GOVERNANCE THE COMMON SUNGAI CITARUM.doc

18
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Ramai di berbagai media bahwa Sungai Citarum di Jawa Barat menurut laporan organisasi lingkungan Green Cross Swiss dan organisasi nirlaba Blacksmith Institute Internasional menjadi 10 tempat paling tercemar di dunia pada tahun 2013. Sungai Citarum merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 9 juta manusia yang hidup di sekitarnya, dan juga bagi sekitar 2.000 pabrik yang berdiri di sepanjang aliran sungai tersebut. Sungai ini, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh kedua organisasi dimaksud, terkontaminasi limbah yang mengandung aluminium dan mangan. Dari hasil tes, air yang biasa diminum oleh warga di sekitar Sungai Citarum berada di level sangat berbahaya karena 1.000 kali di atas standar berbahaya yang ditetapkan di Amerika Serikat (http://nationalgeographic.co.id). Menurut Greenpeace dalam website resminya, a ir yang mengalir melalui Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa pengawasan dan

Transcript of GOVERNANCE THE COMMON SUNGAI CITARUM.doc

I. PENDAHULUANLatar Belakang

Ramai di berbagai media bahwa Sungai Citarum di Jawa Barat menurut laporan organisasi lingkunganGreen Cross Swissdan organisasi nirlabaBlacksmith Institute Internasional menjadi 10 tempat paling tercemar di dunia pada tahun 2013. Sungai Citarum merupakan sumber penghidupan bagi sekitar 9 juta manusia yang hidup di sekitarnya, dan juga bagi sekitar 2.000 pabrik yang berdiri di sepanjang aliran sungai tersebut. Sungai ini, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh kedua organisasi dimaksud, terkontaminasi limbah yang mengandung aluminium dan mangan. Dari hasil tes, air yang biasa diminum oleh warga di sekitar Sungai Citarum berada di level sangat berbahaya karena 1.000 kali di atas standar berbahaya yang ditetapkan di Amerika Serikat (http://nationalgeographic.co.id).

Menurut Greenpeace dalam website resminya, air yang mengalir melalui Citarum telah tercemari oleh berbagai limbah, yang paling berbahaya adalah limbah kimia beracun dan berbahaya dari industri. Saat ini di daerah hulu Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri dan hanya sekitar 20% saja yang mengolah limbah mereka, sementara sisanya membuang langsung limbah mereka secara tidak bertanggung jawab ke anak sungai Citarum atau ke Citarum secara langsung tanpa pengawasan dan tindakan dari pihak yang berwenang (pemerintah). Pada tingkat pengelolaan Sungai Citarum juga memiliki banyak permasalahan. Adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan di Tahun 2012 yang menyebutkan ketidakefektifan pengelolaan Sungai Citarum dilakukan oleh pemerintah daerah dan Pemerintah Pusat, dimana pada tataran Pemerintah Pusat terdapat dua roadmap yang berbeda antara milik Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum mengenai pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. BPK kemudian menginstruksikan Bappenas untuk, bersama Kementerian PU, mengelola roadmap Citarum sesuai dengan perjanjian dalam loan Integrated Citarum Water Resource Management Investment Program Nomor 2500-INO (SF) dan 2501-INO (SF).

Sungai merupakan sumber daya air yang memiliki sifat dan karakteristiknya berbeda dengan sumber daya lain. Menurut Pangesti dalam Samun Jaja Raharja (2008) sifat sungai mengalir dari hulu ke hilir, sehingga apa yang dilakukan di hulu akan memberi dampak pada hilir. Dampak pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang di hilir pencemaran di hulu akan menimbulkan biaya sosial di hilir (externality cost) dan sebaliknya pelestarian di hulu akan memberi manfaat di hilir. Dalam suatu wilayah sungai, lanjut Samun Jaja Raharja (2008), banyak terdapat institusi yang terlibat secara langsung dan tidak langsung. Masing-masing institusi merasa paling berhak melakukan pengelolaan, menggunakan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing. Akibat dari hal ini terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan kewenangan pengelolaan.Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah pengelolaan Sungai Citarum dalam konteks teori Governance of the Commons Tujuan Penelitian

Untuk merumuskan pengelolaan Sungai Citarum dalam konteks teori Governance of the Commons

II. DESKRIPSI KASUS

Sungai Citarum adalah sungai terpanjang dan terbesar di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sungai Citarum dengan panjang 269 km bersumber darimata air Gunung Wayang(di sebelah selatan kota Bandung), mengalir ke utaramelalui bagian tengah wilayah Provinsi Jawa Barat dan bermuara di Laut Jawa. Berdasarkan Permen PU No.11A Tahun 2006, wilayah sungai Citarum merupakan wilayah sungai lintas Provinsi(Cidanau-Ciujung-Cidurian-Cisadane-Ciliwung-Citarum merupakan wilayah sungai lintasProvinsi Banten-DKI Jakarta-Jawa Barat) yang kewenangan pengelolaannya berada di Pemerintah Pusat. Sungai Citarum berperan penting bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat khususnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Citarum digunakan sebagai sumber air baku air minum (6%), irigasi pertanian (86,70%), sumber air perkotaan (0,370%) serta sebagai pemasok air untuk kegiatan rumah tangga dan industri (2%), sedang sisanya tidak terpakai (www.citarum.org).Dalam dua puluh tahun terakhir ini kondisi lingkungan dan kualitas air di sepanjang Sungai Citarum semakin menurun. Dalam kurun waktu ini jumlah penduduk, permukiman dan kegiatan industri di sepanjang aliran sungai bertambah dan berkembang dengan pesat. Salah satu faktor utama yang mempercepat pencemaran sungai ini adalah perilaku yang kurang baik seperti membuang limbah dari industri dan rumah tangga langsung ke sungai tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka menurut Pusat Pengelolaan EkoregionJawa Kementerian Lingkungan Hidup (http://ppejawa.com), DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu: Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang Ujung Saguling

Zona Citarum Tengah : Saguling Cirata Jatiluhur

Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir Muara Citarum

Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaanyang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air. Permasalahan di daerah Citarum Tengah disebabkan tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung yang berdampak terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke Sungai Citarum. Berdasarkan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah sebesar 6.500 m3 per hari, dimana 1500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar 500.000 m3 pertahun. Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus dimana Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjir. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawang yang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampu lagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Telukjambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.

III. ANALISA

Pendekatan Teori Governance of the Common dalam Pengelolaan SungaiTeori Governance of the Commons dikemukankan oleh Elinor Ostrom dimana mula-mula dia mengemukakan mengenai fenomena pengurasan sumber daya alam yang telah mengalami kegagalan dalam pengolaannya. Pengelolaan sumber daya alam berkutat pada pertanyaan seberapa baik pembatasan penggunaannya sehingga dapan mempertahankan keberlangsungan jangka panjang nilai ekonomis dari sumber daya alam tersebut. (Elinor Ostrom, 1990:1). Sumber daya alam, seperti lahan peternakan, lahan perikanan, hutan, air, memiliki permasalahan dalam pengelolaannya. Adapun masalah pengelolaannya telah dikemukakan oleh Garrett Hardin di tahun 1968 dengan ungkapan the tragedy of the commons. Sumber daya alam yang bersifat gratis atau disebut Olstrom sebagai sumber daya bersama (common pool resources) sangat terbuka bagi siapapun untuk mengelolanya. Semua orang merasa memiliki hak untuk menggunakannya, sehingga tiap-tiap orag tersebut akan selalu memaksimalkan kepentingan pribadinya dan akibatnya sumber daya alam akan selalu dieksploitasi. Atau seperti ungkapan H. Scott Gordon dalam Olstrom (1990:3) yang menyatakan bahwa segala sumber daya atau kekayaan alam yang bebas dimiliki siapapun tidak akan dianggap penting oleh siapapun, dan bagi siapapun yang secara lugu menunggu waktu yang tepat untuk menggunakan sumber daya tersebut pada akhirnya akan mendapati kenyataan bahwa orang lain telah menghabiskannya. Hal yang bisa juga diambil dari pendekatan the tragedy of the commons tersebut adalah adanya permasalahan free rider (Olstrom 1990:6) dengan asumsi disaat seseorang tidak bisa dikecualikan dari manfaat yang disediakan oleh orang lain (pengelolaan sumber daya bersama yang merupakan barang publik), maka tiap-tiap orang akan termotivasi untuk tidak memberikan kontribusinya. Dalam paparan lainnya Olstrom juga menyatakan ketika suatu unit sumber daya bersama menghasilkan manfaat untuk banyak pihak maka penggunaan oleh satu pihak akan menimbulkan ekternalitas negatif untuk pihak lainnya, dimana suatu sumber daya alam publik yang tidak diatur akan tereksploitasi sedemikian rupa sehingga lama kelamaan akan hancur (Elinor Ostrom, 2002).

Untuk mengantisipasi the tragedy of the commons sebagian menyarankan untuk menyerahkan kepada negara dalam pengelolaan sumber daya bersama, sebagian lagi menyarankan kepada pengelolaan privat. Untuk yang mengedepankan peran negara dalam pengelolaannya memiliki asumsi bahwa kepentingan pribadi tidak dapat diharapkan untuk melindungi kepemilikan publik sehingga diperlukan kekuasaan yang memaksa untuk mengelola sumber daya bersama yang ada. Tetapi, Olstrom menanggapi pendekatan kekuasaan negara tersebut dengan pernyataan bahwa kekuasaan yang terkontrol hanya bisa dilakukan dengan asumsi-asumsi keakuratan informasi yang ada, kemampuan monitoring yang baik, kemampuan memberi sanksi yang baik serta minimnya biaya administrasi dalam pengelolaan sumberdaya bersama oleh kekuasaan negara (Olstrom, 1990:10). Adapun pihak-pihak yang mengedepankan privatisasi sumber daya bersama menyatakan bahwa dengan hak kepemilikan pribadi akan didapatkan pengelolaan sumber daya alam yang efektif. Sumber daya bersama yang ada akan dibagi dengan adil kepada tiap orang sehingga masing-masing orang dapat mengelola dan memonitor sumber daya miliknya sendiri. Kritik Olstrom terhadap pendekatan ini mengemukakan bahwa mereka mengasumsikan sumber daya yang ada adalah homogen dan tetap. Pendekatan privat tersebut tidak akan berhasil untuk sumber daya yang bersifat tidak tetap seperti sistem pengairan maupun perikanan. Kritik Olstrom ini dapat digambarkan pada pengelolaan aliran sungai, dimana jika hak privat berkuasa atas kepemilikan sungai maka pihak yang berada di hulu sungai akan membendung wilayah sungainya dan menggunakannya hanya untuk kepentingan pribadinya saja dimana hal tersebut tentunya akan merugikan pihak di hilir sungai. Pada akhirnya, ketiadaan kelembagaan tata kelola akan memposisikan sumber daya alam terancam oleh peningkatan populasi manusia, konsumsi maupun dari kehadiran teknologi. Ostrom kemudian mengemukakan bahwa dalam suatu komunitas kerjasama, aturan dan kelembagaan yang tidak bersifat pasar ataupun yang tidak dihasilkan oleh perencanaan terpusat dapat muncul dari komunitas dan menjaga keberlangsungan pengelolaan sumber daya alam secara bersama-sama. Argumen ini didapatkan Olstrom dari salah satu pengamatan empirisnya yaitu di sistem perikanan Alanya Turki (Ostrom, 1990:20).Suatu tata kelola sumber daya yang efektif di dalam komunitas yang bekerjasama dapatlah dicapai ketika (i) sumber daya alam dan penggunaannya oleh manusia dapat dimonitor, dan informasi yang ada dapat diverifikasi dan dimengerti dengan baik (ii) tingkat perubahan populasi, teknologi ekonomi maupun sosial relatif moderat (iii) komunitas menjaga komunikasi tatap muka secara tetap sehingga tercipta modal sosial saling mempercayai dan keterbukaan sehingga meminimalisir biaya monitoring (iv) pihak luar kelompok dapat dikecualikan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan biaya minim serta (v) adanya dukungan dari anggota kelompok untuk memonitor dan menghormati aturan yang telah dibentuk. (Tomas Dietz et.al, 2003).Ostrom pada akhirnya merumuskan prinsip-prinsip yang dapat menjaga kerjasama kelompok dapat bertahan dengan waktu yang lama (Ostrom, 1990:90), yaitu : Ditentukannya batasan-batasan dalam kelompok. Siapa saja anggota kelompok dan siapa mendapatkan apa haruslah jelas Aturan yang mengelola penggunaan kepemilikan bersama harus sesuai atau seiring senada dengan kebutuhan dan kondisi lokal Anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam memodifikasi aturan yang ada Terdapatnya suatu sistem monitoring terhadap perilaku anggota yang dilakukan oleh masing-masing anggota secara bersamaan Penerapan sanksi secara bertingkat dengan melihat tingkatan kesalahan Tiap anggota komunitas memiliki akses pada mekanisme penyelesaian konflik yang minim biaya Adanya pengakuan dari pihak yang berwenang terhadap nilai-nilai yang dianut oleh komunitas sehingga legitimasinya diakui Untuk sistem sumber daya bersama yang besar, ketujuh prinsip di atas diorganisir dalam sitem jaringanSebagai sumber daya bersama, aliran sungai dicirikan oleh dua hal (Samun Jaja Raharja, 2008.). Pertama adalah pengecualian (exclusion) terhadap pengguna potensional sangat mahal, hampir sama dengan besarnya pembangunan fasilitas pembagian air karena sifat dari aliran air tersebut. Kedua, pada suatu saat aliran sungai akan berkurang sehingga penggunaan air oleh seseorang akan mengurangi jumlah yang tersedia untuk orang lain. Pengelolaan air khususnya sungai di Indonesia masih bersifat sentralistik dan hirarkial, seperti dapat dilihat pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk :

a. menetapkan kebijakan nasional sumber daya air;b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional;f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategi nasional;

g. mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara;

h. membentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional, dewan sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan dewan sumber daya air wilayah sungai strategis nasional;

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 Sungai Citarum ditetapkan sebagai Wilayah Sungai Strategis Nasional sehingga pengelolaannya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Dikaitkan dengan teori governance of the common, pengelolaan suatu sumber daya bersama oleh negara adalah salah satu cara untuk mengantisipasi terjadinya tragedy of the commons. Tetapi hal tersebut dapat berhasil jika asumsi-asumsi yang berkaitan dengan keakuratan informasi, kemampuan monitoring, pemberian sanksi dan minimnya biaya pelaksanaan dapat terpenuhi. Dalam pengelolaan Sungai Citarum yang memiliki panjang 269 km, informasi yang harus dikumpulkan untuk dapat membuat suatu perencanaan yang baik dan pelaksanaan monitoring sangatlah masif dan menimbulkan biaya yang tinggi. Kecenderungan yang ada akan terkumpul informasi yang tidak akurat dan lemahnya monitoring. Jika monitoring lemah dapat dipastikan banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan dalam pengelolaan Daerah Sungai Citarum. Hal ini dapat dilihat dari maraknya pembuangan limbah rumah tangga dan industri ke aliran Sungai Citarum. Hal lain dari ketidakberhasilan pengelolaan sentralistik terlihat dimana sejak tahun 2008, Bappenas telah menyusun peta Citarum yang diterjemahkan dalam proyek Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program (Program Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Citarum Terpadu/ICWRMIP) dengan dana utang dari Bank Pembangunan Asia (ADB) senilai Rp 16 triliun. Program ini berlangsung 30 tahun dan dibagi dalam dua tahap, masing-masing tahap 15 tahun, tetapi sampai sekarang program yang telah menghabiskan dana Rp. 9 Trilyun pada tahap pertama pelaksanaan belumlah memberi manfaat yang signifikan untuk masyarakat maupun Sungai Citarum sendiri.IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASIKesimpulan

Sumber daya bersama yang tidak diatur akan tereksploitasi sedemikian rupa sehingga lama kelamaan akan hancur Pengelolaan suatu sumber daya bersama tidak serta merta hanya mengacu di antara dua pilihan saja, menyerahkan pada pengelolaan negara atapun memberikan kebebasan dalam hak milik pribadi saja.

Kekuasaan yang terkontrol hanya bisa dilakukan dengan asumsi-asumsi keakuratan informasi yang ada, kemampuan monitoring yang baik, kemampuan memberi sanksi yang baik serta minimnya biaya administrasi dalam pengelolaan sumberdaya bersama oleh kekuasaan negara

Kepemilikan pribadi akan sumber daya bersama akan menimbulkan eksternalitas negatif bagi pihak lain

Pengelolaan Sungai Citarum sangat tidak efektif karena terlalu sentralistis sehingga terjadi kerusakan lingkungan yang signifikan serta pemborosan anggaranRekomendasi Perlu diubahnya pola pikir sentralistik (government) dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum menjadi tata kelola (governance) berskala komunitas Perlu ditingkatkannya partisipasi dan peran masyarakat dalam pengelolaan Sungai Citarum serta memberi akses kepada masyarakat untuk membentuk komunitas dalam pengelolaannya yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan kondisi lokal Perlu diterapkan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar Perlu dibentuk jaringan komunitas dalam pengelolaan Sungai Citarum yang dibagi menjadi tiga bagian jaringan besar yaitu Sungai Citarum Hulu, Tengah dan Hilir sehingga dapat meminimalisir biaya pencarian informasi dan monitoring Perlunya kejelasan status hukum dari Daerah Aliran Sungai Citarum Perlunya peningkatan koordinasi antar instansi dan antara tingkat pemerintah dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum Perlu dilakukan normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam penampungan banjir, sumur-sumur resapan, pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistem penyediaan air minum dan air kotor, rehabilitasi jaringan irigasi serta pengembangan pembangkitan tenaga listrik yang ke depannya dalam pengelolaannya diserahkan kepada komunitas-komunitas masyarakat yang adaKEPUSTAKAANDietz, Tomas et.al. 2003. The Struggle to Govern the Commons. Science. American Association for the Advancement of Science. New York.Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Intitutions for Collective Action. Cambridge University Press._________. 2002. Common Pool Resources, Ambienta & Socieda-Ano V-No. 10-1o Semestre de 2002.Jaja Raharja, Samun. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Universitas Indonesia. Jakarta.PAPER AKHIR

MATA KULIAH EKONOMI KELEMBAGAANDosen : Yohana M.L Gultom

SUNGAI CITARUM DALAM PERSPEKTIF TEORI GOVERNANCE OF

THE COMMONS

DISUSUN OLEH :

K R I S T I A N

NPM : 1306418505

KELAS PAGI BAPPENAS ANGKATAN XXIX

MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA

TAHUN 2013-2014