Suap Dan Gratifikasi Mengandung Beberapa Perbedaan Yang Di Atur Dalam Peraturan Yang Juga Berbeda...

download Suap Dan Gratifikasi Mengandung Beberapa Perbedaan Yang Di Atur Dalam Peraturan Yang Juga Berbeda Antara Lain

If you can't read please download the document

description

gratifikasi dan suap

Transcript of Suap Dan Gratifikasi Mengandung Beberapa Perbedaan Yang Di Atur Dalam Peraturan Yang Juga Berbeda...

2

TINDAK PIDANA SUAP

Suap danSogok

Kasijanto Sastrodinomo,Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia

Rumusan teks Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap terkesan tidak bertenggang rasa terhadap makna suapyang sebenarnya. Sebelum undang-undang itu terbit dan skandal suap belum liar seperti belakangan ini, nomina suaplebih dipahami sebagai jumputan (nasi) yang akan dimasukkan ke dalam mulut untuk dimakan. Sehari-hari, suap, atau menyuapsebagai verba, sangat akrab dengan ibu dan anak balita. Kalimat Ibu sedang menyuapi anaknya berarti ibu sedang memberi maemdengan cara memasukkan makanan ke dalam mulut anak. Lebih dari sekadar kata kerja, menyuapmengandung naluri sekaligus wujud kasih sayang ibu kepada buah hatinya.

Kata suap dan turunannya juga untuk melukiskan empati antarmanusia, seperti menyuapi orang sakit yang perlu dibantu. Namun, gambaran relasi manusiawi itu buyar dalam undang-undang tindak pidana suap. Pada bagian Menimbang tertulis bahwa perbuatan suap pada hakikatnya bertentangan dengan kesusilaan dan moral Pancasila yang membahayakan masyarakat dan bangsa. Kemudian, pada bagian penjelasan umum undang-undang itu dinyatakan perbuatan suap telah terjadi dalam pelbagai bentuk dan sifatnya dalam masyarakat dan karena itu harus diberantas. Jika dibaca secara telanjang, jangan-jangan teks undang-undang itu bisa membuat ibu-ibu gamang menyuapi anaknya. Apalagi pada bagian akhir penjelasan undang-undang itu ditegaskan, Dalam rangka pembinaan watak bangsa yang bersih dan kuat berdasarkan Pancasila, maka perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan sifatnya perlu dilarang. Frase pelbagai bentuk dan sifatnya seakan-akan memasukkan kegiatan ibu yang menyuapi anaknya juga tergolong terlarang. Artinya, rumusan itu terkesan merampatkan semua arti suap.

Bahwa sebuah kata berpotensi memiliki arti ganda yang berbeda atau berlawanan tentulah jamak adanya. Maka, perlu penjelasan semantik sehingga tidak mencederai makna lain dari kata yang sama. Repotnya, teks undang-undang itu tidak menjelaskan (mungkin tidak lazim) bahwa istilah suap yang dimaksud di dalamnya berbeda dari suap yang berarti pemberian makan kepada bocah. Tak terlacak isyarat yang membedakan arti suap yang bersifat netral dan arti kiasan yang berwatak kriminal.

Usul mengganti istilah tindak pidana suap dengan sogok (?) sehingga menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Sogok (?) mungkin tidak mangkus karena harus mengubah undang-undang secara keseluruhan meski bukan hal mustahil asalkan mau. Dalam Kamus Istilah Aneka Hukum (2010) susunan CST Kansil, sogok bersinonim suap sehingga cukup sahih sebagai pertimbangan. Sebaliknya, istilah suap terkesan tak diterima bulat di kalangan hukum setidaknya karena rumpang dalam entri Glosarium Undang-Undang (2008) suntingan Widodo, dan Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete (2009) garapan M Marwan dan Jimmy P.

Kata sogok dipandang lebih bernas sebagai istilah tindak kejahatan itu. Alasannya, sogok atau menyogok tepat untuk memberikan upaya membobol sesuatu yang mampet semisal got yang tersumbat sampah. Tindak kriminal suap tak ubahnya dengan upaya menyodok kemacetan semacam itu. Jelas, suap jenis ini tak bertalian babar blas dengan ekspresi cinta ibu kepada anak.

Menurut tata bahasa

1 (nasi) sebanyak yg dijemput dng jari dan dimasukkan ke mulut ketika makan: kalau makan, -- mu jangan terlampau besar; 2 ki uang sogok: barang siapa memberi -- kpd pegawai negeri akan dihukum;

bersuap v makan (dng tangan);

bersuap-suapan v saling menyuapi;

menyuap v 1 makan dng tangan (tidak dng sendok dsb); 2 memberi makan dng memasukkan makanan ke dl mulut yg disuapi: - anak; 3 ki memberi uang sogok; menyogok; menyuapi: sebenarnya uang sebanyak itu disediakan untuk - orang-orang yg berpengaruh; menyuapi v 1 memberi makanan dng memasukkan makanan ke dl mulut; 2 ki memberi uang suap;

menyuapkan v memasukkan (makanan dsb) ke mulut: ibu - daun-daunan itu kpd anak yg sakit;

suapan n 1 ki sesuatu yg disuapkan; 2 ki hasil menyuap (menyogok); uang suap;

penyuap n 1 ki orang yg menyuap atau menyuapi; 2 ki orang yg memberi uang suap;

orang yg menyuap;

penyuapan n 1 proses, cara, perbuatan menyuap atau menyuapkan;

sesuap n satu suap (nasi dsb);

mencari - nasi, ki mencari rezeki

MAKNA DAN JENIS KORUPSI

Oleh Sri Sumarwani[1]

Abstract

The title: The Meaning And Types Of Corruption, is written to elaborate our understanding about corruption as a term viewed from terminology and suggestions from the experts, including the types of corruption suggested by those experts. The classification of corruption is used in the formulation of Law on Corruption Crime Eradication.

Basically, corruption refers to destruction, bad situation or bad conduct, dishonesty in finance, evil acts, immoral acts, and others.

Corruption, therefore, must be faced and overcome with through, integrated and simultaneous efforts.

Corruption with all its types and forms must be eradicated until to its roots for the sake of the prosperity of the country.

Kata kunci : Istilah korupsi, makna dan jenis korupsi

A. MAKNA KORUPSI

Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin corruptio yang berarti kerusakan atau kebrobokan. Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang buruk. Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan.[2]

Soedjono D mengemukakan bahwa menurut New World Dictionary of The American Language, bahwa sejak abad pertengahan Inggris menggunakan kata corruption dan Perancis corruption. Kata korupsi mengandung arti:perbuatan atau kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk;perilaku yang jahat yang tercela atau kebejatan moral;kebusukan atau tengik;sesuatu yang dikorup, seperti yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat;pengaruh-pengaruh yang korup.

J.E. Sahetapy mengemukakan banyak istilah tentang korupsi di beberapa negara seperti di Muangthai ginmoung, yang berarti makan bangsa; tanwu istilah bahasa Cina yang berarti keserakahan bernoda. Jepang menamakannya oshoku yang berarti kerja kotor. [3]

Menurut A.S. Hornby c.s., corruption ialah the offering and accepting of bribes, (pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap) di samping diartikan juga decay yaitu kebusukan atau kerusakan. Yang dimaksudkan apa yang busuk atau rusak itu ialah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seseorang yang bermoral baik, tentu tidak akan melakukan korupsi.[4]

Dari segi istilah, Hermien Hadiati mengemukakan bahwa korupsi berasal dari kata corrupteia yang dalam bahasa Inggris berarti bribery atau seduction, yang diartikan corrupter atau seducer. Dari kata bribery tersebut kemudian dapat diartikan sebagai memberikan/ menyerahkan kepada seorang agar orang tadi berbuat untuk/guna keuntungan (dari) pemberi.[5] Sedangkan yang diartikan dengan seduction ialah sesuatu yang menarik untuk membuat seseorang menyeleweng.

Seduction ialah very attractive and charming, likely to lead a person astray (but often with no implication of immorality). Sedang bribery ialah promised to subject in order to get him to do something (often something wrong) in favour of the giver. [6]

Hermien Hadiati Koeswadji menyimpulkan:

Dari dua kata terhadap arti corrupteia tersebut menunjuk kepada sesuatu yang bersangkut paut dengan ketidakjujuran seseorang dalam hubungannya dengan sifatnya yang menarik, atau demi untuk keuntungan yang memberi (in favour, charming) bahkan yang bisa membuat seseorang menyeleweng (likely to lead a person astray). [7]

Menurut Soedjono D, John A. Gardiner dan David J. Olson dalam bukunya berjudul:

Theft of The City Readings an Corruption in Urban America, berusaha memberi arti umum tentang korupsi dari berbagai sumber [8] dengan pengelompokan sebagai berikut:

yang dijelaskan dalam Oxford English Dictionary untuk menjelaskan makna korupsi mengkategorikan dalam tiga kelompok sebagai berikut: Secara fisik, misal perbuatan pengrusakan atau dengan sengaja menimbulkan pembusukan dengan tindakan yang tidak masuk akal serta menjijikkan;Secara moral bersifat praktis yaitu membuat korup moral seseorang atau bisa berarti fakta kondisi korup dan kemerosotan yang terjadi dalam masyarakat;Penyelewengan terhadap kemurnian seperti misalnya penyelewengan dari norma sebuah lembaga sosial tertentu, adat istiadat dan seterusnya. Perbuatan ini tidak cocok atau menyimpang dari nilai kepatutan kelompok pergaulan. Penggunaan istilah korupsi dalam hubungannya dengan politik diwarnai oleh pengertian yang termasuk kategori moral.rumusan menurut perkembangan ilmu-ilmu sosial; kelompok terbesar penulis ilmu-ilmu sosial mengikuti rumusan-rumusan di atas atau mengambil salah satu bentuk kategori dasar yang telah disebut. Dalam arti fisik, moral penyelewengan atau salah satu daripadanya. Para ilmuwan sosial pada umumnya mengaitkan definisi mereka tentang korupsi terutama ditujukan pada kantor pemerintahan (instansi atau aparatur). Sedangkan kelompok yang lebih kecil mengembangkan definisi yang berhubungan dengan permintaan dan penawaran serta menekankan pada konsep-konsep yang mengambil dari teori-teori ekonomi. Dan sebagian lagi membahas korupsi dengan pendekatan kepentingan masyarakat;rumusan yang menekankan pada jabatan dalam pemerintahan.

Definisi korupsi yang berkait dengan konsep jabatan dalam pemerintahan dan penyimpangan terhadap kaedah hukum dan etika pemegang jabatan yang bersangkutan, dituliskan Baycley sebagai berikut :

Perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya perkembangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.[9]

rumusan korupsi yang dihubungkan dengan teori pasar. Perumusan arti korupsi dihubungkan dengan teori pasar yang dikembang oleh para ahli antara lain: Jacob van Klaveren mengemukakan bahwa:

Seorang pengabdi negara (pegawai negeri) yang berjiwa korup menganggap kantor jawatannya sebagai suatu perusahaan dagang dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin. Besarnya hasil yang diperoleh bergantung pada situasi pasar dan kepandaiannya untuk menemukan titik hasil maksimal permintaan masyarakat.[10]

rumusan yang berorientasi kepada kepentingan umum. Beberapa penulis cenderung untuk menentukan korupsi sebagai konsep demi kepentingan umum.

Carl J. Friedrich misalnya mempertahankan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang pemegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang. Membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum.[11]

Kelima kategori perumusan pengertian tentang korupsi sebagaimana yang telah terurai di atas menurut Soedjono D pada gilirannya mewarnai perumusan dalam Undang-Undang Pidana Korupsi tertentu, sehingga sanksi hukumnya dapat diancamkan dan diterapkan dalam penanggulangan korupsi negara yang bersangkutan.

Selanjutnya Soedjono D mengemukakan bahwa dari rumusan-rumusan tersebut tercermin bahwa :

Korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik serta penempatan politik, klik golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.[12]

B. JENIS KORUPSI

Penelusuran makna korupsi lebih lanjut kita perhatikan dari uraian Syed Hussein Al Atas dalam The Sociology of Corruption. Menurut Syed Hussein Al Atas seperti halnya dengan semua gejala sosial yang rumit, korupsi tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat.[13]

Oleh Syed Hussein Al Atas ciri-ciri korupsi diringkaskan sebagai berikut :

suatu penghianatan terhadap kepercayaan;penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya;dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus;dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan di mana orang-orang yang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu;melibatkan lebih dari satu orang atau pihak;adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain;terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya;adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk pengesahan hukum; menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Dari segi tipologi, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis sebagai berikut :

Korupsi transaktif (transactive corruption);Korupsi yang memeras (extortive corruption);Korupsi investif (investive corruption);Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption);Korupsi defensif (defensive corruption);Korupsi otogenik (autogenic corruption);Korupsi dukungan (supportive corruption);[14]

Ad. 1. Korupsi transaktif menunjukkan kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan ini oleh kedua-duanya.

Ad. 2. Korupsi yang memeras adalah jenis korupsi dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang dan hal-hal yang dihargainya.

Ad. 3. Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.

Ad. 4. Korupsi perkerabatan atau nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan yang mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.

Ad. 5. Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.

Ad. 6. Korupsi otogenik yaitu korupsi yang dilaksanakan oleh seseorang seorang diri. Brooks mencetuskan subyek yang disebut auto corruption adalah suatu bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang saja.

Ad. 7. Korupsi dukungan. Korupsi jenis ini tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain.

Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.

Menurut Syed Hussein Al Atas bahwa inti gejala korupsi selalu dari jenis pemerasan dan transaktif. Korupsi selebihnya berkisar di sekitar kedua jenis tersebut dan merupakan jenis sampingannya.[15]

David M. Chalmers menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang meliputi :

material corruption;

political corruption;

intellectual corruption;[16]

Ad. a.

Korupsi yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi dan yang menyangkut kepentingan umum.

- Financial manipulations and decisious injurious to the economy are often labeled corrupt;

- The term in often applied also to misjudgements by officials in the public economic;

- Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relative, social influence, or any relationship that sacripfices the public interest and welfare, with or without the implied payment of money, is usually concidered corrupt.

Jadi korupsi yang menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi bidang ekonomi dan yang menyangkut bidang kepentingan umum adalah korupsi di bidang materiil.

Ad. b.

Political corruption oleh David M. Chalmers ditulis sebagai

Electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation and interference with freedom of ellection. Corruption in office involves sale of legislative fortes, administrative of judicial decision or governmental appointment.[17]

Korupsi pada pemilihan termasuk memperoleh suara dengan uang, janji-janji tentang jabatan atau hadiah-hadiah khusus, pelaksanaan intimidasi dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara-suara dalam legislatif, keputusan administratif atau keputusan pengadilan, atau penetapan yang menyangkut pemerintahan.

Ad. c.

Intellectual Corruption diterangkan sebagai :

- seorang pengajar yang berkewajiban memberikan pelajaran kepada murid namun ia tidak memenuhi kewajibannya secara wajar;

- pegawai negeri yang selalu meninggalkan tugasnya tanpa alasan;

- memanipulasi (membajak) hasil karya orang lain.

Disimpulkan oleh Baharuddin Loppa, jenis-jenis korupsi tersebut sebagai berikut :[18]

Korupsi di bidang materiil suatu tindakan yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.Korupsi di bidang politik.

Dapat berupa/berwujud memanipulasi pemungutan suara dengan cara penguapan, intimidasi, paksaan dan atau campur tangan yang dapat mempengaruhi kebebasan memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat administratif di bidang pelaksanaan pemerintahan.

Korupsi ilmu pengetahuan ialah memanipulasi ilmu pengetahuan dengan cara antara lain tidak memberikan pelajaran yang wajar atau menyatakan (mempublisir) sesuatu karangan/ciptaan ilmu pengetahuan atas namanya padahal adalah hasil ciptaan orang lain.

C. JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM UNDANG-UNDANG

Berdasarkan uraian di atas tentang jenis korupsi yaitu jenis korupsi materiil ialah korupsi yang menyangkut penyuapan, memanipulasi di bidang keuangan/perekonomian negara, manipulasi yang merugikan kesejahteraan rakyat pada umumnya adalah sebagaimana yang diatur dan dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 a, b, c, d, e dan ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jenis tindak pidana korupsi materiil yang diuraikan di atas, tercakup dalam perumusan Pasal 1 ayat 1 a, b, c, d dan e dan Pasal ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Pasal 1 ayat 1 a melawan hukum dalam ayat ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Perkataan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.Pasal 1 ayat 1 b memuat sebagai tindak pidana unsur menyalahgunakan kewenangan yang ia peroleh karena jabatannya, dan unsur secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara serta dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.Pasal 1 ayat 1 c istilah korupsi dalam Undang-undang ini dipergunakan dalam arti yang luas, termasuk Pasal-pasal KUHP dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi (12 Pasal).Pasal 1 ayat 1 d mengancam dengan pidana seseorang yang memberikan hadiah kepada pegawai negeri juga mengancam pidana seseorang yang memberi hadiah kepada pegawai negeri.Pasal 1 ayat 1 e ketentuan ayat ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak melaporkan pemberian atau janji yang diperolehnya dengan melakukan tindak pidana yang dimaksud pada Pasal 418, 419, 420 KUHP.

Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut dipenuhi dan pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan dapat melepaskan dari penuntutan berdasarkan ayat e ini. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan tentang penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan, apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420 KUHP terpenuhi.

Pasal 1 ayat 2 percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan pidana sama dengan ancaman bagi tindak pidana yang telah selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi, yang sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan, sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri.

Adapun perumusan Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 pada pasal-pasalnya sekaligus dicantumkan ancaman pidananya. Dalam pasal-pasal di bawah ini hanya ditunjuk rumusan tindak pidananya dan dapat disebut tentang jenis korupsinya adalah korupsi materiil.

- Pasal 2 ayat 1 sebagai berikut :

Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .

- Pasal 2 ayat 2 sebagai berikut :

Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

- Pasal 3 sebagai berikut :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara .

- Pasal 5 ayat 1 sebagai berikut :

Dipidana :

memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dengan jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; ataumemberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

- Pasal 5 ayat 2 sebagai berikut :

Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

- Pasal 6 ayat 1 sebagai berikut :

Dipidana setiap orang yang :

memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; ataumemberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri suatu pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

- Pasal 6 ayat 2 sebagai berikut :

Bagi Hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

- Pasal 7 ayat 1 sebagai berikut :

Dipidana :

pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang dimaksud dalam huruf a;setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atausetiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c;

- Pasal 7 ayat 2 sebagai berikut :

Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

- Pasal 8 sebagai berikut :

Dipidana :

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

- Pasal 9 sebagai berikut :

Dipidana :

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

- Pasal 10 sebagai berikut :

Dipidana :

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :

menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; ataumembiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; ataumembantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

- Pasal 11 sebagai berikut :

Dipidana :

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.

- Pasal 12 sebagai berikut :

Dipidana :

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima pekerjaan, atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; ataupegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

- Pasal 12 B ayat 1 sebagai berikut :

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan ketentuan atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :

yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

- Pasal 12 B ayat 2 sebagai berikut :

Dipidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

- Pasal 13 sebagai berikut :

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatanatau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana.

- Pasal 14 sebagai berikut :

Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.

- Pasal 15 sebagai berikut :

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

- Pasal 16 sebagai berikut :

Setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadi tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

- Pasal 20 ayat 1 sebagai berikut :

Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

- Pasal 20 ayat 2 sebagai berikut :

Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

- Pasal 20 ayat 3 sebagai berikut :

Dalam hal tuntutan pidana terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

- Pasal 20 ayat 4 sebagai berikut :

Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.

- Pasal 20 ayat 5 sebagai berikut :

Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan, dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

- Pasal 20 ayat 6 sebagai berikut :

Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

- Pasal 20 ayat 7 sebagai berikut :

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

D. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan mempelajari makna dan jenis korupsi, maka UU Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (lama) dan UU Nomor 20 Tahun 2001, sama-sama termasuk jenis korupsi materiil yang jenisnya lebih banyak dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Karena dalam UU Nomor 3 Tahun 1971, hanya disebutkan dalam satu pasal saja (19). Sedangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jenisnya sebanyak 19 dengan rincian.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin Loppa, 1990, Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung

Hermien Hadiati Koeswadji, 1994, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke 1, Citra Aditya Bakti, Bandung

J.E. Sahetapy, 1989, Parados Dalam Kriminologi, Edisi 1 Cetakan 2, Rajawali Press, Jakarta

Soedjono D., 1984, Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar baru, Bandung.

Sudarto, 1980, Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta

Syed Hussein Al Atas, 1987, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Terjemahan Nirwono, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Cetakan Pertama, Jakarta

2

[1] Guru Besar Fakultas Hukum UNISSULA

[2] Sudarto, 1980, Hukum dan Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, hal. 122

[3] J.E. Sahetapy, 1989, Parados Dalam Kriminologi, Edisi 1 Cetakan 2, Rajawali Press, Jakarta, hal. 45

[4] Soedjono D., 1984, Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar baru, Bandung, hal. 17

[5] Hermien Hadiati Koeswadji, 1994, Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ke 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 32

[6] Ibid., hal. 33

[7] Ibid.

[8] Soedjono D., op.cit., hal. 17

[9] Soedjono D., op.cit., hal. 19

[10] Soedjono D., op.cit., hal. 20

[11] Soedjono D., op.cit., hal. 21

[12] Soedjono D., op.cit., hal. 20

[13] Syed Hussein Al Atas, 1987, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Terjemahan Nirwono, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Cetakan Pertama, Jakarta, hal. VIII

[14] Ibid., hal. IX

[15] Ibid., hal. X

[16] Baharuddin Loppa, 1990, Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung

[17] Ibid.

[18] Ibid., hal. 7

Tanya-Jawab-Gratifikasi

Suap dalam berbagai bentuk, bnyak dilakukan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok dan lain sebagainya. Adapaun tujuan suap adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari orang atau pegawai atau pejabat yang disuap.

Pengertian Suap

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, suap diartikan sebagai pemberian dlm bentuk uang atau uang sogok kepda pegawai negri.

Dalam arti yang lebih luas suap tidak hanya dalam uang saja, tetapi dpt brupa pemberian brang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan fasilitas lainnya yang diberikan kepda pegawai negri atau pejabt negara yang pemberian tsb dianggap ada hubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan kewajiban atau tgasnya sebagai pgawai negri atau pejabat negara.

Perbuatan suap dilakukan oleh seorang kepada pihak lain baik pegawai negri, pejabat negara maupun kepada pihak lain yang mempunyai kewenangan/pengaruh. Pemberi suap memperoleh hak-hak, kemudahan atau fasilitas tertentu. Perbuatan suap pada hakekatnya bertentangan dengan norma sosial, agama dan moral. Selain itu juga bertentangan dengn kepentingan umum serta menimbukan kerugian msyrkt dn membahayakan keselamatan negara. Akan tetapi kenyataanya banyak perbuatan yang mengandung unsur suap belum ditetapkan sebagai perbuatan pidana, misalnya pemilihan perangkat desa, penyuapan dalam pertandingan olahraga, dan lain sebagainya.

Batasan untuk kepentingan umum ditegaskan dlm ps 2,3 serta paragraf ke 3 UU No 11 thn 1980 ttg suap, termasuk utk kepentingan umum kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing. TP Suap Sebagai TP Khusus.

Pendalaman materi hukum pidana khusus dimaksudkan agar mendapatkan pengertian yang lebih luas yang berkaitan dengan hukum pidana material dan hukum pidana formal, selain itu juga dimaksudkan agar urutan hukum yg ada dpt menanggulangi tipe, derajat dan sifat kejahatan yang hidup dan berkembang dlm msyarakat. HP khusus diharapkan dpt memperoleh penyempurnaan dari keseluruhan ilmu pengetahuan, asas-asas hukum pidana tanpa mencampur adukkan cara bekerjanya hkum pidana. HP khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana material yg berada diluar hkum kodifikasi dgn memuat norma, sanksi dan asas hukum yang disusun secara khusus menyimpang, karena kebutuhan msyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung peraturan dari anasir-anasir kejahatan inkonvensional.

Aturan yang menunjuk adanya kekhususan, sebagaimana terdapt dalam perumusan ancaman pidana yang menggunkan perumusan kumulatif ancaman pidana penjara dan denda.Ex: ps 2 UU No 11 thn 1980 (dipruntukan bagi pesuap aktif), ps 3 UU No 11 thn 1980 (diperuntukan bagi pesuap fasif).

Unsur Delik dalam TP Suap

Ps 2 UU 11 thn 1980 ttg TP Suap yg menyatakan:

Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selamalamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Berdsrkan ps tersebut Unsur-unsur perbuatan pidana suap terdiri dari:

Barang siapaMemberi dan menjanjikan ssuatu kpda orang lain;Dengan maksud membujuk supaya penerima suap berbuat atau tdak berbuat ssuai dengan tugasnya yang bertentangan dengan kewenangannya dan kewajibanya.Bertentangan dengan kepentingan umum

Dalm ps 3 UU TP suap yg menyebutkan:

Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).

Berdsrkan bunyi ps diatas unsur prbuatan pidana suap terdiri dari:

Barang siapaMenerima sesuatu atau janjiMelakukan perbuatan atau tdk melakukn perbuatan yang bertentangan dengan kewenangan atau kewajiban;Menyangkut kepentingan umum;

Atas dasar rumusan kedua pasal diatas maka unsur subjektif dirumuskan dlm kalimat barang siapa (subjek hukum) yang melakukan perbuatan secara sengaja, agar penerima suap melakukan atau tidak melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan. Brdsrkan pilihan kata barang siapa tsb, nmpak para pembentuk UU menggunakan perumusan yang tercatum dalm KUHP oleh sbb itu spintas dapat disimpulakn, bhwa hnya subjek hkum perorangan yang dapt dijatuhi pidana. Namun dalam perkenbangan kebutuhan hukum koorporasi juga merupakan subjek hukum dalam TP suap. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat, perorangan tidak mungkin bisa mengurus dan mengembangkan usaha sendiri, ttp mereka membentuk usaha bersama, terpisah dengan harta kekayaan pribadi serta membentuk kepengurusan sendiri. Oleh sebab itu perbuatan hukum dan akibatnya harus terpisah dengan perbuatan orang per orang sebagai pemilik modal dan atau pengurusnya. Unsur objekti dalam TP suap berupa pemberian atau janji utk memberi sejumlah uang atau dalam bentuk barang lainnya kpda orang yang mempunyai kewenangan dan atau kekuasaan yangmenyangkut kepentingan umum (pesuap aktif), serta penerima suap (pesuap pasif), apabila dia menduga atau patut diduga, bahwa pemberian tsb terkait dengan jabatan atau kewenangan yang dimilikinya, maka sudah dikatakan unsur objektif.

TP Suap sbgaimana dirumuskan dlm ps 2 dan 3 tsb diatas menggunakan rumusan formil artinya yang diancam pidana adlah perbuatan bukan akibatnya. Namun untk menjatuhkan saknsi pidana kepada pesuap aktif harus dibuktikan adanya unsur niat/kehendak yang dituju oleh pembuat., sedangkan sebagai penerima cukup adanya dugaan/ kepatutan (kondisi objektif), bahwa penerima mengetahui/sudah layak mengetahui, bahwa pemberian sesuatu atau janji itu berkaitan dengan kewenangan atau kewajiban yang ia miliki.Sbgaimana ditentukan dlm UU, pesuap aktif dan pasif sama2 diancam dengan pidana penjara dana denda. Pembentuk UU memberikan ancaman pidana denda yang sama bagi keduanya yaitu Rp 15.000.000. pembentuk UU membedakan sanski pidananya, pesuap pasif diancam pidana yang lebih berat (paling lama 5 thn penjara) sedangkan pesuap aktif ancaman pidananya paling lama 3 thn penjara.

Alasan pembuat UU menentukan sama-sama sbg perbuatan yang dapat dipidana baik itu pesuap aktif maupun pasif adlah krna kedua perbuatan tsb sama2 perbuatan tercela yang dapt merugikan masyrkt dan negara. Kebijakan tsb akan menimbulkan kesulitan utk mendapatkan alat bukti atau bahkan sejak semula mereka tdk melaporkan kejadian yang dialami, meskipun menimbulkan kerugian. Oleh krn itu penegak hukum harus memperhatikan itikad baik bagi para saksi pelapor.

Suap dan Gratifikasi mengandung beberapa perbedaan yang diatur dalam peraturan yang juga berbeda antara lain:

Suap diatur dalam:

Pasal ... Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU 11/1980)UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor)

Sedangkan Gratifikasi diatur dalam:

UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor);Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

Definisi dari keduanya juga berbeda, Suap mengandung definisi Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya Definisi perbuatan melawan hukum pidana, kewenangan apa yang seharusnya dilaksanakan atau kelalaian apa yang dia perbuat?, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980). sedangkan Gratifikasi Mengandung DefinisiPemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor).

Masing-masing mempunyai ketentuan pidana dengan sanksi-sanksi yang juga berbeda:

Suap dapat dikenakan Sanksi:

UU 11/1980:

Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

KUHP:

Pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 149)

UU Pemberantasan Tipikor:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor). Sedangkan Gratifikasi dapat dikenakan Sanksi:

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan TipikoR).

Di dalam buku Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu (hal. 19):

Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut;Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-Cuma;Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan;Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat;Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja;Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

Pengaturan dan batasan/definisi suap dan gratifikasi beserta ancaman sanksi bagi masing-masing tindak pidana tersebut kami sajikan dalam tabel di bawah ini:

Perbedaan

Suap

Gratifikasi

Pengaturan

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

2. UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU 11/1980)

3. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor)

1. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor)

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

Definisi

Barangsiapamenerimasesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor)

Sanksi

UU 11/1980:

Pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980).

KUHP:

pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 149)

UU Pemberantasan Tipikor:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor).

Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (Pasal 12B ayat [2] UU Pemberantasan TipikoR)

Jadi, selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda. Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur mengetahui atau patut dapat menduga sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam kebijakan maupun keputusannya. Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.Jadi, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.

Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang dibedakan. Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: Defining Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public Corruption in the United States and the United Kingdom, Greg Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi adalah pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).

Mengenai faktor apa yang mendasari adanya perumusan mengenai delik gratifikasi, kami merujuk pada salah satu penjelasan yang diamuat dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di dalam buku tersebut (hal. 1) dijelaskan sebagai berikut:

Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

Di dalam buku tersebut juga dijelaskan contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi, yaitu (hal. 19):

1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya

2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut

3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma

4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan

5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat

6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan

7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerja

8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap;

3. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.

Apa yang dimaksud dengan gratifikasi?

Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001, bahwa: "Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjawalan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diteria di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik."

Apabila dicermati penjelasan pasal 12B ayat (1) tersebut, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal 12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunya makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan padal 12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria pada unsur 12B saja.

Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001. "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut..." Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya.

Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan UU. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri tersebut segera melapor ke KPK untuk dianalisa lebih lanjut.

Bagaimana mengidentifikasi gratifikasi yang dilarang (ilegal)?

Bagi penyelenggara negara atau pegawai negeri yang ingin mengidentifikasi dan menilai apakah suatu pemberian yang diterimanya cenderung ke arah gratifikasi ilegal/suap atau legal, dan berpedoman pada beberapa pertanyaan yang sifatnya reflektif sebagai berikut:

No

Pertanyaan Reflektif (pertanyaan kepada diri sendiri)

Jawaban(Apakah pemberian cenderung ke arah gratifikasi ilegal/suap atau legal)

1

Apakah motif dari pemberian hadiah yang diberikan oleh pihak pemberi kepada Anda?

Jika motifnya menurut dugaan Anda adalah ditujukan untuk mempengaruhi keputusan Anda sebagai pejabat publik, maka pemberian tersebut dapat dikatakan cenderung ke arah gratifikasi ilegal dan sebaiknya Anda tolak.

Seandainya 'karena terpaksa oleh keadaan' gratifikasi diterima, sebaiknya segera laporkan ke KPK atau jika ternyata instansi tempat Anda bekerja telah memiliki kerjasama dengan KPK dalam bentuk Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) maka Anda dapat menyampaikannnya melalui instansi Anda untuk kemudian dilaporkan ke KPK.

2

a. Apakah pemberian tersebut diberikan oleh pemberi yang memiliki hubungan kekuasaan/posisi setara dengan Anda atau tidak? Misalnya pemberian tersebut diberikan oleh bawahan, atasan atau pihak lain yang tidak setara secara kedudukan/posisi baik dalam lingkup hubungan kerja atau konteks sosial yang terkait kerja

Jika jawabannya adalahya(memiliki posisi setara), maka bisa jadi kemungkinan pemberian tersebut diberikan atas dasar pertemanan atau kekerabatan (sosial), meski demikian untuk berjaga-jaga ada baiknya Anda mencoba menjawab pertanyaan 2b.

Jika jawabannyatidak(memiliki posisi tidak setara) maka Anda perlu mulai meningkatkan kewaspadaan Anda mengenai motif pemberian dan menanyakan pertanyaan 2b untuk mendapatkan pemahaman lebih lanjut.

b. Apakah terdapat hubungan relasi kuasa yang bersifat strategis? Artinya terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang Anda miliki akibat posisi Anda saat ini seperti misalnya sebagai panitia pengadaan barang dan jasa atau lainnya.

Jika jawabannya ya, maka pemberian tersebut patut Anda duga dan waspadai sebagai pemberian yang cenderung ke arah gratifikasi ilegal.

3

Apakah pemberian tersebut memiliki potensi menimbulkan konflik kepentingan saat ini maupun di masa mendatang?

Jika jawabannyaya, maka sebaiknya pemberian tersebut Anda tolak dengan cara yang baik dan sedapat mungkin tidak menyinggung. Jika pemberian tersebut tidak dapat ditolak karena keadaan tertentu maka pemberian tersebut sebaiknya dilaporkan dan dikonsultasikan ke KPK untuk menghindari fitnah atau memberikan kepastian jawaban mengenai status pemberian tersebut.

4

Bagaimana metode pemberian dilakukan? Terbuka atau rahasia?

Anda patut mewaspadai gratifikasi yang diberikan secara tidak langsung, apalagi dengan cara yang bersifat sembunyi-sembunyi (rahasia). Adanya metode pemberian ini mengindikasikan bahwa pemberian tersebut cenderung ke arah gratifikasi ilegal.

5

Bagaimana kepantasan/kewajaran nilai dan frekuensi pemberian yang diterima (secara sosial)?

Jika pemberian tersebut di atas nilai kewajaran yang berlaku di masyarakat ataupun frekuensi pemberian yang terlalu sering sehingga membuat orang yang berakal sehat menduga ada sesuatu di balik pemberian tersebut, maka pemberian tersebut sebaiknya Anda laporkan ke KPK atau sedapat mungkin Anda tolak.

1)Pertanyaan reflektif ini dapat digunakan untuk gratifikasi/pemberian hadiah yang diberikan dalam semua situasi, tidak terkecuali pemberian pada situasi yang secara sosial wajar dilakukan seperti: pemberian hadiah/gratifikasi pada acara pernikahan, pertunangan, ulang tahun, perpisahan, syukuran, khitanan atau acara lainnya.

2) Ada tiga model hubungan: (1) vertikal dominatif (seperti hubungan atasan-bawahan); (2) diagonal (seperti petugas layanan publik-pengguna layanan publik); dan (3) setara (seperti antara teman dan antar tetangga); Dua yang pertama adalah relasi-kuasa yang timpang.

3) Strategis artinya berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan kontrol atas aset-aset sumberdaya strategis ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ketimpangan strategis ini biasanya antar posisi strategis yang berhubungan lewat hubungan strategis. Sebagai contoh adalah hubungan antara seseorang yang menduduki posisi strategis sebagai panitia pengadaan barang dan jasa dengan peserta lelang pengadaan barang dan jasa. Pada posisi ini terdapat hubungan strategis di mana sebagai panitia pengadaan barang dan jasa seseorang memiliki kewenangan untuk melakukan pengalokasian/pendistribusian aset-aset sumberdaya strategis yang dipercayakan kepadanya pada pihak lain, sedangkan di lain sisi peserta lelang berkepentingan terhadap sumberdaya yang dikuasai oleh panitia tersebut.

Jika saya menerima gratifikasi, apa yang harus saya lakukan?

Jika anda memiliki posisi sebagai penyelenggara negara atau pegawai negeri menerima gratifikasi maka langkah yang terbaik yang bisa anda lakukan (jika anda dapat mengidentifikasi motif pemberian adalah gratifikasi ilegal) adalah menolak gratifikasi tersebut secara baik, sehingga sedapat mungkin tidak menyinggung perasaan pemberi.

Jika keadaan memaksa anda menerima gratifikasi tersebut, misalnya pemberian terlanjur dilakukan melalui orang terdekat anda (suami, istri, anak, dan lain-lain) atau ada perasaan tidak enak karena dapat menyinggung pemberi, maka sebaiknya gratifikasi yang diterima segera dilaporkan ke KPK. Jika instansi anda kebetulan adalah salah satu instansi yang telah bekerjasama dengan KPK dalam Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), maka anda dapat melaporkan langsung di instansi anda.

Apa saja yang harus saya lakukan dan siapkan dalam melaporkan gratifikasi ilegal?

Tata cara pelaporan penerimaan gratifikasi yang diatur dalam Pasal 16 huruf a Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyebutkan bahwa laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.

Pasal ini mensyaratkan bahwa setiap laporan harus diformalkan dalam formulir gratifikasi , adapun formulir gratifikasi bisa diperoleh dengan cara mendapatkannya secara langsung dari kantor KPK, mengunduh (download) dari situs resmi KPK (www.kpk.go.id), memfotokopi formulir gratifikasi asli atau cara-cara lain sepanjang formulir tersebut merupakan formulir gratifikasi; sedangkan pada huruf b pasal yang sama menyebutkan bahwa formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:

- Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;- Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;- Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;- Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan- Nilai gratifikasi yang diterima.

Apa yang Dilakukan Oleh KPK pada Laporan Saya Setelah Laporan Diserahkan dan Diterima Secara Resmi?

Setelah formulir gratifikasi terisi dengan lengkap, KPK akan memproses laporan gratifikasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang diatur pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan urut-urutan sebagai berikut:

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.

(2) Pertimbangan yang dimaksud adalah KPK melakukan analisa terhadap motif dari gratifikasi tersebut, serta hubungan pemberi dengan penerima gratifikasi. Ini dilakukan untuk menjaga agar penetapan status gratifikasi dapat seobyektif mungkin.

(3) Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi

(4) Pemanggilan yang dimaksud adalah jika diperlukan untuk menunjang obyektivitas dan keakuratan dalam penetapan status gratifikasi, serta sebagai media klarifikasi dan verifikasi kebenaran laporan gratifikasi penyelenggara negara atau pegawai negeri.

(5) Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada Ayat ini Pimpinan KPK diberi kewenangan untuk melakukan penetapan status kepemilikan gratifikasi tersebut.

(6) Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.

(7) Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

(8) Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.

Apa Saja Contoh-Contoh Kasus Gratifikasi

Beberapa contoh kasus gratifikasi baik yang dilarang berdasarkan ketentuan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 maupun yang tidak. Tentu saja hal ini hanya merupakan sebagian kecil dari situasi-situasi terkait gratifikasi yang seringkali terjadi.

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi adalah:

Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma.Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya.Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut.Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembelian barang dari rekanan.Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat.Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan.Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kunjungan kerjaPemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu.

CONTOH KASUS

[Contoh 1]

Pemberian Pinjaman Barang dari Rekanan kepada Pejabat/Pegawai Negeri Secara Cuma-Cuma

Anda sebagai seorang pejabat senior di biro perlengkapan yang mempunyai kewenangan dalam hal pengadaaan barang dan jasa sebuah Kementerian. Kemudian, seorang penyedia barang dan jasa yang sudah 2 (dua) tahun melayani peralatan komputer untuk Kementerian Anda menawarkan komputer cuma-cuma untuk digunakan di rumah Anda selama Anda membutuhkannya. Tiga bulan lagi kontrak layanan peralatan komputer bagi Kementerian Anda akan diperbaharui, dan Anda biasanya menjadi anggota dari kepanitiaan yang memutuskan perusahaan mana yang memenangkan kontrak tersebut.

Pertanyaan

:

Apakah penerimaan oleh pegawai senior biro perlengkapan di sebuah kementerian tersebut termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya

Pertanyaan

:

Mengapa penerimaan tersebut termasuk konsep yang dilarang?

Jawaban

:

Sebagai penyelenggara negara/pegawai negeri (pegawai senior dari biro perlengkapan di sebuah Kementerian), Anda telah menerima hadiah (gratifikasi) berupa komputer dari pihak yang Anda ketahui sebagai rekanan dari Kementerian. Anda juga mengetahui bahwa Anda akan menjadi panitia pengadaan yang berhak untuk menentukan perusahaan mana yang akan dipilih oleh Kementerian untuk memberikan layanan pengadaan komputer. Pemberian komputer ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengurangi independensi Anda pada saat menentukan siapa pemenang tender. Karena dengan pemberian tersebut Anda akan merasa berhutang budi pada kontraktor yang telah memberikan komputer.

Pertanyaan

:

Apa tindakan yang seharusnya Anda lakukan dalam kondisi ini?

Jawaban

:

Anda seharusnya menolak pemberian komputer tersebut, untuk memelihara integritas pribadi Anda demi kepentingan organisasi. Jika karena situasi dan kondisi yang mendesak, Anda terpaksa menerima pemberian tersebut, misalnya pemberian komputer dilakukan dengan diantarkan ke rumah, di saat Anda tidak berada di rumah, maka penerimaan komputer tersebut harus dilaporkan kepada KPK sebagai pelaporan gratifikasi paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan untuk ditetapkan status kepemilikan gratifikasinya oleh KPK, atau jika ternyata instansi tempat Anda bekerja telah memiliki kerjasama dengan KPK dalam bentuk Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) maka Anda dapat menyampaikannya melalui instansi Anda untuk kemudian dilaporkan ke KPK.

[Contoh 2]

Pemberian Tiket Perjalanan Oleh Rekanan kepada Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri atau Keluarganya untuk Keperluan Dinas/Pribadi Secara Cuma-Cuma

Anda sebagai seorang ketua Kelompok Kerja Pelaksanaan Kajian Hukum Tindak Pidana Korupsi Nasional di suatu Kementerian. Atasan Anda adalah Menteri, yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan Kajian Hukum Tindak Pidana Korupsi Nasional yang saat ini sedang dilakukan. Pada suatu hari, konsultan yang bekerjasama dengan kelompok kerja Anda bertanya kepada Anda, bagaimana jika perusahaannya mengundang Menteri untuk menghadiri pertandingan final sepak bola Piala Dunia yang akan berlangsung di negara tetangga. Biaya perjalanan dan akomodasi akan ditanggung oleh konsultan. Konsultan berpendapat bahwa kegiatan ini akan memberikan kesempatan yang baik kepada Menteri untuk bertemu dengan Menteri-Menteri lainnya yang juga akan berada di sana.

Pertanyaan

:

Apakah tiket menonton bola dari konsultan rekanan Kementerian tersebut termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Pemberian hadiah oleh konsultan akan mempengaruhi penilaian Menteri terhadap pekerjaan konsultan. Hadiah juga dapat dilihat sebagai maksud untuk mempengaruhi keputusan Menteri dalam proyek-proyek selanjutnya yang mungkin diikuti oleh perusahaan

Pertanyaan

:

Apa tindakan yang seharusnya Anda lakukan dalam kondisi ini?

Jawaban

:

Tawaran dari konsultan tersebut harus ditolak karena pemberian tersebut berpotensi menimbulkan situasi konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan penilaian profesional Menteri terhadap pekerjaan konsultan, dan selain itu peristiwa seperti final sepak bola Piala Dunia tidak berhubungan dengan tugas dan tanggung

jawab dari seorang penyelenggaran negara atau pegawai negeri.

[Contoh 3]

Pemberian Tiket Perjalanan Oleh Pihak Ketiga Kepada Penyelenggara Negara Atau Pegawai Negeri atau Keluarganya untuk Keperluan Dinas/Pribadi Secara Cuma-Cuma

Adanya pemekaran suatu provinsi menyebabkan sebuah kabupaten berubah menjadi sebuah provinsi baru. Provinsi baru itu perlu wilayah baru yang akan dijadikan Ibu Kota. Kawasan yang cocok sebagai calon ibu kota sayangnya merupakan daerah hutan lindung. Agar kawasan hutan lindung dapat dialihkan menjadi ibu kota maka perlu dilakukan proses pengalihan fungsi kawasan yang dimulai dengan permintaan dari pemerintah daerah kepada Menteri Kehutanan. Kemudian Menteri Kehutanan menyampaikan permohonan ini kepada Komisi "Z" di Dewan Perwakilan Rakyat dan atas ijin DPR, Menteri akan membentuk tim terpadu yang bersifat independen untuk melakukan kajian. Berdasarkan hasil kajian, tim terpadu merekomendasikan bahwa fungsi hutan lindung tersebut pantas dialihkan karena awalnya hutan tersebut merupakan perkampungan dan berubah fungsinyamenjadi hutan lindung lebih karena kepentingan tertentu. Selanjutnya menteri membawa rekomendasi dari tim terpadu ini untuk dimintakan persetujuannya kepada Komisi "Z"

Untuk mempercepat proses persetujuan, pemerintah daerah bersepakat dengan salah satu anggota komisi untuk memberikan bantuan dalam peninjauan ke kawasan, antara lain tiket perjalanan dan akomodasi selama di kawasan.

Pertanyaan

:

Apakah pemberian bantuan dalam peninjauan ke kawasan tersebut termasuk gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Pemberian bantuan dalam peninjauan ke kawasan diduga merupakan upaya dari pihak pemerintah daerah yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi independensi keputusan komisi sebagai pemberi persetujuan dalam mengesahkan hasil kajian dari tim terpadu.

Pertanyaan

:

Jika Anda berada dalam kondisi yang sama seperti yang dialami anggota komisi apa tindakan yang seharusnya Anda lakukan?

Jawaban

:

Untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, anggota komisi seharusnya menolak bantuan dalam melakukan peninjauan ke kawasan dan memelihara integritas dari proses pengambilalihan fungsi kawasan. Jika karena situasi dan kondisi yang mendesak ternyata tiket perjalanan dan akomodasi sudah ditanggung oleh pihak pemda tanpa diketahui sebelumnya oleh anggota komisi, maka anggota komisi harus melaporkan penerimaan ini sebagai pelaporan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja setelah peninjauan selesai dilaksanakan.

[Contoh 4]

Pemberian Insentif Oleh BUMN/BUMD Kepada Pihak Swasta Karena Target Penjualannya Berhasil Dicapai

Sebuah BUMN di bidang transportasi, yaitu Maskapai "X" banyak bekerjasama dengan agen perjalanan di seluruh Indonesia untuk melakukan penjualan tiket. Sebagai imbalan dan juga strategi pemasaran, maka Maskapai X memberikan insentif kepada agen-agen perjalanan yang berhasil memenuhi target penjualan. Apakah pemberian insentif tersebut termasuk gratifikasi.

Pertanyaan

:

Apakah insentif yang diberikan oleh Maskapai "X" tersebut termasuk gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Tidak

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang tidak dilarang?

Jawaban

:

Hal tersebut bukan merupakan gratifikasi sebagaimana definisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, karena pemberian diberikan kepada pihak swasta. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai gratifikasi mengikat pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Berbeda halnya apabila pemberian yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pemasaran yang dikemas dalam bentuk biaya promosi jika diberikan kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri makan pemberian tersebut harus dilaporkan sebagai pelaporan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan tersebut.

Pertanyaan

:

Apa yang mesti diperhatikan dalam hal ini?

Jawaban

:

Perlu diperhatikan bahwa pemberian tersebut akan berpotensi menjadi suatu permasalahan hukum ketika insentif tersebut tidak disalurkan sesuai dengan peraturan yang ada (misal peraturan yang mengatur masalah persaingan usaha). Dalam contoh kasus ini hal tersebut belum merupakan gratifikasi yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

[Contoh 5]

Penerimaan Honor Sebagai Narasumber Oleh Seorang Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Dalam Suatu Acara

Dalam menjalankan tugas seorang penyelenggara negara/pegawai negeri seringkali mendapatkan penunjukan tugas menjadi pembicara untuk menjelaskan sesuatu, dan biasanya menjadi pembicara untuk menjelaskan sesuatu, dan biasanya mendapatkan honor sejumlah uang dari panitia.

Pertanyaan

:

Apakah penerimaan honor tersebut termasuk dalam konsep gratfikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Jika penerimaan honor tersebut tidak dilarang dalam Kode Etik atau peraturan internal instansi dari penyelenggara negara/pegawai negeri maka hal tersebut bukanlah gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pertanyaan

:

Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?

Jawaban

:

Jika terdapat larangan sebaiknya penyelenggara negara atau pegawai negeri tidak menerima pemberian honor tersebut. Tetapi jika dalam kondisi tidak dapat menolak, atau dalam kondisi penerima tidak dapat menentukan benar atau tidaknya penerimaan dimaksud maka penyelenggara negara/pegawai negeri dapat mengkonsultasikan dan melaporkan pemberian honor tersebut ke KPK

[Contoh 6]

Pemberian Sumbangan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dalam Acara Khusus

BUMN memberikan sejumlah sumbangan/hibah kepada masyarakat sekitar termasuk didalamnya adalah pihak Kepolisian, Kejaksaan, TNI, dan Instansi Pemerintah lainnya, pada acara-acara tertentu misalnya HUT Kepolisian dan Kejaksaan.

Pertanyaan

:

Apakah pemberian sumbangan tersebut termasuk ke dalam konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya, untuk pemberian kepada Instansi Kepolisian, Kejaksaan, TNI dan Instansi Pemerintah lainnya. Untuk pemberian kepada masyarakat sekitar tidak termasuk gratifikasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang 20 Tahun 2001.

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Bila pemberian tersebut diberikan kepada suatu instansi maka dikhawatirkan dengan adanya pemberian tersebut berpotensi mempengaruhi keputusan instansi pada masa yang akan datang atau pada saat itu.

Pertanyaan

:

Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?

Jawaban

:

Untuk permberian kepada instansi juga harus memperhatikan peraturan perundangan terkait dengan sumbangan/hibah kepada instansi lain, agar pemberian tersebut tidak disalahgunakan oleh pimpinan instansi yang bersangkutan dan digunakan untuk kepentingan pribadi.

Ada 2 mekanisme terkait pemberian yang ditujukan untuk kepentingan operasional, yaitu:

1. Pimpinan instansi terkait melaporkan penerimaan tersebut kepada KPK untuk mendapatkan penetapan bahwa barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut menjadi milik Negara, dalam hal ini untuk kepentingan operasional instansi terkait; selanjutnya

2. Pimpinan instansi terkait meminta ijin penggunaan barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut terlebih dahulu kepada Kementerian Keuangan RI sebagai mekanisme pendaftaran barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut sebagai aset negara untuk kepentingan instansi terkait. Berdasarkan ijin dari Kementerian Keuangan RI, instansi yang menerima selanjutnya melakukan proses pencatatan/inventarisasi atas barang pemberian dari sumbangan/hibah tersebut untuk dapat mempergunakannya dalam pelaksanaan operasional instansi.

[Contoh 7]

Pemberian Barang (Souvenir, Makanan,Dll) Oleh Kawan Lama atau Tetangga

Saat penyelenggara negara/pegawai negeri bertugas ke luar daerah, yang bersangkutan bertemu dengan kawan lama dan kemudian diberi oleh-oleh berupa makanan, hiasan untuk rumah dan kerajinan lokal. Dalam kondisi demikian, apakah hal tersebut termasuk gratifikasi?

Pertanyaan

:

Apakah pemberian souvenir, makanan oleh kawan lama/tetangga termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Pada prinsipnya pemberian kepada penyelenggara negara/pegawai negeri seperti contoh di atas tidak dapat digolongkan sebagai gratifikasi yang dilarang karena hanya berdasar pada hubungan perkawanan/kekerabatan saja dan dalam jumlah yang wajar.

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang tidak dilarang?

Jawaban

:

Gratifikasi seperti contoh di atas bukan termasuk gratifikasi sebagaimana diamanahkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Sebagaimana makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, bertetangga dan tentunya bersosialisasi bukan berarti kita menghilangkan peran-peran dan konsekuensi sosial kemasyarakatan yang telah ada.

Namun jika pemberian tersebut terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang diemban oleh penyelenggara negara/pegawai negeri, maka sebaiknya pemberian tersebut ditolak atau melaporkannya kepada KPK

Pertanyaan

:

Apa yang harus diperhatikan dalam masalah ini?

Jawaban

:

Perlu diwaspadai terkadang pemberian sumbangan dipergunakan sebagai kamuflase untuk motif yang bernilai negatif.

[Contoh 8]

Pemberian Hadiah atau Uang Sebagai Ucapan Terima Kasih atas Jasa yang Diberikan

Seorang penyelenggara negara/pegawai negeri yang bertugas memberikan layanan publik pembuatan KTP, menerima pemberian dari pengguna layanan sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang dinilai baik. Pengguna layanan memberikan uang kepada petugas tersebut secara sukarela dan tulus hati.

Pertanyaan

:

Apakah pemberian hadiah/uang sebagai ucapan terima kasih atas jasa yang diberikan oleh instansi pelayanan publik termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Walaupun pemberian tersebut diberikan secara sukarela dan tulus hati kepada petugas layanan, tetapi pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berkaitan dengan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri, karena pelayanan yang baik memang harus diberikan oleh petugas sebagai bentuk pelaksanaan tugasnya. Oleh karena itu, masyarakat berhak dan pantas untuk mendapatkan layanan yang baik.

Pertanyaan

:

Apa tindakan yang seharusnya petugas lakukan dalam kondisi ini?

Jawaban

:

Sebaiknya petugas menolak pemberian dan menjelaskan kepada pengguna layanan bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari tugas dan kewajiban petugas tersebut.

Untuk pengguna layanan sebaiknya tidak memberikan uang/benda apapun sebagai tanda terima kasih atas pelayanan yang dia dapat, karena pelayanan yang diterima tersebut sudah selayaknya diterima. Kebiasaan memberi hadiah/uang sebagai wujud tanda terima kasih kepada petugas, akan memicu lahirnya budaya "mensyaratkan" adanya pemberian dalam setiap pelayanan publik.

[Contoh 9]

Pemberian Fasilitas Penginapan Oleh Pemda Setempat Kepada Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Pada Saat Kunjungan Di Daerah

Penyelenggara negara/pegawai negeri diberikan fasilitas penginapan berupa mess Pemda setempat karena pada saat melakukan kunjungan di daerah terpencil, tidak ada penginapan yang dapat disewa di daerah tersebut.

Pertanyaan

:

Apakah pemberian fasilitas penginapan berupa mess Pemda kepada penyelenggara negera/pegawai negeri pada saat kunjungan di daerah terpencil termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya, jika atas pemberian fasilitas penginapan tersebut penyelenggara negara/pegawai negeri tidak dikenakan biaya;

Tidak, jika atas pemberian fasilitas penginapan tersebut dikompensasikan dengan biaya sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Pertanyaan

:

Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?

Jawaban

:

Seharusnya penyelenggara negara/pegawai negeri mencari tempat penginapan yang bersifat netral, tidak terdapat hubungan dengan tempat dimana penyelenggara negara/pegawai negeri melaksanakan tugasnya.

Jika menginap pada mess Pemda setempat, maka penyelenggara negara/pegawai negeri sebaiknya meminta kepada pihak pengelola mess agar diperlakukan sebagai tamu umum dan membayar sama seperti umum. Karena biasanya untuk tamu Pemda sendiri tidak dikenakan biaya.

Perlu diperhatikan jika pengelola mess bersikeras untuk menolak pembayaran penginapan dari penyelenggara negara/pegawai negeri, maka penyelenggara negara/pegawai negeri tidak boleh menggunakan anggaran biaya penginapan dari instansinya untuk kepentingan lain selain dinas. Biaya untuk penginapan tersebut wajib dikembalikan ke instansinya.

[Contoh 10]

Pemberian Sumbangan /Hadiah Pernikahan Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Pada Saat Penyelenggara Negara/Pegawai Negeri Menikahkan Anaknya

Pertanyaan

:

Apakah pemberian sumbangan pernikahan kepada penyelenggara negara/pegawai negeri yang menikahkan anaknya termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Ya, jika dalam pemberian ini terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan serta tugas dan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri sebagai penerima gratifikasi.

Tidak, jika dalam pemberian ini tidak terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan serta tugas dan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri sebagai penerima gratifikasi.

Pertanyaan

:

Mengapa permasalahan di atas termasuk konsep gratifikasi yang dilarang?

Jawaban

:

Karena dikhawatirkan dalam pemberian ini terkandung vested interest dari pihak pemberi terkait dengan jabatan serta tugas dan kewajiban penyelenggara negara/pegawai negeri sebagai penerima gratifikasi?

Pertanyaan

:

Apa yang mesti diperhatikan dalam masalah ini?

Jawaban

:

Untuk pemberian yang tidak dapat dihindari/ditolak oleh penyelenggara negara/pegawai negeri dalam suatu acara yang bersifat ada atau kebiasaan, seperti upacara pernikahan, kematian, ulang tahun ataupun serah terima jabatan, maka penyelenggara negara/pegawai negeri wajib melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan gratifikasi tersebut.

Dalam pelaporan gratifikasi pernikahan, KPK akan meminta data-data/dokumen pendukung sebagai berikut:

Daftar rencana undangan;Contoh undangan;Daftar tamu yang hadir/buku tamu;Rincian lengkap daftar sumbangan per undangan;Daftar pemberian berupa karangan bunga dan natura lainnya.

Dari data-data tersebut, KPK akan melakukan analisa apakah terdapat pemberian dari orang atau pihak yang ada hubungannya dengan pekerjaan atau jabatan dari penyelenggara negara/pegawai negeri tersebut. Selanjutnya KPK akan melakukan klarifikasi dan verifikasi terlebih dahulu kepada pelapor, dan dari hasil analisa dan hasil klarifikasi dan verifikasi tersebut selanjutnya akan diterbitkan SK Penetapan Status Kepemilikan Gratifikasi.

suap-dan-gratifikasi-bedanya-dimana

Menurut Reza Aditya Wardhana, S.H., Gratifikasi bukanlah jenis delik melainkan sebagai unsur delik, adapun deliknya sendiri adalah penerima Gratifikasi. Pembuktian apakah Gratifikasi sebagai suap atau tidak dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut asas pembalikan beban pembuktian. Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerima Gratifikasi wajib memberikan laporan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, jika hal tersebut tidak dilakukan maka gratifikasi tersebut, dianggap sebagai suap, laporan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak gratifikasi itu diterima dan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan ditentukan apakah gratifikasi tersebut sebagai suap atau tidak dan jika terbukti suap maka gratifikasi itu akan menjadi milik negara dan sebaliknya apabila tidak ada kaitannya gratifikasi tersebut menjadi hak dari penerima gratifikasi.

Pengaturan tentang keduanya, diatur dalam perundang-undangan yang berbeda. Undang-undang mengenai suap diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU 11/1980) dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor). Sementara tentang gratifikasi diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta diatur pula dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU Pemberantasan Tipikor) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 03/PMK.06/2011 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara yang Berasal Dari Barang Rampasan Negara dan Barang Gratifikasi.Dari sisi definisi, suap sebagaimana diatur dalam perundang-undangan memiliki arti Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 3 UU 3/1980). Sementara gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (Penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor).

Dari sisi sanksi pidana, antara keduanya juga memiliki ketentuan yang berbeda. Sanksi Pidana suap, sebagaimana