNI dapat mengganggu stabilitas politik.

"TNI itu yang harus dipertahankan senjatanya untuk mengamankan negara. Kalau masuk politik malah menimbulkan carut marut," tegasnya.

Page 4: HAK pilih TNI

Silang pendapat ini membuat SBY mengklarifikasi bahwa alasan dirinya menggelontorkan hal tersebut hanyalah sebuah wacana bebas sebagai warga Negara. Ia pun akan menyerahkan semua kepada DPR dalam mebahas UU tersebut nantinya.

"Boleh nyoblos atau tidak, lihat nanti di UU-nya. Siapa yang membuat UU? DPR dan Presiden. Kenapa DPR dan Presiden? Sebab dua lembaga itu yang diberi mandat oleh rakyat," ujar SBY.

Sementara itu Ketum PDIP, Megawati soekarno Putri, menyatakan ketidak sepakatannya akan pengembalian hak politik bagi militer. Ia menilai TNI/Polri belum saatnya mendapatkan hak pilih. Apalagi, anggota TNI/Polri telah mendapatkan hak istimewa untuk mempergunakan senjata.

"TNI kan sudah mendapatkan hak yang istimewa karena menjadi warga negara yang diberi izin untuk mempergunakan senjata," kata Ketua Umum PDIP itu.

Hal itu disampaikan Mega di Hal itu disampaikan Mega usai menghadiri peresmian sahabat biopori di halaman SD 012, Bendungan Hilir, Jakarta, Sabtu (26/6/2010).

Megawati menilai, saat ini belum saatnya membicarakan soal pengembalian hak pilih TNI/Polri. Menurutnya, masih banyak agenda lain yang lebih penting dan urgent dilakukan.

"Apalagi reformasi yang telah kita lakukan belum berjalan dengan baik," tukas Mega.

Hak Memilih dan Parameter Demokrasi

Wacana SBY tentang mengembalikan hak pilih anggota TNI/ Polri disimpulkan sebagai sebuah upaya untuk melihat parameter keberhasilan proses demokrasi pasca reformasi.

Hal ini disampikan Direktur Eksekutif ProPatria, Hari Prihanta, dalam diskusi “Jika TNI Bisa Memilih” di Warung Daun. Sabtu, 26/6.

Menurutnya, berdasarkan hasil diskusinya dengan SBY beberapa waktu lalu, wacana ini juga ditujukan untuk melihat sejauh mana reformasi ditubuh TNI/Polri yang selama ini berlangsung.

“Kedua hal ini bisa dilihat dengan parameter wacana pemilu” ujarnya.

Hari mengatakan bahwa sudah saatnya stigma negative terhadap militer untuk dilepaskan. “kita harus keluar dari masa lalu” katanya.

Oleh karena itu ia menyarakan agar semua pihak menempatkan sesuai tempatnya masing-masing. Hal ini mengingat hak-hak TNI/Polri yang diatur UU 25 tentang hak aszasi warga negara.

“Kita jangan berdemokrasi, dengan melanggar prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.” Pungkasnya.

Antara Hak Warga Negara dan Trauma Masa Lalu

Bila diperhatikan kontroversi dari isu yang diwacanakan presiden ini disebabkan dilema antara trauma masa lalu sebagian besar masyarakat terhadap militer dengan posisi militer yang juga merupakan warga Negara dan berhak mendapat hak-hak politiknya.

Oleh karena itu, pengamat menyarankan agar upaya pengembalian ini harus dimulai dengan pencitraan ulang stigma negatif pada militer dari masyarakat. Hal ini sebagaimana disampaikan Sosiolog UI, Thamrin Amal Tamagola, pada diskusi mingguan diWarung Daun dengan tema “Jika TNI Bisa Memilih” Sabtu. 26/6.

“kita masih belum sembuh dari trauma tersebut” ujarnya.

Thamrin mengatakan pencitraan kembali militer tersebut dapat dilakukan dengan meminta para elit militer bertanggung jawab atas aksi-aksi kekerasan tersebut.

“Jendral-jendral yang salah, dengan ksatria mengakui kesalahannya.” Kata Thamrin.

Selain itu ia mengusulkan agar Komite Keadilan dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah di tolak oleh MK untuk dihidupkan kembali, untuk mempercepat proses advokasi terhadap korban kekerasan tersebut.

Disamping itu Mantan anggota Interpol, Sidarto Danu Soebroto, berpendapat bahwa pengembalian hak politik bagi TNI/Polri adalah hal yang sah-sah saja. Namun demikian hal tersebut harus ditunjang dengan iklim demokrasi yang kondusif.

Ia juga mengatakan kriteria tercapainya iklim demokrasi kondusif adalah ketika intelektualitas dan kesejahteraan dari TNI/Polri sudah tercapai.

“Syarat yang harus dipenuhi bila ingin mengembalikan hak memilih adalah pertama, Rakyat yang cerdas., kedua, Perut kenyang” katanya.

Dalam hal intelektualitas, ia mencontohkan kasus gurunya, yang adalah seorang jendral, ketika melakukan pendidikan di Amerika Serikat. Dimana sang guru bisa mengutarakan pendapat tentang kecenderungan politik pribadinya dalam pemilihan presiden saat itu.

Sedangkan dalam masalah kesejahteraan, ia mengatakan system jaminan kehidupan harus terlebih dalu ditunjang, sebelum hak politik tersebut dikembalikan. Ia mencontohkan jaminan-jaminan tersebut meliputi tunjangan

Page 5: HAK pilih TNI

pensiun, kemudahan mencari kerja pasca militer, serta tunjangan selama menjadi anggota militer itu sendiri.

Menurutnya, tujuan penjamianan ini demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan ketika mereka (militer) menyuarakan hak-hak politiknya.

“Sekarang ini dipecat dari militer itu adalah kiamat” pungkasnya.

Mantan Gubernur Akademi Militer, Nur Aman, juga menekankan bahwa hak politik yang bisa diberikan hanyalah sebatas hak untuk memilih.

“TNI/Polri tidak boleh masuk politik praktis” ujarnya.

Hal ini ditujukan agar masuknya militer ke dalam politik tidak dijadikan ‘senjata’ bagi pihak-pihak tertentu.

“TNI itu punya system komando khusus, oleh karena itu perangkat-perangkatnya harus dibikin sejelas-jelasnya” pungkasnya.

Try Out Lewat Pilkada

Disamping itu, Thamrin Amal juga mengusulkan Try Out (uji coba) pengembalian hak memilih TNI/Polri dalam pemilu, dimulai dari dareah-daerah dalam pilkada. Hal ini untuk melihat, apakah ada intervensi TNI/Polri dalam politik praktis yang ada.

Ia melihat selama ini intervensi militer dalam politik tingkat eksekutif di daerah-daerah masih terasa. Hal ini dilihatnya melalui kehadiran pihak-pihak militer tersebut dalam unsur Muspika maupun Muspida.

“Bila Try Out di Pilkada ini berhasil, maka pemberian hak politik ini bisa dipertimbangkan.” Pungkasnya.

(ma/MA/vbd)

Pemilu dan Intervensi Militer

{ By. Husnul Isa Harahap }

Proses pemilu di Indonesia sudah berjalan sebanyak 10 kali dalam kurun waktu 59 tahun yakni sejak pemilu 1955 sampai dengan 2004. Dalam masa itu babakan sejarah sering dibagi kedalam tiga periode masa kepemimpinan politik; (1) Orde Lama; (2) Orde Baru; dan, (3) Orde Reformasi. Dengan pengalaman sedemikian rupa, sudah sepatutnya Indonesia layak menemukan format pemilu yang demokratis. Namun harapan ini masih memerlukan waktu mengingat kuatnya kecenderungan kalau pemilu di Indonesia masih belum terlepas dari intervensi militer.

Intervensi militer dalam pemilu dimulai sejak tahun 1955 (Masa Orde lama) yakni pada pemilu pertama di Indonesia. Padahal menurut beberapa pengamat politik Indonesia pemilu pada tahun 1955 dinilai sebagai pemilu

paling bermutu. Pada waktu itu terdapat hak memilih dan hak dipilih bagi militer. Hanya saja militer tidak mendapat jatah kursi di Parlemen. Oleh karena itu, beberapa petinggi militer secara terang-terangan mendirikan partai politik yakni: Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Ketika pemerintah menetapkan aturan main militer dalam pemilu, pihak militer keberatan. Militer bahkan mengecam keras keputusan politik yang menetapkan aturan yang melarang anggota angkatan perang untuk mengenakan pakaian seragam dan mengatasnamakan tentara pada saat berkampanye. Kecaman yang sama juga ditujukan pada aturan yang menuntut diberhentikannya para perwira senior pada saat menerima baik tawaran untuk dicalonkan sebagai anggota parlemen dan Konstituante. Militer menyatakan dengan tegas bahwa perwira harus mempunyai hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Intervensi militer terhadap pemilu 1955 tampak semakin jelas ketika dukungan penuh terhadap IPKI datang dari Divisi Siliwangi secara terang-terangan. Divisi Siliwangi Jawa Barat memberi dukungan berupa angkutan dan bahkan uang bagi orang-orang yang berkampanye untuk Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Selain itu sejumlah perwira terkemuka dari Divisi Sriwijaya di Sumatera Selatan berkampanye untuk IPKI, demikian juga sorang panglima di Kalimantan.

Tradisi intervensi militer terhadap pemilu kemudian berlanjut dalam pemilu 1971 sampai dengan 1997 (masa Orde Baru). Padahal militer tidak memiliki hak memilih serta hak dipilih dalam pemilu dan dalam parlemen militer mendapat “jatah kursi sebanyak 75 buah”. Bahkan jatah kursi militer kemudian ditambah menjadi 100 buah. Pada masa ini militer adalah penentu kemenangan partai penguasa yang ditandai dengan berbagai praktek intimidasi dan kegiatan sabotase lainnya diberbagai daerah di Indonesia seperti yang terekam dari hasil wawancara Tim Peneliti PPW LIPI dengan tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan solo Juli 1998: “pada saat itu setiap penduduk yang tidak memilih Golkar atau dicurigai tidak akan mencoblos Golkar dengan mudah dicap sebagai PKI. Kalau sudah demikian, aparat keamanan bebas melakukan apa saja, dari penyiksaan sampai penghilangan nyawa manusia. Korban kekerasan pemilu pada waktu itu tidak terhitung jumlahnya”. Maka tidak heran kalau ada ilmuan politik yang mengatakan masa ini (masa orde baru) adalah puncak intervensi militer terhadap politik termasuk terhadap pemilu.

Demikian juga pasca jatuhnya kekuasaan Presiden Suharto (Mei 1998/masa Orde Reformasi), pada tahun 1999 dimana untuk sekian kalinya pemilu dilaksanakan di Indonesia. Pemilu kali ini masih tetap ditandai dengan munculnya intervensi militer. Terutama pada wilayah konflik seperti di Aceh, dan Papua. Demikian juga pada pemilu 2004 yang ditandai dengan kasus besar pengerahan fasilitas militer serta mobilisasi pemilih di pondok pesantren Al-Zaytun pada waktu pemungutan suara.

Page 6: HAK pilih TNI

Meskipun jumlah kasus intervensi yang dilakukan militer adakalanya tidak begitu dominan tetapi berbagai kasus yang ada dapat dijadikan indikasi bahwa militer cenderung melakukan intervensi terhadap pemilu. Tentang pemilu 1955, ada dugaan kuat bahwa intervensi militer tidak akan terjadi seandainya militer tidak diberi hak memilih dan dipilih. Namun dugaan ini menjadi tidak relevan manakala kita melihat kasus pemilu Orde Baru. Militer tetap malakukan intervensi pada saat tidak memiliki hak memilih dan dipilih. Padahal diparlemen saluran politik militer sudah ada yakni dalam fraksi ABRI yang jumlahnya mencapai 100 orang.

Ketika jumlah fraksi militer di Parlemen dikurangi, masalah intervensi militer pada pemilu tahun 1999 dan pemilu tahun 2004 tetap menjadi kabar buruk persoalan demokrasi di Indonesia. Pada masa ini hak memilih dan hak dipilih masih tetap tidak diakui. Tetapi jika dibandingkan dengan intervensi militer pada pemilu-pemilu Orde Baru kadarnya sudah semakin berkurang. Dan belum merupakan prestasi karena pada masa Orde Baru militer adalah penguasa politik.

Dari gambaran sejarah intervensi militer dalam pemilu di Indonesia kita dapat menyimpulkan bahwa; (1) diberikannya hak pilih bagi militer dalam pemilu di Indonesia hampir-hampir tidak berimplikasi pada hilangnya intervensi militer dalam pemilu, dan sebaliknya; (2) tanpa hak pilih bagi militer dalam pemilu di Indonesia, kecenderungan intervensi militer terhadap pemilu juga terlihat tetap ada. Dari dua kesimpulan ini sebuah hipotesis dapat kita ungkapkan yakni; ada atau tidaknya hak pilih militer dalam pemilu di Indonesia, intervensi militer terhadap pemilu nampaknya tidak bisa dihindari.

Penutup: Ada baiknya jika perdebatan tentang apakah hak pilih militer diberi atau tidak segera diakhiri dengan sebuah keputusan politik. Ini disebabkan karena; (1)skenario apapun yang ditentukan nanti sepertinya tidak akan berimplikasi positif bagi hilangnya intervensi militer dalam pemilu jika tanpa ditopang beberapa aturan khusus yang ketat; (2)sebagai konsekuensi perlunya aturan pemilu yang ketat, maka diperlukan waktu dan keadaan yang tidak tergesa-gesa dalam mempersiapan instrumen yang kokoh guna mencegah intervensi militer dalam pemilu.

Untuk itu apakah upaya yang dilakukan dalam mencegah intervensi militer dalam pemilu itu akan diarahkan pada proses pengawasan maupun proses legislasi atau kedua-duanya perlu dijawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah praktek kecurangan pemilu melibatkan militer? Apa saja bentuk praktek kecurangan pemilu itu? Praktek kecurangan yang bagaimana yang memungkinkan keterlibatan militer? Bagaimana kemungkinan proses pelaksanaan kecurangan itu terjadi? Apa alasan yang paling tepat sehingga militer sampai terlibat dalam praktek kecurangan pemilu itu? Kapan kecurangan itu dilaksanakan?

Secara umum upaya lain yang dapat dilakukan meliputi prosedur pemetaan masalah dan identifikasi masalah; (1) menentukan mana daerah-daerah rawan intervensi militer pada pemilu; (2) menyiapkan prosedur penangkal intervensi militer seperti mekanisme pengaduan masyarakat kilat untuk daerah rawan intervensi; (3) menyiapkan sangsi hukum yang setimpal terhadap oknum militer yang melakukan intervensi terhadap pemilu; (4) Mengadakan konsensus nasional partai politik untuk berkomitmen berpolitik tanpa melibatkan kekuatan militer.

Yang tidak kalah penting ada upaya “penanaman” logika kesadaran politik demokrasi meliputi; (1) Penyadaran dikalangan elit sipil dan militer tentang berpolitik dengan “akal sehat”, kalau mau melibatkan militer sama artinya dengan merusak profesionalisme militer sekaligus merusak profesionalime para politisi sipil. Para politisi sipil akan terus dianggap “anak bawang” oleh militer dan sebaliknya militer dianggap “kacung” oleh sipil; (2) Penyadaran dikalangan prajurit bahwa proses pemilu yang jujur dan adil akan menghasilkan pemimpin yang kapabel, memiliki kualitas dan serta berwibwa. Pemimpin yang seperti ini nantinya akan membawa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Dan secara otomatis kehidupan prajurit juga akan makmur; (3) Penyadaran dikalangan masyarakat bahwa “pengawasan” terhadap militer harus dilakukan secara bersama-sama. Meningkatnya kontrol terhadap militer yang melibatkan pemerintah, pers, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, serta masyarakat akan berdampak pada militer yang profesional dan cenderung menghindari intervensi terhadap pemilu karena menjaga citranya.

Kesemua usaha ini akan efektif jika didukung dan dijalankan secara konsisten. Selain itu harus disosialisasikan secara terbuka sehingga tidak luput dari sorotan publik. Jika masih terjadi intervensi terhadap pemilu, kasus tersebut harus diangkat menjadi isu nasional serta harus diumumkan sebagai pelanggaran luar biasa. Konsensus politik oleh partai-partai politik juga harus disertai dengan kesepakatan sangsi yang tegas jika ada partai politik yang melanggarnya.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI.

VIVAnews - Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo menyatakan fraksinya tegas menolak wacana hak pilih TNI dalam Pemilu. Menurut Sekretaris Jenderal PDIP itu, bila hak pilih TNI diberlakukan, jelas ada yang mengambil keuntungan atas hal tersebut.

"Fraksi kami dengan tegas menolak hak pilih TNI, setidaknya sampai 10-20 tahun ke depan," kata Tjahjo dalam jumpa pers di ruang Fraksi PDIP, Senayan, Jakarta, Senin 5 Juli 2010.

PDIP mendasarkan pendapatnya pada survei terakhir Markas Besar TNI pada tahun 2007. Survei itu menyebutkan bahwa 60 persen prajurit TNI tidak menghendaki punya hak pilih.

Page 7: HAK pilih TNI

"Pasal 2 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 menyatakan jati diri TNI adalah tentara profesional tidak berpolitik praktis, mengikuti kebijakan politik negara, dan seterusnya," kata Tjahjo.

Sementara Pasal 39 menegaskan bahwa prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum, dan jabatan politis lainnya.

"Kalaupun ini dipaksakan, jelas berarti siapa yang akan mengambil keuntungan dalam Pemilu 2014 dan dalam Pilpres yang akan datang," kata Tjahjo.

Wacana hak pilih TNI diberlakukan lagi pertama kali muncul dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden kemudian meminta Panglima TNI mengkaji kemungkinannya.

Hak pilih TNI menjadi kontroversi karena banyak pihak yang kemudian menolaknya. Sejumlah partai seperti Golkar dan terbaru PDIP menolaknya. (hs)

• VIVAnews

politik yang ditimbulkan jika memang wacana tersebut direalisasikan."Jika itu dihidupkan kembali akan menimbulkan trauma psikologis. Bahwa traumatik dimana militer mengalami kegagalan ketika memegang peranan politik. Padahal kita ingin menempatkan secara terhormat sebagai institusi penyelenggaran keamanan dan pertahanan," tuturnya,Jangan sampai, lanjut dia, pada masalah orientasi politik. "Orientasi politik itu nantinya bisa diimplementasikan ketika psikologis politik warga negara sudah siap atau memiliki kedewasaan berpolitik dan dari militer telah mengerti dan memahami peran dan tugasnya.

Hak Pilih TNI Harus Berprasyarat Ketat

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan bahwa pemulihan hak pilih TNI harus melalui berbagai prasyarat ketat.

"Kontras meminta agar pemulihan hak politik TNI didasarkan pada prasyarat dan prakondisi yang ketat," kata Haris di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, TNI harus memiliki komitmen yang tinggi untuk membuka ruang akuntabilitas serta transparansi publik.

Dalam konteks Indonesia yang berada pada masa keadilan transisi, ujar dia, harus ada garis yang jelas memisahkan political sphere (ruang lingkup politik) dan military sphere (ruang lingkup militer).

"Pada kenyataannya TNI masih menjadi pihak yang menikmati atmosfer impunitas (kekebalan hukum) di mana rekam jejak politik militer sangat gelap, baik untuk urusan politik maupun HAM," katanya.

Selain itu, ujar Haris, dalam sistem politik lokal, struktur teritorial TNI terpisah dan berada di luar kontrol pemerintahan dan parlemen daerah.

"Hak pilih TNI dalam pemilu akan menempatkan komandan militer teritorial sebagai aktor politik yang menentukan," katanya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada wartawan di Istana Cipanas, Jumat (18/6), mengatakan bisa tidaknya anggota TNI menggunakan hak pilihnya dalam pemilu maupun pilkada dapat ditentukan oleh undang-undang yang dirancang oleh pemerintah bersama DPR.

Kepala Negara menyadari adanya kekhawatiran di masa lampau bila TNI memiliki dan menggunakan hak pilihnya maka akan terjadi perpecahan di kalangan internal militer.

"Bila berbicara hak asasi politik, di negara lain anggota militer mereka dalam pemilihan umum juga memilih. Memang benar di waktu lalu dikhawatirkan akan terjadi pengkotakan dan perpecahan karena semua punya senjata," katanya.

Meski demikian, bila kedewasaan berpolitik semakin matang termasuk pemahaman di kalangan militer untuk bisa menjaga jiwa kebersamaan makan bukan tidak mungkin anggota militer aktif bisa memiliki hak pilih dalam pemilu.

KOMPAS.com — Perdebatan tentang hak pilih TNI kembali mengemuka. Apakah TNI perlu diberi hak untuk memilih dan dipilih? Tampaknya telah muncul suatu konsensus politik bahwa hak untuk dipilih tidak akan diberikan kepada seseorang yang masih aktif menjabat anggota TNI, kecuali mengundurkan diri terlebih dahulu dari dinas TNI.

Hak untuk dipilih membawa konsekuensi pada keterlibatan secara aktif anggota TNI dalam proses politik, baik di masyarakat maupun dalam pembuatan keputusan-keputusan politik.

Bagaimana dengan hak untuk memilih? Ada kekhawatiran bahwa pemberian hak untuk memilih akan memecah TNI dalam berbagai kekuatan politik. Hak memilih juga dikhawatirkan akan membuat TNI terseret dalam pusaran persaingan kekuasaan, baik karena kepentingan politiknya maupun karena ditarik oleh kekuatan-kekuatan politik.

Page 8: HAK pilih TNI

Semua kekhawatiran itu bisa dipahami. Namun, hal itu jangan selalu menjadi alasan untuk tidak memberikan hak memilih kepada TNI dalam pemilu.

Hak wajar

Hak untuk memilih dalam pemilihan umum harus dilihat sebagai hak semua warga negara tanpa pengecualian. Hal ini juga berlaku di hampir semua negara. Memilih adalah hak asasi yang melekat sebagai warga negara. Dalam konteks hak pilih TNI, memilih sebagai hak tidak mempunyai konsekuensi terhadap suatu akumulasi kekuasaan dan keterlibatan langsung sebagai kekuatan politik yang sehari-hari terlibat dalam pergumulan politik.

Ini berbeda dari hak untuk dipilih yang merupakan upaya secara sadar untuk mengikatkan diri dan terlibat dalam suatu interaksi politik yang menghasilkan berbagai keputusan politik. Oleh karena itu, hak memilih bagi militer banyak diberikan di berbagai negara.

Hak memilih juga wajar dalam pengertian indikasi suatu kedewasaan politik pascareformasi, terutama reformasi TNI. Ketidakmauan memberikan hak memilih kepada TNI adalah indikasi dari kegagalan reformasi militer. Lebih tepat lagi, ini adalah pertanda belum munculnya trust/percaya satu sama lain, terutama trust di kalangan sipil dan politisi terhadap TNI dari berbagai sudut pandang.

Apa pun alasannya, tidak adanya hak untuk memilih bagi TNI adalah cermin dari kegagalan reformasi militer. Atau, ini justru terjadi karena politisi gagal mengembangkan sistem demokrasi yang mapan yang mampu mengakomodasi ekspresi dan pilihan-pilihan politik semua warga negara.

Politisi sibuk dengan isu-isu artifisial sehingga dalam waktu 10 tahun ini gagal membentuk fondasi sistem politik modern. Sindiran terhadap politisi pun muncul dari berbagai pihak.

Mengapa setelah 10 tahun sejak reformasi digulirkan masalah ini tidak bisa dituntaskan? Bukankah ini indikasi kegagalan atau ketidakpedulian? Atau, barangkali semua ini terjadi karena para politisi tidak mampu menahan diri dari godaan persaingan untuk merebut pengaruh dari TNI?

Pagari secara ketat

Pemberian hak untuk memilih kepada TNI tidak perlu dikhawatirkan jika dipagari dengan aturan-aturan operasional yang ketat. Pertama, pemilu harus dilaksanakan pada hari libur. Anggota TNI harus memilih di TPS di luar barak atau kompleks militer. Kecuali mereka yang sedang

diterjunkan dalam tugas operasi militer, penggunaan hak pilih dilakukan di daerah tempat tinggal. Ini untuk menghindari munculnya polarisasi orientasi atau blok politik antarkesatuan.

Kedua, pada radius tertentu dari markas atau barak militer tidak diperbolehkan ada kegiatan politik, baik berupa penempelan gambar parpol maupun kegiatan-kegiatan politik. Ketiga, harus ada aturan ketat yang melarang semua anggota TNI untuk terlibat dalam penahapan penyelenggaraan pemilu.

Keempat, partai politik dilarang melakukan kunjungan ke barak militer dan pemimpin-pemimpin TNI yang biasanya dibungkus dengan istilah kunjungan silaturahmi. Kelima, semua kegiatan politik selama penahapan proses penyelenggaraan pemilu tidak boleh dihadiri oleh anggota atau kesatuan TNI. Masih banyak hal lain yang harus diatur secara rinci.

Dari argumen tersebut di atas, yang harus dipikirkan adalah kewajiban dari otoritas politik untuk merumuskan semua ketentuan di atas ke dalam aturan-aturan yang komprehensif, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini tidak hanya untuk menutup peluang anggota TNI untuk bermain politik, tetapi juga menunjukkan komitmen otoritas politik untuk tidak memolitisasi TNI. Jadi, siapa yang tidak siap?

*Edy Prasetyono, Wakil Dekan FISIP, Universitas Indonesia, Depok

Mengapa Polemik Hak Pilih TNI Begitu Mengemuka?

Yohanes Subagyo

JAKARTA,RIMANEWS- Mengapa polemik hak pilih TNI begitu mengemuka? Jaleswari Pramodhawardani, peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI dan The Indonesian Institute mengatakan hak pilih TNI memang tidak mudah. Pengalaman masa lalu TNI dalam kancah politik sering dijadikan rujukan kekhawatiran banyak pihak bahwa TNI akan memanfaatkan dan dimanfaatkan kembali oleh penguasa.

Apalagi dalam sejarah 32 tahun Orde Baru berkuasa kekhawatiran itu menjelma dalam bentuknya yang kasatmata. Penguasa saat itu memanfaatkan ABRI sebagai instrumen kekuasaan belaka. Kedekatan dengan kekuasaan inilah yang menjadikan ABRI saat itu dihujat kiri kanan.

Jaleswari melihat, problematika dalam meletakkan supremasi hukum sebagai landasan utama berdemokrasi dan upaya penegakan keadilan tidak semata-mata terletak pada halangan struktural atas lemahnya political will penegak hukum dalam penegakan prinsip justice for all, tetapi hukum

Page 9: HAK pilih TNI

juga sering kali mengabdikan diri sebagai instrumen kekuasaan.

Dengan demikian, pengertian supremasi hukum menjadi tidak dengan sendirinya berarti menegakkan keadilan. Lembaga pemilu yang kita miliki selama ini belum menunjukkan kemampuan, ketidakberpihakkan, dan keterpercayaannya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Jaleswari mencatat, pengalaman pilpres dan beberapa pilkada menunjukkan adanya banyak kasus pelanggaran serius. Belum lagi mulai bergesernya peran dan kedudukan antarlembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang saling tergantung satu dengan lain dalam barter-barter politik yang saling menguatkan kekuasaan.

Dalam hal ini, Wakil Sekjen DPP PPP Romahurmuziy, justru menyatakan, partainya tidak menghendaki TNI terkotak-kotak hingga menimbulkan pertentangan di kalangan anggotanya akibat kembalinya institusi militer itu ke pentas politik praktis melalui hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

"Karenanya kita lihat akan lebih baik memang TNI pada tahun 2014 itu belum menggunakan hak pilihnya," ujar Romahurmuziy kepada pers .

Menurut dia, PPP berpendapat bahwa TNI pada saat ini berada dalam posisi terbaik, karena bangsa Indonesia masih membutuhkan netralitas TNI dalam rangka konsolidasi demokrasi partai politik yang belum tuntas.Politisi PPP itu kemudian menuturkan bahwa pada masa Orde Lama, TNI terkotak-kotak karena diberikan kebebasan berpolitik dan akibatnya membahayakan keutuhan negara karena terjadi pertentangan antarangkatan dan bahkan antarkesatuan di dalam satu angkatan.Kemudian pada masa Orde Baru, TNI berubah, dengan doktrin pejuang prajurit dan prajurit pejuang, mendefinisikan dirinya sendiri ke dalam dwifungsi dan berubah dari alat pertahanan negara menjadi alat pertahanan satu kekuatan politik tertentu.Dengan posisi trauma seperti itu, kata Romy, posisi tahun 1998, reformasi dan rekonsolidasi TNI sebenarnya dimaksudkan untuk membangun netralitas TNI terhadap seluruh kekuatan politik. "TNI tahun 2004 sudah keluar dari panggung politik dan kita melihat waktu yang dibutuhkan untuk reformasi TNI itu belum selesai. Bisnis-bisnis TNI sekarang masih belum semuanya tuntas dilaksanakan ’pull out’-nya sehingga 2014 ini memang sebaiknya TNI masih belum menggunakan hak pilihnya," ujar anggota DPR itu.Romy mengatakan, dirinya sulit membayangkan kalau TNI dan Polri kemudian terkotak-kotak meskipun dalam bentuk hak pilih. Norma hirarkis yang merupakan komando yang inheren dalam sebuah tubuh militer TNI dan Polri akan kacau balau.

Pandangan Usman Hamid (Kontras)

Dalam soal hak pilih TNI itu, Usman Hamid, aktivis Kontras, berpendapat bahwa pembatasan bisa dilakukan untuk memisahkan ”political sphere (ruang politik)” dari ”military sphere (ruang militer)”. Militer diharapkan independen, tak terlibat kontroversi politik nasional mengingat karakter natural parpol memperebutkan kompetisi dan kontestasi politik. Militer harus dipastikan tak terbelah secara internal karena dijadikan cantelan politik dari para parpol saat itu. Militer tak boleh terlibat jadi regulator politik di segala level institusi negara, apalagi mengintervensi parpol.

Pembatasan memiliki kondisi beragam di banyak negara, tergantung konteks domestik. Setidaknya ada tiga model kebijakan pemenuhan-pembatasan dalam mengompromikan prinsip pemenuhan HAM dengan prinsip netralitas:

Pertama, kebijakan pembatasan yang sangat tinggi (highly restrictive policies). Personel militer benar-benar dipisahkan dari ruang politik untuk menjamin integritas dan netralitas institusional. Kebijakan ini diambil untuk memastikan tidak adanya repetisi intervensi militer dalam dunia politik. Kebijakan ini umumnya diambil negeri-negeri transisional yang baru bangkit dari rezim otoriter berbasis militer. Memisahkan militer dari dunia politik praktis diharapkan menjadi jembatan untuk memuluskan dan menstabilkan demokratisasi.

Kedua, kebijakan pembatasan moderat (moderately restrictive policies). Kebijakan ini diterapkan untuk menghindari keberadaan tampilan personel militer untuk proyek politik tertentu. Kebijakan ini membolehkan seorang anggota militer menjadi anggota parpol, tetapi melarangnya menjadi pengurus parpol, membolehkan seorang anggota militer berpartisipasi dalam suatu aktivitas politik tertentu sejauh mendapat izin dari institusinya dan dalam kapasitas tidak sedang berdinas (tidak berseragam).Ketiga, kebijakan pembatasan yang minim (least restrictive policies). Kebijakan tersebut diterapkan untuk mendorong partisipasi politik personel militer sejauh tak mengompromikan tugas militernya. Model ini—seperti yang berlaku di Belanda—bahkan membolehkan, berdasarkan kondisi tertentu, partisipasi personel militer berseragam dalam suatu kegiatan politik atau bahkan melakukan demonstrasi di suatu instalasi militer. Di Jerman, ada pendekatan ”warga negara dalam seragam (citizen in uniform)”.

Model terakhir ini, kata Usman, hanya diterapkan dalam sistem demokrasi sipil yang sangat mapan di mana prinsip HAM dan akuntabilitas telah diwujudkan dalam berbagai mekanisme yang terlembaga secara berlapis-lapis.

Hak Pilih TNI

Oleh Jaleswari Pramodhawardani

Page 10: HAK pilih TNI

Di luar dugaan banyak orang, ternyata keinginan Tentara Nasional Indonesia atau TNI untuk menggunakan haknya sebagai warga negara dalam pemilu dipercepat.

Setidaknya wacana yang beredar dua pekan ini menegaskan hal tersebut. TNI sedang mengkaji kemungkinan menggunakan hak pilih di Pemilu 2014. Kendati Panglima TNI mengisyaratkan semua ini tetap menunggu keputusan politik Presiden, kajian terhadap hak pilih ini menunjukkan keseriusan TNI dalam persoalan ini. Pro dan kontra pun bergulir. Para ketua parpol, DPR, Panglima TNI, hingga Presiden berpolemik tentang hal ini.

Ingatan kita kembali menjelang tahun 2004 saat para politisi sipil Senayan memanfaatkan keberadaan militer saat itu, dengan sengaja memperpanjang keberadaan mereka dalam wadah Fraksi ABRI/TNI hingga tahun 2009. Namun, TNI justru menarik dirinya lebih awal menjelang Pemilu 2004. Mereka memutuskan menunda menggunakan hak pilih tersebut, seperti tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 39, yaitu Prajurit dilarang terlibat dalam: kegiatan menjadi anggota parpol, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.

Hak dasar TNI

Terlepas dari itu semua, pertanyaan mendasar yang kerap diajukan adalah: apakah TNI memiliki hak pilih seperti halnya warga negara lainnya? Apakah TNI diperbolehkan memilih? Mengapa kita cemas dengan hak pilih ini? Berbeda dengan hak untuk dipilih, hak memilih bagi anggota TNI adalah sebuah keniscayaan. Mengacu kaidah demokrasi universal, seseorang yang memiliki profesi tertentu tidak kehilangan hak-hak politiknya, khususnya hak memilih dalam pemilu. Semua warga negara pada prinsipnya mempunyai hak dan kewajiban sama. Demikian pula bagi anggota TNI, status kewarganegaraannya sama dengan WNI lain.

Dengan demikian, hak politik WNI yang kebetulan jadi anggota TNI dan Polri tidak dapat dihapuskan oleh siapa saja, kecuali jika mereka tak bersedia menggunakannya. Mereka hanya dapat dilarang bila melanggar ketentuan perundangan yang secara sengaja diatur untuk itu. Kebetulan aturan dan kebijakan yang mengaturnya belum diubah, seperti UU TNI dan UU Pemilu yang tak memberikan hak pilih kepada TNI. Hak politik semacam itu memang dimiliki anggota militer di negara-negara demokratis di seluruh dunia. Apalagi dalam sejarah Indonesia kita pernah mencatat, hak pilih anggota TNI dan Polri pernah dilaksanakan pada Pemilu 1955 tanpa menimbulkan polarisasi atau gangguan keamanan sebagaimana dikhawatirkan sementara kalangan dewasa ini.

Jika faktanya demikian, lantas, mengapa polemik hak pilih TNI begitu mengemuka? Membicarakan hak pilih TNI memang tidak mudah. Pengalaman masa lalu TNI dalam kancah politik sering dijadikan rujukan kekhawatiran banyak pihak bahwa TNI akan memanfaatkan dan dimanfaatkan

kembali oleh penguasa. Apalagi dalam sejarah 32 tahun Orde Baru berkuasa kekhawatiran itu menjelma dalam bentuknya yang kasatmata. Penguasa saat itu memanfaatkan ABRI sebagai instrumen kekuasaan belaka. Kedekatan dengan kekuasaan inilah yang menjadikan ABRI saat itu dihujat kiri kanan.

Problematika dalam meletakkan supremasi hukum sebagai landasan utama berdemokrasi dan upaya penegakan keadilan tidak semata-mata terletak pada halangan struktural atas lemahnya political will penegak hukum dalam penegakan prinsip justice for all, tetapi juga pada sangat mudahnya norma hukum tidak saja belum terisi oleh nilai-nilai keadilan, tetapi hukum juga sering kali mengabdikan diri sebagai instrumen kekuasaan. Dengan demikian, pengertian supremasi hukum menjadi tidak dengan sendirinya berarti menegakkan keadilan. Lembaga pemilu yang kita miliki selama ini belum menunjukkan kemampuan, ketidakberpihakkan, dan keterpercayaannya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Pengalaman pilpres dan beberapa pilkada menunjukkan adanya banyak kasus pelanggaran serius. Belum lagi mulai bergesernya peran dan kedudukan antarlembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif yang saling tergantung satu dengan lain dalam barter-barter politik yang saling menguatkan kekuasaan. Politik yang kita miliki hari ini hanya berhenti pada tataran ”strategi kelangsungan hidup” bagi para politisi dan penguasa. Politik uang dan kekuasaan jadi panglima. Masih jauh dari nilai-nilai dan tindakan etis di dalamnya.

Dalam suasana kebatinan semacam inilah kehadiran wacana hak pilih TNI kemudian menjadi kontra produktif dan menuai hujan kritik. Sebagian besar kalangan khawatir di satu sisi supremasi hukum masih tersendat-sendat dalam upaya penegakannya, di sisi lain aturan serta kebijakan lain yang berkaitan dengan pengaturan hak pilih TNI belum tersedia.

Menunda hak pilih TNI

Sebagian besar pihak memang akhirnya menyarankan sebaiknya hak pilih TNI ditunda hingga tahun 2019. Bagi saya waktu tidak terlalu penting karena esensinya justru bukan di sana. Esensi dari penundaan ini adalah, pertama, pemerintah dan DPR perlu menyiapkan perangkat aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak pilih TNI ini. Pemerintah perlu mengamandemen UU TNI, UU Pemilu, dan beberapa kebijakan yang bertentangan dengan pelaksanaan hak pilih TNI

Kedua, salah satu kendala yang cukup signifikan atas tegaknya supremasi hukum dalam arti sebenarnya, antara lain masih menguatnya berbagai yurisdiksi mahkamah militer yang cenderung mengabaikan akuntabilitas publik dalam proses peradilan serta tidak adanya pemilahan yang jelas terhadap berbagai pelanggaran yang sifatnya internal dalam tubuh militer sendiri; seperti desersi dengan pelanggaran

Page 11: HAK pilih TNI

HAM atau berbagai jenis pelanggaran pidana biasa seperti korupsi. Penyelesaian ini penting karena, jika hak pilih TNI kelak diberlakukan, publik akan tahu ke mana membawa sengketa yang terjadi antara masyarakat sipil dan anggota TNI.

Ketiga, di luar pentingnya keterampilan dan kemampuan TNI dalam kemiliteran dan kesejahteraan prajurit, pendidikan dan pembangunan prinsip-prinsip keadaban demokratik penting disosialisasikan. Intinya, bagaimana ketegangan ”efisiensi militer” dan keadaban demokrasi harus dikawinkan. Hal ini mungkin terlihat masih utopian, tetapi hak pilih TNI memang perlu dipersiapkan, tidak hanya di tingkat TNI, tetapi juga pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil lainnya.

Jaleswari Pramodhawardani Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, The Indonesian Institute

(Kompas : 24/6/ 2010)