Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

29
Gua Liang Bua merupakan peninggalan pra sejarah di Indonesia. Gua ini adalah salah satu dari banyak gua karst di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Gua ini terletak di Dusun Rampasasa, Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di gua inilah ditemukan fosil Homo Floresiensis atau Manusia Flores, yang memiliki tinggi badan hanya sekitar 100 cm dan beratnya 25 kg.Tengkorak manusia ini diperkirakan hidup 13.000 tahun lalu, yang hidup bersama dengan gajah-gajah pigmi dan komodo. Pada 2001 telah dilakukan eskavasi arkeologi yang merupakan kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama University of New England, Australia. Gua Liang Bua menjadi tempat sejarah menarik untuk dikunjungi para wisatawan. Untuk mencapai kawasan wisata sejarah ini, di mulai dari kota Kupang Ibukota provinsi NTT, naik pesawat dengan waktu tempuh satu setengah jam ke kota Ende di Pulau Flores. Kemudian, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Ruteng dengan angkutan umum berupa minibus dengan waktu sekitar 4 jam. Dari Kota Ruteng, dilanjutkan menuju Rampasasa, berjarak 13 km dengan menggunakan angkutan umum.

Transcript of Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Page 1: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Gua Liang Bua merupakan peninggalan pra sejarah di Indonesia. Gua ini adalah salah satu dari banyak gua karst di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Gua ini terletak di Dusun Rampasasa, Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Di gua inilah ditemukan fosil Homo Floresiensis atau Manusia Flores, yang memiliki tinggi badan hanya sekitar 100 cm dan beratnya 25 kg.Tengkorak manusia ini diperkirakan hidup 13.000 tahun lalu, yang hidup bersama dengan gajah-gajah pigmi dan komodo.

Pada 2001 telah dilakukan eskavasi arkeologi yang merupakan kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama University of New England, Australia.

Gua Liang Bua menjadi tempat sejarah menarik untuk dikunjungi para wisatawan. Untuk mencapai kawasan wisata sejarah ini, di mulai dari kota Kupang Ibukota provinsi NTT, naik pesawat dengan waktu tempuh satu setengah jam ke kota Ende di Pulau Flores.

Kemudian, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Ruteng dengan angkutan umum berupa minibus dengan waktu sekitar 4 jam. Dari Kota Ruteng, dilanjutkan menuju Rampasasa, berjarak 13 km dengan menggunakan angkutan umum.

Page 2: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia
Page 3: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia
Page 4: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Liang Bua, Situs Prasejarah di Nusa Tenggara Timur

Liang Bua merupakan peninggalan pra sejarah di Indonesia. Gua ini  adalah salah satu

dari banyak gua karst di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di Indonesia. Gua ini

terletak di Dusun Rampasasa, Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten

Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. dan merupakan tempat penemuan

makhluk mirip manusia (hominin) baru yang dinamakan Homo floresiensis pada tahun

2001. Liang Bua dalam bahasa Manggarai berarti “gua/lubang sejuk”

Situs Gua Liang Bua adalah salah satu situs arkeologi penting dunia. Di situs inilah

ditemukan fosil Homo Floresiensis atau Manusia Flores. Tinggi badan manusia Flores sekitar

100 cm dan beratnya hanya 25 kg.

Tengkorak manusia kerdil ini ditemukan seukuran buah jeruk dan diperkirakan hidup 13.000

tahun lalu. Mereka hidup bersama-sama dengan gajah-gajah pigmi dan kadal-kadal raksasa

seperti komodo.

Gua Liang Boa terletak di Pulau Flores, tepatnya di Dusun Rampasasa, Desa Liang Bua,

Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.

Secara geologi, gua ini merupakan bentukan endokars yang berkembang pada batu gamping

yang berselingan dengan batu gamping pasiran. Batuan gamping ini diperkirakan berasal dari

periode Miosen tengah atau sekitar 15 juta tahun yang lampau. Kawasan kars di NTT ini,

sebagaimana kawasan kars di tempat lain di Indonesia, juga memiliki ciri-ciri khusus yang

berlainan dengan kawasan kars lainnya.

Liang Bua dan gua-gua lainnya sekawasan telah digali secara arkeologi sejak tahun 1930-an.

Temuan-temuan dari masa ini dibawa ke Leiden, Belanda. Penggalian dan penelitian

dilanjutkan oleh tim pimpinan H.R. van Heekeren pada tahun 1950-an, lalu diteruskan oleh

Th. Verhoeven, seorang pendeta Katolik. Timnya menemukan antara lain rangka sangat

pendek (tetapi tidak katai) di Liang Toge, di samping tulang-tulang di Liang Bua, Liang

Momer, dan lain-lain. Kerangka-kerangka ini adalah H. sapiens.

Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1976

sudah melakukan penelitian secara intensif di Liang Bua. Menjelang akhir tahun 1970-an, tim

yang diketuai Prof. Dr. Raden Panji Soejono itu bahkan telah mendapatkan temuan

“spektakuler” berupa tengkorak manusia dan kerangka tubuh manusia dewasa. Bersamaan

dengan itu ditemukan pula kuburan manusia purba, lengkap dengan bekal kuburnya yang

masih relatif utuh. Juga ditemukan lapisan budaya berupa berbagai artefak yang diyakini

sebagai sisa pendukung keberadaan mereka.

Page 5: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Hanya saja, ketika itu para arkeolog Indonesia belum memiliki alat dan kemampuan yang

memadai untuk membuat suatu kesimpulan yang agak menyeluruh. Hanya dikatakan bahwa

ras manusia yang tinggal di sana paling tidak berasal dari sekitar 10.000 tahun lalu.

Karena ketiadaan biaya, penelitian pun sempat terhenti. Tahun-tahun berikutnya, hingga

tahun 1989, penelitian cenderung bersifat sporadis. “Untuk melakukan penelitian di Liang

Bua butuh biaya cukup besar. Dengan anggota tim sebanyak 18 orang, ketika itu kami harus

naik Dakota ke Flores, setelah singgah di Denpasar dan Kupang. Belum lagi biaya untuk

kebutuhan lain,” ujar Soejono.

Di tengah ketiadaan dana, tahun 2001, datang tawaran kerja sama dari Australia. Mike

Morwood dari University of New England memimpin tim dari Australia, sedangkan RP

Soejono bertindak sebagai ketua tim dari Puslit Arkenas. Setelah melakukan serangkaian

ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil mendapatkan temuan menghebohkan

itu: si hobbit dari Liang Bua!

Peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian di sana adalah A.A. Sukadana, ahli

antropologi ragawi dari Universitas Airlangga, pada tahun 1960-an menemukan pula sisa-sisa

manusia termasuk rahang bawah, di Liang Bua. Dari tahun 1978-1989, Prof. R. Panji Soejono

menemukan antara lain tulang paha di Liang Bua. Sisa-sisa kerangka dari periode awal

hingga terakhir tersimpan di Leiden, London, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan Flores.

Penelitian selanjutnya dihentikan karena tidak ada pendanaan. Penelitian baru berlanjut

setelah ada kerja sama antara Puslit Arkenas (dipimpin R.P. Soejono) dan Universitas New

England, Australia (dipimpin Mike Morwood).

Pada bulan September 2003 ditemukan kerangka unik yang kemudian diidentifikasi sebagai

H. floresiensis. Bersamaan dengan manusia purba itu ditemukan pula perkakas batu yang

dikenal telah digunakan oleh Homo erectus (seperti yang ditemukan di Sangiran) serta sisa-

sisa tulang Stegodon (gajah purba) kerdil, biawak raksasa, serta tikus besar.

Pra Sejarah Indonesia

Indonesia pada periode prasejarah mencakup suatu periode yang sangat panjang, kira-kira

sejak 1,7 juta tahun yang lalu, berdasarkan temuan-temuan yang ada. Pengetahuan orang

terhadap hal ini didukung oleh temuan-temuan fosil hewan dan manusia (hominid), sisa-sisa

peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perunggu), serta gerabah.

Secara geologi, wilayah Indonesia modern  merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua

utama: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Kepulauan

Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya

Zaman Es, hanya 10.000 tahun yang lalu.

Page 6: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Pada masa Pleistosen, ketika masih terhubung dengan Asia Daratan, masuklah pemukim

pertama. Bukti pertama yang menunjukkan penghuni pertama adalah fosil-fosil Homo erectus

manusia Jawa dari masa 2 juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan sisa-sisa “manusia

Flores” (Homo floresiensis) di Liang Bua, Flores, membuka kemungkinan masih bertahannya

H. erectus hingga masa Zaman Es terakhir.

Homo sapiens pertama diperkirakan masuk ke Nusantara sejak 100.000 tahun yang lalu

melewati jalur pantai Asia dari Asia Barat, dan pada sekitar 50.000 tahun yang lalu telah

mencapai Pulau Papua dan Australia. Mereka, yang berciri rasial berkulit gelap dan berambut

ikal rapat (Negroid), menjadi nenek moyang penduduk asli Melanesia (termasuk Papua)

sekarang dan membawa kultur kapak lonjong (Paleolitikum). Gelombang pendatang

berbahasa Austronesia dengan kultur Neolitikum datang secara bergelombang sejak 3000 SM

dari Cina Selatan melalui Formosa dan Filipina membawa kultur beliung persegi

(kebudayaan Dongson). Proses migrasi ini merupakan bagian dari pendudukan Pasifik.

Kedatangan gelombang penduduk berciri Mongoloid ini cenderung ke arah barat, mendesak

penduduk awal ke arah timur atau berkawin campur dengan penduduk setempat dan menjadi

ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara. Pendatang ini membawa serta teknik-teknik

pertanian, termasuk bercocok tanam padi di sawah (bukti paling lambat sejak abad ke-8 SM),

beternak kerbau, pengolahan perunggu dan besi, teknik tenun ikat, praktek-praktek

megalitikum, serta pemujaan roh-roh (animisme) serta benda-benda keramat (dinamisme).

Pada abad pertama SM sudah terbentuk pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan

kecil, dan sangat mungkin sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat hubungan

perniagaan.

Page 7: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Homo floresiensis

Homo floresiensis ("Manusia Flores", dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan oleh

kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan volume otak

kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya membatu) dari

sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001.[1][2][3]

Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur paling

tinggi sepinggang manusia moderen (sekitar 100 cm).

Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan

berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak

memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. [1][2] Usia seri

kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.[4]

Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.

Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan

menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak

kerangka Homo sapiens dan berbagai mamalia (seperti makhluk mirip gajah Stegodon,

biawak, serta tikus besar) yang barangkali menjadi bahan makanan mereka. Di samping itu

ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang

terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.

Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak

peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia

dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit

Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England.

Page 8: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi

sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi

luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu

(bukan fosil) tetapi rapuh dan lembap. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang

lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan,

dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.

Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar

18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang

badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak

membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan analisis

DNA untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan berdasarkan usia

lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia lapisan lebih tua

daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit dilakukan karena

metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.

Salinan tengkorak H. floresiensis "LB1" (kiri) dibandingkan dengan tengkorak manusia yang

terkena mikrosefali yang pernah hidup di Pulau Kreta.

Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti

yang juga terlibat dalam penelitian ini, dimotori oleh Prof. Teuku Jacob dari UGM.

Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores,

yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan,

yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali ("kepala kecil"). [5] Menurut

tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang

sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka

yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephali, yaitu bertengkorak kecil

dan berotak kecil.

Page 9: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Perdebatan yang terjadi sempat memanas, bahkan sampai membuat Liang Bua dan beberapa

gua di sekitarnya dinyatakan tertutup untuk peneliti asing. Sepeninggal Prof. Jacob (wafat

2007), lokasi penemuan kembali dapat diakses bagi penelitian.

Pada bulan September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk

baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan

tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern

melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap

tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan

menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia

modern) maupun manusia Neandertal.[6]

Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen LB1 lebih primitif

daripada H. sapiens dan berada pada wilayah variasi H. erectus. Publikasi pertama yang

dimuat di Anthropological Science membandingkan LB1 dengan spesimen H. sapiens (baik

normal maupun patologis) dan beberapa Homo primitif. Hasil kajian morfometri ini

menunjukkan bahwa H. floresiensis tidak dapat dipisahkan dari H. erectus dan berbeda dari

H. sapiens normal maupun patologis karena mikrosefali.[7] Hasil analisis kladistika dan

statistika morfometri terhadap tengkorak dan bagian tulang lainnya dari individu LB1

(betina), dan dibandingkan dengan manusia modern, manusia modern dengan mikrosefali,

beberapa kelompok masyarakat pigmi di Afrika dan Asia, serta tengkorak hominin purba

menunjukkan bahwa H. floresiensis secara nyata memiliki ciri-ciri berbeda dari manusia

modern dan lebih dekat kepada hominin purba, sebagaimana dimuat dalam jurnal

Significance.[8][9] Meskipun demikian, kedua kajian ini tidak membandingkan H. floresiensis

dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.

Page 10: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Liang Bua, Rumah “Hobbit Flores” yang Terus Digali

Kepulauan Flores memang memikat. Alamnya elok, sejarahnya juga unik. Termasuk

kehadiran homo floresiensis, manusia purba bertubuh kate (kerdil) yang dipercaya sebagai

percabangan evolusi manusia. Liang Bua di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara

Timur (NTT), adalah rumah orang-orang pendek itu.

Tensianus Tahu, 34, warga Liang Bua, membersihkan fragmen tulang hasil penggalian Liang

Bua, gua besar yang pernah dihuni manusia purba di Flores.

ISTILAH Hobbit itu kali pertama beken lewat trilogi The Lord of the Rings karangan John

Ronald Reuel Tolkien. Hobbit kian mendunia saat epik tersebut diangkat ke layar lebar oleh

sutradara kondang Peter Jackson pada 2001-2003.

Dikisahkan, para Hobbit adalah manusia kate setinggi rata-rata tiga kaki atau sekitar 1 meter.

Mereka hidup berdampingan di Bumi Tengah (Middle Earth) bersama kaum Elf (peri), Dwarf

(kurcaci), Wizards (penyihir), dan manusia. Selain pendek, para Hobbit punya telapak kaki

lebar, rambut keriwil-keriwil, plus ujung telinga runcing.

Para Hobbit, makhluk yang selalu riang itu, mendiami kawasan The Shire. Itu adalah tempat

indah dengan rumah-rumah pendek dengan warna hijau rumput.

Namun, Liang Bua bukan The Shire…. Liang Bua adalah sebuah gua kapur di Desa Liang

Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai. Tempat itu berada sekitar 14

kilometer di utara Ruteng, ibu kota Manggarai. Gua kapur itu begitu gede. Panjangnya sekitar

50 meter. Lebarnya 40 meter. Langit-langit tertingginya 25 meter. Plafon gua itu berhias

stalaktit yang berjuntai-juntai.

Nah, Liang Bua (dalam bahasa Manggarai berarti gua dingin atau gua es) itulah yang

dipercaya sebagai tempat tinggal Hobbit Flores, julukan homo floresiensis, lebih dari 10 ribu

tahun lalu.

Page 11: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

“Saya ikut terlibat dalam penemuan pertama homo floresiensis itu,” kata Jatmiko, peneliti

utama di Pusat Arkeologi Nasional (Arkenas).

Senin siang (10/9) itu Jatmiko bersama sekitar 40 warga mengais-ngais Liang Bua. Di antara

mereka ada Matthew Tocheri, staf Smithsonian Institute National Museum of Natural

History, Amerika Serikat. Ya, penggalian Liang Bua memang belum mandek. Setidaknya

pada 1978-1989 dilanjutkan mulai 2001 hingga saat ini Arkenas terus berupaya menyingkap

tabir kehidupan masa lalu di Liang Bua.

Sejauh ini temuan yang paling fenomenal dari sisi kontroversi dan gaungnya adalah Hobbit

Flores yang ditemukan pada 2004. Pada tahun itu Arkenas bekerja sama dengan University of

New England dan Wollongong University, keduanya dari Australia. Smithsonian Institute

baru masuk sebagai bagian dari kerja sama tersebut pada 2008.

Menurut Jatmiko, kerangka pertama homo floresiensis relatif komplet. Tengkoraknya nyaris

utuh. Tulang bahu, lengan, panggul, kaki, hingga jemarinya juga ada. Nah, tengkorak tua

itulah yang menjadi pangkal kehebohan di jagat ilmiah hingga sekarang. “Sebab, LB 1

(sebutan resmi untuk kerangka itu, Red) menunjukkan sebuah karakter yang unik,” ujar

Jatmiko.

LB 1 adalah perempuan. Itu terlihat dari panggulnya yang besar. Usianya sekitar 20-30 tahun.

Secara anatomi, ada kelainan fisik pada kerangka tersebut. Ukurannya begitu kecil.

Tingginya hanya 115 sentimeter. Itu kira-kira setinggi panggul orang dewasa. Volume otak

kerangka itu hanya 400 cc, sekitar sepertiga otak manusia modern, jauh lebih kecil katimbang

otak simpanse.

Menurut Jatmiko, LB 1 yang akhirnya digolongkan dalam spesies homo floresiensis punya

karakter serupa dengan Lucy, fosil manusia tertua berumur 3 juta tahun yang ditemukan di

Ethiopia.

“Tapi, LB 1 juga punya karakter anatomis manusia modern. Ini yang menjadi kontroversi ahli

palaeoantropologis di seluruh dunia sampai sekarang,” ujar pria 55 tahun tersebut.

Sebagian ahli percaya bahwa homo floresiensis adalah spesies anyar di percabangan evolusi

antara homo erectus (manusia yang pertama berjalan tegak) dengan homo sapiens atau

manusia modern. Tapi, ilmuwan yang skeptis cenderung percaya bahwa kerangka kate itu

bukan spesies baru. Bisa jadi itu kerangka manusia purba, bisa juga modern yang mengalami

kelainan fisik. Misalnya, cebol atau mikrosepali (volume kepala yang mengecil).

Namun, sebagai orang yang menemukan langsung kerangka tersebut, Jatmiko lebih condong

ke pendapat bahwa tulang belulang manusia cebol itu adalah spesies anyar. Yaitu, homo

floresiensis alias Hobbit Flores, spesies yang tak ada duanya di belahan dunia mana pun.

Page 12: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Jatmiko ingat betul, LB 1 ditemukan pada kedalaman 595 cm. Sebelum itu, tak ada satu ahli

pun yang menggali hingga kedalaman itu. “Sebelum mencapai kedalaman itu, ada endapan

abu vulkanik dengan ketebalan satu meter,” tambah pria asli Jogjakarta tersebut.

Artinya, ada aktivitas vulkanik purba yang memisahkan era Hobbit Flores dengan manusia

modern saat ini. Dengan kata lain, kata Jatmiko, kehidupan para Hobbit habis total karena

ada letusan gunung api di era tersebut.

Di kedalaman 6 meter itu, LB 1 tak sendiri. “Kami juga menemukan individu lain,” katanya.

Jumlahnya enam. Tapi, tulang-tulang mereka tak komplet. Hanya ada fragmen-fragmen

rahang, tulang jari, atau femur (tulang paha).

Bagi Jatmiko, ini mendukung teori bahwa Hobbit Flores bukanlah manusia cacat. Dia adalah

spesies baru yang punya tata kehidupan khas di eranya. “Dia tidak menyendiri. Mereka punya

tata kemasyarakatan dan aktivitas kehidupan lainnya. Sebab, di kedalaman itu kami juga

menemukan ribuan artefak batu. Jadi, mereka bertani dan meramu seperti manusia modern,”

kata alumnus Universitas Udayana, Bali, dan Magister Universitas Indonesia, Jakarta,

tersebut.

Berdasar temuan itu, tampak bahwa para Hobbit tinggal di zaman yang begitu “mengerikan”.

Sebab, mereka yang kate itu harus berjuang di tengah lingkungan yang juga ditinggali

komodo raksasa, tikus raksasa, stegodon atau gajah cebol, hingga marabou atau bangau purba

setinggi lebih dari 1,5 meter.

Sampai sekarang daya tarik homo floresiensis masih begitu kuat. Ahli-ahli kepurbakalaan di

seluruh dunia masih terus memperbincangkannya. Benarkah dia spesies baru atau hanya

manusia cacat yang kebetulan kerangkanya ditemukan” Penelitian dan penggalian seperti

yang dilakukan Arkenas pun terus berlangsung. Semua bertujuan menggali informasi soal

keunikan spesies manusia cebol itu. Diskusi juga masih berlangsung soal apakah para Hobbit

punah atau sempat beranak-pinak dan punya keturunan di era modern ini.

***

Magnet Liang Bua sebagai tempat penelitian terjadi sejak era 1960-an. Saat itu ada Pastur

Theodore Verhoeven yang mengajar warga desa di Liang Bua. Lantaran tak ada fasilitas

sekolah, pastur Belanda yang mengajar di Seminari Mataloko, Ngada, Flores, itu

memanfaatkan Liang Bua sebagai ruang kelas.

Saat itulah rohaniwan yang juga arkeolog paro waktu itu tergugah rasa ingin tahunya. Sebab,

dia menemukan banyak fragmen tulang manusia dan aneka gerabah. Pada 1965, di sela-sela

mengajar, Pastur Verhoeven menggali salah satu bagian lantai Liang Bua. Temuannya cukup

mengagetkan. Pada kedalaman kurang dari satu meter, dia menemukan tujuh kerangka

Page 13: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

manusia modern disertai bekal-bekal kubur berupa periuk, kendi, beliung, manik-manik, dan

perunggu dari masa setelah zaman batu atau awal zaman logam.

Sejak saat itu Liang Bua kondang sebagai tempat kajian arkeologis yang menyimpan berlaksa

daya tarik. Berdasar penelitian itu tampak bahwa Liang Bua dihuni manusia modern sejak 10

ribu tahun silam. Jauh sebelum itu, ada Hobbit yang menjadikan gua tersebut sebagai rumah.

“Sampai sekarang kami masih temukan jejak-jejak peradaban lampau itu,” kata Jatmiko.

Bahkan, jejak aktivitas pada masa Pastur Verhoeven pun kadang masih muncul. Tim peneliti

kerap menemukan grip dan sabak, batu tulis anak-anak sekolah sekitar delapan dekade silam.

“Sehingga, Liang Bua ini sudah akrab dengan warga di sekitar sini, mulai warga purba

hingga warga modern,” katanya.

Kini, warga sekitar Liang Bua terus-menerus dilibatkan untuk membantu penelitian. “Saya

berani jamin, warga di sini bisa disebut arkeolog. Saya berani adu mereka dengan arkeolog

yang baru lulus perguruan tinggi. Warga ini lebih jago,” kata Jatmiko.

Padahal, menggali situs penelitian tak sama dengan menggali kubur. Di Liang Bua, tanah

digali 10 sentimeter demi 10 sentimeter pada petak berukuran 2 x 2 meter persegi. Tanah

yang diangkat lalu dicuci untuk memisahkan fragmen tulang atau temuan lain. Setelah itu,

tanah dikembalikan lagi ke tempat penggalian.

Warga pun tak hanya dilibatkan untuk menggali. Mereka juga bisa memilah, membersihkan,

hingga melakukan perbaikan kecil terhadap fragmen-fragmen yang ditemukan. Misalnya,

memberikan pengawet khusus atau mengelem bagian yang retak. “Kami memang sudah biasa

memegang fosil. Ini fosil tulang telinga stegodon,” kata Tensianus Tahu, 34, warga Liang

Bua, yang bertugas menyortir fosil sebelum dikirim ke Arkenas, Jakarta, sembari

menunjukkan potongan tulang.

Warga Liang Bua, terutama yang masih muda, memang mendapat pujian secara khusus oleh

Jatmiko. “Mereka smart dan mau belajar. Mereka juga bisa menjelaskan salah kaprah bahwa

homo floresiensis punya keturunan sampai sekarang,” kata Jatmiko.

Setiap Arkenas melakukan penelitian di Liang Bua “selama kurang lebih dua bulan tiap

tahun” ada sekitar 40 warga yang dilibatkan. Mereka diberi honor Rp 45 ribu per hari per

orang. Honor itu diterimakan tiap pekan. Selain honor, seluruh fasilitas ditanggung. Makan,

kopi, hingga rokok yang diberikan sehari dua kali.

Meski sudah kondang sebagai tempat penelitian dan tempat wisata, suasana Liang Bua masih

terasa sepi. Kalau saja tak ada aktivitas dari Arkenas siang itu, gua besar itu bisa jadi

melompong. “Yang wisata memang tak banyak. Yang sering wisata minat khusus,” kata

Kornelis Jaman, penjaga situs wisata Liang Bua.

Page 14: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Padahal, niat menjadikan Liang Bua sebagai tempat rekreasi arkeologis sudah ada. Namun,

niat itu tampak tak terlampau besar. Sekitar 200 meter sebelum Liang Bua ada gapura

sederhana untuk menyambut pendatang. Kantor Kornelis Jaman sendiri juga menjelma

sebagai sebuah tempat pameran mini. Di situ ada gambar-gambar sejarah Liang Bua plus

patung orang kerdil setinggi sekitar 100 cm. Ada pula potret binatang purba yang pernah

mendiami kawasan tersebut. Cukup apik, sayang tak banyak yang tertarik.

Siang itu Kornelis mengajak saya ke Desa Rampasasa di dekat Liang Bua. “Di situ ada

keturunan orang pendek,” kata Kornelis.

Memang, di Rampasasa ada beberapa orang yang tingginya hanya sekitar 140 cm. Mereka

kerap dikunjungi turis, diajak berfoto, plus dikasih duit.

Namun, ajakan Kornelis saya tolak. Saya bukannya condong ke pemikiran tim Arkenas

bahwa homo floresiensis sudah punah dan ada tembok waktu dari aktivitas gunung purba

yang memisahkannya dengan manusia modern. Tembok waktu yang membuatnya tak

mungkin beranak-pinak hingga sekarang. Saya hanya tak tega melihat orang-orang yang

kebetulan tubuhnya lebih pendek lantas “dituduh” begitu saja sebagai keturunan Hobbit…

(doan – flores) (169)

Page 15: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Fasilitas Internet Explorer

Pada kesempatan ini anda di ajak untuk menggunakan fasilitas yang dimiliki oleh Internet

Explorer, Kita mulai saja dengan menggunakan fasilitas Search

Setelah Internet Expolorer aktif, klick tool Search, sehingga tampil jendela pencarian spt gmb

berikut:

Jika anda ingin mencari kata atau kalimat tertentu pada website yang sedang aktif, silahkan

ketikkan kata atau kalimat yang ingin anda cari pada kotak isian dan lanjutkan dengan

menekan Enter.

Tunggu beberapa saat, komputer melakukan pencarian pada website yang aktif dan jika

ditemukan, kata atau kalimat yang anda cari akan ditampilkan

Jika anda ingin mengadakan pencarian pada komputer anda sendiri, klik “Search this

computer for file” dan ditampilkan dialog berikut;

Page 16: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Pilih “ Picture, music, or video” untuk mencari yang berkaitan dengan gambar, musik atau

video. Selanjutnya ditampilkan dialog berikut;

Pilih “Picture and Photos” untuk menampilkan semua gambar dan foto. Selanjutnya

perintahkan untuk mencari dengan mengklik “Search”

Tunggu beberapa saat, dan komputer akan menampilkan semua yang berkaitan dengan

gambar, photo, spt brkt

Apabila pencarian dilakukan secara terbatas, misalnya hanya mencari file file yang huruf

kedua nama file adalah “a”, pada kotak isian, ketikan ?a”. Selanjutnya klik “Search

Page 17: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Gambar yang anda temukan dapat anda akses dengan mengklik pada salah satu gambar yang

anda inginkan. Selanjutnya akan ditampilkan gambar yang anda pilih.

Dengan menggunakan tombol tombol yang ada dibawah gambar, maka gambar tersebut dapat

anda edit

Selanjutnya anda sudah dapat mencoba untuk melakukan pencarian hal lain sperti musik,

video, file-file tertentu ataupun folder tertentu

Berikut anda di ajak untuk menggunakan fasilitas Internet Explorer yang lain yaitu Tool

Favorites, untuk mengorganisir website yang pernah anda kunjungi sehingga memudahkan

anda untuk mengunjunginya kembali apabila dibutuhkan

Setelah internet explorer diaktifkan, klik Favorites, akan ditempilkan gambar sbb;

Klik Organizer, dan akan ditampilkan dialog spt gambar berikut;

Page 18: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

Dari gambar diatas dapat dilakukan beberapa hal:

Creat Folder : Membuat folder baru

Rename : Mengubah nama folder

Delete : Menghapus folder

Move to folder : Memindahkan ke folder tertentu

Apabila kegiatan pengorganisiran website yang menjadi favorit anda selesai, akhiri dengan

menekan tombol Cloce

Sekarang anda di ajak untuk menggunakan fasilitas Internet Explorer yang lain yaitu tool

History, digunakan untuk melihat perkembangan atau alur penjelajahan yang pernah anda

dilakukan

Klik “History”, akan ditampilkan jendela sbb;

Pada jendela Hostory terdapat dua menu yaitu View untuk melihat topik dan Search untuk

Page 19: Gua Liang Bua Merupakan Peninggalan Pra Sejarah Di Indonesia

melakukan pencarian

Klik View, dan lanjutkan dengan memilih By site, akan ditampilkan daftar situs yang pernah

ditelusuri pada hari ini ( To Day)sbb;

Fasilitas lainnya yaitu Tool Mail digunakan untuk hal hal yang berkaitan dengan e-mail

seperti membaca, mengirim dan mendokumentasikan surat

Klik tool Mail, dan ditampilkan spt gmb brk;

Jika ingin membaca e-mail yang ada di dalam inbox anda, klik Read Mail, maka akan

ditampilkan jendela Outlook Expres sperti gambar berikut:

Perhatikan “Messages”, jika pada pada inbok terdapat angka tertentu berarti ada surat masuk

yang belum dibaca sebanyak angka tersebut.

Untuk membacanya surat yang masuk, silahkan anda klick “Inbox”