Green Building PP
-
Upload
rika-yunita-chandra-harimurti -
Category
Documents
-
view
48 -
download
4
Transcript of Green Building PP
“GREEN BUILDING” SEBAGAI LANGKAH STRATEGIS DALAM PROGRAM PENURUNAN EMISI CO2 DI INDONESIA Kita tahu bahwa emisi/pengeluaran karbondioksida (CO2) adalah penyebab terdominan efek Gas Rumah Kaca (GRK) pada lapisan atsmosfer bumi kita, dimana GRK inilah penyebab radiasi panas bumi menjadi semakin besar terperangkap di bumi ini dan itulah penyebab Global Warming yang merupakan isu internasional terpopuler dalam dua dekade ini. Berbagai komitmen internasional telah dirintis antara lain Protokol Kyoto di tahun 1997 dimana negara negara industri telah berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990. Komitmen Indonesia untuk ikut terlibat dalam usaha internasional ini terungkap jelas dalam UN Climate Change Conference pada Desember 2009 di Copenhagen, dimana Indonesia menjanjikan akan menurunkan hingga 26% emisi CO2 pada tahun 2020 dan bahkan mampu hingga 41% dengan bantuan internasional. Pertanyaan yang menarik setelah itu adalah : “bagaimana Indonesia menerjemahkan angka 26% pengurangan emisi CO2 tersebut”. Untuk itu artikel ini dibuat dalam rangka ikut memberi kan opini untuk membuat langkah strategis dalam menjawab tantangan program tersebut. Marilah kita mulai dengan mengkaji fakta fakta dibawah ini untuk menentukan langkah strategis apa yang seharusnya kita lakukan untuk menekan emisi CO2 negeri kita :
1. Bahwa ternyata 26% pengurangan emisi CO2 yang dicanangkan pemerintah di dominasi oleh program pelestarian dan penghijauan hutan, angka tepatnya distribusi program tsb adalah sbb:
a. Kehutanan & Lahan Gambut : 22,8 % b. Sampah : 1,6 % c. Pertanian : 0,3 % d. Industri : 0,03 % e. Enerji dan Transportasi : 1,30 %
(Document untuk CCXG/Global Forum on Environment Seminar on MRV and Carbon Markets 28-29 March 2011, Paris dan RAN- GRK tahun 2011)
2. Bahwa emisi CO2 yang dihasilkan di Indonesia dihasilkan dari aktifitas pokok sbb :
a. Pembakaran Batu Bara : 9 Milyar ton CO2/tahun (74,91 %) b. Konversi lahan & Perusakan Hutan : 2,563 Milyar Ton CO2/tahun (21,33 %) c. Aktifitas & Pemakaian Energi, Pertanian & Limbah : 451 Juta Ton CO2/tahun ( 3,75%) Dimana pembakaran batu bara adalah aktifitas yang diperlukan bagi pembangkit listrik di Indonesia.
(Sumber Pemanasan Global di Indonesia -‐ Riset oleh Agus DD)
3. Bahwa pembangkit listrik yang mendominasi kontribusi emisi CO2 tersebut diatas ternyata utamanya diperuntukkan bagi kebutuhan listrik bangunan (buildings) yang kompoisisinya dianalisa sbb : listrik kebutuhan Perumahan (49%), listrik kebutuhan perkantoran (40%) dan listrik kebutuhan Industri (11%). (sumber : Pew Center on Global Climate Change)
4. Bahwa Indeks Konsumsi Enerji (IKE) dari rata rata
bangunan perkantoran di Indonesia saat ini memiliki angka yang masih tinggi yaitu : berkisar di 250Kwh/m2.tahun. Sementara angka IKE dinegara tetangga yang sdh mulai peduli terhadap perlunya menekan kebutuhan enerji gedung, hanya mencapai max 200 Kwh/m2.tahun. (sumber : data AMPRI 2004). Bahkan di beberapa Negara maju yang telah konsisten menerapkan bangunan rendah konsumsi enerji (Green Building) memiliki angka IKE umumnya dibawah 150 Kwh/m2.tahun. Data ini menunjukkan betapa tingginya desain konsumsi enerji pada Bangunan di Indonesia pada umumnya saat ini
5. Bahwa umumnya Bangunan yang didesain dengan konsep Green Building memiliki
karakteristik sbb : a. Umumnya memiliki biaya konstruksi yang lebih tinggi dari pada bangunan normal,
yaitu berkisar 5% hingga 25% b. Akan memiliki biaya operasional lebih rendah daripada bangunan normal yang
disebabkan oleh : i. Lebih rendahnya konsumsi listrik dengan effisiensi umumnya berkisar 20% hingga 35%
ii. Lebih rendahnya konsumsi air bersih dari PDAM dengan efisiensi umumnya berkisar 30% hingga 60%
iii. Lebih rendahnya biaya pengelolaan sampah Dengan efisiensi diatas, sesungguhnya konsep Green Building dalam evaluasi biaya keseluruhan (Biaya Pembangunan + Biaya Operasional) akan lebih rendah dari pada bangunan normal, dengan Payback Period (BEP) untuk biaya extra investasi Green tsb umumnya dibawah 10 tahun. Hal ini sesungguhnya akan lebih cepat dalam durasi BEP nya bila subsidi tarif listrik yang berlaku saat ini dilepas oleh pemerintah nantinya. Meskipun menguntungkan, pada kenyataannya pola pikir untuk melihat Biaya Gedung secara menyeluruh (Pembangunan + operasional) adalah belum membudaya di Indonesia, sehingga harga konstruksi yang tinggi cenderung menjadi sorotan bagi para auditor khususnya pada proyek proyek pemerintah. Disinilah implementasi Green Building menjadi sering terhambat. Saat ini baru satu Green Building milik pemerintah yang sudah terbagun dengan memiliki sertifikat, yaitu Gedung Mentri PU.
6. Bahwa bangunan / gedung baru hanya memiliki prosentase kecil dibandingkan jumlah
bangunan gedung lama (eksisting) yang sekarang ada, mengacu data bangunan gedung yang
ada di Jakarta, ternyata total bangunan baru (bangunan berumur dibawah 2 tahun, dimana teknologi Green Building mulai banyak dikenal di Indonesia) komunitasnya hanya kurang dari 5% terhadap keseluruhan bangunan gedung publik yang ada di jakarta. Dimana bangunan gedung lama tsb umumnya masih belum menerapkan bangunan rendah enerji yang utamanya karena digunakannya sistem Mekanikal Elektrikal yang masih mengkonsumsi enerji tinggi.
7. Bahwa kita saat ini sudah memiliki Green Building Council
Indonesia (GBCI) sebagai badan yang juga diakui World Green Building Council, yang memiliki kapasitas untuk memberikan bimbingan keilmuan , membentuk tenaga ahli hingga melakukan sertifikasi di bidang Green Building, yang salah satu kriterianya adalah gedung yang memiliki konsumsi enerji yang rendah.
Dari semua fakta tersebut diatas, maka sesungguhnya langkah penting sbb menjadi langkah strategis yang harus diterapkan pemerintah Indonesia untuk menekan penurunan emisi CO2 secara efektif :
1. Bahwa program penurunan emisi CO2 yang saat ini lebih ditekankan pada proses penghijauan hutan adalah memerlukan proses yang lama untuk mendapatkan hasilnya, untuk itu seharusnya justru juga diimbangi dengan langkah menekan sumber yang mengkonsumsi enerji begitu besar, dimana kita tahu bahwa enerji di Indonesia masih di dominasi dari pembakaran batu bara yang berkontribusi besar terhadap emisi CO2. Hal ini juga mengingat adanya data yang menunjukkan kontribusi terbesar emisi CO2 adalah justru dari pembakaran batu bara atau dari sektor pembangkit listrik.
2. Bahwa menggerakkan, mewajibkan untuk membangun Green Building pada bangunan publik baik perkantoran, apartemen maupun mall, (sebagai bangunan pengkonsumsi enerji dominan) akan berdampak signifikan dalam mereduksi emisi CO2 yang berasal dari pembangkit tenaga listrik. Hal ini sesuai dengan data Dalam report tahun 2007, IPCC (Integovernmental Panel for Climate Change) yang menyebutkan bahwa sektor bangunan adalah yang paling rendah biaya pengurangan emisi CO2 dan paling cepat pelaksanaannya
3. Bahwa seharusnya konsep Green Building tdk hanya difokuskan kepada bangunan baru,
tetapi justru pada bangunan lama yang berkuantitas sangat banyak, yaitu dengan melakukan Retrofitting (peremajaan gedung), dimana cara termudah yang dapat dilakukan adalah dengan mengganti sistem Mekanikal Elektrikal eksisting dengan produk baru yang sudah menerapkan teknologi rendah enerji, tentunya peranan arsitektur (eksterior) bila memungkinkan bisa dilakukan, juga akan mampu menekan turunnya penurunan pemakaian enerji secara signifikan.
4. Bahwa untuk memulai “gerakan spirit” berefek “bola salju” implementasi Green Building ini ,baik pada bangunan baru maupun pada bangunan eksisting akan lebih cepat digerakkan di jalur kebijakan Kementrian BUMN, alasannya :
a. dimana kombinasi “kebijakan/instruksi” dan “logika analisa manfaat bisnis” bisa diterapkan secara bersamaan. Pada prakteknya kebijakan pengadaan pembangunan gedung di BUMN, bisa lebih fleksibel untuk menerapkan pendekatan murni manfaat bisnis , analisa ROI dan target waktu BEP terhadap biaya extra investasi Green Building bisa dijadikan acuan penilaian pemenang penawar bangunan. Konsep ini sudah diterapkan dalam bentuk konsep tender Design & Build Gedung Dahana (sertifikat Platinum GBCI) dan Gedung Kantor Pusat Jasa Marga (target sertifikat Gold GBCI).
b. Kebanyakan BUMN sekarang sedang agresif untuk membuat idle asset (tanah) yang dimilikinya agar lebih bermanfaat sebagai asset “menghasilkan”, sehingga program pengembangan dengan membangun Gedung kepentingan publik saat ini menjadi kebijakan banyak BUMN tsb.
5. Bahwa dengan telah adanya Green Building Council Indonesia (GBCI) seharusnya bisa
dijadikan partner bagi kementrian BUMN dalam memberikan knowledge dan strategi kepada para BUMN dalam membangun asset gedung mereka agar menjadi Green Building yang efektif dan bersertifikat, tdk hanya dalam mendesain tapi juga cara membangunnya hingga menggunakannya.
Mari kita lihat seberapa besar akibat dari effort program Green building ini berdampak kepada angka penurunan emisi CO2. Bila saja dalam 2 tahun ini gerakan Green Building ini berhasil dimasalkan dengan asumsi akan mempengaruhi 30% saja dari bangunan di Indonesia (gedung dan perumahan) yang masing masing akan mereduksi 25% pemakaian enerjinya, dimana data diatas menunjukkan bahwa gedung + perumahan mendominasi 89% penggunaan energi yang mana kontribusi emisi CO2 dari sektor pembangkit energy adalah : 74,91% ,maka tersimpulkan paling tidak sudah terjadi reduksi emisi CO2 sebesar 5 %, ….suatu angka yang cukup besar dari yang semula tdk diperhitungkan dalam program penurunan emisi CO2 di Indonesia. Untuk menunjang lebih cepatnya program Green Building ini terlaksana sesungguhnya ada 5 langkah penting lainnya yang perlu juga diterapkan pemerintah, yaitu :
• Untuk memacu proyek Green Building di pemerintahan, maka pemerintah perlu membuat acuan baru terhadap harga satuan bangunan Green Building dan membuat sistem tender yang
berorientasi kepada “value”, dimana harga penawaran bisa dalam konsep “Design & Build” dan harus dinilai dari aspek lengkap (Biaya Pembangunan + Biaya Operasional)
• Memberlakukan peraturan ketat dalam proses perijinan proses IMB pembangunan gedung yang harus berorientasi pada Bangunan Ramah Lingkungan (Green Building)
• Memberikan insentif kepada pemilik Green Building, kepada Perencana dan Kontraktor yang menerapkan konsep Green, dimana insentif dapat berupa keringanan pajak PPN ataupun PPH
• Memberikan insentif misalnya keringanan pajak pada barang atau produk yang berwawasan ramah lingkungan , misal Photovoltaic / solar panel, produk berorientasi daur ulang, produk hemat energi, dll, sehingga akan cenderung menjadi produk yang lebih murah dan akan merangsang penggunaannya di masyarakat.
• Menjadikan pengetahuan Green building sebagai kurikulum wajib bagi tenaga ahli teknik (para Engineer) di Indonesia baik lewat pendidikan formal (universitas) maupun pendidikan non formal (sertifikasi keahlian).
Dari semua tulisan diatas, mestinya kita sekarang bisa lebih paham, bahwa ada cara yang lebih strategis (quick process-‐less effort-‐high impact) dalam menurunkan emisi CO2 untuk negeri kita, yaitu penerapan Green Building secara masal dan konsisten. Untuk itu…. Mari kita dorong, untuk menjadikan Program Green Building menjadi program Nasional Indonesia. Hadjar Seti Adji Penulis adalah Kepala Cabang Jakarta PT. PP (Persero ) Tbk