Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi...

22
Contents Bagian II 3 ..................................................................................................................................... Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran 3 ....................................................................... Dua Medan Kritik Gramatologi: Semiologi dan Fenomenologi 5 .......................................... Gramatalogi sebagai Radikalisasi terhadap Semiologi 8 ...................................................... Gramatologi Sebagai Kritik Epistemologi Pencerahan 12 ..................................................... Catatan kaki 15 ............................................................................................................................. Referensi 18 ...................................................................................................................................

Transcript of Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi...

Page 1: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

Contents Bagian II 3 .....................................................................................................................................

Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran 3 ....................................................................... Dua Medan Kritik Gramatologi: Semiologi dan Fenomenologi 5 .......................................... Gramatalogi sebagai Radikalisasi terhadap Semiologi 8 ...................................................... Gramatologi Sebagai Kritik Epistemologi Pencerahan 12 ..................................................... Catatan kaki 15 ............................................................................................................................. Referensi 18 ...................................................................................................................................

Page 2: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

Frans Djalong, Agustus 2004

Disarikan dari Bab II Skripsi S1 berjudul Logika Representasi Teoretis dan IlusiAntropologi Barat: Sumbangan Gramatologi bagi Ilmu Sosial-Humaniora (JurusanSosiologi, Fisipol UGM)

Pengantar

Penulisan topik ini—tentang gramatologi sebagai kritik terhadap cara kerja modernitas dalamfilsafat dan ilmu sosial-humaniora—merupakan bagian dari tanggapan penulis terhadapperkembangan Teori Kritis Habermas dan khususnya sikap teoretis para pengikut Teori Kritis diIndonesia pada periode awal tahun 2000-an, periode awal Reformasi politik di Indonesia. Teori Kritisdalam periode ini menjadi pedoman kritik ilmu dan filsafat terhadap otoritarianisme politik OrdeBaru sekaligus kritik terhadap dominasi teori-teori yang dicap modernis di balik otoritarianismepolitik tersebut. Kendati demikian, para penstudi dan penganut Teori Kritis mengabaikan kontribusikritik Post-Strukturalisme dalam medan wacana akademis nasional. Bahkan bergerak lebih jauh,menyimpulkan bahwa Gramatologi Derrida, sebagai bagian terpenting dari Post-Strukturalisme,tidak bisa melayani kebutuhan kritik keilmuan yang bersifat praktis terhadap hegemonipengetahuan modernis di bidang akademik dan sosial-politik yang lebih luas.

Oleh karena itulah, tulisan ini dibuat untuk memperlihatkan dua hal yang sangat mendasar.Pertama, Post-srukturalisme,dalam hal ini Gramatologi Derrida, sangat relevan untuk dipelajari dandijadikan panduan kritik ilmu dan kritik sosial-politik di Indonesia pasca-reformasi. Relevansigramatologi persis terletak pada kontribusinya untuk mempertanyakan, menggugat danmenjungkirbalikkan epistemologi ilmu yang berpretensi bisa merepresentasikan manusia,masyarakat dan realitas di luar bahasa. Gramatologi mempertanyakan fundasi epistemologis teori-teori sosial-humaniora yang mengklaim berdimensi partisipatoris dan emansipatoris. Bahwa perludiperiksa lebih lanjut, seberapa jauh teori-teori tersebut sungguh-sungguh terbebas dariepistemologi modernis di balik teori-teori sosial-politik yang dikritik-dianggap berdimensi ideologis-modernis.

Kedua, sebagaimana ditunjukkan dalam pemaparan Bab 2 ini, Teori Kritis merupakan bagianintegral dari epistemologi modernis itu sendiri. Gramatologi membantu kita membongkar dimensiideologis-modernis Teori Kritis melalui kritik terhadap cara kerja Metafisika Kehadiran–Metaphysicsof Presence—dalam dua arena epistemologi utama, yakni semiologi dalam studi bahasa danfenomenologi dalam filsafat. Cara kerja Teori Kritis memperlihatkan tabiat modernis yang berbiak diatas wiracarita Modernitas yang Belum Selesai—Unfinished Modernity—yang dipertahankanHabermas dalam menanggapi kritik Post-Strukturalisme terhadap proyek Modernitas.

Bab ini merupakan pengantar penting menuju topik-topik khusus pada bab-bab selanjutnya. Dimulaidengan diskusi tentang problematik bahasa dan representasi dalam tradisi keilmuan sosial-humaniora, disusul diskusi mengenai semiologi dan fenomenologi sebagai dua arena diseminasiMetafisika Kehadiran dan diakhiri dengan diskusi tentang gramatologi sebagai radikalisasi terhadapsemiologi dan kritik radikal terhadap epistemologi pencerahan di balik proyek Modernitas.Diharapkan pemaparan ini menjadi awalan yang memicu pembelajaran yang tekun dan bernasterhadap kontribusi Gramatologi bagi perkembangan ilmu sosial-humaniora dan ilmu politik,sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan studi-studi terkini seperti Analisis Wacana yangdikembangkan Foucault dan Laclau, Studi Post-Kolonial yang dikembangkan Spivak dan Bhabha,dan kajian Performativitas dalam studi gender yang dikembangkan Judith Butler.

Page 3: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

Bagian II

Gramatologi sebagai Kritik SemiologiKesadaranWhere and how does it begin..? A Question of Origin. Derrida

Bahasa, Representasi dan Tradisi Keilmuan

Suatu kesulitan umum yang akan selalu dihadapi penulisan topik ini adalah masalah pengertianidiomatik-referensial dari kata-kata hasil pembakuan suatu wacana ilmiah. Kata-kata tersebut,melalui proses panjang menuju pembakuan arti, dapata bergerak leluasa dalam suatu duniapemaknaan yang terbatas. Ketika kata itu sendiri sudah memiliki pengertian khusus dalampenerapan praktisnya untuk ikut serta membentuk suatu makna kalimat yang sebagaimana dituntutaturan penulisan dan percakapan yang benar, menghasilkan pengertian yang lebih luas dari dirinyasendiri. Di situ terletak peran ganda kata, bahwa selain kepadanya diberikan isi atau pengertiantertentu, ia membantu kalimat untuk menghasilkan pemahaman tertentu. Dalam studi strukturkebahasaan, peran pertama kita kenal dengan istilah tanda (sign) sementara peran kedua dikenalsebagai penanda (signifier) dalam sistem penandaan linguistik formal Sausurean.

Dalam khasanah ilmu sosial dan humaniora, status dan peran kata tentu tidak boleh digugat,ataupun kalau hendak dipersoalkan haruslah didukung argumentasi yang meyakinkan. Hal initerjadi karena kata, baik sebagai tanda maupun penanda, diperlakukan sebagai perkakas konseptualsemata, yang tugas mulianya adalah pelayanan total terhadap cita-cita renaisans, pembongkarankesadaran palsu, penghadiran kembali kesadaran murni, penyingkiran distorsi komunikasi danseterusnya. Resiko hidup dalam aturan sintagmatik dan gramatik ilmiah ini adalah bahwa kata-katatidak ada sangkut pautnya dengan imajinasi, hasrat dan perasaan. Sekali ia memuat pengertian yangerotik dan terlibat dalam orgi puitik, bersamaan itu pula ia dianggap berselingkuh dengan kegilaandan tentu saja dituding tidak bermakna bagi pencapaian akal murni, orgasme cogito. Dengan katalain, kesulitan terbesar yang pertama-tama mesti dijumpai dekonstruksi adalah kata-kata itu sendiri,yang relasinya dengan makna ditentukan oleh kapasitasnya menghadirkan fakta di luar dirinya, jugaditakar oleh cakupan konotasinya dalam menjaga batas-batas penalaran antara yang ilimiah dan tak-ilmiah.

Tugas berat yang dibebankan kepada kata dalam relasi penandaan adalah keterlibatannya yangfundamental dalam menyongsong kehadiran horizon pengetahuan melalui dua cara. Pertama,kewajiban primordialnya untuk membawa fakta ke dalam deliberasi teoretis dengan maksudmenjaga keaslian peristiwa yang hendak diteliti seorang ilmuwan sosial. Dalam kewajiban initerbersit suatu kepentingan praktis bahwa makna peristiwa, intentio operis, tidak boleh ditimpalitafsir-tafsir tambahan (after the fact) sebelum sampai kepada inferensi yang sah terhadap peristiwatersebut. Berikutnya setelah fakta-peristiwa diolah melalui inferensi-metodologi ilmiah, darinyadituntut suatu kewajiban eskatologis yang berorientasi kepada interpretasi seorang ilmuwan sosialatas fakta. Agar maksud sang pakar tersebut, intentio auctoris, tidak disalahpahami alias tidakdiributkan sembarang orang, maka kata-kata yang dipakai harus sanggup membeberkan jenispengetahuan baru hasil kerajinan akal yang dianggap kompeten itu. Inilah otentisitas yang hendakdiperjuangkan melalui peran gandanya dalam sistem penandaan. Di satu sisi, obyektivitas diujimelalui sifatnya yang benar-benar instrumental dan di sisi lain, subyektivitas diperiksa melalui

Page 4: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

fungsi denotatifnya untuk memberi arti baru serta batasan-batasan hermeneutik sang pakar.

Apa yang sebetulnya sedang dimunculkan dengan penjelasan di atas adalah bahwa kata-kata dalamsistem penandaan ilmiah, yang tentu oleh teori-teori sosial positivistik dianggap sudah semestinyademikian, tetapi bagi dekonstruksi merupakan salah satu cara efektif membongkar maha karyaLogosentrisme Barat baik dalam filsafat berbasis kesadaran maupun dalam ilmu sosial berpusatpada subyek—dalam istilah skripsi disebut antropologi. Meski sekilas tampak sebagai unit analisisyang tidak lebih dari besar dari kalimat, kata-kata, words as signifiers, telah menjadi elemenfundamental yang tanpanya akan sangat mustahil suatu naratologi manusia dan dunia kehidupanbisa berlangsung, baik dalam diskursus percakapan (spoken discourse) maupun dalam diskursuspenulisan (written discourse). Pemahaman terhadap status dan peran kata-kata yang telahdibakukan strukturalisme linguistik formal menjadi sangat penting untuk selanjutnya membongkarseluruh bangunan kesadaran akan bahasa dan implikasi-implikasi yang mengikut dibelakangnya—Derrida menyebutnya dengan system of predicates.[1] Lagi pula sistem kebahasaanyang dipergunakan dalam khasanah ilmu sosial,termasuk penerapannya di Indonesia, masih kuatbergantung pada logik formal kebahasaan semacam ini.

Sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini, lingkup bahasa ilmiah berhubungan dengan keilmiahan(scientivity) sebagai suatu tradisi berpikir yang khusus. Sifat tradisi dari keilmiahan itu tidaksemata-mata karena lingkungan kognitif ini disesaki orang-orang dengan kebulatan iman akanobyektivitas peristiwa dan subyektivitas interpretasi, melainkan juga didukung oleh kekebalanbahasa ilmiah terhadap kritik yang dianggap tidak rasional, tidak logis, dan tidak sistematis.Keadaan ini pun memiliki alasan epistemologis renaisans yang dilanggengkan oleh pembagianfakultas kemampuan manusia ke dalam domain-domain terpisah. Keilmiahan konsep-konsep mengisidomain pengetahuan yang tidak bisa seenaknya dilanggar oleh domain estetika—misalkan, imajinasiberkaitan dengan keindahan sementara pengetahuan merefleksikan kebenaran. Fiksi literermengklaim memiliki aturan kritik dirinya sendiri yang tentu berbeda dari klaim fakta-peristiwasosial dan kritik teori interpretasi. Demikian selanjutnya, otonomi semantik dari teks sosial adalahpembakuan pemahaman melalui kajian atas fakta sosial sebagai simbol yang harus didapatkanbenang merah pengertiannya, sementara otonomi semantik dari teks puisi misalkan ditentutkan olehkesatuan dan kekuatan metafor menghasilkan cita rasa yang mengangkat imajinasi ke puncakkegilaannnya.[2]

Selain kekebalan terhadap kritik language-games, permainan bahasa, di luar dirinya, keilmiahanbahasa ilmu sosial-humaniora positivistik membekali dirinya dengan suatu sifat lentur yang relatif.Artinya bahwa tidak ada keberatan apabila kritik itu datang dari domainnya sendiri. Hal ini bisadimaklumi karena kritik-kritik tersebut semata-mata berurusan dengan metodologi observasi danteknik interpretasi. Sepanjang kritik itu dimaksudkan untuk mengoreksi kekeliruan penerapan ataupenarikan kesimpulan, maka kritik itu diterima sebagai suplemen bagi penguatan tradisi keilmuan.Kelenturan ini banyak contohnya dalam praktek berteori ilmu sosial-humaniora, khususnya sosiologi.Menurut dekonstruksi, kritik diri semacam ini tidak sejengkal pun menerobos wilayah sakralepistemologi berbasis kesadaran subyek transenden yang memisahkan teori dari praktek dansebaliknya. Ia hanya berkisar soal teori tindakan, interaksionisme simbolik, teori keputusan rasional,teori tindakan-komunikatif dan juga teori interpretasi.[3] Dengan lain perkataan, kritik seperti initidak bisa ditempatkan dalam dialog epistemologis, tetapi karena pemusatannya pada teknik, makalebih tepat dimengerti sebagai cara reproduksi maksim-maksim logosentrisme dalam metodehermeneutika sosial—termasuk di dalamnya hermeneutika Tradisi Gadamer dan Kritik IdeologiHabermas.

Akan jelas terlihat bahwa kekebalan dan kelenturan tersebut menunjuk pada tabiat yang berlakutetap jika ilmu sosial selalu mempertautkan kebenaran-pengetahuannya kepada tradisi ilmiah.Kedua sifat tradisional ilmu ini masing-masing menyerupai suatu sistem pertahanan-diri sekaligus

Page 5: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

sistem perkembangbiakannya. Melalui yang pertama, yakni kekebalannya, ilmu sosial terusmempertebal garis batasnya dengan domain lain, yang selanjutnya membawa akibat semakindiperkuat basis otonomi tindakan teoritisnya. Mengikuti cara pikir Sosiologi PengetahuanBourdieu,[4] apa yang lasim dikira sebagai kerja konseptual ternyata menyembunyikan suatu logicof practice, sama seperti praktek-praktek kerja sosial lain yang tidak terlepas dari determinasiarena pertarungan (field), tindakan-tindakan mekanis-terstruktur (habitus) dan trayektori tertentu.Taraf pencapaian otonomi dirinya memuncak pada terbentuknya nalar skolastik (Scholastic Reason),suatu jenis penalaran yang gemar menguniversalkan kriteria dan penilaian terhadap apa yangdijadikan obyek penelitian sosial. Seseorang bisa memikirkan apa saja tentang obyek yang dikajinyadalam kenyataannya ia sendiri tidak hidup dalam obyek riset tersebut. Demikianlah mengutip satirBachelard, ilmuwan sosial adalah orang yang kegiatannya menganalisis dunia sosial yang kontrasbaginya karena ‘the world in which one thinks is not the world in which one lives’ (..)

Sementara korelasi antara kelenturan kritik-internal dan terbentunya suatu sistemperkembangbiakan praktek teoritis dengan ragam paradigma di dalamnya, juga ikut melegitimasiperluasan cakupan kegiatan teorits-ilmiah, sebagaimana sejak dahulu, ke dalam dunia-kehidupanyang barangkali tidak ada kemiripan sama sekali dengan cara domain pengetahuan ilmiahberhubungan dengan dunia makna yang melingkupinya. Legitimasi yang diperoleh dengan cara ini,ditambah interpretasi-interpretasi berdasarkan otoritas-hirarki akademis, semakin memberilandasan sosiologis bagi penyebarluasan kabar gembira renaisans (Logosentrisme, Konsep, Esensi)melalui peralatan transmisi (Bahasa Ilmiah, Fungsi Kodifikasi, Ide, Eidos) yang dinaturalisasisedemikian rupa, terutama dengan sikap instrumental terhadapnya. Selain Esensi dan Fungsi,dianut dan tersebar luas sesat pikir skolastik ketiga, yakni otoritas pewarta kabar gembira (HomoAcademicu, Auctor Pastoralis, Intelektual Pencerahan). Dengan sesat pikir ketiga ini otoritassemantik teks berada dalam pikiran dan ketajaman pena sang pakar untuk menyingkap kebenaran,menjunjung obyektivitas setinggi-tingginya dan melapangkan jalan bagi kedatangan modernitasyang purna-bentuk. Tidaklah mengherankan jika kemudian tugas penyebarluasan nilai-nilaitransenden dianggap suci, atau meminjam frase yang lasim, murni atau bebas dari kepentingan.

Uraian singkat sosiologi pengetahuan tersebut sangat membantu upaya kita mendapatkanpemahaman yang lebih memadai tentang problematika dasar Metafisika Kehadiran (Metaphysics ofPresence) dan diseminasinya dalam domain ilmu sosial-humaniora.[5] Seluk-beluk dekonstruksi,sebagaimana dibahas selanjutnya, tidaklah serumit atau sesukar yang dibayangkan banyak orang.Justru kesukaran itu terbit karena tidak adanya sikap kritis terhadap tradisi keilmuan besertaseluruh praktek teoritis di dalamnya. Kalaupun dekonstruksi dituntut memenuhi kriteria obyektivitasyang diusulkan Kritik Ideologi,[6] maka dekonstruksi pastilah menjadi suatu hermeneutika sosialyang paling radikal dalam kritik-diri. Apa yang dilucutinya tak lain adalah busana di tubuhnya dankasut di kakinya sendiri, yang sekian lama membungkus kefanaan raganya denga nilai kebudayaanyang dianggap tinggi. Analogi ini hendak mengisyaratkan bahwa domain dan obyek kajiannya tidakjauh dari dunia dan hal-ikhwal tempat seseorang pernah begitu percaya diri dan berikrarmencintainya sampai akhir hayat. Obyek kajian dekonstruksi adalah cara kerja representasi ilmiahatau sistem penandaan ilmiah, yang tentu tanpa sistem kebahasaan yang khusus itu, solidaritas dankonsolidasi keorganisasian pengetahuan sosial-humaniora mustahil terbentuk.

Dua Medan Kritik Gramatologi: Semiologi danFenomenologi

Siapapun intelektual Indonesia saat ini tidak asing lagi dengan kata ‘dekonstruksi’—tentu sebagai

Page 6: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

salah satu terminologi Post-Strukturalisme yang mengundang banyak diskusi filosofis dan bedahteori sosial-humaniora. Barangkali salah satu di antara mereka yang paling serius membahasnyasecara tersendiri adalah Frans Budi Hardiman, seorang pemikir filsafat sosial yang memulai karirpenulisan dengan membahas Teori Kritis dalam bukunya Menuju Masyarakat Komunikatif.[7] Dalambuku kumpulan esainya, Melampau Positivisme dan Modernitas, penulis ini memberi ruang terbatasmembahas dekonstruksi Derrida. Sayangnya, dalam tafsir yang ceroboh, ia berkesimpulan bahwadekonstruksi ‘..lebih menyentuh metafisika daripada ilmu-ilmu sosial’. Tentu dengan mengatakandemikian penstudi pemula ini tetap bersikeras bahwa, sekali lagi meneruskan kutipan kata-katanyasendiri ‘..tetap ada celah kosong di antara metafisika dan ilmu-imu sosial, yakni basis empiris’.[8]

Berdasarkan pembacaan yang saksama terhadap konsep-konsep kunci dekonstruksi, atau tepatnyagramatologi Derrida, Metafisika Kehadiran bukan lagi semata-mata obyek atau materi pembahasanfilsafat konvensional. Justru dengan memperlakukan metafisika dengan cara demikian di dalamfilsafat maupun studi hermeneutika kita sebenarnya sedang berpikir secara positivistik—yang tentutidak disadari pula. Soal bagaimana hal ini mungkin terjadi Derrida mengingatkan kita akan satu ciripenting dari kesadaran renaisans, yakni pelupaan yang akut terhadap cara kerja oposisi-biner dalambahasa percakapan maupun bahasa tulisan. Kita berpikir, berbicara, dan menulis sesuatu ikhwalyang mungkin melalui bahasa yang sudah sesak dengan kategori kontra-posisi, hirarki nilai, danprioritas nilai yang hendak ditawarkan. Dan bahasa ilmiah itu sendiri tidak bisa menyingkirkanragam konsep oposisi-biner filosofis di dalam sistem penandaannya sendiri; dan untuk mengatakansejak awal, hanya dengan konsep oposisi-biner metafisika kehadiran, ilmu sosial dapat menghasilkanpengertian, pemahaman dan kritik nilai—termasuk di sini kebiasaan kita memahami kenyataandengan kategori empiris-abstrak, fakta-fiksi dan seterusnya. Karena itu, pembongkaran carapandang filosofis ilmu sosial terhadap kenyataan dan makna yang dikenakan kepadanya merupakansalah satu prioritas utama dekonstruksi, sebagaimana diungkapkan Derrida dalam Positions,

‘..it is also evident that in the field of a deconstruction of philosophical opositions, the opositionspraxis/theoria first is to be analysed, and may no longer simply govern our defenition of practice. Forthis reason too, systematic deconstruction cannot be simply a simply theoretical or simply negativeoperation’.[9]

Langkah kritis yang diambil Derrida juga lebih dari sekadar ‘linguistic turn’ ketika ia mengambilfokus pada semesta penulisan, yang disebutnya Science of Writing atau Grammatology.[10]Dekonstruksi sistematis terhadap metafisika kehadiran ditunjukkan lewat investigasi terhadapbagaimana makna terbentuk melalui suatu operasi sistem penandaan yang memutlakkan kesadaransubyek da memberi hakikat kepada benda-benda. Apabila seluruh pengalaman kesadaran adalahpengalaman makna, maka itu dapat diperiksa lewat bahasa yang terlanjur dianggap perkakas bagiinterpretasi dan komunikasi. Realitas dipercaya sebagai sesuatu yang berada di luar bahasa, karenaitu bahasa novel atau puisi yang sanggup menghadirkan suatu ilustrasi realitas pastilah dinilaisebagai ilusi, cerita, dunia khayal, realitas kopi-an dan seterusnya. Sementara realitas yangditangkap dan diolah dalam permainan-bahasa ilmiah disanjung-sanjung sebagai realitas obyektif,fakta asli, data lapangan dan seterusnya. Dalam khasanah ilmu sosial, makna secara heuristikterpecah menjadi dua pengertian, satunya hasil kreasi imajinasi subyek pemikir dan berikutnya, datayang direfleksikan melalui metodologi tanpa distorsi subyektivitas.

Hal itu berarti bahasa tulisan (langue), mengikuti postulat strukturalis Sausssure telah berurat-berakar dalam pemahaman-penerapan ilmu sosial-humaniora, hanya diberikan satu fungsi sentral,yakni representasi realitas.[11] Bahasa ilmiah, termasuk di dalamnya sebagai properti metodologikuantitatif dan kualitatif, hanyalah alat hasil kreasi manusia untuk mendekatkan realitas ‘alamiah’kepada dunia kesadaran manusia. Sebagai alat, tugasnya adalah apropriasi, perengkuhan,penculikan realitas dari alam (primum factum) ke dalam kesadaran subyek (re-flexing activity).Bahasa dengan perlakuan demikan hanya menuliskan kembali alam, data, fakta , kebenaran untuk

Page 7: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

kesatuan kesadaran dan dunia obyektif—melaluinya kebudayaan berusaha kembali dengan alamdalam suatu totalitas keberadaan dalam dunia kehidupan.[12] Katakanlah, berkat modalitasartikulatif bahasa terhadap kenyataan ‘empiris/alamiah’ kesadaran pada gilirannya tidak lagiberkubang nostalgia akan yang orisinal, yang pertama, kejadian konkrit—bahasa tulisanberkewajiban menyingkapkan kebenaran obyektif dengan cara menyingkirkan kesadaran palsubentukan ideologi tertentu. Modalitas artikulatif tersebut sebagaimana dibongkar Derridaberkerabat erat dengan teleologi logosentris yang memusatkan usahanya pada mengembalikanmakna-hasil interpretasi (Bedeutung) kepada rasa—pengalaman inderawi langsung (Sinn).[13]

Sikap fenomenologis semacam ini membawa akibat serius pada konsep tentang penulisan sebagaikegiatan interpretasi, atau yang disebutnya Archewriting, penulisan jejak, atau menulis sebagaikegiatan menjejaki kembali apa yang dianggap hilang, kejadian pertama. Yang konkrit adalahpercakapan langsung di mana bunyi atau tuturan menjelmakan suatu kehadiran langsung, tanpaperantara tanda atau simbol. Di sini jelas apa yang sifatnya fonetik lebih otentik dibandingkan yangideografik, yang sensibel lebih prioritas dibandingkan yang inteligibel. Peran bahasa penulisanadalah menerjemahkan yang hadir tanpa representasi, memberi jiwa (essence) kepada tampilangrafik atau gram (form, idea, eidos). Oposisi-biner ini harus dipertegas oleh kerja bahasa agar selaluterdapat ruang dan momen apropriasi, atau interpretasi, dengan apa subyek transendendiniscayakan memperoleh otoritas semantiknya.

Di berbagai kesempatan dalam tulisan-tulisanya, dekonstruksi Derrida tidak kehabisan tenagamembongkar cara kerja Semiologi Saussure dan Fenomenologi Husserl.[14] Kedua disiplin pentingini ikut bertanggung jawab atas penyebarluasan dan praktik hegemoni doktrin logosentrisme. Untukpengertian yang persis sama, di dalam semiologi dikenal sistem signifikasi melalui permainanpenanda-penanda (play of signifiers) yang merujuk kepada petanda (signified as referent),sementara di dalam fenomenologi bahasa ditandai representasi melalui relasi yang sifatnya ekspresifdari bentuk (form, eidos, morphe) terhadap esensi. Penandaan maupun representasi sama-samamenjalankan praksis penyingkapan apa yang tidak tersingkap ke luar, penghadiran dari apa yangtak hadir (presenting of the absent). Cara kerja makna seperti ini, menurut Derrida, menyebabkanmodernitas sebagai proyek penyingkapan-emansipasi yang tak berkesudahan. Sebagaimana akandibahas secara terperinci di bawah ini, praktik sistem penandaan dan logik representasi justrumenjadi jaminan genealogis bagi ketakbersudahan modernitas (infinite modernity).[15]

Bisa ditangkap sejak awal bahwa Derrida, melalui kritik terhadap semiologi dan fenomenologi, tetapmenempatkan ilmu sosial-humaniora di dalam horizon dekonstruksinya. Ini tidak hanya cukupdengan alasan dekonstruksi membawa implikasi tak langsung, melainkan sebaliknya, secaralangsung menyinggung praktik kebahasaan dan kesadaran ilmiah—tentu sepanjang tetap berlakukesepakatan bahwa pemahaman ilmu sosial tentang manusia dan masyarakat senantiasamembutuhkan representasi kebahasaan dan modalitas refleksi kesadaran. Dalam pemahaman umumyang keliru, semiologi sekilas tampak berurusan dengan teks semata, begitu pula fenomenologidireduksi menjadi hikayat kesadaran murni. Keduanya—teks dan kesadaran—menurut dekonstruksitelah berubah menjadi paradigma, yang pertama telah memperlakukan bahasa sebagai instrumen(non-esensial, tapi fungsional), sementara berikutnya menajamkan kesadaran sebagai mediumrefleksi (kesadaran sebagai cerminan realitas, sebagai persatuan yang absolut dengan yangpartikular dalam idealisme Hegelian).

Dalam Of Grammatology—sesi khusus tentang ilmu bahasa (Linguistics)—Derrida mengamatilahirnya gagasan tentang ilmu atau keberilmuan dari pengetahuan sebagai konsekuensiperkembangan sejarah pemikiran metafisika kehadiran.[16] Renaisans merupakan era pemuncakankarir logosentrisme Barat sejak masa Socrates menjaga keilahian Apollo dari keliaran Dionysus. Ilmukemudian berkaitan dengan kerja akal murni, mengatasi tanda-tanda alam yang rumit, memecahkanperkara-perkara kegilaan Abad Pertengahan, dan sanggup memikirkan suatu masa depan

Page 8: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

modernitas yang sifatnya universal alias mencakup segala dimensi ruang dan waktu kebudayaanmanusia. kemunculan ilmu—cara pikir sistematis, rasional dan berdasarkan fakta—secaragenealogis tidak lagi previlese renaisans semata, melainkan sudah jauh-jauh hari menjadi pola pikirpara filsuf yang merayakan otonomi akal murni. Untuk pembacaan seperti ini, Nietcszhe denganbriliannya membongkar fakta genealogis berakhirnya presentasi-diri dan dimulainya era panjangrepresentasi-diri dalam drama tragedi Yunani Kuno,[17] menjalar berabad-abad melewati lorongteologi kekristenan sampai pada momen performativitasnya yang paling akbar dalam nalar saintifikmodern—yang dianggap sebagai cikal-bakal nostalgia modernitas terhadap kebenaran, obyektivitasdan Parousia.

Salah satu puncak prestasi dari perkembangan paradigma representasi adalah penemuan danpembakuan ilmu tentang tanda, yang disebut Semiologi (Science of Sign). Semiologi, menurutDerrida, sebenarnya berhasil menjelaskan cara kerja logosentrime Barat dalam praktik kebahasaandengan menemukan secara ilmiah relasi penandaan di dalam bahasa tulisan. Yang disayangkanDerrida adalah bahwa seluruh isi buku Course in General Linguistics tidak bergerak lebih jauh darisekadar merumuskan logika dan aturan formal relasi penandaan tersebut. Malah dengan carademikan, Saussure ikut melanggengkan dominasi makna (signified) atas tanda (signifier),sebagaimana realitas dipisahkan dari representasi. Semiologi menunjukkan sifatnya yang metafisisdengan prosedur yang dianggap ‘ilmiah’ alias bebas nilai.

Sebenarnya terdapat banyak cara menjelaskan dominasi metafisika dalam semiologi. Salah satu carayang sangat meyakinkan adalah dengan menegaskan status dan peran semiologi sebagai ilmu-modelpengawetan konsep oposisi-biner metafisika, atau yang disebut science of protection of writing thetruth-objectivity. Ilmu bahasa, termasuk yang populer di Indonesia, hanya menemukan fungsi bahasamelalui konsep difference, yang menekankan bahwa fungsi tanda dalam relasi penandaan semata-mata untuk memisahkan apa yang nyata dan tak nyata. Tugas utama penandaan linguistik adalahkonsolidasi makna dengan strategi koherensi, ekuivalensi dan simetri—prinsipkorespondensi—antara realitas dan interpretasi supaya suatu obyektivitas. Yang terakhir merupakanasas yang harus selalu diperjuangkan karena tersirat anggapan bahwa realitas memiliki sifatketerbahasaan atau kapasitas artikulatifnya. Karena itu perlakuan semiologi terhadap tanda, bahasatulis, teks tidak jauh beda dari cara teologi Abad Pertengahan memperlakukan Kitab Suci denganeksegese dan filologi, dan termasuk di dalam etos ini cara Gadamer membaca tradisi denganhermeneutika romantisnya.[18]

Dalam sistem signifikasi terdapat relasi yang mutlak antara oposisi-biner dan penghakikatanrealitas. Dengan difference realitas tampak memiliki nilai, suatu arti atau identitas tertentu.Mengatakan bahwa masyarakat tertentu adalah dunia ketiga, perkembangan demokrasinya belumsetara masyarakat Eropa Barat, misalnya, tidak dengan sendirinya berarti masyarakat tersebut padadirinya tersirat indikasi yang disebutkan itu, juga tidak berarti masyarakat-ideal Barat pun demikian.Hakikat realitas adalah interpretasi, dan di dalam kegiatan interpretasi terdapat kerja inskripsi,dalam mana logika identitas dipergunakan. Logika identitas tidak bisa beroperasi tanpa penempatanoposisi-nilai untuk menghasilkan pengertian atau identitas kenyataan. Metafisika kehadiranmenyediakan nilai-nilai atau konsep-konsep oposisi dalam suatu tabel nilai, yang oleh differencedianggap berada dalam kintal petanda, makna—primum signatum.

Gramatalogi sebagai Radikalisasi terhadap Semiologi

Melawan kerja konservasi metafisika ini, Derrida menawarkan gramatologi, atau disebutnya Scienceof Writing. Titik tolaknya adalah meradikalisasi pembacaan terhadap permainan tanda, play of

Page 9: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

signifiers, dalam domain metafisika bahasa. Diperlukan cara baru memahami permainan tandadalam kaitannya dengan apa yang disebutnya konsep penulisan (writing). Menurutnya, dalampermainan tanda suatu keadaan yang selalu berlaku tetap adalah difference, bahwa tanda-tandatidak hanya mendiferensiasi makna dalam pengertian spasial-distansi seperti luar-dalam, jauh-dekatdan seterusnya, melainkan juga dalam pengertian temporal, menunda apropriasi semantik terhadap‘realitas’, menyebabkan realitas yang hendak diacu (ideal, obyektif) sebagai suatu kemungkinanyang tak tuntas, menjadi sumber obsesi akan partisipasi dan emansipasi. Dengan kata lain,permainan penanda-penanda dalam relasi signifikasi pada gilirannya mengubah makna menjaditanda kembali, mengembalikan sejarah ke dalam teleologi yang terbenam ke dalam traces, dalampermainan tanda itu sendiri, ke dalam modernitas yang tidak pernah keluar dari kategorinya sebagaiproyek, cita-cita.

Dengan kritik terhadap ontologi makna, tidaklah berarti Derrida memberi hakikat kepada tanda-tanda. Bagi gramatologi, dengan konsep penundaan peristiwa penebusan-reapropriasi maknakepada ‘realitas’ tersebut, kata-kata, penanda, gramme, simbol literal haruslah dibaca ulang sekritismungkin. Pengertian kritis yang diperoleh gramatologi adalah bahwa sebagai suatu strategi berpikiria memperlihatkan kerentanan makna dalam permainan arbitrer penanda-penanda. Kata-kata yangkita pergunakan bukanlah sekumpulan tabula rasa, kosong atau huruf-huruf mati (dead letters). Jikakata itu sebagai penanda merujuk kepada suatu benda maka tentu bukan karena benda tersebutsudah memiliki arti tersebut, melainkan bahwa penanda tersebutlah yang memberi arti kepadabenda tersebut. Menurut Derrida, ‘the thing itself is a sign under erasure’. Penanda bukanlahgramata mati yang tidak melayani kebutuhan representasi benda-benda, melainkan karena sudahtertekstualisasi dalam dan melalui dualisme konsep-nilai oposisional metafisika maka dualismeantara materi dan idea tidak bisa lagi dipertahankan. Dengan lain perkataan, relasi fenomenologistanda yang menekankan pentingnya penjarakan, distansi melalui interioritas dan eksterioritas hanyaberlaku untuk kenyataan tanda sebagai makna itu sendiri dan tidak ada hubungannya yangfungsional untuk fakta di luar dirinya.

Cara lain untuk memahami aksentuasinya terhadap pembalikan (reversal) semiologi adalah melaluikonsepnya tentang penulisan. Dengan konsep ini hendak mengutarakan maksudnya yang mendasar,yakni bahwa kata-kata, sebagai unit sintagmatik yang paling kecil, atau penanda, sebagai elemensignifikasi yang fundamental, sebelum ‘menuliskan’ kenyataan yang dirujuk, mereka sendiri sudahditulisi sesuatu arti atau makna tertentu. Kalau kita tak mau dikibuli metafisika, maka penulisansebagai permainan tanda-tanda mestilah dipahami sebagai permainan makna-makna yang sudahmelekat pada tanda. Tanda itu sendiri adalah jejak makna, sesuatu yang tertunda kemunculannya,terputus dari relasi fungsional makna berparadigma tanda sebagai instrumen. Tanda tidak hanyamembiaskan arti, tetapi juga pada saat bersamaan menyimpannya, karena ia tak menemukanapapun di luar dirinya selain rangkaian tanda-tanda lain dalam kerja sintagmatik. Sampai di sini,Derrida sekali lagi menegaskan bahwa signifiers=signified under erasure. Pengertian under erasuresangat penting karena menunjuk pada tindakan konstitutif-genealogis dari kegiatan penulisansebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Konsep penulisan yang digembar-gemborkan semiologi semata-mata bertumpu pada difference,yang hanya menemukan suatu aspek dasar dari tanda, yakni menghantarkan pengertian benda-benda atau realitas ke dalam kesadaran. Derrida menerima penjelasan semiologis ini sekadarsebagai tahap transisi menuju pemahaman gramatologis tentang apa itu penulisan. Penulisan berartimenyematkan pengertian-arti kepada sesuatu hal. Dalam permainan tanda-tanda tekstual, misalnya,kata-kata atau simbol literal terus menerus mengekalkan diri sebagai makna yang terperangkapdalam jejaringan makna lain yang masing-masing sudah memiliki petanda. Itu berarti sejarahmetafisika kehadiran adalah sejarah perubahan tanda semiologis menjadi tanda gramatologis. Akansia-sia apabila petanda dan penanda diberi demarkasi esensial, karena keduanya hanyalah

Page 10: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

terminologi teknis untuk menyembunyikan akhir riwayat Metafisika Kehadiran—atau mengutipistilah Derrida, Closure of Metaphysics.[19]

Demarkasi esensial merupakan ekonomi-politik makna untuk tetap memelihara relasi eksploitasimakna terhadap tanda, suatu Resctricted Economy,[20] yang tujuan utamanya adalah pelanggengandominasi makna etnosentris Eropa terhadap pluralisme semantik tanda-tanda non-metafisikakehadiran. Karakter totalitarian logosentrisme ini, dalam pengertian paradigma penulisan, tidakhanya mengambil fokus pada rezim penulisan sebagai kegiatan literer atau langue. Berangkat darisejarah metafisika yang melewati abad-abad imperialisme makna, kegiatan penulisan jugaberlangsung dalam kegiatan percakapan (parole). Dalam percakapan pun terjadi secara rutinperistiwa gramatologis, suatu perawatan intensif terhadap kegentingan ontologis metafisika. Baikbahasa percakapan maupun bahasa tulisan sama-sama memainkan peranan penting dalam politikdifference, di mana makna kehilangan otoritas semantik dan tanda berubah menjadi simulakrumotonom dalam jejaring teks modernitas yang tidak bisa hidup tanpa nostalgia.

Ironi Metafisika Kehadiran dalam semiologi tersurat dengan jelas justru karena dalam dua modelkebahasaan tersebut, penulisan tidak sekalipun melayani aktualitas Logos. Malah sebaliknya,mengikuti Derrida, ‘..what opens meaning and language is writing as disappearance of naturalpresence’. Implikasinya adalah bahwa realitas bukan lagi sesuatu yang mandiri dan eksak di luarrepresentasi bahasa, malah menanti untuk dibangkitkan terus-menerus di dalam permainan tanda-tanda metafisis. Begitu pula kesadaran tidak bisa lagi disederhanakan sebagai kesadaran akansesuatu di luar kesadaran karena ia sendiri adalah sebuah tekstualitas, jejaring tanda yangkompleks, penuh sesak dengan alternatif-kemungkina, dugaan-perkiraan, ditandai ketegangan erotikantara monogami dan poligami makna-ideal. Kenyataan mental itu sendiri bukan lagi sesuatu yangdengan sendirinya menempati ruang ‘kesadaran’ vis-a-vis ‘ketidaksadaran’, melainkan suatukeberlangsungan-keterputusan daya-daya hidup melalui pelepasan dan penundaan, melaluidifferance.

Dengan konsep Differance, dimaksudkan bahwa relasi antara subyek tutur/tulisan dan bahasamenjadi cair, tumpang-tindih, bertukar tempat dengan seluruh kemungkinan determinasi yangsifatnya temporal. Di dalam bahasa, sekali lagi dikatakan, relasi antara tanda dan makna bersifatmetaforik dalam mana subyek hilang-muncul di atas pentas gramatologi. Keadaan asasi ini pun lalumembuka kegiatan pembacaan sebagai kegiatan penulisan yang melampaui riwayat suatu generasipemeluk Metafisika Kehadiran itu sendiri. Mengatakan dengan kalimat lain, subyektivitassemiologis—dan seluruh konsep manusia alias antropologi teoretis yang diturunkandarinya—dituntut untuk memikirkan kembali riwayat dan hakikat genealogisnya, bukan lagi sebagaisesuatu yang sudah terberi begitu saja sejak kesadaran ditemukan Plato, Kant, Hegel, Marx danHabermas melalui rehabilitasi kesadaran komunikatif Teori Kritis.[21]

Melalui konsep Trace, Derrida berusaha mengatasi determinasi realitas absolut atas realitas-realitasparticular. Jejak itu sendiri tidak sama artinya dengan esensi yang melekat pada tanda literal ataufiguratif semiologis. Malah sebaliknya, meski terlupakan sepanjang sejarah metafisika sejak Platosampai Saussure, penanda tersebut malah memungkinkan artikulasi makna/maksud/intensi di dalamsistem percakapan dan penulisan konvensional. Berkat kapasitasnya mendistribusikan sekaligusmengkonservasi makna, maka filsafat dan ilmu sosial-humaniora dibangun di atas landasan oposisikonseptual metafisika kehadiran—sensible/inteligible, Physis/Nomos, abstract/real,expression/intention, empirical/non-empirical, dan seterusnya. Karena permainan penanda-petandagramatologis yang tidak habisnya dengan seluruh seluruh sistem predikatif nilai di dalamnya, makapersoalan-persoalan yang dianggap filosofis dan teoretis kembali berpulang kepada problematiksemiologi. Ragam persoalan tersebut tidak lebih dari tumpukan pertanyaan dan pernyataan yang sifatnya turunan-derivatif , dari nasib fatal alias ada-bersama penanda-petanda. Dalam semiologi, relasi keduanya dianggap sebagai relasi-suplementasi, yakni bahasa ditempatkan di antara

Page 11: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

kesadaran dan kenyataan untuk menghadirkan, menyingkapkan kenyataan yang asli atau maksudyang bebas distorsi dengan maksim the Outside AND the Inside. [22] Sebaliknya, gramatologimelalui pembacaan kritisnya terhadap tanda memergoki hubungan intim penanda-petanda,persenggamaan yang terluput dari pengamatan metafisika , yakni kombinasi difference-differance,orgasme dan kastrasi—dan relasi pemberian-penerimaan, penyedotan dan pelampiasan ini,mengubah fungsi perantaraan-represenasi bahasa (AND) menjadi fungsi penciptaan-genealogis,kemenjadian, atau dengan maksimnya yang baru, the Outside (IS) the Inside.[23]

Alangkah baiknya disimak pula implikasi pemikiran gramatologis terhadap hubungan yang tidak lagiharmonis antara disiplin linguistik dan semantik. Dua disiplin ini merupakan cabang pemikiranbahasa yang tercakup dalam semiologi. Derrida dalam banyak tempat dalam bukunyamempersoalkan pemisahan esensial di antara kedua cabang ini. Menurutnya pemisahan antara studiaturan struktur bahasa dan studi struktur makna tidak pada tempatnya dipertahankan lagi. Dalamsejarah metafisika kehadiran, keduanya diistimewakan seakan-seakan tanda-gramatikal dan makna-semantik dari sebuah teks dapat berdiri secara terpisah untuk menghasilkan suatu horizonpemahaman. Seperti kebiasaan di Abad Pertengahan, studi tata bahasa mengacu pada logika danaturan gramatikal sementara semantik menjadi keistimewaan pujangga gereja dengan tafsirkanonik. Barangkali gejala ini menular dalam cara pandang ilmu sosial-humaniora, bahwa sosiologi,misalnya, membereskan pekerjaan praktis yang tidak bisa dilakukan kritik filsafat. Sementara yangterakhir tugasnya merefleksikan jenis-jenis kenyataan yang tinggal dipakai oleh sosiologipartisipatoris. Dalam sangkutannya dengan previlese itu, Derrida di akhir sesi ‘Writing before theLetter’ mengajukan sebuah tantangan yang bagaimana pun juga harus disikapi ilmu sosial–humaniora:

“…One is necessarily led to this from the moment that the trace affects the totality of the sign inboth its faces. That the signified is originally trace, that it is always already in the position of thesignifier, is apparently innocent proposition within which metaphysics of the logos, of presence andconsciousness must reflect upon writing as its death and its resource.”[24]

Dengan demikian, konsekuensi pemikiran gramatologis tentang bahasa, pengetahuan (khususnyailmu sosial-humaniora) dan kesadaran, haruslah diakui amatlah fundamental sekaligus radikal.Gramatologi secara langsung menyinggung cara kita berpikir tentang ketiganya. Filsafat yangberkiblat kepada Metafisika Kehadiran dan ilmu sosial-humaniora yang berbiak di atasnyaberhutang banyak kepada apa yang disebutnya factum of phonetic writing. Karena berurat-berakarnya sikap penulisan yang instrumental, keduanya tidak lagi bersikap kritis terhadaphegemoni total tanda gramatologis atas kesadaran semiologis. Semakin dibenarkan anggapan bahwasejarah metafisika adalah sejarah pencapaian kesadaran rasional, maka semakin lama pula kitaterperangkap dalam jejaringan permainan tanda-tanda yang dikira representatif sifatnya. Bahkan,menurut pemikir yang sering disalah-mengerti ini, gejala hegemoni tanda tidak hanya menyerangilmu bahasa, tetapi lebih dari itu,..’it commands our entire culture (Western) and our entire science,and it is certainly not just one fact among others’.[25] Terlepas dari keberatan yang mungkindiajukan kepada luasnya medan penerapan dari pernyataan tersebut, ada suatu hal yang sudahpasti, bahwa dalam domain filsafat dan ilmu sosial-humaniora, hegemoni itu berlangsung secaraefektif dengan sikap dan pemahaman kolektif terhadap bahasa dan penulisan, yang bagaimana punjuga harus dianggap eksterior terhadap kesadaran jika keduanya tetap ingin mendapatkan previleseMetafisika kehadiran.

Untuk mengatasi ketegangan epistemologis antara otonomi tanda-makna gramatologis dan nostalgiakesadaran transenden, gramatologi sebagai kritik metafisika sebenarnya menuntut dari kita suatupembacaan ganda terhadap bahasa. Di situ arti penting konsep baru bahasa—gramatologi—sebagaipenulisan rutin Metafisika Kehadiran bisa dipahami dengan dua jalur singkat berikut. Pertama,bahwa dalam pemikiran konvensional penulisan dianggap tugas hakiki bahasa untuk menghadirkan

Page 12: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

kenyataan obyektif Kantian—yang ternyata tak lain adalah postulat-postulat kategorial terhadapkenyataan dengan pemutlakan konsep oposisi-biner sebagai hakikat kenyataan tersebut. Kedua,dalam pandangan bahasa yang baru—gramatologi—penulisan tidak semata-mata bertanggung jawabterhadap ketakbersudahan ilusi representasi, malah lebih dari itu, dan sejalan denganperkembangan metafisika dalam filsafat dan ilmu, telah mendorong tanda-trace ke puncak otoritassemantik dan dengan demikian menyingkirkan subyektivitas dari kenyataan kesadaran sebagai teksplural. Kalau pun subyektivitas itu masih tersisa, maka tampilannya tidak utuh lagi sebagai subyeksingular, sebagai pengamat, penulis, dan seterusnya, melainkan ragam-bentuk, berserakan begitusaja di sekitar pusat Logos yang sudah kehilangan daya tariknya. Pengorganisasian pengetahuandan dunia makna tidak lagi dikendalikan oleh filologi atau eksegese atas realitas adi-duniawi, tidakjuga oleh nalar instrumental terhadap komunikasi berbasis intersubyektivitas, melainkan secararelatif berlangsung dalam tiap-tiap permainan-bahasa yang mengacu pada komunitas-komunitasmakna yang sudah menjadi tradisi.[26] Dari pengertian kedua, diperoleh pemahaman bahwapenulisan tidak akan lengkap jika hanya dibaca secara arkeologis—sebagai kegiatan penangkapanarti-arti yang tersembunyi—melainkan disempurnakan dengan pembacaan genealogis, yakni sebagaipenciptaan arti-arti baru/berbeda berdasarkan komposisi gramatik dan sintagmatik yang kayavariasi. Hal ini ditunjukkan oleh ragam tafsir realitas dalam berbagai kebudayaan bahasa manusia.

Penulisan merupakan kegiatan difference dan differance sekaligus, yang tidak ada akhirnya. Tidakdapat dibatasi pertanyaan kapan dan di mana—pertanyaan tentang asal usul waktu dan tempat.Sebaliknya, berkat kerja penulisan yang demikian itu, akal sehat diseret secara membabi-buta kedalam kesadaran waktu dan ruang metafisis tersebut. Resikonya adalah bahwa sebuah percakapan,buku, teks, pemikiran konvensional, selalu saja dipatok ke dalam konsep penulisan tempat danwaktu linear—suatu garis lurus yang membujur ke akhir perjalanan kesadaran dan suatu rentangwaktu dalam mana kesadaran dituntut untuk memberi arti kehadirannya. Demikianlah bisa dipahamisentralnya kritik Derrida terhadap konsep modernitas Hegelian (yang kemudian diteruskanHabermas) bahwa dalam hubungannya dengan waktu dan ruang metafisis, dialektika malahmemperpanjang nostalgia penebusan sembari memberi kesadaran manusia suatu ilusi tentangperubahan dan perjalanan panjang menuju tanah terjanji. Hegel dan para pengikutnya, terlanjurmemahami sejarah filsafat sebagai tolok ukur pencapaian kesadaran yang terus meningkat denganprinsip sintesis terhadap pluralitas makna.

Akutnya obsesi akan kesempurnaan, akan yang absolut, yang akhir, yang tertinggi, membuat parapemeluk Metafisika kehadiran melupakan sifat adjective-moral dari interpretasi atas kenyataan danmemulai seluruh konsep modernitas dengan konsep otonomi kesadaran, Noun, subyek atau katabenda. Bagi Derrida, di situlah letak ketergantungan mutlak kesadaran metafisis terhadappenulisan, sebagai sumber keberlangsungan wiracarita modernitas dan sekaligus akhir kedaulatanMetafisika Kehadiran. Norma realitas representasi yang sekian lama coba dipaksakan dandipertahankan kesadaran metafisis atas fungsi ‘instrumental’ tanda menjadi ironi proyekpencerahan, tidak pernah tuntas menjadi absolut, tidak pernah berhasil menciptakan satu-satunyadunia yang dicita-citakan, dipentalkan lagi ke dalam refleksi, dan seterusnya. Tentang pembatasan-pembatasan terhadap penulisan semata-mata sebagai kerja representasi, Derrida mempertegas ironitersebut dengan kata-katanya berikut ini:

‘…These limits came into being at the same time as the possibility of what they limited, they openedwhat they limited, they opened what they finished and we have already named them: discrete,difference, spacing.’[27]

Gramatologi Sebagai Kritik Epistemologi Pencerahan

Page 13: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

Apabila konsep penulisan gramatologis diperluas ke dalam wilayah kritik epistemologi pencerahan,maka segera diperoleh suatu kesimpulan bahwa modernitas sebagai proyek pencerahan sejak awaldihukum untuk tetap berlaku sebagai norma—cita-cita dari dari suatu sejarah metafisika tertentu,etnosentrisme nilai, Metafisika Kehadiran. Setelah melacak suatu rentang panjang sejarahMetafisika Barat, Derrida pada akhirnya menemukan modernitas sebagai sebuah teks yang tertutup,atau berusaha ditutupi, atau dalam bahasanya disebutnya sebagai produk unggulan, mahakaryakesadaran yang rasis. Apa yang bisa dihasilkan kesadaran semacam ini adalah klaim-klaim nilai, dimana totalitas menjadi target yang hendak diraih. Universalisme menjadi panglima, dialektikasebagai metodologi, dan kategori imperatif sebagai norma bagi cara kerja oposisi konseptualmetafisis. Alhasil, kesadaran metafisis, melalui filsafat dan ilmu sosial-humaniora, mendapat peranutama menulisi alam sebagai sesuatu yang harus diapropriasi, diatasi. Termasuk di dalamnyaperlakuan semiologis terhadap ragam kebudayaan lain sebagai tanda-tanda yang diperlukan untukmemberi kekonkretan bagi salah satu predikat oposisi-biner, the negative. Kegiatan penulisansemiologis terhadap alam dan budaya lain berlangsung dengan cara represi, penimbunan, persisdengan maksud memunculkan-menghadirkan yang ideal.

Seperti dikemukakan sebelumnya, konsep penulisan gramatologis memperlihatkan bagaimanamodernitas dibangun dan dirawat melalui penulisan semiologis. Modernitas sebagai bangunankonseptual diperiksa sampai ke dasar-dasar metafisisnya. Untuk mengakhiri penulisan yang sifatnyalinear dan represif, gramatologi mengandalkan kritik total terhadap epistemologi berbasiskesadaran yang rasis. Seperti ditulis Derrida, ‘the end of linear writing is the end of the book’—ituberarti berhenti menulis kenyataan dengan maksim metafisika kehadiran dengan sendirinya berartiikut meruntuhkan keabsahan dogma kesadaran transenden. Dari arah pemahaman seperti ini, kitadiajak membaca sambil menulis, begitu sebaliknya, menulis sambil membaca dengan sikap waspadayang tinggi. Ini semacam ketegangan hermeneutis yang diperlukan untuk menghasilkan kreativitastafsir, di mana penjiplakan dunia makna digantikan dengan pemahaman tanda. Dengan demikianbukan bahasa yang hendak diselamatkan melainkan kesadaran sebagai juru bicara MetafisikaKehadiran mendesak untuk direhabilitasi.

Dengan berakhirnya penulisan semiologis dan dimulainya penulisan gramatologis, terapihermeneutis terhadap kesadaran konvensional memperoleh keniscayaannya dalam bahasa tuturandan tulisan. Perubahan mendasar dalam asumsi-asumsi tentang bahasa—sistem dan seluruh propertidi dalamnya—membawa pengaruh yang sifatnya kritis terhadap dirumuskannya metode pemahamantanda di dalam suatu komunikasi lintas-budaya, lintas disiplin, dan juga lintas-gender. Bourdieu danBaudrillard dari disiplin sosiologi, Nietzsche dan Heidegger dari jurusan fenomenologieksistensialisme, Rorty dan Feyerabend yang bergelut dalam filsafat ilmu—adalah sebagian daripara pemikir yang menerapkan penulisan gramatologis dengan resiko disalah-pahami, pengucilandan perdebatan panjang.[28] Meski jumlah mereka tidak sebanyak juru bicara metafisika kehadiran,karya-karya yang terhasilkan merupakan contoh cara kerja gramatologi sebagai hermeneutikaradikal terhadap bahasa semiologis dan kesadaran yang rasis.

Itu sebabnya, kata Derrida, memulai penulisan tanpa norma linearitas waktu metafisis memuat artiyang persis sama dengan mulai membaca ulang penulisan masa lalu menurut suatupengorganisasian ruang yang berbeda. Jika kita hendak menulis secara berbeda sebagai kritikterhadap hegemoni metafisika, maka harus berbeda pula cara kita membaca kenyataan sebagai teksyang berisikan tanda-tanda gramatologis tersebut. Konsekuensi seperti ini tidak ditarik darisemacam norma penulisan gramatologis sebagaimana semiologi meminta arahan naratologimetafisika, melainkan akibat penghadiran diri semiologi yang lengkap dengan seluruh carut-marutparadoksnya ke dalam horizon kritik gramatologis. Naratologi yang dimeriahkan kisah

Page 14: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

kepahlawanan, penebusan, pembebasan, dan emansipasi hanya memuncakkan kejenuhan dari suatupenantian berabad-abad, karena yang ideal adalah penyamaran dari yang terbenam dalam trace-tanda. Demikianlah Derrida, sebagaimana Nietszche, tidak sedang menanamkan keyakinan barutentang ketiadaan (misalnya, nihilisme sebagai norma eksistensialisme baru), tetapi keluar darikemurungan metafisika untuk menyampaikan paradoks yang melatarbelakangi semuanya itu.Mengambil model Kritik-Ideologi, Derrida memadatkan kenyataan tersebut dalam rangkaian kalimatberikut:

‘…The night begins to lighten a little at the moment when linearity—which is not loss or absence butthe repression of pluri-dimentional symbolic thought—relaxes its oppresion because it begins tosterilize the technical and scientific economy that it has long favored. In fact, for a long time itspossibility has been structurally bound up with that of economy, of technic, and of ideology. Thissolidarity appears in the process of thessaurization, capitalization, sedentarization, hierarchization,of the formation of ideology by the class that writes or rather commands the scribes’.[29]

Pada halaman berikutnya, Derrida menegaskan kembali:

‘…For over a century, this uneasiness has been evident in philosophy, in science, in literature. Allrevolutions in these fields can be interpreted as shocks that are gradually destroying the linearmodel..(..)’.

Sebagaimana keseluruhan isi buku Of Grammatology, dua kutipan di atas memperlihatkan bahwapembacaan gramatologis sangat dipengaruhi pembacaan genealogis Nietszche terhadap moralitas,pengetahuan, dan kesadaran Barat. Nihilisme yang keliru ditafsir dari kemelut filosofis dan teoretistidaklah tepat dihubungkan dengan penolakan terhadap supremasi kesadaran atau proyek anti-nalar. Pengertian nilai menjadi problematis karena terlampau sarat dengan suatu sikap moral yangtidak menyenangkan. Sementara apa yang dilakukan kedua model pembacaan tersebut sebenarnyasangat sistematis dari sudut pandang teori interpretasi dan logis dari sudut pandang filsafat analitis.Yang menimbulkan persoalan bagi kalangan modernis adalah keterlibatan keduanya yang tidak lagibersifat mendukung penulisan semiologis, melainkan memperkenalkan pembacaan dan penulisangramatologis yang berorientasi pada revaluasi total terhadap kesadaran renaisans, epistemologipengetahuan, dan metodologi ilmu sosial-humaniora. Seluruh entitas konseptual dengan jaminanontologis, empiris dan transenden dipertanyakan kembali melalui model kritik nilai dan kritik tanda.

Kritik nilai mengacu pada tidak adanya lagi kenyataan empiris yang bebas penilaian kesadaranmetafisis. Cara kita mengakses kenyataan sosial dan kenyataan mental (sebagai obyek riset dananalisis) tidak terpisah dari cara kerja sistem oposisi konseptual dalam tatanan simbolik kesadaranitu sendiri. Pemahaman akan sesuatu yang ‘eksterior’ persis terbentuk di dalam kesadaransemiologis, yang tanpa itu tak ada lagi konsep, proposisi, dan teori. Barangkali dengan inipernyataan FB Hardiman, yang dikutip sebelumnya, perlu dikoreksi karena justru empirisme yangdiklaimnya sebagai pemisah filsafat dan ilmu sosial-humaniora, terbentuk di dalam sistem predikatdari cara kerja fenomenologi metafisis.[30] Mengikuti Derrida, apa yang kita sebut realisme,sensualisme dan semua turunan kategori oposisi lainnya, adalah modifikasi logosentrisme yangselalu mungkin terbentuk di dalam sistem representasi kenyataan.

Demikian pula kritik tanda memuat arti yang sama dengan kritik nilai. Lewat hubungan penandaan,fakta dan fiksi pada puncak oposisi mereka yang ekstrim membelah domain pengetahuan manusiake dalam pertikaian tiada akhir untuk memperebutkan akses yang dianggap paling benar dan layakuntuk mencapai kebenaran, obyektivitas, dan kebahagiaan—semua makna yang menyamarkanlogosentrisme. Dalam domain simbolik yang terpusat itu tidak terselenggara suatu komunikasi diantara jenis-jenis pengetahuan manusia. Penulisan semiologis berubah menjadi cara produksiideologi, dalam mana Logos harus menang atas Mythos, mengucilkannya dalam ruang sejarah

Page 15: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

universal dan mencegah kemunculannnya dalam waktu sejarah berdimensi teleologis. Dengan katalain, kritik tanda dan kritik nilai merupakan dekonstruksi gramatologis terhadap suatu orde simbolikyang mengklaim previlese transendetal, bangunan konseptual yang berwajah humanis, materialismehistoris metafisis, empirisisme metafisis, kritik-ideologi dengan motif metafisika dan seluruhketurunannnya yang tidak sulit kita temukan dalam diskursus ilmu sosial-humaniora.[31]

Sampai di sini, cukup kiranya pemahaman dasar tentang dekonstruksi bisa dipetik untuk diselidikilebih lanjut. Pembacaan yang sifatnya tematis terhadap teks-teks Derrida dengan sengaja dilakukandengan maksud memperjelas isu sentral antropologi teorretis, baik yang telah diuraikan secaraumum pada Bab I maupun yang akan dibahas pada Bab III. Di lain pihak, sebagaimana ditegaskanpada bagian awal bab ini, intepretasi terhadap teks literer tertentu perlu selalu dijaga suatupembacaan gramatologis agar tidak mudah terjebak ke dalam kebiasaan penulisan semiologis.Gramatologi membongkar logos, tetapi bersamaan dengan itu menawarka suatu penulisan denganetos, suatu sikap under erasure, semacam pemeriksaan kritis terhadap konsep yang sedangdipersoalkan. Karena di dalam kenyataan sehari-hari sikap gramatologis sudah sejak sekolah dasardiajarkan: akrabi terlebih dahulu lawan-bicara anda sebelum menarik kesimpulan yang lebih banyakkeliru daripada benar tentangnya. Mengatakan dengan kalimat lain, barangkali ini juga penting agarteori komunikasi bebas-distorsi menjadi lebih bersifat praktis dan inklusif terhadap modelinterpretasi lain.

Catatan kaki

[1] Lihat Derrida, Uraian terperinci dalam ‘Of Grammatology as a Positive Science’ dalam OfGrammatology (Baltimore: the John Hopkins University Press, 1976), hal 74-93

[2] Bandingkan Paul Ricoeur, Interpretation Theory, Bab 2 ‘Speaking and Writing’ (Texas: the TexasChristian University Press, 1976), hal 25-43

[3] Model semacam ini dapat disimak dalam upaya integrasi antara teori sosial mikro dan makroyang tidak sedikitpun menyentuh persoalan representasi di dalam rekonstruksi teori dan metodologi.Sebagai contoh usaha konstruksi teoritis, lihat buku kompilasi teori-teori sosial yang disunting olehKnorr-Cetina, Advances in Social Theory and Methodology: Toward an Integration of Micro andMacro Sociologies (London: Routledge, 1981). Dalam buku ini, sebagaimana ditunjukkan katapengantarnya, lebih melayani apa yang disebut pragmatisme konseptual, yakni sikap teoritis yangmenyederhanakan problematika representasi ke dalam derajat kesahihan metodologi penelitiansosial. Lihat bagian pendahuluan, ‘The Micro-sociological Challenge of Macro-Sociology: toward aReconstruction of Social Science Theory and Methodology’, hal 1-47

[4] Lihat Pierre Bourdieu, Pascalian Meditation (Cambridge: Politiy Press, 2000), hal. 51

[5] Diseminasi adalah konsep penting Derrida yang menjelaskan kenyataan bahwa penulisanmerupakan kerja penyebaran ide-ide/nilai-nilai metafisika dalam artian khusus. Penulisan tidaksekedar menyimpan dan menyampaikan dalam pengertian representasi, melainkan sebagai suatuafirmasi atau sebagai momen semantik bagi produktivitas nilai-nilai tersebut di dalam permainansubstitusi antara penanda literal yang tidak habis-habisnya. Dengan perkataan lain, penulisanadalah peristiwa diseminasi makna transendental dengan ketergantungan mutlak kepada permainansaling mengacu di antara penanda, dan bukan seperti anggapan konvensional bahwa permainan

Page 16: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

penanda-penanda tunduk kepada otoritas makna yang diacu. Lihat uraian detilnya dalam Positions(Chicago: the University of Chicago Press, 1978), hal. 86-87.

[6] Untuk deliberasi dan validasi atas pernyataan tersebut, penjelasan Raymond Geuss tentangstruktur kognitif, konfirmasi dan epistemologi Teori Kritis akan sangat membantu. Lihat Bab 3,‘Critical Theory’, dalam The Idea of a Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press,1981), hal 55-95.

[7] Karyanya ini dapat dikatakan sebagai karya yang lengkap dan terperinci mengenai pemikiranfilosofis dan teoritis dari Teori Kritis Jurgen Habermas. Lihat F Budi Hardiman, Menuju MasyarakatKomunikatif (Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 1995)

[8] Lihat FB Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yokyakarta: Penerbit Kanisius,2003), hal 165. Untuk keperluan pemahaman terhadap efek Habermasian dalam interpretasinyaterhadap pemikiran postrukturalisme, lihat khusus uraian bagian ketiga Postmodernisme sebagaiKritik, hal. 149-200.

[9] Derrida, op.cit., hal. 90

[10] Untuk penjelasan lengkapnya, lihat bagian satu ‘Writing before the Letter’, dalam OfGrammatology, hal 1-93.

[11] Lihat Ferdinand de Saussure, khusus Chapter 5 ‘Representation of a Language by Writing’,dalam Course in General Linguistics (Illinois: Open Court Publishing Company, 1989), hal 24-29.

[12] Ciri khas utama dari kesadaran semiologis adalah refleksivitas sejarah linear makna melaluitanda-tanda atau simbol-simbol kebudayaan lain. Jika simbol-simbol budaya lain tersebut tidakterumuskan dalam representasi tulisan literal maka kebudayaan tersebut dianggap kosmik aliasbelum-tidak bersejarah, dianggap tidak rasional karena belum ada pemisahan antara pikiran danperasaan, tubuh dan jiwa, alam dan budaya,dan seterusnya. Lihat Derrida, op.cit., hal. 82.

[13] Lihat Derrida, Speech and Phenomena (Evanston: Northwestern University Press, 1973), hal.122

[14] Derrida dengan tegas menolak kemiripan antara cara berpikir Husserl yang mengutamakanindikasi ketimbang ekspresi dan pemikiran Saussure yang memprioritaskan bahasa percakapandibanding bahasa tulisan. Menurut Derrida, seorang subyek penutur adalah juga subyek yang tidakbebas dari representasi karena di dalam percakapan ia senantiasa mengutarakan maksudnyadengan artikulasi sistem kebahasaan, yakni sistem penandaan. Sang penutur tersebut tidak bisamenyingkirkan permaianan penandaan linguistik atau semiologis. Lebih lanjut, percakapan langsungtetap bergantung kepada artikulasi representatif dari makna atau maksud sang penutur. Apa yanghendak dikatakan Derrida adalah bahwa tidak ada kesadaran intuitif. Kesadaran adalah kesadaranakan makna. Sepanjang kesadaran diberi previlese sebagai sesuatu yang otonom alias terbebas dari tekstualitas atau penandaan arti, maka selama itu pula kesadaran semiologi itu bertolak dari asumsi-asumsi Metafisika Kehadiran. Dalam rangkaian kalimantnya sendiri Derrida mengajukanargumentasi berikut: ‘…to be sure, the subject becomes the speaking subject only by dealing withthe system of linguistic difference; or again, he bocemes a signifying subject (generally by speech orother signs) only by entering into the system of differences. In this sense, the speaking or signifyingsubject would not be self-present, insofar as he speaks or signifies, except for the play of linguisticor semiological difference.’ Lihat Derrida, ibid., hal. 146

[15] Lihat Derrida, Of Grammatology, hal. 295-96.

Page 17: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

[16] Dengan gramatologi sebagai strategi penulisan yang radikal dalam arti kritik metafisika danpelacakan terhadap efek dan produksi nilai metafisika di dalam cara kerja representasi keilmuan,maka dapatlah ditelusuri perkembangan dan hegemoni Metafisika Kehadiran terhadap konsepbahasa dan tentu saja konsep realitas. Lihat Derrida, ibid., khusus bagian 2 ‘Linguistics andGrammatology’, hal. 27-73

[17] Dengan diperkenalkannya representasi di dalam seni pertunjukan Yunani Kuno, makaterputuslah totalitas relasi antar pelaku-aktor dalam suatu pertunjukan sebagai kehidupan nyata. Disana aktor-pelaku dipisahkan dari audiens-spektator-penonton dengan akibat pertunjukkan tidaklagi melayani pemenuhan totalitas atau kebersatuan kepentingan hidup, melainkan berubah menjadiekonomi-makna, antara kepentingan pertunjukan sebagai instrumen bagi pencapaian makna yangtinggi, kebijaksanaan, untuk tatanan sosial, integrasi; singkatnya, pertunjukan sebagai pemenuhankebutuhan representasi kebijaksanaan Apolonian dan bukannya suatu pagelaran kreativitas hidupyang jenaka dari semangat Dionysian. Inilah pergeseran fundamental yang belakanang bertanggungjawab terhadap akhir sejarah makna linear, konsep kontrak sosial yang tiranis, dan fundasionalismedi dalam filsafat dan ilmu pada khususnya. Mengutip kata-kata Nietszche sendiri: ‘…it is to eliminatefrom tragedy the primitive and the pervasive Dionysiac elements, and to rebuild the drama on afoundation of non-Dionysiac art, custom and philosophy’, (hal. 76). Dengan lahirnya fundasionalismeApolonian, maka kultur sokratisme-filosofis meloloskan metafisika kehadiran ke dalam seni, kedalam sifat asasi dari kehidupan itu sendiri. Kesenian direduksi sebagai perkakas bagi pengetahuandan kebijaksanaan dengan dominasi filsafat dan ilmu melalui teori dan teknologi. Melanjutkan kritikNietszche, ‘..it opposes Dionysiac wisdom and art; tries to disolve the power of myth; puts it in placeof a metaphysical comfort a terrestrial consonance and a special deux ex machina—the god engineand crucibles: forces of nature in the service of a higher form of egotism. It is believed that theworld can be corrected through knowledge and the life should be guided by science’ (hal. 108). LihatNietzsche, The Birth of Tragedy and Genealogy of Morals (New York: Anchor Books, 1956).

[18] Lihat Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge UniversityPress, 1981) hal. 59-62.

[19] Lihat Derrida, op.cit., hal. 27-30.

[20] Resctricted Economy adalah mekanisme atau sistem penciptaan makna dalam cara pikirdialektika Hegel. Sistem ini bergantung pada sublasi atau proses sintesis jejak-jejak dengan maksuddiperoleh suatu makna atau pengertian baru yang lebih obyektif. Menurut Derrida, konseppenandaan dengan prosedur dialektis ini harus dilawan dengan suatu General Economy, yakniproduktivitas atau penciptaan makna yang tidak habis-habisnya melalui dialektika tanpa kontrolsuatu teleologi dominan. Hanya dengan itu dialektika Hegelian dapat diselamatkan, baik darihipostasi materialisme-historis maupun dari idealisme-historis yang sama-sama mengambil inspirasidari konsep-konsep Metafisika Kehadiran. Sejauh ini berlaku maka besar kemungkinan dialektikasegera menjadi diskursus penandaan (significative discourse) yang tidak lagi menciptakan ataubergerak dari oposisi mentalitas tuan dan budak, atau dengan kata lain, dialektika tidak berlakusebagai kendaraan kedaulatan sejarah tertentu, kesadaran dan rasionalitas tertentu. Dialektikamenjelmakan suatu medan operasional bagi pertemuan dan permainan substitusi penanda-penanda,jejak-jejak perbedaan yang tak terdamaikan, atau tidak membutuhkan resolusi teleologis samasekali. Lihat uraian lengkapnya, Chapter 9, ‘From Restricted to General Economy: A Hegelianismwithout Reserve’, dalam Writing and Difference (Chicago: The University of Chicago Press, 1976),hal. 251-77

[21] Dari penjelasan tersebut bisa diketahui bahwa pemahaman dan kritik FB Hardiman yangterburu-buru mengeksekusi pemrioritasan Derrida terhadap tulisan daripada percakapan lebihbanyak bersumber dari distorsi awal yang diteruskannya dari Habermas. Pemikir yang disebut

Page 18: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

terakhir, sebagaimana sudah banyak dikritik, tidak utuh membaca karya-karya Derrida yangtersebar dalam empat karya fundamentalnya tersebut. Lihat uraian Habermas tentang gramatologi,‘Beyond a Temporalized Philosophy of Origins: Jacquez Derrida’s Critique of Phonocentrism’, dalamThe Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: The MIT Press, 1990), hal. 161-84.

[22] Lihat Derrida, Of Grammatology, hal. 159

[23] Lihat Derrida, ibid., hal. 44. Bdk Positions, hal. 67

[24] Lihat Derrida, Of Grammatology., hal 73

[25] Lihat Derrida, ibid., hal. 30

[26] Bandingkan kritik hermeneutik Richard Rorty terhadap skematisme konsep oposisionalpengetahuan dan naturalisme penalaran ilmiah berbasis epistemologi, Bab 8 ‘Philosophy withoutMirrors’, dalam Philosophy and the Mirror of Nature (New Jersey: Princenton University Press,1980), hal. 378-89

[27] Lihat Derrida, op.cit., hal. 86

[28] Bagi gramatologi, penyebutan dan penjelasan mengenai pemikiran tokoh-tokoh tafsir radikaltersebut merupakan upaya membangun konsolidasi kritik yang komprehensif dan bercakupan luasterhadap dominasi Metafisika Kehadiran, baik fundasionalisme dalam filsafat maupunrepresentasionalisme dalam teori-teori sosial-humaniora. Penjelasan terperinci tentang modelkonsolidasi kritik gramatologi dapat dilihat dalam bab 4 skripsi ini

[29] Lihat Derrida, ibid., hal 86

[30] Penafsiran semacam itu sangat kentara dalam pemikiran Habermas ketika ia membahasNietzsche dalam Philosophical Discourse of Modernity. Bahkan dengan mengambil bentukpernyataan sikap, Habermas menggiring interpretasinya ke dalam pembentukan jargon-jargonpolitis, yang menandai klaimnya yang represif terhadap model interpretasi laing menyangkutmodernitas dan seluruh presuposisi, konsep, dan aksioma di dalamnya. Untuk keterangan lebihlanjut lihat esainya, berjudul ‘Modernity: an Unfinished Project’, dalam M Passerin D’Entreves danSeyla Benhabib (ed), Habermas and the Unfinished Project of Modernity (Cambridge: Polity Press,1996), hal 38-55

[31] Lihat Derrida, Positions, hal. 64-5

Referensi

Jacques Derrida, Of Grammatology (Baltimore: the John Hopkins University Press, 1976)

Jacques Derrida, Positions (Chicago: the University of Chicago Press, 1978)

Jacques Derrida, Speech and Phenomena (Evanston: Northwestern University Press, 1973)

Jacques Derrida, Writing and Difference (Chicago: The University of Chicago Press, 1976)

Page 19: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where

Jacques Derrida, Dissemination (London: the Athlone Press, 1981)

Jacques Derrida, Margins of Philosophy (Chicago: the University of Chicago Press, 1982)

Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics (Illinois: Open Court Publishing Company,1989)

Paul Ricoeur, Interpretation Theory (Texas: the Texas Christian University Press, 1976)

Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press,1981)

Jurgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modernity (Cambridge: The MIT Press, 1990)

Jurgen Habermas, ‘Modernity: an Unfinished Project’, dalam M Passerin D’Entreves dan SeylaBenhabib (ed), Habermas and the Unfinished Project of Modernity (Cambridge: Polity Press, 1996)

Nietzsche, The Birth of Tragedy and Genealogy of Morals (New York: Anchor Books, 1956).

Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (New Jersey: Princenton University Press, 1980)

Pierre Bourdieu, Pascalian Meditation (Cambridge: Politiy Press, 2000)

Raymond Geuss, The Idea of a Critical Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1981)

Knorr-Cetina, Advances in Social Theory and Methodology: Toward an Integration of Micro andMacro Sociologies (London: Routledge, 1981

Frans Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif (Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 1995)

Frans Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yokyakarta: Penerbit Kanisius, 2003)

Page 22: Gramatologi sebagai Kritik terhadap Semiologi Kesadarandemocracydevelopmentsecurity.org/read-offline/1431/gramatologi...Bagian II. Gramatologi sebagai Kritik Semiologi Kesadaran. Where