Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas...
Transcript of Gus-Ji-Gang dalam Praktik Bisnis: studi kasus komunitas...
167
BAB LIMA
AKTUALISASI GUS-JI-GANG DALAM BISNIS
Pendahuluan
Nilai-nilai agama Islam Jawa merupakan keyakinan cara
bersikap etis (berperilaku etis) pada tata krama Jawa bermakna spiritual
(nilai Islam) yang secara internal menjadikan seseorang merasa dalam
tatanan prosesnya berkeyakinan pada yang suci. Keyakinan itu, di satu
sisi, sebagai acuan bersikap etis baik dalam hidup beragama, bersosial
dengan lingkungannya maupun dalam kegiatan ekonomi (berdagang)
di masyarakat (komunitas) maupun pribadi (individual). Saling kerja
sama antara agama Islam (nilai etis) dan pedagang (nilai ekonomi)
dalam proses ekspansi, tidak merupakan konjungsi kerja sama yang
terjadi secara kebetulan antara gejala ekonomi dan agama, tetapi kerja
sama itu timbul dari watak sesungguhnya akulturasi nilai-nilai agama
Islam1.
Max Weber menjelaskan bahwa, sifat-sifat sebagai ciri khas
Protestan, seperti tanggung jawab langsung kepada Tuhan, kejujuran
dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu secara
metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan yang
rasional, semua ditentukan pula dalam etika Islam2. Agama sebagai
kebenaran mutlak harus diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari.
Namun, usaha itu tidak mudah akibat wawasan pemeluknya sendiri
dan lingkungan sosial yang kurang mendukung. Kondisi kendala
seperti itu, justru dapat melahirkan kemampuan berkreatif dan
memiliki wawasan baru dengan tetap memelihara keyakinan
keagamaan yang dipeluknya. Kemampuan dan kondisi obyektif yang
melingkupi setiap penganut keyakinan keagamaan yang berbeda-beda
akan melahirkan usaha kreatif yang berbeda-beda pula.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
168
Demikian pula, pengembangan agama Islam di Kudus3 tidak
akan lepas dari peran Sunan Kudus4 karena dalam melaksanakan
agamanya masyarakat Kudus banyak meneladani ajaran Sunan Kudus.
Sunan Kudus adalah putra dari pasangan Sunan Ngundung (Sayyid
Utsman Haji)5. Sunan Kudus telah membawa perubahan kehidupan
sosial yang sangat besar pada masyarakat Kudus yang memiliki struktur
sosial yang hierarkhis-diskriminatif6 (kehidupan masyarakat Hindu dan
Budha sebagai agama yang sudah ada sebelumnya) setelah menerima
ajaran baru Sunan Kudus menjadi tatanan sosial yang egaliter-religius di bawah semangat keimanan. Abdurrahman Mas‟ud (2004)
menyimpulkan bahwa, tanpa sufisme, Islam tidak pernah menjadi
”Agama Jawa”. Sufisme yang begitu toleran terhadap tradisi masyarakat
Jawa telah menimbulkan akulturasi budaya Islam dapat diterima
masyarakat Jawa, hal itu terbukti telah diikuti oleh para tokoh
masyarakat pesisiran utara Jawa, termasuk komunitas masyarakat Islam
di seputar Masjid Menara Kudus yang dikenal dengan istilah Kudus Kulon, sejalan dengan proses perkembangan sosial antara struktur
spasial Masjid Menara Kudus berikut figur panutan kunci yaitu Sunan
Kudus telah mengkonstruksi sistem sosial masyarakat Kudus Kulon.
Masyarakat Islam Kudus Kulon atau sering disebut wong ngisor
manara memiliki keunikan karena disamping memegang syariat dan
taat ajaran sufistik yang salah satu perkembangannya melahirkan
berbagai macam sistem keagaman Tharekat7, namun memiliki etos8
kerja yang kuat sehingga sering mendapat predikat sebagai komunitas
“santri saudagar”. Hal itu muncul karena peran dan rujukan masyarakat
Islam Kudus Kulon terhadap perilaku, motivasi, maupun spirit dari
Sunan Kudus yang dikenal sebagai seorang wali saudagar9. Konsekuensi
dari sebutan simbol ”santri saudagar” telah menjadikan spirit bagi
orang Kudus, khususnya yang beragama Islam dalam memupuk etos
kerja yang tinggi dengan dijiwai semangat religius yang kuat. Bahkan
bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Masjid dan Menara Kudus
secara umum memiliki religiusitas dan etos kerja lebih tinggi daripada
masyarakat yang tinggal jauh dari Menara Kudus.
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
169
Mayarakat yang tinggal di sekitar Menara Kudus merasa lebih
insider dan merasa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
struktur fisik dan ruang sosial dari aura makam Sunan Kudus karena
merasa lebih menerima keberkahan atas keramat makam Sunan Kudus,
sehingga menjadi sesuatu yang sangat bermakna bagi masyarakat
ngisor Menara. Adanya perkembangan jaman dan pengaruh mobilitas
manusia maka spirit “wali saudagar” menyebar dan dipercayai oleh
seluruh masyarakat di Kudus.
Ibadah, Tawakal, dan Rasionalitas dalam Bisnis di Kudus
Pada masyarakat Kudus sebagai masyarakat pesisiran kota
dengan memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Masyarakat
pesisiran ini telah lama dikenal sebagai kaum pedagang yang
menghabiskan waktu sehari-hari untuk bekerja giat dalam bidang
perdagangan disamping bidang lain, seperti pertanian maupun industri.
Namun justru menjadi sangat penting mengapa masyarakat Kudus
dapat tumbuh dan berkembang usaha dagangnya. Sebutan “santri
saudagar” bagi masyarakat Kudus merupakan spirit positif bagi
masyarakat (Islam) Kudus dalam mengembangkan etos kerja (dagang)
yang tinggi dan dijiwai semangat religiusitas yang kuat. Kerja bagi
manusia merupakan fitrah sekaligus identitas kemanusiaan itu sendiri.
Kerja pada hakekatnya rasionalitas manusia. Dengan demikian kerja
didasarkan pada prinsip-prinsip Ketuhanan (ibadah) sekaligus
meningkatkan martabat dirinya sebagai mahkluk Tuhan yang mampu
mengelola alam semesta sebagai perwujudan rasa bersyukur kepada
Tuhan sebagai pemilik alam semesta ini.
Sikap religius yang dianut masyarakat Kudus mengajarkan agar
manusia hidup “pasrah” dan “rela” menerima apa pun pemberian
Tuhan, namun bukan tindakan fatalis (menyerah kepada nasib) karena
segala sesuatu yang ada di muka bumi ini berada dalam tangan
kekuasaan-Nya. Oleh karena itu tidaklah benar dalam mencari rejeki
atau bekerja, orang justru melupakan dan mengabaikan yang memiliki
rejeki, maka persoalan rejeki selalu dihubungan dengan perilaku
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
170
“tawakal” seseorang, karena tindakan “tawakal” pada dasarnya
merupakan hubungan transendensi kepada Tuhan. Semakin bekerja
keras dan dekat dengan pemilik rejeki, maka semakin banyak rejeki
yang akan diterima seseorang.
Hal itu seperti yang diungkapkan informan Ibu Hj.Sri
Murni‟ah10 bahwa kerja itu ibadah dan rasional, katanya:
“nyambut damel meniko ibadah, kagem bantu semah, nambah kebetahan keluarga, keperluan lare-lare, lan menawi rejeki pikantuk katah, injih saget kagem Umroh, amargi kawulo sampun bidhal haji lan wadhean meniko injih kedah pitungan kagem nentukaken regi bordir, bathi kawulo pinten, ngih menawi ingkang tumbas lan pesen bordir sampun lengganan lami, reginipun mandap sekedik injih boten menopa-nopo, kagem jalin sirahturahmi” Artinya: bekerja itu ibadah, buat membantu suami, nambah kebutuhan keluarga, keperluan anak-anak dan kalau rejeki banyak bisa untuk Umroh, karena saya sudah berangkat haji, dan jualan itu ya harus perhitungan buat menentukan harga bordir, keuntungan saya berapa.... ya kalau yang membeli pelanggan lama, harga turun sedikit ya tidak apa-apa untuk menjaga sirahturahmi).
Hal ini seperti ungkapkan ajaran manusia hidup “pasrah dan
rela” menerima apapun pemberian dari Tuhan Yang Maha Kuasa,
tetapi bukan fatalis, karena telah berusaha secara keras. Lebih lanjut
informan kunci Ibu Hj. Sri Murni‟ah mengungkapkan:
“....menawi kawulo tiyang gesang meniko kedhah pasrah dan rela menerima menopo kemawon ingkang dipun paringi Gusti Allah, ingkang baku sampun makaryo boten kendat-kendat, kadang-kadang injih sepi pesanan, ingih tetap damel jilbab, kebayak ingkang dipun bordir, dipun wadhe dateng peken lan menawi ramai pesanan ya kedhah raos bersyukur dateng Gusti Allah,sampun dipun paringi rejeki ” Artinya: ....kalau saya orang hidup itu harus pasrah dan rela menerima apa saja yang diberi oleh Gusti Allah,yang penting bekerja terus-menerus, kadang-kadang pas sepi pesanan, ya tetap buat jilbab, kebayak yang dibordir untuk dijual di pasar, dan
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
171
kalau ramai pesanan ya, harus bersyukur dengan Gusti Allah, kalau telah diberi rejeki.
Supaya sukses berusaha orang harus kerja keras, rasional dan
selalu bersyukur kata Ibu Nurul Hikmah11 yang mengungkapkan pada
peneliti sebagai berikut:
“yang penting sebagai manusia harus berusaha keras sesuai dengan pekerjaanya, bagaimana cara agar pelanggan mau membeli hasil produksinya, namun kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, misal menjual taplak meja kecil bordir yang seharusnya harganya Rp.75.000,- dengan untung Rp.10.000,- tetapi pelanggan hanya mau membeli seharga Rp.70.000,- ya hanya untung sebesar Rp.5.000,- setiap lembarnya harus disyukuri dan laku 25 lembar taplak meja dan itu adalah “barokah” yang harus disyukuri”.
Ibu Mirah12 mengungkapkan bahwa ajaran manusia tetap kerja
keras dan hidup ”pasrah dan rela” menerima apapun pemberian dari
Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai berikut:
“injih leres menawi rejeki meniko saking Gusti Ingkang Moho Agung, kadang-kadang pesanan inggih katah ngantos kuwalahan, namun injih sok wonten sepi nipun, kita kedah nyuwun teras dateng Gusti Allah supados dipun paringi rejeki ingkah barokah lan tetep makaryo boten kendat-kendat”
Artinya: ya benar kalau rejeki itu dari Tuhan Yang Maha Agung, kadang-kadang pesanan banyak sampai tidak mampu, namun ya suatu saat sepinya, kita harus minta terus kepada Gusti Allah supaya diberi rejeki yang barokhah dan tetap bekerja terus-menerus.
Sedangkan Bapak Haji Hasan13menyampaikan kepada peneliti
sebagai berikut:
“manusia itu harus berusaha sekeras mungkin misal kalau dapat pesanan banyak ya mengerjakan sampai nglembur-nglembur sampai pagi dan rejeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, ya kita harus pasrah, kalau dapat rejeki sedikit ya disyukuri yang penting masih bisa untuk membeli haban baku dan kebutuhan makan keluarga”.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
172
Demikian pula ungkapan informan kunci yang lain, yang
intinya hampir sama yaitu Bapak H.Moch Anshori14 yang diwancarai
peneliti mengungkapkan sebagai berikut:
“orang itu harus tetap „ikhtiar‟ dan bekerja keras sesuai usaha
yang ditekuni, disamping selalu berdo‟a setiap menjalankan
sholat 5 waktu sebagai tuntunan hidup supaya dalam berusaha
atau berdagang dapat berjalan lancar dan kalau mendapat
keuntungan yang berlebih bisa digunakan sedekah bagi orang
yang membutuhkan atau memberikan zakat”.
Fenomena yang telah diungkapkan para informan, antara
doktrin-doktrin keagamaan dengan situasi struktural masyarakat
memiliki hubungan yang dekat sekali. Suasana keyakinan tertentu dari
ajaran agama yang dianutnya telah memberikan sumbangan yang besar
terhadap perilaku dan corak kelembagaan. Demikian pula situasi sosial
ekonomi akan menunjukkan pengaruhnya kepada cara memahami dan
mengerti ajaran agama yang diyakininya. Oleh karena itu kemungkinan
perbedaan manifestasi dalam kehidupan dan pelaku kegiatan ekonomi
kemungkinan dapat terjadi dan ditemukan dalam kehidupan masyarakat
Kudus.
Dalam ajaran Calvinisme dapat mengubah takdir atau
predistinasi yang menyatakan pada dasarnya manusia ditakdirkan
masuk surga atau neraka, dan bila manusia tidak dapat memenuhi
kebutuhan duniawinya maka ia akan masuk neraka tetapi bila manusia
dapat memenuhi kebutuhannya dan sejahtera dapat dipastikan masuk
surga. Manusia tidak mampu nuntuk memberontak atau menolaknya.
Oleh karena itu, Islam menolak gagasan predistinasi sebagai
dipersepsikan Calvinisme. Persoalan mengenai siapa yang termasuk
golongan terpilih dan siapa termasuk golongan terkutuk tidak dikenal
dalam Islam, karena itu semua rahasia Tuhan.
“Panggilan” (calling) bukanlah suatu kondisi sejak manusia
dilahirkan tetapi merupakan suatu usaha manusia yang sangat sulit dan
berat yang telah dipilih oleh manusia sendiri, dan yang telah dicari
lewat rasa tanggung jawab keagamaannya. Dengan kata lain,
pengejaran keuntungan di bidang ekonomi (material) berkaitan erat
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
173
dengan adanya “panggilan” (calling) terhadap tugas duniawi. Arti
penting dari gagasan panggilan menurut kepercayaan Protestan adalah
bahwa panggilan berfungsi membuat urusan-urusan biasa dari
kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. Maka bekerja
bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi tetapi suatu tujuan
akhir spritual. Menurut Weber, agama merupakan penjelasan rasional
dan sekaligus mengatur nilai-nilai serta kepercayaan teologis, artinya
kepercayaan berarti membangun pemikiran-pemikiran rasional dalam
perilaku hidup melalui disiplin diri, kalkulasi rasional, individualisme,
dan dipraktikkan secara sistematis.
Bekerja dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
kepada Tuhan, dengan cara berperilaku yang bermoral dalam
kehidupan sehari-harinya dengan bekerja keras, mencari uang,
menabung dari pendapatan yang diperolehnya serta menginvestasikan
lagi atau mengakumulasi semua keuntungan yang diperoleh agar
mendapat keuntungan lebih besar lagi. Sehingga dapat mengubah
“takdir” atau “predistinasi” dengan indikasi bahwa mereka termasuk
orang yang terpilih yang selamat masuk ke surga, karena mereka sukses
di dunia bisnis dan mampu mengumpulkan harta kekayaan demi
kemuliaan Tuhan diyakini sebagai ”tanda” atau “konfirmasi” bahwa
mereka adalah orang-orang terpilih. Weber (1978) menyebutnya
“suatu tanda keberkahan Tuhan” dan “tanda keselamatan”. Islam tidak
mengajarkan sebagai tanda keselamatan dengan mengumpulkan harta
kekayaan dari keuntungan bisnis tetapi mempertimbangkan
konsekuensi sosial dengan memberikan sedekah, zakat sebagai sarana
mencapai kebahagiaan spiritual. Deliar Noer (1982) mengatakan
bahwa, kekayaan pribadi dalam Islam merupakan amanat suci yang
harus dinikmati.
Deskripsi tentang Fenomena Bisnis yang Berbasis Filosofi
Gus-ji-gang
Menurut Said (2013), kalau melihat identitas Islam masyarakat
Kudus Kulon yang lebih sufistik pada satu sisi, dan bourjuis pada sisi
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
174
lain merupakan bagian dari kunstruksi identitas antara ruang spasial
yang diciptakan Sunan Kudus yang dikenal sebagai “waliyyul ilmy dan
wali saudagar”15 dengan reproduksi sistem sosial yang dibangun oleh
Muslim Kudus Kulon. Gejala tersebut sebagai bagian kesadaran sense of place, sebuah kesadaran akan kuatnya memiliki perasaan keterikatan
yang kuat terhadap lingkungannya sehingga sense on community juga
semakin tinggi.
Hubungan antara masyarakat Masjid Menara Kudus atau wong ngisor menoro sebagai sense of place dan sebagai komunitas Kudus
sense on community akhirnya memunculkan paradigma positif sebagai
identitas karakter dan kepribadian unggul yang dimiliki masyarakat
Kudus dengan sebutan “Ji-gang” atau Gus-ji-gang. Pemaknaan pada
awalnya menurut Hasyim16 merupakan karakter masyarakat Kudus
atau sering disebut wong Kudus, adalah sosok Gus-ji-gang, orang yang
memenuhi kreteria bagus, kaji, dagang. Tiga hal itu menjadi semacam
karakteristik yang melekat pada diri wong Kudus khususnya ngisor menara, yang kemudian berkembang, dipahami, diikuti sampai seluruh
masyarakat Kudus,
Abdul Jalil17 Sekretaris Yayasan Masjid dan Makam Sunan
Kudus dan juga Staf Pengajar STAIN Kudus menjelaskan pada peneliti
mengenai makna ”Gus” dari Gus-ji-gang sebagai berikut:
“asal mula pemaknaan Gus-ji-gang pada awalnya dari terminologi Wong Ngisor Menara Kudus tentang „Gus‟ adalah bagus lebih pada fisik dengan penampilan “maliter” itu identik dengan pakaian yang bagus, rumah bagus. Penampilan eksternal yang bagus ini menjadi identik dengan banyaknya rejeki atau “bathi” yang dimiliki sehingga simbol mensyukuri menikmati kekayaannya akan ditampilkan dalam bentuk fisik yang bagus yaitu penampilan”maliter”18
Sedangkan, pemaknaan ”Gang” artinya berdagang merupakan
identifikasi usaha ekonomi dari masyarakat Kudus yang bermata
pencaharian di sektor swasta, baik di industri pengolahan, perdagangan
dan sektor jasa lainnya. Sisanya sebagai pegawai negeri. Namun rata-
rata sekarang ini pegawai negeri di Kudus juga melakukan kegiatan
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
175
tambahan sebagai “pedagang”, sebagaimana lazimnya masyarakat
Kudus. Dominasi bekerja di sektor perdagangan dalam memilih
pekerjaan tersebut telah menumbuhkan cara hidup rasional dan
ekonomis dalam masyarakat Kudus. Jadi pemaknaan Gus-ji-gang
seperti yang diungkapkan Abdul Jalil adalah profil masyarakat Kudus
memiliki fisik bersih atau bagus ”maliter”, telah naik haji dan pintar
berdagang”.
Namun akibat perkembangam jaman pemaknaan Gus-ji-gang
mulai bergeser berdasarkan berbagai tafsir. Menurut Said (2013),
adalah orang Kudus yang memenuhi Gus-ji-gang yaitu Bagus/mulia
akhlaknya, pintar mengaji, dan pintar berdagang. Gus-ji-gang sebagai
pengalaman spiritual keagamaan (Islam) merupakan objektivitas atau
konkretisasi cara bersikap etis pada tata krama Jawa bermakna spiritual
internal menjadikan seseorang merasa dalam suatu tatanan keyakinan
sebagai dasar cara bersikap etis baik dalam hidup beragama (Islam)
maupun sosial-budaya melalui cara bersikap etis (tata krama Jawa)
yang bermakna spiritual internal bersifat komunal (memasyarakat) dan
individual (mempribadi). Hal itu menunjukan pengejawantahan
akulturasi antara budaya Arab (agama Islam) dengan budaya Jawa
(budaya lokal) yang dilakukan oleh Sunan Kudus dalam melaksanakan
dakwah ajaran agama Islam. Penilaian terhadap perilaku Gus-ji-gang
tentu berasal dari dua sisi, yaitu di satu sisi merupakan pandangan
internal masyarakat Kudus guna identifikasi diri. Sedangkan di sisi lain,
penilaian eksternal merupakan hasil pengamatan, pandangan orang
luar yang membedakan perilaku masyarakat Kudus dengan masyarakat
di luar Kudus.
“Gus” dan “Ji” sebagai proses internalisasi dalam membangun
spiritualitas. Spiritualitas merupakan kesadaran manusia akan adanya
relasi manusia dengan Tuhan, atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai
sosok transenden. Spiritualitas terdiri dari inner life individu,
idealisme, sikap, pemikiran, perasaan, dan harapannya kepada Tuhan
Yang Maha Mutlak, serta bagaimana individu mengekspresikan
hubungan tersebut dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan
kegiatan ekonomi yaitu berdagang.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
176
Ketiga karakter ideal Gus-ji-gang tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Nilai-nilai Gus “Bagus Perilaku” dalam Bisnis
Pada awalnya ”Gus” bermakna sebagai wong Kudus ngisor menara harus memiliki penampilan fisik bagus dan memiliki perilaku
yang bagus, sehingga “gus” memiliki makna menjadi bagus rupa dan
bagus laku. Namun seiring perkembangan jaman, penafsiran”Gus”
lebih menekankan pada bagus perilaku yaitu sifat moral yang harus
dimiliki setiap kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Begitu
seseorang buruk perilakunya, tentu akan berakibat masalah yang
panjang, paling tidak akan mengurangi kepercayaan kepada orang lain
terhadap dirinya, dan pada gilirannya akan merugikan usaha
dagangnya. Jadi, menjaga “kebagusan” perilaku dan penampilan fisik
seolah melekat pada diri masyarakat Kudus.
Meskipun kata “Gus” dalam tradisi Jawa biasanya diberikan
sebagai panggilan untuk anak laki-laki, namun ”Gus” dalam
perkembangannya telah terjadi pergeseran pemaknaan “Gus” yaitu
sebagai bagus laku yang mencerminkan sifat moral dan ahklak mulia
yang harus dimiliki seorang laki-laki maupun perempuan. Bagus atau
tampan dalam hal ini bukanlah ukuran standar fisik tetapi lebih pada
bagus atau tampan secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral
sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus, yaitu “bersikap baik atau
hormat terhadap apa dan siapa saja” merupakan behavior sebagai gejala
psikis. Proses lahirnya perilaku tersebut tidak lahir secara serta merta,
melainkan setelah melalui proses psikis dan pengkristalisasi yang
kemudian menjadi dasar perilaku masyarakat Kudus.
Kehidupan masyarakat di Kudus, seperti pada masyarakat lain
di Indonesia, yaitu mengharapkan agar hidupnya dapat menciptakan
kehidupan yang aman, dalam kesejahtaraan, adil dan makmur, lahir
maupun batin. Ada suatu keyakinan bahwa hidup tersebut di atas dapat
dicapai jika orang dalam setiap tingkah laku perbuatan, tata tertib dan
kebiasaan hidup sehari-hari berpedoman dan bersumber pada kaidah
masyarakat. Geertz (1981) dan Suseno (1984) menyimpulkan bahwa,
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
177
orang Jawa memiliki 2 (dua) kaidah sebagai dasar prinsip hidupnya
yaitu: Pertama, bahwa setiap situasi, hendaknya setiap anggota
masyarakat bersikap dan berbuat sedemikian rupa sehingga ia tidak
menimbulkan pertentangan atau terjadi konflik. Sikap dan perbuatan
seperti itu disebut sebagai kerukunan. Kedua, bahwa setiap situasi,
dimanapun orang berada, hendaknya setiap anggota masyarakat dalam
cara berbicara dan membawakan diri selalu menunjukkan sikap
hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya
(status). Sikap tersebut selanjutnya disebut prinsip hormat.
Bersikap hormat akan memainkan peran yang sangat penting
dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa (termasuk
masyarakat Kudus) yaitu prinsip hormat. Prinsip hormat mengatakan
bahwa setiap orang dalam cara berbicara dan membawakan diri selalu
harus menujukkan sikap hormat terhadap apa dan siapa saja, sesuai
dengan derajat dan kedudukannya. Bersikap baik atau hormat terhadap
apa dan siapa saja menurut Suseno (2005), memiliki dua pengertian
yaitu: Pertama, bersikap baik berlaku bagi segenap mahkluk yang ada,
dan bersikap hormat hanya berlaku bagi manusia sebagai person,
termasuk sikap hormat terhadap diri sendiri. Kedua, inti motivasi dan
maksud bersikap baik atau hormat terhadap apa saja adalah merasa
wajib bertanggung jawab untuk memelihara dan atau menerima,
mendukung serta membiarkannya. Sikap itu mengimplikasi bahwa
bukan berarti makhluk alam (dunia) selain manusia tidak boleh
diubah, melainkan berlakunya bersifat prima fice19.
Bersikap baik atau hormat dan peduli ini berdasarkan pada
pendapat bahwa, semua hubungan dalam masyarakat Jawa (termasuk
Kudus) teratur secara hierarkis20. Setiap orang harus pandai-pandai
menempatkan dan membawakan diri sesuai dengan tata krama sosial.
Orang Jawa harus menghormati mereka yang lebih tinggi dan
sebaliknya tidak meremehkan mereka yang lebih rendah. Sikap hormat
tersebut tertanam sejak kecil dalam keluarga dengan perasaan wedi, isin dan sungkan21. Wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu
kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial
untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
178
prinsip hormat. Dengan demikian individu merasa terdorong untuk
selalu menganbil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang
hormat menimbulkan rasa tak enak. Pembatinan perasaan-perasaan itu
adalah tanda kepribadian yang matang.
Hal itu, sejalan dengan apa yang disampaikan oleh informan-
informan berikut ini, dimana pendapat informan yang satu dengan
pendapat informan yang lain semakin memperjelas dan memberikan
gambaran yang tegas, seperti penuturan-penuturan berikut ini.
Ibu Hj Sri Murni‟ah22 mengungkapkan dalam wawancara
dengan peneliti mengenai perilaku hormat, tetap menjaga
keharmonisan yang hangat kepada sesama sebagai berikut:
”……..dagang niku, nggih kedah berhubungan kalian tiyang, sing wajib niku nggih menghormati kaliyan menghargai tiyang sanes,lan tetap jaga keharmonisan kaliyan tetanggi, utawi darek kempalan pengajian, menopo malih kaliyan konsumen ingkang badhe tumbas ya kedah ngormati”.
Artinya: …..dagang itu, ya harus berhubungan dengan orang, yang wajib itu ya menghormati dan menghargai orang lain serta tetap menjaga keharmonisan dengan tetangga atau ikut kumpulan pengajian, apalagi dengan konsumen yang akan membeli harus menghormati).
Begitu juga Bapak H.Hasan23 menyampaikan dalam wawancara
dengan peneliti sebagai berikut:
“dalam berusaha dagang itu pasti berhubungan dengan siapa saja, hidup ini harus bermanfaat, tetapi yang penting kita sama orang lain harus menghormati, baik pada setiap orang apalagi sebagai pengusaha bordir, berhubungan baik itu tidak hanya kepada pelanggang/konsumen saja, tetapi dengan toko menyedia bahan baku atau dengan sesama pengusaha bordir”.
Kemudian H.Moch Anshori24 mengemukakan pendapatnya
mengenai perilaku bagus kepada sesama kepada peneliti sebagai
berikut:
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
179
“berhubungan dengan siapa saja itu harus saling menghormati dan selalu menjaga sillahturahmi baik itu di pasar, kumpulan RT/RW, hajatan atau kumpulan pengajian, ini merupakan ibadah, yang nantinya akan mendapat barokhah, seperti pesanan bordir meningkat, karena dari „gatuk tular‟ dan hubungan silahturahmi yang baik”.
Dari ketiga jawaban informan itu hampir sama bahwa pada
dasarnya perbuatan rukun dan hormat kepada siapa saja itu merupakan
ibadah untuk membangun silahturahmi dan “getuk tular”. Hal itu bisa
terjadi karena menanamkan hormat dan kepercayaan kepada
konsumen, sehingga konsumen tersebut akan menceritakan kepada
teman-temannya atas rasa hormat, kejujuran pengusaha. Dengan rukun
dan hormat, orang dapat menciptakan keadaan masyarakat yang selaras
dan terhindar dari perselisihan. Hal tersebut dapat terlihat dalam kerja
sama dengan keluarga, karyawan, tetangga, pemasok bahan baku,
konsumen maupun masyarakat luas. Walaupun tidak berarti, bahwa
setiap orang harus meninggalkan pendiriannya. Orang tetap saja
berhak mempertahankan pendiriannya dengan cara yang
memperlihatkan kerukunan, misalnya, terjadi perbedaan pendapat
yang saling bertentangan, maka diusahakan adanya jalan tengah yang
tidak merugikan kedua belah pihak.
Setiap orang dalam cara berbicara dan berkelakukan harus
dapat menunjukkan sikap terhadap orang lain sesuai dengan
kedudukan dan derajatnya. Orang wajib mempertahankan dan
membawakan dirinya sesuai dengan tingkatnya dalam masyarakat
(Seseno, 1984). Sikap hormat yang demikian telah ditanamkan sejak
kecil melalui pendidikan dalam keluarga, yang menurut H.Geertz
(1983), pendidikan itu melalui rasa wedi, isin dan sungkan. Anak
dididik untuk takut dan menghormati orang lain dan untuk malu akan
apa yang tidak pantas bagi orang lain. Perasaan malu dapat muncul
dalam setiap situasi sosial (Suseno, 1983).
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis dan hangat. Keadaan
semacam itu disebut “rukun”25. Rukun adalah keadaan ideal yang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
180
diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam
keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan
tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernapaskan semangat
kerukunan26. Rukun berarti tidak menganggu keadaan selaras yang
sudah ada dan menjaga keselarasan, mencegah konflik. Orang rukun,
sehingga dapat hidup damai. Ada perbedaan pendapat, tetapi tidak
sampai menimbulkan konflik. Untuk dapat rukun damai, orang harus
dapat mengendalikan diri dan membawakan diri secara dewasa. Dalam
konteks itu rukun menjadi penting bagi keberhasilan gotong-royong
dan menjadi dasar dari kebiasaan bermusyawarah. Rukun tampak dan
menjadi konkrit dalam keluarga. Setiap anggota keluarga merasa aman,
saling memperhatikan dan membutuhkan.
Menurut Willner (1970), rukun mengandung usaha terus-
menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan
untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan
perselisihan dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah
prañata masyarakat yang menyeluruh, sehingga apa yang dapat
mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat
harus dicegah. Di sinilah Suseno (1984) dan H. Geertz (1983)
menekankan bahwa, rukun adalah usaha mencegah segala tingkah
laku yang dapat menimbulkan konflik terbuka. Dengan rukun orang
menciptakan keadaan masyarakat yang tenang selaras dan terhindar
perselisihan. Orang saling membantu sejauh kemampuannya, baik
dalam kepentingan perorangan maupun kepentingan umum.
Jadi masyarakat tidak menuntut bahwa tidak boleh ada
kepentingan yang bertentangan atau ketidakcocokan antara dua
pribadi. Melainkan yang dituntut kalau perlu melalui tekanan dan
sanksi, dan yang dipikirkan oleh individu sebagai tuntutan kerukunan
adalah tuntutan untuk selalu menguasai tingkah lakunya dan jangan
membiarkan suatu tabrakan terbuka sampai terjadi. Betapa pun
kepentingan dua pihak bertentangan, apa pun dirasakan yang oleh
seseorang atau yang menjadi perhatiannya, masyarakat Jawa menuntut
agar ia selalu dapat mengontrol diri, dapat membawa diri dengan
sopan, tenang dan rukun, pokoknya dapat membawa diri sebagai orang
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
181
yang dewasa. Suatu konfrontasi terbuka dalam bentuk emosional
adalah pandangan yang tidak estetis, membahayakan kehidupan
bersama dalam masyarakat dan oleh karena itu harus dicegah. Suasana
ketentraman sosial tetap harus dipelihara.
Sifat rukun dan hormat terhadap apa dan siapa saja berlaku agar
kehidupan masyarakat dapat mencapai keselarasan. Dalam masyarakat
Jawa (Kudus) orang harus sabar, kerja sama, patuh dan rela berkorban.
Manusia dan lingkungan alam merupakan suatu keutuhan yang
mengandung unsur-unsur dan relasi yang teratur. Terpeliharanya relasi
antara manusia dan lingkungan alam akan menciptakan keadaan yang
selaras, serasi dan seimbang, yang sering disebut sebagai keadaan tata titi tentrem kerta raharja. Menurut H. Geerts (1984), semua unsur yang
ada dalam keadaan keselarasan dan memusat pada konsep rukun dan
hormat dipakai sebagai dasar perilaku hidupnya.
Dalam hal ini yang paling menonjol adalah, kemampuan
seseorang menguasai emosi karena ketaatan spiritual agama yang
dianutnya sehingga dapat terkendali, sekalipun orang dapat juga
berpura-pura yang dapat merugikan diri sendiri, namun kerugian
tersebut tidak pernah dipikirkan dan diperlihatkan kepada orang lain.
Sehingga bila terjadi konflik tidak terlibat, seperti ketika salah satu dari
karabat mempunyai hajat seperti pernikahan, sunatan, mitoni,
melahirkan, terkena musibah sakit, kecelakaan dan meninggal dunia
pasti memunculkan simpati. Pada saat demikian, di antara mereka
seperti tidak ada persoalan apa-apa dan saling memberikan bantuan
kepada yang sedang membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa
panggilan untuk memberikan bantuan kepada kerabatnya yang sedang
mempunyai “hajatan” atau terkena musibah mampu menghilangkan
jarak akibat suatu konflik.
Dalam masyarakat Kudus yang taat kepada spiritual keagamaan
yang dianutnya, memandang agama sebagai sebuah sistem keyakinan,
berisikan ajaran agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha,dan
Hindu) dan petunjuk bagi penganutnya supaya selamat (dari api
neraka) dalam kehidupan setelah mati (Suparlan,1984). Agama selalu
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
182
menjadi pedoman hidup bagi pemeluknya, yang berfungsi sebagai
pendorong, sekaligus penahan, tingkah laku menuju keselamatan.
“Gus” dalam Gus-ji-gang yang berarti berahlak baik merupakan
obyektivitas (kristalisasi) dari pengalaman keagamaan dan kepercayaan
masyarakat Kudus sebagai dasar sikap etisnya baik dalam hidup
beragama maupun bersosial-budaya di masyarakatnya. Dimana agama
(Islam) mengajarkan agar manusia hidup ”pasrah” dan “rela” menerima
apapun pemberian Tuhan. Rela terhadap pemberian Tuhan ditempuh
melalui hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada.
Pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Allah itu dilakukan
dengan ucapan tahmid dan syukur (Aboebakar Atjeh, 1988).
Berdasarkan nilai-nilai hormat dan rukun masyarakat Kudus
memiliki prinsip hidup yang dipegang erat, sadar atau tidak,
masyarakat Kudus senantiasa berpegang pada etika27 hidup sak titahe
yaitu sikap hidup pasrah dan rela menerima apapun pemberian Tuhan.
Etika sak titahe ini menjadi pegangan dan sekaligus panduan nilai sikap
perilaku bagi masyarakat Kudus dalam mengarungi hidupnya, terutama
dalam menjalankan usahanya. Sak titahe dan bukan “fatalis”
(menyerah pada nasib), kalau dikaji secara mendalam lebih mendekati
pada konsep tawakal28 dalam Islam. Sebaliknya orang mbluboh bila
seseorang telah mengaku-ngaku bersikap pasrah namun sesungguhnya
belum pernah melakukan kerja keras atau ikhtiar. Orang Kudus yang
telah bekerja keras, perilaku ulet, rajin dan hemat. Perilaku-perilaku
tersebut merupakan modal dasar dalam berusaha atau
entrepreneurship. Sehingga bukan mustahil apabila pengusaha-
pengusaha Kudus berhasil dalam usahanya.29
Namun, dalam kehidupan pengusaha Kudus melakukan sikap
perilaku sak titahe, akan mendapatkan bathi (untung) yang
berkecukupan. Sebagai rasa syukur atas hasil usahanya yang
membuahkan keuntungan, akan ditampilkan dalam bentuk
penampilan fisik (rumah, pakaian) yang bagus dan mati ora gowo bondo artinya orang meninggal tidak membawa kekayaan. Ini
membuktikan bahwa masyarakat Kudus memiliki spiritual30 atau
kesadaran akan adanya relasi manusia dengan Tuhan, atau sesuatu yang
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
183
dipersepsikan sebagai sosok transenden. Tampak bahwa spiritualitas
masyarakat Kudus merupakan cara pandang mereka terhadap dirinya
tentang kesadaran bertransendensi. Kesadaran ini merupakan proses
formulasi yang dilakukan secara terus-menerus dan mengkristal
menjadi pemahaman bahwa foundation of reality adalah spirit.
Pemahaman tersebut dipertegas sebagai pemahaman keberadaan
maupun pengalaman mengenai adanya kenyataan transenden, yang
oleh Schreurs (2006) dijelaskan sebagai hubungan personal seseorang
terhadap sosok transenden.
Hal ini seperti yang diungkapkan informan kunci Ibu Hj.Sri
Murni‟ah maupun H.Moch Anshori kepada peneliti sebagai berikut:
Ibu Hj.Sri Murni‟ah31 mengungkapkan:
“Injih kawolo ingkang dipun paringi rejeki radi katah kaliah Gusti Allah ketimbang adik-adik kawulo,sakmangkene kulo kedah mikirake adik-adik kawolu supados kiyambake sak keluargane saget gesang sae, ngeh kulo damelaken usaha bordir atawi konveksi, injih pokokipun kulo bantu, sedoyo kesugihan meniko kan mboten dipun betho pejah namun ibadah ingkang kawulo betho” Artinya: ya saya yang diberi rejeki lebih banyak dari Gusti Allah daripada adik-adik saya, seharusnya saya wajib memikirkan adik-adik saya supaya adik saya dan keluarga hidup lebih baik, ya saya buatkan usaha bordir atau konfeksi, ya pokoknya saya bantu, semua kekayaan itu kan tidak dibawa mati tetapi yang dibawa mati hanya ibadah saya.
Begitu juga Bapak H.Moch Anshori32 yang pernah belajar di
salah satu pesantren dan pendiri KSU Padurenan Jaya menyampaikan
bahwa:
“pengusaha itu harus kerja keras, ulet,rajin, dan hemat, hemat ini bukan „pelit‟ tetapi penuh perhitungan setiap pengeluaran dan penerimaan, namun kalau pengeluaran untuk ibadah seperti zakat, shodakoh tetap saya lakukan, karena semua rejeki yang saya terima berasal dari „sangkan paran‟ (berasal dari Allah yang diberikan dari arah manapun), namun saya tetap menjaga agar rejeki yang
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
184
didapat memperoleh ridhaning gusti Allah (keiklasan dari Tuhan). Dan ini sangat barokhah”
Demikian pula informan yang lain Bapak H.Hasan,33 pengusaha
bordir berusia 31 tahun lulusan SMA yang memulai usaha bordir tahun
2006 mengungkapkan kepada peneliti tentang perilaku kesadaran
keagamaannya selalu berbuat baik kepada sesama, sebagai berikut:
“Saya mengawali usaha bordir sebagai buruh bordir, aktif dalam kegiatan di Masjid, sholat 5 (lima) waktu tidak pernah saya tinggalkan dan menjalankan puasa Senin-Kamis. Sebagai pengusaha bordir saya mengutamakan kejujuran, jejaring dan harus ramah, supel kepada semua orang. Pernah saya dizalimi orang seperti piutang tidak dibayar setelah pesan bordir, semuanya saya kembalikan kepada Allah pasti akan mendapat ganti rejeki yang lain, buktinya sampai sekarang usaha bordir saya masih berjalan dan masih bisa menghidupi keluarga”.
Nilai-nilai Ji “Pintar Mengaji” sebagai Kekuatan Bisnis
Seperti diketahui “Ji‟ pada awalnya memiliki makna kaji,
ukuran kesolehan beragama bagi masyarakat Kudus adalah “kaji” atau
“berhaji” yaitu menunaikan rukun iman yang terakhir, setelah tahap
sebelumnya telah melaksanakan syahadat, sholat, puasa dan zakat.
Orang Islam yang telah menunaikan haji ke Mekah dengan biaya yang
tidak sedikit merupakan simbol status sosial yang tinggi. Menjadi “kaji”
atau ”haji” berarti orang itu sudah menjadi penganut agama Islam yang
sempurna dan menjadi idaman bagi setiap masyarakat Kudus. Ini yang
menjadi penyebab mengapa jumlah jema‟ah haji Kudus setiap tahunnya
ada kecenderungan mengalami peningkatan. Seperti yang diungkapkan
Ibu Hj Sri Murni‟ah34 kepada peneliti berikut ini:
“kawulo lan semah sampun ngidul “ ke Mekah” kangge sangu sakmangkene menawi dipun timbali Gusti Allah sampun siap,lan supados gesang kawulo dipun paringi barokah” Artinya: saya dan suami sudah pergi ke arah barat “ke Mekah” buat tabungan kalau dipanggil Gusti Allah sudah siap dan supaya hidup saya diberi barokah).
Kemudian Bapak H.Moch Anshori35 menambahkan bahwa:
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
185
“Naik haji itu kewajiban setiap muslim yang telah melaksanakan syahadat, shalat, puasa dan zakat, dan saya sangat bersyukur telah melaksanakan pada 5 tahun yang lalu dan ingin berangkat haji lagi bersama anak-anak, sebab kalau sudah berhaji itu seseorang akan lebih baik perilakunya tambah bersyukur, sabar, jujur, hati-hati dalam bertutur kata, dan dampaknya dalam berbisnis semakin dipercaya”.
Namun dalam perkembangan jaman makna dari “Ji” mulai
bergeser tidak berati “kaji” naik haji pergi haji merupakan bentuk
pengamalan rukun Islam tetapi memiliki arti rajin mengaji atau lebih
populer dengan sebutan santri36. Karakter santri bagi struktur hierarki
sosial masyarakat Kudus Kulon sebagai dasar bagi pembangunan rumah
tangga yang berorientasi ketaatan pada syari‟at Islam. Namun seiring
perkembangan zaman perilaku Ji “Ngaji” berarti belajar37. Ngangsu kawruh (bahasa Jawa) atau learning bukan berarti membaca,
mempelajari dan menelaah kitab suci Al Quran saja, tapi merupakan
amal yang mengarah pada kemuliaan hidup di akhirat dan ngaji
menyiratkan keutamaan seorang muslim dalam mempelajri ilmu
pengetahuan. Istilah ngaji dalam legenda ketokohan Sunan Kudus atau
Raden Dja‟far Shadiq merupakan suatu hal yang istimewa. Sunan
Kudus di kalangan Walisanga dikenal sebagai wali yang sangat pintar.
Gelar ini menunjukkan geliat keilmuan yang telah lama terpancangkan
di Kudus. Para kyai/ulama tidak sekedar sebagai sumber keilmuan
Islam tetapi sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang ada
terkait masalah individu, keluarga maupun sosial kemasyarakatan,
sehingga terbangun hubungan patron-clieant dan kondisi ini diperkuat
dengan karakter masyarakat Kudus yang paternalistik.
Dalam pencarian ilmu, masyarakat Kudus Kulon atau
masyarakat ngisor menara yang kemudian berkembang ke seluruh
masyarakat Kudus melakukan kegiatan ngaji untuk nenambah ilmu,
sehingga dengan bersikap terbuka akan memperluas peluang
memperoleh ilmu tersebut. Karena itu, mereka belajar kepada siapa
saja jika diniatkan untuk mencari ilmu (tawajuhan). Bentuk kegiatan
individual masyarakat Kudus pada umumnya adalah mengikuti
pengajian dan mendatangi guru-mursyid atau wakilnya yang dilakukan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
186
setiap hari Jumat38 atau malam hari (setelah sholat Isya) setelah
kegiatan mencari nafkah (bekerja) dilakukan siang hari, dengan tujuan
untuk menambah pengetahuan dan memperoleh berkah, selain itu
mereka umumnya juga melakukan berbagai amalan tertentu di rumah
mereka masing-masing seperti yang disarankan oleh guru-mursyidnya.
Mengamati kegiatan keagamaan di daerah penelitian, setiap ada
kegiatan pengajian yang diisi oleh seorang kyai atau ustad di masjid-
masjid atau di mana saja pengajian diadakan, masyarakat Desa
Padurenan berbondong-bondong mengikuti pengajian. Bila peserta
pengajian ditanya, mengapa mereka mengikuti pengajian itu, selalu
dijawab dengan ungkapan “kanggo sangu mati”, untuk bekal nanti
kalau meninggal. Bahkan kadang-kadang apa yang disampaikan para
kyai atau ustad mereka tidak penting, yang paling penting dengan
mengikuti pengajian ia akan mendapatkan pahala. Semakin banyak
pahala yang mereka kumpulkan akan semakin besar kemungkinan
kalau meninggal akan hidup bahagia “munggah suwargo” atau naik ke
surga.
Bapak H.Noor Kholid,39 pengusaha bordir lulusan SMP,
mengungkapkan keikutsertaannya setiap ada pengajian pada hari
Kamis malam Jumat di Masjid Desa Padurenan, bahkan kadang-kadang
kalau kegiatan usaha bordir bisa ditinggal sebentar akan mengikuti
pengajian di daerah lain, katanya: “supaya dapat barokah dan “kanggo sangu mati” untuk bekal nanti kalau meninggal”.
Demikian pula Ibu Mirah40 menjawab pertanyaan mengapa
sering ikut pengajian, katanya: “kanggo nebus dosa”, untuk nebus dosa
suami yang sedang sakit dan supaya dapat barokah dalam berusaha”.
Lain halnya Bapak H. Moch Anshori41 yang mengikuti pengajian
dengan jawaban: “mengikuti pengajian supaya dapat ilmu keagaman
yang benar, supaya jalan hidupnya benar sehingga usaha yang
dilakukan selalu mendapat barokah”. Demikian pula informan yang
lain mengungkapkan kepada peneliti mengenai kegiatan “ngaji” sebagai
kegiatan rutin yang dilakukan sendiri, biasanya setelah menyelesaikan
sholat Magrib mereka secara rutin “ngaji” Al Qur‟an dan juga selalu
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
187
mengikuti pengajian-pengajian di masjid atau pengajian yang diadakan
masyarakat, tetapi ada yang tidak bisa mengikuti acara pengajian
dikarenakan harus menyelesaikan pesanan bordir, seperti Bapak
Rosyadi42 yang menyatakan kepada peneliti sebagai berikut:
“saya tidak pernah meninggalkan membaca Al Qur‟an setelah sholat Magrib, tetapi kalau mengikuti pengajian yang diadakan di Masjid atau yang diadakan masyarakat, saya kadang-kadang hadir, kadang-kadang tidak hadir, kalau pekerjaan bordir cukup banyak dan waktunya sangat sibuk karena pesanan harus selesai segera, saya tidak hadir pengajian dan bila waktu pekerjaan agak longgar pasti saya mengikuti pengajian tersebut”.
Dalam kehidupan pengusaha bordir, proses belajar tidak hanya
bagi para pengusaha dalam mencari ilmu keagamaan melalui kegiatan
pengajian, tetapi proses pembelajaran juga dilakukan para pengusaha
bordir terhadap anak-anaknya maupun para pekerja dalam
memberikan pengarahan proses membuat bordir yang baik, berkualitas
dan benar.
Seperti Ibu H.Sri Murni‟ah43 yang menjelaskan kepada peneliti,
ia bisa membordir dan bisnis bordir belajar dari orang tuanya dan
sekarang anak-anaknya dilatihnya berbisnis bordir, katanya:
“kawolu rumiyen saget jahit damel bordir, injih saking sinau dateng tiyang sepuh kawulo, ugi saget usaha bordir injih sinau saking tiyang sepuh, lha lare-lare kawulo ajari damel bordir lan sakmeniko sampun saget damel bordir engkang sae lan sampun sanget wakili kawulo melayani menawi wonten tiyang ingkang pesan bordir lan wadhe bordir”
Artinya: saya dahulu bisa menjahit membuat bordir, ya belajar dari orang tua, juga bisa usaha bordir ya belajar dari orang tua.Lha sekarang anak-anak saya ajari membuat bordir dan sekarang sudah bisa membuat bordir yang baik dan sudah bisa mewakili saya melayani kalau ada orang pesan bordir dan jual bordir.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
188
Ibu Nurul Hikmah44 pengusaha bordir lulusan SMK jurusan
Tata Busana menjelaskan kepada peneliti dalam memberikan
pembelajaran bordir kepada karyawannya terungkap:
“karyawan saya, rata-rata lulusan SD dan SMP yang terpenting sudah bisa menjahit, dan saya ajarkan membordir dan mengkombinasikan warna benang sampai mereka pintar bordir sendiri, juga saya latih bagaimana cara “membatil”, merapikan bordir dengan menggunting benang yang tidak beraturan atau dengan alat soldir listrik untuk melubangi motif bordir dan itu saya lakukan dengan sabar dan telaten”.
Sedangkan Bapak Achsanudin Ismanto45, Sekretaris Kantor
Kelurahan/Desa Padurenan dan juga pengurus KSU Padurenan Jawa
yang diwancarai peneliti di Kantor KSU Padurenan mengatakan
sebagai berikut:
“Proses pembelajaran para pengusaha dan pekerja bordir di lingkungan Desa Padurenan sering dilakukan kegiatan pelatihan oleh KSU Padurenan Jaya bekerja sama dengan Dinas terkait (Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM ) di Kabupaten Kudus, misalnya pelatihan membuat disain bordir, belajar menjalankan mesin bordir computer, tehnik-teknik dasar bordir dan lanjutan, sampai model pemasaran bordir, kita lakukan setiap tahun 2 kali, sehingga diharapkan kemampuan membordir semakin meningkat dan dapat menjaga keberlanjutan usaha bordir”.
Namun bagi pengusaha IKBK bordir non Muslim, seperti yang
diungkapkan informan Bapak Siswanto46, usia 39 tahun beragama
Katolik, pendidikan SMA serta memilki 2 anak yang masih sekolah di
SMP dan SD, dan mulai berusaha bordir sejak tahun 2000, yang tadinya
hanya sebagai karyawan bordir dan kemudian setelah menikah
mencoba membuka usaha bordir sendiri, saat ditanya peneliti
mengenai Gus-ji-gang ia menjelaskan sebagai berikut:
“Saya mengerti istilah „Gus-ji-gang” dari pertemuan pengusaha bordir dan konveksi dalam rangka pelatihan yang diselengarkan oleh KSU Padurenan Jaya, namun saya dalam kehidupan saya, saya hanya melakukan “gus‟ berperilaku baik sesuai dengan ajaran agama saya, itu untuk semua orang harus berperilaku baik dan “gang” karena mata pencaharian
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
189
saya berdagang sebagai pengusaha bordir, sedangkan “ji‟ saya tidak ikut pengajian maupun naik haji karena saya Katholik tetapi mencari ilmu saya lakukan seperti mengikuti pelatihan bordir”.
Selanjutnya Bapak Siswanto menjelaskan:
”setiap hari Jum‟at usaha bordir tutup sampai jam 11.00 pagi karena karyawan melaksanakan sholat Jum‟at dan jam 14.00 mulai kerja lagi, namun ada karyawan yang setiap hari Jum‟at minta libur, yah kalau saya ikuti sajalah kebiasaan dan keinginan para karyawan di Desa Padurenan ini, yang penting usaha tetap jalan dan kalau hari Minggu usaha tutup karena saya harus ke Gereja tetapi kalau ada pesanan pas hari Minggu, ya tetap saya terima tetapi setelah selesai dari kegiatan kebaktian di Gereja”.
Mencermati berbagai penjelasan tersebut, maka pola keutamaan
ji “pintar mengaji” atau mencari ilmu dalam Gus-ji-gang meng-
implikasikan tiga cara bersikap sebagai proses dalam pembelajaran
(learning). Pertama, cara bersikap kritis dan kreatif dengan kedalaman
maksudnya sebagai kegiatan bermakna spiritual sebagai makna
internalnya. Kedua, cara bersikap momong (ngemong) dan mawas diri
atau tahu diri sama dengan bersikap eling. Ketiga, cara bersikap
pertama dan kedua tersebut sebagai satu kesatuan sikap integrasi dan
keutamaan sepi ing pamrih dengan kekuatan moral aja mitunani wong liya (jangan merugikan orang lain) di muka. Tiga cara bersikap tersebut
sekaligus sebagai dorongan batin47 atau spiritual untuk terus
bersemangat melakukan pembaharuan terhadap nilai-nilai moral
budaya Jawa dengan tata kramanya hormat dan rukun. Maksudnya
bersemangat melakukan pembaharuan yaitu, bersemangat agar
melakukan transformasi sosial48(transformasi kesadaran) atau terjadi
proses internalisasi terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa dengan tata
kramanya hormat dan rukun sebagai cara bersikap kekeluargaan dan
kegotong-royongan yang baru (modern) dengan nilai-nilai eksistensi
manusiawi yang transendental. Nilai-nilai tersebut diobyektifikasikan
dengan tindakan moral yang sesuai, baik dengan sikap pluralisme modern juga bagi realitas sosial Jawa.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
190
Berdasarkan pemahaman tiga cara bersikap sebagai dorongan
batin untuk melakukan transformasi sosial pada ji dalam rangka
membangun spiritual Gus-ji-gang tersebut, maka pola keutamaannya
sebagai proses pembelajaran merupakan satu kesatuan dengan hal-hal
yang transendental, yang mampu mengembangkan kesadaran internal
(internalisasi) akhirnya mampu menggerakkan etos dagang
(eksternalitas) dan ini sebagai dasar social capital masyarakat Kudus
dalam mengembangkan usaha bisnisnya.
Nilai-nilai Gang ”Pintar Berdagang” sebagai Kekuatan Profesi Bisnis
Istilah “Gang” artinya terampil berdagang. Keterampilan
berdagang ini ditonjolkan karena tidak lepas dari pilihan mata
pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang.
Karena spirit dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam maka profesi
dagang yang diinginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana
Sunan Kudus juga seorang wali saudagar49 dan Nabi Muhamad SAW
juga seorang pedagang pada masanya. Spirit Sunan Kudus sebagai
saudagar yang dalam menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan
kaidah-kaidah Islam (Teguh Sunardi, 2009: 4) terdiri dari hukum
primer (al-Qur‟an dan as-Sunnah)50 dan hukum sekunder (Ijma‟, Ijtihad
dan Qiyas)51yang dalam banyak hal diorientasikan untuk kepentingan
dakwah sehingga keuntungan berdagang digunakan untuk
memperindah Masjid Al Aqsha Kudus dan Menara Kudus dengan
diberikan ornamen keramik dari berbagai negara sebagai petanda telah
terjadi hubungan perdagangan antar-negara dalam rangka mencapai
kemakmuran dan pentingnya pembangunan kekuatan ekonomi.
Informan kunci Bapak H. Moch Anhori dan Ibu Hj. Sri
Murni‟ah yang aktif dalam kegiatan pada perkumpulan Haji
menyampaikan kepada peneliti mengenai dagang yang didasari
kepribadian „gus‟ dan „ji‟ dalam Gus-ji-gang sebagai berikut:
Bapak H.Moch Anshori mengatakan52:
“tujuan bisnis bordir adalah mewujudkan keseimbangan dunia dan akherat. Kebutuhan dunia, saya bekerja keras dalam usaha bordir dengan melakukan berbagai inovasi
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
191
disain bordir, menawarkan hasil bordir ke berbagai daerah, mencari bahan baku yang sesuai, ini semua dalam rangka mencari rejeki untuk kebutuhan keluarga, tetapi di satu sisi saya melakukan kegiatan ibadah sholat, puasa, berzakat dan mengikuti berbagai pengajian. Ini harus imbang, kalau hanya mencari rejeki saja tanpa ibadah, maka rasanya akan kosong, dan hanya ibadah saja bisnis bordir bisa berhenti dan keluarga tidak makan”.
Sedangkan, Ibu Hj. Sri Muni‟ah53 mengatakan kepada peneliti
sebagai berikut:
“menawi tasih bisnis ngih bisnis, namun wedal ibadah ngih ibadah, kedah kalih-kalih ipun dilampahi sedoyo, injih supados rejekinipun pikantuk barokah kangge keluargo”
Artinya: masih menjalankan bisnis ya bisnis, namun waktu ibadah ya ibadah, harus dua-duanya dijalankan semua, supaya rejekinya dapat barokhah buat keluarga).
Pada umumnya, tidak seorang pengusaha yang mau
menyebutkan berapa jumlah penghasilan yang mereka peroleh.
Mereka hanya menjawab: “rejeki itu yang penting bukan jumlahnya, tetapi barokhahnya, sehingga tidak perlu dihitung-hitung”. Sebagian
yang lain mengatakan bahwa mereka tidak bisa memperhitungkan
hasil yang dicapai karena penghasilan itu terus diputar-putar dan
mengalami pasang surut terus-menerus. Kadang-kadang untung
banyak, tetapi keuntungan itu dapat habis seketika untuk menutup
kerugian yang telah dialami sebelumnya. Kadang-kadang untung
sedikit tetapi bisa menyisihkan untuk membeli barang-barang, begitu
seterusnya. Perhitungan penghasilan mereka pada umumnya hanya
berdasarkan perkiraan sesuai keuntungan normal tetapi pelanggan dan
saudara bertambah banyak, ya tidak apa-apa buat kami, ya seperti
istilah tuna satak bati sanak.
Sebagaimana sering mendengar ungkapan tuna satak bathi sanak dalam pergaulan para pengusaha/bakul (pedagang) termasuk
yang disampaikan informan penelitian yang artinya, walau rugi uang
asal untung saudara. Ungkapan ini sering ditemukan dalam pergaulan
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
192
para pedagang (bakul) ini yang menunjukkan bahwa kebahagiaan
seorang pedagang tidak diukur dengan keuntungan berupa uang. Bagi
pedagang mendapatkan saudara atau pelanggan dalam berusaha pun
dihitungnya sebagai keuntungan ”bathi”. Oleh karena itu seorang
pengusaha bordir rela menjual hasil produksinya dengan harga sedikit
lebih rendah dari penawarannya demi menjalin hubungan dengan
orang lain, yaitu pembeli.
Spirit dalam filosofi Gus-ji-gang yang mewarnai perilaku
kegiatan ekonomi (dagang) sesuai dengan filosofi budaya Jawa dan
ajaran agama Islam didasarkan pada 4 (empat) nilai utama yaitu
Ilahiyah, akhlak, kemanusiaan, dan pertengahan serta keseimbangan
(Teguh Suhardi, 2009). Pertama, Ekonomi Ilahiyah, karena titik
berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah dan cara-
caranya tidak bertentangan dengan syari‟at-Nya. Kegiatan ekonomi,
baik produksi, konsumsi, pertukaran, dan distribusi, diikatkan pada
prinsip ilahiyah dan tujuan ilahiyah artinya ekonomi menurut
pandangan Islam bukanlah tujuan, tetapi merupakan kebutuhan dan
sarana yang lazim bagi manusia agar dapat bertahan hidup dan bekerja
untuk mencapai tujuannya yang tinggi. Kedua, ekonomi akhlak, karena
akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islami. Islam sama sekali
tidak mengizinkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan
ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan
agama. Ketiga, ekonomi kemanusiaan, adalah ekonomi yang
berwawasan kemanusiaan, karena menghargai kemanusiaan adalah
bagian prinsip ilahiyah yang memuliakan manusia dan menjadikan
sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini. Keempat, ekonomi
pertengahan, artinya ekonomi Islam adalah ekonomi yang berlandasan
pada prinsip pertengahan dan keseimbangan yang adil yaitu
keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan
masyarakat maupun keseimbangan di segala bidang. Tanda Sunan
Kudus sebagai wali saudagar telah melahirkan tanda paradigmatik
masyarakat santri Kudus yang berdagang/saudagar.
Bagi masyarakat Kudus bila mendapatkan rejeki yang
berlimpah dari Allah selalu disyukuri. Sebagai wujud rasa syukur atas
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
193
hasil usahanya yang membuahkan penghasilan yang banyak, akan
ditampilkan dalam bentuk penampilan fisik yang bagus ”maliter, cah”
kata orang Kudus. Gaya maliter menjadi pandangan negatif bila hanya
untuk pamer kekayaan, tetapi bergaya maliter akan dihormati bila
maliter sebagai rasa syukur atas keberhasilannya sehingga muncul
istilah mati ora gowo bondho. Namun lebih dari itu, masyarakat Kudus
punya filosofi sak titahe sebagai pegangan hidup. Sehingga mereka
yang bergaya “maliter” mengungkapkan bahwa “maliter yah lah, ning urip kuwi mung sa titahe”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Gus-ji-gang merupakan pemaknaan “gus”, “ji” dan “gang” adalah
holistik dan koherensi, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Artinya perilaku masyarakat Kudus dalam melakukan Gus-ji-gang bisa
dimulai dari kegiatan ”gang” pintar dagang supaya dapat memenuhi
kebutuhan fisik/duniawi yang didasarkan pada kehidupan “gus‟ dan “ji”
artinya bahwa perilaku dagang masyarakat Kudus, khususnya
komunitas pengusaha IKBK bordir Kudus di dalam melakukan dagang
selalu didasarkan pada nilai-nilai “gus” yang menekankan nilai-nilai
hubungan sosial yang bagus dan “ji” didasarkan pada nilai-nilai
spiritual atau nilai-nilai Ketuhanan.
Demikian pula melakukan perilaku nilai-nilai Gus-ji-gang
dimulai dari “gus” dan “ji” yaitu dengan menumbuhkan kesadaran diri
dengan berperilaku “bagus” dan “menunaikan ibadah haji dan pintar
ngaji” agar terbangun kekuatan spiritualitas yang justru memegang
peranan penting dalam memenuhi seluruh kebutuhan melalui kegiatan
ekonomi misalnya berdagang, membutuhkan sikap jujur, dipercaya,
hubungan timbal balik yang baik, besyukur. Jadi berdasarkan filosofi
Gus-ji-gang, perilaku dagang masyarakat Kudus didasari oleh perilaku
“gus” yaitu perilaku yang bagus dan “ji” ngaji sebagai sumber ilmu yang
dapat mempengaruhi perilaku pribadi masyarakat Kudus dalam
menjalankan kegiatan ekonomi atau berdagang. Artinya dengan
kesadaran diri yang dibangun masyarakat Kudus melalui kristalisasi
“gus” dan “ji” secara terus-menerus yang akhirnya sebagai habitus atau
kebiasaan budaya, justru memegang peranan penting dalam memenuhi
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
194
seluruh kebutuhan yang ada melalui kegiatan perdagangan industri
bordir.
Pembagian Waktu antara Berdagang dan Beribadah
Dalam memanfaatkan waktu yang ada disamping untuk
kegiatan ekonomi juga digunakan untuk kepentingan ibadah sehingga
kehidupan ekonomi akan lebih sehat dan seimbang. Hal itu bisa dilihat
secara empiris dalam kehidupan masyarakat Kudus. Kehidupan
mencari nafkah dan kegiatan keagamaan masyarakat Kudus, sejalan
dengan pemikiran Max Weber (1958) yaitu ada keterpaduan antara
nilai agama dengan ekonomi. Demikian juga pemikiran Geertz (1989)
bahwa, agama merupakan sistem kebudayaan54. Dalam hal ini agama
merupakan pedoman yang dijadikan kerangka interpretasi tindakan
manusia. Selain itu, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu
sesuatu yang hidup pada diri manusia yang tampak dalam kehidupan
kesehariannya.
Kecenderungan untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan
material adalah ”pembawaan naluriah” dan bagian dari sisi emosi
manusia. Dalam hubungan ini, Weber memperlihatkan suatu sikap
tentang perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya
dengan konsep ”semangat kapitalisme”. Menurut Gerdon Marshall
(1982), untuk menunjukkan manusia sebagai “homo economicus”,
Weber mengatakan bahwa tujuan dalam hidup untuk mendapatkan
kemakmuran dan kekayaan, maka untuk mencapai tujuan ini seseorang
mesti ingat “waktu adalah uang”, hemat dalam pemakaian uang, tidak
memboroskannya pada hal-hal yang tidak perlu dan tidak dipakai
untuk hidup bermalas-malasan serta mencari kesenangan yang bersifat
sementara, melainkan sedikit demi sedikit ditabung dan dijadikan
kapital yang tentu akan menghasilkan keuntungan yang berlipat.
Berdasarkan wawancara dengan informan kunci Bapak H.Moch
Anhori55 dan Ibu Hj Sri Murni‟ah56 yang aktif dalam kegiatan
perkumpulan Haji maupun kumpulan pengajian di desa, mengenai
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
195
bagaimana membagi waktu yang ada untuk ibadah dan bisnis, adalah
sebagai berikut:
Bapak H. Moch Anshori menyatakan bahwa:
“tujuan bisnis bordir adalah mewujudkan keseimbangan dunia dan akherat. Kebutuhan dunia, saya bekerja keras dalam usaha bordir dengan melakukan berbagai inovasi disain bordir, menawarkan hasil bordir ke berbagai daerah, mencari bahan baku yang sesuai, ini semua dalam rangka mencari rejeki untuk kebutuhan keluarga, tetapi di satu sisi saya melakukan kegiatan ibadah sholat, puasa, sedekah, zakat dan mengikuti berbagai pengajian. Ini harus imbang, kalau hanya mencari rejeki saja tanpa ibadah, maka rasanya hati kita akan kosong, dan hanya ibadah saja bisnis bordir bisa berhenti dan keluarga tidak makan”.
Sedangkan Ibu Hj.Sri Muni‟ah mengatakan:
“menawi tasih bisnis ngih bisnis, namun wedal ibadah ngih ibadah, kedah kalih-kalih ipun dilampahi sedoyo, injih supados rejekinipun pikantuk barokah kangge keluargo” Artinya: masih menjalankan bisnis ya bisnis, namun waktu ibadah ya ibadah, harus dua-duanya dijalankan semua, supaya rejekinya dapat barokhah buat keluarga).
Lain halnya pendapat Ibu Islahiyah57 yang diungkapkan kepada
peneliti:
”waktu sangat berharga sekali buat saya, ya untuk bisnis dan untuk melakukan ibadah menjalankan sholat atau untuk urusan domistik rumah tangga, makanya dengan waktu yang terbatas kita harus bekerja keras, apalagi pesanan cukup banyak, sehingga harus membagi waktu sebaik mungkin supaya pelanggan jangan kecewa. Usaha bordir saya ini, yang kebanyakan pesanan bodir dari para pejabat atau pimpinan di kota Kudus atau kota Semarang, itulah sebabnya saya tetap terjun sendiri dan tidak saya lepas ke karyawan tetapi tetap dalam pengawasan langsung saya dan saya tidak mau, hasilnya tidak berkualitas. Sebab harga produk bordir saya lumayan mahal, tetapi kalau yang koden yang harganya di bawah Rp.300.000, - pengawasan produksinya saya serahkan anak-anak saya supaya belajar”
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
196
Apa yang diungkapkan ketiga informan, kalau meminjam
pemikiran Weber (1958), sudah sepantasnya kalau mereka tidak
membuang-buang waktu dan bersenang-senang, melainkan harus
bertekun dalam berbagai karya. Tentu saja dengan maksud untuk
meningkatkan kebesaran Tuhan sekaligus mengikuti kehendak-Nya.
Baxter (dalam Weber, 1958) menganjurkan setiap orang Kristen
“bekerja keras dalam panggilannya”. Akan tetapi yang sangat penting
adalah supaya “kerja” dipandang sebagai tujuan hidup seperti
dikehendaki Tuhan dan orang yang tidak punya keinginan untuk
bekerja adalah sebagai isyarat bagi tidak adanya anugerah Tuhan
kepada diri seseorang.
Calvinisme (Weber, 1958) telah menyumbangkan sesuatu yang
positif dalam mengembangkan asketik, yaitu tentang perlunya
pembuktian kepercayaan seseorang dalam aktivitas duniawi. Dengan
kenyataan yang terlihat dalam perilaku orang-orang Calivinis, dapat
dikatakan doktrin mereka tentang anugerah secara psikologis telah
mendukung sikap sistemik untuk melakukan rasionalisasi kehidupan
secara metodik. Pandangan asketisme duniawi Protestan sangat
menentang kesenangan yang bersifat spontan, menentang pemakaian
kekayaan yang bersifat irrasional serta menentang sikap tidak jujur dan
tamak untuk mendapatkan kekayaan karena sikap demikian dianggap
telah keluar dari panggilan Tuhan, yang Menurut Weber (1958), hal
itu disebabkan karena mereka bersandar kepada dasar-dasar ekonomi
yang tidak sehat, lebih mementingkan hidup bermewah-mewah
daripada hidup sederhana. Pengikut Calvinis dalam menghadapi
panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis,
positif dan aktif. Sifat-sifat yang dikutip Weber ( Sudrajat,1994) sebagai
ciri–ciri orang Protestan yaitu tanggung jawab langsung kepada Tuhan,
kejujuran dalam perbuatan, kerja keras, sifat hemat, pembagian waktu
secara metodik dalam kehidupan sehari-hari, kalkulasi perdagangan
yang rasional, semuanya ditentukan juga di dalam etika Islam.
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
197
CATATAN-CATATAN KAKI
1 Karel A Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kaca Mata Barat, (Yogyakarta: t.p.,1987), hlm.31.
2 Ajat Sudrajat, Etika Protestam dan Kapitalisme Barat: Relavansinya dengan agama Indonesia”.Jakarta:Bumi Aksara.1994), hlm.112)
3 Menurut R.Ng.Poebatjaraka, di seluruh tanah Jawa hanya ada satu tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab yaitu “Al Qudus” yang berarti “Suci”. Baca, Agus Salim,H, “Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia”.Jakarta,1941.
4 Solichin Salam.1986. “Ja‟far Shadiq Sunan Kudus” Menara Kudus.hal 12.
5 Muljana, Slamet.2005. “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya negara-negara Islam di Nusantara”. PT LKIS Pelangi Aksara, hal 52.ISBN 9798451163.
6 Solichin Salam.1986. “Ja‟far Shadiq Sunan Kudus” Menara Kudus.hal 12
7 Tharekat berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara khusus, tharekat diartikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa dan bertindak melalui tahap-tahap berkesinambungan ke arah pengalaman tertinggi yaitu hakekat. Dalam tharekat terdapat guru yang disebut mursyid, yang berfungsi sebagai pembimbing,pemimpin sekaligus menjadi tokoh sentral bagi penganutnya yang disebut murid. Selanjutnya untuk dibaca,Radjasa Mu‟tasim & Abdul Munir Mulkhan. “Bisnis Kaum Sufi, Studi Tarekat dalam Masyaraakat Sufi”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 1998. hlm 3.
8 Etos adalah sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moral. Mengingat sikap moralnya itu sebagai sikap kehendaknya, maka tuntutan peningkatan etos secara implisit memuat tuduhan bahwa nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan atau sebagai budayanya, mengandung kehendak kurang baik. Karenanya, pihak yang menuntut etos tahu bagaimana orang lain harus bersikap supaya menjadi manusia baik. Baca. Frans Magnis Suseno, “Berfilsafat dari…”, op cit.,hlm 1-27.
9 Sunan Kudus yang saudagar atau pengusaha ulet ini didukung dengan jejak sejarah Sunan Kudus yang dalam menjalankan misi dakwahnya tidak lepas dari jaringan lokal maupun global dalam dunia saudagar. Berdasarkan teori masuknya Islam ke Nusantara dari India, Persia atau Arab dengan kontak perdagangan meskipun akhirnya memperluas untuk urusan dakwah Islam. Lihat Nur Said.”Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa„, (Bandung: Brillian Media Utama, 2010), hlm 38-39.
10 Wawancara dengan Ibu Hj. Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014.
11 Wawancara dengan Ibu Nurul Hikmah tanggal 12 Oktober 2014.
12 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014.
13 Wawancara dengan Bapak H. Hasan tanggal 27 September 2014.
14 Wawancara dengan Bapak H. Moch Anshori 14 Oktober 2014.
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
198
15 Disamping predikat“waliyyul ilmy dan wali saudagar”, Sunan Kudus memiliki citra yang menonjol, yaitu sebagai (a)sosok pluralis dan multikultural, (b) filosof, (3) negarawan yang patriotis, (d) pujangga, (e) pemimpin yang merakyat, (f) ahli tasawuf (esoteris), (g) seniman dan arsitek handal. Lihat.Nur Said. Jejak Perjuangan Sunan Kudus dalam Membangun Karakter Bangsa, (Bandung; Brillian Media Utama, 2010) hal 35-47
16 Hasyim Asy‟ari.2003.”Wong Kudus:Bersikap Sak Titahe, Bergaya Meliter”, Suara Merdeka,23 Juli.
17 Wawancara dengan Dr.Abdul Jalil.M.Ei tanggal 7 Februari 2015.
18 Penampilan maliter itu identik dengan pakaian yang bagus,kendaraan yang mulus, dan rumah yang bagus, tentu saja bergaya hidup maliter akhirnya juga harus mengikuti perkembangan mode. Bergaya maliter akan menjadi pantangan dan disorot secara tajam, manakala gaya maliter itu hanya pamer kekayaan. Sebaliknya, bergaya maliter akan dihormati bila sebagai salah satu simbol mensyukuri nikmat atas keberhasilan, dan ini merupakan bagus dalam kategori Gus-ji-gang. Abdul Jalil. Spritual Entrepreneurship:Tranformasi Spiritual Kewirausahaan. (PT.LkiS Printing Cemerlang, 2013). hal.141-142.
19 Prima facie, artinya sejauh tidak ada pertimbangan tambahan yang menurut penilaian khusus, dalam hal ini berati bersikap tahu diri atau eling ini mengimplikasikan maksud, menyadari (dalam rasa) sebagai warga ekosistem bumi, sebagai bagian masyarakat dan alam maka tidak merusak melainkan memperindah dan atau menjaga keselamatannya. Franz Magnis Suiseno,”Etika Dasar…,op cit., hal.136. Lihat juga Franz Magnis Suseno,”Kuasa…,op.cit, hal.168.
20 Keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya, Lihat Hildred Greertz,”The Javanese Family,A Study of Kinship and Socialization” (The free Press of Glencoe,1961), hal.147.
21Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah, dan sebagainya.Isin dan sikap hormat merupakan suatu kesatuan.Sungkan adalah malu dalam arti yang lebih positif. Berbeda dengan rasa isin, perasaan sungkan bukanlah suatu rasa yang mesti dicegah.Sungkan bisa diggambarkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, atau sebagai “pengakuan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Hilderd Geertz, Keluarga Jawa; Terjemahan dari : “The Javanese Family a Study of Kinship and Socialization‟ (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm.113-117.
22 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 13 Oktober 2014
23 Wawancara wawancara dengan Bapak H. Hasan19 Oktober 2014
24 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 13 Oktober 2014
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
199
25 Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”,” tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Lihat Niels Murder, “Mysticism and Everyday Life in Comtenporary Java Cultural Persistence and Change”. Singapore;Singapore University Press,1978).hlm.39.
26 Segi ini ditekankan oleh H.Geertz (1976. pp.47,53,147), Willner (1970;268).
27 Etika di sini dimaknai sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Lihat Franz Magnis Suseno,Etika Dasar….,op.,cit.hlm.37
28 Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah setelah melakukan usaha keras. Jadi, sikap pasrah itu syaratnya, yaitu baru dilakukan setelah terlebih dahulu berusaha secara keras. Bukan sebaliknya, tidak pernah berusaha keras, namun pasrah. Wawancara dengan Prof. Akdullah Kelib, SH. tanggal 5 Desember 2014.
29 Masyhuri, 2001. “Tradisi Ekonomi Santri Masyarakat Kudus dalam Era Otonomi dan Globalisasi”, makalah pada Seminar ”Tradisi Ekonomi Masyarakat Kudus:Antara Otonomi Daerah dan Globalisasi”,diselenggarakan oleh Yayasan Masjid dan Menara Kudus (YM3SK) dan Central Riset dan Manajemen Informasi (Cermin,Kudus,31 Maret 2001.
30 Spiritual terdiri dari hal-hal sebagai berikut: (a) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui/tidak pasti; (b) Bertujuan menemukan arti dan tujuan hidup; (c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dari dalam diri sendiri; dan (d) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi. Lihat dalam. Burkhardt, “Characteristics of spirituality in the lives of women in a rural appalachian community”,dalam Journal of Transcultural Nursing.vol.4,1993,hlm.12-18.
31 Wawancara dengan Ibu Hj Sri Murni‟ah tanggal 21 Oktober 2014.
32 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori pada 14 Oktober 2014
33 Wawancara dengan Bapak Hasan pada 10 Agustus 2014.
34 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah pada 13 Oktober 2014.
35 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori pada tanggal 14 Oktober 2014
36 Kamus Besar Bahasa Indonesia,2004. santri berari orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh - sungguh; orang yang saleh
37 Belajar adalah perubahan tingkah laku seseorang dianggap telah belajar sesuatu bila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.
38 Wawancara dengan Bp. Denny Nurhakim, pada hari Sabtu,15 Februari 2014 jam 10.15 di Kantor Yayasan Masjid Menaro Kusus.
39 Wawancara dengan Bapak H.Noor Khalid tanggal 12 Oktober 2014
40 Wawancara dengan Ibu Mirah tanggal 13 Oktober 2014
“GUS-JI-GANG” DALAM PRAKTIK BISNIS: Studi Kasus Komunitas Usaha Bordir Keluarga di Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus
200
41 Wawancara dengan Bapak Haji Moch Anshori tanggal 14 Oktober 2014.
42 Wawancara dengan Bapak Rosyadi tanggal 9 Oktober 2014.
43 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 12 Oktober 2014
44 Wawancara dengn Ibu Nurul Hikmah tanggal 5 Januari 2015
45 Wawancara dengan Bapak Achsanudin Ismanto tanggal 16 Oktober 2014
46 Wawancara dengan Bapak Siswanto Non Muslim tanggal 3 Januari 2015
47 Menurut The Liang Gie, dorongan batin adalah, keingintahuan yang tidak dapat ditindas untuk menemukan alam semesta dan dirinya sendiri serta meningkatkan kesadarannya tentang dunia yang di dalamnya manusia hidup dan bertindak. The Liang Gie, Segi-segi Pemikiran Ilmiah, (Yogyakarta: PBIB, 2003), hal. 9.
48 Menurut Suwito, transformasi sosial pada hakikatnya adalah, transformasi kesadaran. Transformasi sosial dilahirkan dari teori kritis, bisa disebabkan karena perubahan penafsiran dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang telah diyakini. Pemahaman dahulu (pemahaman lama atau tradisional) dianggap usang dan tidak sesuai lagi dengan konteks ruang ke-disini-an (hereness) dan waktu ke-kini-an (nowness), yang secara otomatis akan mengubah cara pandang, teori dan gerak langkah (aktivitas). Suwito N.S., Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Sari‟ati tentang Pemikiran Islam Modern, (Yogyakarta: Unggul Religi, 2000), hal 89-90.
49 Kecenderungan spirit dagang masyarakat Kudus juga diikuti oleh sebagian kaum tharikat Kudus yang cukup menonjol, baca dalam Radjasa Mu‟tasyin dan Abdul Munir Mulknan.1998.”Bisnis Kaum Sufi,Studi Tharikat dalam Masyarakat Industri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
50 Ayat-ayat al-Qur‟an banyak mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim berperilaku,baik yang secara jelas mengatur hukum-hukum syari‟at Islam maupun secara implikasi menjelaskan garis-garis besarnya saja, as –Sunah berarti cara, adat istiadat, dan kebiasaan hidup yang mengacu pada perilaku Rasuullah SAW, yang dijadikan suri tauladan oleh manusia. Baca Teguh Suhardi,” Ekonomi Syari‟ah,Konsep,Praktik & Penguatan Kelembagaanya”, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 5.
51 Ijma‟ merupakan hasil konsensus, baik dari masyarakat maupun para cendekiawan agama; Ijtihat secara teknik berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya suatu permasalahan syari‟at, Qiyas adalah analogi yang memperluas hukum ayat kepada persoalan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya. Perluasan hukum melalui qiyas atau analogi tidak membentuk hukum yang baru, malainkan membentuk manusia untuk menemukan hukum. Teguh Suhardi,” Ekonomi Syariat…”, op.cit,hal 5-6.
52 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 15 Oktober 2014.
53 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni;ah tanggal 14 Oktober 2014.
Aktualisasi Gus-Ji-Gang dalam Bisnis
201
54 Sistem kebudayaan sebagai suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana di mana orang-orang mengkomunikasikan, mengabdikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomik. Baca Clifford Geertz, 1981.”Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”. Pustaka Jaya, Jakarta. Kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan, Selanjutnya baca dalam Kuper. Adam, 1999. hal.98.
55 Wawancara dengan Bapak H.Moch Anshori tanggal 15 Oktober 2014.
56 Wawancara dengan Ibu Hj.Sri Murni‟ah tanggal 14 Oktober 2014.
57 Wawancara dengan Ibu Islahiyah tanggal 14 Oktober 2014.