Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

6
confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 1/6 12th February 2012 Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk meninggikan Islam, tetapi di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta) yang bersumber dari Barat, yang notabene sangat memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya “Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan terjebak dalam dualisme pemahaman yang bertolak belakang. Pertanyaannya: Apakah semua hal yang berkaitan dengan Barat harus ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus ditolak dan boleh untuk diambil? [] Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat khas, tetapi kadang-kadang bersifat umum. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat tertentu. Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil. Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah. Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang berangkat entah dari mana, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah. Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga ‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas (fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah. Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi. Ini sebuah kesalahan besar. Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah. Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak, semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Dan itu semua diambil dengan suara terbanyak. Seolah-olah suara terbanyak mewakili kebaikan semua pihak. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram, diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan

Transcript of Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

Page 1: Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 1/6

12th February 2012 Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

Kita seringkali merasakan kebingungan sebagai seorang muslim ketika berhadapan

dengan peradaban Barat. Di satu sisi kita dituntut untuk meninggikan Islam, tetapi

di sisi lain kita tidak terlepas dari berbagai realitas (fakta) yang bersumber dari

Barat, yang notabene sangat memusuhi Islam. Kemudian muncullah berbagai

macam asumsi dan berbagai macam pandangan di kalangan umat Islam, misalnya

“Katanya menolak Barat, tapi kok pakai teknologi dari Barat?”, “Katanya segala

sesuatu yang baru itu bid’ah, tapi kok pakai barang-barang yang ditemukan orang

kafir?”. Jika kita tidak berhati-hati dalam masalah ini, tentu kita akan terjebak dalam

dualisme pemahaman yang bertolak belakang. Pertanyaannya: Apakah semua hal

yang berkaitan dengan Barat harus ditolak? Jika tidak, mana hal-hal yang harus

ditolak dan boleh untuk diambil?

[]

Di kala begitu banyak orang mengalami kebingungan untuk menjawab berbagai

pertanyaan di atas dan yang sejenisnya, ada sebuah kajian menarik dari Syaikh

Taqiyuddin An Nabhani. Dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syaikh Taqiyuddin An

Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah. Hadharah adalah

sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai

fakta tentang kehidupan. Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari

benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.

Hadharah memiliki sifat khas, tetapi kadang-kadang bersifat umum. Sedangkan

madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban

suatu umat tertentu.

Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam hukumnya haram untuk diambil.

Mengapa demikian? Sebab ada perbedaan mendasar dari hadharah Islam dan

hadharah selain Islam. Hadharah Islam bisa diambil, sebab berpijak dari Alquran

dan Sunnah. Sedangkan hadharah Barat, berangat dari selain Alquran dan Sunah.

Artinya, hadharah selain Islam bisa berangkat dari pemikiran manusia yang

berangkat entah dari mana, yang jelas tidak dari Alquran dan Sunah.

Banyak orang menyatakan bahwa demokrasi itu adalah hadharah Islam, sebab juga

‘diambil’ dari Alquran dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa Islam menghalalkan

musyawarah, maka demokrasi pun halal. Pernyataan ini jelas sangat ngawur dan

serampangan. Kelihatan sekali, orang yang menyatakannya tidak melihat realitas

(fakta) demokrasi dan musyawarah secara menyeluruh, alias setengah-setengah.

Mereka mengokohkan pendapat mereka dengan QS. Asy Syura: 37-38. Dalam ayat

tersebut terdapat penggalan ayat: Wa amruhum syuuraa bainahum (sedangkan

urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Syura yang

dimaksud di sini disamakan dengan demokrasi. Ini sebuah kesalahan besar.

Jika ditelusur, demokrasi (kadang-kadang) memang menggunakan musyawarah.

Tetapi harus dilihat, asas demokrasi adalah sekulerisme. Inilah yang menjadi

permasalahannya. Artinya, asas ‘musyawarah’ demokrasi memang sekuler. Jadi

untuk menentukan halal atau haram, dilakukan atau tidak, diputuskan atau tidak,

semuanya berdasarkan hawa nafsu manusia, bukan Alquran dan Sunnah. Dan itu

semua diambil dengan suara terbanyak. Seolah-olah suara terbanyak mewakili

kebaikan semua pihak. Ini jelas tidak benar. Sebab, yang menentukan halal-haram,

diputuskan atau tidak sebuah kebijakan, tetap semua berangkat dari Alquran dan

Page 2: Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 2/6

Sunnah, bukan dari akal manusia. Jadi, demokrasi bukanlah hadharah Islam, tetapi

memang hadharah Barat yang sangat bertentangan dengan Islam. Sebab, asas

musyawarah adalah pada Alquran dan Sunnah, bukan kehendak manusia sendiri.

Satu contoh Indonesia. Untuk menentukan apakah riba itu halal atau haram, jelas

tidak bisa dilakukan dengan musyawarah. Tetapi dengan dalil-dalil syariah yang

berasal dari Alquran dan Sunnah. Tetapi di Indonesia, boleh tidaknya riba

ditentukan berdasarkan musyawarah parlemen. Ini jelas tidak benar. Allah telah

menegaskan: Wa ahalallaahul bai’a wa harramar ribaa (dan Allah menghalalkan

jual beli dan mengharamkan riba). Demikian juga sabda Rasulullah: Ar ribaa

tsalaatsatun wa sab’uuna baaban, aisaruhaa mitslu an yankiha rajulu ummahu

(Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang

yang mengawini ibunya), hadis riwayat Hakim dan Baihaqi.

Kemudian, untuk menentukan apakah Freeport dan Exxon Mobile Oil boleh

mengelola kekayaan alam di Indonesia atau tidak, ternyata selama ini ditentukan

oleh kebijakan penguasa (eksekutif) dan disetujui parlemen. Ini tidak benar. Sebab

menurut hukum Islam, yang namanya kekayaan alam yang menguasai hajat hidup

orang banyak memang milik umum, bukan milik pemerintah (negara) sehingga

negara bisa dengan seenaknya jual sana jual sini.

Padahal Rasulullah bersabda: Al muslimuuna syurakaa u fii tsalaatsatin, fil maa i,

wal kala i, wannaari (kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, air padang rumput

dan api), hadis riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah. ‘Illat kepemilikan umum

tersebut adalah sesuatu yang besar (sesuatu yang bersifat bagaikan air mengalir).

Berdasarkan hadis ini, sumber daya energi termasuk dalam kepemilikan umum

karena dua aspek: yaitu termasuk dalam kata ‘api’ serta ‘tersedia dalam jumlah

yang besar. Karena milik umum, maka negara tidak memiliki hak apa pun untuk

mengambilnya, apalagi pihak asing. Justru karena dikelola pihak asing itulah

kemudian kekayaan alam di negeri ini tidak pernah dirasakan oleh rakyat.

Sedangkan yang kedua, adalah madaniyah. Madaniyah ada dua jenis, yaitu yang

bersifat umum dan yang bersifat khas. Yang bersifat umum seperti hasil kemajuan

teknologi, hukumnya boleh untuk diambil, sebab tidak mengandung pandangan

hidup tertentu yang berlawanan dengan Alquran dan Sunnah. Sebagai contoh

komputer. Komputer memang dihasilkan oleh teknologi Barat. Akan tetapi

mengambilnya, diperbolehkan. Sebab komputer tidak mengandung pemahaman

atau pandangan hidup tertentu. Adakah Anda menemukan komputer memiliki

pandangan hidup tertentu? Demikian pula mobil, kendaraan, dan handphone.

Termasuk juga berbagai jenis perangkat IT seperti internet, facebook, web browser,

twitter; perangkat lunak seperti Windows, Linux, Unix, dan sebagainya. Adakah

Anda menemukan pandangan hidup tertentu di dalam benda-benda atau software

tersebut?

Hal ini pernah dilakukan Rasulullah dan para sahabat ketika mengambil hasil

teknologi dan hasil budaya orang-orang kafir, sebab tidak mengandung pandangan

hidup tertentu. Rasulullah pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq

buatan orang kafir. Dababah adalah sebuah alat tempur yang memiliki moncong

berupa kayu besar yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh.

Rasulullah saw. juga pernah menggunakan senjata Manjaniq dalam Perang Khaibar

ketika menggempur benteng An Nizar milik Yahudi Bani Khaibar. Manjaniq adalah

sebuah ketapel raksasa yang biasa digunakan oleh orang Romawi dalam

Page 3: Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 3/6

menggempur lawan.

Demikian pula Rasulullah pernah membuat parit di sekitar kota Madinah dalam

Perang Khandaq. Salman Al Farisi, sahabat Rasulullah saw. yang berasal dari Parsi

mengusulkan agar di sekeliling kota Madinat digali parit sebagaimana dulu dia

pernah membuatnya bersama orang-orang Parsi. Umar bin Khathab, juga pernah

mengadopsi berbagai sistem administrasi orang-orang Romawi dan Parsi untuk

mengurus sistem administrasi daulah Islamiyah. Adakah Anda menemukan

pandangan hidup tertentu dari Dababah, Manjaniq, parit yang dibagung Salman Al

Farisi, dan system administrasi Parsi yang diadopsi Umar bin Khathab? Berbagai

fakta di atas menunjukkan bahwa hasil peradaban umat selain umat Islam halal

untuk diambil selama tidak mengandung pemahaman dan pandangan hidup

tertentu.

Sedangkan madaniyah yang bersifat khas tidak boleh diambil. Maksudnya

bagaimana? Yaitu hasil peradaban selain Islam yang mengandung pandangan

hidup tertentu. Contohnya adalah benda salib. Kaum muslimi tidak boleh

mengambilnya atau memakainya dalam keadaan apa pun, sebab memiliki

pandangan hidup tertentu. Contoh lain adalah candi dan patung dewa-dewa. Kita

tidak diperkenankan untuk mengambil patung-patung dewa Yunani atau Hindu.

Sebab hal itu mengandung pandangan hidup tertentu.

Kadang-kadang benda-benda tersebut juga ada di rumah kita tetapi bukan kita

yang meletakkan. Mungkin orang tua kita atau yang lainnya. Jika demikian,

hendaknya kita mengingatkan dengan baik-baik, jika tidak mau, itu bukan urusan

kita. Itu pilihan orang tua kita atau orang lain yang meletakkan benda itu di rumah

kita. Kita hanya wajib untuk mengingkarinya, usahakan dengan lisan, jika tidak

mampu, tentu dengan hati.

Ada satu lagi pembahasan yang seringkali membuat orang terjebak, apakah ini

disebut bid’ah atau bukan. Dalam Kamus Al Munawir, bid’ah berarti menciptakan

sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan dalam kitab Lisanul Arab

disebutkan bahwa arti bid’ah adalah setiap hal baru yang diada-adakan.

Sedangkan menurut beberapa ulama, penjelasan tentang bid’ah adalah sebagai

berikut.

1. Dalam kitab Mughni Al Muhtaj, Imam Asy Syarbini menyatakan bahwa menurut

Imam Syafi’i yang dimaksud dengan al muhdatsah atau sesuatu yang baru dan

diada-adakan yang menyalahi Alquran, Sunnah, dan Ijma sahabat, maka termasuk

bid’ah yang sesat.

2. Imam Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: bid’ah adalah perbuatan yang tidak

dilakukan pada masa Rasulullah saw.

3. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan Imam Ibnu Rajab Al Hambali menyatakan

bahwa bid’ah adalah apa saja yang diada-adakan, yang tidak mempunyai dasar

syar’i yang ditunjukkan dalam syariat, sedangkan yang mempunyai dasar syar’I

tidak termasuk bid’ah.

4. Ibnu Taimiyah menyatakan: bid’ah adalah apa-apa yang menyalahi syariat.

5. Imam Asy Syathibi dalam kitab Al I’tisham menyatakan: bid’ah adalah thariqah

Page 4: Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 4/6

(tata cara) dalam agama yang dibuat-buat dan sebelumnya belum ada, yang

bertentangan dengan syariat, yang atas dasar bid’ah itu, pelakunya berperilaku

dan beribadah secara maksimal kepada Allah swt.

Dari berbagai pemahaman ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah

setiap perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat, yaitu setiap perbuatan yang

menyalahi syariat. Perbuatan semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah saw.:

Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun (Siapa saja yang

melakukan suatu perbuatan yang tidak ada ketentuannya dalam agama kami

adalah tertolak), hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Hanya saja tidak semua perbuatan yang tidak didatangkan oleh syariat atau tidak

ada pada masa Rasulullah saw. pasti bid’ah. Terdapat banyak sekali perbuatan-

perbuatan yang sebenarnya didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat umum.

Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai bid’ah. Misalnya belajar

matematika, belajar IPA, mempelajari nuklir, mempelajari sel-sel makhluk hidup dan

tumbuhan, dan sebagainya. Semua perbuatan-perbuatan ini berangkat dari dalil-

dalil yang sifatnya umum, yaitu dalil menuntut ilmu.

Demikian pula, pergi rekreasi, menetapkan mahar berupa seperangkat alat salat,

cincin, atau Alquran, membangun tempat azan, menyalakan listrik di dalam masjid,

memakai pengeras suara ketika azan dan iqamat, dan sebagainya juga bukan

merupakan bid’ah.

Semua perbuatan di atas memang tidak dijelaskan secara detail dan terinci, baik

pada masa Rasul maupun pada masa sahabat. Tetapi semuanya mencakup dalil-

dalil yang sifatnya umum. Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani

menyatakan: Sesuatu yang diada-adakan, yang mempunyai asal (pokok) dalam

syariat yang menunjukkannya tidaklah termasuk bid’ah.

Jadi, bid;ah adalah perbuatan yang menyalahi syariat. Ini tidak berlaku untuk

semua jenis perbuatan, tetapi hanya berlaku pada perbuatan yang telah ditentukan

tata cara (kaifiyah) pelaksanaannya oleh syariat.

Sebenarnya, syariat tidak membatasi tata cara (kaifiyah) pelaksanaan perbuatan

kecuali dalam masalah ibadah (di luar jihad). Selain dalam masalah ibadah, syariat

tidak membatasi tata cara, melainkan hanya menentukan tata cara pengelolaannya

(tasharruf). Menyalahi tasharruf yang telah ditentukan syariat, tidak disebut bid’ah,

tetapi bisa haram atau makruh dan sebagainya sesuai dalil penunjukan

larangannya.

Mendirikan perusahaan saham, tidak termasuk kategori bid’ah, hanya saja

hukumnya haram. Memerangi orang kafir yang belum tersentuh dakwah Islam,

bukan bid’ah, tetapi hukumnya tidak boleh. Melukis wanita telanjang, tidak termasuk

bid’ah tetapi hukumnya juga tetap tidak boleh. Menganut demokrasi, tidak

terkategori bid’ah, hanya saja hukumnya haram.

Lain halnya dengan ibadah mahdhah. Azan adalah ibadah. Tata caranya telah

ditentukan oleh syariat. Manambah satu kata atau kalimat di dalam azan, termasuk

bid’ah. Salat subuh itu dua rekaat. Menambah satu rekaat dengan alasan cinta

kepada Allah, termasuk bid’ah. Berdoa itu adalah ibadah. Ada dalil yang

menyatakan bahwa berdoa itu dengan mengangkat tangan. Ini adalah tata cara

Page 5: Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 5/6

spesifik (kaifiyah makhshushah) dalam berdoa. Oleh karena itu, siapa saja yang

menyalahinya, misal berdoa dengan mengepalkan tangan atau dengan tangan di

pinggang, jelas ini adalah bid’ah. Haram melakukannya.

Berangkat dari hal di atas, kemudian ada orang yang secara serampangan

menyatakan “Bukankah keberadaan konsep hadharah dan madaniyah itu sendiri

juga baru? Jadi konsep yang digagas Taqiyuddin An Nabhani itu juga bid’ah.”

Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya orang yang menyatakan bahwa hadharah

dan madaniyah telah salah dalam memahami fakta. Memang benar, pada masa

rasul konsep hadharah dan madaniyah memang belum ada, sebab baru

dirumuskan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani pada tahun 1950-an. Tetapi perlu kita

sadari bersama, bahwa pada masa dulu ilmu-ilmu Islam yang lain juga belum ada.

Belum ada ilmu fiqh dan ushul fiqh, belum ada ilmu hadis dan ushul hadis, belum

ada ilmu siyasah syar’iyyah dan lain sebagainya. Berkaitan dengan hal-hal baru

yang muncul, pada masa dulu para sahabat tidak perlu bingung-bingung dengan

konsep hadharah dan madaniyah. Mengapa? Sebab pada masa mereka Rasulullah

saw. masih ada. Sehingga jika mereka menemukan hal-hal yang baru, mereka akan

langsung menanyakannya kepada Rasulullah.

Atau pada masa tabi’in dan sahabat sepeninggal Rasulullah. Pada masa dulu, jika

tabi’in menemukan satu hal yang baru dan tidak bisa memecahkan

permasalahannya, maka mereka akan bertanya kepada sahabat yang masih hidup.

Begitu seterusnya. Hingga pada masa kontemporer, ketika orang mengalami

kebingungan dalam memilih dan memilah, mana yang harus diambil dari peradaban

orang-orang Barat, maka Syaikh Taqiyuddin pun segera melakukan ijtihad, dan

dihasilkanlah sebuah konsep yaitu hadharah dan madaniyah. Hadharah yang wajib

diambil hanyalah hadharah Islam, dan hadharah selain Islam wajib ditolak.

Sedangkan madaniyah juga harus dilihat dengan seksama, jika bersifat umum

maka boleh diambil, jika bersifat khas, maka tidak boleh diambil. Demikianlah..

Jadi, jika kita mau berpikir objektif, tidak perlu melihat siapa yang menyampaikan.

Mari kita melihat, apa yang disampaikan. Jika apa yag disampaikan memang benar

dan memiliki hujjah yang kuat, mengapa tidak kita ambil? Jika kita memiliki pendapat

A, dan kemudian datang pendapat B dengan hujjah yang lebih kuat, mengapa kita

masih mempertahankan yang A padahal ada hujjah yang lebih kuat, yaitu pendapat

B? Sepertinya, setiap orang perlu jujur kepada diri sendiri. Tidak penting, orang itu

berasal dari gerakan Islam mana. Jika memang lebih kuat, tentu harus diambil dan

menyepakati pendapat yang lebih kuat tersebut dan membenarkannya.

Kita semua perlu mengakui kebenaran kata-kata Al Imam Asy Syahid Hasan Al

Banna, “Kewajiban yang kita miliki, lebih banyak daripada waktu yang tersedia.”

Walaupun saya tidak menjadi pengikut beliau di gerakan Ikhwanul Muslimin, tetapi

saya mengakui betul bahwa kata-kata tersebut memang benar, dan sangat benar.

Mengapa? Sebab, realitasnya memang demikian. Kewajiban umat Islam memang

sangat banyak (terlepas dari qadhiyah mashiriyahnya), sedangkan waktu yang ada

sangat sedikit.

Oleh karena itu, semoga kita selalu menjadi orang-orang yang memegang teguh

prinsip kebenaran. Melihat kebenaran dari kebenaran itu sendiri, bukan dari orang

atau yang lainn

Page 6: Hadharah, Madaniyah, dan Bid’ah

confidentzone.blogspot.com/2012/02/hadharah-madaniyah-dan-bidah.html 6/6

Semoga bermanfaat..

Posted 12th February 2012 by Santriwan Mlangi Yogyakarta Indonesia

Labels: ingin tau