HADIS KEMISKINAN MENURUT IBNU QUTAIBAH...
Transcript of HADIS KEMISKINAN MENURUT IBNU QUTAIBAH...
HADIS KEMISKINAN MENURUT IBNU QUTAIBAH DALAM
KITAB TA’WIL MUKHTALIFUL HADIS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh
Fiqri Auliya Ilhamny
NIM : 107034001713
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 M / 2014 H
INSPIRASI UNTUK SEORANG KAWAN
Walaupun kita gagal, ingatlah mimpi itu indah.
“ Sudently, we can get what we want, but not what we need”
“when we never try, we never know”
“ Mimpi dan kenyataan mungkin jarang bersatu, tapi selalu ada peluang meraih dan
menggapainya ”
“barang siapa mengerjakan kebaikan dzarrahpun, niscaya dia akan meliha (balasan)Nya
*az-zalzalah ayat 7*”
*Fiqri Ilhamny
(Mahasiswa TH ’07)
NB :Skripsi ini saya persembahkan khusus kepada teman-teman TH angkatan 2007 yang
tidak dapat menyelesaikan masa studi S1 di UIN Jakarta.
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya pemulis
mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw, yang begitu berjasa dalam mencurahkan kebaikan kepada
seluruh manusia.
Dalam proses penulisan skripsi ini penulis merasakan tantangan dan halangan
yang begitu berat. Di sela-sela kesibukan penulis dalam bekerja, penulis harus
menyempatkan diri mencari buku-buku referensi serta mengetik hasil temuan tersebut
dengan harapan dapat segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Sebagai karya tulis hamba yang dha’if, tentunya di dalam penelitian ini masih
terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, ada kemungkinan ditemukan bagi mereka
yang ingin menelaahnya dengan lebih teliti. Segala kesalahan tersebut tidak lain adalah
sebuah keterbatasan pengetahuan penulis di dalam melakukan penelitian ini.
Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga dalam
penyusunan tugas akhir ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Segenap civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Masri Mansoer MA, (Dekan Fakultas Ushuluddin), Prof.
Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si (Pembantu Dekan Bidang Akademik), Dr. M.
Suryadinata, M.Ag (Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum), Dr. Faizah Ali
Syibromalisi, MA (Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan), Dr. Lilik Ummi
Kaltsum, M.A (Ketuan Jurusan Tafsir-Hadis), Jauhar Azizy, MA (Sekretaris Jurusan
Tafsir-Hadis)
2. Dr. M Isa HA Salam, MA Selaku pembimbing yang telah dengan sabar dan tidak
bosan-bosannya membantu, membimbing dan mengarahkan serta menasehati penulis
dalam penulisan skripsi ini, semoga beliau selalu diberi perlindungan dan kesehatan
oleh Allah SWT (Amin).
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen di Jurusan Tafsir-
Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, dari semenjak penulis masuk
di Fakultas Ushuluddin sampai saat ini, sehingga berkat jasa beliau-beliaulah penulis
mendapatkan berbagai pengetahuan, semoga Allah SWT selalu melindungi beliau-
beliau semua (Amin).
4. Kedua orang tua (H. Abdullah Cholil dan Zumrotun Nisa)yang selalu memberikan
dukungan, semangat, motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi
ini, serta senantiasa menghembuskan nafas untuk mendoakan penulis agar kelak
menjadi manusia yang sukses serta bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah
SWT selalu memberikan rahmat, hidayah, perlindungan dan kesehatan kepada
mereka (Amin).
5. Kakak dan adik penulis (Mas Iqbal, Mbak Nining, Mas Meni, Mbak Nining, Ida
Zuraida dan Malik) yang sudah banyak berkorban membantu penulis mengeluarkan
sebagian penghasilannya dalam menyelesaian skripsi ini, semoga Allah SWT
melancarkan dan memberikan keberkahan atas rejekinya (Amin)
6. Teman-teman penulis di Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2007: Mustar, Mi’roji,
Husnul Aqib, Fiqri Aulia Ilhamny, Daud Catur Wicaksono, Irwan Muhibbudin,
Muhammad Rusli, Arfan Akbar, Muhammad Berbudi, Muhammad Badrul Munir,
Ismail Amir, Syaifuddin, Dian Kusnadi, Uchil, Redhitya Bagus, dan kepada teman-
teman lain yang penulis tidak bisa cantumkan namanya satu persatu dalam kata
pengantar ini, semoga Allah SWT melindungi mereka semua dimanapun berada
(Amin).
7. Kepada teman-teman KKN 46 tahun 2010, yang selalu memberikan semangat,
semangat dan semangat pada penulis.
8. Akhirnya, harapan penulis, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan selalu diberi
kemudahan dan menjadi nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi dari lubuk hati yang
paling dalam penulis haturkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya.
Jakarta, 28 September 2014
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Fiqri Auliya Ilhamny
Tempat/ Tanggal Lahir : Surabaya, 12 Juni 1987
NIM : 107034001713
Jurusan : Tafsir Hadis
Judul Skripsi : “Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah Dalam Kitab
Ta’wil Mukhtalif al-Hadis)”.
Dosen Pembimbing : Dr. M. Isa HA Salam, MA
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 September 2014
Fiqri Auliya Ilhamny
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………....................... iii
DAFTAR ISI …………………………………………………….... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI …..…………………………............. ix
BAB I PENDAHULUAN ......…………………………….......... 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………..... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 5
C. Tujuan Penelitian ………………………………... 5
D. Tinjauan Pustaka ………………………………... 6
E. Metodologi Penelitian ……..…………..………….... 7
F. Sistematika Penulisan ……………………...…..…..... 8
BAB II IBNU QUTAIBAH DAN KITAB TA'WIL MUKHTALIFUL HADIS
A. Riwayat Hidup ............................................... 9
1. Biografi Ibnu Qutaibah ....................... 9
2. Karya-karyanya .............................................. 11
B. Mengenal Kitab Ta'wil Mukhtaliful Hadis ............ 13
1. Latar Belakang Penulisan Kitab ......................... 13
2. Metode Penyelesaian Kitab Ta’wil Mukhtaliful Hadis.. 17
a. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Hadis .... 18
b. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Al-Quran .. 20
c. Penyelesaian Hadis Yang Tidak Sejalan Dengan Akal 22
d. Penyelesaian Hadis Mutasyabihat .............. 24
BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG KEMISKINAN ....... 27
A. Pengertian Kemiskinan Dan Indikator ......................... 27
1. Prespektif Islam ....................................... 28
2. Prespektif Sosial ....................................... 31
B. Faktor-Faktor yang Membentuk Kemiskinan ............ 32
1. Faktor Kondisi Alam ....................................... 32
2. Faktor Kultular ....................................... 34
3. Faktor Struktural ....................................... 35
viii
C. Kondisi dan Wajah Kemiskinan Masyarakat ............... 38
BAB IV Analisis Hadis Kemiskinan ......................................................... 41
A. Hadis Kemiskinan ………..................................... 41
1. Meneliti Kandungan Matan Dengan Hadis............. 43
2. Meneliti Kandungan Matan Dengan Al-Qur’an ......... 45
3.Wasiat Nabi Mencintai Orang Miskin ............. 46
4. Pendapat Ulama Tentang Do’a Miskin ................... 50
B. Analisis Ibnu Qutaibah tentang Hadis Kemiskinan … 51
BAB V PENUTUP……………………………………………....... 54
A. Kesimpulan………………………………............. 54
B. Saran…………………………………………….... 55
DAFTAR PUSTAKA……………………..………………………........... 56
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
Huruf
Arab
Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
t ط B ب
z ظ T ت
‘ ع Ts ث
gh غ J ج
f ف H ح
q ق Kh خ
k ك D د
l ل Dz ذ
m م R ر
n ن Z ز
w و S س
h هـ Sy ش
` ء S ص
y ي D ض
B. Vokal
Vokal Tunggal : ....... = a ...... = i ...... = u
Vokal Panjang : ....... = â ...... = î ...... = û
Vokal Rangkap : ....... = ai ...... = au
C. Alif Lam (al)
Alif lam ta’rîf (ال) dalam lafadz atau kalimat, baik yang bersambung
dengan huruf qamariyyah maupun syamsiyyah ditulis dengan huruf kecil (al), dan
diikuti dengan kata penghubung ” – “. Namun, jika terletak diawal kalimat, maka
ia ditulis dengan huruf besar (Al). Contoh:
x
1. Al ditulis dengan huruf kecil
- al-Qur’an = seperti, “sebagai mana disebutkan dalam al-Qur’an”
- al-Baihaqî = seperti, “menurut al-Baihaqi, bahwasannya…”
2. Al ditulis dengan huruf besar
- Al-Baihaqi = seperti, “Al-Baihaqi menyatakan bahwa….”
- Al-Bukhari = seperti, “Al-Bukhari, didalam kitabnya menegaskan…”
D. Singkatan
SWT = Subhânahu wa ta’âlâ H = Hijriyah
as = ‘Alaih al-salâm ra = Radiya Allâh ‘anhu
M = Masehi w = Wafat
Q.S = al-Qur’ân; surat h = Halaman
saw = Sholla Allahu ‘alaih wa sallam
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang bersifat umum.
Fenomena itu terdapat pada berbagai lapisan masyarakat di Indonesia,1 baik
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maupun yang mayoritas
penduduknya beragama non Islam, yaitu Hindu, Kristen, dan kepercayaan lokal.
Fenomena seperti itu juga terdapat pula pada banyak masyarakat di negara lain.
Dengan demikian kemiskinan bukan merupakan fenomena yang bersifat khusus
pada masyarakat dengan latar belakang tertentu dari segi Suku, Bangsa dan
Agama.
Menurut Parsudi Suparlan, kemiskinan bukanlah suatu yang terwujud
sendiri, terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi terwujud sebagai hasil interaksi
antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek yang
utama adalah sosial dan ekonomi.2 Pendapat ini agaknya sejalan dengan
ungkapan Anwar Nasution yang menyatakan, bahwa keterbelakangan ekonomi
suatu negara atau masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh Agama,
kepercayaan, sikap hidup dan adat istiadat, tetapi juga dipengaruhi oleh
variabel-variabel lain3. Kedua pendapat ini mengakui bahwa kemiskinan
ditimbulkan oleh berbagai faktor.
1 Pada tahun 1990, terdapat 22,7 juta jiwa rakyat indonesia berada dibawah garis kemiskinan
(15,08% dari total penduduk). Lihat Biro Pusat Statistik, kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan
di Indonesia 1976-1990 (Jakarta: BPS, 1991), hal. 19 2 Parsudi Suparlan, “Kemiskinan”, dalam A.W. Widjaja (ed), Manusia Indonesia Individu,
Keluarga, dan Masyarakat (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hal.29 3 Anwar Nasution, “Bahasan”, dalam Sri Edi Swarsono, et al. (ads), Sekitar Kemiskinan Dan
Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang Islam (Jakarta: UI Press, 1987), hal. 167
2
Kemiskinan sebagai fenomena sosial telah berlangsung lama.
Setidaknya, dapat dikatakan bahwa fenomena demikian itu sudah ada pada
masa al-Qur’ân diturunkan. Ini mengandung arti bahwa banyak masyarakat
yang bergelut dengan kemiskinan dalam jangka waktu yang lama. Ini dapat
pula berarti bahwa banyak warga masyarakat, secara individual atau
berkelompok, gagal mengatasi kemiskinan sebagai suatu hal yang tidak mereka
kehendaki.
Kemiskinan tidak dikehendaki oleh semua orang, sebab dalam kondisi
seperti ini mereka dalam keadaan serba kekurangan, tidak mampu mewujudkan
berbagai kebutuhan utamanya di dalam kehidupannya, terutama dari segi
material. Akibat dari ketidakmampuan di bidang material, orang miskin
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizinya, memperoleh
pendidikan, modal kerja dan sejumlah kebutuhan utama lainnya. Akibat lain
yang mungkin timbul diantara mereka, antara lain, kurangnya harga diri,
moralitas yang rendah dan kurangnya kesadaran beragama.
Islam sangat memperhatikan fenomena kemiskinan, yang tergambar
dalam teks qurani maupun hadist
.
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
3
Akan tetapi di antara sekian banyak hadis ataupun do’a-do’a yang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diajarkan kepada umatnya, ada doa yang
sedikit mengganjal. yaitu:
اللهم أحيني مسكينا، وأميتني مسكينا، واحشرني في زمرة المساكين Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan
matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari
kiamat) di dalam rombongan orang-orang miskin”.4
Disisi lain, seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan
salah satu sumber ajaran Islam. Seharusnya telah memberikan solusi-solusi
tentang wacana-wacana yang telah terjadi, karena hadis menempati kedudukan
kedua setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik
yang berupa perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban
mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi Al-Qur`an, yang
karenanya siapapun tidak bisa memahami Al-Qur`an tanpa memahami dan
menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa Al-Qur`an.
Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi
garis besar syari`at. Dengan demikian, antara hadis dengan Al-Qur`an memiliki
kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak bisa
terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.5
Perlu kita tekankan kembali bahwa hadis mempunyai kedudukan yang
begitu penting dalam Islam, sehingga Tuhan sendiri perlu menjelaskan posisi
Nabi -sebagai sumber hadis- dalam Islam. Oleh karena itu bagi kita sebagai
4 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz 2 halaman 1381 no
5 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam Jakarta: Bulan Bintang,1989
4
umat Islam, kiranya juga perlu mengetahui fungsi hadis tersebut dalam
kehidupan kita sehar-hari, termasuk fungsi utama hadis terhadap sumber
pertama Islam yakni al-Quran. Karena kita yakin bahwa dengan mengetahui
fungsi hadis tersebut, kita akan lebih dapat mengenal hadis dan lebih mantap
dalam mengkaji dan sekaligus mengamalkannya.6
Secara umum bahwa fungsi hadis bagi umat Islam ialah sebagai
pedoman dan arah dalam menjalani kehidupan di dunia ini, karena hadis itu
memberikan arahan yang berupa prinsip-prinsip yang harus ditegakkan, baik
dalam kaitannya dengan persoalan ibadah maupun bermuamalah dengan
sesama manusia. Disamping itu hadis juga memberikan berbagai ketentuan
yang cukup rinci, khususnya berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti shalat,
zakat, dan lainnya. Jadi setiap muslim yang mengaku beriman, sesungguhnya
ia harus menjadikan hadis Nabi sebagai tuntunan dalam segala aktifitasnya,
tentu saja disamping al-Quran yang menjadi prioritas utama.7
Dalam hal ini perlu adanya pemahaman yang harus dijabarkan kembali
secara detail tentang bagaimana agama Islam melalui sumber hukumnya yang
kedua yakni hadis Nabi Muhammad SAW, memberikan pemahaman tentang
hakikat dari sebuah kemiskinan. Untuk menuju hal tersebut pada skripsi ini
akan menjelaskan lebih spesifik lagi melalui pendapat Ibnu Qutaibah di dalam
Kitab Ta’wil Mukhtalif Hadis. Karena didalam buku ini men-syarah tentang arti
miskin yang terdapat dalam hadis nabi.
6 Utang Ranuwijaya,Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama,1996
7 Munzier Saputra,ilmu HadisJakarta PT RajaGrafindo Persada:1993.
5
Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok yang
dibahas adalah Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaibah Dalam Kitab
Ta’wil Mukhtalif al-Hadis.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang tidak mengarah
pada maksud dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis akan
membatasi permasalahan dengan menitik beratkan kepada pensyarahan
Ibnu Qutaibah dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif Hadis dalam hadis “
Allahumma ahyinii miskinan, wa amitnii miskinan, wahsyurnii fi jumratil
masaakiin”
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
permasalahannya pada: Bagaimana syarah Ibnu Qutaibah tentang kemiskinan
dalam Kitab Ta’wil Mukhtalif al-Hadis?
C. Kajian Pustaka
Penulis telah menemukan beberapa skripsi yang berkaitan tentang skripsi
yang penulis bahas, yaitu :
1. Studi Kualitas Hadis Tentang Kemiskinan Mendekati Kekafiran, yang
ditulis oleh Amiludin bin Yusuf, pada tanggal 20 Februari 2008.
Namun demikian, Skripsi ini hanya membahas hadis-hadis tentang
kemiskinan, tidak mencakup keseluruhan hadis-hadis kemiskinan akan
tetapi hanya membatasi pada hadis miskin mendekati kekafiran.
6
2. Telaah Interpretasi Yusuf Qardhawi terhadap Ayat-ayat Kemiskinan,
yang ditulis oleh Muhammad Aqib pada tanggal 21 Mei 2012. Skripsi
ini hanya memaparkan ayat-ayat 6 ayat al-Qur’ân dalam menjawab
masalah kemiskinan, dengan penekanan pada problem dan bahaya
kemiskinan.
3. Studi kritik sanad dan matan hadis tentang doa nabi agar dihidupkan
dalam keadan miskin dengan Kode 1936 th u tahun 2007. Skripsi ini
juga membahas hadis yang penulis kaji, akan tetapi dalam
pembahasannya lebih terfokus pada sanad, dan sedikitnya penjabaran
dari bidang matan.
Oleh karena itu skripsi yang penulis tulis ini lebih memfokuskan kepada
analisa syarah Ibnu Qutaibah, terhadap kemiskinan dengan pandangan dan
pendapat para ulama. Adapun kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam penulisan
skripsi ini Ta’wil Mukhtaliful hadis karena didalam kitab ini menjabarkan
pendapat Ibnu Qutaibah dan kitab-kitab lainnya yang mendukung dengan
pembahasan skripsi ini seperti penjelasan hadis dari ulama hadis.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam bentuk penelitian, tujuan merupakan landasan utama yang
dijadikan tolok ukur. Tanpa tujuan yang jelas, maka akan simpang siurlah
pelaksanaan penelitian ini. Adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk
mengetahui bagaimana Ibnu Qutaibah menjabarkan arti kemiskinan yang dimaksud
dalam doa Nabi.
7
Dan yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan inspirasi bagi kajian Islam terutama dalam kajian Hadis
yang penulis lakukan sekarang ini.
2. Sebagai syarat untuk gelar sarjana S1 pada Fakultas Ushuluddin.
E. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode
penelitian kepustakaan (Library Research). Library Research adalah suatu
penelitian penyelidikan terhadap buku-buku, majalah dan bahan-bahan yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Kemudian dari bacaan tersebut
penulis mengklarifikasikan materi dan kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.
Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada
metodologi deskriptis analisis, yang dalam hal ini diharapkan dapat memahami
dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang terkait dengan
isi skripsi ini. Demikian juga agar penulis dapat menyusun dalam bentuk yang
sistematis sehingga nantinya dapat mengena pada inti permasalahan dan dapat
memperoleh hasil penelitian yang benar.
Adapun data primer yang penulis pakai dalam penulisan skripsi ini adalah
: Kitab Ta’lif mukhtaliful hadis sebagai kitab primer dan buku-buku lain sebagai
pendukung.
Sedangkan data sekunder merupakan sumber pendukung yang ada
relevansinya dengan pembahasan skripsi ini. Semua itu dilakukan melalui proses
pengumpulan data-data, pendapat para ulama ahli fiqih dan hadis untuk kemudian
dijadikan analisis kesimpulan akhir pada skripsi ini.
8
Adapun teknik penulisan skripsi ini penulis menggunakan standar buku
pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2007 yang dianjurkan Fakultas Ushuluddin dan juga rujukan penulisan ayat-ayat
al-Qur’ân Depag RI.
F. Sistematika Penulisan
Ada lima bab dalam skripsi ini, setiap bab terdiri dari sub-sub bab, hal ini
sebagai penjelas yang memiliki kolerasinya dengan pembahasan bab-bab tersebut.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :
Bab pertama adalah pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi peneletian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, biografi dari Ibnu Qutaibah dan sekilas tentang kitab Ta’wil
mukhtalif al-hadis.
Bab ketiga pengertian kemiskinan, yang berisi penjabaran miskin dari
prespektif islam, prespektif sosial.
Bab keempat mengkaji dari matan hadis, dan analisis Ibnu Qutaibah
tentang hadis kemiskinan didalam kitab mukhtalif al-hadis.
Bab kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-
saran.
9
BAB II
IBNU QUTAIBAH DAN KARYANYA TA'WÎL MUKHTALIF AL-HADÎTS
A. Riwayat Hidup
1. Biografi Ibnu Qutaibah
Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-
Dainûrî al-Marwazî. Kun-yahnya adalah Abû Muhammad. Ia dinisbatkan pada al-
Dainûrî, yaitu suatu daerah di mana ia pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama
berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan pada al-Marwazî yang merupakan
tempat kelahiran ayahnya. Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan
sebutan al-Qutbâ atau al-Qutaibâ yang merupakan bentuk tashghîr (memiliki arti
kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata aqtâb yang mempunyai arti
jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia dinisbatkan pada
kata tersebut.1
Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H / 828 M di Baghdad, dan ada yang
mengatakan di Kufah. Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang
berada di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat
pemerintahan dinasti ‘Abbâsiah berada di tengah-tengah bangsa Persia.2 Sejak saat
itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan
ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaibah untuk
1 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, (Beirut, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah 1988)
Cet. I, hlm. 8
2 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta, RajaGrafindo Persada 1995, Cet. III)
hlm. 51
10
menyerap ilmu dari beberapa ulama setempat. Tidak puas dengan apa yang beliau
dapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan perlawatan dari
satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang
dilakukan para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur
dan tempat-tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama
yang ada di sana. Beliau belajar hadis pada Ishâq bin Râhawaih, Abû Ishâq Ibrahim
bin Sulaimân al- Ziyâdî, Muhammad bin Ziyâd bin ‘Ubaidillâh al-Ziyâdî, Ziyâd bin
Yahyâ al- Hassânî, Abû Hâtim al-Sijistânî dan para ulama yang semasa dengan
mereka.3
Di samping mempelajari ilmu-ilmu agama, beliau juga haus akan pengetahuan
yang berkembang pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari
ilmu semakin membara ketika menyaksikan berbagai macam pemikiran yang
meracuni sebagian besar umat Islam, sehingga pada akhirnya beliau tumbuh
berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis terhadap
permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan
yang berkembang pada saat itu. Beliau juga mampu memberikan solusi terhadap
problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama
ahli Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan,
yang sebelumnya memperbincangkan sekitar permasalahan tersebut masih dianggap
tabu oleh sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-Sunnah.4
3 Muhammad ‘Abd al-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah,
Ta'wil Mukhtalif al-hadis, Dâr al-Fikr, Beirut, 1995, hlm. 6. Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-
Muhadditsûn, Dâr al-Fikr, Beirut, t.th., hlm 362 4 Joesoef Sou'yb, Sejarah Daulat Abbasiah II, (Jakarta, Bulan Bintang t.th 1996, ) hlm. 26
11
Di samping itu beliau juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan
tokoh-tokoh ensiklopedik besar, sehingga tidak heran bila beliau menjadi rujukan
bagi Ibnu Atsîr dalam mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami
dalam karyanya al-Nihâyah fî Ghorîb al-Hadîts dan ulama lain dalam permasalahan
yang sama.5
Dalam bidang fiqh, beliau senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab
ulama yang teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun
secara pribadi beliau mengikuti madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishâq.6
Ibnu Qutaibah Wafat tahun 276 H pada usia 63 tahun (menggunakan
perhitungan tahun hijriyah)
2. Karya-Karya Ibnu Qutaibah
Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil
karyanya tidak kurang dari 300 buah. Beliau banyak menerima pujian dan pengakuan
dari para ulama hadis maupun ulama lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib
memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya mengatakan, “Barang siapa
sengaja menentang Ibnu Qutaibah maka dicurigai sebagai seorang zindiq (atheis).”
Mereka juga mengelu-elukan Ibnu Qutaibah dengan mengatakan, “Setiap rumah yang
tidak terdapat karya Ibnu Qutaibah, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.”7
5 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim
bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm.
12-13 6 Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, , Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm
362 7 ‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin Muslim
bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiah, Beirut, 1988, Cet. I, hlm.7
12
Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah dalam berbagai disiplin ilmu
pengetahuan adalah: (1) Al-Ibil, (2) Adab al-Qâdlî, (3) Adab al-Kâtib, (4) Al-
Isytiqâq, (5) Al-Asyribah, (6) Ishlâh al-Ghalâth, (7) I’râb al-Qur'an, (8) A’lâm al-
Nubuwwah, (9) Al-Alfâzh al-Muqribah bi al-Alqâb al-Mu’ribah, (10) Al- Imâmah wa
al-Siyâsah, (11) Al-Anwâ', (12) Al-Taswiyah bain al-‘Arab wa al- ‘Ajam, (13) Jâmi’
al-Nahwî, (14) Al-Ru'yâ, (15) Al-Rajul wa al-Manzil, (16) Al-Râd ‘alâ al-Syu’ûbiyah,
(17) Al-Râd ‘ala Man Yaqûlu bi Khalq al-Qur'an, (18) Al-Syi’ru wa al-Syu’arâ, (19)
Al-Shiyâm, (20) Thabaqât al-Syu’arâ, (21) Al-Arab wa ‘Ulûmuha, (22) ‘Uyûn al-
Akhbâr, (23) Gharîb al-Hadîts, (24) Gharîb al-Qur'an, (25) Al-Faras, (26) Fadllu al-
‘Arab ‘alâ al-Ajam, (27) Al- Fiqh, (28) Al-Qirâ'ât, (29) Al-Masâ'il wa al-Ajwibah,
(30) Al-Musytabih min al-Hadîts wa al-Qur'an, (31) Musykil al-Hadîts, (32) Al-
Ma’ârif, (33) Ma’âni al-Syi’r, (34) Al-Nabât, (35) Al-Hajwu, dan karya-karya yang
lain. Seluruh hasil karya tersebut beliau ajarkan di kota kelahirannya, Baghdad. Di
antara para muridnya yang mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan oleh Ibnu
Qutaibah adalah anaknya sendiri, Abû Ja’far bin ‘Abdillah yang pernah menjabat
sebagai Qâdli di Mesir sekitar tahun 320 H.8
Akhirnya pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H/889 M beliau dipanggil
oleh Allah SWT. Seluruh hidupnya beliau pergunakan untuk mengembangkan
pemikiran keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi
8 Muhammad ‘Abd al-Rahîm, Al-Muqaddimah, dalam ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah,
Ta'wil Mukhtalif al-hadis, Beirut, Dâr al-Fikr 1995, hlm. 7
13
perhatian yang lebih besar beliau tujukan untuk membela sunnah dan ulama ahli
hadis di hadapan musuh-musuh Islam.9
B. Mengenal Kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts
1. Latar Belakang Penulisan Kitab
Imam Ibnu Qutaibah hidup pada masa Daulah ‘Abbâsiyah yang pusat
kekuasaannya di kota Bahgdad. Beliau hidup pada masa ‘Abbâsiyah II, yaitu masa
Khalifah al-Mutawakkil sejak tahun 232 H/847 M. Pada masa ini keadaan politik dan
militer mulai mengalami kemerosotan, namun dalam bidang ilmu pengetahuan
semakin mengalami kemajuan, tidak terkecuali dalam bidang hadis. Keadaan itu
antara lain karena negara-negara bagian dari kerajaan Islam berlomba-lomba dalam
memberi penghargaan atau kedudukan terhormat kepada para ulama dan para
pujangga.10
Seiring dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan, banyak pula
bermunculan gerakan-gerakan politik yang berselimutkan agama, sebagai kelanjutan
dari masa sebelumnya, baik yang mendukung pemerintah maupun yang melakukan
oposisi, seperti revolusi Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan
Syi’ah, Murji'ah, Ahl al-Sunnah dan Mu’tazilah.11
Akan tetapi perkembangan
pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah mulai berkembang di ujung
pemerintahan Bani Umayyah. Namun pemikirannya yang lebih kompleks dan
9 Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut, Dâr al-Fikr t.th.1995, hlm
363 10
A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, Banda Aceh, Badri Yatim 1973, Bagian
I, hlm.190., op. cit., hlm. 53 11
A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, ( Banda Aceh, Badri Yatim 1973) hlm.
199.
14
sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas periode pertama,
yaitu sekitar awal abad ke-9 Masehi setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani.
Tokoh perumus pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abû al-Hudzail al-‘Allâf
(135-235 H/752-849 M) dan al-Nazhâm (185-221 H/801-835 M).12
Pada periode ini, bahkan sejak abad ke-2 Hijriah, telah lahir para mujtahid di
bidang ilmu fiqh dan ilmu kalam. Kemajuan ilmu pengetahuan Islam pun sangat
pesat. Pada masa ini pula bentrokan pendapat telah mulai memanas baik antar
madzhab fiqh maupun antar madzhab ilmu Kalam. Ulama ahli hadis pada masa ini
juga menghadapi tantangan dari madzhab ilmu Kalam khususnya kaum Mu’tazilah.
Ketegangan ini semakin memuncak ketika kaum Mu’tazilah mendapat angin segar
dari penguasa pada waktu itu yaitu ketika pemerintahan dipegang oleh Khalifah al-
Ma'mûn (wafat 218 H/833 M) yang dengan tegas mendukung pendapat-pendapat
Mu’tazilah. Pada masa ini ulama fiqh dan ulama hadis menghadapi ujian yang sangat
berat terutama ketika dipaksa oleh para penguasa untuk mengikuti paham Mu’tazilah,
khususnya tentang kemakhlukan al-Qur'an.Keadaan yang sangat tidak
menguntungkan bagi ulama hadis ini tetap berlanjut pada masa Khalifah al-
Mu’tashim (wafat 227 H/842 M) dan al- Watsîq (wafat 232 H/846 M). Barulah pada
waktu Khalifah al-Mutawakkil mulai memerintah (232 H/846 M), ulama hadis mulai
mendapat kelonggaran, sebab khalifah ini memiliki kepedulian terhadap sunnah.13
12
A. Hasjmy, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam, ( Banda Aceh, Badri Yatim 1973) hlm.
57 13
Muhammad Abû Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, , Jakarta, Logos 1996,
Cet. I, hlm. 158
15
Keadaan tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap perkembangan hadis.
Pada masa ini hadis-hadis Nabi semakin tersebar luas ke berbagai wilayah. Sementara
itu golongan-golongan yang memusuhi ulama hadis semakin gencar memperuncing
permusuhan, akibatnya pemalsuan hadis dengan motivasi yang berbeda-beda pun
kian merajalela. Di samping itu mereka juga meragukan validitas metodologi yang
dipakai oleh ulama hadis dalam mengkodifikasikan sunnah, sehingga berakibat
lahirnya sikap pengingkaran terhadap sunnah.14
Lebih jauh sebelum itu, mereka juga meragukan kejujuran para sahabat Nabi
semenjak terjadinya fitnah pada masa ‘Ali bin Abî Thâlib. Mereka mencerca sebagian
besar tokoh-tokoh sahabat dan menuduh mereka berbuat bohong, bodoh dan munafik.
Penilaian ini membuat musuh-musuh Islam menolak hadis-hadis yang diriwayatkan
dari para sahabat tersebut. Selain itu mereka juga mengingkari kehujjahan qiyas,
ijma’ dan kepastian hadis mutawattir, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian
kaum Mu’tazilah. Pendirian golongan ini mengenai sunnah yang ekstrim dan
menyalahi akidah umumnya kaum muslimin itu berpengaruh besar terhadap
pertentangan antara tokoh-tokoh mereka dengan para ulama hadis serta membawa
mereka kepada sikap saling menuduh. Mereka menuduh ulama hadis sebagai
pembawa kebohongan, kepalsuan dan pengumpul berita tanpa memahami apa isi
berita itu. Sementara itu ulama hadis menuduh mereka sebagai fasik, jahat, pembuat
14
Mushthafâ al-Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur
kholish Madjid, (Jakarta, Pustaka Firdaus 1991) Cet. I, hlm. 116
16
bid’ah dalam agama dan mendominasi pendapat sendiri (al-ra'yu) yang Allah tidak
memberinya otoritas mutlak.15
Serangan-serangan musuh Islam tersebut ternyata mampu mengguncang
pendirian umat Islam pada waktu itu, sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang
perselisihan dan mengklaim kebenaran hanya berada di pihak mereka. Akibat dari
perpecahan ini, umat Islam terbagi menjadi beberapa golongan. Di antara mereka ada
yang masih memegang teguh dan mengedepankan urusan akhirat. Ada yang
berpenampilan ulama, namun materialistis. Ada juga cendekiawan yang berilmu, tapi
tidak bertaqwa. Ada yang hanya ikut-ikutan dan ada pula yang tidak tahu menahu.
Masing-masing golongan mempunyai pendirian yang tidak mau dikalahkan oleh yang
lain. Masing-masing juga mempunyai hujjah sendiri-sendiri baik dari al-Qur'an,
sunnah maupun ijtihad untuk menjatuhkan lawan-lawan mereka.16
Peristiwa ini semakin lama semakin memanas hingga akhirnya lahirlah
ulama-ulama hadis yang teguh pendiriannya dan berusaha semaksimal mungkin
melalui pendapat dan karya-karyanya untuk membela kebenaran dan membersihkan
tuduhan-tuduhan hina yang ditujukan pada sunnah Nabi maupun para ahli hadis.17
Sebagai seorang ulama yang santun, berilmu tinggi dan berwawasan yang
luas, Ibnu Qutaibah merasa terpanggil untuk menancapkan kembali pondasi
kebenaran dan kewibawaan Islam yang telah diceraiberaikan oleh orang-orang yang
15
Mushthafâ al-Sibâ’i, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam, Terj. Nur
kholish Madjid, (Jakarta, Pustaka Firdaus 1991) Cet. I, hlm. 178 16
‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 10 17
‘Abd al-Qadîr Ahmad ‘Athâ, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ, dalam ‘Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts, Beirut, 1988, Cet. I, hlm. 11
17
tidak bertanggung jawab, melalui salah satu karyanya yang monumental Ta'wil
Mukhtalif al-Hadîts. Di dalam karyanya tersebut, beliau berusaha menepis anggapan
sebagian golongan yang menuduh ulama hadis telah melakukan kecerobohan, dengan
meriwayatkan hadis yang dianggap saling berlawanan maupun tidak sejalan dengan
al-Qur'an, pemahaman akal serta mengamalkan hadis-hadis yang bertentangan
dengan Kemahasucian Allah. Beliau juga memberikan jawaban sebagai solusi
pemecahan hadis-hadis tersebut berdasarkan keahlian yang beliau miliki. Sebelum
menguraikan itu, terlebih dahulu beliau menjelaskan konflik yang terjadi antara ahli
Kalam dan ahli Ra’yu (golongan rasionalis), membeberkan sikap golongan
pengingkar sunnah yang menolak kapasitas para sahabat serta mengungkapkan
argumentasi mereka terhadap al-Qur'an dan sunnah.18
2. Metode Penyelesaian Kitab Ta’wil Mukhtalif Al-Hadist
Pada dasarnya, penyelesaian yang ditempuh oleh Ibnu Qutaibah dalam
kitabnya Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts tidak hanya menuntaskan pertentangan antara
beberapa hadis saja. Beliau juga mengkompromikan hadis-hadis yang dinilai
berlawanan maupun tidak sejalan dengan al-Qur'an dan dalil ‘aqlî serta menjelaskan
hadis-hadis yang mengandung makna tasybîh (penyerupaan dengan sifat-sifat Allah).
Beberapa pendekatan yang digunakan Ibnu Qutaibah dalam penyelesaian
tersebut menunjukkan betapa luasnya ilmu dan wawasan beliau dalam berbagai
aspek. Inilah yang melatarbelakangi analisisnya dalam memberikan solusi terhadap
18
Muhammad Abû Zahw, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995)., hlm
368
18
hadis-hadis yang dianggap saling bertentangan. Namun secara spesifik, berikut akan
penulis contohkan berbagai langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah sebagai metode
penyelesaiannya
a. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Hadis
Penyelesaian antara beberapa hadis yang saling bertentangan merupakan
bagian terbesar yang mendominasi isi dari kitab Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts dengan
berbagai macam pendekatan. Berbagai pendekatan tersebutakan dapat diketahui
setelah menelaah terlebih dahulu uraian Ibnu Qutaibah dalam contoh yang penulis
ketengahkan dalam penelitian ini.
Hadis tentang etika memakai sandal, yang dalam hal ini terdapat riwayat yang
bersumber dari Abû Hurairah sebagai berikut:
ة د اح و ل ع ي ن ف ش م ي ل ف م ك د ح أ ع س ش ع ط ق ن اا ذ ليه وسلم انه قال إ ع ى للا ل ص ي ب الن ن ع ة ر ي ر ه ي ب ا ن ع
Artinya:“Dari Abû Hurairah yang meriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau
bersabda,”Apabila tali sandal seseorang di antara kalian putus, maka
janganlah ia berjalan dengan satu sandal.”19
Hadis tersebut dianggap bertentangan dengan riwayat ‘Aisyah yang
mengatakan bahwa:
ش ىرسول للا صلى للا عليه وسلم ع س ش ع ط ق ا ان م ب ر ت ال ق ىر خ ل ا ح ل ص ى ي ت ح ،ة د اح الو ل ع ي الن ف ، ف م
Artinya: ‘Aisyah berkata,”Pernah (suatu ketika) tali sandal Rasulullah SAW
putus, kemudian beliau berjalan dengan satu sandal hingga beliau
memperbaikinya.”20
19
HR. Muslim dalam shahih-nya dalam masalah pakaian (69) dan (71) 20
HR. At- Tirmidzi dalam Sunan-nya dalam masalah pakaian (36)
19
Dalam menemukan titik temu antara kedua hadis di atas, Ibnu Qutaibah
berusaha menyoroti setting sosial masyarakat Arab pada waktu hadis tersebut terjadi.
Beliau berangkat dari penilaian masyarakat terhadap ketentuan-ketentuan umum yang
telah berlaku di dalamnya, termasuk adat istiadat daerah setempat. Seperti yang
diuraikan oleh Ibnu Qutaibah sebagai berikut.
Seseorang akan dianggap tabu bila ia menemukan tali sandalnya telah putus,
kemudian membuangnya atau setidak-tidaknya membawa tali sandal tersebut dan
berjalan dengan satu sandal yang lain sampai menemukan gantinya. Hal ini terjadi
jika orang tersebut memakai sesuatu yang sejenis dengan sandal seperti sepatu, kaos
kaki dan sebagainya. Berbeda dengan apabila yang dipakai adalah pakaian satu steel
umpamanya, maka ia tidak dianggap tabu jika memakai salah satu bagian dari
pakaian tersebut.21
Sedangkan jika salah satu tali sandalnya putus namun orang tersebut hanya
melangkah sejauh dua sampai tiga langkah saja sampai dapat memperbaikinya, maka
hal tersebut juga tidak dianggap tabu. 22
Pertimbangan Ibnu Qutaibah tersebut bukanlah satu-satunya dasar
pemahaman beliau dalam memberikan solusi. Sebagai buktinya, beliau sengaja
memberi perbandingan dengan permasalahan lain yang memiliki kaitan erat, yang
dijadikan dalil penguat agar apa yang beliau tawarkan dalam memahami hadis-hadis
21
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 98-99 22
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 87
20
di atas dapat diterima secara menyeluruh oleh orang lain. Dalil penguat tersebut dapat
dilihat dari pendapat Ibnu Qutaibah sebagai berikut.
Permasalahan di atas sama seperti bolehnya seseorang yang sedang shalat,
melangkah dua sampai tiga langkah menuju barisan yang ada di depannya. Tetapi
haram baginya jika berjalan, apalagi sampai melebihi tiga langkah. Ia tidak boleh
mengambil selendang yang jatuh, tidak boleh melipat pakaian apalagi melakukan
pekerjaan yang terus menerus. Ia boleh tersenyum, namun tidak boleh tertawa. Semua
itu berdasarkan pada kaidah bahwa tuntutan hukum bagi sesuatu yang sedikit
dilakukan, akan berbeda dengan yang banyak dan berulang-ulang dilakukan.23
Uraian di atas memberi gambaran bahwa metode yang digunakan Ibnu
Qutaibah dalam menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan tersebut berdasarkan
pada pendekatan sosiologis, yang merupakan salah satu cara memahami hadis Nabi
yang berpijak dari posisi masyarakat yang membawa kepada perilaku tertentu. Di
samping itu, Ibnu Qutaibah juga mengikutsertakan kaidah-kaidah hukum yang
dijadikan sebagai dalil penguat terhadap uraiannya.
b. Penyelesaian Antara Hadis Dengan Al-Qur'an
Dalam memberikan solusi terhadap pertentangan antara hadis dengan al-
Qur'an, Ibnu Qutaibah berusaha menakwilkan keduanya yang dianggap masih janggal
dan kurang jelas pemahamannya. Di samping memberikan takwil, Ibnu Qutaibah juga
menganalisa berdasarkan uraian bahasa, serta mempertegas argumentasinya dengan
23
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 88
21
menampakkan kelemahan pendapat lain. Hal ini dapat dilihat dalam contoh hadis
yang beliau utarakan sebagai berikut:
Ayat dan hadis yang menerangkan tentang wasiat sebagaimana berikut:
Artinya:“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya...”(QS. al- Baqarah:180).24
Ayat tersebut bertentangan dengan hadis di bawah ini:
ث ار و ل ة ي ص و أن رسول للا صلى للا عليه وسلم قال ل
`Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,”Tidak (sah) wasiat untuk ahli waris.”
25
Pada ayat diatas menerangkan bahwa membolehkan berwasiat, sedangkan
dalam hadis Nabi melarang untuk berwasiat. Terdapat perbedaan mengenai boleh
atau tidaknya berwasiat. Langkah yang ditempuh Ibnu Qutaibah dalam
menyelesaikan kedua dalil dalam contoh di atas adalah menggunakan metode naskh,
sebab inilah satu-satunya cara yang mungkin dilakukan.
Ayat ini telah di naskh (baca : dihapus) oleh ayat-ayat mengenai warisan.
Dan Hadis ini menjadi penguat setelah ayat-ayat mengenai warisan.26
24
Al-Qur’an Departemen Agama RI., (Jakarta: Kalam Ilahi,2002) hlm. 44 25
HR. At- Tirmidzi dalam Sunan-nya (2120 dan 2121) 26
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 324
22
c. Penyelesaian Antara Hadis Yang Tidak Sejalan dengan Akal
Dalam rangka menyelaraskan pemahaman terhadap hadis yang dianggap sulit
diterima oleh akal, Ibnu Qutaibah berusaha mengklasifikasikan pemahaman terhadap
redaksi hadis baik secara tekstual maupun kontekstual.
Pemahaman secara tekstual dapat dilihat dari uraian Ibnu Qutaibah tentang
hadis-hadis di bawah ini.
ر خ آلي اف ا و م س ه ي ا ح ن ج د ح ي أ ف ن إ ف ،وه قل ام ف م ك د ح أ اء ن ي إ ف ا ب ب الذ ع ق ا و ذ أن النبي صلى للا عليه وسلم قال إ
اء ف الش ر خ ؤ ي و م الس م د ق ي ه ن أ و ،اء ف ش
Artinya: Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika ada seekor
lalat jatuh ke dalam tempat minum kamu maka celupkanlah, sebab ia selalu
mendahulukan sayapnya yang mengandung racun dan mengakhirkan
sayapnya yang mengandung obat penawar.”27
Hadis tersebut dirasa janggal pemahamannya oleh sebagian golongan, sebab
bagaimana mungkin antara racun dan penawarnya dapat berkumpul dalam satu
tempat, dan bagaimana bisa terjadi seekor lalat mampu mengetahui mana sayap yang
beracun dan yang tidak beracun.
Menurut Ibnu Qutaibah pemahaman hadis sebagaimana di atas tidak akan
diperoleh secara menyeluruh sebelum memahami hal-hal yang sebenarnya lebih
utama untuk dijadikan pedoman dalam memahami hadis-hadis semisal hadis di atas.
Dalam hal ini Ibnu Qutaibah sengaja tidak secara langsung memberikan solusi
terhadap pemecahan hadis di atas, namun beliau lebih condong memberikan kasus
tertentu sebagai bahan perbandingan agar dapat digunakan untuk memahami hadis di
atas, sebagaimana diungkap oleh Ibnu Qutaibah di bawah ini.
27 HR. Al- Bukhari dalam Shahih-nya (3320, 5782)
23
Di antara hadis-hadis Rasulullah SAW terdapat beberapa hadis yang memang
sulit dipahami oleh akal, namun hal ini bukanlah salah satu penyebab ditolaknya
suatu hadis. Dengan menolak suatu hadis berarti juga menolak semua yang
disabdakan oleh Rasulullah SAW. Berkumpulnya racun dan penawarnya dalam hadis
di atas tidak ubahnya seperti menfaat seekor ular. Menurut para tabib, daging ular
berfungsi sebagai obat penawar bagi racun yang dibawanya, dapat mengobati
sengatan kalajengking, gigitan anjing gila dan sebagainya. Perut kalajengking yang
telah dirobek dapat mengobati rasa sakit yang ditimbulkan oleh sengatannya. Begitu
juga dengan lalat yang bermanfaat untuk mempertajam penglihatan, mencegah sakit
mata dan untuk mengobati sengatan kalajengking jika diramu dengan cara-cara
tertentu. Semua itu menunjukkan bahwa obat penawar yang di dalamnya terdapat
racun ternyata mampu berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.28
Masih sama seperti permasalahan di atas, secara rasional bagaimana mungkin
sekelompok semut mampu menyimpan biji makanan pada musim panas untuk
digunakan pada musim dingin. Jika khawatir membusuk, maka biji tersebut
dikeluarkan pada malam hari. Tetapi jika khawatir tumbuh, maka bagian tengahnya
dilobangi. Hal semacam ini telah banyak terjadi dan tidak dapat dianalogkan.
Seandainya diteliti dan dibahas lebih jauh, maka akan membutuhkan waktu yang
panjang karena semua itu termasuk salah satu kelebihan yang dimiliki oleh makhluk
Allah.29
28
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 387 29
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 388
24
Dari uraian di atas, Ibnu Qutaibah mencoba mengajak orang lain untuk
menemukan satu titik pemahaman tekstual terhadap hadis-hadis yang semisal dengan
hadis di atas melalui beberapa gambaran dan kejadian yang bersifat alamiah dan
realistis. Di samping itu beliau mampu mencari celah kelemahan orang lain, yang
dalam hal ini adalah para pengingkar hadis, dengan memaparkan beberapa bukti yang
nyata.
d. Penyelesaian Hadis-Hadis Mutasyâbihât
Permasalahan yang muncul di dalam hadis-hadis mutasyâbihât (samar
maknanya) tidaklah pertentangan antara hadis satu dengan hadis lain yang sama-sama
mengandung makna tasybîh. Tetapi pemaknaan redaksi hadis itu sendirilah yang
membutuhkan pemahaman tersendiri sebab mengandung arti adanya penyerupaan
antara Allah dengan makhluk-Nya. Hal ini tidak terlepas dari penolakan sebagian
golongan terhadap hadis-hadis mutasyâbihât yang menilai bahwa hadis-hadis tersebut
telah menyalahi aturan. Oleh karenanya Ibnu Qutaibah berusaha memberikan
penjelasan sesuai dengan bidang keilmuan yang beliau miliki serta analisisnya yang
cermat dengan tidak melampaui kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Hal ini
dilakukan sebab beliau yakin bahwa orang-orang yang disinggung oleh Allah dalam
al-Qur`an sebagai al-Râsikhûn fi al-‘Ilmi (orang yang mendalam ilmunya) juga
25
mendapat pengetahuan dari Allah tentang rahasia maksud syariat yang telah
ditetapkan.30
Dalam memberikan argumentasinya, Ibnu Qutaibah memandang perl tidaknya
melakukan takwil terhadap hadis-hadis mutasyâbihât tergantung pada ada tidaknya
dalil-dalil pendukung yang kuat baik dari kitab, hadis maupun ijtihad yang rasional,
sehingga diharapkan pendapat beliau dapat diterima oleh berbagai kalangan.
Di antara proses pemahaman terhadap hadis-hadis mutasyâbihât tersebut
adalah berangkat dari riwayat hadis sebagai berikut:
ل ج و ز ع للا ع اب ص أ ن م ن ي ع ب ص أ ن ي ب ن م ؤ م ال ب ل ق ن إ
Artinya:”Sesungguhnya hati seorang mukmin berada di antara kedua jari-jari
Allah.”31
Jika dalam memahami hadis tersebut diperlukan takwil, maka penakwilan
tersebut dapat diterima. Tetapi jika diartikan sesuai dengan apa adanya, maka akan
bertentangan dengan Kemahasucian Allah.
Menurut Ibnu Qutaibah, hadis tersebut tidak tergolong hadis-hadis yang boleh
ditakwili sebab tidak ditemukan dalil lain sebagai penguat. Beliau lebih cenderung
memaknai hadis tersebut apa adanya dengan menyerahkan makna hakikatnya kepada
Allah. Hal tersebut sebagaimana pendapat beliau sebagai berikut:
30
Yusuf Qardhawi, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj. Bahruddin
Fannani, Robbani Press, Jakarta, 1997, Cet. I, hlm. 227. Lihat Mahmûd bin ‘Umar al-Zamakhsyarî, Al-
Kasysyâf, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) Cet. I, Juz. I, hlm. 413 31
Muhammad ‘Abd al-Rahîm (Editor), Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts li al-Imâm ‘Abdillâh bin
Muslim bin Qutaibah al-Dainûrî, (Beirut, Dâr al-Fikr 1995) hlm. 315
26
Penakwilan mereka tentang lafadz أصبع yang bermakna nikmat, justru akan
semakin jauh dari maksud hadis tersebut. Sebab sehubungan Menurut al
Zamakhsyarî, orang-orang yang mendalami ilmu-Nya adalah orang-orang yang teguh
dan tegar serta memegang erat suatu kepastian yang ada pada-Nya. Dengan hadis
tersebut Rasulullah SAW telah bersabda dalam doanya, “Wahai Dzat yang
membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku dalam agama-Mu”.
27
BAB III
PANDANGAN UMUM TENTANG KEMISKINAN
A. Pengertian dan Indikator Kemiskinan
Dalam kehidupan di dunia ini, selalu ada permasalahan dan problem yang harus
dihadapi untuk diselesaikan. Hal ini dapat terjadi pada tingkat individu, keluarga,
tetangga, umat beragama, bahkan yang lebih luas lagi yaitu pada kehidupan berbangsa
dan bernegara. Salah satu permasalahan yang sering muncul hampir di setiap negara
adalah kemiskinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kemiskinan dapat
diartikan sebagai keadaan melarat, tidak punya apa-apa.1 Kemiskinan merupakan
masalah multidimensional yang terkait dengan masalah ekonomi, politik, keamanan,
dan kebudayaan. Kemiskinan juga merupakan salah satu ancaman sosial dan
keberagaman umat manusia di seluruh dunia.
Dalam Islam kemiskinan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari
sudut tasawuf, fikih dan aqidah. Bidang fikih, kemiskinan ditempatkan pada objek
pemberian, penekanannya juga dilihat dari sisi materi. Menurut ilmu fikih,
kemiskinan terbagi dalam dua wujud yaitu fakir dan miskin. Fakir berarti kondisi
seseorang sama sekali tidak memiliki daya untuk bertindak memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya, namun hasil yang diperoleh terlalu kecil bahkan kurang untuk bisa
memenuhi kehidupan tersebut. Menurut ulama mahzab Syafi’i, kemiskinan dihitung
berdasarkan harta milik atau usaha seseorang, apakah dapat memenuhi kebutuhannya
atau tidak.2 Dalam prespektif tasawuf, kemiskinan adalah lambang kesucian. Dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah, seorang sufi harus menempuh Maqamat atau
1 Tim prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gitamedia Press, 2011) hal. 31
2 Lilies Nurul Husna dan Achmad wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran
(Jakarta: Lakpesdam NU, 2011), hal 27
28
station. Sebagian dari Maqamat itu adalah Zuhud, Faqr dan Tawakal.3 Dalam bidang
aqidah padangan kemiskinan nampak dari pembahasan takdir dan perilaku manusia
antara golongan Jabariyyah dan Qadariyyah berbeda pandangan, kemiskinan
bukanlah keadaan hidup yang semata-mata karena takdir sebagaimana aliran
Jabariyyah. Atau sebaliknya bahwa kemiskinan adalah semata-mata karena faktor
manusianya, sebagaimana pendapat kalangan Qadariyyah.
Untuk mengetahui pengertian kemiskinan yang lebih luas maka penulis membagi
menjadi dua perspektif. Pertama perspektif agama dalam hal ini Islam dan yang kedua
perspektif ilmu sosial. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Perspektif Islam
Kemiskinan berasal dari Arab Sakana, yang berarti “diam” atau
“mandek”. Kata lain yang semakna dengannya adalah fakir dari kata “Faqr”
artinya “tulang punggung”. Maksudnya adalah beban yang sangat besar
hingga mematahkan tulang punggung.4 Ketika menjelaskan tentang
kemiskinan, al-Qur’an memakai beberapa kata. Namun, kata yang sering
digunakan adalah kata faqir dan miskin. Kata faqir (bentuk mufrad), fuqara
(bentuk jama’) dan faqr (bentuk masdar) dipergunakan al-Quran dalam
berbagai arti, yang tersebar dalam 13 ayat, pada sepuluh surat. Surat-surat
tersebut ialah dua surat Makkiyah, yaitu surat al-Qashash dan Fatir, serta
delapan surat Madaniyyah, yaitu al-Baqarah, Ali-Imran, an-Nisa’, at-Taubah,
al-Hajj, an-Nur, Muhammad, dan al-Hasyr. Al-Quran menggunakan kata
3 HM. Sa’ad Ibrahim, Kemiskinan Dalam Prespektif al-Quran (Malang: UIN Malang Press,
2007), hal.7 4 Said Aqil Sirodj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, mengedepankan islam sebagai inspirasi
bukan aspirasi (Bandung: Mizan,2006), h.375
29
fuqoro sebagai lawan kata ghaniy, sebagaimana terdapat dalam surat al-Fathir
ayat 15 sebagai berikut:
Artinya : Hai manusia, kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah
Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
Al-Quran juga mengemukakan bahwa fuqara adalah kelompok yang
berhak menerima atau memperoleh bagian zakat bersama kelompok-kelompok
lain, sebagaimana ayat 60 surat at-Taubah berikut;5
Artinya : Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selanjutnya dalam ayat 16 surat al-Balad menggambarkan orang miskin
sebagai orang yang sangat papah, menunjukkan bahwa orang miskin itu ialah
orang yang tidak berharta. Dalam ayat 76 surat al-Kahfi justru memberi
gambaran bahwa orang-orang miskin dalam ayat tersebut justru pemilik
perahu. Hanya saja dalam ayat ini perahu tersebut bukan milik seorang. Tetapi
juga kepunyaan orang-orang miskin. Dengan adanya perbedaan gambaran
tersebut, al-Quran bermaksud menjelaskan bahwa seorang disebut miskin
bukan ditentukan oleh ketiadaannya harta benda yang mereka miliki, akan
5 Saad Ibrahim, Kemiskinan Dalam Perspektif al-Quran, h.28
30
tetapi lebih ditentukan oleh lemah atau tidaknya potensi mereka untuk
berusaha mencukupi kebutuhan hidup.6
Islam menempatkan kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan yang
memiliki kompleksitas tersendiri, tidak dapat dipahami bahwa dengan melihat
satu atau sebagian unsur saja. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dengan satu
sisi, kemiskinan itu memang takdir yang harus diterima oleh manusia, namun
pada sisi lain manusia diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengubah keadaan
tersebut sehingga tidak lagi menjadi miskin. Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam al-Quran surat al-Ra’d ayat 11 sebagai berikut:
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum. Maka tak
ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.
Dari keketerangan diatas kemiskinan dalam Islam diartikan keadaan
kekurangan dari seseorang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak
jarang menjerumuskan pada kemunkaran. Oleh sebab itu dalam Islam ada
perintah bagi yang mampu untuk menolong dan berbagi dalam rangka
mengangkat kesejahteraan bersama dan menghindarkan dari keterpurukan
melalui Zakat, Infak dan Shadaqah.
6 Saad Ibrahim, Kemiskinan Dalam Perspektif al-Quran, h.42
31
2. Perspektif Sosial
Menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas),
kemiskinan memiliki wujud yang majemuk seperti rendahnya tingkat
pendapatan dan sumber daya produktif, kelaparan, dan kekurangan gizi, serta
rendahnya kesehatan, akses pendidikan, dan layanan sosial lainnya yang
terbatas.7
Selain itu, kemiskinan juga diartikan sebagai kondisi kehidupan serba
kekurangan yang dialami seseorang, baik laki-laki ataupun perempuan, atau
rumah tangga, sehingga tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya secara
layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar itu meliputi terpenuhinya hak atas pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, hak atas tanah, sumber daya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman dari
tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
ekonomi.8
Selain itu kemiskinan sering juga didefinisikan sebagai situasi serba
kekurangan dari penduduk yang disebabkan oleh terbatasnya modal yang
dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas,
rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksiorang miskin dan
terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
Sedangkan Bank Dunia (WB) memberi defini keadaan miskin yaitu
“povertyis concern with absolute standard of living of part of society the poor
in the equality refers to relative living standard across the whole society”.
(Keprihatinan dengan standar mutlak hidup bagian dari masyarakat miskin
7 Lilies Nurul dan Wazir Wicaksono, Ormas Agama, h.13
8 Mishabul Hasan, dkk, Ulama Mengadvokasi Anggaran, (Jakarta: PP Lakpesdam NU, tt),
h.14
32
dalam kesetaraan mengacu pada standar hidup relatif di seluruh masyarakat).
Bank dunia juga memberikan gambaran pengertian “sangat miskin” ini
sebagai orang yang mempunyai pendapatan hidup kurang dari USD 1 perhari,
dan “miskin” dengan pendapatan kurang dari USD 2 perhari.9
Peraturan pemerintah dalam konteks Indonesia mendefinisikan fakir-
miskin adalah orang yang sama sekali tidak memiliki sumberdaya hidup
berupa mata pencahariandan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok yang
layak bagi kemanusiaan. Atau seseorang yang mempunyai sumber mata
pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya yang layak bagi
kemanusiaan.
B. Faktor-faktor yang Membentuk Kemiskinan
Para ilmuan sosial sependapat sebagaimana dikatakan oleh Supardi
Suparlan bahwa sebab utama yang melahirkan kemiskinan adalah sistem
ekonomi yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, tetapi kemiskinan
itu sendiri bukanlah suatu gejala yang terwujud semata-mata karena sistem
ekonomi. Dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari interaksi
yang melibatkan hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam
kehidupannya.10
Ada tiga faktor yang membentuk atau melahirkan kemiskinan. Ketiga
faktor tersebut yaitu;
1. Faktor Kondisi Alam
Kelompok atau orang yang memandang permasalahan kemiskinan
sebagai “kehendak alam” yang secara ringkas menganggap bahwa
9 Mishabul Hasan, Ulama Mengadvokasi Anggaran, h.15
10 Parsudi Suparlan (ED), Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h.13
33
kemiskian merupakan realitas diluar kendali manusia. Jadi menurut
mereka, kemiskinan harus diterima dan dijalani saja apa adanya.11
Berkaitan dengan kondisi alam, al-Quran menyatakan bahwa alam
sementara ini ditundukkan kepada manusia sebagaimana yang dijelaskan
dalam surat al-Jatsiyyah ayat 13 berikut:
Artinya : Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan
apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
Berpijak pada ayat ini, dapat dinyatakan bahwa alam semesta
merupakan sumber daya yang siap didayagunakan untuk berbagai
kepentingan manusia. Karena Allah yang telah menundukan alam tersebut,
maka pola manusia dengan alam harus diletakkan atas prinsip-prinsip yang
sejalan dengan norma-norma ketuhanan. Norma demikian termasuk dalam
konteks tauhid. Dalam paradigma tauhid inilah, maka manusia harus tetap
berpegang teguh pada norma-norma agama Ilahi dalam mengelola alam,
jika yang terjadi tidak demikian, maka pada gilirannya akan merasakan
dampak negatif dari interaksi tersebut.
Bahkan al-Quran telah memberikan sinyal bahwa fenomena
kehancuran telah merata, baik di daratan maupun di lautan yang
disebabkan pola interaksi antara manusia dengan alam. Dalam hal ini
melalui surat ar-Rum ayat 41, al-Quran menyatakan;
11
Lilies Nurul dan Wazir Wicaksono, Ormas Agama, h.17
34
Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).
Pola interaksi destruktif antara manusia dan alam, berupa eksploitasi
alam tanpa melakukan analisis dampak lingkungan, kecenderungan untuk
menghabiskan seluruh potensi alam, keengganan mengadakan peremajaan
demi kelangsungan alam, dan sebagainya. Akibat dari pola interaksi
demikian ialah kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak, baik
generasi yang sedang berlangsung maupun generasi selanjutnya.12
2. Faktor Kultural
Manusia memegang seluruh kendali atas apa yang terjadi, begitu juga
dalam konteks kemiskinan. Akibat dari kemalasan, kebodohan, dan
keterbelakangan dalam berbagai hal inilah, maka permasalahan
kemiskinan muncul.
Menurut kaum konservatif kemiskinan tidak bermula dari struktur
sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri.
Orang menjadi miskin, karena ia tidak mau bekerja keras, boros, tidak
mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa kewirausahaan, tidak ada
hasrat berprestasi, dan sebagainya. Orang-orang miskin adalah kelompok
sosial yang mempunyai budaya sendiri.
12
Saad Ibrahim, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, h.52-55
35
Al-Quran mengajarkan dalam kondisi yang amat lemah pun manusia
harus mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki. Hal ini
digambarkan al-Quran lewat kisah perjalanan Siti Maryam ketika
melahirkan Nabi Isa. Maryam diperintahkan untuk menggoyang pohon
kurma agar buahnya yang ranum berguguran. Bukan persoalan bagaimana
pohon kurma itu dapat digoyangkan, tapi bagaimana Siti Maryam yang
dalam posisi mau melahirkan (kondisi fisik dan psikisnya lemah) bekerja
keras untuk dapat menggoyangkan pohon kurma itu. Dengan
mengaktualisasikan sisa-sisa potensi yang ia miliki, Maryam telah berhasil
mengatasi prolemnya, yaitu yakin ada makanan untuk dimakan demi
mengembalikan kekuatannya setelah melahirkan.
Berdasarkan uraian diatas, cukup beralasan bahwa sebagian dari sebab-
sebab terjadinya kemiskinan kaitannya dengan kondisi manusia itu sendiri
adalah kurang percaya pada kemampuan yang dimilikinya, keengganan
mengaktualisasikan potensi yang ada dalam bentuk kerja nyata yang
serius, pola hidup konsumtif dan boros, keengganan mencari ilmu, serta
keengganan memberikan respek optimal terhadap perputaran waktu.13
3. Faktor Struktural
Dalam faktor ini, seseorang memandang persoalan kemiskinan bukan
hanya dari satu hal, tetapi memiliki keterkaitan dengan banyak hal.
Kemiskinan bukan sekedar masalah sifat hidup seseorang, tetapi juga
memiliki keterkaitan dengan sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial
dan berbagai hal lain yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
13
Saad Ibrahim, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, h.26
36
Hal senada dijelaskan pula oleh budayawan Mangun Wijaya. Beliau
menyatakan bahwa “kemiskinan WAW timbul karena struktur, mereka
sebenarnya bukan orang miskin, tetapi dibuat miskin oleh suatu struktur”.
Sementara itu, kaum radikalis menekankan peranan struktur ekonomi,
politik dan sosial. Mereka miskin karena memang dilestarikan untuk
miskin. Kemiskinan mempunyai fungsi yang menunjang kepentingan
kelompok dominan, rulling elites,atau kelas kapitalis. Negara-negara
terbelakang menjadi miskin karena memang secara terencana dimiskinkan.
Pembangunan yang terjadi kata Strohmhanyalah entwickelung der
unterentwickelung (pembangunan keterbelakangan).14
Menurut Sa’ad Ibrahim yang dimaksud dengan sebab-sebab
kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi struktural adalah tindakan-
tindakan dan keputusan-keputusan the rulling class mengenai harta
kekayaan yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan. Menurut Sa’ad,
salah satu sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi sosial ialah
terkonsentrasinya modal di tangam orang-orang kaya. Terkonsentrasinya
modal di tangan mereka menyebabkan orang-orang fakir tidak memiliki
kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensi demi meraih
prestasi dibidang ekonomi. Memiliki potensi saja tanpa didukung modal
tidak akan mewujudkan kesejahteraan hidupnya secara optinal. Hal ini
dijelaskan dalam al-Quran ayat 7 surat al-Hasyr sebagai berikut:
14
Sri Edi Swasono, Al Muzammil dan Amri Yusra, Sekitar Ekonomi dan Kemiskinan
(Jakarta: UI Press, 1988), h.25
37
Artinya : apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.
Dalam ayat ini, harta rampasan perang hanyalah menjadi salah satu
contoh yang ditunjukan oleh al-Quran, yang harus dibagi berdasarkan
prinsip keadilan. Esensi ayat ini terletak pada tuntutan diwujudkannya
keadilan dalam bidang ekonomi, tidak hanya harta rampasan perang saja,
tetapi juga meliputi komoditas ekonomi lainnya. Indikasi terwujudnya
keadilan di bidang ekonomi ialah jika kesempatan untuk mendayagunakan
sumber-sumber ekonomi terbuka bagi setiap orang, tidak hanya terbuka
bagi kalangan tertentu saja khususnya kalangan orang-orang kaya.
Kelanjutan daari kezaliman bidang ekonomi yaitu terjadinya
kecenderungan hidup mewah para penguasa, yang pada gilirannya memicu
kehancuran. Dalam hal ini al-Quran mengingatkan melalui surat al-Isra’
ayat 16 sebagai berikut:
Artinya : dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka
Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
(supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam
negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan
(ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya.
38
Sudah barang tentu jika penguasa suatu negeri memiliki karakter yang
jahat, maka konsekuensi logisnya terjadi berbagai bentuk kezaliman
berupa undang-undang, peraturan-peraturan, dan keputusan-keputusan
yang justru merugikan orang banyak, terutama bagi mereka yang lemah,
termasuk golongan orang fakir miskin. Dengan demikian jelas adanya
keterkaitan antara terjadi dan langgengnya kemiskinan dengan kezaliman
penguasa.15
C. Kondisi dan Wajah Kemiskinan di Masyarakat
Kemiskinan sebagai suatu realitas kehidupan yang sering membuat
kelimpungan para pemimpin, terlebih di kalangan pemimpin formal, baik pada
ranah lokal maupun nasional dan global. Dalam beberapa dekade ini banyak
dilakukan kajian, diskusi, dan retorika tentang kemiskinan oleh banyak pihak,
baik kalangan pemerintah maupun swasta. Bahkan pada sisi lain terjadi perang
opini bahwa kemiskinan dijadikan komoditas yang menghasilkan keuntungan
bagi beberapa pihak. Kecurigaan yang melatar belakangi opini tersebut berangkat
dari otak-atik terhadap fakta bahwa banyak program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan pemerintah maupun swasta (LSM), namun pada kenyataannya
kemiskinan belum mengalami peningkatan yang signifikan (berkurangnya orang
miskin).
15
Saad Ibrahim, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, h.97
39
Menurut data BPS16
, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada beberapa tahun
belakangan ini adalah:
Tahun Jumlah (juta jiwa) % dari total penduduk
2010 31,02 13,33
2009 32,53 14,15
2008 34,96 -
2007 37,17 16,58
Kemiskinan bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di
seluruh dunia. Para ahli ilmu-ilmu sosial telah menyusun berbagai statistik untuk
mengetahui luasnya kemiskinan di seluruh penjuru dunia dengan berpatokan
pada beberapa indikator tertentu, antara lain kekurangan makanan, perkiraan usia
rata-rata ketika dilahirkan dan lain-lain. Makanan merupajan kebutuhan pokok
yang dipenuhi oleh setiap orang, sedangkan usia rata-rata mencerminkan sejauh
mana pengaruh berbagai jenis kekurangan pada diri seseorang. Selain kedua
ukuran biologis diatas ditambah pula unsur ketidaktahuan sebagai indikator yang
berkaitan dengan kemajuan sosial.
Bagi PBB, ketiga indikator ini memberikan gambaran singkat namun jelas
sejauh mana tersebarnya kemiskinan dengan berbagai gejalanya yang beraneka
ragam. Berdasarkan ketentuan ini, pada tahun 1971 PBB menyusun daftar nama
negara di seluruh dunia yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu negara maju,
negara berkembang, serta negara miskin (yakni negara yang palng miskin dan
terbelakang secara materil atau yang paling sedikit pertumbuhan ekonominya).
16
Lilies dan Achmad, Ormas Agama, h.32
40
Kelompok pertama negara maju, merupakan dua puluh lima persen dari
seluruh penduduk. Dengan demikian negara berkembang dan negara miskin
merupakan 75% dari seluruh penduduk dunia. Pada tahin 1971, Majelis Umum
PBB menghitung jumlah negara-negara miskin yang terbelakang sebanyak 24
negara. Jumlah tersebut pada tahun 1975 bertambah dengan empat negara dan
pada tahun 1977 bertambah lagi dengan tiga negara. Terakhir jumlah negara-
negara tersebut mencapai 36 negara setelah ditambahkan lagi dengan 5 negara
lainnya.17
Daftar tersebut memuat 25 negara di Afrika, 8 di Asia, 2 si Pasifik dan 1
di Amerika. Adapun penduduknya di negara-negara ini (Asia dan Afrika) terdiri
dari kaum muslimin, empat diantaranya menjadi Liga Arab. Berikut daftar
negara-negara tersebut:18
Negara-negara termiskin di dunia (dan yang paling terbelakang)
DI AFRIKA DI ASIA
1. Chad 14. Kepala Hijau 26. Afghanistan
2. Guinea 15. Burundi 27. Bangladesh
3. Mali 16. Benine 28. Bhutan
4. Niger 17. Botsana 29. Yaman Utara
5. Somalia 18. Lesoto 30. Yaman Selatan
6. Sudan 19. Malawi 31. Kep.Maladewa
7. Garabia 20. Ruanda 32. Nepal
8. Tanzania 21. Uganda 33. Laos
9. Volta Hulu 22. Jibouti DI OCEANIA
10. Etiophia 23. Guiena Kh 34. Samo Barat
11. Huinea Bissau 24. Satomi 35. Tonga
12. Kep.Kemarun 25. Sichel DI AMERIKA
13. Afrika Tengah 36. Haiti
17
Nabl Subhi At-thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim
(Bandung: Mizan,1990) cet.II. h.36 18
Nabl Subhi At-thawil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim
(Bandung: Mizan,1990) cet.II, h.38
41
BAB IV
ANALISIS HADIS KEMISKINAN
A. Hadis Kemiskinan
Syuhudi Ismail di dalam bukunya Metodologi Penelitian Hadis Nabi
mengatakan, sedikitnya ada tiga alasan mengapa penelitian matan hadis sangat
diperlukan, yaitu: pertama adalah karena keadaan matan hadis tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh keadaan sanad. Kedua dalam periwayatan matan hadis dikenal adanya
periwayatan secara makna ( riwayah bi al-makna ). Ketiga dari segi kandungan hadis.
Penelitian matan seringkali juga memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-
prinsip pokok ajaran Islam.1
Kegiatan penelitian matan lebih sulit dibandingkan kegiatan penelitian sanad.
Kesulitan matan hadis disebabkan beberapa faktor, yaitu :
1. Adanya periwayatan secara semakna;
2. Beragam acuan yang digunakan dalam melakukan penelitian;
3. Latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu dapat diketahui;
4. Adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang
berdimensi “supra rasional”;
5. Masih jarang atau langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus
penelitian matan hadis.2
Dalam hubungannya dengan status ke-hujjahan hadis, maka penelitian sanad
dan matan memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Karena menurut ulama hadis,
1 Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis ; (Jakarta Bulan Bintang, 1992) Hal.26-27
2 Ariffudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta : Renaisan 2005) hal.
108
42
suatu hadis barulah dinyatakan berkualitas shahih apabila sanad dan matan hadis itu
sama-sama berkualitas shahih.3
Adapun langkah-langkah metodologis kegiatan matan hadis ada tiga yaitu; 1
meneliti matan dengan melihat sanadnya. 2. Meneliti susunan matan hadis yang
semakna 3. Meneliti kandungan matan.4
Ulama hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan
yang berkualitas shahih ada dua macam. Yakni terhindar dari syudzudz (kejanggalan)
dan terhindar dari illat (cacat). Artinya, kedua unsur itu harus menjadi acuan utama
dalam meneliti matan hadis. 5
Dalam penelitian matan tersebut, hanya akan mengupas penelitian matan
semakna dan kandungan matan.
Susunan matan hadis untuk kedua sanad dari kedua mukharrij tersebut,
bersamaan maknanya. Perbedaan lafal memang ada, tetapi tidak menjadikan
perbedaan makna. Hal ini menunjukan bahwa hadis yang diteliti telah diriwayatkan
secara makna (riwayah bil makna).
Untuk memperjelas lafal yang dimaksud, berikut ini di kemukakan kedua
matan hadis tersebut:
Hadis dari Ibnu Majah
ا ن ي ك س م ى ن ي ي ح أ م له ل ا ) دعائهفإني سمعت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول في
( ن ي اك س م ال ة ر م ي ز ي ف ن ر ش اح ا و ن ي ك س م ين ت م أ و 6
3 Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis ; (Jakarta Bulan Bintang, 1992) Hal. 122-123
4Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis ; (Jakarta Bulan Bintang, 1992) Hal. 121-122
5Ariffudin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta : Renaisan 2005) hal.
108 109 6 Ibnu Majah Juz 2 Halaman 1381 Nomer Hadis 4126 Bab Majalisatul Fuqara
43
Hadis dari Turmidzi
ي » ت ، و ان ي ك س ي م ن الل هم أح م ف ين ش ر اح ا ، و ن ي ك س ي م ن أ م : قال. ة ام ي ق ال م و ي ن ي اك س ة الم ر ي ز
ا، يا ف ي ر خ ن ي ع ب ر أ ب اء ي ن األغ ل ب ق ة ن ج ال ن و ل خ د ي م ه إ ن : ل م يا رسول هللا ؟ قال : فقالت عائشة
دي الم ب ك هللا و ل ن و ي ك س عائشة ال ت ر بيهم ، ي ق ر بي المساكين ، وقر بشق تمرة ، يا عائشة أ ح
أ خرجه الترمذي.«يوم القيامة7
Pada kedua hadis di atas tampak adanya penambahan lafazh. Pada riwayat al-
Turmidzi, matan hadisnya agak panjang, yaitu adanya tambahan
“ اف ي ر خ ن ي ع ب ر أ ب اء ي ن غ األ ل ب ق ة ن ج ال ن و ل خ د ي م ه إ ن ”
Namun tambahan itu tidak menjadikan perbedaan makna, bahkan dengan
adanya penambahan ini justru memperjelas dari hadis Ibnu Majah.
1. Meneliti Kandungan Matan dengan Hadis
Adapun yang dianggap penting diperhatikan terhadap kandungan matan hadis
adalah matan hadis yang sejalan (tidak bertentangan) dan yang bertentangan. Namun
dalam hadis di atas, setelah diteliti, kandungan matan-nya dapat dipertanggung
jawabkan, karena hadis-hadis yang serupa juga banyak terdapat dalam kitab hadis.
Misalnya, hadis tersebut di riwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, al-
Suyuthi dalam Jam’ al-Jawami’, Ibnu Atsir dalam al-Bidayah Wa al-Nihayah, al-
Hakim dalam al-Mustadrak.8
Hadis yang bertentangan tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, an-Nasa’i dan
Ahmad Ibnu Hanbal. Yang berbunyi
حدثنا عبد هللا حدثني أبي ثنا روح ثنا عثمان الشحام حدثني مسلم بن أبي بكرة إنه مر
براللهم إني أعوذ بك من الكفر والفقر وعذاب الق: بوالده وهو يدعو ويقول
Artinya : Aku bermohon kepada Allah agar dihindarkan dari kekufuran dan kefakiran
dan adzab kubur.9
7 Kitab Turmidzi Juz 4 Halaman 672 Nomer Hadis 2773 Bab Fasal ‘Ula
8 Abu Hajar Muhammad Al-Sa’id Bin Baisuni Zaghlul, Mausu’at Al-Athraf Al-Hadis Al-
Nabawi Al-Syarif, Beirut: Dar Al-Fikr, 1989 cet. I hal. 166 9 Ahmad Bin Hanbal juz VII, h.306
44
Secara tegas dapat dinyatakan bahwa dalam hadis riwayat Ibnu Majah
disebutkan bahwa Nabi SAW, bermohon kepada Allah agar dihidupkan dalam
keadaan miskin.
Sementara dalam riwayat Ahmad bin Hanbal, disebutkan bahwa Nabi SAW.
bermohon juga kepada Allah agar dihindarkan dari kekufuran, kefakiran dan adzab
kubur. Sehingga kelihatannya adanya kontradiksi di antara kedua hadis tersebut.
Menurut Yusuf Qardhawi, bahwa yang dimaksud dengan menjadi orang
“miskin” pada hadis diatas tidak lain adalah tawadhu’, merendah dan tunduk, tidak
sombong dan congkak.10
Dan kalau kita melihat ke sejarah, memang seperti itulah Rasulullah SAW
menjalani hidupnya. Amat jauh dari cara hidup orang-orang takabur, termasuk dalam
sikap dan bentuk lahiriyahnya. Duduk beliau, seperti duduknya para budak dan fakir
miskin. Makannya pun seperti mereka juga. Adakalanya seorang asing datang dan
tidak mengenali beliau selalu sama saja dengan mereka, tak ada sedikitpun
keistimewaan yang membedakannya dengan mereka. Di rumah, Beliau adakalanya
menjahit alas sandalnya dengan tangannya sendiri. Kemudian juga menambal
bajunya, memerah susu kambingnya, dan ikut menggiling (gandum) bersama-sama
para pembantu rumahnya.11
Pernah suatu ketika seorang lelaki menghadapnya dengan gemetar, beliau
menegur :
يد أ ة ت أ ك ل ال ق د ر ا أ ن ا اب ن ام ل ك إ ن م ت ب م ل ي ك ف إ ني ل س ن ع ه و
10
Dr. Yusuf Qardhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis, Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, terj. (Jakarta : Islamuna Press, 1991) cet.ii hal.123 11
Dr. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan.
(Bandung. Karisma 1999) cet. VI h. 37
45
Artinya : “Tenanglah, jangan takut kepadaku. Aku bukan seorang raja, aku
tidak lain putra seorang perempuan Quraisy yang suka makan dendeng (olahan
daging)”.12
Dengan demikian, hadis tersebut harus dipahami secara kontekstual. Kalau
dipahami secara tekstual, dengan memaknai kata “miskin” dalam hadis tersebut
sebagai seorang fakir yang sangat membutuhkan bantuan orang lain, maka makna
seperti itu akan bertentangan dengan banyak hadis shahih. Karena itu, hadis tersebut
harus dipahami secara kontekstual.13
2. Meneliti Kandungan Matan dengan Al-Quran
Menurut Abu Muhammad Ibnu Qutaibah, tidak ada pertentangan di antara
kedua hadis tersebut, karena salah kalau kita mempertentangkan antara “fakir” dan
“miskin”. Karena memang keduanya faqir dan miskin adalah dua hal yang berbeda.
Kalau hadis tersebut berbunyi مسكن bunyi hadis diganti kata فقر barulah terjadi
perbedaan. Dan makna miskin dalam hadis tersebut adalah tawadhu dan ikhlas.
Seolah-olah Nabi SAW. meminta kepada Allah SWT. Supaya tidak dijadikan
termasuk golongan orang-orang sombong dan takabur.14
Diantara alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Qutaibah adalah bahwa
seandainya jika Rasulullah SAW, meminta kepada Allah akan kemiskinan, yang mana
kemiskinan itu adalah kefakiran, tentu Allah melarang Nabi meminta hal itu, karena
Allah telah memberikan anugerah yang begitu besar kepada Nabi SAW. setelah
sebelumnya Nabi hidup dalam keadaan fakir. Sebagaiman Allah berfirman dalam
Surat ad-Dhuha :8.
12 Dr. Yusuf Qardhawi, Kajian Kritis Pemaknaan Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, terj. (Jakarta : Islamuna Press, 1991) cet.ii hal.124 13
Dr. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan.
(Bandung. Karisma 1999) cet. VI hal. 35-36 14
Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Ta’wil Mukhtaiful Hadis, (Beirut, Mu’assasah Al-Kutub Al-
Tsaqafiyah 1988), Hal.278
46
Artinya: Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu
Dia memberikan kecukupan.
Yang dimaksud dengan العائل dalam ayat di atas adalah الفقير. Ayat di atas
menerangkan tentang keadaan Nabi ketika diutus oleh Allah, yaitu fakir (عائال) dan
keadaan Nabi ketika wafatnya, yaitu berkecukupan (غنيا). Karena Allah telah
mengutus Nabi dalam keadaan fakir dan kemudian memberikannya anugerah yang
begitu besar. Ayat tersebut juga memberi petunjuk bahwa miskin yang diminta oleh
Nabi daam hadis di atas tidaklah sama dengan fakir.15
Jadi dengan demikian tidak ada pertentangan diantara kedua hadis tersebut,
karena yang dimaksud dengan miskin dalam hadis riwayat Ibnu Majah tersebut tidak
sama dengan “fakir” yang dimaksud oleh hadis riwayat Ahmad bin Hanbal.
3. Wasiat Nabi untuk mencintai Orang Miskin
Ada 7 wasiat Nabi terhadap Abu Dzar, untuk mencintai orang miskin :
ن أ ب ي ذ ر ق ال ب ع : ع ل ي ل ي ب س ان ي خ ص أ ن أ ن ظ ر إ ل ى م ن ه و : أ و ، و ن ه م ن و م أ ن أ د اك ي ن و س ب ال م ب ح
ف ل ال أ س ل و و ن ال ح ث ر م أ ن أ ك ، و ف ان ي إ ن ج ي و م ح ل ر أ ن أ ص ، و ن ه و ف وق ي ال أ ن ظ ر إ ل ى م ني و م
أ أ ن ال أ س ة ال ئ م، و م ن ي ف ي هللا ل و ذ ال ت أ خ ، و ق ر ال ح ل م ب م أ ن أ ت ك ة إ ال ب اهلل ، و ي ئ ال اق و لن اس ش .
Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah)
Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: (1) supaya aku
mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, (2) beliau memerintahkan
aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada
orang yang berada di atasku, (3) beliau memerintahkan agar aku menyambung
silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, (4) aku dianjurkan agar
memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya
kecuali dengan pertolongan Allah), (5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran
meskipun pahit, (6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela
15
Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Ta’wil Mukhtaiful Hadis, Beirut, Mu’assasah Al-Kutub Al-
Tsaqafiyah 1988, Hal.116
47
dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-
minta sesuatu pun kepada manusia”.16
Wasiat yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tujukan untuk Abu Dzar
ini, pada hakikatnya adalah wasiat untuk ummat Islam secara umum. Dalam hadits
ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai
orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai ummat Islam hendaknya
menyadari bahwa nasihat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ini tertuju juga kepada
kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud, adalah mereka yang hidupnya tidak
berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka
tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
ر الت م ت ان و اللق م ة و ه اللق م د ل ى الن اس ، ف ت ر ف ع اف ال ذ ي ي ط و ا الط و ك ي ن ب ه ذ س ة ل ي س ال م
ت ان ر الت م ا . و ل هللا ؟ ق ال : ق ال و س و ك ي ن ي ا ر س ا ال م ال : ف م ن ي ه و ن ى ي غ د غ ي ال ي ج د ق ال ذ ي ف ط ن ل ه ف ي ت ص
ي ئ ا أ ل الن اس ش ال ي س ل ي ه ، و ع
"Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada
orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir
kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang
dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,"Mereka ialah orang yang
hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu,
lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu
pun kepada orang lain.”17
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin,
duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka. Ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul bersama orang-orang miskin,
datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam, tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin
16
http://pustakaimamsyafii.com/mencintai-orang-orang-miskin-dan-dekat-dengan-
mereka.html/ diakses 14-september-2014 17
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud (no. 1631), dan an-
Nasâ`i (V/85). Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
48
itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang
berada bersama beliau. Maka masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir
mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
"Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan
petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya". [al-An’âm/6:52].18
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan
membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada
pada kita, kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh
Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan
memperoleh ganjaran yang besar.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ن ن ف س ن م م ة ، و م ال ق ي ام ب ي و ن ك ر ب ة م ن ه ك ر ن ي ا ن ف س هللا ع ب الد ن ك ر ب ة م ن ك ر م ؤ ع ن م
ة ر ا آلخ ن ي ا و ل ي ه ف ي الد ر ي س ر هللا ع س ع ل ى م ي س ر ع
"Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin,
Allah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Dan
barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutang, Allah akan
memudahkan atasnya di dunia dan akhirat"19
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
ى ب ي ل هللا الس اع اه د ف ي س ج ال م ك ي ن ك س ال م ل ة و م ل ى ا أل ر ب ه ق ال –ع س أ ح ال ق ائ م ال ي ف ت ر : -و ك و
ر ائ م ال ي ف ط ك الص و
"Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin
bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau
18
Lihat Shahîh Muslim (no. 2413), Sunan Ibni Majah (no. 4128), dan Tafsîr Ibni Katsir
(III/90) 19
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud
(no. 3643), at-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78 dalam al-Mawârid).
Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
49
bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta
bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”.20
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berkumpul bersama orang-
orang miskin, sampai-sampai beliau berdo’a kepada Allah agar dihidupkan dengan
tawadhu’, akan tetapi beliau mengucapkannya dengan kata "miskin".
Orang–orang miskin yang masuk surga ini, adalah mereka yang taat kepada
Allah, mentauhidkan-Nya dan menjauhi perbuatan syirik, menjalankan Sunnah dan
menjauhi perbuatan bid’ah, menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a agar
mencintai orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ف ر ل ي أ ن ت غ ، و اك ي ن س ب ال م ح ات ، و ن ك ر ك ال م ت ر ات ، و ي ر ل ال خ أ ل ك ف ع ا لل ه م إ ني أ س
ب ن ي ح ب م ح ، و ب ك أ ل ك ح أ س ن، و ف ت و ي ر م ف ن ي غ م ف ت و ت ف ت ن ة ق و د ا أ ر إ ذ ، و ن ي م ح ت ر ، و ب ك ح و
بك ب ن ي إ ل ى ح ل ي ق ر م ع
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-
perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan
agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak
menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah
aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu
rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan
rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-
Mu".21
Selain itu, dengan menolong orang-orang miskin dan lemah, kita akan
memperoleh rezeki dan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
20
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5353, 6006, 6007) dan Muslim (no.
2982), dari Sahabat Abu Hurairah. Lafazh ini milik Muslim. 21
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (V/243), lafazh ini miliknya, at-Tirmidzi (no.
3235), dan al-Hakim (I/521), dan dihasankan oleh at-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,"Aku pernah
bertanya kepada Muhammad bin Isma’il –yakni Imam al-Bukhari- maka ia menjawab, ‘Hadits ini
hasan shahîh’.” Dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu. Di akhir hadits, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya ia (doa tersebut) merupakan hal yang benar, maka pelajari (hafalkan), dan
perdalamlah.
50
ع ن إ ال ب ض ق و ز ت ر ن و و ر ف ائ ك م ه ل ت ن ص
"Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya
orang-orang lemah dari kalangan kalian".22
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
ي ف ه ا ع ة ب ض م ه ا أل ر هللا ه ذ ا ي ن ص ، : إ ن م ت ه م و ه م ب د ع ال ص إ خ ، و ال ت ه م و ص
"Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan sebab orang-orang lemah
mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka".23
4. Pendapat Para Ulama Tentang Do’a Miskin
Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits (2/385)
mengatakan : "Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan Miskin ..... Yang
dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : Tawadhu' dan Khusyu', dan
supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur".
Di kitab Qamus Lisanul Arab (2/176) oleh Ibnu Mandzur diterangkan asal arti
Miskin di dalam lughah/bahasa ialah = Al-Khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti
Faqir ialah : Orang yang memerlukan. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berdo'a : Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan Miskin ..... Yang dikehendaki
ialah : Tawadhu' dan Khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong
dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam
keadaan berhina diri, tidak dengan sombong. Dan bukanlah yang dikehendaki dengan
Miskin di sini adalah Faqir yang memerlukan (harta).
Imam Baihaqi mengatakan : "Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau
meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (Khusyu' dan
22
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2896) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d
Radhiyallahu 'anhu 23
Hadits shahîh. Diriwayatkan oleh an-Nasâ`i (VI/45) dari Sahabat Mush’ab bin Sa’d
Radhiyallahu 'anhu. Lihat Shahîh Sunan an-Nasâ`i (II/669, no. 2978)
51
Tawadhu'). (Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi 7/12-13 dan Taklhisul-Habir
3/109 No. 1415 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar).
Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh Hujjatul Islam al-Imam
Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' 4/193. (baca juga syarah Ihya' 9/272 oleh
Imam Az-Zubaidy).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Hidupkanlah aku dalam
keadaan Khusyu' dan Tawadhu'". (Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 18/382 bahagian
kitab hadits). Beliau juga mengatakan (hal.326) : ".... bukanlah yang dikehendaki
dengan miskin (di dalam hadits ini) tidak mempunyai harta ..."
B. Analisis Ibnu Qutaibah Tentang Hadis Kemiskinan
Ibnu Qutaibah dalam beberapa karyanya memiliki metode yang sangat
menarik dalam memberikan solusi disetiap hadis yang sulit untuk difahami ataupun
memiliki kontradiksi dengan ketetapan-ketetapan sunnah.
ي ال و ى م ن غ و اي ن غ ك ل أ س ي أ ن إ م ه لل ا
“ aku memohon kepada-Mu akan berkecukupanku dan kecukupan
majikanku.”24
ة ر م ي ز ي ف ن ر ش اح ا و ن ي ك س ي م ن ت م أ ا و ن ي ك س ي م ن ي ح أ م ه ل ل ى هللا عليه وسلم قال ا صل بي الن أن
ن ي اك س م ال Artinya : Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ya Allah
hidupkan dan matikanlah aku dalam kemiskinan serta masukkanlah aku ke dalam
golongan orang-orang yang miskin.”25
Menurut Ibnu Qutaibah disini tidak terdapat perbedaan. Mereka telah salah
penafsiran hadis dan telah berbuat zhalim dalam mempertentangkan antara kefakiran
dan kemiskinan, padahal keduanya berbeda. Seandainya Rasulullah SAW
24
HR. Ahmad dalam al-Musnad (453/3)
25HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2352)
52
mengucapkan, “Ya Allah hidupkanlah aku di dalam kefakiran dan kumpulkanlah aku
di dalam kefakiran dankumpulkanlah aku di dalam kumpulan orang-orang fakir”26
,
maka hal tersebut baru merupakan pertentangan.
Arti kemiskinan di dalam sabda Rasulullah SAW, “dan kumpulkanlah aku
dalam keadaan miskin,” berarti rendah hati.27
Seakan-akan Rasulullah SAW
memohon kepada Allah agar tidak di jadika orang-orang yang keras hati dan orang-
orang yang sombong agar tidak dikumpulkan bersama mereka.28
Kalimat miskin (maskanah) adalah kalimat yang diambil dari kata as-sukun. Di
katakan di dalam bahas Arab Tamaskana Ar-Rajul apabila seseorang lembut, rendah
hati, khusyu’ dan tunduk.29
Di antaranya sabda Nabi kepada orang yang shalat :
ر ع ن ق ت و ن ك س م ت و س اء ب ت كس أ
“ melemahlah, tenanglah dan tundukkan kepalamu.”30
Maksud dari hadis di bawah tersebut hendaklah engkau khusyu’ dan
merendahkan diri dihadapan Allah SWT.”31
Di antara dalil yang ibnu Qutaibah sampaikan: Sesungguhnya Rasulullah SAW
jika memohon Kemiskinan yang berarti kefakiran, niscaya Allah SWT melarang
permohonan tersebut. Karena Allah SWT telah menjaminnya menjadi orang yang
26
Telah di takhrij di dalam pembahasan ini 27
Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka
Azzam hal. 279) 28
Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka
Azzam hal. 279) 29
Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka
Azzam hal. 280) 30
HR. Ibnu Majah. Dalam Sunan-nya (1319) 31
HR. Al- haitsami dalam majma’ az-zawaid (11/6)
53
berkecukupan dan mampu dengan air yang diciptakan untuknya, sekalipun Allah
tidak memberikan uang dirham yang berlimpah ruah.32
Allah SWT berfirman,
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? 7. dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. 8. dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Kalimat al’ail (kekurangan) adalah orang miskin/ faqir yang memiliki
keluarga atau tidak memiliki keluarga. Kalimat al mu’il adalah orang fakir yang
memiliki keluarga, baik ia meiliki harta atau tidak.33
Ibnu Qutaibah juga menambahkan bahwa, tidak pernah mendengar Nabi
siapapun, sahabat manapun, ahli ibadah dan para mujtahid manapun berdoa, ” Ya
Allah fakirkanlah diriku dan janganlah engkau memberikan kepadaku.” Dan tidak
dengan cara seperti itu Allah SWT memperbudak manusia, tetapi Allah memperbudak
manusia agar mereka berdoa, “Ya Allah berikanlah aku rezeki, ya Allah sehatkanlah
aku.”34
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam memberikan jalan keluar terhadap
pertentangan hadis-hadis tersebut, Ibnu Qutaibah tidak hanya memahaminya melalui
pendekatan bahasa saja, namun juga berdasarkan bukti-bukti lain yang ada kaitannya
dengan hadis yang bersangkutan.
Setelah menganalisa pendapat Ibnu Qutaibah beserta ulama hadis mengenai
arti miskin ternyata tidak ada pesinggungan, yang berarti maksud dari miskin adalah
tawadhu.
32
Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka
Azzam hal. 280) 33
Muhammad Abdurrahim, Ta’wil hadits-hadits yang dinilai kontradiktif,(Jakarta : Pustaka
Azzam hal. 281) 34
HR. al- Hindi dalam kanz al ‘Ummal (3745)
54
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan dari tulisan ini dengan merujuk kepada
rumusan masalah sebagai berikut:
Kata miskin berasal dari akar sukun yang berarti tenang, tawadhu (rendah
hati) dan khusy’. Berbeda dengan fakir yang lebih condong ke arah materi.
Dalam menakwilkan hadist-hadist tersebut, mereka kurang memahami arti
dari fakir dan miskin, dan cenderung menyamakan keduanya, padahal keduanya
tidak sama.
Ada beberapa hadis yang bertentangan dengan hadis ini, tapi itu bukan
menjadi pelemah hadis ini. Karena hadis itu justru menguatkan pemahaman akan
arti miskin.
Dengan demikian, hadis bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Karena dibalik kata miskin tersebut ada maksud tawadhu’ atau rendah diri, bukan
miskin harta.
55
B. Saran-saran
Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada hadis kemiskinan.
Maka dari itu penulis berharap dikemudian hari ada penulis yang
menyempurnakan penelitian ini dengan bahasan dan penakwilan yang lebih luas
lagi. Karena penulis sadar kesimpulan akhir dari skripsi ini tidak menutup
kemungkinan ada kesimpulan lain dari analisis yang dilakukan penulis.
Penulis juga berharap ada penelitian lanjutan yang lebih komprehensif,
terhadap hadis-hadis kemiskinan dan tidak hanya menggunakan kitab ta’wil
mukhtalif al-hadis saja.
Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit
pengetahuan untuk penulis khususnya, para pembaca sekalian dan orang lain pada
umumnya. Amien.
56
DAFTAR PUSTAKA
‘Athâ. ‘Abd al-Qadîr Ahmad, Muqaddimah al-Thab’ah al-Ûlâ. Beirut, Dâr al-Fikr,
1995.
Abû Zahw. Muhammad, Al-Hadîts Wa al-Muhadditsûn, Beirut: Dâr al-Fikr, th.1995
Ariffudin. Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi . Jakarta: Renaisan,
2005.
Biro Pusat Statistik. Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-
1990. Jakarta: BPS, 1991.
Departement Agama, Al-Qur’an Departemen Agama RI. Jakarta: Kalam Ilahi, 2002.
Hanafi. Ahmad, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Hanbal. Ahmad bin, Musnad Ibnu Hanbal. Beirut: Dâr al-Fikr, 1996. Hasan. Mishabul, Ulama Mengadvokasi Anggaran. Jakarta: PP Lakpesdam NU, t.th.
Hasyim. Ahmad, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam. Banda Aceh: Lentera, 1973.
http://pustakaimamsyafii.com/mencintai-orang-orang-miskin-dan-dekat-dengan-
mereka.html/ diakses 14-september-2014
Husna. Lilies Nurul dan Achmad wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran.
Jakarta: Lakpesdam NU, 2011.
Ibrahim. Saad, Kemiskinan dalam Perspektif al-Quran, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.
Ismail. Syuhudi, Metodelogi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Majah. Ibnu, Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.
An-Nasa’i, Imam. Sunan an-nasai’, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995
Nasution. Anwar, Sekitar Kemiskinan Dan Keadilan Dari Cendikiawan Kita Tentang
Islam. Jakarta: UI Press, 1987.
Qardhawi. Yusuf, Al-Qur'an Dan Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam, Terj.
Bahruddin Fannani. Jakarta: Robbani Press, 1997.
, Kajian Kritis Pemaknaan Hadis Antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual. Jakarta: Islamuna Press, 1991.
57
, Bagaimana Memahami Madis Hadis Nabi Saw, terjemahan.
Bandung: Karisma, 1999.
Qutaibah. Abdullah Bin Muslim bin, Ta'wîl Mukhtalif al-Hadîts. Beirut: Muassasah
al-Kutub al-Tsaqâfiah, 1988.
Ranuwijaya. Utang, Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama,1996.
Sa’ad. Ibrahim, Kemiskinan Dalam Prespektif al-Quran. Malang: UIN Malang Press,
2007.
Saputra. Munzier, Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993.
al-Sibâ’i. Mushthafâ, Sunnah Dan Peranannya Dalam Penetapan Syari’at Islam,
Terj. Nur Kholish Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Sirodj. Said Aqil, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, mengedepankan islam sebagai
inspirasi bukan aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Sou'eb. Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiah II. Jakarta: Bulan Bintang t.th, 1996.
Suparlan. Parsudi, Manusia Indonesia Individu. Keluarga, dan Masyarakat. Jakarta:
Akademika Pressindo, 1986.
Swasono. Sri Edi, Al-Muzammil dan Amri Yusra, Sekitar Ekonomi dan Kemiskinan.
Jakarta: UI Press, 1988.
Al-Thawil. Nabl Subhi, Kemiskinan dan Keterbelakangan di negara-negara muslim.
Bandung: Mizan, 1990.
Tim prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gitamedia Press, 2011.
Tirmidzi, Imam. Sunan Tirmidzi, Beirut: Dâr al-Fikr, 1996
Yatim. Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Zaghlul. Abu Hajar Muhammad Al-Sa’id Bin Baisuni, Mausu’at Al-Athraf Al-Hadis
Al-Nabawi Al-Syarif. Beirut: Dar Al-Fikr, 1989.
Zahrah. Muhammad Abû, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos,
1996