Gugatan Muhammadiyah Dikabulkan.docx

8
1. Gugatan Muhammadiyah Dikabulkan, Industri Air Minum Kemasan Tetap Normal Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Hendro Baroeno menegaskan, industri air minum dalam kemasan (AMDK) milik swas akan tetap beroperasi seara normal setelah dikabulkann!a gugatan Muhammadi!a oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Undang"Undang (UU) #omor $ %ahun &'' tentang umber Da!a Air* Dalam gugatann!a, Muhammadi!ah meminta pihak swasta berhenti mengelola air di +ndonesia dan men ualn!a men adi AMDK -Kami menerima hasil keputusan MK tersebut, dan ke depan bagaimana industri b tetap alan* %etapi ika pembatasan penggunaan air itu han!a diberlakukan ba AMDK, tidak tepat* Karena semua industri dari mulai perhotelan, tekstil, hing uga menggunakan air dari dalam tanah di +ndonesia,. kata Hendro kepada +n/e Dail!, enin (&01&)* Dia menegaskan, pemakaian air bukan han!a dilakukan oleh industri AMDK, tetap hampir semua industri memakai air dari dalam tanah* Menurutn!a industri AMDK ada se ak 23$'an sebelum lahirn!a UU nomer 22 %ahun 23$ mengenai Pengairan* -Han!a sa a mas!arakat tidak men!adari ban!ak !ang memakai air ma!a* Dan itu negara sudah memberi i4in* +4in ini berlaku 0 tahun dan sewaktu"waktu bisa di Dengan keputusan MK membatalkan UU $1&'' , maka kami akan kembali mengau pada UU 22123$ * Kami dari pelaku usaha meminta pemerintah mengeluarkan perat pengganti undang"undang untuk harmonisasi dengan era otonomi, sehingga ika in/estor !ang mau masuk, tidak ter adi kekosongan aturan,. kata Hendro* ementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadi!ah Din !amsuddin menegaskan, dengan diteriman!a permohonan gugatan !ang dia ukan Muhammadi!ah, kesempatan perusahaan swasta melakukan komersialisasi pada air di +ndonesia m tertutup* 5Mas!arakat seharusn!a dapat menikmati air dengan harga murah, angan akhirn! rak!at sulit memperoleh bahan pokok itu karena sumber"sumber airn!a dikuasai kata Din* 6leh karena itu, dia berharap, pemerintah dapat kembali menguasai sumber da!a +ndonesia untuk diman7aatkan sesuai UUD #omor 00 %ahun 23 8* ebelumn!a, Pimpinan Pusat Muhammadi!ah telah menggugat se umlah pasal dan a!at !ang ada dalam Undang"Undang umber Da!a Air pada & eptember &'20* Permohonan gugatan terhadap Undang"Undang #omor $ tahun &'2 ini uga didukun beberapa kelompok, di antaran!a para uru parkir, pedagang kaki lima, dan be

Transcript of Gugatan Muhammadiyah Dikabulkan.docx

1. Gugatan Muhammadiyah Dikabulkan, Industri Air Minum Kemasan Tetap Normal

Jakarta Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Hendro Baroeno menegaskan, industri air minum dalam kemasan (AMDK) milik swasta akan tetap beroperasi secara normal setelah dikabulkannya gugatan Muhammadiyah dkk oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dalam gugatannya, Muhammadiyah meminta pihak swasta berhenti mengelola air di Indonesia dan menjualnya menjadi AMDK.Kami menerima hasil keputusan MK tersebut, dan ke depan bagaimana industri bisa tetap jalan. Tetapi jika pembatasan penggunaan air itu hanya diberlakukan bagi industri AMDK, tidak tepat. Karena semua industri dari mulai perhotelan, tekstil, hingga baja juga menggunakan air dari dalam tanah di Indonesia, kata Hendro kepada Investor Daily, Senin (23/2).Dia menegaskan, pemakaian air bukan hanya dilakukan oleh industri AMDK, tetapi hampir semua industri memakai air dari dalam tanah. Menurutnya industri AMDK sudah ada sejak 1970an sebelum lahirnya UU nomer 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan.Hanya saja masyarakat tidak menyadari banyak yang memakai air maya. Dan itu juga negara sudah memberi izin. Izin ini berlaku 3 tahun dan sewaktu-waktu bisa dicabut. Dengan keputusan MK membatalkan UU 7/2004, maka kami akan kembali mengacu pada UU 11/1974. Kami dari pelaku usaha meminta pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang untuk harmonisasi dengan era otonomi, sehingga jika ada investor yang mau masuk, tidak terjadi kekosongan aturan, kata Hendro.Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menegaskan, dengan diterimanya permohonan gugatan yang diajukan Muhammadiyah, kesempatan perusahaan swasta melakukan komersialisasi pada air di Indonesia menjadi tertutup."Masyarakat seharusnya dapat menikmati air dengan harga murah, jangan akhirnya rakyat sulit memperoleh bahan pokok itu karena sumber-sumber airnya dikuasai swasta," kata Din.Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah dapat kembali menguasai sumber daya air Indonesia untuk dimanfaatkan sesuai UUD Nomor 33 Tahun 1945. Sebelumnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menggugat sejumlah pasal dan ayat yang ada di dalam Undang-Undang Sumber Daya Air pada 24 September 2013.Permohonan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 ini juga didukung beberapa kelompok, di antaranya para juru parkir, pedagang kaki lima, dan beberapa tokoh masyarakat. Pada Rabu (18/2), permohonan tersebut dikabulkan melalui putusan Ketua MK Arief Hidayat yang membatalkan kekuatan hukum pada UU SDA tersebut, dan memberlakukan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.Din menyarankan, harus ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berwenang mengelola Sumber Daya Air (SDA) untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Dia menjelaskan, selama ini sumber daya air kebanyakan dikelola oleh pihak swasta asing dan dijual kembali ke Indonesia dengan harga mahal."Air harus diawasi dan dikelola oleh negara, agar tidak merugikan masyarakat, namun menguntungkan negara. Air kemasan ini milik sumber daya Indonesia, tetapi justru bangsa lain yang menikmati keuntungannya," ucap dia.Menurut Din, selama ini Penanaman Modal Asing (PMA) tentang air, terlalu mengekploitasi, sehingga tanggung jawab lingkungan tidak ada, masyarakat sekitar yang menanggung rugi.

2. Pemerintah Diminta Tindaklanjuti Putusan MK Tentang Pembatalan UU Air. Seperti Apakah?Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) melalui putusan bernomor Nomor 85/PUU-XII/2013 pada Sidang Pleno MK pada Rabu (18/02/2015).Menanggapi hal tersebut, Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha) meminta kepada pemerintah untuk segera membuat kebijakan yang mematuhi putusan MK tersebut. Pemerintah harus segera melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk mematuhi putusan MK, dengan menghentikan kebijakan yang mendorong legitimasi privatisasi air, kata Koordinator Kruha, Muhammad Reza yang dihubungi Mongabay, akhir pekan kemarin.Dengan batalnya UU SDA oleh MK, lanjut Reza, membuktikan bahwa pengajuan gugatan oleh mereka sejalan dengan pertimbangan MK bahwa sumber daya air merupakan bagian dari hak asasi manusia dan negara merupakan pemegang hak penguasaan atas air.

Lokasi sumber mata air Umberl Gemulo yang debitnya terus menurun. Foto: Tommy ApriandoReza melanjutkan bahwa keputusan MK menyebutkan hak penguasaan atas air dari pemerintah tidak boleh dilimpahkan kepada pihak lain. Privatisasi hak air atau Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak oleh pemerintah atas penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.Privatisasi air dilarang dalam undang-undang kita. Berbeda dengan minyak dan gas, katanya.Dengan pembatalan UU SDA oleh MK, maka peraturan hukum pengelolaan air kembali menggunakan UU No.11/1974 tentang Pengairan. Tetapi UU Pengairan tersebut tidak cukup untuk mengatur tentang hak guna usaha air oleh pihak swasta. UU Pengairan tidak cukup membatasi privatisasi air, kata Reza.Oleh karena itu, pemerintah harus segera merevisi peraturan pemerintah (PP) No 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Minum atau PP PAM yang mengatur pengelolaan hak air kepada pihak swasta.PP PAM itu merupakan salah satu yang diteliti oleh MK, lanjut Reza, dimana pemerintah melegitimasi privatisasi, komersialisasi dan monopoli air kepada pihak lain. Dengan PP tersebut, pihak swasta menganggap air sebagai komoditas ekonomi kepada masyarakat luas.Hak penguasaan sumber daya air harus tetap dimiliki oleh negara, yang harus diurus dan dikelola. Kita tinggal menunggu pemerintah cepat bertindak terhadap putusan MK ini dan jangan meletakkan kepentingan sektor bisnis dengan kepentingan warga negara, tambahnya.Pembatalan UU SDA KeseluruhanSebelumnya, MK memutuskan membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

Warga Bali kesulitan air bersih. Mereka mencari air bersih ke mana-mana. Air dari PDAM tak jalan, mereka harus membeli per tangki atau harus membuat sumur bor dengan biaya mahal. Foto: Anton Muhajir

Wakil Ketua MK Anwar Usman dalam pembacaan putusan MK mengatakan bahwa negara diberi mandat dalam UUD 1945 untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad).Sehingga, negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu, yang menjamin pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan AirKeputusan MK juga menyebutkan hak guna usaha air dari pemerintah kepada pihak lain tidak boleh tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa. Dan permohonan hak guna usaha air haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya.Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat, ujar Hakim Konstitusi Aswanto dalam pembacaan putusan MK.Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi.Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air.Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air, tambah Aswanto.

3. MK Hapus UU Sumber Daya Air, Swasta Dibatasi Ketat Berbisnis Air

Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Dengan dihapuskannya UU 7/2004 ini, maka swasta tak lagi leluasa untuk menguasai bisnis air.Dengan dikabulkannya gugatan yang diajukan oleh para pimpinan Muhammadiyah itu maka UU No 7/2004 tentang SDA itu dinyatakan tidak berlaku dan kembali ke UU SDA yang lama. "Mengabulkan permohonan pemohon, menyatakan UU No 7/2004 tentang SDA tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," putus Ketua. MK, Arief Hidayat, dilansir dari website MK, Rabu (18/2/2015). MK menyatkaan dengan tidak berlakunya UU SDA 2004 maka untuk mengisi kekosongan hukum UU SDA diatur dalam UU 11/ 1974 tentang pengairan. "UU No 11/1974 tentang Pengairan berlaku kembali," ujar Arief.Dalam pertimbangannya, majelis menganggap air adalah hakikat khalayak ramai, oleh karena itu dalam pengusahaan air harus ada pembatasan yang ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Majelis berpendapat juga bahwa hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prirotas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD."Pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain," ucapnya. Ketika ditemui usai persidangan, kuasa hukum Muhammadiyah, Ibnu Sina Chandranegara mengatakan putusan MK membuktikan konstitusi masih berpihak pada kepentingan umum bukan pengkotak-kotak hak atas air. Dengan putusan MK, seluruh norma yang terkandung dalam UU SDA rontok dan harus kembali menggunakan UU Pengairan tahun 1974.

4. Seluruh UU SDA Dibatalkan MK

Ekspresi Kuasa Hukum Pemohon (Ki-Ka) Tubagus Heru, Jamil Bachtiar dan Ibnu Sina Chandranegara usai mendengarkan amar putusan perkara uji materi UU Sumber Daya Air (SDA), Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno GEdung MK. Foto Humas/Ganie.

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945, urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan tersebut.Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan (beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad), jelas Anwar.Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air.Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan AirKemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsepres communeyang tidak boleh menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu,Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat, ujar Hakim Konstitusi Aswanto.Petani Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDAHal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air, sambung Aswanto.Prinsipkelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. Berdasarkan seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh negara atas air adalah ruh atau jantung dari Undang-Undang SDAsebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, tuturnya.Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU SDAa quo, namun menurut Mahkamah keenam Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Penyelewengan norma tersebut berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu Anjarsari)