Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas...

35
167 BAB LIMA AKTUALISASI GUS-JI-GANG DALAM BISNIS Pendahuluan Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan cara bersikap etis (berperilaku etis) pada tata krama Jawa bermakna spiritual (nilai Islam) yang secara internal menjadikan seseorang merasa dalam tatanan prosesnya berkeyakinan pada yang suci. Keyakinan itu, di satu sisi, sebagai acuan bersikap etis baik dalam hidup beragama, bersosial dengan lingkungannya maupun dalam kegiatan ekonomi (berdagang) di masyarakat (komunitas) maupun pribadi (individual). Saling kerja sama antara agama Islam (nilai etis) dan pedagang (nilai ekonomi) dalam proses ekspansi, tidak merupakan konjungsi kerja sama yang terjadi secara kebetulan antara gejala ekonomi dan agama, tetapi kerja sama itu timbul dari watak sesungguhnya akulturasi nilai-nilai agama Islam 1 . Max Weber menjelaskan bahwa, sifat-sifat sebagai ciri khas Protestan, seperti tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang rasional, semua ditentukan pula dalam etika Islam 2 . Agama sebagai kebenaran mutlak harus diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari. Namun, usaha itu tidak mudah akibat wawasan pemeluknya sendiri dan lingkungan sosial yang kurang mendukung. Kondisi kendala seperti itu, justru dapat melahirkan kemampuan berkreatif dan memiliki wawasan baru dengan tetap memelihara keyakinan keagamaan yang dipeluknya. Kemampuan dan kondisi obyektif yang melingkupi setiap penganut keyakinan keagamaan yang berbeda-beda akan melahirkan usaha kreatif yang berbeda-beda pula.

Transcript of Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas...

Page 1: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

167

BAB LIMA

AKTUALISASI GUS-JI-GANG DALAM BISNIS

Pendahuluan

Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan cara

bersikap etis (berperilaku etis) pada tata krama Jawa bermakna spiritual

(nilai Islam) yang secara internal menjadikan seseorang merasa dalam

tatanan prosesnya berkeyakinan pada yang suci. Keyakinan itu, di satu

sisi, sebagai acuan bersikap etis baik dalam hidup beragama, bersosial

dengan lingkungannya maupun dalam kegiatan ekonomi (berdagang)

di masyarakat (komunitas) maupun pribadi (individual). Saling kerja

sama antara agama Islam (nilai etis) dan pedagang (nilai ekonomi)

dalam proses ekspansi, tidak merupakan konjungsi kerja sama yang

terjadi secara kebetulan antara gejala ekonomi dan agama, tetapi kerja

sama itu timbul dari watak sesungguhnya akulturasi nilai-nilai agama

Islam1.

Max Weber menjelaskan bahwa, sifat-sifat sebagai ciri khas

Protestan, seperti tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran

dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara

metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang

rasional, semua ditentukan pula dalam etika Islam2. Agama sebagai

kebenaran mutlak harus diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari.

Namun, usaha itu tidak mudah akibat wawasan pemeluknya sendiri

dan lingkungan sosial yang kurang mendukung. Kondisi kendala

seperti itu, justru dapat melahirkan kemampuan berkreatif dan

memiliki wawasan baru dengan tetap memelihara keyakinan

keagamaan yang dipeluknya. Kemampuan dan kondisi obyektif yang

melingkupi setiap penganut keyakinan keagamaan yang berbeda-beda

akan melahirkan usaha kreatif yang berbeda-beda pula.

Page 2: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

168

Demikian pula, pengembangan agama Islam di Kudus3 tidak

akan lepas dari peran Sunan Kudus4 karena dalam melaksanakan

agamanya masyarakat Kudus banyak meneladani ajaran Sunan Kudus.

Sunan Kudus adalah putra dari pasangan Sunan Ngundung (Sayyid

Utsman Haji)5. Sunan Kudus telah membawa perubahan kehidupan

sosial yang sangat besar pada masyarakat Kudus yang memiliki struktur

sosial yang hierarkhis-diskriminatif6 (kehidupan masyarakat Hindu dan

Budha sebagai agama yang sudah ada sebelumnya) setelah menerima

ajaran baru Sunan Kudus menjadi tatanan sosial yang egaliter-religius di bawah semangat keimanan. Abdurrahman Mas‟ud (2004)

menyimpulkan bahwa, tanpa sufisme, Islam tidak pernah menjadi

”Agama Jawa”. Sufisme yang begitu toleran terhadap tradisi masyarakat

Jawa telah menimbulkan akulturasi budaya Islam dapat diterima

masyarakat Jawa, hal itu terbukti telah diikuti oleh para tokoh

masyarakat pesisiran utara Jawa, termasuk komunitas masyarakat Islam

di seputar Masjid Menara Kudus yang dikenal dengan istilah Kudus Kulon, sejalan dengan proses perkembangan sosial antara struktur

spasial Masjid Menara Kudus berikut figur panutan kunci yaitu Sunan

Kudus telah mengkonstruksi sistem sosial masyarakat Kudus Kulon.

Masyarakat Islam Kudus Kulon atau sering disebut wong ngisor

manara memiliki keunikan karena disamping memegang syariat dan

taat ajaran sufistik yang salah satu perkembangannya melahirkan

berbagai macam sistem keagaman Tharekat7, namun memiliki etos8

kerja yang kuat sehingga sering mendapat predikat sebagai komunitas

“santri saudagar”. Hal itu muncul karena peran dan rujukan masyarakat

Islam Kudus Kulon terhadap perilaku, motivasi, maupun spirit dari

Sunan Kudus yang dikenal sebagai seorang wali saudagar9. Konsekuensi

dari sebutan simbol ”santri saudagar” telah menjadikan spirit bagi

orang Kudus, khususnya yang beragama Islam dalam memupuk etos

kerja yang tinggi dengan dijiwai semangat religius yang kuat. Bahkan

bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid dan Menara Kudus

secara umum memiliki religiusitas dan etos kerja lebih tinggi daripada

masyarakat yang tinggal jauh dari Menara Kudus.

Page 3: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

169

Mayarakat yang tinggal di sekitar Menara Kudus merasa lebih

insider dan merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam

struktur fisik dan ruang sosial dari aura makam Sunan Kudus karena

merasa lebih menerima keberkahan atas keramat makam Sunan Kudus,

sehingga menjadi sesuatu yang sangat bermakna bagi masyarakat

ngisor Menara. Adanya perkembangan jaman dan pengaruh mobilitas

manusia maka spirit “wali saudagar” menyebar dan dipercayai oleh

seluruh masyarakat di Kudus.

Ibadah, Tawakal, dan Rasionalitas dalam Bisnis di Kudus

Pada masyarakat Kudus sebagai masyarakat pesisiran kota

dengan memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Masyarakat

pesisiran ini telah lama dikenal sebagai kaum pedagang yang

menghabiskan waktu sehari-hari untuk bekerja giat dalam bidang

perdagangan disamping bidang lain, seperti pertanian maupun industri.

Namun justru menjadi sangat penting mengapa masyarakat Kudus

dapat tumbuh dan berkembang usaha dagangnya. Sebutan “santri

saudagar” bagi masyarakat Kudus merupakan spirit positif bagi

masyarakat (Islam) Kudus dalam mengembangkan etos kerja (dagang)

yang tinggi dan dijiwai semangat religiusitas yang kuat. Kerja bagi

manusia merupakan fitrah sekaligus identitas kemanusiaan itu sendiri.

Kerja pada hakekatnya rasionalitas manusia. Dengan demikian kerja

didasarkan pada prinsip-prinsip Ketuhanan (ibadah) sekaligus

meningkatkan martabat dirinya sebagai mahkluk Tuhan yang mampu

mengelola alam semesta sebagai perwujudan rasa bersyukur kepada

Tuhan sebagai pemilik alam semesta ini.

Sikap religius yang dianut masyarakat Kudus mengajarkan agar

manusia hidup “pasrah” dan “rela” menerima apa pun pemberian

Tuhan, namun bukan tindakan fatalis (menyerah kepada nasib) karena

segala sesuatu yang ada di muka bumi ini berada dalam tangan

kekuasaan-Nya. Oleh karena itu tidaklah benar dalam mencari rejeki

atau bekerja, orang justru melupakan dan mengabaikan yang memiliki

rejeki, maka persoalan rejeki selalu dihubungan dengan perilaku

Page 4: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

170

“tawakal” seseorang, karena tindakan “tawakal” pada dasarnya

merupakan hubungan transendensi kepada Tuhan. Semakin bekerja

keras dan dekat dengan pemilik rejeki, maka semakin banyak rejeki

yang akan diterima seseorang.

Hal itu seperti yang diungkapkan informan Ibu Hj.Sri

Murni‟ah10 bahwa kerja itu ibadah dan rasional, katanya:

“nyambut damel meniko ibadah, kagem bantu semah, nambah kebetahan keluarga, keperluan lare-lare, lan menawi rejeki pikantuk katah, injih saget kagem Umroh, amargi kawulo sampun bidhal haji lan wadhean meniko injih kedah pitungan kagem nentukaken regi bordir, bathi kawulo pinten, ngih menawi ingkang tumbas lan pesen bordir sampun lengganan lami, reginipun mandap sekedik injih boten menopa-nopo, kagem jalin sirahturahmi” Artinya: bekerja itu ibadah, buat membantu suami, nambah kebutuhan keluarga, keperluan anak-anak dan kalau rejeki banyak bisa untuk Umroh, karena saya sudah berangkat haji, dan jualan itu ya harus perhitungan buat menentukan harga bordir, keuntungan saya berapa.... ya kalau yang membeli pelanggan lama, harga turun sedikit ya tidak apa-apa untuk menjaga sirahturahmi).

Hal ini seperti ungkapkan ajaran manusia hidup “pasrah dan

rela” menerima apapun pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa,

tetapi bukan fatalis, karena telah berusaha secara keras. Lebih lanjut

informan kunci Ibu Hj. Sri Murni‟ah mengungkapkan:

“....menawi kawulo tiyang gesang meniko kedhah pasrah dan rela menerima menopo kemawon ingkang dipun paringi Gusti Allah, ingkang baku sampun makaryo boten kendat-kendat, kadang-kadang injih sepi pesanan, ingih tetap damel jilbab, kebayak ingkang dipun bordir, dipun wadhe dateng peken lan menawi ramai pesanan ya kedhah raos bersyukur dateng Gusti Allah,sampun dipun paringi rejeki ” Artinya: ....kalau saya orang hidup itu harus pasrah dan rela menerima apa saja yang diberi oleh Gusti Allah,yang penting bekerja terus-menerus, kadang-kadang pas sepi pesanan, ya tetap buat jilbab, kebayak yang dibordir untuk dijual di pasar, dan

Page 5: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

171

kalau ramai pesanan ya, harus bersyukur dengan Gusti Allah, kalau telah diberi rejeki.

Supaya sukses berusaha orang harus kerja keras, rasional dan

selalu bersyukur kata Ibu Nurul Hikmah11 yang mengungkapkan pada

peneliti sebagai berikut:

“yang penting sebagai manusia harus berusaha keras sesuai dengan pekerjaanya, bagaimana cara agar pelanggan mau membeli hasil produksinya, namun kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, misal menjual taplak meja kecil bordir yang seharusnya harganya Rp.75.000,- dengan untung Rp.10.000,- tetapi pelanggan hanya mau membeli seharga Rp.70.000,- ya hanya untung sebesar Rp.5.000,- setiap lembarnya harus disyukuri dan laku 25 lembar taplak meja dan itu adalah “barokah” yang harus disyukuri”.

Ibu Mirah12 mengungkapkan bahwa ajaran manusia tetap kerja

keras dan hidup ”pasrah dan rela” menerima apapun pemberian dari

Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai berikut:

“injih leres menawi rejeki meniko saking Gusti Ingkang Moho Agung, kadang-kadang pesanan inggih katah ngantos kuwalahan, namun injih sok wonten sepi nipun, kita kedah nyuwun teras dateng Gusti Allah supados dipun paringi rejeki ingkah barokah lan tetep makaryo boten kendat-kendat”

Artinya: ya benar kalau rejeki itu dari Tuhan Yang Maha Agung, kadang-kadang pesanan banyak sampai tidak mampu, namun ya suatu saat sepinya, kita harus minta terus kepada Gusti Allah supaya diberi rejeki yang barokhah dan tetap bekerja terus-menerus.

Sedangkan Bapak Haji Hasan13menyampaikan kepada peneliti

sebagai berikut:

“manusia itu harus berusaha sekeras mungkin misal kalau dapat pesanan banyak ya mengerjakan sampai nglembur-nglembur sampai pagi dan rejeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, ya kita harus pasrah, kalau dapat rejeki sedikit ya disyukuri yang penting masih bisa untuk membeli haban baku dan kebutuhan makan keluarga”.

Page 6: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

172

Demikian pula ungkapan informan kunci yang lain, yang

intinya hampir sama yaitu Bapak H.Moch Anshori14 yang diwancarai

peneliti mengungkapkan sebagai berikut:

“orang itu harus tetap „ikhtiar‟ dan bekerja keras sesuai usaha

yang ditekuni, disamping selalu berdo‟a setiap menjalankan

sholat 5 waktu sebagai tuntunan hidup supaya dalam berusaha

atau berdagang dapat berjalan lancar dan kalau mendapat

keuntungan yang berlebih bisa digunakan sedekah bagi orang

yang membutuhkan atau memberikan zakat”.

Fenomena yang telah diungkapkan para informan, antara

doktrin-doktrin keagamaan dengan situasi struktural masyarakat

memiliki hubungan yang dekat sekali. Suasana keyakinan tertentu dari

ajaran agama yang dianutnya telah memberikan sumbangan yang besar

terhadap perilaku dan corak kelembagaan. Demikian pula situasi sosial

ekonomi akan menunjukkan pengaruhnya kepada cara memahami dan

mengerti ajaran agama yang diyakininya. Oleh karena itu kemungkinan

perbedaan manifestasi dalam kehidupan dan pelaku kegiatan ekonomi

kemungkinan dapat terjadi dan ditemukan dalam kehidupan masyarakat

Kudus.

Dalam ajaran Calvinisme dapat mengubah takdir atau

predistinasi yang menyatakan pada dasarnya manusia ditakdirkan

masuk surga atau neraka, dan bila manusia tidak dapat memenuhi

kebutuhan duniawinya maka ia akan masuk neraka tetapi bila manusia

dapat memenuhi kebutuhannya dan sejahtera dapat dipastikan masuk

surga. Manusia tidak mampu nuntuk memberontak atau menolaknya.

Oleh karena itu, Islam menolak gagasan predistinasi sebagai

dipersepsikan Calvinisme. Persoalan mengenai siapa yang termasuk

golongan terpilih dan siapa termasuk golongan terkutuk tidak dikenal

dalam Islam, karena itu semua rahasia Tuhan.

“Panggilan” (calling) bukanlah suatu kondisi sejak manusia

dilahirkan tetapi merupakan suatu usaha manusia yang sangat sulit dan

berat yang telah dipilih oleh manusia sendiri, dan yang telah dicari

lewat rasa tanggung jawab keagamaannya. Dengan kata lain,

pengejaran keuntungan di bidang ekonomi (material) berkaitan erat

Page 7: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

173

dengan adanya “panggilan” (calling) terhadap tugas duniawi. Arti

penting dari gagasan panggilan menurut kepercayaan Protestan adalah

bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-urusan biasa dari

kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Maka bekerja

bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi tetapi suatu tujuan

akhir spritual. Menurut Weber, agama merupakan penjelasan rasional

dan sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis, artinya

kepercayaan berarti membangun pemikiran-pemikiran rasional dalam

perilaku hidup melalui disiplin diri, kalkulasi rasional, individualisme,

dan dipraktikkan secara sistematis.

Bekerja dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban

kepada Tuhan, dengan cara berperilaku yang bermoral dalam

kehidupan sehari-harinya dengan bekerja keras, mencari uang,

menabung dari pendapatan yang diperolehnya serta menginvestasikan

lagi atau mengakumulasi semua keuntungan yang diperoleh agar

mendapat keuntungan lebih besar lagi. Sehingga dapat mengubah

“takdir” atau “predistinasi” dengan indikasi bahwa mereka termasuk

orang yang terpilih yang selamat masuk ke surga, karena mereka sukses

di dunia bisnis dan mampu mengumpulkan harta kekayaan demi

kemuliaan Tuhan diyakini sebagai ”tanda” atau “konfirmasi” bahwa

mereka adalah orang-orang terpilih. Weber (1978) menyebutnya

“suatu tanda keberkahan Tuhan” dan “tanda keselamatan”. Islam tidak

mengajarkan sebagai tanda keselamatan dengan mengumpulkan harta

kekayaan dari keuntungan bisnis tetapi mempertimbangkan

konsekuensi sosial dengan memberikan sedekah, zakat sebagai sarana

mencapai kebahagiaan spiritual. Deliar Noer (1982) mengatakan

bahwa, kekayaan pribadi dalam Islam merupakan amanat suci yang

harus dinikmati.

Deskripsi tentang Fenomena Bisnis yang Berbasis Filosofi

Gus-ji-gang

Menurut Said (2013), kalau melihat identitas Islam masyarakat

Kudus Kulon yang lebih sufistik pada satu sisi, dan bourjuis pada sisi

Page 8: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

174

lain merupakan bagian dari kunstruksi identitas antara ruang spasial

yang diciptakan Sunan Kudus yang dikenal sebagai “waliyyul ilmy dan

wali saudagar”15 dengan reproduksi sistem sosial yang dibangun oleh

Muslim Kudus Kulon. Gejala tersebut sebagai bagian kesadaran sense of place, sebuah kesadaran akan kuatnya memiliki perasaan keterikatan

yang kuat terhadap lingkungannya sehingga sense on community juga

semakin tinggi.

Hubungan antara masyarakat Masjid Menara Kudus atau wong ngisor menoro sebagai sense of place dan sebagai komunitas Kudus

sense on community akhirnya memunculkan paradigma positif sebagai

identitas karakter dan kepribadian unggul yang dimiliki masyarakat

Kudus dengan sebutan “Ji-gang” atau Gus-ji-gang. Pemaknaan pada

awalnya menurut Hasyim16 merupakan karakter masyarakat Kudus

atau sering disebut wong Kudus, adalah sosok Gus-ji-gang, orang yang

memenuhi kreteria bagus, kaji, dagang. Tiga hal itu menjadi semacam

karakteristik yang melekat pada diri wong Kudus khususnya ngisor menara, yang kemudian berkembang, dipahami, diikuti sampai seluruh

masyarakat Kudus,

Abdul Jalil17 Sekretaris Yayasan Masjid dan Makam Sunan

Kudus dan juga Staf Pengajar STAIN Kudus menjelaskan pada peneliti

mengenai makna ”Gus” dari Gus-ji-gang sebagai berikut:

“asal mula pemaknaan Gus-ji-gang pada awalnya dari terminologi Wong Ngisor Menara Kudus tentang „Gus‟ adalah bagus lebih pada fisik dengan penampilan “maliter” itu identik dengan pakaian yang bagus, rumah bagus. Penampilan eksternal yang bagus ini menjadi identik dengan banyaknya rejeki atau “bathi” yang dimiliki sehingga simbol mensyukuri menikmati kekayaannya akan ditampilkan dalam bentuk fisik yang bagus yaitu penampilan”maliter”18

Sedangkan, pemaknaan ”Gang” artinya berdagang merupakan

identifikasi usaha ekonomi dari masyarakat Kudus yang bermata

pencaharian di sektor swasta, baik di industri pengolahan, perdagangan

dan sektor jasa lainnya. Sisanya sebagai pegawai negeri. Namun rata-

rata sekarang ini pegawai negeri di Kudus juga melakukan kegiatan

Page 9: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

175

tambahan sebagai “pedagang”, sebagaimana lazimnya masyarakat

Kudus. Dominasi bekerja di sektor perdagangan dalam memilih

pekerjaan tersebut telah menumbuhkan cara hidup rasional dan

ekonomis dalam masyarakat Kudus. Jadi pemaknaan Gus-ji-gang

seperti yang diungkapkan Abdul Jalil adalah profil masyarakat Kudus

memiliki fisik bersih atau bagus ”maliter”, telah naik haji dan pintar

berdagang”.

Namun akibat perkembangam jaman pemaknaan Gus-ji-gang

mulai bergeser berdasarkan berbagai tafsir. Menurut Said (2013),

adalah orang Kudus yang memenuhi Gus-ji-gang yaitu Bagus/mulia

akhlaknya, pintar mengaji, dan pintar berdagang. Gus-ji-gang sebagai

pengalaman spiritual keagamaan (Islam) merupakan objektivitas atau

konkretisasi cara bersikap etis pada tata krama Jawa bermakna spiritual

internal menjadikan seseorang merasa dalam suatu tatanan keyakinan

sebagai dasar cara bersikap etis baik dalam hidup beragama (Islam)

maupun sosial-budaya melalui cara bersikap etis (tata krama Jawa)

yang bermakna spiritual internal bersifat komunal (memasyarakat) dan

individual (mempribadi). Hal itu menunjukan pengejawantahan

akulturasi antara budaya Arab (agama Islam) dengan budaya Jawa

(budaya lokal) yang dilakukan oleh Sunan Kudus dalam melaksanakan

dakwah ajaran agama Islam. Penilaian terhadap perilaku Gus-ji-gang

tentu berasal dari dua sisi, yaitu di satu sisi merupakan pandangan

internal masyarakat Kudus guna identifikasi diri. Sedangkan di sisi lain,

penilaian eksternal merupakan hasil pengamatan, pandangan orang

luar yang membedakan perilaku masyarakat Kudus dengan masyarakat

di luar Kudus.

“Gus” dan “Ji” sebagai proses internalisasi dalam membangun

spiritualitas. Spiritualitas merupakan kesadaran manusia akan adanya

relasi manusia dengan Tuhan, atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai

sosok transenden. Spiritualitas terdiri dari inner life individu,

idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan harapannya kepada Tuhan

Yang Maha Mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan

hubungan tersebut dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan

kegiatan ekonomi yaitu berdagang.

Page 10: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

176

Ketiga karakter ideal Gus-ji-gang tersebut dapat dijelaskan

sebagai berikut:

Nilai-nilai Gus “Bagus Perilaku” dalam Bisnis

Pada awalnya ”Gus” bermakna sebagai wong Kudus ngisor menara harus memiliki penampilan fisik bagus dan memiliki perilaku

yang bagus, sehingga “gus” memiliki makna menjadi bagus rupa dan

bagus laku. Namun seiring perkembangan jaman, penafsiran”Gus”

lebih menekankan pada bagus perilaku yaitu sifat moral yang harus

dimiliki setiap kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Begitu

seseorang buruk perilakunya, tentu akan berakibat masalah yang

panjang, paling tidak akan mengurangi kepercayaan kepada orang lain

terhadap dirinya, dan pada gilirannya akan merugikan usaha

dagangnya. Jadi, menjaga “kebagusan” perilaku dan penampilan fisik

seolah melekat pada diri masyarakat Kudus.

Meskipun kata “Gus” dalam tradisi Jawa biasanya diberikan

sebagai panggilan untuk anak laki-laki, namun ”Gus” dalam

perkembangannya telah terjadi pergeseran pemaknaan “Gus” yaitu

sebagai bagus laku yang mencerminkan sifat moral dan ahklak mulia

yang harus dimiliki seorang laki-laki maupun perempuan. Bagus atau

tampan dalam hal ini bukanlah ukuran standar fisik tetapi lebih pada

bagus atau tampan secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral

sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, yaitu “bersikap baik atau

hormat terhadap apa dan siapa saja” merupakan behavior sebagai gejala

psikis. Proses lahirnya perilaku tersebut tidak lahir secara serta merta,

melainkan setelah melalui proses psikis dan pengkristalisasi yang

kemudian menjadi dasar perilaku masyarakat Kudus.

Kehidupan masyarakat di Kudus, seperti pada masyarakat lain

di Indonesia, yaitu mengharapkan agar hidupnya dapat menciptakan

kehidupan yang aman, dalam kesejahtaraan, adil dan makmur, lahir

maupun batin. Ada suatu keyakinan bahwa hidup tersebut di atas dapat

dicapai jika orang dalam setiap tingkah laku perbuatan, tata tertib dan

kebiasaan hidup sehari-hari berpedoman dan bersumber pada kaidah

masyarakat. Geertz (1981) dan Suseno (1984) menyimpulkan bahwa,

Page 11: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

177

orang Jawa memiliki 2 (dua) kaidah sebagai dasar prinsip hidupnya

yaitu: Pertama, bahwa setiap situasi, hendaknya setiap anggota

masyarakat bersikap dan berbuat sedemikian rupa sehingga ia tidak

menimbulkan pertentangan atau terjadi konflik. Sikap dan perbuatan

seperti itu disebut sebagai kerukunan. Kedua, bahwa setiap situasi,

dimanapun orang berada, hendaknya setiap anggota masyarakat dalam

cara berbicara dan membawakan diri selalu menunjukkan sikap

hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya

(status). Sikap tersebut selanjutnya disebut prinsip hormat.

Bersikap hormat akan memainkan peran yang sangat penting

dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa (termasuk

masyarakat Kudus) yaitu prinsip hormat. Prinsip hormat mengatakan

bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawakan diri selalu

harus menujukkan sikap hormat terhadap apa dan siapa saja, sesuai

dengan derajat dan kedudukannya. Bersikap baik atau hormat terhadap

apa dan siapa saja menurut Suseno (2005), memiliki dua pengertian

yaitu: Pertama, bersikap baik berlaku bagi segenap mahkluk yang ada,

dan bersikap hormat hanya berlaku bagi manusia sebagai person,

termasuk sikap hormat terhadap diri sendiri. Kedua, inti motivasi dan

maksud bersikap baik atau hormat terhadap apa saja adalah merasa

wajib bertanggung jawab untuk memelihara dan atau menerima,

mendukung serta membiarkannya. Sikap itu mengimplikasi bahwa

bukan berarti makhluk alam (dunia) selain manusia tidak boleh

diubah, melainkan berlakunya bersifat prima fice19.

Bersikap baik atau hormat dan peduli ini berdasarkan pada

pendapat bahwa, semua hubungan dalam masyarakat Jawa (termasuk

Kudus) teratur secara hierarkis20. Setiap orang harus pandai-pandai

menempatkan dan membawakan diri sesuai dengan tata krama sosial.

Orang Jawa harus menghormati mereka yang lebih tinggi dan

sebaliknya tidak meremehkan mereka yang lebih rendah. Sikap hormat

tersebut tertanam sejak kecil dalam keluarga dengan perasaan wedi, isin dan sungkan21. Wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu

kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial

untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan

Page 12: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

178

prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong untuk

selalu menganbil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang

hormat menimbulkan rasa tak enak. Pembatinan perasaan-perasaan itu

adalah tanda kepribadian yang matang.

Hal itu, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh informan-

informan berikut ini, dimana pendapat informan yang satu dengan

pendapat informan yang lain semakin memperjelas dan memberikan

gambaran yang tegas, seperti penuturan-penuturan berikut ini.

Ibu Hj Sri Murni‟ah22 mengungkapkan dalam wawancara

dengan peneliti mengenai perilaku hormat, tetap menjaga

keharmonisan yang hangat kepada sesama sebagai berikut:

”……..dagang niku, nggih kedah berhubungan kalian tiyang, sing wajib niku nggih menghormati kaliyan menghargai tiyang sanes,lan tetap jaga keharmonisan kaliyan tetanggi, utawi darek kempalan pengajian, menopo malih kaliyan konsumen ingkang badhe tumbas ya kedah ngormati”.

Artinya: …..dagang itu, ya harus berhubungan dengan orang, yang wajib itu ya menghormati dan menghargai orang lain serta tetap menjaga keharmonisan dengan tetangga atau ikut kumpulan pengajian, apalagi dengan konsumen yang akan membeli harus menghormati).

Begitu juga Bapak H.Hasan23 menyampaikan dalam wawancara

dengan peneliti sebagai berikut:

“dalam berusaha dagang itu pasti berhubungan dengan siapa saja, hidup ini harus bermanfaat, tetapi yang penting kita sama orang lain harus menghormati, baik pada setiap orang apalagi sebagai pengusaha bordir, berhubungan baik itu tidak hanya kepada pelanggang/konsumen saja, tetapi dengan toko menyedia bahan baku atau dengan sesama pengusaha bordir”.

Kemudian H.Moch Anshori24 mengemukakan pendapatnya

mengenai perilaku bagus kepada sesama kepada peneliti sebagai

berikut:

Page 13: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

179

“berhubungan dengan siapa saja itu harus saling menghormati dan selalu menjaga sillahturahmi baik itu di pasar, kumpulan RT/RW, hajatan atau kumpulan pengajian, ini merupakan ibadah, yang nantinya akan mendapat barokhah, seperti pesanan bordir meningkat, karena dari „gatuk tular‟ dan hubungan silahturahmi yang baik”.

Dari ketiga jawaban informan itu hampir sama bahwa pada

dasarnya perbuatan rukun dan hormat kepada siapa saja itu merupakan

ibadah untuk membangun silahturahmi dan “getuk tular”. Hal itu bisa

terjadi karena menanamkan hormat dan kepercayaan kepada

konsumen, sehingga konsumen tersebut akan menceritakan kepada

teman-temannya atas rasa hormat, kejujuran pengusaha. Dengan rukun

dan hormat, orang dapat menciptakan keadaan masyarakat yang selaras

dan terhindar dari perselisihan. Hal tersebut dapat terlihat dalam kerja

sama dengan keluarga, karyawan, tetangga, pemasok bahan baku,

konsumen maupun masyarakat luas. Walaupun tidak berarti, bahwa

setiap orang harus meninggalkan pendiriannya. Orang tetap saja

berhak mempertahankan pendiriannya dengan cara yang

memperlihatkan kerukunan, misalnya, terjadi perbedaan pendapat

yang saling bertentangan, maka diusahakan adanya jalan tengah yang

tidak merugikan kedua belah pihak.

Setiap orang dalam cara berbicara dan berkelakukan harus

dapat menunjukkan sikap terhadap orang lain sesuai dengan

kedudukan dan derajatnya. Orang wajib mempertahankan dan

membawakan dirinya sesuai dengan tingkatnya dalam masyarakat

(Seseno, 1984). Sikap hormat yang demikian telah ditanamkan sejak

kecil melalui pendidikan dalam keluarga, yang menurut H.Geertz

(1983), pendidikan itu melalui rasa wedi, isin dan sungkan. Anak

dididik untuk takut dan menghormati orang lain dan untuk malu akan

apa yang tidak pantas bagi orang lain. Perasaan malu dapat muncul

dalam setiap situasi sosial (Suseno, 1983).

Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan

masyarakat dalam keadaan yang harmonis dan hangat. Keadaan

semacam itu disebut “rukun”25. Rukun adalah keadaan ideal yang

Page 14: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

180

diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam

keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan

tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat

kerukunan26. Rukun berarti tidak menganggu keadaan selaras yang

sudah ada dan menjaga keselarasan, mencegah konflik. Orang rukun,

sehingga dapat hidup damai. Ada perbedaan pendapat, tetapi tidak

sampai menimbulkan konflik. Untuk dapat rukun damai, orang harus

dapat mengendalikan diri dan membawakan diri secara dewasa. Dalam

konteks itu rukun menjadi penting bagi keberhasilan gotong-royong

dan menjadi dasar dari kebiasaan bermusyawarah. Rukun tampak dan

menjadi konkrit dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa aman,

saling memperhatikan dan membutuhkan.

Menurut Willner (1970), rukun mengandung usaha terus-

menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan

untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan

perselisihan dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah

prañata masyarakat yang menyeluruh, sehingga apa yang dapat

mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat

harus dicegah. Di sinilah Suseno (1984) dan H. Geertz (1983)

menekankan bahwa, rukun adalah usaha mencegah segala tingkah

laku yang dapat menimbulkan konflik terbuka. Dengan rukun orang

menciptakan keadaan masyarakat yang tenang selaras dan terhindar

perselisihan. Orang saling membantu sejauh kemampuannya, baik

dalam kepentingan perorangan maupun kepentingan umum.

Jadi masyarakat tidak menuntut bahwa tidak boleh ada

kepentingan yang bertentangan atau ketidakcocokan antara dua

pribadi. Melainkan yang dituntut kalau perlu melalui tekanan dan

sanksi, dan yang dipikirkan oleh individu sebagai tuntutan kerukunan

adalah tuntutan untuk selalu menguasai tingkah lakunya dan jangan

membiarkan suatu tabrakan terbuka sampai terjadi. Betapa pun

kepentingan dua pihak bertentangan, apa pun dirasakan yang oleh

seseorang atau yang menjadi perhatiannya, masyarakat Jawa menuntut

agar ia selalu dapat mengontrol diri, dapat membawa diri dengan

sopan, tenang dan rukun, pokoknya dapat membawa diri sebagai orang

Page 15: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

181

yang dewasa. Suatu konfrontasi terbuka dalam bentuk emosional

adalah pandangan yang tidak estetis, membahayakan kehidupan

bersama dalam masyarakat dan oleh karena itu harus dicegah. Suasana

ketentraman sosial tetap harus dipelihara.

Sifat rukun dan hormat terhadap apa dan siapa saja berlaku agar

kehidupan masyarakat dapat mencapai keselarasan. Dalam masyarakat

Jawa (Kudus) orang harus sabar, kerja sama, patuh dan rela berkorban.

Manusia dan lingkungan alam merupakan suatu keutuhan yang

mengandung unsur-unsur dan relasi yang teratur. Terpeliharanya relasi

antara manusia dan lingkungan alam akan menciptakan keadaan yang

selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja. Menurut H. Geerts (1984), semua unsur yang

ada dalam keadaan keselarasan dan memusat pada konsep rukun dan

hormat dipakai sebagai dasar perilaku hidupnya.

Dalam hal ini yang paling menonjol adalah, kemampuan

seseorang menguasai emosi karena ketaatan spiritual agama yang

dianutnya sehingga dapat terkendali, sekalipun orang dapat juga

berpura-pura yang dapat merugikan diri sendiri, namun kerugian

tersebut tidak pernah dipikirkan dan diperlihatkan kepada orang lain.

Sehingga bila terjadi konflik tidak terlibat, seperti ketika salah satu dari

karabat mempunyai hajat seperti pernikahan, sunatan, mitoni,

melahirkan, terkena musibah sakit, kecelakaan dan meninggal dunia

pasti memunculkan simpati. Pada saat demikian, di antara mereka

seperti tidak ada persoalan apa-apa dan saling memberikan bantuan

kepada yang sedang membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa

panggilan untuk memberikan bantuan kepada kerabatnya yang sedang

mempunyai “hajatan” atau terkena musibah mampu menghilangkan

jarak akibat suatu konflik.

Dalam masyarakat Kudus yang taat kepada spiritual keagamaan

yang dianutnya, memandang agama sebagai sebuah sistem keyakinan,

berisikan ajaran agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha,dan

Hindu) dan petunjuk bagi penganutnya supaya selamat (dari api

neraka) dalam kehidupan setelah mati (Suparlan,1984). Agama selalu

Page 16: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

182

menjadi pedoman hidup bagi pemeluknya, yang berfungsi sebagai

pendorong, sekaligus penahan, tingkah laku menuju keselamatan.

“Gus” dalam Gus-ji-gang yang berarti berahlak baik merupakan

obyektivitas (kristalisasi) dari pengalaman keagamaan dan kepercayaan

masyarakat Kudus sebagai dasar sikap etisnya baik dalam hidup

beragama maupun bersosial-budaya di masyarakatnya. Dimana agama

(Islam) mengajarkan agar manusia hidup ”pasrah” dan “rela” menerima

apapun pemberian Tuhan. Rela terhadap pemberian Tuhan ditempuh

melalui hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada.

Pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah itu dilakukan

dengan ucapan tahmid dan syukur (Aboebakar Atjeh, 1988).

Berdasarkan nilai-nilai hormat dan rukun masyarakat Kudus

memiliki prinsip hidup yang dipegang erat, sadar atau tidak,

masyarakat Kudus senantiasa berpegang pada etika27 hidup sak titahe

yaitu sikap hidup pasrah dan rela menerima apapun pemberian Tuhan.

Etika sak titahe ini menjadi pegangan dan sekaligus panduan nilai sikap

perilaku bagi masyarakat Kudus dalam mengarungi hidupnya, terutama

dalam menjalankan usahanya. Sak titahe dan bukan “fatalis”

(menyerah pada nasib), kalau dikaji secara mendalam lebih mendekati

pada konsep tawakal28 dalam Islam. Sebaliknya orang mbluboh bila

seseorang telah mengaku-ngaku bersikap pasrah namun sesungguhnya

belum pernah melakukan kerja keras atau ikhtiar. Orang Kudus yang

telah bekerja keras, perilaku ulet, rajin dan hemat. Perilaku-perilaku

tersebut merupakan modal dasar dalam berusaha atau

entrepreneurship. Sehingga bukan mustahil apabila pengusaha-

pengusaha Kudus berhasil dalam usahanya.29

Namun, dalam kehidupan pengusaha Kudus melakukan sikap

perilaku sak titahe, akan mendapatkan bathi (untung) yang

berkecukupan. Sebagai rasa syukur atas hasil usahanya yang

membuahkan keuntungan, akan ditampilkan dalam bentuk

penampilan fisik (rumah, pakaian) yang bagus dan mati ora gowo bondo artinya orang meninggal tidak membawa kekayaan. Ini

membuktikan bahwa masyarakat Kudus memiliki spiritual30 atau

kesadaran akan adanya relasi manusia dengan Tuhan, atau sesuatu yang

Page 17: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

183

dipersepsikan sebagai sosok transenden. Tampak bahwa spiritualitas

masyarakat Kudus merupakan cara pandang mereka terhadap dirinya

tentang kesadaran bertransendensi. Kesadaran ini merupakan proses

formulasi yang dilakukan secara terus-menerus dan mengkristal

menjadi pemahaman bahwa foundation of reality adalah spirit.

Pemahaman tersebut dipertegas sebagai pemahaman keberadaan

maupun pengalaman mengenai adanya kenyataan transenden, yang

oleh Schreurs (2006) dijelaskan sebagai hubungan personal seseorang

terhadap sosok transenden.

Hal ini seperti yang diungkapkan informan kunci Ibu Hj.Sri

Murni‟ah maupun H.Moch Anshori kepada peneliti sebagai berikut:

Ibu Hj.Sri Murni‟ah31 mengungkapkan:

“Injih kawolo ingkang dipun paringi rejeki radi katah kaliah Gusti Allah ketimbang adik-adik kawulo,sakmangkene kulo kedah mikirake adik-adik kawolu supados kiyambake sak keluargane saget gesang sae, ngeh kulo damelaken usaha bordir atawi konveksi, injih pokokipun kulo bantu, sedoyo kesugihan meniko kan mboten dipun betho pejah namun ibadah ingkang kawulo betho” Artinya: ya saya yang diberi rejeki lebih banyak dari Gusti Allah daripada adik-adik saya, seharusnya saya wajib memikirkan adik-adik saya supaya adik saya dan keluarga hidup lebih baik, ya saya buatkan usaha bordir atau konfeksi, ya pokoknya saya bantu, semua kekayaan itu kan tidak dibawa mati tetapi yang dibawa mati hanya ibadah saya.

Begitu juga Bapak H.Moch Anshori32 yang pernah belajar di

salah satu pesantren dan pendiri KSU Padurenan Jaya menyampaikan

bahwa:

“pengusaha itu harus kerja keras, ulet,rajin, dan hemat, hemat ini bukan „pelit‟ tetapi penuh perhitungan setiap pengeluaran dan penerimaan, namun kalau pengeluaran untuk ibadah seperti zakat, shodakoh tetap saya lakukan, karena semua rejeki yang saya terima berasal dari „sangkan paran‟ (berasal dari Allah yang diberikan dari arah manapun), namun saya tetap menjaga agar rejeki yang

Page 18: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

184

didapat memperoleh ridhaning gusti Allah (keiklasan dari Tuhan). Dan ini sangat barokhah”

Demikian pula informan yang lain Bapak H.Hasan,33 pengusaha

bordir berusia 31 tahun lulusan SMA yang memulai usaha bordir tahun

2006 mengungkapkan kepada peneliti tentang perilaku kesadaran

keagamaannya selalu berbuat baik kepada sesama, sebagai berikut:

“Saya mengawali usaha bordir sebagai buruh bordir, aktif dalam kegiatan di Masjid, sholat 5 (lima) waktu tidak pernah saya tinggalkan dan menjalankan puasa Senin-Kamis. Sebagai pengusaha bordir saya mengutamakan kejujuran, jejaring dan harus ramah, supel kepada semua orang. Pernah saya dizalimi orang seperti piutang tidak dibayar setelah pesan bordir, semuanya saya kembalikan kepada Allah pasti akan mendapat ganti rejeki yang lain, buktinya sampai sekarang usaha bordir saya masih berjalan dan masih bisa menghidupi keluarga”.

Nilai-nilai Ji “Pintar Mengaji” sebagai Kekuatan Bisnis

Seperti diketahui “Ji‟ pada awalnya memiliki makna kaji,

ukuran kesolehan beragama bagi masyarakat Kudus adalah “kaji” atau

“berhaji” yaitu menunaikan rukun iman yang terakhir, setelah tahap

sebelumnya telah melaksanakan syahadat, sholat, puasa dan zakat.

Orang Islam yang telah menunaikan haji ke Mekah dengan biaya yang

tidak sedikit merupakan simbol status sosial yang tinggi. Menjadi “kaji”

atau ”haji” berarti orang itu sudah menjadi penganut agama Islam yang

sempurna dan menjadi idaman bagi setiap masyarakat Kudus. Ini yang

menjadi penyebab mengapa jumlah jema‟ah haji Kudus setiap tahunnya

ada kecenderungan mengalami peningkatan. Seperti yang diungkapkan

Ibu Hj Sri Murni‟ah34 kepada peneliti berikut ini:

“kawulo lan semah sampun ngidul “ ke Mekah” kangge sangu sakmangkene menawi dipun timbali Gusti Allah sampun siap,lan supados gesang kawulo dipun paringi barokah” Artinya: saya dan suami sudah pergi ke arah barat “ke Mekah” buat tabungan kalau dipanggil Gusti Allah sudah siap dan supaya hidup saya diberi barokah).

Kemudian Bapak H.Moch Anshori35 menambahkan bahwa:

Page 19: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

185

“Naik haji itu kewajiban setiap muslim yang telah melaksanakan syahadat, shalat, puasa dan zakat, dan saya sangat bersyukur telah melaksanakan pada 5 tahun yang lalu dan ingin berangkat haji lagi bersama anak-anak, sebab kalau sudah berhaji itu seseorang akan lebih baik perilakunya tambah bersyukur, sabar, jujur, hati-hati dalam bertutur kata, dan dampaknya dalam berbisnis semakin dipercaya”.

Namun dalam perkembangan jaman makna dari “Ji” mulai

bergeser tidak berati “kaji” naik haji pergi haji merupakan bentuk

pengamalan rukun Islam tetapi memiliki arti rajin mengaji atau lebih

populer dengan sebutan santri36. Karakter santri bagi struktur hierarki

sosial masyarakat Kudus Kulon sebagai dasar bagi pembangunan rumah

tangga yang berorientasi ketaatan pada syari‟at Islam. Namun seiring

perkembangan zaman perilaku Ji “Ngaji” berarti belajar37. Ngangsu kawruh (bahasa Jawa) atau learning bukan berarti membaca,

mempelajari dan menelaah kitab suci Al Quran saja, tapi merupakan

amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di akhirat dan ngaji

menyiratkan keutamaan seorang muslim dalam mempelajri ilmu

pengetahuan. Istilah ngaji dalam legenda ketokohan Sunan Kudus atau

Raden Dja‟far Shadiq merupakan suatu hal yang istimewa. Sunan

Kudus di kalangan Walisanga dikenal sebagai wali yang sangat pintar.

Gelar ini menunjukkan geliat keilmuan yang telah lama terpancangkan

di Kudus. Para kyai/ulama tidak sekedar sebagai sumber keilmuan

Islam tetapi sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang ada

terkait masalah individu, keluarga maupun sosial kemasyarakatan,

sehingga terbangun hubungan patron-clieant dan kondisi ini diperkuat

dengan karakter masyarakat Kudus yang paternalistik.

Dalam pencarian ilmu, masyarakat Kudus Kulon atau

masyarakat ngisor menara yang kemudian berkembang ke seluruh

masyarakat Kudus melakukan kegiatan ngaji untuk nenambah ilmu,

sehingga dengan bersikap terbuka akan memperluas peluang

memperoleh ilmu tersebut. Karena itu, mereka belajar kepada siapa

saja jika diniatkan untuk mencari ilmu (tawajuhan). Bentuk kegiatan

individual masyarakat Kudus pada umumnya adalah mengikuti

pengajian dan mendatangi guru-mursyid atau wakilnya yang dilakukan

Page 20: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

186

setiap hari Jumat38 atau malam hari (setelah sholat Isya) setelah

kegiatan mencari nafkah (bekerja) dilakukan siang hari, dengan tujuan

untuk menambah pengetahuan dan memperoleh berkah, selain itu

mereka umumnya juga melakukan berbagai amalan tertentu di rumah

mereka masing-masing seperti yang disarankan oleh guru-mursyidnya.

Mengamati kegiatan keagamaan di daerah penelitian, setiap ada

kegiatan pengajian yang diisi oleh seorang kyai atau ustad di masjid-

masjid atau di mana saja pengajian diadakan, masyarakat Desa

Padurenan berbondong-bondong mengikuti pengajian. Bila peserta

pengajian ditanya, mengapa mereka mengikuti pengajian itu, selalu

dijawab dengan ungkapan “kanggo sangu mati”, untuk bekal nanti

kalau meninggal. Bahkan kadang-kadang apa yang disampaikan para

kyai atau ustad mereka tidak penting, yang paling penting dengan

mengikuti pengajian ia akan mendapatkan pahala. Semakin banyak

pahala yang mereka kumpulkan akan semakin besar kemungkinan

kalau meninggal akan hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke

surga.

Bapak H.Noor Kholid,39 pengusaha bordir lulusan SMP,

mengungkapkan keikutsertaannya setiap ada pengajian pada hari

Kamis malam Jumat di Masjid Desa Padurenan, bahkan kadang-kadang

kalau kegiatan usaha bordir bisa ditinggal sebentar akan mengikuti

pengajian di daerah lain, katanya: “supaya dapat barokah dan “kanggo sangu mati” untuk bekal nanti kalau meninggal”.

Demikian pula Ibu Mirah40 menjawab pertanyaan mengapa

sering ikut pengajian, katanya: “kanggo nebus dosa”, untuk nebus dosa

suami yang sedang sakit dan supaya dapat barokah dalam berusaha”.

Lain halnya Bapak H. Moch Anshori41 yang mengikuti pengajian

dengan jawaban: “mengikuti pengajian supaya dapat ilmu keagaman

yang benar, supaya jalan hidupnya benar sehingga usaha yang

dilakukan selalu mendapat barokah”. Demikian pula informan yang

lain mengungkapkan kepada peneliti mengenai kegiatan “ngaji” sebagai

kegiatan rutin yang dilakukan sendiri, biasanya setelah menyelesaikan

sholat Magrib mereka secara rutin “ngaji” Al Qur‟an dan juga selalu

Page 21: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

187

mengikuti pengajian-pengajian di masjid atau pengajian yang diadakan

masyarakat, tetapi ada yang tidak bisa mengikuti acara pengajian

dikarenakan harus menyelesaikan pesanan bordir, seperti Bapak

Rosyadi42 yang menyatakan kepada peneliti sebagai berikut:

“saya tidak pernah meninggalkan membaca Al Qur‟an setelah sholat Magrib, tetapi kalau mengikuti pengajian yang diadakan di Masjid atau yang diadakan masyarakat, saya kadang-kadang hadir, kadang-kadang tidak hadir, kalau pekerjaan bordir cukup banyak dan waktunya sangat sibuk karena pesanan harus selesai segera, saya tidak hadir pengajian dan bila waktu pekerjaan agak longgar pasti saya mengikuti pengajian tersebut”.

Dalam kehidupan pengusaha bordir, proses belajar tidak hanya

bagi para pengusaha dalam mencari ilmu keagamaan melalui kegiatan

pengajian, tetapi proses pembelajaran juga dilakukan para pengusaha

bordir terhadap anak-anaknya maupun para pekerja dalam

memberikan pengarahan proses membuat bordir yang baik, berkualitas

dan benar.

Seperti Ibu H.Sri Murni‟ah43 yang menjelaskan kepada peneliti,

ia bisa membordir dan bisnis bordir belajar dari orang tuanya dan

sekarang anak-anaknya dilatihnya berbisnis bordir, katanya:

“kawolu rumiyen saget jahit damel bordir, injih saking sinau dateng tiyang sepuh kawulo, ugi saget usaha bordir injih sinau saking tiyang sepuh, lha lare-lare kawulo ajari damel bordir lan sakmeniko sampun saget damel bordir engkang sae lan sampun sanget wakili kawulo melayani menawi wonten tiyang ingkang pesan bordir lan wadhe bordir”

Artinya: saya dahulu bisa menjahit membuat bordir, ya belajar dari orang tua, juga bisa usaha bordir ya belajar dari orang tua.Lha sekarang anak-anak saya ajari membuat bordir dan sekarang sudah bisa membuat bordir yang baik dan sudah bisa mewakili saya melayani kalau ada orang pesan bordir dan jual bordir.

Page 22: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

188

Ibu Nurul Hikmah44 pengusaha bordir lulusan SMK jurusan

Tata Busana menjelaskan kepada peneliti dalam memberikan

pembelajaran bordir kepada karyawannya terungkap:

“karyawan saya, rata-rata lulusan SD dan SMP yang terpenting sudah bisa menjahit, dan saya ajarkan membordir dan mengkombinasikan warna benang sampai mereka pintar bordir sendiri, juga saya latih bagaimana cara “membatil”, merapikan bordir dengan menggunting benang yang tidak beraturan atau dengan alat soldir listrik untuk melubangi motif bordir dan itu saya lakukan dengan sabar dan telaten”.

Sedangkan Bapak Achsanudin Ismanto45, Sekretaris Kantor

Kelurahan/Desa Padurenan dan juga pengurus KSU Padurenan Jawa

yang diwancarai peneliti di Kantor KSU Padurenan mengatakan

sebagai berikut:

“Proses pembelajaran para pengusaha dan pekerja bordir di lingkungan Desa Padurenan sering dilakukan kegiatan pelatihan oleh KSU Padurenan Jaya bekerja sama dengan Dinas terkait (Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM ) di Kabupaten Kudus, misalnya pelatihan membuat disain bordir, belajar menjalankan mesin bordir computer, tehnik-teknik dasar bordir dan lanjutan, sampai model pemasaran bordir, kita lakukan setiap tahun 2 kali, sehingga diharapkan kemampuan membordir semakin meningkat dan dapat menjaga keberlanjutan usaha bordir”.

Namun bagi pengusaha IKBK bordir non Muslim, seperti yang

diungkapkan informan Bapak Siswanto46, usia 39 tahun beragama

Katolik, pendidikan SMA serta memilki 2 anak yang masih sekolah di

SMP dan SD, dan mulai berusaha bordir sejak tahun 2000, yang tadinya

hanya sebagai karyawan bordir dan kemudian setelah menikah

mencoba membuka usaha bordir sendiri, saat ditanya peneliti

mengenai Gus-ji-gang ia menjelaskan sebagai berikut:

“Saya mengerti istilah „Gus-ji-gang” dari pertemuan pengusaha bordir dan konveksi dalam rangka pelatihan yang diselengarkan oleh KSU Padurenan Jaya, namun saya dalam kehidupan saya, saya hanya melakukan “gus‟ berperilaku baik sesuai dengan ajaran agama saya, itu untuk semua orang harus berperilaku baik dan “gang” karena mata pencaharian

Page 23: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

189

saya berdagang sebagai pengusaha bordir, sedangkan “ji‟ saya tidak ikut pengajian maupun naik haji karena saya Katholik tetapi mencari ilmu saya lakukan seperti mengikuti pelatihan bordir”.

Selanjutnya Bapak Siswanto menjelaskan:

”setiap hari Jum‟at usaha bordir tutup sampai jam 11.00 pagi karena karyawan melaksanakan sholat Jum‟at dan jam 14.00 mulai kerja lagi, namun ada karyawan yang setiap hari Jum‟at minta libur, yah kalau saya ikuti sajalah kebiasaan dan keinginan para karyawan di Desa Padurenan ini, yang penting usaha tetap jalan dan kalau hari Minggu usaha tutup karena saya harus ke Gereja tetapi kalau ada pesanan pas hari Minggu, ya tetap saya terima tetapi setelah selesai dari kegiatan kebaktian di Gereja”.

Mencermati berbagai penjelasan tersebut, maka pola keutamaan

ji “pintar mengaji” atau mencari ilmu dalam Gus-ji-gang meng-

implikasikan tiga cara bersikap sebagai proses dalam pembelajaran

(learning). Pertama, cara bersikap kritis dan kreatif dengan kedalaman

maksudnya sebagai kegiatan bermakna spiritual sebagai makna

internalnya. Kedua, cara bersikap momong (ngemong) dan mawas diri

atau tahu diri sama dengan bersikap eling. Ketiga, cara bersikap

pertama dan kedua tersebut sebagai satu kesatuan sikap integrasi dan

keutamaan sepi ing pamrih dengan kekuatan moral aja mitunani wong liya (jangan merugikan orang lain) di muka. Tiga cara bersikap tersebut

sekaligus sebagai dorongan batin47 atau spiritual untuk terus

bersemangat melakukan pembaharuan terhadap nilai-nilai moral

budaya Jawa dengan tata kramanya hormat dan rukun. Maksudnya

bersemangat melakukan pembaharuan yaitu, bersemangat agar

melakukan transformasi sosial48(transformasi kesadaran) atau terjadi

proses internalisasi terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa dengan tata

kramanya hormat dan rukun sebagai cara bersikap kekeluargaan dan

kegotong-royongan yang baru (modern) dengan nilai-nilai eksistensi

manusiawi yang transendental. Nilai-nilai tersebut diobyektifikasikan

dengan tindakan moral yang sesuai, baik dengan sikap pluralisme modern juga bagi realitas sosial Jawa.

Page 24: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

190

Berdasarkan pemahaman tiga cara bersikap sebagai dorongan

batin untuk melakukan transformasi sosial pada ji dalam rangka

membangun spiritual Gus-ji-gang tersebut, maka pola keutamaannya

sebagai proses pembelajaran merupakan satu kesatuan dengan hal-hal

yang transendental, yang mampu mengembangkan kesadaran internal

(internalisasi) akhirnya mampu menggerakkan etos dagang

(eksternalitas) dan ini sebagai dasar social capital masyarakat Kudus

dalam mengembangkan usaha bisnisnya.

Nilai-nilai Gang ”Pintar Berdagang” sebagai Kekuatan Profesi Bisnis

Istilah “Gang” artinya terampil berdagang. Keterampilan

berdagang ini ditonjolkan karena tidak lepas dari pilihan mata

pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang.

Karena spirit dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam maka profesi

dagang yang diinginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana

Sunan Kudus juga seorang wali saudagar49 dan Nabi Muhamad SAW

juga seorang pedagang pada masanya. Spirit Sunan Kudus sebagai

saudagar yang dalam menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan

kaidah-kaidah Islam (Teguh Sunardi, 2009: 4) terdiri dari hukum

primer (al-Qur‟an dan as-Sunnah)50 dan hukum sekunder (Ijma‟, Ijtihad

dan Qiyas)51yang dalam banyak hal diorientasikan untuk kepentingan

dakwah sehingga keuntungan berdagang digunakan untuk

memperindah Masjid Al Aqsha Kudus dan Menara Kudus dengan

diberikan ornamen keramik dari berbagai negara sebagai petanda telah

terjadi hubungan perdagangan antar-negara dalam rangka mencapai

kemakmuran dan pentingnya pembangunan kekuatan ekonomi.

Informan kunci Bapak H. Moch Anhori dan Ibu Hj. Sri

Murni‟ah yang aktif dalam kegiatan pada perkumpulan Haji

menyampaikan kepada peneliti mengenai dagang yang didasari

kepribadian „gus‟ dan „ji‟ dalam Gus-ji-gang sebagai berikut:

Bapak H.Moch Anshori mengatakan52:

“tujuan bisnis bordir adalah mewujudkan keseimbangan dunia dan akherat. Kebutuhan dunia, saya bekerja keras dalam usaha bordir dengan melakukan berbagai inovasi

Page 25: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

191

disain bordir, menawarkan hasil bordir ke berbagai daerah, mencari bahan baku yang sesuai, ini semua dalam rangka mencari rejeki untuk kebutuhan keluarga, tetapi di satu sisi saya melakukan kegiatan ibadah sholat, puasa, berzakat dan mengikuti berbagai pengajian. Ini harus imbang, kalau hanya mencari rejeki saja tanpa ibadah, maka rasanya akan kosong, dan hanya ibadah saja bisnis bordir bisa berhenti dan keluarga tidak makan”.

Sedangkan, Ibu Hj. Sri Muni‟ah53 mengatakan kepada peneliti

sebagai berikut:

“menawi tasih bisnis ngih bisnis, namun wedal ibadah ngih ibadah, kedah kalih-kalih ipun dilampahi sedoyo, injih supados rejekinipun pikantuk barokah kangge keluargo”

Artinya: masih menjalankan bisnis ya bisnis, namun waktu ibadah ya ibadah, harus dua-duanya dijalankan semua, supaya rejekinya dapat barokhah buat keluarga).

Pada umumnya, tidak seorang pengusaha yang mau

menyebutkan berapa jumlah penghasilan yang mereka peroleh.

Mereka hanya menjawab: “rejeki itu yang penting bukan jumlahnya, tetapi barokhahnya, sehingga tidak perlu dihitung-hitung”. Sebagian

yang lain mengatakan bahwa mereka tidak bisa memperhitungkan

hasil yang dicapai karena penghasilan itu terus diputar-putar dan

mengalami pasang surut terus-menerus. Kadang-kadang untung

banyak, tetapi keuntungan itu dapat habis seketika untuk menutup

kerugian yang telah dialami sebelumnya. Kadang-kadang untung

sedikit tetapi bisa menyisihkan untuk membeli barang-barang, begitu

seterusnya. Perhitungan penghasilan mereka pada umumnya hanya

berdasarkan perkiraan sesuai keuntungan normal tetapi pelanggan dan

saudara bertambah banyak, ya tidak apa-apa buat kami, ya seperti

istilah tuna satak bati sanak.

Sebagaimana sering mendengar ungkapan tuna satak bathi sanak dalam pergaulan para pengusaha/bakul (pedagang) termasuk

yang disampaikan informan penelitian yang artinya, walau rugi uang

asal untung saudara. Ungkapan ini sering ditemukan dalam pergaulan

Page 26: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

192

para pedagang (bakul) ini yang menunjukkan bahwa kebahagiaan

seorang pedagang tidak diukur dengan keuntungan berupa uang. Bagi

pedagang mendapatkan saudara atau pelanggan dalam berusaha pun

dihitungnya sebagai keuntungan ”bathi”. Oleh karena itu seorang

pengusaha bordir rela menjual hasil produksinya dengan harga sedikit

lebih rendah dari penawarannya demi menjalin hubungan dengan

orang lain, yaitu pembeli.

Spirit dalam filosofi Gus-ji-gang yang mewarnai perilaku

kegiatan ekonomi (dagang) sesuai dengan filosofi budaya Jawa dan

ajaran agama Islam didasarkan pada 4 (empat) nilai utama yaitu

Ilahiyah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan serta keseimbangan

(Teguh Suhardi, 2009). Pertama, Ekonomi Ilahiyah, karena titik

berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-

caranya tidak bertentangan dengan syari‟at-Nya. Kegiatan ekonomi,

baik produksi, konsumsi, pertukaran, dan distribusi, diikatkan pada

prinsip ilahiyah dan tujuan ilahiyah artinya ekonomi menurut

pandangan Islam bukanlah tujuan, tetapi merupakan kebutuhan dan

sarana yang lazim bagi manusia agar dapat bertahan hidup dan bekerja

untuk mencapai tujuannya yang tinggi. Kedua, ekonomi akhlak, karena

akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Islam sama sekali

tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan

ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan

agama. Ketiga, ekonomi kemanusiaan, adalah ekonomi yang

berwawasan kemanusiaan, karena menghargai kemanusiaan adalah

bagian prinsip ilahiyah yang memuliakan manusia dan menjadikan

sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Keempat, ekonomi

pertengahan, artinya ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandasan

pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil yaitu

keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan

masyarakat maupun keseimbangan di segala bidang. Tanda Sunan

Kudus sebagai wali saudagar telah melahirkan tanda paradigmatik

masyarakat santri Kudus yang berdagang/saudagar.

Bagi masyarakat Kudus bila mendapatkan rejeki yang

berlimpah dari Allah selalu disyukuri. Sebagai wujud rasa syukur atas

Page 27: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

193

hasil usahanya yang membuahkan penghasilan yang banyak, akan

ditampilkan dalam bentuk penampilan fisik yang bagus ”maliter, cah”

kata orang Kudus. Gaya maliter menjadi pandangan negatif bila hanya

untuk pamer kekayaan, tetapi bergaya maliter akan dihormati bila

maliter sebagai rasa syukur atas keberhasilannya sehingga muncul

istilah mati ora gowo bondho. Namun lebih dari itu, masyarakat Kudus

punya filosofi sak titahe sebagai pegangan hidup. Sehingga mereka

yang bergaya “maliter” mengungkapkan bahwa “maliter yah lah, ning urip kuwi mung sa titahe”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa Gus-ji-gang merupakan pemaknaan “gus”, “ji” dan “gang” adalah

holistik dan koherensi, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Artinya perilaku masyarakat Kudus dalam melakukan Gus-ji-gang bisa

dimulai dari kegiatan ”gang” pintar dagang supaya dapat memenuhi

kebutuhan fisik/duniawi yang didasarkan pada kehidupan “gus‟ dan “ji”

artinya bahwa perilaku dagang masyarakat Kudus, khususnya

komunitas pengusaha IKBK bordir Kudus di dalam melakukan dagang

selalu didasarkan pada nilai-nilai “gus” yang menekankan nilai-nilai

hubungan sosial yang bagus dan “ji” didasarkan pada nilai-nilai

spiritual atau nilai-nilai Ketuhanan.

Demikian pula melakukan perilaku nilai-nilai Gus-ji-gang

dimulai dari “gus” dan “ji” yaitu dengan menumbuhkan kesadaran diri

dengan berperilaku “bagus” dan “menunaikan ibadah haji dan pintar

ngaji” agar terbangun kekuatan spiritualitas yang justru memegang

peranan penting dalam memenuhi seluruh kebutuhan melalui kegiatan

ekonomi misalnya berdagang, membutuhkan sikap jujur, dipercaya,

hubungan timbal balik yang baik, besyukur. Jadi berdasarkan filosofi

Gus-ji-gang, perilaku dagang masyarakat Kudus didasari oleh perilaku

“gus” yaitu perilaku yang bagus dan “ji” ngaji sebagai sumber ilmu yang

dapat mempengaruhi perilaku pribadi masyarakat Kudus dalam

menjalankan kegiatan ekonomi atau berdagang. Artinya dengan

kesadaran diri yang dibangun masyarakat Kudus melalui kristalisasi

“gus” dan “ji” secara terus-menerus yang akhirnya sebagai habitus atau

kebiasaan budaya, justru memegang peranan penting dalam memenuhi

Page 28: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

194

seluruh kebutuhan yang ada melalui kegiatan perdagangan industri

bordir.

Pembagian Waktu antara Berdagang dan Beribadah

Dalam memanfaatkan waktu yang ada disamping untuk

kegiatan ekonomi juga digunakan untuk kepentingan ibadah sehingga

kehidupan ekonomi akan lebih sehat dan seimbang. Hal itu bisa dilihat

secara empiris dalam kehidupan masyarakat Kudus. Kehidupan

mencari nafkah dan kegiatan keagamaan masyarakat Kudus, sejalan

dengan pemikiran Max Weber (1958) yaitu ada keterpaduan antara

nilai agama dengan ekonomi. Demikian juga pemikiran Geertz (1989)

bahwa, agama merupakan sistem kebudayaan54. Dalam hal ini agama

merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan

manusia. Selain itu, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu

sesuatu yang hidup pada diri manusia yang tampak dalam kehidupan

kesehariannya.

Kecenderungan untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan

material adalah ”pembawaan naluriah” dan bagian dari sisi emosi

manusia. Dalam hubungan ini, Weber memperlihatkan suatu sikap

tentang perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya

dengan konsep ”semangat kapitalisme”. Menurut Gerdon Marshall

(1982), untuk menunjukkan manusia sebagai “homo economicus”,

Weber mengatakan bahwa tujuan dalam hidup untuk mendapatkan

kemakmuran dan kekayaan, maka untuk mencapai tujuan ini seseorang

mesti ingat “waktu adalah uang”, hemat dalam pemakaian uang, tidak

memboroskannya pada hal-hal yang tidak perlu dan tidak dipakai

untuk hidup bermalas-malasan serta mencari kesenangan yang bersifat

sementara, melainkan sedikit demi sedikit ditabung dan dijadikan

kapital yang tentu akan menghasilkan keuntungan yang berlipat.

Berdasarkan wawancara dengan informan kunci Bapak H.Moch

Anhori55 dan Ibu Hj Sri Murni‟ah56 yang aktif dalam kegiatan

perkumpulan Haji maupun kumpulan pengajian di desa, mengenai

Page 29: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

195

bagaimana membagi waktu yang ada untuk ibadah dan bisnis, adalah

sebagai berikut:

Bapak H. Moch Anshori menyatakan bahwa:

“tujuan bisnis bordir adalah mewujudkan keseimbangan dunia dan akherat. Kebutuhan dunia, saya bekerja keras dalam usaha bordir dengan melakukan berbagai inovasi disain bordir, menawarkan hasil bordir ke berbagai daerah, mencari bahan baku yang sesuai, ini semua dalam rangka mencari rejeki untuk kebutuhan keluarga, tetapi di satu sisi saya melakukan kegiatan ibadah sholat, puasa, sedekah, zakat dan mengikuti berbagai pengajian. Ini harus imbang, kalau hanya mencari rejeki saja tanpa ibadah, maka rasanya hati kita akan kosong, dan hanya ibadah saja bisnis bordir bisa berhenti dan keluarga tidak makan”.

Sedangkan Ibu Hj.Sri Muni‟ah mengatakan:

“menawi tasih bisnis ngih bisnis, namun wedal ibadah ngih ibadah, kedah kalih-kalih ipun dilampahi sedoyo, injih supados rejekinipun pikantuk barokah kangge keluargo” Artinya: masih menjalankan bisnis ya bisnis, namun waktu ibadah ya ibadah, harus dua-duanya dijalankan semua, supaya rejekinya dapat barokhah buat keluarga).

Lain halnya pendapat Ibu Islahiyah57 yang diungkapkan kepada

peneliti:

”waktu sangat berharga sekali buat saya, ya untuk bisnis dan untuk melakukan ibadah menjalankan sholat atau untuk urusan domistik rumah tangga, makanya dengan waktu yang terbatas kita harus bekerja keras, apalagi pesanan cukup banyak, sehingga harus membagi waktu sebaik mungkin supaya pelanggan jangan kecewa. Usaha bordir saya ini, yang kebanyakan pesanan bodir dari para pejabat atau pimpinan di kota Kudus atau kota Semarang, itulah sebabnya saya tetap terjun sendiri dan tidak saya lepas ke karyawan tetapi tetap dalam pengawasan langsung saya dan saya tidak mau, hasilnya tidak berkualitas. Sebab harga produk bordir saya lumayan mahal, tetapi kalau yang koden yang harganya di bawah Rp.300.000, - pengawasan produksinya saya serahkan anak-anak saya supaya belajar”

Page 30: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

196

Apa yang diungkapkan ketiga informan, kalau meminjam

pemikiran Weber (1958), sudah sepantasnya kalau mereka tidak

membuang-buang waktu dan bersenang-senang, melainkan harus

bertekun dalam berbagai karya. Tentu saja dengan maksud untuk

meningkatkan kebesaran Tuhan sekaligus mengikuti kehendak-Nya.

Baxter (dalam Weber, 1958) menganjurkan setiap orang Kristen

“bekerja keras dalam panggilannya”. Akan tetapi yang sangat penting

adalah supaya “kerja” dipandang sebagai tujuan hidup seperti

dikehendaki Tuhan dan orang yang tidak punya keinginan untuk

bekerja adalah sebagai isyarat bagi tidak adanya anugerah Tuhan

kepada diri seseorang.

Calvinisme (Weber, 1958) telah menyumbangkan sesuatu yang

positif dalam mengembangkan asketik, yaitu tentang perlunya

pembuktian kepercayaan seseorang dalam aktivitas duniawi. Dengan

kenyataan yang terlihat dalam perilaku orang-orang Calivinis, dapat

dikatakan doktrin mereka tentang anugerah secara psikologis telah

mendukung sikap sistemik untuk melakukan rasionalisasi kehidupan

secara metodik. Pandangan asketisme duniawi Protestan sangat

menentang kesenangan yang bersifat spontan, menentang pemakaian

kekayaan yang bersifat irrasional serta menentang sikap tidak jujur dan

tamak untuk mendapatkan kekayaan karena sikap demikian dianggap

telah keluar dari panggilan Tuhan, yang Menurut Weber (1958), hal

itu disebabkan karena mereka bersandar kepada dasar-dasar ekonomi

yang tidak sehat, lebih mementingkan hidup bermewah-mewah

daripada hidup sederhana. Pengikut Calvinis dalam menghadapi

panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis,

positif dan aktif. Sifat-sifat yang dikutip Weber ( Sudrajat,1994) sebagai

ciri–ciri orang Protestan yaitu tanggung jawab langsung kepada Tuhan,

kejujuran dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu

secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan

yang rasional, semuanya ditentukan juga di dalam etika Islam.

Page 31: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

197

CATATAN-CATATAN KAKI

1 Karel A Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, (Yogyakarta: t.p.,1987), hlm.31.

2 Ajat Sudrajat, Etika Protestam dan Kapitalisme Barat: Relavansinya dengan agama Indonesia”.Jakarta:Bumi Aksara.1994), hlm.112)

3 Menurut R.Ng.Poebatjaraka, di seluruh tanah Jawa hanya ada satu tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab yaitu “Al Qudus” yang berarti “Suci”. Baca, Agus Salim,H, “Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia”.Jakarta,1941.

4 Solichin Salam.1986. “Ja‟far Shadiq Sunan Kudus” Menara Kudus.hal 12.

5 Muljana, Slamet.2005. “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya negara-negara Islam di Nusantara”. PT LKIS Pelangi Aksara, hal 52.ISBN 9798451163.

6 Solichin Salam.1986. “Ja‟far Shadiq Sunan Kudus” Menara Kudus.hal 12

7 Tharekat berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara khusus, tharekat diartikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui tahap-tahap berkesinambungan ke arah pengalaman tertinggi yaitu hakekat. Dalam tharekat terdapat guru yang disebut mursyid, yang berfungsi sebagai pembimbing,pemimpin sekaligus menjadi tokoh sentral bagi penganutnya yang disebut murid. Selanjutnya untuk dibaca,Radjasa Mu‟tasim & Abdul Munir Mulkhan. “Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyaraakat Sufi”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 1998. hlm 3.

8 Etos adalah sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moral. Mengingat sikap moralnya itu sebagai sikap kehendaknya, maka tuntutan peningkatan etos secara implisit memuat tuduhan bahwa nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budayanya, mengandung kehendak kurang baik. Karenanya, pihak yang menuntut etos tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi manusia baik. Baca. Frans Magnis Suseno, “Berfilsafat dari…”, op cit.,hlm 1-27.

9 Sunan Kudus yang saudagar atau pengusaha ulet ini didukung dengan jejak sejarah Sunan Kudus yang dalam menjalankan misi dakwahnya tidak lepas dari jaringan lokal maupun global dalam dunia saudagar. Berdasarkan teori masuknya Islam ke Nusantara dari India, Persia atau Arab dengan kontak perdagangan meskipun akhirnya memperluas untuk urusan dakwah Islam. Lihat Nur Said.”Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa„, (Bandung: Brillian Media Utama, 2010), hlm 38-39.

10 Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.

11 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 12 Oktober 2014.

12 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014.

13 Wawancara dengan Bapak H. Hasan tanggal 27 September 2014.

14 Wawancara dengan Bapak H. Moch Anshori 14 Oktober 2014.

Page 32: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

198

15 Disamping predikat“waliyyul ilmy dan wali saudagar”, Sunan Kudus memiliki citra yang menonjol, yaitu sebagai (a)sosok pluralis dan multikultural, (b) filosof, (3) negarawan yang patriotis, (d) pujangga, (e) pemimpin yang merakyat, (f) ahli tasawuf (esoteris), (g) seniman dan arsitek handal. Lihat.Nur Said. Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, (Bandung; Brillian Media Utama, 2010) hal 35-47

16 Hasyim Asy‟ari.2003.”Wong Kudus:Bersikap Sak Titahe, Bergaya Meliter”, Suara Merdeka,23 Juli.

17 Wawancara dengan Dr.Abdul Jalil.M.Ei tanggal 7 Februari 2015.

18 Penampilan maliter itu identik dengan pakaian yang bagus,kendaraan yang mulus, dan rumah yang bagus, tentu saja bergaya hidup maliter akhirnya juga harus mengikuti perkembangan mode. Bergaya maliter akan menjadi pantangan dan disorot secara tajam, manakala gaya maliter itu hanya pamer kekayaan. Sebaliknya, bergaya maliter akan dihormati bila sebagai salah satu simbol mensyukuri nikmat atas keberhasilan, dan ini merupakan bagus dalam kategori Gus-ji-gang. Abdul Jalil. Spritual Entrepreneurship:Tranformasi Spiritual Kewirausahaan. (PT.LkiS Printing Cemerlang, 2013). hal.141-142.

19 Prima facie, artinya sejauh tidak ada pertimbangan tambahan yang menurut penilaian khusus, dalam hal ini berati bersikap tahu diri atau eling ini mengimplikasikan maksud, menyadari (dalam rasa) sebagai warga ekosistem bumi, sebagai bagian masyarakat dan alam maka tidak merusak melainkan memperindah dan atau menjaga keselamatannya. Franz Magnis Suiseno,”Etika Dasar…,op cit., hal.136. Lihat juga Franz Magnis Suseno,”Kuasa…,op.cit, hal.168.

20 Keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya, Lihat Hildred Greertz,”The Javanese Family,A Study of Kinship and Socialization” (The free Press of Glencoe,1961), hal.147.

21Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan sebagainya.Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan.Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isin, perasaan sungkan bukanlah suatu rasa yang mesti dicegah.Sungkan bisa diggambarkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, atau sebagai “pengakuan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Hilderd Geertz, Keluarga Jawa; Terjemahan dari : “The Javanese Family a Study of Kinship and Socialization‟ (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm.113-117.

22 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014

23 Wawancara wawancara dengan Bapak H. Hasan19 Oktober 2014

24 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014

Page 33: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

199

25 Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”,” tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Lihat Niels Murder, “Mysticism and Everyday Life in Comtenporary Java Cultural Persistence and Change”. Singapore;Singapore University Press,1978).hlm.39.

26 Segi ini ditekankan oleh H.Geertz (1976. pp.47,53,147), Willner (1970;268).

27 Etika di sini dimaknai sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Lihat Franz Magnis Suseno,Etika Dasar….,op.,cit.hlm.37

28 Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha keras. Jadi, sikap pasrah itu syaratnya, yaitu baru dilakukan setelah terlebih dahulu berusaha secara keras. Bukan sebaliknya, tidak pernah berusaha keras, namun pasrah. Wawancara dengan Prof. Akdullah Kelib, SH. tanggal 5 Desember 2014.

29 Masyhuri, 2001. “Tradisi Ekonomi Santri Masyarakat Kudus dalam Era Otonomi dan Globalisasi”, makalah pada Seminar ”Tradisi Ekonomi Masyarakat Kudus:Antara Otonomi Daerah dan Globalisasi”,diselenggarakan oleh Yayasan Masjid dan Menara Kudus (YM3SK) dan Central Riset dan Manajemen Informasi (Cermin,Kudus,31 Maret 2001.

30 Spiritual terdiri dari hal-hal sebagai berikut: (a) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui/tidak pasti; (b) Bertujuan menemukan arti dan tujuan hidup; (c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dari dalam diri sendiri; dan (d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi. Lihat dalam. Burkhardt, “Characteristics of spirituality in the lives of women in a rural appalachian community”,dalam Journal of Transcultural Nursing.vol.4,1993,hlm.12-18.

31 Wawancara dengan Ibu Hj Sri Murni‟ah tanggal 21 Oktober 2014.

32 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori pada 14 Oktober 2014

33 Wawancara dengan Bapak Hasan pada 10 Agustus 2014.

34 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah pada 13 Oktober 2014.

35 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori pada tanggal 14 Oktober 2014

36 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2004. santri berari orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh - sungguh; orang yang saleh

37 Belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.

38 Wawancara dengan Bp. Denny Nurhakim, pada hari Sabtu,15 Februari 2014 jam 10.15 di Kantor Yayasan Masjid Menaro Kusus.

39 Wawancara dengan Bapak H.Noor Khalid tanggal 12 Oktober 2014

40 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014

Page 34: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus

200

41 Wawancara dengan Bapak Haji Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014.

42 Wawancara dengan Bapak Rosyadi tanggal 9 Oktober 2014.

43 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 12 Oktober 2014

44 Wawancara dengn Ibu Nurul Hikmah tanggal 5 Januari 2015

45 Wawancara dengan Bapak Achsanudin Ismanto tanggal 16 Oktober 2014

46 Wawancara dengan Bapak Siswanto Non Muslim tanggal 3 Januari 2015

47 Menurut The Liang Gie, dorongan batin adalah, keingintahuan yang tidak dapat ditindas untuk menemukan alam semesta dan dirinya sendiri serta meningkatkan kesadarannya tentang dunia yang di dalamnya manusia hidup dan bertindak. The Liang Gie, Segi-segi Pemikiran Ilmiah, (Yogyakarta: PBIB, 2003), hal. 9.

48 Menurut Suwito, transformasi sosial pada hakikatnya adalah, transformasi kesadaran. Transformasi sosial dilahirkan dari teori kritis, bisa disebabkan karena perubahan penafsiran dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang telah diyakini. Pemahaman dahulu (pemahaman lama atau tradisional) dianggap usang dan tidak sesuai lagi dengan konteks ruang ke-disini-an (hereness) dan waktu ke-kini-an (nowness), yang secara otomatis akan mengubah cara pandang, teori dan gerak langkah (aktivitas). Suwito N.S., Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Sari‟ati tentang Pemikiran Islam Modern, (Yogyakarta: Unggul Religi, 2000), hal 89-90.

49 Kecenderungan spirit dagang masyarakat Kudus juga diikuti oleh sebagian kaum tharikat Kudus yang cukup menonjol, baca dalam Radjasa Mu‟tasyin dan Abdul Munir Mulknan.1998.”Bisnis Kaum Sufi,Studi Tharikat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

50 Ayat-ayat al-Qur‟an banyak mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berperilaku,baik yang secara jelas mengatur hukum-hukum syari‟at Islam maupun secara implikasi menjelaskan garis-garis besarnya saja, as –Sunah berarti cara, adat istiadat, dan kebiasaan hidup yang mengacu pada perilaku Rasuullah SAW, yang dijadikan suri tauladan oleh manusia. Baca Teguh Suhardi,” Ekonomi Syari‟ah,Konsep,Praktik & Penguatan Kelembagaanya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 5.

51 Ijma‟ merupakan hasil konsensus, baik dari masyarakat maupun para cendekiawan agama; Ijtihat secara teknik berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya suatu permasalahan syari‟at, Qiyas adalah analogi yang memperluas hukum ayat kepada persoalan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya. Perluasan hukum melalui qiyas atau analogi tidak membentuk hukum yang baru, malainkan membentuk manusia untuk menemukan hukum. Teguh Suhardi,” Ekonomi Syariat…”, op.cit,hal 5-6.

52 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 15 Oktober 2014.

53 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni;ah tanggal 14 Oktober 2014.

Page 35: Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7062/6/D_902012109_BAB V.pdf · Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan

Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis

201

54 Sistem kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomik. Baca Clifford Geertz, 1981.”Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”. Pustaka Jaya, Jakarta. Kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan, Selanjutnya baca dalam Kuper. Adam, 1999. hal.98.

55 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 15 Oktober 2014.

56 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014.

57 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Oktober 2014.