Gratifikasi, Suap, Dan Pungli

2
Gratifikasi, Suap, Dan Pungli Alasan aparatur negara menerima gratifikasi karena sejak zaman Belanda memang sudah begitu tradisinya. Uang yang diberikan masyarakat kepada aparat dianggap bukan pelanggaran hukum. Pada hal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 (UU Tipikor) telah melarang hal semacam itu. Pada Pasal 12B Ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa, Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pada 12B Ayat (2), Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jelas di sini bahwa gratifikasi yang dapat diproses secara hukum adalah gratifikasi (hadiah) yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, karena berkaitan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Bila hal itu diberikan kepada bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka hal itu tidak masuk dalam rumusan Pasal 12 B UU Tipikor. Menurut Eddy OS Hiariej, gratifikasi pada dasarnya bukanlah suatu tindak pidana. Gratifikasi baru dianggap sebagai tindak pidana, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka gratifikasi itu dipersamakan dengan suap. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, gratifikasi tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum. Beliau mencontohkan saat para pejabat negara menjadi pembicara di seminar-seminar dan mendapatkan honor atau hadiah atas kegiatan itu, maka hal semacam ini tidak termasuk tindak pidana. (Eddy OS Hiariej, Memahami Gratifikasi: 2011) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima (Lihat Pasal 12C UU Tipikor).

Transcript of Gratifikasi, Suap, Dan Pungli

Page 1: Gratifikasi, Suap, Dan Pungli

Gratifikasi, Suap, Dan Pungli

Alasan aparatur negara menerima gratifikasi karena sejak zaman Belanda memang sudah begitu tradisinya. Uang yang diberikan masyarakat kepada aparat dianggap bukan pelanggaran hukum. Pada hal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 (UU Tipikor) telah melarang hal semacam itu.

Pada Pasal 12B Ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa, Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) pembuktian gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Pada 12B Ayat (2), Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Jelas di sini bahwa gratifikasi yang dapat diproses secara hukum adalah gratifikasi (hadiah) yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, karena berkaitan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Bila hal itu diberikan kepada bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka hal itu tidak masuk dalam rumusan Pasal 12 B UU Tipikor.

Menurut Eddy OS Hiariej, gratifikasi pada dasarnya bukanlah suatu tindak pidana. Gratifikasi baru dianggap sebagai tindak pidana, apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka gratifikasi itu dipersamakan dengan suap. Tegasnya, jika gratifikasi tidak berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, gratifikasi tersebut adalah perbuatan yang sah menurut hukum. Beliau mencontohkan saat para pejabat negara menjadi pembicara di seminar-seminar dan mendapatkan honor atau hadiah atas kegiatan itu, maka hal semacam ini tidak termasuk tindak pidana. (Eddy OS Hiariej, Memahami Gratifikasi: 2011)

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima (Lihat Pasal 12C UU Tipikor).

Pasal 12C UU Tipikor menjadi norma yang menghapuskan tutuntan pidana Pasal 12B jika penerima melaporkannya kepada KPK dalam waktu 30 hari. Dan KPK akan menentukan status barang yang dilaporkan menjadi milik negara atau milik pelapor dalam 30 hari.

Dapat disimpulkan bahwa gratifikasi merupakan bibit dari terjadinya tindak pidana suap. Ini berarti antara gratifikasi dan suap itu ada kecenderungan (kesamaan) dan memiliki perbedaan yang tipis.  

Keduanya sama-sama menjadikan jabatan, kekuasaan,  dan wewenang sebagai motif dari suatu pemberian/hadiah. Perbedaannya adalah gratifikasi masih merupakan sesuatu yang

Page 2: Gratifikasi, Suap, Dan Pungli

boleh asalkan tidak bertentangan dengan kewajiban dan wewenangnya serta melaporkannya ke KPK.

Sedangkan suap adalah perbuatan onrechtmatigedaad  (sesuatu yang bertentangan dengan hukum), karena pemberian itu mengakibatkan kontrak/konsekuensi kepada yang diberi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan cara menyalahgunakan jabatan, kekuasaan, dan wewenang yang dimilikinya. Perbedaan itu akan hilang manakala gratifikasi tidak dilaporkan kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini adalah KPK. Jadi kalau dirumuskan adalah GRATIFIKASI = SUAP apabila tidak dilaporkan ke KPK.

Selain gratifikasi dan suap dikenal pula istilah pungli yang merupakan singkatan dari pungutan liar. UU Tipikor juga mengatur perihal pungli dalam Pasal 12 e yang menyatakan bahwa dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Dari uraian diatas tidak ada alasan bagi aparatur untuk menerima pemberian dari masyarakat dalam bentuk apapun. Karena pemberian itu bisa dikategorikan sebagai gratifikasi, suap maupun punguntan liar.