gondok
-
Upload
addissty-reita -
Category
Documents
-
view
28 -
download
3
description
Transcript of gondok
REFERAT
“STRUMA“
“ Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu ”
Dokter Pembimbing : dr. Wicaksono, Sp. B
Disusun Oleh:
Auliana Putri Wijayanti
H2A011011
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU BEDAH
Presentasi referat dengan judul :
“Struma ”
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Bedah
RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
Disusun Oleh:
Auliana Putri Wijayanti H2A011011
Telah disetujui oleh Pembimbing:
Nama pembimbing Tanda Tangan
dr. Wicaksono P Sp.B .............................
Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Ilmu Bedah
Pembimbing : dr. Wicaksono P Sp.B
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.
Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998). Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x
ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai
besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena
serta pembentukan vena kolateral.
Embriologi
Kelenjar tyroid berkembang dari endoderm pada garis tengah usus depan (De
Jong & Syamsuhidayat, 1998). Kelenjar tyroid mulai terlihat terbentuk pada janin
berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tyroid berasal
dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut
timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami
desensus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai
duktus tyroglossus yang berawal dari foramen sekum di basis lidah.
Duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada keadaan tertentu masih
menetap. Dan akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tyroid yang letaknya abnormal,
seperti persisten duktud tyroglossus, tyroid servikal, tyroid lingual, sedangkan desensus
yang terlalu jauh akan membentuk tyroid substernal. Branchial pouch keempat ikut
membentuk kelenjar tyroid, merupakan asal sel-sel parafolikular atau sel C, yang
memproduksi kalsitonin.(IPD I). Kelenjar tyroid janin secara fungsional mulai mandiri
pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterin. (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua
pertiga sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak
pada permukaan belakang kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar
kearah kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu
bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tyroid atau tidak (Djokomoeljanto,
2001).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid
diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya
berasal dari pleksus perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.
Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan
ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga
penyebaran keganasan (Djokomoeljanto, 2001).
Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri
atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding
folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen,
sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok
sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari
end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein,
khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000) (Djokomoeljanto, 2001).
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk
aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida
inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian
dari tyrosin yang terdapat dalam tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau
diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4
yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam
kelenjar yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang.
Dalam sirkulasi, hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-
albumine, TPBA) (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Pada dasarnya kelenjar tiroid hanya menghasilkan hormone T4 yang kemudian
dikonversikan menjadi T3 oleh 5’ monodeiodination di hati, ginjal, otot tulang. T3
melakukan tugasnya melalui ikatannya dengan reseptor hormone tiroid spesifik
(THRs).4
Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar hormon
tiroid.
Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropin-
releasing hormone, yang menyebabkan kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-
stimulating hormone(TSH). Sesuai dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar
tiroid untuk menghasilkan hormone tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah
mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang
lebih sedikit; jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar hipofisa
mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik.
Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4
endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3.
Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati,
ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3,
3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada
tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2001).
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang
menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan
terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada
tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipifisis
terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
Efek metabolisme Hormon Tyroid : (Djokomoeljanto, 2001)
1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolik, tetapi
dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula glikogen otot
menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses degradasi
kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih cepat, sehingga
pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah. Sebaliknya pada hipotiroidisme
kolesterol total, kolesterol ester dan fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus
traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi diare,
gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme.
Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan)
Menurut American society for Study of Goiter membagi :
1. Struma Non Toxic Diffusa
2. Struma Non Toxic Nodusa
3. Stuma Toxic Diffusa
4. Struma Toxic Nodusa
Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi
fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan
diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi.
1. Struma non toxic nodusa
Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid.
Etiologi : Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan
iodium. Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis,
penyebabnya belum diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang
yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium
adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan
cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting
penyakit tiroid autoimun
3. Goitrogen :
Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium
Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan
resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.
Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak
cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan
goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004)
2. Struma Non Toxic Diffusa
Etiologi : (Mulinda, 2005)
1. Defisiensi Iodium
2. Autoimmun thyroiditis: Hashimoto oatau postpartum thyroiditis
3. Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan
penurunan pelepasan hormon tiroid.
4. Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi
hipofisis terhadap hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating
immunoglobulin
5. Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam
biosynthesis hormon tiroid.
6. Terpapar radiasi
7. Penyakit deposisi
8. Resistensi hormon tiroid
9. Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
10. Silent thyroiditis
11. Agen-agen infeksi
12. Suppuratif Akut : bacterial
13. Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasit
14. Keganasan Tiroid
3. Struma Toxic Nodusa
Etiologi : (Davis, 2005)
1. Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4
2. Aktivasi reseptor TSH
3. Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G
4. Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin
like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
4. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave desease, yang
merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui penyebab pastinya
(Adediji,2004)
Patofisiologi
Gangguan pada jalur TRH-TSH hormon tiroid ini menyebabkan perubahan
dalam struktur dan fungsi kelenjar tiroid gondok. Rangsangan TSH reseptor tiroid oleh
TSH, TSH-Resepor Antibodi atau TSH reseptor agonis, seperti chorionic gonadotropin,
akan menyebabkan struma diffusa. Jika suatu kelompok kecil sel tiroid, sel inflamasi,
atau sel maligna metastase ke kelenjar tiroid, akan menyebabkan struma nodusa
(Mulinda, 2005)
Defesiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan
hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini
terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk
inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen (Mulinda, 2005)
Struma mungkin bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang
termasuk stimulator reseptor TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang
resisten terhadap hormon tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan
tumor yang memproduksi human chorionic gonadotropin (Mulinda, 2005)
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Diagnosis disebut lengkap apabila dibelakang struma dicantumkan keterangan
lainnya, yaitu morfologi dan faal struma.
Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang
diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
Mengenai 1 lobus
Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
Kadang Multilobaris
Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
Batas Jelas
Konsistensi kenyal sampai keras
Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma
tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
batas tidak jelas
Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
Tampak pembuluh darah
Berdenyut
Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
Exopthalmus
Stelwag Sign : Jarang berkedip
Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli
waktu melihat ke bawah
Morbus Sign : Sukar konvergensi
Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi
Benjolan
Warna
Permukaan
Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
Permukaan, suhu
Batas :
Atas : Kartilago tiroid
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
STRUMA NON TOKSIK
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka pembesaran
ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme
disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa terutama
ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid sudah mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita struma
nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme.
Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang
tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan
trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian dapat dicitrakan
dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti menyebabkan
gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspirator (Noer,
1996) .
Manifestasi klinis
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal (Mansjoer, 2001) :
1. Berdasarkan jumlah nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radoiaktif : nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya : nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma
nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas) (Noer, 1996). Gejala penekanan ini data juga oleh
tiroiditis kronis karena konsistensinya yang keras (Tim penyusun, 1994). Biasanya tidak
disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul (Noer, 1996).
Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens menyebabkan terjadinya suara
parau (Tim penyusun, 1994).
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher
sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah
bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita
datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada
kranium (Tim penyusun, 1994).
Diagnosis
Anamnesa sangatlah pentinglah untuk mengetahui patogenesis atau macam
kelainan dari struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita
dari daerah endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik).
Apakah sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah
disertai peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat
penyakit yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler) (Tim penyusun,
1994).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai (Mansjoer, 2001) :
1. jumlah nodul
2. konsistensi
3. nyeri pada penekanan : ada atau tidak
4. pembesaran gelenjar getah bening
Inspeksi dari depan penderita, nampak suatu benjolan pada leher bagian depan
bawah yang bergerak ke atas pada waktu penderita menelan ludah. Diperhatikan kulit di
atasnya apakah hiperemi, seperti kulit jeruk, ulserasi.
Palpasi dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk
penderita dan jari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita.
Pada palpasi harus diperhatikan :
o lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
o ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
o konsistensi
o mobilitas
o infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
o apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada
bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada
umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai
sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut
lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.
Harus juga diraba kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher,
umumnya metastase karsinoma tiroid pada rantai juguler (Tim penyusun, 1994).
Pemeriksaan penunjang meliputi (Mansjoer, 2001) :
1. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi,
dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini
pasien diberi Nal peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan
konsentrasi yodium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik
tiroid dibedakan 3 bentuk :
o nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
o Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
o Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
2. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG :
o kista
o adenoma
o kemungkinan karsinoma
o tiroiditis
3. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap
cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul (Noer, 1996).
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi
aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak menyababkan bahaya
penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberika hasil
negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang benar,
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
interpretasi oleh ahli sitologi.
4. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan
khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut
panas apabila perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila
<>o C. Pada penelitian Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua
hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitif dan spesifik bila dibanding
dengan pemeriksaan lain.
5. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg)
serum. Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak
rataa-rata 323 ng/ml, dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.
Penatalaksanaan
Indikasi operasi pada struma nodosa non toksika ialah (tim penyusun, 1994) :
1. keganasan
2. penekanan
3. kosmetik
Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang terkena. Bila
hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus terkena
dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher
maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar leher
radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar
kelenjar getah bening.
Radioterapi diberikan pada keganasan tiroid yang :
1. inoperabel
2. kontraindikasi operasi
3. ada residu tumor setelah operasi
4. metastase yang non resektabel
Hormonal terapi dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga
sebagai supresif untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma
tiroid diferensiasi baik (TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap
metastase jauh yang tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid
diferensiasi baik yang inoperabel.
Preparat : Thyrax tablet
Dosis : 3x75 Ug/hari p.o
STRUMA TOKSIK
Struma difus toksik (Grave’s Disease)
Grave’s disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Grave’s
terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang
merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri (Mansjoer, 2001).
Manifestasi klinis
Pada penyakit Graves terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal. Keduanya mungkin tidak tampak. Ciri- ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang
berlebihan (Price dan Wilson, 1994).
Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas
simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan serta atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra
melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti
gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Jaringan orbita dan dan otot-otot mata
diinfltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma yang mengakibatkan eksoltalmoa
(proptosis bola mata), okulopati kongestif dan kelemahan gerakan ekstraokuler (Price
dan Wilson, 1994).
Diagnosis
Sebagian besar pasien memberikan gejala klinis yang jelas, tetapi pemeriksaan
laboratorium tetap perlu untuk menguatkan diagnosis. Pada kasus-kasus subklinis dan
pasien usia lanjut perlu pemeriksaan laboratorium yang cermat untuk membantu
menetapkan diagnosis hipertiroidisme. Diagnosis pada wanita hamil agak sulit karena
perubahan fisiologis pada kehamilan pembesaran tiroid serta manifestasi
hipermetabolik, sama seperti tirotoksikosis. Menurut Bayer MF, pada pasien
hipertiroidisme akan didapatkan Thyroid Stimulating Hormone sensitive (TSHs) tak
terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat (Mansjoer, 2001)
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang
berlebihan dengan cara menekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid
(yodium radioaktif, tiroidektomi subtotal).
1. Obat antitiroid
Indikasi :
1. terapi untuk memperpanjang remisi atau mendapatkan remisi yang
menetap, pada pasien muda dengan struma ringan sampai sedang dan
tirotoksikosis.
2. Obat untuk mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan,
atau sesudah pengobatan pada pasien yang mendapat yodium aktif.
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pengobatan pasien hamil dan orang lanjut usia
5. Pasien dengan krisis tiroid
Obat antitiroid yang sering digunakan :
Obat Dosis awal (mg/hari) Pemeliharaan (mg/hari)
Karbimazol 30-60 5-20
Metimazol 30-60 5-20
Propiltourasil 300-600 5-200
2. Pengobatan dengan yodium radioaktif
Indikasi :
1. pasien umur 35 tahun atau lebih
2. hipertiroidisme yang kambuh sesudah penberian dioperasi
3. gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat antitiroid
4. adenoma toksik, goiter multinodular toksik
2. Operasi
Tiroidektomi subtotal efektif untuk mengatasi hipertiroidisme. Indikasi :
1. pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap
obat antitiroid.
2. pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat antitiroid
dosis besar
3. alergi terhadap obat antitiroid, pasien tidak dapat menerima yodium
radioaktif
4. adenoma toksik atau struma multinodular toksik
5. pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
Struma nodular toksik
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease (Sadler et al,
1999). Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter
nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap
terapi digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat
badan, lemah, dan pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada
pasien-pasien tersebut yang berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien
penyakit Graves. Penderita goiter nodular toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda
mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang) akibat aktivitas
simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis
oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson,
1994). Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak
di retrosternal (Sadler et al, 1999)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh
tingkat TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi
antitiroid biasanya tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala
tetapi biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak
efektif seperti penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita
ini membutuhkan dosis radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau
lobektomi tiroid adalah terapi pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma
multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain
adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)
PENYAKIT TIROID YANG LAIN
Tiroiditis
Ditandai dengan pembesaran, peradangan dan disfungsi kelenjar tiroid.
Klasifikasi (Noer, 1996) :
1. Akut (supuratif)
Disebut juga infective thyroiditis, infeksi oleh bakteri atau jamur. Bentuk khas
infeksi bakterial ini ialah tiroiditis septik akut. Kuman penyebab antara
lain Staphylococcus aureus,Streptococcus hemolyticus, dan Pneumococcus.
Infeksi terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan
sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktus tiroglosus yang
persisten. Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses. Gejala
klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan
takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah
tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, LED meninggi, sidikan
tiroid menunjukkan nodul dingin. Pengobatan utama adalah antibiotik. Kokus
gram positif biasanya diatasi dengan penisilin atau derivatnya, tetrasiklin atan
kloramfenikol. Apabila terjadi abses melibatkan satu lobus diperlukan lobektomi
(dengan lindungan antibiotik). Jika infeksi sudah menyebar melalui kapsul dan
mencapai jaringan sekitarnya, diperlukan insisi dan drainage.
2. Subakut
Etiologi umumnya diduga oleh virus. Pada beberapa kasus dijumpai antibodi
autoimun. Pasien mengeluh di leher bagian depan menjalar ke telinga, demam,
malaise, disertai hipertiroidisme ringan atau sedang. Pada pameriksaan fisik
ditemukan tiroid membesar, nyeri tekan, biasanya disertai takikardi berkeringat,
demam, tremor dan tanda-tanda lain hipertiroidisme. Pemeriksaan laboratorium
sering di jumpai leukositosis, laju endap darah meningkat. Pada 2/3 kasus kadar
hormon tiroid meninggi karena penglepasan yang berlebihan akibat destruksi
kelenjar tiroid oleh proses inflamasi. Penyakit ini biasanya sembuh sendiri
sehingga pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. Dapat diberikan
asetosal untuk mengurangi nyeri. Pada keadaan berat dapat diberikan
glukokortokoid misalnya prednison dengan dosis awal 50 mg/hari.
3. Menahun
1. limfositik (Hashimoto)
merupakan suatu tiroiditis autoimun dengan nama lain yaitu struma
limfomatosa, tiroiditis autoimun. Umumnya menyerang wanita berumur
30-50 tahun. Kelenjar tiroid biasanya membesar lambat, tidak terlalu
besar, simetris, regular dan padat. Kadang-kadang ada nyeri spontan dan
nyeri tekan. Bisa eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Kelainan
histopatologisnya antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi
folikel tiroid dan fibrosis. Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan
pasti secara histologis melalui biopsi. Bila kelenjar tiroid sangat besar
mungkin diperlukan pengangkatan, tetapi operasi ini sebaiknya ditunda
karena kelenjar tiroid dapat mengecil sejalan denagn waktu. Pemberian
tiroksin dapat mempercepat hal tersebut.
2. Non spesifik
3. fibrous-invasif (Riedel)
TINDAKAN OPERATIF PADA STRUMA
Pembedahan pada struma dapat dibedakan menjadi dua, yakni pembedahan teurapetik, dan
pembedahan diagnostic. Bedah diagnostic meliputi
Indikasi :
1. Pembesaran kelenjar thyroid dengan gejala penekanan berupa :
Gangguan menelan
Gangguan pernafasan
Suara parau
2. Keganasan kelenjar thyroid
3. Struma nodus dan diffusa toxica
4. Kosmetik
Kontraindikasi:
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan operasi
2. Struma dengan dekompensasi kordis, penyakit sistemik (DM, hipertensi)
3. Struma besar kemungkinan keganasan anaplastik
4. Struma (karsinoma) disertai vena cava superior syndrom
Persiapan operasi pada struma toksika
Pasien harus sudah dalam kondisi eutiroid dengan cara:
Diberi minum lugol (fortir) 3 x 10 tts/hari selama 7-10 hari
PTU atau Neomercazole tetap diminum selama menunggu operasi
Pasca operasi lugol dihentikan, tetapi PTU tetap diberikan sampai 2 hari pasca
operasi.
Macam Teknik Operasi :
Isthmulobectomy , mengangkat isthmus
Lobectomy, mengangkat satu lobus, bila subtotal sisa 3 gram
Tiroidectomi Total, semua kelenjar tiroid diangkat
Tiroidectomy subtotal bilateral
Mengangkat sebagian besar tiroid lobus kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram
dibagian posterior untuk mencegah kerusakan parathyroid atau syaraf reccurent
laryngeus. Biasanya dilakukan pemeriksaan Frosen section
Near Total tiroidectomi
Isthmulobectomy dextra dan lobectomy subtotal sinistra dan sebaliknya, sisa jaringan
tiroid 1-2 gram. Mengangkat semua nodi yang terlibat
RND (Diseksi Neck Radikal)
Mengangkat seluruh jaringan limfoid pada leher sisi yang bersangkutan dengan
menyertakan n. assesorius , v.jugularis eksterna dan interna, m. sternocleidomastoideus
dan m.omohyoideus dan kelenjar ludah submandibularis dan tail parotis.
Ada 3 modifikasi :
Modifikasi 1 : mempertahankan n. Ascessorius
Modifikasi 2 : mempertahankan n.Acessorius dan v.Jugularis interna
Fungsional: n.Acessorius, vena jugularis interna, m.sterrnocleidomastoideus
Komplikasi Operasi :
a. Segera
Perdarahan dari a. tiroidea superior
Dispneu
1. Gangguan n. recurrens
2. Hamorragi
3. Tracheomalacia atau trachea kolaps
Krisis tiroid ,terjadi 8 – 24 jam pasca operasi
Tanda-tanda :
- Gelisah
- Gangguan saluran gastrointestinal
- Kulit hangat & basah
- Suhu > 38 C
- Nadi > 160 x/menit
- Tekanan darah naik
b. Lama
Suara kasar karena kerusakan n. reccurent laryngeus
Kelenjar paratiroid terangkat menyebabkan hipokalsemia sehingga terjadi tetani
(sindrom carpo-pedal : kejang fokal pada tangan dan kaki)
Hypotyroid terjadi setelah 2 tahun
Pencegahan dengan pemberian Euthyox atau Thyrax dosis 1 x 50 mg/hari berangsur-
angsur diturunkan dosisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994., Struma Nodusa Non Toksik., Pedoman Diagnosis dan Terapi.,
Lab/UPF Ilmu Bedah., RSUD Dokter Sutomo., Surabaya
De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 1998., Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.,
EGC., Jakarta
Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya.,
Dalam : Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.,FKUI., Jakarta
Carpenito L Y, 2001, Hand Book of Nursing Diagnosis, Edisi 8, EGC : Jakarta
Doengoes, dkk, 2000, Nursing Care Plans : Guideline For Planning And
Dokumentating Care. EGC : Jakarta.
Harnawati, http://harnawatiaj.wordpress.com Hidayat, Syamat, dkk, 1997. Edisi
Revisi
Buku Ilmu Ajar Bedah,EGC : Jakarta. Manjoer, Arief, dkk, 2000.Kapita Selekta
Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapius :Jakarta.
Mansjoer A et al (editor) 2001., Struma Nodusa Non Toksik., Kapita Selekta
Kedokteran., Jilid 1, Edisi III., Media Esculapius., FKUI., Jakarta