EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

15
Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013 EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA Yusnir Pandu Kartika 084254052 (PPKn, FIS, UNESA) [email protected] Pudji Astuti 0027126003 (PPKn, FIS, UNESA) [email protected] Abstrak Penelitian yang dilakukan di Terminal Joyoboyo dan Terminal Purabaya Surabaya ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan di Kota Surabaya. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak merupakan salah satu kebijakan yang dibuat untuk melindungi hak anak termasuk anak jalanan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan responden Kepala Dinas Sosial dan anak-anak jalanan di Terminal Joyoboyo dan Purabaya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah random sampling karena pengambilan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan persentase. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa persentase penerapan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak terhadap anak jalanan tidak efektif yaitu sebesar 46,17%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan UU tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan ini tidak berjalan dengan baik. Faktor penegak hukum dan budaya hukum masih buruk dan menjadi faktor penghambat keefektifan undang-undang. Namun, Pemerintah Surabaya tetap melakukan upaya untuk menekan jumlah angka anak jalanan di Kota Surabaya melalui program razia, pembinaan dan bimbingan moral terhadap anak jalanan di Kota Surabaya. Disimpulkan bahwa program razia, pembinaan bakat dan bimbingan moral diterapkan pada anak jalanan sebagai bentuk implementasi UU Perlindungan Anak. Disarankan kepada pemerintah untuk memberikan penyuluhan kepada orang tua anak jalanan serta melakukan kerjasama dengan sanggar dan komunitas anak jalanan agar dapat memberantas dan memberdayakan keluarga anak jalanan. Kata Kunci: UU Perlindungan Anak, anak jalanan Abstract This study is conducted in Joyoboyo and Purabaya Terminal intent on the effectiveness of laws number 23, 2002 about children protection in the fringe area of Surabaya. The law number 23, 2002 is one of the policies that made for protecting children rights included waifs. This study applies qualitative descriptive design moreover the head of social and waifs department in Joyoboyo and Purabaya Terminal as the participant. The sample technique in this study use simple random sampling. This technique is applied because samples are taken randomly in one population by ignoring their strata in the population member. The analysis that is used in this study is percentage. The findings and discussions found 46,17% from the percentage of application of laws number 23, 2002 about children protection. It means that this law is ineffective. This result shows that the law about children protection is inapplicable. Enforcer factor sentences and still bad law culture and as statute effectiveness resistor factor. However, Surabaya public agency still effort to decrease the number of waifs in Surabaya by raid program, founding, and moral guidance for them. It can be concluded that the application of the raid program, founding, and moral guidance are kinds of the implementation the laws about children protection. The government is suggested to conduct counseling to waifs’ parents. Furthermore, good cooperation with waifs’ community is one of the best ways to make their life beneficial. Keywords: the laws of children protection, the waifs. PENDAHULUAN Kota Surabaya merupakan kota besar kedua di wilayah Indonesia setelah kota Jakarta. Kota Surabaya termasuk kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sekitarnya yang juga mampu menarik masyarakat di desa untuk urban ke Surabaya. Perkembangan pesat seperti berdirinya kantor- kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tidak dapat dipungkiri mendorong para urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan dikota ini. Tetapi bagi mereka yang

description

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : Yusniar Kartika, Pudji Astuti, http://ejournal.unesa.ac.id

Transcript of EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Page 1: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Yusnir Pandu Kartika 084254052 (PPKn, FIS, UNESA) [email protected]

Pudji Astuti 0027126003 (PPKn, FIS, UNESA) [email protected]

Abstrak Penelitian yang dilakukan di Terminal Joyoboyo dan Terminal Purabaya Surabaya ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan di Kota Surabaya. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak merupakan salah satu kebijakan yang dibuat untuk melindungi hak anak termasuk anak jalanan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan responden Kepala Dinas Sosial dan anak-anak jalanan di Terminal Joyoboyo dan Purabaya. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah random sampling karena pengambilan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan persentase. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa persentase penerapan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak terhadap anak jalanan tidak efektif yaitu sebesar 46,17%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan UU tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan ini tidak berjalan dengan baik. Faktor penegak hukum dan budaya hukum masih buruk dan menjadi faktor penghambat keefektifan undang-undang. Namun, Pemerintah Surabaya tetap melakukan upaya untuk menekan jumlah angka anak jalanan di Kota Surabaya melalui program razia, pembinaan dan bimbingan moral terhadap anak jalanan di Kota Surabaya. Disimpulkan bahwa program razia, pembinaan bakat dan bimbingan moral diterapkan pada anak jalanan sebagai bentuk implementasi UU Perlindungan Anak. Disarankan kepada pemerintah untuk memberikan penyuluhan kepada orang tua anak jalanan serta melakukan kerjasama dengan sanggar dan komunitas anak jalanan agar dapat memberantas dan memberdayakan keluarga anak jalanan. Kata Kunci: UU Perlindungan Anak, anak jalanan

Abstract This study is conducted in Joyoboyo and Purabaya Terminal intent on the effectiveness of laws number 23, 2002 about children protection in the fringe area of Surabaya. The law number 23, 2002 is one of the policies that made for protecting children rights included waifs. This study applies qualitative descriptive design moreover the head of social and waifs department in Joyoboyo and Purabaya Terminal as the participant. The sample technique in this study use simple random sampling. This technique is applied because samples are taken randomly in one population by ignoring their strata in the population member. The analysis that is used in this study is percentage. The findings and discussions found 46,17% from the percentage of application of laws number 23, 2002 about children protection. It means that this law is ineffective. This result shows that the law about children protection is inapplicable. Enforcer factor sentences and still bad law culture and as statute effectiveness resistor factor. However, Surabaya public agency still effort to decrease the number of waifs in Surabaya by raid program, founding, and moral guidance for them. It can be concluded that the application of the raid program, founding, and moral guidance are kinds of the implementation the laws about children protection. The government is suggested to conduct counseling to waifs’ parents. Furthermore, good cooperation with waifs’ community is one of the best ways to make their life beneficial. Keywords: the laws of children protection, the waifs.

PENDAHULUAN Kota Surabaya merupakan kota besar kedua di

wilayah Indonesia setelah kota Jakarta. Kota Surabaya termasuk kota yang menjadi pusat aktivitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sekitarnya yang juga mampu menarik masyarakat di desa untuk urban ke

Surabaya. Perkembangan pesat seperti berdirinya kantor-kantor, pusat perbelanjaan, sarana perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tidak dapat dipungkiri mendorong para urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan dikota ini. Tetapi bagi mereka yang

Page 2: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

belum beruntung dan tidak memiliki bekal pengalaman sebaliknya akan menjadi gelandangan atau pengemis. Di jalanan besar kota Surabaya maupun di dalam kendaraan umum seperti bis kota sering ditemui pemandangan beberapa anak usia sekolah yang meminta-minta, mengamen. Mereka inilah yang disebut anak jalanan.

Di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 jumlah anak jalanan sebesar 154.861 jiwa, sedangkan pada tahun 2011 terdapat 230.000 jiwa anak yang berada di jalanan (Badan Pusat Statistik). Jawa Timur dari data Dinas Sosial tahun 2009 terdapat 5.224 jiwa dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 5.324 jiwa. Di Surabaya sendiri jumlah anak jalanan meskipun telah menurun dari 795 jiwa pada tahun 2009 menjadi 790 pada tahun 2010 akan tetapi jumlahnya masih sangat besar (Dinas Sosial Surabaya.//www.surabaya.go.id).

Munculnya anak jalanan ini karena minimnya tingkat kesejahteraan penduduk sehingga mengharuskan anak-anak bekerja dijalanan. Kehadiran anak jalanan ini juga tidak terlepas dari pengaruh sosial budaya, pendidikan dan psikologis. Anak jalanan yang sebagian atau seluruh waktunya dihabiskan di jalanan menyebabkan mereka rentan akan kejahatan baik berupa fisik maupun seksual. Untuk menjamin dan melindungi keberadaan mereka pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan anak, antara lain: Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1990 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak jalanan ini karena mereka adalah generasi penerus bangsa di masa depan. Selain itu tujuan dari kebijakan yang hendak dicapai adalah mewujudkan kehidupan yang sejahtera untuk anak-anak Indonesia.

Pengertian anak jalanan tidak diatur dengan jelas dalam undang-undang akan tetapi dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraaan Anak Pasal 1 Nomor 7 dijelaskan mengenai pengertian dari anak terlantar, yang bunyi dari pasal tersebut adalah: “Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI anak jalanan adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai faktor seperti ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya membuat mereka turun ke jalan.

Menurut Sudrajat (1996:151-152) terdapat dua kategori dalam pengelompokan anak jalanan, yaitu anak-anak yang bekerja di jalanan (Children on the street) dan

anak-anak yang hidup di jalanan (Children of the street) namun terdapat penambahan kategori, yaitu anak-anak dari keluarga yang ada di jalanan. Pengertian untuk kategori anak-anak yang bekerja di jalanan adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga.

Masyarakat juga menjadi faktor anak-anak turun ke jalan, karena masyarakat membawa pengaruh yang besar terhadap perilaku anak. Di dalam suatu masyarakat tentunya terdapat nilai-nilai sosial budaya yang mempengaruhi pola tingkah laku anak, karena anak cenderung meniru apa yang sering dilihatnya. Pengaruh dari teman sebaya dapat juga membuat seorang anak menjadi anak jalanan karena masyarakat dan teman sebaya membawa pengaruh besar terhadap diri seorang anak. Seorang anak yang di didik dengan baik di dalam keluarga belum tentu menjadi anak yang baik jika masyarakat luar tidak mendukungnya. Anak yang berusia berkisar antara umur 6 tahun sampai 18 tahun seharusnya duduk di bangku sekolah dan belajar, namun dengan adanya keadaan yang terpaksa mereka harus bekerja di jalanan untuk mencari penghasilan demi bertahan hidup. Padahal setiap anak-anak yang ada di jalanan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang artinya bahwa negara atau pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan berupa pemberian tempat dan sarana yang layak untuk menampung anak-anak terlantar dan fakir miskin guna menghormati kedudukan haknya yang sama sebagai warga Negara.

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 merupakan salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi hak anak yang juga merupakan hak asasi manusia. Anak perlu mendapatkan perlindungan karena anak merupakan generasi yang berharga bagi Negara di masa depan. Setiap anak memiliki hak yang sama tanpa adanya pengecualian. Oleh sebab itu anak perlu mendapatkan kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang secara optimal agar dapat menjadi manusia yang utuh dan memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri, bangsa dan negaranya. Undang-undang tentang perlindungan anak ini lahir karena kemungkinan masih terdapat kasus mengenai penyimpangan terhadap hak anak.

Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini memiliki kaitan dengan keberadaan anak jalanan khusus dalam mendapatkan hak-haknya. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan

Page 3: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak bagi anak jalanan. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang di harapkan sebagai penerus bangsa. Penelitin ini dilakukn karena ingin melihat dan mengkaji apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini efektif dalam mengentaskan kasus anak jalanan di kota Surabaya. Sedangkan alasan memilih Kota Surabaya Selatan karena kawasan tersebut terdapat kawasan terminal umum yang terkenal dengan banyaknya anak jalanan yang berkumpul disana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja yaitu Terminal Bungurasih dan Terminal Joyoboyo. Berdasarkan latar belakang. diatas maka dapat dirumuskan masalah yaitu: Bagaimana efektivitas penerapan UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak terhadap anak jalanan di Kota Surabaya? Kajian tentang UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Seorang anak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan orang dewasa sebagai manusia. Pengawasan terhadap hak anak baik secara pribadi maupun dari masyarakat perlu dilakukan yang bertujuan melindungi hak-hak anak serta mencegah pengaruh negatif yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Pengawasan yang dilakukan tidak hanya dari orang tua saja, akan tetapi peran serta masyarakat dan pemerintah juga dapat menentukan nasib anak. Salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam hal melindungi anak bangsa adalah dengan memberikan suatu perlindungan hukum bagi anak. Melalui perlindungan hukum yang dibuat tersebut, diharapkan dapat memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia.

Diundangkannya UU No.23 Tahun 2002 ini juga merupakan salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) Tahun 1990. Pemerintah perlu menjamin atau memberikan perlindungan secara khusus terhadap keseluruhan aspek yang berkaitan dengan keberadaan anak-anak sebagai tunas bangsa. Anak diberikan kesempatan yang seluas-luasnya agar dapat tumbuh dan berkembang secara layak tanpa diliputi rasa khawatir atau mendapat tekanan.

Tujuan dari diadakannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini tertera dalam pasal 3, Dalam pasal tersebut menjelaskan tentang tujuan diadakannya perlindungan anak, yang diharapkan seluruh anak mendapatkan hak-haknya dan melindungi hak anak

dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga dengan adanya perlindungan anak tersebut, dapat mewujudkan harapan dalam meningkatkan kualitas anak Indonesia.

Pengaturan tentang Perlindungan Anak. Di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak terdapat 93 pasal aturan yang mengatur tentang perlindungan anak dan terdapat 24 pasal mengenai hukuman apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan perlindungan anak. Ketentuan tentang hukuman terhadap pelanggaran perlindungan anak tercantum pada bab XII tentang ketentuan pidana yang mencakup dari pasal 77 sampai dengan pasal 90. Dalam pasal 77 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan mengenai aturan pidana apabila seseorang melakukan diskriminasi dan penelantaran terhadap seorang anak sehingga menyebabkan anak tersebut mengalami sakit maka akan dikenai pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Didalam pasal 88 UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan mengenai aturan tentang eksploitasi anak. dalam pasal tersebut telah dijelaskan bahwa segala bentuk eksploitasi terhadap anak, baik itu eksploitasi ekonomi maupun eksploitasi seksual yang mana tindakan tersebut bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, maka dikenai pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Jenis Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002. Terdapat 5 (lima) hal tentang perlindungan terhadap anak yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan itu antara lain adalah yang pertama perlindungan agama dalam pasal 42 ayat (1) dan ayat (2); Perlindungan terhadap anak yang kedua adalah dalam hal kesehatan yang tercantum dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 44 ayat (1) sampai ayat (5), pasal 45 ayat (1), (2), (3), pasal 46 dan pasal 47 ayat (1) dan (2). Selanjutnya yang ketiga adalah perlindungan anak dalam hal pendidikan yang tercantum dalam pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51, pasal 52, pasal 53, dan pasal 54. Perlindungan anak yang keempat dalam UU No.23 Tahun 2002 ini selanjutnya adalah dalam hal sosial yang tercantum dalam pasal 55, pasal 56, pasal 57 dan pasal 58. Perlindungan terhadap anak yang ada dalam undang-undang ini yang terakhir adalah perlindungan khusus yang tercantum dalam pasal 59, pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 63, pasal 64, pasal 65, pasal 66, pasal 67, pasal 68, pasal 69, pasal 70 dan pasal 71.

Perlindungan khusus yang diberikan untuk anak ini memiliki tujuan untuk melindungi anak-anak yang berhadapan dengan hukum agar memperoleh keadilan.

Page 4: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

Selain itu pasal ini melindungi anak-anak agar terhindar dari bahaya obat-obatan terlarang dan tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan anak itu sendiri. Pasal ini juga menjelaskan bahwa Negara ikut bertanggung jawab masalah anak korban perlakuan salah dan penelantaran agar mendapatkan perlindungan hukum. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran mendapatkan perlindungan khusus karena anak-anak ini seharusnya masih berada dalam penguasaan orang tuanya tapi karena suatu hal maka mereka menjadi terlantar. Sehingga hak dan kewajibannya tidak ada yang melindungi, dan Negara wajib untuk melindunginya mengingat anak adalah pemimpin bangsa di masa yang akana datang.

Kajian tentang Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang di harapkan dengan hasil yang dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Seperti yang di kemukakan Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang mendefinisikan efektivitas sebagai berikut: “ That is, the greater the extent it which an organization’s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness”. Artinya yaitu semakin besar tujuan organisasi yang terpenuhi atau terlampaui, semakin besar effektivitasnya (Gedeian dkk. 1991 hal. 105 ). Efektivitas adalah menggambarkan seluruh siklus input, proses dan output yang mengacu pada hasil guna suatu organisasi. program atau kegiatan yang menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas dan waktu) telah tercapai, serta ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai target-targetnya. Hal ini berarti, bahwa pengertian efektivitas yang dipentingkan adalah semata-mata hasil tujuan yang dikehendaki. Berbagai pandangan ini memahami efektivitas sebagai proses negoisasi yang terus menerus dari sesuatu yang dihasilkan. Proses yang dipakai oleh para pimpinan instansi untuk menetapkan efektivitas organisasi mencakup pengamatan terhadap lingkungan yang terus menerus guna menjamin bahwa output-output organisasi yang dipakai oleh seorang anggota kelompok dapat diterima.

Teori Efektivitas dari Soerjono Soekanto. Berdasarkan Teori Efektivitas hukum yang dikemukakan Soekanto dalam pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1977 terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi efektivitas dalam pelaksanaan penegakan hukum (Salman, 2004) ,

yaitu: (1)Hukumnya, (2) Penegak Hukumnya, (3) Fasilitasnya, (4) Kesadaran hukum, (5) Budaya Hukum. Berdasarkan (1)Hukumnya E. Utrecht dalam Kansil (1986: 38) “hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank arena itu harus ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Soerjono Soekanto (1993: 5) menyebutkan “hukum dapat berlaku bila mempunyai syarat yakni secara filosofis, yuridis dan sosiologi” misalnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis, dan filosofis. Berlaku secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis artinya kaedah tersebut berlaku kareana diterima dan diakui oleh masyarakat.

Berdasarkan (2) Penegak hukumnya, Penegak hukum merupakan suatu aparatur pemerintahan yang mempunyai tugas dalam menegakkan suatu peraturan perundang-undangan. Menurut Soerjono Soekanto (1983: 34) penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Hukum dapat berfungsi dengan baik tergantung pada petugas penegak hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka tidak ada keseimbangan dalam menegakkan hukum. Hukum dapat berfungsi dengan baik tergantung pada petugas penegak hukum, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka tidak ada keseimbangan dalam menegakkan hukum.

Berdasarkan (3) Fasilitasnya, Suatu proses penegakan hukum pastinya membutuhkan sarana atau fasilitas pendukung.Sarana dan fasilitas merupakan alat dalam pencapaian penegakan hukum. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Negara ataupun penguasa harus mempunyai sarana dan fasilitas pendukung agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan (4) Kesadaran hukum masyarakat, tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mangakibatkan para masyarakat mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah. Misalnya tidak main hakim sendiri.

Berdasarkan (5) Budaya hukumnya,misalnya perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang adanya budaya malu (shame cultur), dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum-hukum yang berlaku (guility feeling).

567

Page 5: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

Kelima faktor di atas saling berkaitan, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari penegakan hukum. Penegakan hukum dapat berjalan efektif apabila dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diungkapkan Soerjono Soekanto tersebut. Apabila salah satu faktor tersebut kurang maka, penegakan hukum juga kurang berjalan dengan baik. Sehingga dalam menentukan penegakan hukum, ada beberapa faktor yang dapat menggolongkan apakah penegakan hukum itu sudah berjalan dengan efektif atau belum. Syarat-syarat hukum yang efektif adalah: (1) Undang-undang dirancang dengan baik, maksudnya kaidahnya harus jelas, mudah dipahami dan penuh kepastian, (2) Sanksi yang di jatuhkan harus tepat dan sesuai tujuan dari undang-undang itu sendiri, (3) Beratnya sanksi harus sebanding dengan bentuk pelanggarannya, mengatur tentang perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah), memuat larangan yang tidak sesuai dengan norma dan moral, sebagai pelaksana hukum wajib menjalankan tugasnya dengan baik, menyebarluaskan UU, penafsiran hukum yang seragam dan dilakukan secara konsisten.

Kajian tentang Anak Jalanan

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 pasal 47 (1) dikatakan bahwa anak adalah “seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”. Sedangkan dalam Undang No.4 tahun 1974 tentang kesejahteraan anak disebutkan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah.

Anak merupakan makhluk sosial yang juga seperti orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya karena seorang anak lahir dalam keadaan lemah. Sedangkan menurut Konvensi Hak Anak dalam pasal 1 menyebutkan bahwa seorang anak berarti setiap manusia dibawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa anak adalah seseorang yang berusia 0 - 21 tahun.

Definisi anak jalanan Menurut Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, yang juga termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami pubertas. Menurut psikologi, anak adalah periode perkembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam

tahun, periode ini biasanya di sebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun-tahun sekolah dasar. Dalam situs Wikipedia anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya (http://www.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan diakses pada 27/7/2012 jam 11:55WIB). Menurut Departemen Sosial RI anak jalanan adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai faktor seperti ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya yang membuat mereka turun ke jalan.

Jenis-jenis Anak Jalanan Menurut Sudrajat (1996:151-152) terdapat dua kategori dalam pengelompokan anak jalanan, yaitu anak-anak yang bekerja di jalanan (Children on the street) dan anak-anak yang hidup di jalanan (Children of the street) namun terdapat penambahan kategori, yaitu anak-anak dari keluarga yang ada di jalanan. Pengertian untuk kategori anak-anak yang bekerja di jalanan adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga.

Anak-anak yang bekerja di jalanan ini di bagi dalam dua kelompok yaitu anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. Anak-anak yang hidup di jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Sedangkan pengertian dari anak-anak dari keluarga yang ada di jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggal di jalanan juga.

Karakteristik Anak Jalanan Menurut Hasanah (2008:29) ciri anak jalanan terbagi dalam dua kategori yaitu ciri fisik dan psikis. Ciri-ciri fisik tersebut diantaranya adalah warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian yang dipakai terlihat kumal atau tidak terurus. Sedangkan ciri-ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk mempunyai rasa penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, kreatif, semangat hidup tinggi, berani menanggung resiko, dan mandiri (BKKBN,1997:24)

Faktor Penyebab Anak Jalanan Menurut Sudrajat (1996) terdapat beberapa hal yang menyebabkan munculnya anak jalanan, yaitu: a) Sejumlah kebijakan

Page 6: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

makro dalam bidang sosial ekonomi telah menyumbang munculnya fenomena anak jalanan. b) Modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi menyebabkan terjadinya perubahan jumlah anggota keluarga dan gaya hidup yang membuat dukungan sosial dan perlindungan terhadap anak menjadi berkurang. c) Kekerasan dalam keluarga menjadi latar belakang penting penyebab anak keluar dari rumah dan umumnya terjadi dalam keluarga yang mengalami tekanan ekonomi dan jumlah anggota keluarga yang besar. d)Terkait permasalahan ekonomi sehingga anak terpaksa ikut membantu orang tua dengan bekerja dijalanan. e) Orang tua “mengkaryakan” sebagai sumber ekonomi keluarga pengganti peran yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.

Akibat Adanya Anak Jalanan Menurut Rosdalina (2007:29) Ada beberapa dampak negatif yang diakibatkan oleh maraknya anak jalanan, diantaranya adalah sebagai berikut: (1)Tumbuhnya premanisme, Premanisme dan anak jalanan merupakan suatu fenomena yang saling barkaitan. Kehidupan anak-anak jalanan yang cenderung bebas rentan akan tindakan kekerasan. (2) Kenyamanan pemakai jalan raya dan terminal menjadi terganggu, Banyaknya anak jalanan yang berkeliaran mengakibatkan terganggunya lalu lintas di jalan raya. Kegiatan anak jalanan ini tentunya juga mengganggu para pengguna jalan raya dan juga para penumpang di terminal. (3) Mengganggu keindahan dan ketertiban kota, Anak-anak jalanan yang berkeliaran di jalanan dan di taman-taman kota akan dianggap mengganggu ketetiban kota karena anak-anak ini terlihat tidak terurus. (4)Terbengkalainya pendidikan anak-anak, Anak-anak yang bekerja dijalanan rentan dengan putus sekolah. Hal ini dikarenakan waktu mereka lebih banyak digunakan untuk bekerja dari pada belajar di sekolah, sehingga akibatnya pendidikan mereka akan terbengkalai dan berimbas pula pada masa depan anak tersebut. (5) Mendorong tindakan-tindakan kriminal di jalan raya dan terminal. (5) Kehidupan anak-anak dijalanan rentan dengan tindakan-tindakan kriminal. Hal ini diakibatkan karena mereka berebut kekuasaan dan penghasilan dengan anak-anak yang lain, sehingga berbagai cara aka dilakukan demi mendapatkan keinginan tersebut.

Perlindungan terhadap Anak Jalanan.Menurut pasal 1 nomor 2 dalam UU No.23 Tahun 2002 yang di maksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Menurut Gosita ( 1996:14) perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban

anak secara manusiawi positif. Ini berarti di lindunginya anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungangan hidup, bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sendiri atau bersama para pelindungnya.

Menurut Arief, perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. (Barda Nawawi Arief, 1998:155).

Di Indonesia banyak peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah dalam upaya melindungi hak-hak anak serta mengatasi masalah tentang anak terutama termasuk eksploitasi anak. Peraturan tersebut adalah sebagai berikut: a) UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; b) Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989; c) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

METODE

Jenis penelitian ialah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pada metode ini dengan perhitungan yaitu data yang diperoleh dari jawaban responden terhadap angket yang bersifat terbuka, kemudian data tersebut dikuantitatifkan atau diangkakan. Setelah diperoleh angka, kemudian dijumlahkan dan dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan sehingga dapat dipersentasekan. Penelitian deskriptif dirasa cocok karena berusaha untuk mendeskripsikan efektivitas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan. Melalui metode ini diharapkan mampu memaparkan masalah dengan jelas, menyeluruh dan mendalam. (Sugiyono, 2009:143).

Lokasi dalam penelitian ini berada di kawasan Surabaya Selatan yaitu di Terminal Purabaya dan Terminal Joyoboyo. Waktu penelitian ini dimulai dari perizinan penelitian sampai dengan pembuatan laporan. Populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak jalanan di kawasan Surabaya Selatan dan seluruh pegawai Dinas Sosial Surabaya yang ikut berperan dalam mengatasi permasalahan anak jalanan di Surabaya. Anak jalanan yang ada di Terminal Joyoboyo dan Purabaya ini berjumlah 189 orang. Pegawai Dinas Sosial berjumlah 22 orang. Namun peneliti hanya di ijinkan untuk mewawancarai 1 orang saja yaitu dengan Kepala Dinas Sosial.

569

Page 7: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

Jumlah Populasi

Keterangan

189 Orang

Anak jalanan usia ≤ 18 tahun

1 Orang Kepala Dinas Sosial

Dalam penelitian ini untuk subjek anak jalanan

diambil sampel sebesar 15% dengan menggunakan teknik random sampling, karena pengambilan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi dan dapat dilakukan apabila anggota populasi dianggap homogen. Karena jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 15% dari jumlah populasi, maka jumlah sampelnya sebanyak 30 orang. Sedangkan untuk Dinas Sosial sampelnya hanya 1 orang saja yaitu Kepala Dinas Sosial Surabaya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini: a) Angket, Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket terbuka, yaitu salah satu jenis angket dimana item pertanyaan pada angket tidak disertai jawaban sehingga responden dapat menjawab sesuai keinginannya. Angket digunakan untuk mencari data yang berhubungan dengan efektivitas undang-undang yang dilakukan oleh Dinas Sosial dalam memberikan perlindungan terhadap anak jalanan di kawasan Surabaya Selatan. Angket diberikan pada anak jalanan sebagai cross check atas jawaban yang diberikan oleh Dinas Sosial. b) Wawancara, Wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai proses yang dilakukan oleh Dinas Sosial dalam mengimplementasikan UU Perlindungan Anak yang berkaitan dengan terhadap anak jalanan. c) Dokumen dalam penelitian ini menggunakan catatan dan data dari pelaksanaan perlindungan anak jalanan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Surabaya.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif dalam bentuk prosentase, dengan rumus sebagai berikut :

P = Hasil akhir dalam persentase. n = Nilai realita hasil dalam angket. N = Nilai maksimum, yaitu jumlah responden dikalikan nilai tertinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil persentase penerapan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan di Kota Surabaya.

1. Perlindungan terhadap Anak Jalanan, Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib mendapatkan perlindungan dengan harapan agar dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik supaya menjadi manusia yang beradab. Perlindungan yang diberikan pemerintah terhadap anak menurut UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah perlindungan agama, perlindungan kesehatan, perlindungan pendidikan, perlindungan sosial dan yang terakhir perlindungan khusus. Berikut ini adalah hasil angket tentang penerapan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak terhadap anak jalanan di kota Surabaya yang menggunakan penggolongan jawaban :

Tabel.1 Perlindungan Agama

No No. Pertanyaan

Jawaban jumlah %

11 3. Agama orangtua mu apa?

Islam

Kristen

Dll

29

1

0

96,67%

3,33%

0%

2 4. Kamu mengikuti agama siapa?

Orangtua

Sendiri

Dll

30

0

0

100%

0%

0%

3 5. Apakah kamu diberi kesempatan/ waktu untuk melakukan ibadah sesuai agamamu?

Ya

Tidak

Dll

18

5

7

60,00%

16,67%

23,33%

Sesuai dengan angket diatas menunjukkan sebanyak

29 atau 96,67% orang tua dari anak jalanan beragama Islam. Sedangkan sebanyak 1 atau 3,33% orang tua mereka beragama Kristen dan sebanyak 0% yang beragama selain Islam dan Kristen. Pada nomor item 2 menunjukkan bahwa sebanyak 30 atau 100% anak jalanan mengikuti agama yang dianut oleh orang tuanya dan sebanyak 0% atau hampir tidak ada yang tidak mengikuti agama orangtuanya . Namun hanya sebanyak 18 anak atau 60,00% yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan ibadah. Sebanyak 5 anak atau 16,67% tidak mendapatkan kesempatan beribadah dengan alasan tidak sempat/ tidak memiliki waktu beribadah. Sedangkan sebanyak 7 anak atau 23,33% menyatakan alasan lain misalnya malas melakukan ibadah, tidak tahu caranya beribadah dan lain-lain yang pada intinya mereka

Page 8: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

tidak melaksanakan ibadah dikarenakan faktor dari diri mereka sendiri.

Dari hasil angket berdasarkan perlindungan agama, maka UU Perlindungan Anak ini 83,33% sudah terealisasi sedangkan 16,67% belum teralisasi. Angka realisasi ini diambil dari item soal nomor 3 yaitu tentang kebebasan untuk melakukan ibadah sesuai agamanya masing-masing.

Tabel.2 Perlindungan Kesehatan

No No. Pertanyaan

Jawaban jumlah

%

4 6. Ketika kamu sakit, apakah ada yang merawatmu? Kalau ada, siapa?

Orang tua Teman Sendiri

14 9 7

46,67%

30,00%

23,33%

5 7. Kalau kamu sakit, apa upaya yang dilakukan oleh orang tua/ pengasuhmu?

Dibawa ke puskesmas Beli obat sendiri

8

22

26,67%

73.33%

6 8. Jika kamu pernah dibawa ke puskesmas bagaimana pelayanannya?

Baik Buruk Biasa saja

24 0 6

80,00%

0% 20.00

%

Sesuai dengan hasil angket diatas menunjukkan

bahwa sebesar 46,67% atau dari 14 anak ketika sedang sakit masih dirawat orang tuanya karena mereka masih tinggal bersama orang tua mereka. Sedangkan sebanyak 30,00% atau 9 anak mengaku dirawat oleh temannya ketika sedang sakit dengan alasan bahwa mereka memang sudah tidak memiliki orang tua lagi. atau orang tua mereka bercerai sehingga mereka keluar dari rumah dan hidup dengan teman-temannya.Kemudian sebanyak 23,33% atau sebanyak 7 anak mengaku tidak ada yang merawatnya ketika sedang sakit sehingga mereka berusaha sendiri. Adapun alasan mereka adalah hampir sama dengan alasan anak-anak yang dirawat oleh temannya ketika sedang sakit, akan tetapi bedanya adalah anak-anak yang merawat dirinya sendiri mereka mengaku bahwa lebih baik merawat diri sendiri daripada menyusahkan teman atau orang tuanya.

Berdasarkan pada tabel diatas menjelaskan bahwa sebanyak 26,67% atau 8 anak ketika mereka sakit, orang tua atau pengasuh mereka akan membawa ke puskesmas dengan alasan biaya berobat di puskesmas lebih murah atau lebih terjangkau daripada biaya berobat ke praktek dokter selain itu juga untuk menghindari kesalahan penggunaan obat. Sedangkan sebanyak 22 anak atau 73,33% upaya yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh mereka ketika mereka sedang sakit adalah dengan membeli obat sendiri yang dijual diwarung-warung. Adapun alasannya adalah karena mereka tidak mampu membayar biaya pengobatan. Hasil angket diatas menunjukkan bahwa perlindungan kesehatan pada anak belum berjalan dengan maksimal.

Berdasarkan hasil angket diatas menunjukkan bahwa dari 30 yang ada, sebesar 24 anak atau 80,00% mengatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh puskesmas baik dan tidak membedakan atau melihat dari mana keluarga pasien itu berasal. Sedangkan sebanyak 6 anak atau 20,00% menjawab pelayanan yang diberikan pihak puskesmas biasa saja, dan 0% atau tidak ada responden yang menyatakan pelayanan dari pihak puskesmas buruk terhadap mereka. Jadi berdasarkan hasil angket tentang perlindungan kesehatan untuk anak jalanan maka penerapan UU Perlindungan Anak ini adalah 57,78% sudah terealisasi dan 42,22% belum terealisasi dengan baik. Angka ini didapat dari item soal nomor 6 dan item soal nomor 7.

Tabel.3 Perlindungan Pendidikan

No Pertanyaan Jawaban Jumlah % 7 9. Apakah

kamu sekolah?

Ya Tidak

9 21

30,00% 70,00%

8 10. Pernahkah kamu dilarang sekolah? dan siapa yang melarang?

Pernah Tidak Pernah Keinginan Sendiri (Bolos)

5 14 11

16,67% 46,67% 36,67%

Hasil angket dalam tabel diatas menunjukkan bahwa

sebanyak 9 anak atau 30,00% menyatakan masih bersekolah di sekolah formal. Mereka yang masih sekolah mengatakan bahwa mereka mulai bekerja setelah pulang sekolah dan uangnya digunakan untuk membantu orangtua. Rata-rata mereka yang masih bersekolah pada tingkat SD. Sedangkan 21 anak atau 70,00% sudah tidak sekolah lagi. Mereka umumnya putus sekolah pada

571

Page 9: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

jenjang SMP, hal ini dikarenakan mereka berfikir lebih baik bekerja dan mendapatkan uang daripada harus bersekolah. Ada juga yang beralasan penyebab putus sekolah adalah karena terlibat tawuran di sekolah dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah.

Selanjutnya sebanyak 5 anak atau 16,67% pernah dilarang pergi kesekolah oleh orang tua nya. Hak ini disebabkan karena tidak adanya biaya untuk membayar sekolah, dan orang tua meminta untuk turut ikut bekerja saja daripada kesekolah dengan alasan untuk menopang hidupnya. Sebanyak 14 anak atau 46,67% tidak pernah ada yang melaarang untuk kesekolah. Sedangkan sebanyak 11 anak atau 36,67% tidak ada yang pernah melarang pergi kesekolah akan tetapi mereka bolos sekolah sendiri. Alasan mereka adalah karena merasa lebih senang bekerja bersama teman-teman daripada harus belajar disekolah.

Jadi berdasarkan hasil angket diatas maka penerapan UU Perlindungan anak berdasarkan perlindungan pendidikan adalah 56,67% sudah terealisasi sedangkan 43,33% tidak terealisasi. Angka ini di dapat dari item soal nomor 9 dan 10 yaitu dari jawaban “ya”, “tidak pernah”, dan jawaban “keinginan sendiri/ bolos” termasuk dalam kategori terealisasi sedangkan jawaban “tidak” (soal nomor 9) dan “pernah” (soal nomor 10) termasuk dalam kategori tidak terealisasi.

Tabel. 4 Upaya yang Dilakukan Pemerintah

No No. Pertanyaan

Jawaban Jumlah %

9 11. Apakah kamu pernah ”diciduk”/ dirazia oleh Satpol PP?

Pernah Tidak Pernah

6 24

20,00% 80,00%

10 12. Ketika kamu dirazia/ “diciduk”, perlakuan apa yang kamu dapatkan dari para petugas?

Baik Kasar Tidak Tahu

2 4 24

6,67% 13,33% 80,00%

11 13. Apakah kamu pernah dimasukkan ke dalam rumah singgah?(kalau pernah dimana?)

Pernah Tidak Pernah Tidak Tahu

14 16 0

46,67% 53,33%

0%

12 14. Pernahkah kamu kabur/ mencoba

Pernah Tidak Pernah

7 7 16

23,33% 23,33% 53,33%

kabur dari rumah singgah?Apa alasannya?

Tidak Tahu

13 15. Selama kamu berada di rumah singgah, apa yang kamu dapatkan?

Kesenian Pelajaran Tidak Tahu

7 7 16

23,33% 23,33% 53,33%

Data tabel diatas menunjukkan bahwa sebanyak 6 anak atau 20,00% pernah dirazia oleh petugas Satpol PP ketika bekerja dijalanan. Ada diantara mereka yang melarikan diri ketika berada di tempat rehabilitasi. Sedangkan dari 30 anak terdapat 80% atau 24 anak yang tidak pernah atau belum pernah dirazia oleh petugas Satpol PP. sebanyak 80,00% atau sebanyak 24 anak mengaku tidak tahu bagaimana perlakuan dari petugas Satpol PP dikarenakan mereka belum pernah dirazia oleh satpol PP, kalaupun ada petugas yang beroperasi mereka melarikan diri atau bersembunyi sehingga tidak terkena razia. Sebanyak 13,33% atau sebanyak 4 anak mengatakan bahwa mereka mendapatkan perlakuan kasar dari petugas Satpol PP. Akan tetapi terdapat sebanyak 6,67% atau sebanyak 2 anak mengaku mereka mendapatkan perlakuan yang baik, dari petugas Satpol PP terutama ketika berada di rumah singgah.

Berdasarkan hasil data diatas menunjukkan bahwa sebanyak 46,67% atau sebanyak 14 anak pernah masuk dalam rumah singgah. Dari 14 anak yang pernah masuk rumah singgah, 9 diantaranya mengaku pernah belajar di Sanggar Alang-Alang yang terletak di belakang terminal Joyoboyo. Terdapat 4 anak diantara 14 anak tersebut pernah belajar di SSC (Save Street Child), sedangkan 1 orang anak pernah masuk ke panti rehabilitasi. Sebanyak 53,33% atau 16 anak menjawab tidak pernah masuk rumah singgah.

Berdasarkan item soal nomor 15 menunjukkan bahwa terdapat 23,33% atau 7 anak yang pernah mencoba kabur dari rumah singgah. Sedangkan sebanyak 23,33% atau 7 anak lainnya mengatakan tidak pernah mencoba kabur dari rumah singgah. Sebanyak 53,33% atau sebanyak 16 anak mengaku tidak tahu karena mereka tidak pernah tinggal di rumah singgah.

Berdasarkan tabel pada item soal nomor 14 menunjukkan bahwa sebanyak 23,33% atau sebanyak 7 anak mengatakan bahwa selama mereka berada dirumah singgah, mereka mendapatkan berbagai ilmu tentang kesenian,misalnya melukis, permainan alat musik dan lain-lain. Tetapi kebanyakan mereka belajar tentang alat musik, karena untuk bekal mereka bekerja dijalanan. Selain itu terdapat sebanyak 23,33% juga dari mereka

Page 10: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

yang memperoleh pendidikan berupa pelajaran. Pelajaran yang diberikan berupa pelajaran, menulis, membaca dan berhitung. Sedangkan sebanyak 53,33% atau 16 anak menjawab tidak tahu karena mereka tidak pernah ikut dalam rumah singah.

Jadi berdasarkan hasil angket diatas maka penerapan UU Perlindungan Anak berdasarkan dari upaya yang dilakukan pemerintah adalah 24,16% terealisasi sedangkan 75,83% tidak terealisasi. Angka ini berdasarkan dari jawaban pada item soal nomor 11 sampai 14. Pada item soal 15 tidak termasuk karena peneliti hanya ingin mengetahui saja apa yang telah didapat oleh anak jalanan selama berada di rumah singgah.

Tabel. 5

Perlindungan Sosial Berupa Hak Berpendapat No Pertanyaan Jawaban Jumla

h %

14 Apakah kamu pernah diberi kesempatan untuk memberikan pendapat/ komentar pada suatu acara? (kalau iya.pada acara apa?)

Pernah Tidak Pernah

5

25

16,67%

83,33%

15 17. Bagaimana tanggapan orang lain terhadap pendapat/ komentar yang kamu sampaikan?

Baik Biasa Saja Tidak Tahu

3 2

25

10,00% 6,67% 83,33%

Berdasarkan tabel.5 pada item soal nomor 16 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 83,33% atau sebanyak 25 anak yang menjawab tidak pernah diberikan kesempatanuntuk berpendapat atau memberikan komentar pada suatu acara tertentu. Sebagian besar dari mereka cenderung “didikte” oleh orang lain. Sedangkan sebanyak 16,67% atau 5 anak dari seluruh responden menjawab pernah diberi kesempatan untuk memberikan pendapat/komentar.

Berdasarkan tabel 4.12 pada item soal nomor 17 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 10,00% atau 3 anak yang mengaku mendapatkan tanggapan yang baik dari orang lain terhadap pendapat atau komentar yang disampaikan oleh mereka. Sedangkan sebanyak 6,67%

atau sebanyak 2 anak mengaku bahwa oranglain menanggapi pendapat mereka biasa saja. Selain itu sebanyak 25 anak dari jumlah sampel atau sebesar 83,33% menjawab tidak tahu. Jadi berdasarkan hasil angket diatas, maka penerapan UU Perlindungan Anak berdasarkan pada perlindungan dalam hak berpendapat adalah 16,67% terealisasi sedangkan 83,33% tidak terealisasi. Angka ini didapat berdasarkan hasil jawaban item soal nomor 16 dan 17.

Tabel .6 Perlindungan Khusus Berupa Perlindungan

terhadap Penelantaran Anak No Pertanyaan Jawaban Jumla

h %

16 1. Sejak usia berapa kamu mulai bekerja dijalanan?

0-6 tahun 7-13 tahun 14-18 tahun

5 4

11

16,67% 46,67% 36,67%

17 2. Siapa yang pertama kali mengajakmu bekerja dijalanan?

Orang tua Teman Diri sendiri

7 13 10

23,33% 43,33% 33,33%

18 18. Apakah kamu pernah mendapat perlakuan kasar/ tidak menyenangkan (ditendang, dicaci,dll) dari orang lain? (misalnya apa?)

Sering Jarang Tidak Pernah

12 15 3

40,00% 50,00% 10,00%

19 19. Apakah kamu pernah didiskriminasi/ dibeda-bedakan/ diasingkan oleh lingkunganmu?

Sering Jarang Tidak Pernah

9 0

21

30,00% 0%

70,00%

20 20. Apakah kamu pernah dipekerjakan (di dropping/

Sering Jarang Tidak Pernah

18 0

12

60,00% 0%

40,00%

573

Page 11: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

dieksploitasi) oleh orang lain

demi keuntungan

orang tersebut?

Berdasarkan hasil tabel.6 tentang perlindungan khusus terhadap penelantaran anak menunjukkan bahwa sebanyak 16,67% atau sebanyak 5 anak mengaku mulai bekerja di jalanan berusia sekitar umur 0-6 tahun. Sebanyak 46,67% atau sebanyak 14 anak menjawab mulai bekerja dijalanan pada usia antara 7-13 tahun. Sedangkan sebanyak 36,67% atau sebanyak 11 anak menjawab bahwa mulai bekerja dijalanan berumur antara 14-18 tahun.

Berdasarkan data tabel.6 tentang perlindungan khusus terhadap penelantaran anak menunjukkan bahwa sebanyak 23,33% atau sebanyak 7 anak menjawab bahwa yang pertama kali mengajaknya bekerja adalah orang tua atau keluarga. sedangkan sebanyak 43,33% atau sebanyak 13 anak menjawab bahwa yang pertama kali mengajak mereka bekerja dijalanan adalah teman-temannya. Alasannya adalah karena dengan bekerja, dia bisa mendapatkan uang sendiri yang mana uang hasil kerjanya bisa untuk jajan atau diberikan orang tua. Selanjutnya sebanyak 33,33% atau sebanyak 10 anak menjawab mereka ingin sendiri untuk bekerja karena alasan keluarga. Perceraian orang tua dan ekonomi keluarga yang yang buruk menjadi alasan yang dominan bagi mereka untuk bekerja, dan akhirnya mereka harus turun ke jalanan demi mempertahankan hidupnya.

Dari hasil tabel diatas menunjukkan bahwa yang lebih banyak mempengaruhi mereka untuk turun ke jalanan adalah teman-teman atau lingkungan mereka sehari-hari. Selanjutnya alasan mereka yang kedua adalah karena ketidak harmonisan keluarga (broken home) menjadi alasan mereka turun ke jalanan, Dan alasan yang terakhir adalah kerena ajakan orang tua yang sebenarnya juga masih berhubungan dengan keadaaan ekonomi keluarga yang masih buruk sehingga mengajak atau menyuruh anaknya untuk membantu mereka bekerja.

Berdasarkan hasil tabel 4.6 tentang perlindungan khusus terhadap kekerasan fisik/mental, kelompok minoritas dan eksploitasi anak menunjukkan bahwa sebanyak 40,00% atau sebanyak 12 anak menjawab sering mendapatkan perlakuan kasar atau tidak menyenangkan dari orang lain. Pada umumnya perlakuan kasar yang sering mereka dapatkan adalah dipukul dan di maki atau mendapatkan kata-kata kasar. Sebanyak 50,00% atau sebanyak 15 anak menjawab mereka jarang mendapatkan perlakuan kasar dari orang lain. Adapun perlakuan kasar tersebut menurut mereka misalnya ditendang dan juga kata-kata kasar. Namun ada juga

sebanyak 10,00% atau sebanyak 3 anak yang menjawab tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar atau tidak menyenangkan dari oranglain.

Berdasarkan tabel 4.6 pada item soal nomor 19 menunjukkan bahwa sebanyak 30,00% atau sebanyak 9 anak merasa pernah didiskriminasi oleh orang lain. Bentuk diskriminasi yang diperoleh oleh anak-anak bermacam-macam misalnya tidak semua haknya terpenuhi, diasingkan atau dibeda-bedakan dengan anak lainnya, serta di remehkan orang lain. Sedangkan sebanyak 21 anak atau sebesar 70% menjawab tidak pernah merasa di diskriminasi oleh orang lain. Mereka merasa orang lain memperlakukan mereka dengan wajar saja. Berdasarkan tabel 4.6 pada item soal nomor 20 menunjukkan bahwa sebanyak 18 anak atau sebesar 60,00% pernah dieksploitasi baik itu oleh keluarga maupun dari oranglain. Eksploitasi yang mereka alami pada umumnya berupa eksploitasi secara ekonomi. Sedangkan sebanyak 40,00% atau sebanyak 12 anak menjawab tidak pernah dieksploitasi oleh orang lain atau orang tua mereka.

Berdasarkan hasil angket diatas, maka penerapan UU Perlindungan Anak berdasarkan pada perlindungan khusus terhadap penelantaran anak adalah 40,00% terealisasi sedangkan 60,00% tidak terealisasi. Angka ini didapat berdasarkan hasil jawaban dari item soal nomor 18, 19, dan 20.

Pembahasan Efektivitas Penerapan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Penerapan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak akan berjalan dengan baik jika pelaksanaan perlindungan terhadap anak juga berjalan dengan baik pula. Adapun efektivitas dalam penerapan UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ini dipengaruhi oleh beberapa hal yang merupakan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan Kepala Dinas Sosial Surabayadan sesuai dengan teori efektivitas penegakan hukum Soerjono Soekanto meliputi:

(a) Aturan.Dari segi aturannya maka, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ini memenuhi syarat filosofis, yuridis dan sosiologis. Syarat filosofis yaitu Undang-undang ini tidak bertentangan dan sudah sesuai dengan landasan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Syarat yuridis, yaitu sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” dan syarat sosiologis yaitu UU tentang perlindungan anak ini dapat diterima oleh masyarakat, jadi masyarakat akan setuju apabila anak jalanan ini dipelihara dan dirawat oleh pemerintah karena masyarakat juga merasa terbantu dalam menangani anak jalanan ini.

Page 12: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

Dilihat berdasarkan pengetahuannya bahwa pihak pemerintah dalam hal ini lembaga Dinas Sosial Surabaya telah mengetahui adanya UU No.23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak dan berupaya untuk memperkecil jumlah angka anak jalanan yang ada di Surabaya. Pada dasarnya sebelum menjalankan sebuah peraturan terlebih dahulu mengetahui apa yang terkandung dalam sebuah peraturan sehingga dapat mengerti apa tujuan dan maksud dari sebuah peraturan tersebut. Dari wawancara yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah dalam hal ini Kepala Dinas Sosial telah mengetahui tentang isi dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu untuk melindungi dan menjamin hak-hak anak agar dapat kesempatan yang seluas-luasnya agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Berdasarkan ketrampilannya, Kedua penegak hukumnya dalam hal ini adalah Dinas Sosial yang bekerja sama dengan pihak Satpol PP telah berusaha untuk meminimalkan jumlah anak jalanan yang terbukti dengan melakukan razia keliling setiap hari. Seperti yang disampaikan oleh Kepala Dinas Sosial yang menjelaskan bahwa pihak mereka melakukan razia keliling selain itu juga mendatangi rumah-rumah warga yang memiliki anak namun ditelantarkan untuk dibiayai atau di bina pemerintah. Namun dari hasil angket yang disebarkan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari anak jalanan yang pernah dirazia. Sedangkan yang lainnya pernah dirazia mengaku berhasil melarikan diri dan ada juga anak-anak yang bersembunyi agar tidak ditangkap. Dari pernyataan anak jalanan tersebut dinyatakan bahwa meskipun upaya yang dilakukan pemerintah sudah maksimal namun masih ada kekurangannya jika dilihat dari kinerja aparat dari Dinas Sosial Surabaya, yaitu kurang bisa memantau anak-anak yang dirazia. Berdasarkan fasilitasnya, Dalam menegakkan suatu peraturan diperlukan adanya fasilitas yang memadai. Fasilitas yang disediakan oleh pihak Dinas Sosial untuk menangani anak jalanan sesuai undang-undang perlindungan anak antara lain mobil Satpol PP yang digunakan untuk mengangkut anak-anak yang terkena razia dijalanan, memiliki 3 UPTD (Unit Pelayanan Teknis Dinas Sosial) yang digunakan untuk menampung anak jalanan, pengemis dan gelandangan yang terkena razia. Khusus untuk merehabilitasi anak jalanan, Dinas Sosial mendirikan panti rehabilitasi yang terdapat di daerah Wonorejo Surabaya. Panti sosial itu memiliki luas tanah 2.350 m2 dengan luas bangunan 1.489 m2. Adapun fasilitas yang terdapat di dalam panti adalah terdiri dari ruang kantor, yang digunakan untuk mengurusi administrasi dan data dari anak jalanan, ruangan aula yang di gunakan untuk kegiatan pembinaan,

ruang tidur yang ditempati oleh 10-15 anak dengan 1 orang pendamping, ruang praktek pembinaan yang digunakan untuk membina anak-anak dengan memberikan ketrampilan tambahan misalnya praktek otomotif, melukis dan sebagainya. Selain itu juga terdapat ruang lobby, ruang makan yang digunakan untuk makan bersama, ruang dapur yang digunakan untuk memasak, ruang perpustakaan, serta lapangan olahraga. Dipanti ini juga dilengkapi dengan sarana penunjang seperti peralatan music, perlengkapan olahraga, sarana bermain outdoor (renang dan outbond) serta perlengkapan kegiatan ketrampilan. Fasilitas yang di berikan oleh pihak Dinas Sosial ini meskipun mereka berusaha memberikan yang terbaik tetapi masih terdapat kekurangannya, karena di panti rehabilitasi yang digunakan untuk membina anak jalanan ini jika dilihat dari tempatnya tidak cukup memadai karena hanya menampung 30 orang saja, sedangkan di Liponsos Keputih penghuni panti sudah melebihi kapasitas. Selain itu anak-anak yang masuk di dalam panti rehabilitasi ini hanya anak laki-laki saja sedangkan anak yang perempuan tidak ikut dirazia. Meskipun pihak Dinas Sosial menjelaskan alasan tidak memasukkan anak perempuan ke panti adalah karena tidak ingin terjadi tindakan asusila ini tidak dapat dibenarkan karena anak perempuan lebih rawan terhadap tindakan asusila di jalanan oleh sebab itu juga harus dibina.

Selain sarana diatas, pemerintah juga memberikan jaminan perlindungan kepada anak jalanan misalnya dalam perlindungan kesehatan misalnya berupa jamkesmas. Namun sebagian besar dari orang tua anak jalanan ini tidak menggunakan fasilitas gratis tersebut dengan baik, sehingga masih terdapat anak jalanan yang tidak mendapatkan perlindungan yang layak ketika sakit. Sedangkan dalam perlindungan pendidikan yang dirasa cukup memprihatinkan karena dari anak-anak jalanan ini sebagian besar sudah tidak bersekolah lagi dan berdasarkan keterangan dari anak-anak jalanan ini rata-rata mereka mulai putus sekolah saat memasuki jenjang SMP. Adapun alasannya adalah selain orang tua mereka tidak memiliki biaya

Faktor teman bermain atau lingkungan anak-anak tinggal juga menjadi faktor yang memepengaruhi mereka untuk turun ke jalanan. Hal ini dikarenakan pada usia 10-18 tahun mereka cenderung lebih percaya temannya, oleh karena itu pada usia ini mereka cenderung terpengaruh oleh ajakan teman. Selain faktor teman sepermainan, pola pikir orang tua yang salah dan juga keadaan ekonomi dapat membuat anak bekerja dijalanan. Anak-anak ini mengaku bahwa mereka pernah tidak diijinkan untuk sekolah oleh orang tua ataupun teman mereka dikarenakan mereka merasa lebih baik bekerja untuk

575

Page 13: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

mencari uang dari pada harus sekolah yang nanti pada akhirnya juga akan bekerja untuk mencari uang.

Dalam hal perlindungan beragama masih terdapat beberapa anak yang tidak mendapatkan perlindungan, ini disebabkan karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk menjalankan ibadah. Akan tetapi ada juga diantara mereka yang memiliki kesempatan beribadah namun tidak melaksanakannya, ini biasanya disebabkan oleh faktor dari dalam diri mereka sendiri, misalnya karena mereka malas untuk beribadah. Hal ini di sebakan karena mereka cenderung hidup bebas tanpa aturan sehingga mereka kurang bisa menyesuaikan diri dengan adanya aturan-aturan untuk beribadah, membersihkan diri dan lainnya. Perlindungan yang diberikan pemerintah untuk anak jalanan meliputi perlindungan dalam hal pendidikan, berupa tempat tinggal yang layak, pendidikan gratis, dan pembinaan baik dalam bidang olahraga maupun dalam bidang seni. Bagi anak jalanan binaan Dinas Sosial yang berprestasi akan mendapatkan beasiswa masuk perguruan tinggi negeri di Surabaya seperti di UNAIR dan ITS.

Faktor keempat yaitu kesadaran masyarakat, jika keasadaran masyarakat tinggi maka masyarakat cenderung mentaati peraturan yang ada. Dalam hal mengurangi angka jumlah anak jalanan ini masyarakat mulai memiliki kesadaran akan pentingnya undang-undang perlindungan anak ini. hal ini terbukti dengan munculnya sanggar untuk anak jalanan dan komunitas peduli anak jalanan. Anak-anak ini sebagian besar pernah masuk dan mengikuti kegiatan di sanggar ataupun yang di adakan oleh komunitas peduli anak jalanan meskipun mereka pernah mencoba kabur. Bahkan ada yang sudah keluar dari sanggar dengan alasan tidak betah, bosan dan kurang bisa menyesuaikan diri sehingga mereka kabur.

Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan anak. Jika dilihat lagi sebagian besar mereka duduk dibangku SMP. Anak-anak jalanan yang menghabiskan waktunya diluar rumah rentan akan tindakan kekerasan baik itu kekerasan fisik, mental maupun kegiatan eksploitasi oleh kelompok tertentu. Mereka sering mendapatkan perlakuan kasar, mereka sering di caci dan ditendang oleh orang-orang dewasa disekitar mereka. Ada pula yang mengaku bahwa mereka pernah diperkerjakan oleh orang lain. Dengan mendirikan komunitas peduli anak jalanan maupun sanggar anak jalanan, masyarakat mulai memiliki kesadaran untuk membina anak-anak ini namun masih ada juga pihak yang sengaja untuk memanfaatkan anak-anak untuk sumber penghasilan mereka. jadi kesadaran masyarakat ini mulai tumbuh namun harus terus menerus mendapatkan dukungan agar dapat meminimalkan pihak-pihak yang merugikan seperti orang-orang yang memperkerjakan mereka.

Sedangkan faktor yang kelima adalah budaya hukumnya, dalam artian memunculkan rasa malu atau bersalah dalam masyarakat apabila seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku. Budaya hukum sendiri merupakan nilai lokal dan nasional yang tumbuh dan berkembang berbentuk kepercayaan, tradisi, dan hukum kebiasaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional. Jika dilihat dari besarnya prosentase perlindungan khusus terhadap tindakan eksploitasi anak jalanan yang sebesar 60,00% menunjukkan bahwa budaya hukumnya masih belum baik. Hal ini dikarenakan orang atau kelompok yang mengeksploitasi anak-anak jalanan ini belum memiliki rasa malu ketika melakukan pelanggaran hukum yaitu memanfaatkan anak kecil untuk bekerja dan mengambil keuntungan dari pekerjaan tersebut.

Faktor Pendukung Efektivitas Penerapan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pemerintah Surabaya tidak tinggal diam dalam mengatasi permasalahan anak jalanan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak dinas sosial antara lain melakukan razia setiap hari, melakukan pembinaan dan yang terakhir mengembalikan anak-anak jalanan ini ke keluarganya. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, masyarakat memberikan respon positif dari upaya yang telah dilakukan pemerintah. Ini dikarenakan hasilnya cukup baik yang dibuktikan dengan adanya perubahan tingkah laku dari anak-anak jalanan setelah mengikuti pembinaan meskipun tidak semua anak jalanan “lulus” pada masa binaan. Serta jumlah anak jalanan di kota Surabaya yang telah menurun meskipun angka penurunannya tidak terlalu besar.

Faktor pendukung efektifnya penerapan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak ini dapat dilihat dari upaya yang dilakukan pemerintah kota Surabaya dengan melakukan razia setiap hari, memberikan pembinaan dan bimbingan moral terhadap anak jalanan, memberikan pendidikan gratis sehingga mereka bisa mendapatkan ilmu untuk masa depan serta mereka diberikan kesempatan untuk mengembangkan bakat masing-masing dengan di bimbing guru khusus dibidangnya.

Selain itu anak yang berprestasi mendapatkan kesempatan meneruskan kuliah di universitas negeri di Surabaya. Meskipun demikian, dalam menerapkan undang-undang ini masih terdapat kendala yang dihadapi atau masih terdapat faktor yang mendukung ketidak efektivitasan dalam penerapannya misal masih banyak anak-anak yang kabur ketika menjalani masa pembinaan, anak-anak yang kurang bisa menyesuaikan diri karena cenderung hidup bebas serta masih ada orang-orang yang sengaja mendropping anak-anak sehingga jumlahnya

Page 14: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Efektivitas UU No.23 Tahun 2002 Terhadap Anak Jalanan

565

terus meningkat. Untuk menghadapi kendala tersebut pihak Dinas Sosial dan Satpol PP selaku aparat penegak hukum melakukan upaya untuk terus menekan tingginya angka anak jalanan. Bentuk upaya itu berupa secara terus menerus melakukan razia keliling di jalanan, melakukan pendataan di kecamatan di Kota Surabaya, memberikan pembinaan terhadap anak jalanan dan upaya yang terakhir adalah mengembalikan anak jalanan ke keluarganya.

PENUTUP Simpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa:

Penerapan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak efektif terhadap anak jalanan di Kota Surabaya yang menunjukkan tingkat efektivitas 40,00%. Efektif atau ketidak efektifannya dipengaruhi oleh 5 faktor yaitu faktor aturan, aparat penegak hukum, fasilitas, kesadaran masyarakat dan faktor budaya hukum. Dari kelima faktor tersebut, faktor aturan, fasilitas dan kesadaran masyarakat sudah terpenuhi dalam penerapan UU Perlindungan anak. Namun dari faktor aparat penegak hukum dan budaya hukum tidak terpenuhi, oleh sebab itu kedua faktor ini menjadi faktor penghambat keefektifan dalam melakukan penerapan UU Perlindungan Anak terhadap anak jalanan di Kota Surabaya.

Saran 1. Berdasarkan budaya hukum masyarakat

menunjukkan bahwa budaya hukum yang berkembang dinilai masih buruk. Untuk itu perlu diadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada orang tua anak jalanan dan masyarakat agar tidak melakukan penelantaran serta memberika pengetahuan tentang bahaya yang terjadi jika anak mereka turun ke jalanan serta menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.

2. Bagi pemerintah seharusnya menambah jumlah pembimbing di panti rehabilitasi anak, agar kegiatan pembinaan dapat berjalan secara kondusif, selain itu juga melatih para pembimbing anak jalanan di panti rehabilitasi sehingga setiap anak bisa mendapatkan perhatian secara menyeluruh. Pemerintah juga dapat memperbaiki tata laksana pelayanan pembinaan anak jalanan yang hanya enam bulan menjadi lebih lama agar ilmu dan ketrampilan yang diajarkan lebih mendalam sehingga anak jalanan siap untuk dilepas di masyarakat. Dan yang terakhir

pemerintah di harapkan mampu untuk bekerjasama dengan sanggar dan komunitas peduli anak jalanan sehingga dapat memberantas dan memberdayakan keluarga anak jalanan.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta..

Departemen Sosial RI. 2004. Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar di Luar Panti. Jakarta : Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak.

Gedeian, Arthur G. (1991) Organization Theory and Design. University ofColorado at Denver

Gosita, Arief, (5 Oktober 996) Makalah Pengembangan Aspek Hukum Undang-undang Peradilan Anak dan Tanggung Jawab Bersama, Seminar Nasional Perlindungan Anak diselenggarakan oleh UNPAD, Bandung.

Hasanah, Anisatun. 2008. Peningkatan Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan Di Terminal Klaten (Studi Kasus Pada Organisasi Muat.). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kansil, C. S. T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Mahmudi, (2005). Manajemen Kinerja Sektor Publik.

Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN

Nurdin, M.Fadhil, Drs., Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, Bandung: Angkasa.

Rosdalina. 2007. Aspek Keperdataan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan. Jurnal Hukum, (Online), Vol. 4 (Diakses 27 Juli 2012 )

Salla, Hilmy Nasrudin. 2012. Eksploitasi Anak Jalanan (Studi Anak Jalanan di Pantai Losari Kota Makassar). Universitas Hasanuddin Makassar.

Salman, Otje &Susanto, Anthon F. 2004. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Bandung: PT. Alumni

Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persana, Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sudrajat, Tata. 1996. Anak Jalanan dan Masalah Sehari-hari sampai kebijaksanaan. Bandung: Yayasan Akatiga, hal 151-152.

577

Page 15: EFEKTIVITAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP ANAK JALANAN DI KOTA SURABAYA

Kajian Moral dan Kewarganegaraan Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013

Sudikin, Mundir. 2005. Metode Penelitian Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian. Surabaya: Insan Cendikiawan

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: ALFABETA.

Tim Penyusun. 2006. Panduan Penulisan dan Penilaian Skripsi Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Rujukan Undang-Undang

. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

.2002. Undang-Undang Republik Indonesia No.23

Tentang Perlindungan Anak Internet http://www.wikipedia.org/wiki/Eksploitasi (diakses 27 Juli 2012) http://www.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan (diakses 27Juli2012) http://www.surabaya.go.id (diakses 20 Juli 2012)