Geologi Batubara

18
 Geologi Batubara By admin November 20, 2011 Leave a Comment    Istilah batubara merupakan istilah yang luas untuk keseluruhan bahan yang bersifat karbon yang terjadi secara alamiah. Batubara dapat pula didefinisikan sebagai batuan yang bersifat karbon berbentuk padat, rapuh, berwarna coklat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat perubahan atau pelapukan tumbuhan secara kimia dan fisika (dalam “ Kamus Pertambangan, Teknologi dan Pemanfaatan Batuabara  , Silalahi, 2002). Sedangkan dalam pengertian geologi batubara oleh Schoft (1956) dan Bustin, dkk (1983) (dikutip dari Rahmad, B., 2001) lebih spesifik mendefinisikan batubara sebagai bahan atau batuan yang mudah terbakar, mengandung lebih dari 50% hingga 70% volume kandungan karbon yang berasal dari sisa-sisa material tumbuhan yang terakumulasi dalam cekungan sedimentasi dan mengalami proses perubahan kimia dan fisika, sebagai reaksi terhadap pengaruh pembusukan bakteri, temperatur, tekanan dan waktu geologi. II.1.1 Tempat Pembentukan Batubara Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk menjelaskan tempat terbentuknya batubara (Sukandar rumidi, 1995), yaitu : 1. Teori Insitu Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Pada saat tumbuhan tersebut mati sebelum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan ( coalification). Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya relatif baik karena kadar abunya relatif kecil. 2. Teori Drift  Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang, dengan demikian tumbuhan yang te lah mati diangkut o leh media air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan. Batubara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik. II.1.2 Tahap Pembentukkan Batubara Pada dasarnya proses pembentukan batubara dapat dibagi menjadi dua tahap (Diessel, 1986), yaitu : 1. Tahap Biokimia (Biochemical Stage) 

Transcript of Geologi Batubara

Page 1: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 1/17

 

Geologi Batubara By admin November 20, 2011 Leave a Comment 

   

Istilah batubara merupakan istilah yang luas untuk keseluruhan bahan yang bersifat karbon

yang terjadi secara alamiah. Batubara dapat pula didefinisikan sebagai batuan yang bersifat

karbon berbentuk padat, rapuh, berwarna coklat tua sampai hitam, dapat terbakar, yang

terjadi akibat perubahan atau pelapukan tumbuhan secara kimia dan fisika (dalam “Kamus

Pertambangan, Teknologi dan Pemanfaatan Batuabara” , Silalahi, 2002). Sedangkan dalam

pengertian geologi batubara oleh Schoft (1956) dan Bustin, dkk (1983) (dikutip dari

Rahmad, B., 2001) lebih spesifik mendefinisikan batubara sebagai bahan atau batuan yang

mudah terbakar, mengandung lebih dari 50% hingga 70% volume kandungan karbon yang

berasal dari sisa-sisa material tumbuhan yang terakumulasi dalam cekungan sedimentasi

dan mengalami proses perubahan kimia dan fisika, sebagai reaksi terhadap pengaruh

pembusukan bakteri, temperatur, tekanan dan waktu geologi.

II.1.1 Tempat Pembentukan Batubara 

Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk menjelaskan tempat terbentuknya

batubara (Sukandarrumidi, 1995), yaitu :

1. Teori Insitu 

Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara, terbentuknya di

tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Pada saat tumbuhan tersebut mati

sebelum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen danmengalami proses pembatubaraan (coalification). Jenis batubara yang terbentuk dengan

cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya relatif baik karena kadar

abunya relatif kecil.

2.  Teori Drift  

Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan batubara terjadinya ditempat

yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang, dengan demikian

tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi disuatu tempat,

tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan. Batubara ini

mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang

baik.

II.1.2 Tahap Pembentukkan Batubara 

Pada dasarnya proses pembentukan batubara dapat dibagi menjadi dua tahap (Diessel,

1986), yaitu :

1. Tahap Biokimia (Biochemical Stage) 

Page 2: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 2/17

 

Merupakan tahap pertama dalam proses pembentukan batubara. Pada tahap ini terjadi

proses pembusukan sisa-sisa material tumbuhan dan penggambutan ( peatification), yang

disebabkan oleh bakteri ataupun organisme tingkat rendah lainnya. Oleh karena proses

tersebut maka terjadi pelepasan kandungan hidrokarbon, zat terbang dan oksigen disertai

penyusunan kembali molekul-molekul bahan tersisa, dan sebagai akibatnya terjadi

penambahan kandungan karbon pada maseral batubara .2.  Tahap Fisika-Kimia (Physico-Chemical Stage) 

Setelah tahap biokimia, kemudian dilanjutkan dengan tahap fisika-kimia. Pada tahap ini

terjadi proses pembatubaraan yang mana gambut yang sudah terbentuk berubah menjadi

berbagai macam peringkat batubara oleh akibat pengaruh temperatur, tekanan dan waktu

geologi. Peningkatan peringkat batubara pada proses ini ditandai dengan bertambah

gelapnya warna, kekerasan dan perubahan pada bidang belah batubara, seturut

peningkatan temperatur, tekanan dan lama waktu geologi.

II.1.3 Faktor-faktor Pembentukan Batubara 

Dari berbagai teori yang menerangkan tentang terbentuknya batubara, terdapat

kesepakatan mengenai faktor-faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi,

yang mempunyai peranan penting didalam pembentukkan batubara dalam suatu cekungan

(Gambar 2.1). Faktor-faktor tersebut yaitu:

1. Akumulasi Sisa Tumbuhan-Tumbuhan (Bahan Organik) 

Akumulasi sisa tumbuh-tumbuhan dapat secara insitu maupun hasil hanyutan

(allochotonous), namun akumulasi ini harus terdapat dalam jumlah yang cukup besar dan

terletak pada daerah yang digenangi oleh air, yang mana nantinya dapat dijadikan daerah

pengendapan bagi batuan sedimen klastik. Keadaan ini dapat dicapai dari produksi

tumbuhan yang tinggi, penimbunan secara perlahan dan menerus yang diikuti dengan

penurunan dasar cekungan secara perlahan. Produksi tumbuhan yang tinggi terdapat pada

iklim tropis dan sub tropis, sedangkan penimbunan secara perlahan dan menerus hanya

terjadi dalam lingkungan paralik dan limnik, yang memiliki kondisi tektonik relatif stabil.

2.  Bakteri dan Organisme Tingkat Rendah Lain 

Merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sisa tumbuhan-tumbuhan menjadi bahan

pembentuk gambut ( peat ). Kegiatan bakteri dan organisme tingkat rendah lain akan

merusak akumulasi sisa tumbuh-tunbuhan yang telah ada dan merubahnya menjadi bahan

pembentuk gambut berupa massa berbentuk agar-agar (gel ), yang kemudian terakumulasi

menjadi gambut.

3.  Temperatur 

Temperatur panas terbentuk oleh timbunan sedimen diatas lapisan batubara dan gradien

panas bumi. Efek panas dari faktor ini menimbulkan proses kimia dinamis (geokimia) yang

mampu manghasilkan perubahan fisik dan kimia, dalam hal ini merubah gambut menjadi

berbagai jenis dan peringkat batubara. Proses ini merupakan tahap kedua pada proses

pembatubaraan (coalification). Selain panas yang dihasilkan karena timbunan sedimen

diatas lapisan batubara dan gradien panas bumi, juga dapat dihasilkan oleh adanya intrusi

batuan beku, sirkulasi larutan hidrotermal dan struktrur geologi.

4.  Tekanan 

Page 3: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 3/17

 

Tekanan sangat penting sebagai penghasil panas, namun juga dapat membantu

melepaskan unsur-unsur zat terbang dari lapisan batubara, yang dikenal sebagai proses

devolatilisasi. Proses ini akan lebih efektif apabila lapisan batuan diatasnya bersifat

permeabel dan porous, sehingga batubara yang berada pada lapisan batupasir akan

mengalami proses devolatilisasi yang lebih efektif dibandingkan lapisan batulempung.

5.  Waktu Geologi 

Pengaruh pembentukkan batubara tidak terlepas dari lamanya waktu pemanasan dalam

cekungan. Pemanasan dalam waktu yang lama, pada temperatur yang sama akan

menghasilkan batubara yang lebih tinggi peringkatnya. Jadi harus ada keseimbangan yang

baik antara panas, tekanan dan waktu geologi.

II.1.4 Tipe Batubara Berdasarkan Lingkungan Pengendapan 

Lingkungan pengendapan batubara akan mempengaruhi tipe batubara yang dihasilkan.

Berdasarkan lingkungan pengendapan, maka dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis tipe

batubara, yaitu tipe batubara humik (humic coal ), sapropelik (sapropelic coal ) dan

humospropelik (humosapropec coal ).

1. Tipe Batubara Humik (Humic Coal ) 

Batubara humik biasanya diendapkan di lingkungan darat (limnic ), dengan proses

pengendapan secara insitu, yang mana material organik pembentuk batubara berasal dari

tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada (autochthonous). Batubara tipe ini

memiliki kualitas batubara yang baik dengan peringkat batubara bituminus hingga antrasit.

Komposisi maseral 90% lebih terdiri dari vitrinit (vitrite), memiliki kandungan hidrogen dan

zat terbang yang sangat rendah.

2.  Tipe Batubara Sapropelik (Sapropelic Coal ) 

Batubara sapropelik biasanya diendapkan di lingkungan laut ( paralic ) seperti pada daerah

delta, laguna, lestuarin, marsh, rawa-rawa air payau. Proses pengendapannya secara drift ,

yang mana material organik pembentuk batubara berasal dari tempat lain (allochthonous).

Batubara tipe ini memiliki kualitas batubara kurang baik dibandingkan batubara humik,

sedangkan peringkat batubaranya adalah sub bituminus hingga lignit dengan kandungan

hidrogen dan zat terbang yang tinggi sedangakan kandungan karbon rendah. Batubara

sapropelik dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu batubara cannel dan boghead. 

Batubara jenis cannel dan boghead dapat dibedakan dari komposisi maseralnya, terutama

kelompok liptinit. Batubara cannel memiliki maseral sporinite lebih banyak dibandingkanmaseralalginite (sporinite > alginite). Sedangkan batubara boghead lebih dibanyak disusun

oleh maseral alginite dibandingkan sporinite (sporinite < alginite).

3.  Tipe Batubara Humosapropelik (Humosapropec Coal ) 

Page 4: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 4/17

 

Batubara humosapropelik merupakan batubara yang dihasilkan dari rangkaian humik dan

spropelik, tetapi rangkaian humik lebih dominan. Asal material organik pembentuk batubara

berasal dari tempat dimana material organik diendapkan dan dari tempat lain.

II.2 Endapan Batubara Indonesia 

Endapan batubara Indonesia pada umumnya berkaitan erat dengan pembentukan cekungan

sedimentasi Tersier (Paleogen-Neogen), yang diakibatkan proses tumbukan lempeng

Eurasia, Hindia-Australia dan Pasifik pada zaman kapur. Berdasarkan perkembangan

tektonik Tersier oleh Sudarmono (1997) (dalam Koesoemadinata, 2000) endapan batubara

Indonesia diklasifikasikan menjadi:

1. Endapan batubara Paleogen (Eosen – Oligosen), dan

2. Endapan batubara Neogen (Oligosen Akhir – Miosen);

Sedangkan dalam tatanan tektono-stratigrafi pengendapan batubara oleh Koesoemadinata

(2000) diklasifikasikan menjadi tiga kategori.

1. Endapan Batubara Paleogene Syn-Rift  

Batubara syn-rift berasosiasi dengan sedimen fluvial dan lakustrin, biasanya batubara yang

diendapkan pada tipe ini menghasilkan batubara dengan nilai kalori yang tinggi (~7000

Kcal/kg), rendah kandungan air lembab dan sulfur. Sebagai contoh untuk tipe ini adalah

Formasi Sawahlunto di Cekungan Ombilin, Sumetera Tengah.

2.  Endapan Batubara Paleogene Post –Rift Transgression 

Batubara post –rift transgression diendapkan pada lingkungan paparan yang stabil selamakala Eosen Akhir hingga Awal Miosen. Sebagai contoh tipe ini adalah batubara dari

Cekungan Sumatera Tengah (Awal Miosen), dan lebih tepat diwakili dengan batubara

Senakin di Formasi Tanjung bagian bawah dalam Cekungan Barito dan Pasir-Asem-asem.

Batubara pada lingkungan ini diendapkan secara lateral dan menerus, dengan nilai kalori

dan kandungan sulfur tinggi.

3.  Endapan Batubara Neogene Syn-Orogenic Regressive 

Batubara syn-orogenic regressive terjadi pada Miosen Tengah hingga Plio-Pleistosen dan

merupakan hasil dari pengangkatan cekungan. Endapan batubara biasanya terdapat

cekungan belakang busur (back-arc basin) dan cekungan depan busur (fore-arc basin) pada

busur kepulauan. Endapan batubara pada syn-orogenic regressive biasanya tidak terlalu

tebal, tetapi akan terdiri dari beberapa lapisan. Nilai kalori rata-rata adalah rendah (~5000

kcal/kg), kandungan air lembab tinggi dan kandungan sulfur juga rendah

Dalam kerangka tatanan tektono-stratigrafi pengendapan batubara ini dapat memberikan

pendekatan mengenai gambaran umum kualitas, kuantitas maupun karakteristik lapisan

Page 5: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 5/17

 

batubara dalam suatu cekungan. Selain itu juga dapat memberikan pendekatan tentang

kondisi geologi lokal yang mengontrol kualitas, kuantitas maupun karakteristik lapisan

batubara tersebut. Dari hal tersebut juga dapat diperoleh pengertian bahwa kualitas,

kuantitas maupun karakteristik lapisan batubara pada tiap-tiap cekungan sedimentasi

batubara akan berbeda-beda karena kontrol geologi dari tiap-tiap cekungan juga berbeda-

beda pula.

II.3 Endapan Batubara Telitian 

Penelitian ini mengambil beberapa contoh endapan batubara (raw coal ) dari cekungan-

cekungan Sumatera Selatan, Tarakan (Sub-Cekungan Tarakan dan Berau), Kutai dan Barito

(Sub-Cekungan Pasir), pada lapisan batubara berumur Miosen yang merupakan endapan

batubara Neogen (Gambar 2.3).

II.3.1 Endapan Batubara Cekungan Sumatera Selatan 

Menurut De Coster, 1974 (dikutip dari Bachtiar. T., 2001) Cekungan Sumatera Selatan telah

mengalami tiga kali orogenesa, yaitu pada Mesozoikum Tengah, Kapur Akhir – Tersier Awal

dan Plio-Pliestosen. Setelah orogenesa terakhir (Plio-Pliestosen) telah menghasilkan kondisi

dan struktur geologi seperti yang terlihat saat ini. Endapan batubara yang ada sekarang

  juga merupakan hasil dari kendali geologi saat itu, diendapakan di cekungan belakang

busur saat pada Tersier Akhir.

Startigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan menurut beberapa peneliti terdahulu dibagi

menjadi beberapa formasi dan satuan batuan dari tua sampai muda adalah sebagai berikut

:

  Batuan Dasar Pra – Tersier, terdiri dari andesit, breksi andesit, filit, kuarsit, batu gamping,

granit dan granodiorit.

  Formasi Lahat; terdiri dari tufa, aglomerat, breksi tufaan, andesit, serpih, batu lanau dan

batubara. Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar Pra-Tersier

pada kala Paleosen – Oligosen Awal di lingkungan darat.

  Formasi Talang Akar ; terdiri dari batupasir berukuran butir kasar – sangat kasar, batu

lanau dan batubara. Formasi ini diendapkan tidak selaras diatas Formasi Lahat pada kala

Oligosen Akhir – Miosen Awal di lingkungan fluviatil sampai laut dangkal.

  Formasi Baturaja; terdiri dari batugamping terumbu, serpih gampingan dan napal.

Formasi ini terletak diatas Formasi Talang Akar, diendapkan pada kala Miosen Awal

dilingkungan litoral sampai neritik.

  Formasi Gumai; terdiri dari serpih gampingan dan serpih lempungan, diendapkan

dilingkungan laut dalam pada kala Miosen Awal – Miosen Tengah.

  Formasi Air Benakat; dicirikan oleh batupasir yang terbentuk selaras di atas Formasi

Gumai, diendapkan di lingkungan neritik sampai laut dangkal pada kala Miosen Tengah – 

Miosen Akhir.

Page 6: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 6/17

 

  Formasi Muara Enim; terdiri dari batupasir, batulanau, batulempung dan batubara.

Formasi ini berumur kala Mio-Pliosen, diendapkan selaras diatas Formasi Air Benakat di

lingkungan delta.

  Formasi Kasai; terdiri dari batupasir tufaan dan tufa, terletak selaras diatas Formasi Muara

Enim, diendapkan di lingkungan darat pada kala Pliosen Akhir – Pleistosen Awal.

  Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa material

berukuran kerakal hingga lempung, menumpang tidak selaras di atas Formasi Kasai.

Secara khusus mengenai pengendapan batubara di Cekungan Sumatera Selatan oleh

Koesoemadinata, 2000 menyebutkan bahwa pengendapan di Formasi Talang Akar bagian

atas (Oligosen Akhir – Miosen Awal) berhubungan pengendapan batubara paleogene post –

rift transgression yang menghasilkan batubara dengan nilai kalori tinggi (>6000 kal/gr),

kadar abu rendah (<15%), dan kandungan sulfur tinggi (>1%). Sedangkan pada

pengendapan di Formasi Muara Enim (Miosen – Pliosen) dan neogene syn-orogenic 

regressive yang menghasilkan lapisan batubara dengan ketebalan ±20 meter Batubara

Suban (dalam Koesoemadinata, 2000). Lebih dari 20 lapisan batubara hadir di sekitar

lapangan Tanjung Enim (PTBA) yang mana batubara tersebut ditambang. Batubara yang

dihasilkan memiliki rata-rata nilai kalori 5504 – 5347 kkal/kg (as received ), air lembab

keseluruhan 23,6% (as received ), kandungan sulfur 0,5%, kadar abu 4%, zat terbang

32,1% dan karbon padat 40,3%.Pada beberapa batubara di Tanjung Enim terdapat

batubara peringkat antrasit dengan nilai kalori 8000 kkal/kg, hal ini diakibatkan oleh intrusi

andesit di daerah tersebut.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa endapan batubara Miosen di Cekungan Sumatera

Selatan memiliki penyebaran lapisan batubara yang luas, namun memiliki peringkat

batubara yang tidak terlalu tinggi, kecuali disekitar intrusi andesit. Contoh endapan

batubara yang dipakai dalam penelitian termasuk pada Formasi Muara Enim, yang

selanjutnya disebut Batubara Banko.

II.3.2 Endapan Batubara Cekungan Kalimantan Bagian Timur 

Endapan batubara Indonesia yang cukup potensial juga tersebar luas di cekungan-cekungan

belakang busur yang terdapat di sepanjang pantai Timur Kalimantan dan tergolong dalam

cekungan-cekungan yang berumur Tersier. Endapan-endapan batubara di cekungan

Kalimantan bagian timur umumnya berumur Paleogen (Eosen) dan Neogen (Mio-Pliosen

hingga Plio-Pleistoen) dan proses pengendapannya berhubungan dengan regresi air laut.

Peringkat batubara umumnya berupa lignite hingga high volatile bituminous dengan nilai

kalori rendah, kandungan air lembab tinggi, kadar abu dan sulfur relatif rendah.

Secara regional, endapan batubara tersebut berhubungan dengan empat aktifitas tektonikutama selama zaman Tersier yang mempengaruhi pembentukan cekungan-cekungan

tersebut, yaitu :

1. aktifitas tektonik awal Tersier, mengakibatkan pengangkatan tinggian mangkaliat

danSuikerbrood ridge yang membagi Cekungan Kaliamantan bagian timur menjadi

Cekungan Tarakan dan Cekungan Kutai;

Page 7: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 7/17

 

2. aktifitas tektonik pada kala Oligosen Bawah, merupakan gerak tektonik fleksur

sepanjangPaternoster Cross High atau Barito Kutai Cross High yang memisahkan

Cekungan Kutai dengan Cekungan Barito;

3. aktifitas tektonik pada kala Miosen Tengah, mengakibatkan pengangkatan

Pegunungan Meratus yang berarah Timurlaut – Baratdaya, pungungan ini

memisahkan Cekungan Barito dan Sub-Cekungan Pasir dan Asem-asem;

4. aktifitas tektonik kala Plio-Pleistosen, mengakibatkan seluruh cekungan di

Kalimantan terangkat, membentuk konfigurasi seperti sekarang ini.

Secara umum dikenal adanya tiga cekungan sedimentasi utama dari utara hingga selatan,

yaitu :

1. Cekungan Tarakan, yang terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan, Berau dan

Muara;

2. Cekungan Kutai, dan

3. Cekungan Barito, termasuk juga Sub-Cekungan Pasir dan Asem-asem.

II.3.2.1 Endapan Batubara Cekungan Tarakan 

Cekungan Tarakan terdiri dari Sub-Cekungan Tidung, Tarakan, Berau dan Muara. Contoh

endapan batubara yang diambil termasuk pada Sub-Cekungan Tarakan dan Berau. Sub-

Cekungan Tarakan berada dan berkembang di lepas pantai timur bagian utara yang meliputi

Pulau Tarakan dan Bunyu. Endapan batubara di sub-cekungan ini terjadi selama kala Plio-

Pleistosen, di sungai Sesayap purba menghasilkan sedimen fluvio-marin yang sangat tebal

terutama terdiri dari perlapisan betupasir delta, serpih dan batubara, yang kemudian

dikenal dengan Formasi Sajau atau Formasi Tarakan-Bunyu. Sedangkan Sub-Cekungan

Berau berada di sebelah selatan Sub Cekungan Tarakan, yang sebagian besar terletak didaratan.

Menurut beberapa peneliti terdahulu urut-urutan lithostratigrafi regional di Cekungan

Tarakan dibagi menjadi beberapa formasi dan satuan batuan dari tua sampai muda adalah

sebagai berikut :

  Formasi Sebakung; terdiri dari batuan meta sedimen yang terlipat kuat, diendapkan di

lingkungan fluviatil hingga delta pada kala Eosen.

  Formasi Sailor; terdiri dari batugamping berfosil gangang dan koral, terletak tidak selaras

di atas Formasi Sembakung dan diendapkan di lingkungan neritik hingga laut terbuka pada

Oligosen Awal.

  Formasi Tempilan; terdiri dari perselingan batupasir, napal dan serpih, terletak selaras di

atas Foramasi Sailor dan diendapkan di lingkungan laut dangkal pada Oligosen Awal.

  Formasi Mesaloi; terdiri dari batulampung lanauan yang berselingan dengan batupasir,

batulanau dan napal, terletak selaras diatas Formasi Tempilan dan diendapkan di

lingkungan neritik hingga laut terbuka pada Oligosen Akhir.

  Formasi Naintupo; terdiri dari batupasir, batulempung, napal dan batugamping, terletak

selaras diatas Formasi Mesaloi dan diendapkan di lingkungan neritik pada Miosen Awal.

Page 8: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 8/17

 

  Formasi Meliat; terdiri dari batupasir lanauan, batupasir konglomeratan, batulempung dan

batubara, terletak selaras di atas Formasi Naintupo dan diendapkan di lingkungan paralik

pada Miosen Tengah.

  Formasi Tabul; terdiri dari batulempung, batupasir lanauan, batupasir dan batubara,

terletak selaras diatas Formasi Meliat dan diendapkan di lingkungan prodelta pada kala

Miosen.

  Formasi Tarakan; terdiri dari perselingan batubara, batulempung dan batulanau, terletak

selaras di atas Formasi Tabul dan diendapkan di lingkungan lagunal pada kala Pliosen.

  Formasi Bunyu; terdiri dari batubara yang berselingan dengan batupasir dan batulempung

karbonan, terletak tidak selaras di atas Formasi Tarakan dan diendapkan di lingkungan

delta pada Pleistosen hingga Holosen.

Untuk mewakili contoh batubara di cekungan ini, dipakai contoh batubara Formasi Bunyu

pada Sub-Cekungan Tarakan, selanjutnya disebut Batubara Bunyu; sedangkan pada Sub-

Cekungan Berau diwakili dengan contoh batubara Formasi Tabul, selanjutnya disebut

Batubara Berau.

II.3.2.2 Endapan Batubara Cekungan Kutai 

Endapan batubara dan sedimen Tersier lainnya yang terdapat di Cekungan Kutai,

proses pengendapannya diperkirakan berhubungan dengan gerak pemisahan Pulau

Kalimantan dan Sulawesi yang kemungkinan terjadi pada akhir Kapur hingga awal

Paleogen. Sehingga secara keseluruhan batuan-batuan sedimen yang diendapkan pada

cekungan tersebut mencerminkan adanya pengaruh siklus transgresi dan regresi air laut.

Urutan transgresi yang ada di Cekungan Kutai menghasilkan sedimen-sedimen klastik kasar

dan serpih yang diendapkan pada lingkungan paralik hingga laut dangkal. Pengendapan ini

berlangsung hingga kala Oligosen yang memperlihatkan periode genag laut maksimum danpada umumnya terdiri dari endapan serpih laut dalam dan batugamping serara lokal.

Sedangkan pada urutan regresi menghasilkan lapisan-lapisan sedimen klastik dan lapisan-

lapisan batubara yang diendapkan pada lingkungan delta hingga paralik. Sistem Delta yang

berumur Miosen Tengah berkembang baik ke arah timur dan tenggara daerah cekungan.

Berdasarkan urut-urutan litostratigrafi Cekungan Kutai dari tua ke muda dibagi menjadi

beberapa Formasi batuan yaitu sebagai berikut :

  Formasi Pamaluan; berumur Miosen Bawah, terletak selaras di atas Formasi Gunung

Sekerat, terutama terdiri dari batulempung dengan sisipan-sisipan tipis batupasir,

batubara, dan batugamping, diendapkan pada lingkungan delta marine.

  Formasi Bebuluh; berumur Miosen Awal bagian atas, terletak beda fasies dengan Formasi

Pamaluan, terutama terdiri atas batugamping, sisipan batugamping pasiran dan serpih,

diendapkan pada lingkungan marine. 

  Formasi Pulau Balang; berumur Miosen Tengah, terletak selaras di atas Formasi Pemaluan

terutama terdiri dari batulempung, batupasir lempungan dan batupasir, yang merupakan

endapan deltafront .

  Formasi Balikpapan.; berumur Miosen Tengah, terletak selaras di atas Formasi Pulau

Balang, terdiri dari batupasir, batupasir lempungan, batulempung dan batubara. Lapisan

Page 9: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 9/17

 

batupasir dan batupasir lempungan terutama dijumpai pada bagian bawah. Lingkungan

pengendapannya adalah delta (delta front  sampai delta plain).

  Formasi Kampungbaru; berumur Miosen Atas sampai Pliosen. diendapkan selaras di atas

Formasi Balikpapan, bagian bawahnya terdiri dari batulempung, batupasir, batupasir

gampingan yang diendapkan pada lingkungan litoral, sedangkan pada bagian atasnya

terdiri dari batulempung, batubara dan konkresi-konkresi lempung bagian (clay stone),

diendapkan pada lingkungan transisi paralik.

  Endapan Kuarter; tersusun oleh lempung, pasir, kerikil dan sisa tumbuh-tumbuhan,

bersifat lepas. Endapan ini disebabkan oleh adanya limpahan banjir Sungai Bontang,

Sungai Guntur, Sungai Nyerakat dan Sungai Santan yang membentuk rawa-rawa.

Untuk mewakili cekungan ini dipakai contoh endapan batubara dari Formasi Kampungbaru,

selanjutnya disebut Batubara Kutai.

II.3.2.3 Endapan Batubara Cekungan Barito (Sub-Cekungan Pasir) 

Sub-Cekungan Pasir berada di bagian timur Cekungan Barito yang dibatasai Pegunungan

Meratus. Sub Cekungan Pasir memiliki tatanan stratigrafi yang rumit sehingga oleh

beberapa peneliti Sub-Cekungan Pasir dimasukkan ke dalam bagian Cekungan Barito, selain

itu juga karena litologi yang terdapat dalam cekungan ini memiliki posisi menjari dan

kesamaan dengan Cekungan Barito.

Adapun urutan litostratigrafi Cekungan Barito (Sub-Cekunan Pasir) dari tua hingga muda

sebagai berikut :

  Formasi Tanjung; diendapkan pada kala Eosen, terletak tidak selaras di atas batuan dasar

yang yang merupakan batuan beku dan metamorf berumur Pra-Tersier. Pada bagian

bawah formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung dan sisipan batubara,

sedangkan bagian bawah terdiri dari batulempung dan napal dengan sisipan batupasir dan

batugamping.

  Formasi Berai; diendapkan selaras diatas Formasi Tanjung pada kala Oligosen hingga

Miosen Bawah, terdiri dari Anggota Berai Bawah yang disusun oleh napal, batulanau,

batugamping dan sisipan batubara; Anggota Berai Tengah dicirikan oleh batugamping

masif dengan interklas napal; dan Anggota Berai Atas tersusun oleh serpih dengan sisipan

batugamping berselingan dengan napal, batulempung napalan dan sedikit batubara.

  Formasi Warukin; diendapkan selaras diatas Formasi Berai pada kala Miosen Tengah

hingga Miosen Atas, terdiri dari Anggota Warukin Bawah yang disusun oleh napal,

batulempung dan sisipan batupasir; Anggota Warukin Tengah relatif sama dengan Warukin

Bawah, hanya pada batupasirnya menjadi tebal dan banyak dijumpai lapisan tipis

batubara; dan Anggota Warukin Atas dicirikan lapisan batubara yang tebal hingga 20

meter dan juga batupasir dan batulempung karbonan. Formasi ini dfiendapakan pada

lingkungan paralik hingga delta pada fase regresi.

  Formasi Dahor; diendapkan tidak selaras diatas Formasi Warukin pada Mio-Pliosen, terdiri

dari batupasir, batulempung, batubara dan lensa-lensa konglomerat. Formasi ini

diendapkan di lingkungan paralik-lagunal.

Page 10: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 10/17

 

  Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa material

berukuran kerakal hingga lempung, menumpang tidak selaras di atas Formasi Dahor.

Secara keseluruhan, sistem sedimentasi yang berlangsung di cekungan ini melalui siklus

transgresi dan regresi serta beberapa sub siklus yang bersifat lokal. Turunnya bagian

tengah cekungan dan erosi yang aktif di bagian Tinggian Meratus menyebabkan

pengendapan sedimen yang banyak, membentuk urutan endapan paralik hingga delta. Hal

tersebut juga tercermin endapan batubara yang relatif tebal pada Formasi Warukin.

Kualitas endapan batubara di cekungan ini termasuk pada batubara peringkat rendah

(lignit) dengan nilai kalori rendah (<5000 kcal/kg), kandungan sulfur hingga 0,2%, karbon

padat 31,4%, zat terbang 37,6%, kadar abu 3,3%, kandungan air lembab bawaan 27,7%

dan air lembab keseluruhan mencapai 34,5% (dalam Koesoemadinata, 2000). Untuk

mewakili cekungan ini dipakai contoh batubara dari Formasi Warukin dan selanjutnya

disebut Batubara Pasir. 

II.4

Teknologi Upgraded Brown Coal (UBC ) 

II.4.1 Permasalahan Batubara Peringkat Rendah di Indonasia 

Bumi Indonesia memiliki jumlah cadangan batubara yang cukup banyak. Menurut data dari

Direktorat Inventaris Sumber Daya Mineral pada tahun 2003, batubara tersebut sebagian

besar tersebar luas di daerah Sumatera dan Kalimantan. Data tersebut juga menunjukkan

bahwa sebagian besar merupakan batubara peringkat rendah (Gambar 2.4).

Dengan kenyataan tersebut, maka sampai saat ini batubara di Indonesia belum banyak

dimanfaatkan dan masih merupakan lahan tidur. Jumlah kandungan air yang sangat tinggi

dalam batubara mengakibatkan biaya angkutan perkalorinya tinggi, efisiensi pembakaranrendah, titik bakar abu yang cenderung membentuk slagging dan memiliki sifat swabakar

yang tinggi. Dampaknya, jumlah batubara yang dibutuhkan akan lebih banyak dan

memerlukan ukuran boiler yang lebih besar untuk menghasilkan panas yang sama dengan

batubara bituminus, menghasilkan emisi gas yang lebih besar untuk proses yang sama dan

membutuhkan stockpileyang besar bila dipergunakan untuk kebutuhan Pembangkit Listrik

Tenaga Uap (PLTU).

Dengan demikian teknologi peningkatan kualitas yang dilakukan berupa teknologi UBC ,

yaitu suatu teknologi untuk meningkatkan nilai kalori batubara peringkat rendah melalui

penurunan kadar air bawaan (inherent moisture) dalam batubara. Dalam hal ini dipakai

istilah raw coal untuk batubara mentah peringkat rendah yang belum ditingkatkan

kualitasnya dan produk UBC untuk batubara yang sudah ditingkatkan kualitasnya.

II.4.2 Prinsip UBC  

Pada prinsipnya proses UBC dirancang untuk menghasilkan produk batubara dengan nilai

kalor 6000 – 6500 kkal/kg dari batubara peringkat rendah yang mempunyai nilai kalor 3500

– 4500 kkal/kg, melalui teknik pengurangan kandungan air total dari 25 – 45% menjadi

<5% .

II.4.3 Proses UBC  

Page 11: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 11/17

 

 

Proses UBC dilakukan dengan cara mencampurkan antara batubara asal dan minyak residu

kemudian dipanaskan pada suhu 150°C dengan tekanan hanya 350 kPa (35 atm) seperti

pada Gambar 2.6. Penambahan minyak residu adalah untuk menjaga kestabilan kadar air.

Keunggulan proses ini selain suhu dan tekanan yang cukup rendah, juga batubara yang

dihasilkan cukup bersih karena minyak residu yang ditambahkan pada saat prosesdipisahkan dan dapat digunakan kembali. Batubara produk proses UBC dapat berupa serbuk

ataupun bongkah (aglomerat) yang kemudian dibuat briket atau dalam bentuk slurry . Polusi

pada air buangan akan sangat minimum karena proses yang berlangsung adalah secara

fisika, sehingga tidak terjadi reaksi kimia atau pirolisa

II.4.4 Pilot Plant UBC Palimanan 

Pilot plant UBC dengan kapasitas 5 ton perhari ini sedang dibangun di Palimanan – Cirebon,

Jawa Barat. Di tempat ini pula direncanakan akan dibangun Pusat Teknologi Pemanfaatan

Batubara Bersih (Coal Center ) yang akan mencakup semua kegiatan penelitian teknologi

pemanfaatan batubara seperti pencairan, gasifikasi, karbonisasi, coal water mixture dan

lain-lain. Pilot plant UBC di Palimanan ini merupakan pilot plant pertama di dunia, sehingga

keberadaannya menjadi sangat penting dan strategis.

Pilot plant ini terdiri dari 5 (lima) unit utama, yaitu penyiapan batubara (coal 

 preparation), penghilangan air (slurry dewatering), pemisahan batubara- minyak (coal – oil 

separation), penangkapan ulang minyak (oil recovery ) dan pembuatan briket (briquetting) .

II.4.5 Hasil UBC  

Dengan berhasilnya penelitian  pilot plant ini, diharapkan batubara peringkat rendah yang

merupakan cadangan terbesar dimiliki Indonesia (± 70% dari total cadangan 39 milyar ton)

dapat ditingkatkan kualitasnya sehingga mempunyai sifat menyerupai batubara peringkat

tinggi (bituminous), yaitu jenis batubara yang ideal untuk diekspor. Dengan kata lain

proses UBC dapat menyiapkan batubara yang sesuai dengan spesifikasi pasar, sehingga

industri pertambangan batubara di Indonesia dapat terus tumbuh memberikan

kontribusinya sebagai pemasok energi dalam negeri dan untuk meningkatkan ekspor di

masa mendatang.

II.5. Petrografi Batubara 

Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen-komponen organik (maceral )

dan anorganik (mineral matter ) secara mikroskopik. Seperti pada petrografi mineral,

petrografi batubara memerikan komponen-komponen penyusun batubara secara kualitatif 

dan kuantitatif untuk mengetahui asal mula dan genesa pembentukkan batubara .II.5.1 Gambaran Sejarah 

Lahirnya ilmu petrografi batubara sering dihubungkan dengan dua nama tokoh

penting yaitu M. Stope (1919) dan Thiessen (1920) (dikutip dari Nining, N.S., 2001).

Keduanya adalah ahli paleobotani. Selain mereka juga ada dua ahli dari Jerman yaitu H.

Potonie (1920) dan yang banyak memberikan pemikiran penting dalam ilmu ini.

Page 12: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 12/17

 

Stope dan Thiessen mengembangkan ide-ide dalam hal terminalogi dan klasifikasi batubara

dengan menggunakan mikroskop cahaya tembus, tetapi kemudian Stope lebih lanjut

memperdalam pengamatannya menggunakan cahaya pantul. Pemikiran Thiessen menganai

klasifikasi batubara berdasarkan sistem U.S. Bureau of Mines. Salah satu hasil penelitian

mereka yang sangat penting adalah informasi mengenai tanaman asal pembentuk batubara.

Awal tahun 1930, Thiessen, Stopes dan beberapa peneliti dari Perancis dan Jerman, yangtergabung dalam ahli-ahli mineral dan tanaman, menyelidiki komponen-komponen batubara

dengan metoda petrografi. Untuk memadukan pemikiran-pemikiran yang berbeda latar

belakang keahlian maka diadakan konferensi di Heerlen – Netherland pada tahun 1935.

Salah satu keputusan penting konferensi tersebut adalah terbentuknya susatu sistem

penamaan sistem Stope-Heerlen.

Pada tahun 1932 diperkenalkan teknik baru mengenai pengukuran reflektan yang

digunakan sebagai petunjuk peringkat batubara. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan

metoda ini adalah Hoofmann dan Jenker dari Jerman.

Di tahun 1930-an, para peneliti memulai penelitian mengenai hubungan antara komposisi

petrografi dengan karakteristik batubara dalam suatu proses pengolahan. Salah satu hasil

penelitian menyatakan bahwa dalam batuabara yang kaya vitrinit dan eksinit mempunyai

perbedaan karakteristik dalam proses pencairan, gasifikasi dan ekstrasi, dibandingkan

dengan batubara yang kaya inertinit.

Selanjutnya, pada tahun 1950 dibentuk komite yang bertujuan menstandarkan metoda dan

terminalogi petrologi batubara (coal petrology ) yaitu International Commite for Coal 

Petrology (ICCP). Kemudian di tahun 1965, petrologi batubara mulai digunakan untuk

memprediksi kualitas kokas. Pada periode tahun 1960 hingga 1969 ditemukan komponen-

komponen yang reaktif dan inert dalam batubara, penemuan ini diperoleh dari pengamatan

terhadap sifat-sifat batubara selama proses karbonisasi. Sejak penemuan tersebut, jumlah

peneliti yang turut berpartisipasi dalam petrologi batubara semakin meningkat, sehingga

cakupan penelitian juga semakin melebar, diantaranya mempelajari sifat-sifat kimia dan

fisika maseral, hubungan langsung dengan teknologi pemanfaatan batuabara.

Dua teknik terbaru yang dipakai dalam petrografi batubara ditemukan pada tahun 1970-an,

yaitu teknik penggunaan mikroskop otomatis dan pemakaian sinar fluorence untuk

mengidentifikasi meseral tertentu, terutama kelompok maseral liptinit/eksinit.

II.5.2 Konsep Maseral 

Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral ),

analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh M.

Stopes(1935) (dalam buku Stach dkk , 1982) untuk menunjukkan material terkecil

penyusun batubara yang hanya dapat diamati dibawah mikroskop sinar pantul.

Dalam petrografi batubara, maseral dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok (group) yangdidasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia warna

pantul, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam “Coal Petrology” oleh

Stach dkk,1982), yaitu :

1. 1. Kelompok Vitrinit 

Vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissue) seperti

batang, akar, dahan dan serat daun, umumnya merupakan bahan pembentuk utama

Page 13: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 13/17

 

batubara (>50%), melalui pengamatan mikroskop refleksi, kelompok ini berwarna coklat

kemerahan hingga gelap, tergantung dari tingkat ubahan maseralnya .

1. 2. Kelompok Liptinit / Exinit 

Liptinit berasal dari organ-organ tumbuhan (algae, spora, kotak spora, kulit luar (cuticula),

getah tumbuhan (resine) dan serbuk sari ( pollen). Dibawah mikroskop menunjukkan

pantulan berwarna abu-abu hingga gelap, mempunyai refleksivitas rendah dan flourensis

tinggi (Gambar 2.10). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya dibedakan menjadi

beberapa sub-maseral .

1. 3. Kelompok Inertinit 

Inertinite berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal ) dan sebagian lagi

diperkirakan berasal dari maseral lain yang telah mengalami proses oksidasi atau proses

dekarbok silasi yang disebabkan oleh jamur atau bakteri (proses biokimia). Kelompok ini

berwarna kuning muda, putih sampai kekuningan bila diamati dengan mikroskop sinar

pantul, karakteristik lainnya adalah reflektansi dan reliefnya tinggi dibanding maseral yang

lain (Gambar 2.11). Berdasarkan struktur dalam, tingkat dan intensitas pembakaran,

kelompok ini dibagi menjadi beberapa sub-maseral .II.5.3 Klasifikasi 

Banyak klasifikasi kelompok maseral, sub-maseral dan jenis maseral dalam petrografi

batubara, tetapi yang sering dipakai oleh peneliti di Indonesia adalah Australian

Standart (AS 2856-1986) (Tabel 2.1). Kelebihan sistem ini yaitu pembagiannya berlaku

untuk semua peringkat batubara, baik untuk hard coal maupun brown coal , selain itu juga

cukup sederhana dibandingkan sistem yang lain : International Organisation for 

Standardisation (ISO); American Society for Testing Materials (ASTM); dan British

Standards Institution (BSI) classifications. 

Table 2.1 Klasifikasi maseral ke dalam subkelompok dan kelompok, berdasarkan

pada Australian Standard System (AS2856-1986) [* pada brown coal macerals]

KELOMPOK

MASERAL 

SUB KELOMPOK

MASERAL MASERAL 

VITRINITE

(HUMINITE)

Telovitrinite

(Humotelinite)

Textinite*

Texto-ulminite*

E-ulminite*

Telocollinite

Detrovitrinite

(Humodetrinite)

Attrinite*

Densinite*

Desmocollinite

Gelovitrinite

(Humocolinite)

Corpogelinite

Porigelinite*

Eugelinite

LIPTINITE

(EXINITE)

Sporinite

Cutinite

Resinite

Page 14: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 14/17

 

Liptodetrinite

Alginite

Suberinite

Fluorinite

Exsudatinite

Bituminite

INERTINITE

Telo-inertinite

Fusinite

Semifusinite

Sclerotinite

Detro-inertiniteInertodetrinite

Micrinite

Gelo-inertinite Macrinite

II.5.4 Sifat Fisik dan Kimia Kelompok Maseral 

1. 1. Sifat Fisik 

Sifat fisik utama kelompok maseral adalah berat jenis. Kelompok vitrinit mempunyai berat

  jenis yang bervariasi tergantung peringkat batubara. Dalam batubara bituminus yang

mempunyai zat terbang sedang, vitrinit memiliki berat jenis 1,27 g/ml; sedangkan dalam

batubara bituminus yang mempunyai berzat terbang tinggi memiliki berat jenis 1,3 g/ml;

dan yang terbesar adalah 1,8 g/ml untuk antrasit.

Liptinit mempunyai berat jenis mulai dari 1,18 g/ml dalam batubara peringkat rendah

hingga mencapai 1,25 g/ml dalam batubara bituminus. Berat jenis inertinit kenaikannnya

sedikit mulai dari 1,35 sampai dengan 1,7 g/ml sesuai dengan kenaikan peringkat

batubara.

1. 2. Sifat Kimia 

Pada batubara yang berperingkat sama, vitrinit mempunyai lebih sedikit kandungan oksigen

dan lebih banyak kandungan karbon bila dibandingkan dengan kelompok inertinit,

sedangkan liptinit banyak mengandung karbon dan hidrogen tetapi sedikit mengandung

oksigen. Bila jumlah kandungan hidrogen dan karbon dihubungan dengan zat terbang,

liptinit memproduksi zat terbang tertinggi, yang diikuti oleh vitrinit. Inertinit relatif kecil

memiliki kandungan zat terbang. Hal tersebut akan berubah dengan kenaikan peringkat

batubara.

Vitrinit dalam batubara peringkat rendah tersusun dari bermacam-macam humus yang

terdiri dari cincin aromatik dikelilingi oleh gugusan alipatik. Makin naik peringkat batubara,

kelompok peripheral luar seperti OH, COOH, CH3 akan hilang dan cincin aromatik menjadi

lebih besar. Akibatnya kearomatikan dan kandungan karbon meningkat sedangkan

kandungnan oksigen menurun.

Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat batubara berhubungan dengan

  jumlah cahaya reflektansi vitrinit. Pengaruhnya, semakin tinggi kadar karbon, semakin

tinggi pula reflektansi vitrinit. Oleh karena itu peringkat batubara dapat secara langsung

ditetapkan dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam batubara yang mempunyai

Page 15: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 15/17

 

kandung vitrinit >80%, peringkat batubara dapat ditetapkan berdasarkan kandungan zat

terbang dan zat karbon.

Liptinit dalam batubara peringkat rendah mempunyai lebih sedikit senyawa aromatik

dibandingkan dengan vitrinit. Pada umumnya eksinit/liptinit mempunyai suatu kerangka

alifatik-aromatik dengan rantai luar alifatik dan mempunyai kelompok periperal yang

tinggi, serta menghasilkan lebih banyak zat terbang apabila dipanaskan dibandingkandengan kelompok lainnya. Selain itu liptinit menghasilkan bitumen dan ter yang tinggi

terutama dalam batubara sub-bituminus dan bituminus.

Pada batubara peringkat rendah, inertinit memiliki lebih banyak senyawa aromatik

dibandingkan dengan vitrinit atau liptinit. Kelompok ini sangat sedikit berubah sifat fisika

dan kimianya karena kenaikan peringkat. Pada umumnya inertinit mempunyai oksigen

tinggi dan hidrogen randah, tetapi kandungan oksigen akan turun cepat dengan naiknya

peringkat batubara.

II.5.5 Mineral Pengotor 

Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang menyebar

maupun sebagai butiran kasar yang mempunyai ciri-ciri sendiri dan dapat dikelompokkan

menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal,

2. mineral pengotor utama yang terbentuk selama atau segera setelah pengendapan

batubara dan,

3. mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara,

mineral pengotor kelompok pertama pada umumnya tidak dapat diketahui secara

petrografi kecuali dengan SEM (Scanning Electron Microscope) karena sangat kecil. Mineral

pengotor kelompok kedua dan ketiga dengan mudah dapat diidentifikasi dengan mikroskop.

Mineral utama berbentuk bersamaan dengan pembentukna batubara, sedangkan mineral

pengotor lainnya cenderung kasar dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga.

Mineral-mineral pengotor yang banyak terdapat dalam batubara adalah lempung, karbonat,

besi sulfida dan kuarsa. Mineral lain yang terdapat pada batubara dalam jumlah kecil

adalah oksida-oksida, hidroksida-hidroksida, sulfida-sulfida yang lainnya, fosfat dan sulfat.

Mineral lempung adalah mineral yang paling banyak terdapat dan tersebar luas di dalam

batubara serta berukuran butir sangat kecil antara 1-2 μm. Sekitar 60 – 80% dari mineral

pengotor dalam batubara adalah lempung berupa kaonit, illit dan smektit. Komposisi kimia

pada saat pengendapan berpengaruh terhadap tipe lempung yang mengendapan dalam

batubara. Pada umumnya mineral lempung illit terdapat dalam batubara yang diendapkan

dengan adanya pengaruh air laut, sedangkan kaolinit tidak dipengaruhi oleh air laut.Dibawah sinar refleksi, lempung mempunyai lempung bermacam-macam warna mulai dari

yang hampir putih sampai sampai orange kecoklat-coklatan. Dibawah sinar fluorescent

mineral lempung tidak berwarna sampai oranye.

Karbonat dalam batubara terdapat sebagai masa dasar atau pengisi lubang-lubang

kecil/celahan, diantaranya adalah siderit, kalsit, ankerit dan dolomit. Dibawah sinar

refleksi, karbonat tersebut berwarna abu-abu kecoklatan dan sangat anisotop. Di bawah

sinar fluorescent karbonat menunjukkan warna hijau sampai oranye kehijauan.

Page 16: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 16/17

 

Sulfida besi didominasi oleh pirit termasuk markasit dan melnikovit. Mineral-mineral

tersebut terjadi sebagi butiran kristal yang halus dan butiran-butiran halus, dan kadang-

kadang mengisi lubang yang terbuka, terutama terdapat dalam lapisan batubara yang

dipengaruhi oleh air laut. Dalam sinar refleksi, pirit terlihat sangat terang kekuning-

kuningan.

Mineral kuarsa dalam batubara terdapat dalam jumlah kecil, berukuran butir antara 5-20μm. Dibawah sinar refleksi, kuarsa terlihat hitam terang. Batubara yang mempunyai

mineral dalam ukuran butir besar dapat dengan mudah dipisahkan dengan penggerusan

atau dengan proses pengolahan. Mineral tersebut dinamakan “adventitious”. Sedangkan

mineral-mineral yang tidak terlepas dari batubara baik dengan penggerusan maupun

dengan proses pengolahan yang disebut “inherant ”. 

II.5.6.1 Peringkat Batubara (Coal Rank ) 

Pada tahap pembentukan batubara dari gambut menjadi batubara yang lebih tinggi

derajatnya yaitu dari lignit sampai sub bituminus, bituminus hingga antrasit, yang

berlangsung adalah tekanan, temperatur dan waktu tertentu (Cook, 1982). Tahap

pembatubaraan merupakan perubahan dari rombakan sisa-sisa tumbuhan pada kondisi

reduksi, yang mana persentase karbon semakin besar, sedangkan persentase oksigen dan

hidrogen semakin berkurang. Cook (1982) menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri

dari pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat rendah seperti yang

ditunjukan pada Gambar 2.12. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat

rendah daripada mineral anorganik.

Dalam menentuan peringkat batubara dapat dilakukan dengan berbagai metoda dan

parameter, antara lain : kadar air lembab (moisture), zat terbang (volatile matter ), karbon

padat (fixed carbon), nilai kalori (caloritific value), reflektansi vitrinit serta karbon dan

oksigen (Gambar 2.13). Pada metoda petrogarfi batubara penentuan peringkat batubara

mengacu pada hasil pengukuran reflektansi vitrinit. Selain dalam prakteknya lebih cepat

dan mudah, metoda ini juga lebih tepat dalam menentukan peringkat batubara

dibandingkan dengan metoda yang lain. Hal ini dikarenakan reflektansi vitrinit lebih

berkaitan langsung dengan pengamatan kondisi maupun struktur maseral batubara, yang

mana struktur maseral batubara tersebut lebih mencerminkan seri pembatubaraan yang

dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur.

II.5.6.2 Tipe Batubara (Coal Type) 

Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982) menjelaskan bahwa batasan tipe batubara

dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis tumbuhan pembentuk batubara,

sedangkan menurut Shierly (dalam Cook, 1982) tipe batubara merupakan dasar klasifikasi

petrografi batubara yang terdiri dari berbagai unsur tumbuhan penyusun batubara dengankejadian yang berbeda-beda.

Petrografi batubara memberikan dasar pemahaman genesa, sifat dan unsur organik

batubara. Material organik berasal dari berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur

dengan sedimen anorganik selama penggambutan, sehingga tipe batubara ditentukan pada

tahap biokimia untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara, terutama berdasarkan

material organiknya. Penentuan jenis batubara secara makroskopis didasarkan pada litotipe,

sedangkan secara mikroskopis menggunakan konsep maseral dan mikrolitotipe (Tabel 2.2).

Page 17: Geologi Batubara

5/14/2018 Geologi Batubara - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/geologi-batubara-55a92bca78cd6 17/17

 

Tabel 2.2 Klasifikasi mikrolitotipe pada batubara (dari Stach dkk, 1982)

MIKROLITOTIPE  KOMPOSISI MASERAL  KELOMPOK 

VitriteLiptite

Inertite

>95% Vitrinite>95% Liptinite

>95% Inertinite

Monomaceralic

Clarite

Durite

Vitrinertite

>95% Vitrinite + Liptinite

>95% Inertinite + Liptinite

>95% Vitrinite + Inertinite

Bimaceralic

Duroclarite

Vitrinertoliptite

Clarodurite

(Vitrinite+Liptinite+Inertinite each >5%)

Vitrinite > Liptinite, Inertinite

Liptinite > Vitrinite, InertiniteInertinite > Vitrinite, Liptinite

Trimaceralic

II.5.7 Metoda Penentuan dan Model Lingkungan Pengendapan Penafsiran lingkungan pengendapan batubara dalam petrografi batubara menggunakan

model lingkungan pengendapan dari Diessel (1986), Calder (1991) dan Mukhopadhyay

(1989). Penafsiran lingkungan pengendapan pada model-model tersebut didasarkan pada

konsep maseral, yang mana kehadiran beberapa maseral tertentu dalam batubara akan

memberikan pendekatan mengenai awal terbentuknya batubara.

1. 1. Model lingkungan pengendapan menurut Diesel (1986) 

Diesel (1986) telah menerapkan modelnya pada batubara yang berumur Perm di lembah

Hunter dan Gunnedah yang termasuk dalam cekungan Sydney, Australia. Model ini juga

telah banyak diaplikasikan dibeberapa lapangan batubara di dunia. Penentuan lingkungan

pengendapan pada model ini digunakan perbandingan antara harga Gelification Index (GI )

dengan Tissue Preservation Index (TPI ) yang kemudian diplotkan dalam diagram.

1. 2. Model lingkungan pengendapan menurut Calder,dkk (1991) 

Calder, dkk (1991) mengusulkan perbandingan antara Vegetation Index (VI ) dan Ground 

Water Index (GWI ) dipakai sebagai parameter untuk menentukan lingkungan pengendapan.

Model ini secara lebih rinci mengklasifikasikan lingkungan pengendapan batubara ditinjau

dari asal material organik pembentuk batubara dan kedalaman muka air (hydrologic 

regime).

1. 3. Model lingkungan pengendapan modifikasi Mukhopadhyay (1989) 

Mukhopadhyay (1989) mendasarkan asosiasi maseral untuk menentukan fasies batubara di

cekungan Mosehopotanus, Greece, Athena, Yunani pada endapan batubara Tersier. Asosiasi

maseral yang dipakai merupakan meseral-maseral yang dapat memberikan gambaran

mengenai komunitas tumbuhan, tipe pengendapan, potensi reduksi-oksidasi, dan susunan

batubara pada sistem lingkungan pengendapan batubara (Gambar 2.16). Hal ini juga sesuai

dengan pernyataan Teichmuller, 1982 (dalam Stach dkk, 1982), yang menyatakan bahwa

faktor yang menentukan fasies batubara yaitu komunitas tumbuhan, tipe pengendapan,

potensi reduksi-oksidasi, dan susunan batubara.