“HAK ASUH ANAK AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN DAN...

38
USULAN PENELITIAN “HAK ASUH ANAK AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan, bersama dengan manusia yang lain. Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri atau terpisah dari kelompoknya. Hidup bersama sudah merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, yaitu baik secara jasmani maupun rohani. Manusia dalam kehidupannya saling berkomunikasi satu sama lainnya. Itulah mengapa di dalam kehidupan bermasyrakat akan selalu ditemui adanya interaksi antar manusia. Hal 1

description

Hukum

Transcript of “HAK ASUH ANAK AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN DAN...

21

USULAN PENELITIANHAK ASUH ANAK AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Latar BelakangManusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial diciptakan Tuhan untuk hidup berdampingan, bersama dengan manusia yang lain. Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri atau terpisah dari kelompoknya. Hidup bersama sudah merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, yaitu baik secara jasmani maupun rohani. Manusia dalam kehidupannya saling berkomunikasi satu sama lainnya. Itulah mengapa di dalam kehidupan bermasyrakat akan selalu ditemui adanya interaksi antar manusia. Hal inilah yang menimbulkan saling ketergantungan antara manusia satu dengan yang lainnya. Salah satu segi kehidupan bersama antar manusia adalah kehidupan antara seorang laki-laki dan wanita, yang dinamakan perkawinan. Setiap manusia di dalam kehidupannya akan menginginkan adanya perkawinan dengan tujuan berkeluarga dan meneruskan keturunannya dengan memiliki anak. Hidup bersama ini berperan sangat penting dan menimbulkan akibat dalam masyarakat, bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini mereka telah memeiliki ikatan lahir dan batin dan kalau kemudian ada anak-anak keturunan mereka, dengan anak-anaknya itu mereka merupakan suatu keluarga sendiri.[footnoteRef:1] [1: Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung, 1984), hlm 7.]

Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 1 mendefinisikan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[footnoteRef:2]. Dalam penjelasan di atas dapat diartikan bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Maka tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa[footnoteRef:3]. [2: Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.] [3: Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas Hukum Perdata, (Banjarmasin: Alumni, 2006)]

Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 2 mengamanatkan bahwa pernikahan harus dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal tersebut dijelaskan secara eksplisit bahwa perkawinan yang sah itu harus dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, sehingga wajib bagi mereka untuk seiman bila agamanya melarang.Dewasa ini seiring dengan perkembangan zaman hampir sebagian besar masyarakat perkotaan, masyarakatnya adalah masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, keturunan, ras serta agama yang berlainan. Hal-hal tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan baru didalam perkawinan, bukan hanya masalah perbedaan agama saja yang menjadi permasalahan di dalam perkawinan. Tidak mustahil dijumpai dalam masyarakat saat ini adanya perkawinan beda kewarganegaraan, yang dinamakan perkawinan campuran. Di Indonesia akhir-akhir ini tidak sedikit di jumpai dalam masyarakat adanya perkawinan campuran antara warga Indonesia dengan warga negara asing. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan Campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlaianan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi menurut UU No. 1/1974 perkawinan campuran terjadi karena perbedaan kewarganegaraan.Perkawinan campuran merupakan masalah Hukum Perdata Internasional, karena terdapat unsur asing (foreign element) yang tunduk pada negara asalnya. Perkawinan campuran termasuk dalam bidang status personal. Status personal diatur dalam Pasal 16 AB, dimana negara Indonesia menganut prinsip nasionalitas.[footnoteRef:4] [4: Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1995), hlm 7.]

Pada perkawinan campuran, seperti dalam perkawinan pada umumnya, kemungkinan lahir keturunan anak yang tidak jarang akan menimbulkan masalah yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang , secara langsung atau tidak langsung akan berakibat terhadap anak.Undang undang Kewarganegaraan yang baru, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 memperbolehkan status kewarganegaraan ganda bagi anak dari hasil perkawinan campur antar warga negara, hingga mencapai usia 18 tahun atau telah menikah.Kedudukan anak sangatlah penting jika dipandang dari beberapa sudut, dari sudut sosial, kedudukan anak memegang peranan, karena orang beranggapan bahwa perkawinan dapat dibilang sempurna apabila telah dikaruniai keturunan anak. Bahkan dipandang dari sudut lingkungan kekeluargaan yang berhubungan dengan suami-istri itu, mempunyai keturunan anak adalah perlu untuk mempertahankan garis keturunan keluarga tersebut. Jika dalam suatu lingkungan kekeluargaan tidak mempunyai keturunan anak, maka akan habis dan berhenti riwayat garis keturunan kekeluargaan itu. Jadi jelaslah bahwa anak itu sangat penting bagi setiap keluarga maupun bagi lingkungan kekeluargaannya, dengan maksud agar garis keturunan keluarga dapat dilanjutkan.Perkawinan campuran memang diperbolehkan di Indonesia, namun bukan berarti perkawinan campuran terjadi tanpa konsekuensi. Permasalahan yang timbul dari awal terjadinya perkawinan campuran adalah mengenai kewarganegaraan pihak yang melakukan perkawinan tersebut. Selain mengenai permasalahan kewarganegaraan juga mengenai permasalahan pilihan hukum mana yang akan digunakan setelah perkawinan berlangsung ataupun bila perkawinan berakhir dengan perceraian. Adapun kendala mengenai perlindungan hukum apabila dalam perkawinan campuran di Indonesia misalnya terjadi perceraian yang berimbas dalam hal pembagian harta, hak asuh anak, status kewarganegaraan anak dan sebagainya. Semua persoalan hukum yang timbul karena perkawinan campuran ini memperlihatkan unsur-unsur asing sehingga dalam hal ini persoalan tersebut termasuk dalam bidang Hukum Perdata Internasional. Persoalan-persoalan tersebut timbul dari awal terjadinya perkawinan ataupun jika perkawinan putus atau berakhir. Putusnya perkawinan dapat disebabkan antara lain karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak dijelaskan dalam Pasal 41 huruf a UU No.1 Tahun 1974. Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah Ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya.[footnoteRef:5] [5: Muhammad Syaifuddin (et al), Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm 371]

Putusnya perkawinan tentu menimbulkan banyak permasalahan. Masalah perceraian termasuk dalam bidang status personal, dimana perceraian yang dilakukan antara pasangan yang berkewarganegaraan sama menjadi tidak masalah, tetapi menjadi kurang dan sedikit ada masalah jika pasangan suami istri tersebut mempunyai kewarganegaraan yang berbeda. Permasalahan hukum yang terjadi akibat perceraian perkawinan campuran meliputi hubungan suami-istri, mengenai harta benda, maupun yang menyangkut masalah hak asuh anak. Perceraian bagi anak adalah tanda kematian keutuhan keluarganya, rasanya separuh diri anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Perceraian dalam perkawinan, apabila terjadi gugatan perceraian baik ayah maupun ibu sama-sama bersitegang mempertahankan untuk dapat memelihara anak-anaknya. Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian adalah seperti itu, hak asuh anak akan tetap jatuh kepada salah satu orang tuanya. Misalnya, kasus perceraian perkawinan campuran antara Nenad Bago (Warga Negara Kroasia) dan Paramitha Rusady (Warga Negara Indonesia) yang terjadi di Jakarta. Pasangan ini dikaruniai seorang anak yang masih dibawah umur yaitu berusia 5 tahun. Pada putusan perkaranya Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menunjuk dan menetapkan Paramitha Rusady selaku ibu kandungnya sebagai pihak yang berhak mengasuh dan merawat anak tersebut. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak dan bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan sang anak.Perkawinan campuran merupakan perkawinan antara dua orang beda kewarganegaraan, jika terjadi perceraian hak asuh yang dipermasalahkan dalam perkawinan campuran tidak sama seperti dalam perkawinan antara sesama Warga Negara Indonesia (WNI). Karena bila hak asuh anak jatuh kepada pasangan yang merupakan Warga Negara Asing (WNA), bukan tidak mungkin anak tersebut akan dibawa ke negara asalnya. Sehingga pasangan yang tidak mendapatkan hak asuh anak akan kesulitan menemui anaknya, begitu juga sebaliknya.Oleh karena itu , hak asuh anak yang merupakan akibat dari perceraian perkawinan campuran memiliki permasalahan tersendiri di dalamnya. Yang bukan hanya berkaitan mengenai siapa yang mengurus dan membiayai si anak, tetapi juga mengenai kewarganegaraan dan hak yang harus dimiliki dan dipenuhi kedua orangtua. Karena bagaimana pun anak tidak bersalah dan tidak pantas untuk menerima kosekuensi negatif dari berpisahnya kedua orang tuanya. Hal ini berkaitan dengan perlindungan anak yang sangat dibutuhkan bagi kesejahteraan anak tersebut.

Seperti latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis bermaksud membuat penelitian yang berjudul:HAK ASUH ANAK AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN BERKAITAN DENGAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK BERDASARKAN UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAKSepanjang sepengetahuan penulis belum pernah ada tulisan karya ilmiah yang membahas mengenai Hak Asuh Anak Akibat Putusnya Perkawinan Beda Kewarganegaraan Berkaitan Dengan Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 Dan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Adapun yang menyerupai antara lain:1. Hak Pengasuhan Anak Akibat Putusnya Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Glory M. M. H. S, 2009, Universitas Padjadjaran.2. Tinjauan Yuridis Mengenai Hak Pemeliharaan (Alimentasi) Anak Sah Sebagai Akibat Perceraian Dari Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Dini Noviani Maulida, 2008, Universitas Padjadjaran.

B. Identifikasi MasalahBerdasarkan uraian di atas, maka maka identifikasi masalah dalam Tugas Akhir ini adalah:1. Bagaimana perlindungan dan kesejahteraan terhadap hak asuh anak akibat putusnya perkawinan beda kewarganegaraan dtinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak?2. Apa saja hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pemeliharaan anak akibat putusnya perkawinan beda kewarganegaraan dan bagaimana penyelesaian pemeliharaan anak, jika orang tua yang diserahi pemeliharaan anak melalaikan kewajibannya?C. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah :1. Untuk mengetahui perlindungan dan kesejahteraan terhadap hak asuh anak akibat putusnya perkawinan beda kewarganegaraan dtinjau dari Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja hambatan-hambatan serta penyelesaiannya dalam pelaksanaan pemeliharaan anak akibat putusnya perkawinan beda kewarganegaraan.D. Kegunaan PenelitianPenelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan praktis, yaitu :1. Kegunaan Teoritisa. Hasil dari penelitian, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi hukum perdata di Indonesia, khususnya mengenai perlindungan dan kesejahteraan anak akibat putusnya perkawinan beda kewarganegaraan, sehingga diharapkan akan mendapatkan hasil yang berguna di masa yang akan datang;b. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.2. Kegunaan Praktisa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga masyarakat mengetahui dan menyadari arti penting dan hak seorang anak sebagai penerus bangsa tidak terkecuali dengan anak hasil perkawinan campuran.b. Mudah-mudahan dapat merupakan sumbangan kepada masyarakat luas sebagai bentuk pengabdian penulis dalam rangka mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi.

E. Kerangka PemikiranUndang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu[footnoteRef:6]. Oleh karena itu, menurut Pasal 28 E ayat (1) Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa : [6: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945]

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkan serta berhak kembali.Lebih lanjut ayat (2) menyatakan bahwa :Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.Landasan konstitusional ini menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang merupakan salah satu pemenuhan tuntunan masyarakat Indonesia selama ini agar di dalam bidang kekeluargaan terdapat ketentuan hukum yang maju sesuai dengan suasana kemerdekaan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Diundangkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut kemudian menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam pembangunan hukum sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN tahun 1999-2004.Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, adalah sebagai usaha pemerintah untuk melakukan pembenahan di bidang hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yaitu:Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[footnoteRef:7] [7: Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1]

Pengerian perkawinan campuran yaitu:Yang dimaksud perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.[footnoteRef:8] [8: Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 57]

Perkawinan campuran di Indonesia haruslah salah satu pihaknya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) dan harus sesuai dengan hukum yang berlaku ditempat dilangsungkannya perkawinan tersebut. Bila dilangsungkan di Indonesia maka harus tunduk pada hukum Indonesia namun bila dilangsungkan di negara asing asal pasangannya maka harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut. Walaupun, bagi WNI tidak boleh melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Perkawinan campuran dapat menimbulkan ketidakpastian terhadap status anak, dikarenakan kedua orang tua tunduk pada hukum yang berlainan. Adanya kepastian hukum terhadap anak dapat menunjang perkembangan anak dengan baik. Anak yang dimaksud adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[footnoteRef:9] [9: Undang-Undang No.3 Tahun 1977 Tentang Peradilan Anak, Pasal 1 ayat (1)]

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[footnoteRef:10], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. [10: Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Alumni, 1995) hlm 86.]

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anakanak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[footnoteRef:11] [11: Ibid, hlm 91]

Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas dan kewarganegaraan ganda terbatas.Pada suatu perkawinan tidak mustahil terjadi perceraian, karena dalam menjalani suatu perkawinan atau hidup berumahtangga seringkali terjadi kesalahpahaman, kecurigaan, pertengkaran yang menjadi suatu hal yang mungkin terjadi. Adapun kendala mengenai perlindungan hukum apabila dalam perkawinan campuran misalnya terjadi perceraian yang berimbas dalam hal pembagian harta, hak asuh anak, status kewarganegaraan anak dan sebagainya.Perceraian dalam perkawinan campuran tentulah berakibat pada hak asuh anak. Karena orangtuanya yang telah bercerai tetap memiliki kewajiban untuk anak-anaknya, baik secara moril maupun materil. Karena itu merupakan hak-hak yang dimiliki seorang anak, tidak peduli apakah orangtuanya telah bercerai atau tidak, anak harus tetap mendapatkan hak-haknya secara penuh.Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, pasal 41Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa :1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan memberi keputusannya.2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut.3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri[footnoteRef:12]. [12: Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 41]

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan akan terus berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.[footnoteRef:13] [13: Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 45]

Tidak berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 104 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan dengan jelas bahwa,semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya, apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.[footnoteRef:14] [14: Kompilasi Hukum Islam, Pasal 104]

Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadinya perceraian bahwa, pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dengan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.[footnoteRef:15] [15: Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105]

Sebagaimana yang dikemukakan dalam hukum Islam bahwa yang bertanggungjawab berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu hanya bersifat membantu dimana ibu hanya berkewajiban menyusui dan merawatnya. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.Hak-hak anak harus tetap terpenuhi dan harus dilindungi walaupun kedua orangtuanya telah becerai. Oleh sebab itu, perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana dalam Pasal 1 ayat (2), dinyatakan bahwa:Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin danmelindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai denganharkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungandari kekerasan dan diskriminasi.[footnoteRef:16] [16: Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (2)]

Perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan anak, pertama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping itu, karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial.[footnoteRef:17] [17: Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2012) hlm 70.]

Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak adalah:a. Anak tidak dapat berjuang sendiri; Anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang memengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child); Agar perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinisip the best interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak korban, disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya.c. Ancangan daur kehidupan (life circle approach); Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan anak harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Orangtua yang terdidik mementingkan sekolah anak-anak mereka. Orangtua yang sehat jasmani dan rohaninya, selalu menjaga tingkah laku kebutuhan, baik fisik maupun emosional anak-anak mereka.d. Lintas Sektoral; Nasib anak tergantung dari berbagai faktor, baik yang makro maupun mikro, yang langsung maupun tidak langsung. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan.[footnoteRef:18] [18: Ibid hlm 71.]

Orangtua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial[footnoteRef:19]. Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak diberi pengertian tentang kesejahteraan anak sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.[footnoteRef:20] [19: Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 9 ] [20: Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 huruf a]

F. Metode PenelitianDalam penelitian ini, penulis menggunakan langkah-langkah penelitian sebagai berikut :1. Metode PendekatanMetode pendekatan dalam penelitian Tugas Akhir ini adalah yuridis normatif[footnoteRef:21], yaitu penelitian dengan menganalisis aturan-aturan hukum yang memaparkan masalah perceraian dalam perkawinan campuran. Dalam hal ini akan memfokuskan pada hak asuh anak yang berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan anak. [21: Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) hlm 24.]

2. Spesifikasi PenelitianSpesifikasi penelitian dalam Tugas Akhir ini adalah deskriptif analitis[footnoteRef:22], yakni menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori-teori dan praktek pelaksanaannya yang menyangkut permasalahan yang diteliti. [22: Ibid, hlm 107.]

3. Tahap PenilitianPenelitian dalam Tugas Akhir ini dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu:a. Penelitian kepustakaan, tahap ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer maupun sekunder.1) Bahan Hukum PrimerMeliputi bahan hukum yang mengikat, berupa peraturan perundang-undangan yang masih berlaku, seperti :a) Undang-Undang Dasar 1945;b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinand) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak;e) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusiaf) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anakg) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan2) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer berupa karya ilmiah, artikel, dan buku-buku yang ditulis para ahli.3) Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan lain yang ada relevansinya dengan pokok permasalahan dan memberikan informasi tentang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, contohnya kamus dan opini-opini di surat kabar, majalah, maupun internet.4. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dalam Tugas Akhir ini menggunakan metode Penelitian Kepustakaan, yang diambil dari buku-buku yang berkaitan dengan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam Tugas Akhir ini. Yaitu mengumpulkan dan melakukan penelitian terhadap literatur-literatur serta dokumen-dokumen yang erat kaitannya topik penulisan ini. 5. Metode Analisis DataDalam menganalisis data penelitian ini, peneliti menggunakan metode yuridis kualitatif[footnoteRef:23]. Data diperoleh kemudian disusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah. [23: Ibid, hlm 105]

6. Lokasi PenelitianLokasi dalam rangka penelitian ini adalah :a. Penelitian Kepustakaan, antara lain :1) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Mochtar KusumaatmadjaJalan Dipatiukur Nomor 35 Bandung2) Perpustakaan Universitas IndonesiaGedung Crystal Knowledge, Kampus Universitas Indonesia DepokB. Sistematika PenulisanBAB IPENDAHULUANPada Bab I ini penulis akan membahas mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.BAB IIPENGATURAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIAPada Bab II ini penulis akan menguraikan tentang pengertian dan tujuan perkawinan, syarat sahnya perkawinan, perkawinan campuran secara umum menurut hukum positif di Indonesia. BAB IIIAKIBAT-AKIBAT HUKUM DARI PUTUSNYA PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN TERHADAP ANAK PASCA PERCERAIANPada Bab III ini penulis akan mengemukakan tentang akibat-akibat hukum yang akan terjadi dari putusnya perkawinan beda kewarganegaraan yang berdampak terhadap anak.BAB IVANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK SEBAGAI AKIBAT PERCERAIAN PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAANPada Bab IV ini penulis akan membahas mengenai perlindungan dan kesejahteraan anak akibat perceraian beda kewarganegaraan dalam menjamin pemenuhan hak-hak anak.BAB VPENUTUPBab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi. Dalam bab ini penulis akan membuat kesimpulan dari keseluruhan uraian skripsi dan memberikan beberapa saran yang diperoleh dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang PerkawinanUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1977 Tentang Peradilan AnakUndang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan AnakUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

B. BukuAbdurrahman, Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004.Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dan Perempuan. Bandung: PT Refika Aditama, 2012.Muhammad Syaifuddin (et al), Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.Riduan Syahrani, Seluk beluk Asas-asas Hukum Perdata. Banjarmasin: Alumni, 2006.Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: Alumni, 1995.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung, 1984.Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

1