Genetika Mutasi Bab 1-3
-
Upload
dwi-setyawan -
Category
Documents
-
view
160 -
download
13
description
Transcript of Genetika Mutasi Bab 1-3
BAB I
PERUBAHAN MATERI GENETIC:
PENGERTIAN MUTASI DAN SEBAB-SEBAB MUTASI
1. Pengertian mutasi
Menurut ayala dkk,(1989) mutasi merupakan proses yang dapat menyebabkan
perubahan pada suatu gen. menurut Gardner dkk,(1991) menyatakan bahwa
mutasi sebagai materi genetic yang dapat diwariskan dan tiba-tiba. Menurut
Russel(1992) menyatakan bahwa mutasi merupakan sesuatu perubahan materi
genetic yang dapat diwariskan dan yang dapat dideteksi yang bukan disebabkan
oleh rekombinasi genetic. Menurut Cummings mutasi merupakan proses yang
menghasilkan perubahan struktur DNA atau kromosom. Jadi dapat disimpulkan
bahwa perubahan materi genetic itu disebut mutasi dan hasil perubahan itu
dapat(tidak selalu) diwariskan dan dapat (tidk selalu) di deteksi.
2. Sebab-sebab mutasi
Penyebab mutasi dapat berupa factor-faktor lingkungan dan factor internal
materi genetic tersebut. Mutasi spontan adalah mutasi yang terjadi tanpa sebab-
sebab yang jelas dan mutasi terinduksi adalah mutasi yang terjadi karena
pemaparan makhluk hidup pada penybab mutasi seperti radiasi pengion, UV, dan
berbagai senyawa kimia.
Kedaan atau factor materi genetic sebagai sebab mutasi
Factor materi genetic internal yang men jadi sebab mutasi psontan antara lain
kesalahan pada replikasi DNA. Misalnya terkait tautomerisme(sebagai akibat
perubahan posisi proton yang mengubah sifat sesuatu molekul).purin dan
pirimidin mengubah sifat tautomerik pengikatan hidrogennya. S’ dapa
membentuk ikatan hydrogen dengan A’ dan G’ akan berikatan dengan T’. A’
adalah bentukan yang jarang bentukan yang jarang dari basa S’, G’, T’ dan S’
adalah akibat tautomerisme.Efek pengikatan basa purin dan pirimidin dengan
pasangan tautomerismenya tampak pada saat replikasi DNA. Saat pasangan tidak
lazim memisah pada replikasi berikutnya dan kemudian akan berpasangan dengan
basa komplemennya sehingga terjadilah mutasi.
Keadaan lain penybab mutais spontan adalah “penggelembungan” unting
saat replikasi, perubahan tertentu secara spontan, transposisi elemen transposable,
efek mutator, dan factor-faktor lainnya. Penggelembungan terjadi pada DNA
unting baru dan unting lama jika terjadi pada unting lama disebut delesi dan bila
terjastiwa di pada unting baru disebut adisi. Dua contoh peristiwa kimia paling
umum depurinasi dan deaminasi. Pada depurinasi suatu purin(adenine dan
guanine tersingkir Karena terputusnya katan kimia antara purin dan gula
deoksiribosa. Pada deaminasi suatu gugus amino tersingkir dari basa. Bila pada
peristiwa depurinasi prin tidak diperbaiki maka tidak akan terbentuk pasangan
basanya yang lazim sehingga puin dapat berpasangan dengan komplemen bebas
yang dapat menimbulkan mutasi.
Berkenaan dengan deaminasi, informasi yang terkait dengan deaminasi
litosin dan 5-metilsitosin. Urasil (misalnya sebagai hasil deaminasi sitosin) bukan
merupakan basa yang lazim pada DNA. Sebagian besar urasil akan disingkirkan
dan diganti dengan sitosin melalui sistem perbaikan. Proses tersebut
meminimumkan dampak mutasi.
Perpindahan atau transposisi elemen transposabel sudah terbukkti dapat
berakibat terjadinya mutasi gen dan mutasi kromosom atau abrasi kromosom
(Russel, 1992). Hal ini terjadi karena insersi ke dalam gen. Transposisi dapat
mempengaruhi ekspresi gen dengan cara insersi ke dalam urutan pengatur gen.
bukti tentang hal ini adalah transposisi elemen transposabel sebagai salah satu
penyebab terjadinya mutasi pada Drosophila terbukti karena insersi elemen
(Gardner,dkk 1991). Keempat allel mutan yang baru ini merupakan allel ganda
yang terletak pada lokus white kromosom x. Pada makhluk hidup dikenal adanya
gen yang ekspresinya mempengaruhi frekuensi mutasi gen-gen lain yang disebut
gen mutator. Dua contoh makhluk hidup yang memiliki gen mutator adalah E. coli
dan Drosophila. E. coli dengan mut D yang mengubah sub unit ɛ DNA polimerasi
III (Watson, dkk : 1987). Ayala dan Kiger (1984) menyatakan pada E. coli mutan
mut S menyebabkan terjadinya pergantian purin dengan purin ataupun pirimidin
dengan pirimidin maupun purin dengan pirimidin dan mut T menyebabkan
terjadinya pergantian AT menjadi SG.
Keadaan atau factor dalam lingkungan sebagai sebab mutasi
Keadaan atau factor dalam lingkungan dipandang menyebabkan mutasi
spontan maupun mutasi terinduksi. Penyebab mutasi berupa keadaan atau factor
lingkungan dapat dipilah menjadi sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologis.
Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat fisik
Penyebab mutasi ini berupa radiasi dan suhu. Radiasi dapat dibedakan
menjadi radiasi pengion dan radiasi bukan pengion (Gardner, dkk ;1991). Radiasi
pengion berenergi tinggi dan radiasi bukan pengion berenergi rendah. Contoh
radiasi pengion adalah radiasi sinar X, radiasi sinar gamma, dan radiasi kosmik.
Contoh radiasi bukan pengion adalah radiasi sinar UV. Pada sinar berenergi tinggi
berbenturan dengan atom-atom dalam tubuh sehingga terjadi pembebasan electron
dan terbentuklah ion positif. Pada tumbuhan dan hewan tingkat tinggi sinar UV
dapat menembus lapisan sel karena berenergi rendah serta tidak menimbulkan
ionisasi sehingga atom-atom tereksitasi.
Molekul-molekul yang mengandung atom yang berada dalam keadaan
terionisasi maupun tereksitasi secara kimia lebih reaktif. Reaktivitas yang
meningkat ini merupakan dasar dari efek mutagenic radiasi sinar UV maupun
radiasi sinar pengion (Gardner, dkk; 1991). Pada kenyataannya radiasi pengion
dapat menyebabkan terjadinya sejumlah reaksi kimia termasuk mutasi, mutasi gen
dan pemutusan kromosom yang berakibat delesi, duplikasi, inverse, translokasi
serta fragmentasi kromosom (Gardner ,dkk; 1991; Russel, 1992; Klug dan
Cummings, 1994).
Berkenaan dengan radiasi pengion telah diketahui bahwa perubahan
tekanan oksigen dan suhu jika dihubungkan dengan proses penyinaran dapat
mengubah mutasi secara signifikan (Gardner, 1991). Tekanan oksigen yang
rendah dapat menurunkan mutasi. Sinar UV tidak menginduksi ionisasi, telah
ditemukan bahwa UV justru menggiatkan kerja atom yang dijumpai. Senyawa
yang paling digiatkan adalah basa purin dan pirimidin, karena yang menyerap
rentangan panjang gelombang 254-260 nm yang merupakan rentang panjang
gelombang sinar UV (Gardner, 1991; Russel, 1992). Pada makhluk hidup bersel
banyak yang mengalami mutasi akibat radiasi UV merupakan sel-sel yang berada
pada permukaan tubuh. Pada makhluk hidup bersel satu, sinar UV merupakan
penyebab mutasi yang potensial. Pada penelitian in vitro membuktikan bahwa
pirimidin terutama timin sangat kuat menyerap UV. Sehingga menjadi sangat
rektif (Gardner, 1991). Beberapa penelitian membuktikan bahwa efek utama dari
radiasi UV adalh dimerisasi timin yang menimbulkan mutasi secara tidak
langsung dalam dua cara yaitu:
1. Dimerisasi timin yang mengganggu helix ganda DNA dan menghambat
replikasi DNA
2. Kesalahan yang kadang-kadang terjadi selama proses sel memperbaiki DNA
yang rusak.
Suhu sebagai sebab mutasi terjadi pada beberapa jenis ikan yang
menginduksi terjadinya poliploidi. Laporan svardson pada 1945 (Purdom, 1983)
telah menyebutkan adanya ikan (salem) triploid yang berasal dari tetasan telur
yang telah mengalami kejutan suhu dingin. Pada ikan gasterosteus aculeatus yang
triploid telah diperoleh dari hasil tetasan telur yang telah mengalami kejutan
panas. Selain factor radiasi dan suhu, perlakuan dengan tekanan hidrostatik juga
dapat menginduksi terjadinya mutasi. Yang terjadi akibat tekanan hidrostatik ini
adalah penghambatan polar bodi karena rusaknya spinel meiosis.
Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat kimiawi
Penyebab mutasi dalam lingkungan kimiawi disebut juga mutagen
kimiawi. Mutagen-mutagen kimiawi ini dipilah menjadi tiga kelompok (Russel,
1992) yaitu analog basa, agen pengubah basa (base modifying agen) dan agen
penyela (intercalating agen).
1. Analog basa
senyawa-senyawa yang tergolong analog basa adalah yang memiliki
struktur molekul sangat mirip dengan yang dimiliki basa yang lazimnya terdapat
pada DNA. Dua contoh analog basa adalah 5-bromourasil (5-bromourasil atau 5
BU) dan dua amino urin (dua amino purin atau dua AP) 5-bromo urasil adalah
analog timin. Posisi karbon kelima ditempati oleh gugus brom, padahal
sebelumnya posisi ini ditempati oleh gugus metal atau (CH3). Keberadaan gugus
brom pada posisi karbon nomer 5 mengubah distribusi muatan serta meningkatkan
peluang perubahan tautomerik (Gardner, 1991).
Agen pengubah basa (base modifying agen)
Yang tergolong Agen pengubah basa adalah mutagen yang secara
langsung mengubah struktur maupun sifat kimia dari basa. Yang tergolong
kelompok ini adalah agen deaminasi, deaminating agen, agen hidroksilasi,
hidroksilating agen, dan agen alkilasi. Asam nitrit (HNO2) menyingkirkan gugus
amino dari basa guanine, sitosin, dan adenine. Perlakuan dengan asam nitrit atas
guanine menghasilkan xantin yang sama layaknya guanine sehingga tidak terjadi
mutasi. Perlakuan dengan asam nitrit atas sitosin menghasilkan urasil yang
berpasangan dengan adenine sehingga terjadi mutasi transisi ( selama replikasi
CG menjadi TA). Akibat perlakuan asam nitrit, adenine berubah menjadi
hipoxantin yang lebih berpeluang dengan sitosin disbanding timin dan sebagai
akibatnya terjadi mutasi transisi AT menjadi GC. Mutagen hidroksilamin
NH2OH bereksi khusus dengan sitosin mengubah dengan menambah gugus
hiroksil (OH) sehingga terbentuk hidroksilaminositosin yang hanya berpasanagn
dengan adenine, sebagai akibatnya terjadi mutasi transisi CG menjadi TA. Mutasi
yang disebabkan oleh mutagennhiroksilamin NH2OH berikutnya tidak dapat
memulihkan mutan yang sudah terbentuk (Russel, 1992). Mutan dapat pulih
karena pengaruh mutasi yang diinduksi oleh mutagen lain seperti 5BU, 2AP,
maupun asam nitrit. Agen alkilasi MMS (metilmetansulfonat) mengintroduksi
gugua alkil dalam basa pada sejumlah posisi. Alkilasi menyebabkan perubahan
pada basa yang berakibat terbentuknya pasangan yang tidak lazim. Contohnya
MMS mengubah guanine menjadi O6 metilguanin yang berpasangan dengan
timin.
2. Agen interkalasi
Mutagen kimia berupa agen interkalasi bekerja dengan melakukan insersi
antara basa-basa berdekatan dengan unting DNA. Contohnya provlavin, acriding,
etidium bromit, dioksin dan ICR70 (Russel 1992). Jika agen interkalasi
melakukan insersi antara pasangan basa yang berdekatan pada DNA template
(pada waktu replikasi) maka suatu basa tambahan dapat diinsersikan pada unting
DNA baru berpasangan dengan agen interkalasi. Jika terjadi insersi agen interkalsi
dalam unting baru, maka sewaktu unting ganda DNA bereplikasi sesudah
hilangnya agen interkalasi, akibat yang muncul adalah terjadinya suatu mutasi
rangka (frameshift mutation) karena delesi satu pasang basa (Russel, 1992).
Akibat yang muncul selanjutnya semua asam fungsional yang di kode sesudah
titik mutasi dapat dikatakan menyimpang, sehingga proteinnya non fungsional.
Mutagen-mutagen kimiawi yang telah dikemukakan dipilah menjadi dua
kelompok (Gardner, 1991), yaitu (1) kelompok mutagen kimiawi yang
berpengaruh terhadap DNA yang sedang bereplikasi maupun yang sedang tidak
bereplikasi. (2) kelompok mutagen kimiawi yang hanya berpengaruh terhadap
DNA yang sedang bereplikasi.misalnya kridin serta analog basa.
Penyebab mutasi dalam lingkungan yang bersifat biologis
Mutagen biologis yang sudah dilaporkan adalah fag. Efek mutagenic yang
ditimbulkan fag terutama berkaitan dengan integrasi DNA fag, pemutusan dan
delesi DNA inang. Berkenaan dengan profag Mu dinyatakan bahwa (Watson, dkk,
1987), karena suatu gen bakteri yang diinterupsi oleh DNA Mu biasanya tidak
aktif, terjadilah mutasi inang bakteri yang diinsersi.
Berkenaan dengan fag λ, dinyatakan bahwa sekitar 1% lisogen yang tidak
normal menghasilkan fenotip bakteri mutan, sepanjang fag tersebut masih ada
(Strickberger , 1985). Dalam hubungan dengan pemutusan DNA dan delesi,
dikatakan bahwa mutagenis fag dapat terjadi karena kerusakan DNA akibat
pemutusan dan delesi, seperti pada herpes simplex, SV 40, Rubella, dan chicken
pox yang mungkin timbul oleh efek nuclease atau karena gangguan perbaikan
DNA.
BAB II
MACAM-MACAM MUTASI DAN MUTASI YANG ACAK
Macam- Macam Mutasi
Sudut pandang penggolongan tipe-tipe mutasi yaitu macam sel yang
mengalami mutasi, lingkungan kejadian (gen atau kromosom), jelas (diketahui)
atau tidak jelas (tidak diketahui) sebab mutasi, dan sebagainya.
Mutasi Somatik dan Mutasi Germial
Dari sudut pandang macam sel yang mengalami mutasi, dikenal ada dua
macam yaitu Mutasi Somatik yaitu mutasi yang terjadi pada sel-sel somatik,
sedangkan mutasi germinal atau disebut juga mutasi benih (germ line mutation),
mutasi gametik (gametic mutation) yaitu mutasi yang terjadi pada sel-sel germinal
(Gardner,dkk.,1991; Russel,1992;Klug dan Clummings,1994). Akibat mutasi
somatic maupun germinal dapat diwariskan melalui reproduksi aseksual maupun
seksual. Dampak mutasi somatic pada hewan (termasuk manusia) tidak dapat
diwariskan; sedangkan pada tumbuhan (misalnya tumbuhan dikotil) dapat
diwariskan. Gen mutan (akibat mutasi germinal) tidak harus selalu diwariskan
pada generasi berikutnya.
Berkenaan dengan mutasi germinal, akibat mutasi yang dominan dapat segera
terekspresi pada turunan. Jika akibat mutasi germinal itu bersifat resesif, efek
mutasinya tidak terdeteksi (sekalipun sudah diwariskan) karena kondisi
heterozigot. Sebuah gen mutan yang terwariskan melalui reproduksi seksual,
misalnya pada berbagai kelompok hewan termasuk manusia, terbentuk mutasi
germinal.
Mutasi Kromosom dan Mutasi Gen
Mutasi gen dan mutasi kromosom dikenal dalam lingkup kejadian baik itu
lingkup gen maupun kromosom. Mutasi gen terjasi di lingkup gen, sedangkan
mutasi kromosom terjadi di lingkup kromosom. Mutasi gen dapat berupa
perubahan urutan-urutan DNA termasuk substitusi pasangan basa serta adisi atau
delesi satu atau lebih dari satu pasangan basa. Efek yang terjadi pada mutasi gen
adalah yang menimpa satu nukleotida yang terkena efek mutasi, dikenal pula
macam mutasi gen yang disebut mutasi titik (point mutation) yaitu mutasi gen
yang menimpa satu pasang nukleotida dalam sesuatu gen.
Macam mutasi gen yaitu :
1. Mutasi pergantian (subtitusi) pasangan basa
Perubahan yang terjadi pada suatu gen berupa pergantian satu pasangan
basa oleh pasangan basa lainnya. Contohnya pasangan AT diganti GS.
2. Mutasi transisi
Satu tipe dari pergantian basa, baik pergantian purin dengan purin lain,
pirimidin dengan pirimidin lain maupun purin-pirimidin dengan purin-pirimidin
lain. Contohnya mutasi transisi AT-GS
3. Mutasi transversi
Tipe lain dari mutasi pergantian basa. Pergantian pasangan basa purin-
pirimidin dengan pasangan basa pirimidin-purin pada posisi yang sama.
Contohnya AT-AT, GS-SG.
4. Mutasi misens
Yaitu mutasi yang terjadi karena perubahan suatu pasangan basa (dalam
gen) yang mengakibatkan terjadi perubahan satu kode genetika, sehingga asam
amino yang terkait (pada polipeptida) berubah
5. Mutasi nonsense
Suatu pergantian pasangan basa yang berakibat terjadinya perubahan suatu
kode genetika pengkode asam amino menjadi kode genetika pengkode transmisi.
6. Mutasi netral
Pergantian suatu pasangan basa yang terkait terjadinya perubahan suatu
kode genetika, yang juga menimbulkan perubahan asam amino terkait, tetapi tidak
sampai mengakibatkan perubahan fungsi protein
7. Mutasi diam
Suatu tipe mutasi netral yang khusus yaitu terjadi pergantian suatu
pasangan basa pada gen yang menimbulkan perubahan satu kode genetika,
tetapi tidak mengakibatkan pergantian asam amino yang dikode.
8. Mutasi perubahan rangka
Terjadi karena adisi atau delesi satu atau lebih dari satu pasangan basa
dalam satu gen. Adisi dan delesi mengubah kerangka percobaan seluruh triplet
pasangan basa pada gen dalam arah distal dari tapak mutasi.
Secara umum mutasi titik dibagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Mutasi ke depan (Forward mutation)
Mutasi yang mengubah wild-type.
2. Mutasi balik ( Reverse mutation)
Dapat memulihkan polipeptida yang sebelumnya bersifat fungsional
sebagian ataupun tidak fungsional akibat mutasi gen, menjadi polipeptida yang
berfungsi penuh atau sebagian.
3. Mutasi penekanan (Suspensor mutation)
Mutasi dapat terjadi pada gen yang sama atau berbeda, dikenal intragenic
suppressor mutation dan intergenic suppressor mutation. Dalam hal ini keduanya
berakibat diproduksinya protein fungsional sepenuhnya ataupun yang fungsional
sebagian.
Mutasi Kromosom
Mutasi kromosom (aberasi kromosom) adalah yang terjadi di lingkup
kromosom. Ada dua macam mutasi kromosom yaitu:
1. Perubahan struktur kromosom, Merupakan mutasi kromosom dapat berupa
perubahan jumlah gen ( akibat delesi dan duplikasi) dan perubahan lokasi gen
(karena inverse dan translokasi). Mutasi kromosom disebabkan oleh beberapa
factor yaitu fusi sentrik yakni dua kromosom non homolog bergabung menjadi
satu, fisi sentrik yaitu satu kromosom terpisah menjadi dua kromosom,
aneuploidi satu atau lebih dua kromosom pada suatu pasang kromosom hilang
atau bertambah, serta monoploidi yang memiliki jumlah perangkat kromosom
hanya satu, maupun poliploidi dengan jumlah kromosom lebih dari dua.
2. Perubahan jumlah kromosom, Perubahan jumlah gen karena inversi dan
translokasi.
Mutasi Spontan dan Mutasi Terinduksi
Efek macam mutasi itu terindera pada tingkat morfologi. Sebagian mutasi
diketahui menimbulkan variasi nutrisional atau biokimiawi, menyimpang dari
kondisi normal. Ada pula mutasi yang mempengaruhi pola perilaku makhluk
hidup. Sekalipun efek primer mutasi termaksud tidak jelas terdeteksi. Kelompok
mutasi lain mempengaruhi regulasi gen yaitu merusak proses suatu regulasi gen
terhadap kerja gen lain. Yang terjadi adalah bahwa perubahan produk sesuatu gen
regulator mempengaruhi transkripsi gen yang lain.
Ada dua kelompok mutasi yaitu mutasi letal yaitu mutasi yang
mengakibatkan suatu sel atau mahluk hidup tidak dapat hidup. Hal ini
berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mensintesis asam amino yang
spesifik. Dalam hal ini bakteri tersebut akan mati jika dikultur pada medium yang
tidak mengandung asam amino itu. Mutasi letal dapat mempengaruhi berbagai
jaringan, pola perilaku, ataupun proses metabolic. Efek mutasi dapat saja tidak
terdeteksi pada kondisi tertentu yang disebut juga sebagai mutsi kondisional.
Contoh mutasi ini yaitu mutasi peka suhu, yang ditemukan pada berbagai
makhluk hidup.
Mutasi Acak.
Dinyatakan sebagai kejadian yang bersifat kebetulan, tidak terarah serta
acak. Terdapat tiga makna berbeda pada sifat-sifat kejadian mutasi yaitu :
1. Mutasi adalah kejadian kebetulan karena merupakan perkecualian yang jarang
terhadap keteraturan proses replikasi DNA.
2. Mutasi adalah kejadian kebetulan atau acak, karena tidak ada cara untuk
mengetahui apakah suatu gen tertentu akan bermutasi pada suatu sel tertentu
atau suatu generasi tertentu.
3. Mutasi adalah kejadian kebetulan, tidak terarah atau acak karena tidak
diarahkan untuk kepentingan adaptasi. Mutasi tidak terjadi begitu saja, tanpa
memperlihatkan apakah mutan yang terbentuk adaptif atau tidak adaptif
terhadap lingkungan makhluk hidup. Dibuktikan oleh J. dan E.M Lederterg
yang menggunakan teknik replica-plating untuk membuktikan bahwa mutsi
terjadi bukan untuk kepentingan adaptasi.
BAB 3
LAJU MUTASI DAN DETEKSI MUTASI
Masih ada beberapa hal lain terkait mutasi yang belum dibicarakan. Pada
bab 3 ini akan dibahas beberapa hal lain itu, Dua hal lain yang akan dibahas yaitu
mutasi dan deteksi muasi.
LAJU MUTASI
Ada dua parameter yang digunakan untuk mengukur kejadian mutasi yaitu
laju mutasi (mutation rate) dan frekuensi mutasi (mutation frequency). Laju
mutasi menggarmbarkan peluang sesuatu macam mutasi tertentu sebagai suatu
fungsi dari waktu; sedangkan frekuensi mutasi adalah jumlah kejadian sesuatu
macarn mutasi tertentu pada suatu macam populasi sel atau populasi individu
(Russel, 1992).
Tabel 3.1Laju mutasi gen-gen tertentu pada berbagai makhluk hidup (Ayala, dkk., 1984)
Tabel 3.2Frekuensi mutasi di lokus-lokus tertentu pada berbagai makhluk hidup (Russel,
1992)
Oleh karena itu laju mutasi pada Tabel 3.1 ataupun frekuensi mutasi spontan
pada tabel 3.2 tentu saja hanya didasarkan pada mutasi yang dampaknya teramati
(terdeteksi). Hal tersebut sejalan dengan informasi dari Gardner, dkk., (1991).
Dalam hal ini dikatakan bahwa pengukuran frekuensi mutasi ke depan (forward
mutation) berkisar sekitar 10-8 hingga 10-10 mutasi yang dapat terdeteksi per
pasangan nukleotida per generasi (periksa juga Tabel 3.1 dan 3.2); demikian pula
untuk makhluk hidup eukariotik, perkiraan mutasi ke depan (forward rnutation)
berkisar sekitar 10-7 hingga 10-9 mutasi yang dapat terdeteksi per pasangan
nukleotida per generesi (hanya didasarkan pada gen-gen yang datanya cukup
tersedia; periksa juga Tabel 3.1 dan 3.2).
Sebagaimana yang telah dikemukakan laju mutasi (yang terdeteksi) secara
individual memang rendah. Akan tetapi jika diperhatikan kenyataan bahwa tiap
individu makhluk hidup mempunyai banyak gen, dan tiap spesies tersusun dari
banyak individu, maka (dalam batas mutasi yang terdeteksi sekalipun) sebenarnya
mutasi merupakan peristiwa yang biasa, tidak jarang (Ayala, dkk. 1984)
Contoh pengkajian mutasi letal resesif terpaut kromosom kelamin X pada
Drosophila ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Pada Gambar 3.1 itu terlihat bahwa individu betina yang merniliki
kromosom Muller-5 homozigot disilangkan dengan individu jantan wild-type.
lndividu jantan wild-type inilah yang akan dideteksi mutan letalnya yang resesif
dan yang terpaut kromoson keiarnin X. Turunan I yang dihasilkan adalah individu
betina heterozigot (satu kromosom kelarnin X berupa kromosom Muller-5,
kromosom yang lainnya adaiah yang hendak dideteksi mutan letalnya yang
resesif), sedang individu jantan pada tunnan I ini merupakan pejantan Muller-5.
Turunan I selanjutnya disilangkan sesamanya untuk memunculkan turunan ll.
Gambar 3.1Teknik Muller-5 untuk mendeteksi mutasi letal yang terpaut krornosom kelamin
X pada Drosophila (Ayala, dkk., 1984)Dalam hal ini jika pada turunan II muncul juga individu jantan wild-type,
maka kenyataan tersebut membuktikan bahwa kromosom X yang dideteksi tidak
mengandung sesuatu mutan resesif letal. Sebaliknya jika pada turunan II tidak
diternukan individu jantan wild-type, maka hal ini membuktikan bahwa
kromosom X yang terdeteksi memang mengandung sekurang-kurangnya satu
mutan resesif letal. Berkenaan dengan teknik deteksi mutan letal resesif semacam
itu, pernah terungkap bahwa dari 6346 individu turunan I yang disilangkan
dengan pejantan Muller-5, diantaranya diketahui mengandung mutan letal resesif
terpaut kromosom kelamin X yang baru terbentuk. Atas dasar data itu dinyatakan
bahwa laju suatu mutasi spontan per kromosom adalah sebesar 0,13%. Kajian
lebih lanjut selanjutnya menunjukkan bahwa laju mutasi spontan letal yang
terpaut kromosom kelamin X antar strain berkisar antara 0,008% hingga lebih dari
1%.
Teknik Muller-5 untuk pengukuran laju mutasi juga bermanfaat untuk
mendeteksi agen-agen penyebab mutasi (Ayala, dkk., 1984). Dalam hubungan ini
H.J. Muller memang telah membuktikannya. Melalui teknik ini sudah dibuktikan
bahwa radiasi sinar X sangat meningkatkan laju mutasi. Yang dilakukan adalah
mengamati mutan-mutan pada turunan dari individu jantan Drosophila yang
sebelumnya telah diradiasi dengan sinar X. Dalam hal ini setelah diradiasi
individu jantan itu disilangkan dengan individu betina Muller-5 yang homozigot.
Hasil deteksi dengan teknik Muller-5 ini memperlihatkan bahwa pada umumnya
frekuensi mutasi berbanding langsung dengan dosis sinar X yang dinyatakan
dalam unit rontgen. Perhatikan Gambar 3.2.
Gambar 3.2Radiasi sinar X meningkatkan frekucnsi mutasi letal yang terpaut kromosom
kelanmin X pada Drosophila yang berbanding langsung terhadap dosis radiasi (Ayala, dkk., 1984)
Pembuktian senyawa kimia pertama sebagai mutagen juga dilakukan
dengan teknik Muller-5 (Ayala, dkk., 1984), Dalam hal ini selama perang dunia II
sudah dibuktikan aperlakuan gas mustard terhadap Drosophila jantan dalam dosis
subletal mengakibatkan terjadinya mutasi letal pada kromosom X dalam frekuensi
tinggi, yaitu sebesar 7,3%. Dewasa ini uji Muller-5 merupakan komponen penting
dalam proses pemeriksaan untuk mendeteksi polutan lingkungan yang mungkin
bersifat mutagenik.
DETEKSI MUTASI
Sebelum para ahli genetika. mempelajari secara langsung proses mutasi atau
rnendapatkan makhluk hidup mutan untuk keperluan penelitian genetik, mereka
harus dapat mendeteksi rnutasi (Klug dan Cummings, 1994). Pada bagian ini akan
dibahas deteksi mutasi pada bakteri, jamur, Drosophila, tumbuhan tinggi, dan
manusia.
Deteksi Mutasi pada Bakteri dan Jamur
Deteksi mutasi pada mahluk hidup monoploid semacam bakteri dan jamur
sangat efisien. Dalam hal ini deteksi mutasi tergantung kepada suatu sistem
seleksi yang mudah memisahkan sel-sel mutan dari yang bukan mutan. Prinsip-
prinsip umum deteksi mutasi pada bakteri dan jamur tidak berbeda (Klug dan
Cummings, 1994). Sebagai gambaran, penjelasan lebih lanjut didasarkan atas
deteksi mutasi nutrisional pada jamur Neurospora crassa.
Neurospora crassa adalah jamur yang bersifat monoploid (haploid) pada
fase vegetatif. Oleh karena itu deteksi mutasi pada fase itu dapat mudah dilakukan
dibanding pada makhluk hidup lain. Rincian prosedur deteksi mutan nutrisional
pada N. Crassa ditunjukkkan pada Gambar 3.3.
Pada gambar 3.3 (a) itu terlihat bahwa konidia monoploid yang
mengandung sesuatu mutan dapat dideteksi dan diisolasi atas dasar kegagalannya
tumbuh pada suatu medium lengkap. Pada gambar 3.3 (b) dan 3.3 (c) segera
sesuatu mutan sudah dideteksi dan diisolasi, senyawa yang hilang (tidak ada)
dapat ditetapkan melalui upuya menumbuhkan strain mutan pada sederet tabung
yang masing-masingnya mengandung medium minimum yang diberi suplemen
sesuatu senyawa.
Gambar 3.3Induksi, isolasi, dan karakterisasi mutan auksorofik pada N. Crassa. Pada (a) konidia 1 terkena mutasi tetapi konidia 2 terkena mutasi.
Pada (b) mutasi yang sudah terjadi dikaji (diperiksa) dan diketahui bahwa mutasi tcrsebut mempengaruhi biosintesis tirosin (Klug dan Cummings, 1994).
Deteksi Mutasi pada Drosophila
Sebagaimana yang telah dikemukakan pada pengukuran laju mutasi letal
resesif yang terpaut kromosom kelamin X digunakan teknik Muller-5. Teknik ini
seperti diketahui, dikembangkan oleh H. J. Muller. Sebenarnya teknik Muller-5
juga merupkan suatu teknik deteksi mutasi pada Drosophila; dan disebut juga
sebagai teknik CIB; C adalah suatu inversi yang menekan (mengalangi) peristiwa
pindah silang, I adalah suatu alela letal resesif, sedangkan B .adalah suatu
duplikasi gen dominan yang memunculkan mata Bar (Klug dan Cummings,
1994).
Selain teknik Muller-5 atau teknik CIB, H.J.Muller juga mengembangkan
teknik detcksi mutasi pada Drosophila yang lain yaitu teknik atau prosedur
kromosom X berlekatan atau attached-X procedure (Klug dan Cummings, 1994).
Pada teknik kromosorn X berlekatan, digunakan individu betina yang memiliki
kromosom X berlekatan (tempat perlekatan kedua kromosom X tersebut adalah
pada sentromer). Teknik ini dimanfaatkan untuk mendeteksi mutasi morfologi
yang resesif bahkan lebih sederhana, karena hanya satu generasi yang dibutuhkan.
Secara operasional susunan kromosom kelamin individu betina adalah dua
kromosom X yang berlekatan pada sentromer, dan sebuah kromosom Y; susunan
tiap pasang otosom normal. Jika individu betina semacam itu disilangkan dengan
individu jantan yang berkromosom kelamin normal (XY), maka akan dihasilkan 4
tipe turunan. Keempat tipe turunan itu adalah individu betina yang memiliki 3
kromosom X (mati), individu betina berkromosom kelamin XXY (kromosom X
berlekatan; hidup), individu jantan berkromosom kelamin YY (mati), serta
individu jantan berkromosom kelamin XY (yang mewarisi kromosom X dari
induk jantan, sedangkan kromosom Y diwarisi dari induk betina; hidup).
Bagan deteksi mutasi yang menggunakan teknik kromosom X berlekatan
ditunjukkan pada Gambar 3.4. Pada gambar itu terlihat bahwa induk jantan, yang
sudah mendapat perlakuan dengan sesuatu agen mutasi, akan menghasilkan
turunan jantan (turunan 1) yang mengekspresikan sesuatu gen mutan resesif
terpaut kromosorn kelamin X hasil perlakuan mutasi sebelumnya.
Gambar 3.4Teknik kromosom X berlekatan untuk deteksi mutasi morfologi yang diinduksi
pada Drosophila (Klug dan Cummings, 1994)
Deteksi Mutasi pada Tumbuhan Tinggi
Banyak variasi morfologi tumbuhan tinggi dapat dideteksi secara sederhana
melalui pengamatan visual. Di samping itu ada juga teknik yang digunakan untuk
mendeteksi mutasi-mutasi biokimiawi (Klug dan cummings, 1994).Teknik
pertama adalah melalui analisis komposisi bikimia. Contoh teknik pertarna adalah
misalnya isolasi protein dari endosperm jagung, hidrolisis protein-protein itu,
serta penetapan komposisi asam amino sudah menunjukkan bahwa dibanding
galur-galur bukan mutan, mutan opaque 2 mengandung lebih banyak lisin. Pada
saat ini memang para ahli genetika secara rutin rnenganalisis komposisi asam
amino yang terkandung pada strain-strain baru tanaman biji-bijian, seperti jagung,
padi, gandum, jewawut dan sebagainya. Seperti diketahui, hasil analisis-analisis
itu bermanfaat untuk melawan sakit kurang gizi (malnutrisi), yang diakibatkan
oleh ketidakcukupan protein atau bahkan ketiadaan asam amino esensial tertentu
dalam makanan.
Teknik deteksi mutasi kedua pada tumbuhan melibatkan kultur jaringan
galur-galur sel tumbuhan pada medium yang sudah tertentu. Dalam hal ini sel-sel
tumbuhan diperlukan sebagai mikroorganisme; kebutuhan biokimiawi dapat
ditetapkan dengan cara menambah dan mengurangi nutrien-nutrien dalam medium
kultur. Teknik kedua ini memiliki keuntungan lain, karena teknik yang
berhubungan dengan mutan letal kondosional dapat digunakan terhadap sel-sel
turnbuhan pada kultur jaringan, dan selanjutnya diterapkan untuk genetika
tumbuhan tinggi, demikian pula teknik ini merupakan suatu sistem deteksi yang
umumnya tidak bermanfaat dalam hubungan dengan tumbuhan utuh.
Deteksi Mutasi pada Manusia
Deteksi rnutasi pada manusia, misalnya yang berkaitan dengan sifat ataupun
kelainan tertentu dilakukan dengan bantuan analisis silsilah (Klug dan Cummings,
1994). Upaya pelacakan melalui analisis silsilah itu dilakukan sejauh mungkin.
Segera seteleh sesuatu sifat dipastikan menurun, selanjutnya diramalkan apakah
alela mutan itu terpaut kromosom kelamin atau terpaut autosom.
Pada Gambar 3.5 itu terlihat bahwa orang tua pada generasi I tidak
menderita katarak, tetapi satu (perempuan) dari tiga anak mereka (generasi ll)
menderita katarak. Dapat diduga bahwa mutasi awal terjadi pada sebuah gamet
dari salah seorang tua mereka (generasi I). Anak perempuan penderita katarak itu
mempunyai dua anak satu laki-laki dan satu perempuan (generasi III); anak laki-
laki tersebut menderita katarak. Anak laki-laki penderita katarak (generasi III);
mempunyai 6 turunan (generasi lV), dan 4 diantaranya menderita katarak.
Gambar 3.5Satu silsilah hipotetik katarak mata yang mempunyai latar belakang gen mutan
dominan terpaut otosom (Klug dan Cumrnings, 1994)Gambaran silsilah katarak itu memperlihatkan pola pewarisan dominan
yang terpaut otosom sekalipun belum terbukti. Sekalipun demikian frekuensi
penderita katarak yang tinggi di generasi IV seperti tersebut memperkuat
kesimpulan tadi. Dalam hubungan ini adanva turunan perempuan (generasi IV)
yang tidak menderita katarak juga semakin mernperkuat kesimpulan termaksud
karena sudah pasti gen mutan dominan itu tidak terpaut kromosom kelamin X
(jika gen rnutan dominan tersebut terpaut kromosom kelamin X, maka semua
turunan perempuan di generasi IV itu pasti merupakan penderita katarak).
Gambar 3.6 Hasil analisis silsilah yang terkait kelainan hemofili pada keluarga dan turunan Ratu Victoria (Russel, 1992)
Dengan memperhatikan.bagan di atas bahwa Ratu Victoria diduga kuat
memiliki alela heterozigot untuk kelainan hemofili, sedangkan tidak ada alasan
untuk menduga bahwa ibunya seorang carrier sebagaimana sang Ratu.
Uji Ames
Pengujian peluang sesuatu senyawa kimia yang masuk ke dalam tubuh
seperti termaksud menjadi agen mutasi, dilakukan antara lain dengan bantuan
teknik Muller-5 maupun uji Ames (Ayala, dkk., 1984). Teknik Muller-5 sudah
dikemukakan, sedangkan uji Ames akan dikemukakan lebih lanjut.
Uji Ames dikembangkan oleh Bruce Ames pada awal 1970-an. Uji Ames
menggunakan bakteri Salmonella typhimurium sebagai organisme uji (Russel,
1992). Yang digunakan adalah dua strain S. typhimurium kedua strain itu sama-
sama tergolong auksotrofik untuk histidin. Sepcrti diketahui strain yang bersifat
auksotrofik untuk histidin adalah yang membutuhkan tambahan histidin dalam
medium pertumbuhan agar dapat hidup (tumbuh). Dari kedua strain itu, pada
salah satu strain mutan his dapat dikembalikan menjadi his+ oleh suatu mutasi
pergantian basa; sedang pada strain lain mutasi his dapat dikembalikan mejadi
his+ oleh sualu mutasi pengubah rangka (frameshift mutation). Kedua strain itu
juga memiliki mutan-mutan lain yang mernungkinkannya semakin tepat
digunakan unluk memanipulasi ekperimental (Russel, 1992).
Gambar 3.7 Bagan kerja uji Ames untuk mengkaji peluang senyawa-senyawa
menjadi agen mutasi (Russel, 1992).
Campuran-campuran (pada Gambar 3.7 misalnya campuran eksperimen 1,
2, dan kontrol) itu ditetapkan ke dalam medium yang tidak mengandung histidin.
Lebih lanjut akan diperiksa revertan-revertan strain S. typhimurium hasil mutasi
balik melalui mutasi pergantian basa, atau melaui muteasi pengubah rangka.
Revertan-reverlan strain S. typhimurium yang diberikan itu diharapkan dapat
berupa his+. Revertan his+ ini memang dapat diketahui karena mampu membentuk
koloni medium yang tidak mengandung histidin. Dalam hubungan ini jika
revertan his+ ditemukan lebih banyak pada cawan yang berisi carnpuran senyawa
kimia yang diuji dibanding pada cawan kontrol, maka senyawa-senyawa itu
adalah suatu agen mutasi (mutagenik). Dalam hal ini jumlah kalori yang tumbuh
pada cawan kontrol menunjukkan laju reversi spontan pada bakteri yang diuji.
Lebih lanjut jika lebih banyak koloni ditemukan pada cawan-cawan
eksperimental, hal itu menunjukkan bahwa senyawa kimia itu menginduksi
mutasi. Akan tetapi apakah senyawa kimia itu merupakan suatu karsinogenik atau
bukan, hal itu tidak dapat dipastikan melalui uji Ames (Russel, 1992). Pada saat
ini uji Ames sudah berhasil mengidentifikasi sejumlah besar agen mutasi
(rnutagen) dari antara berbagai senyawa kimia di lingkungan kita seperti zat aditif
pewarna rambut, kloroda vinil, pewarna rnakanan tertentu dan berbagai senyawa
alami.
PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Mengapa perpindahan atau transposisi elemen transposabel dapat
berakibat terjadinya mutasi gen dan mutasi kromosom atau abrasi
kromosom?
Jawaban: Hal ini terjadi karena insersi ke dalam gen. Transposisi dapat
mempengaruhi ekspresi gen dengan cara insersi ke dalam urutan pengatur
gen. bukti tentang hal ini adalah transposisi elemen transposabel sebagai
salah satu penyebab terjadinya mutasi pada Drosophila terbukti karena
insersi elemen
2. Jelaskan deteksi rnutasi pada manusia, misalnya yang berkaitan dengan
sifat ataupun kelainan tertentu dilakukan dengan bantuan analisis silsilah?
Jawaban: Upaya pelacakan melalui analisis silsilah itu dilakukan sejauh
mungkin. Segera seteleh sesuatu sifat dipastikan menurun, selanjutnya
diramalkan apakah alela mutan itu terpaut kromosom kelamin atau terpaut
autosom. Pada Gambar 3.5 itu terlihat bahwa orang tua pada generasi I
tidak menderita katarak, tetapi satu (perempuan) dari tiga anak mereka
(generasi ll) menderita katarak. Dapat diduga bahwa mutasi awal terjadi
pada sebuah gamet dari salah seorang tua mereka (generasi I). Anak
perempuan penderita katarak itu mempunyai dua anak satu laki-laki dan
satu perempuan (generasi III); anak laki-laki tersebut menderita katarak.
Anak laki-laki penderita katarak (generasi III); mempunyai 6 turunan
(generasi lV), dan 4 diantaranya menderita katarak.
DAFTAR RUJUKAN
Gardner, E.J., Snustad, D.E. & Simmons, M.J. 1991. Principles of Genetics. Kanada: John Willey & Sons, Inc. hlm 289-317.
Wulandari, R.D. Tanpa tahun. Struktur dan Fungsi Asam Nukleat. (pdf file) Surabaya: Universitas Widya Kartika.
Russel, P. J. 1992. Genetics. Third edition. Harper Collins Publisers.