GAZI SALOOM-FPS-2011.pdf

81
LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF DARI ORANG BIASA MENJADI TERORIS: TELAAH PSIKOLOGI ATAS PELAKU DAN PERILAKU TEROR Penelitian ini dibiayai oleh dana dari Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Anggaran 2011 Tim Peneliti Gazi, S.Psi, M.Si Ikhwan Lutfi, M.PsiT FAKULTAS PSIKOLOGI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Transcript of GAZI SALOOM-FPS-2011.pdf

LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF

DARI ORANG BIASA MENJADI TERORIS:

TELAAH PSIKOLOGI ATAS PELAKU DAN PERILAKU TEROR

Penelitian ini dibiayai oleh dana dari Lembaga Penelitian (Lemlit)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun Anggaran 2011

Tim Peneliti

Gazi, S.Psi, M.Si

Ikhwan Lutfi, M.PsiT

FAKULTAS PSIKOLOGI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2011

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Terorisme menjadi ancaman global. Genderang perang global melawan terorisme

telah ditalukan semua bangsa. Setiap negara dan kelompok merasa berkepentingan untuk

mencegah dan memberantas terorisme karena mengancam peradaban dan kemanusiaan.

Banyak pendekatan yang digunakan para akademisi dan pemegang kebijakan dalam

memahami terorisme dan counter-terorisme. Selama ini, pendekatan psikologi telah banyak

digunakan untuk melihat dan memahami masalah-masalah yang terkait terorisme dan

bagaimana memberantasnya.

Analisa dengan pendekatan psikologi terorisme relatif merupakan bidang yang baru

yang muncul sebagai reaksi terhadap peristiwa-peristiwa teroris pada tahun 1970-an dan

tahun 1980-an. Pendekatan psikologi dianggap sebagai salah satu pendekatan yang penting

untuk memahami terorisme, terutama berkaitan dengan bagaimana memahami proses

psikologis dan psikososial hingga seseorang menjadi teroris. Kajian yang umumnya

digunakan dalam pendekatan psikologi dalam memahami proses seseorang menjadi teroris

lebih menitikberatkan pada motivasi atau proses psikologis.

Kajian terorisme dengan menggunakan pendekatan terorisme dianggap sebagai

bidang kajian dan penelitian yang rumit terutama karena kesulitan-kesulitan yang dialami

peneliti dalam meneliti motivasi perilaku kaum teroris. Bahkan di awal berkembangnya

kajian psikologi terorisme ada kesulitan tersendiri dalam menyepakati definisi terorisme.

Namun, untuk kepentingan penelitian ini, diambil suatu definisi terorisme yang baku

digunakan dan disepakati di kalangan para sarjana dan peneliti bidang terorisme, yaitu suatu

varian khusus penggunaan ancaman kekerasan untuk melawan kekuasaan pemerintah

(Crenshaw, 2007)

Di Indonesia, kajian tentang proses menjadi teroris atau jalur menuju terorisme atau

anak tangga menuju aksi terorisme tidak banyak dilakukan oleh akademisi karena dipandang

sulit dan susah untuk dicapai, padahal sebenarnya hal sangat penting dan diperlukan. Kajian

dan penelitian yang komprehensif tentang hal itu akan sangat berguna dan dapat membantu

pemahaman kita tentang bagaimana mencegah dan memberantas terorisme.

Harus diakui telah banyak ditulis buku-buku tentang terorisme atau yang berkaitan

dengan terorisme dan para teroris, bahkan ada juga yang ditulis oleh para pelaku teror itu

sendiri. Kendati demikian, tidak banyak orang yang mencoba melakukan analisa psikologis

terhadap buku-buku tersebut, padahal kandungan yang terdapat di dalamnya dapat

memberikan informasi dan data psikologis yang penting mengenai proses panjang

keterlibatan seseorang dalam aktivitas terorisme.

Penelitian psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama,

kurangnya kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik

pada data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita

untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika. Kedua, kecenderungan para peneliti

psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu disposisi dan kubu kontek (aliran

kepribadian dan aliran situasi). Faktor disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang

relatif terhadap perilaku manusia.

Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu, dalam

hal ini, Mogadham menggunakan metafora “staircase to terrorism” (tangga menuju

terorisme). Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar (interpretasi

psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas. Kedua,

lantai pertama (tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi oleh

peluang mobilitas dan suara individual). Ketiga, lantai kedua ( pengaruh pesan persuasif yang

menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang dipimpin Amerika),

Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung terorisme; mereka mulai

terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai menganut moralitas “the end

justify the mean”. Kelima, lantai keempat, menganut gaya berpikir kategoris : kita lawan

mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih. Muncul legitimasi psikologis untuk

menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala cara. Keenam, lantai kelima, mengambil

peran dan secara langsung mendukung aksi terorismei.

Dilema baru Amerika saat ini: Di satu sisi, Amerika menyatakan bahwa demokrasi

dan kebebasan adalah semua manusia di semua kelompok masyarakat, lalu menginvasi Irak

atas nama keingina memberikan demikrasi dan kebebasan kepada masyarakat Irak. Tetapi di

sisi lain, Amerika terus mendukung diktator pro Amerika di sejumlah negara Islam termasuk

di Saudi dan Mesir. Publik Muslim menyebut dilema tersebut dengan istilah kemunafikan

Amerika.

Spesialisasi terorisme menurut Moghadam, adalah pelaku bom bunuh diri, sumber

inspirasi, ahli strategi, pembangun jaringan, ahli pembuat bom, manager sel, agitator dan

guide lokal, anggota sel lokal, dan penyandang dana. Significance quest berbeda-beda untuk

setiap level.

Maka, atas dasar itulah, peneliti menganggap penting untuk melakukannya agar

proses psikologis menjadi seorang teroris difahami banyak orang, sehingga pada gilirannya

mereka akan dapat memberikan kontribusi penting dalam mencegah dan memberantas

terorisme, terutama pada level individu dan kelompok kecil.

Permasalahan Penelitian

Buku-buku yang ditulis untuk membahas dan menguraikan tentang terrorisme,

termasuk biografi, otobiografi atau novel berdasarkan kisah nyata tentang teroris telah banyak

beredar di masyarakat. Buku-buku tersebut cukup laris dibeli karena memiliki daya tarik

tersendiri, kendati demikian, buku-buku tersebut lebih banyak ditempatkan sebagai informasi

yang “common sense”, atau buku yang berfungsi sebagai kajian diluar kaidah ilmiah.

Sehingga hal ini menyebabkan buku-buku tersebut belum banyak ditelaah dan diteliti oleh

para akademisi dan peneliti terutama dalam konteks analisa psikologis mengenai motivasi

dan proses menjadi teroris.

Walaupun buku-buku biografi, otobiografi atau kisah nyata dipandang sebagai sumber

sekunder, tetapi data dan informasi yang terkandung di dalamnya tergolong kaya. Terutama

dalam menjelaskan proses psikologis seorang “biasa” bisa menjadi teroris yang melakukan

perusakan dan pembunuhan atas nama ideologi agama tertentu. Buku-buku semacam itu

banyak ditemukan di berbagai tempat seperti toko buku dan perpustakaan, tetapi masalahnya

adalah tidak banyak, bahkan tidak ada satu penelitian yang berusaha mengkajinya dari

perspektif ilmu psikologi.

Pertanyaan Penelitian

Untuk memudahkan kajian dalam penelitian ini, peneliti merasa perlu dirumuskan pertanyaan

penelitian atau rumusan masalah penelitian, dalam hal penelitian ini rumusan masalahnya

adalah:

1. Faktor apa sajakah yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga

menjadi teroris?

2. Dari variable yang ada, bagaimanakah peran variable-variabel tersebut terhadap

proses terbentuknya teroris?

3. Bagaimanakah interaksi antar variabael yang menyebabkan seseorang menjadi

teroris?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui:

1. Variable apa saja yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang hingga menjadi

teroris.

2. Pengaruh setiap variable yang ada terhadap proses terbentuknya teroris.

3. Interaksi antar variable yang menyebabkan seseorang menjadi teroris.

Manfaat Dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mengandung beberapa manfaat dan kegunaan, yaitu:

1. Memberikan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang proses menjadi teroris

melalui pendekatan psikologi.

2. Memberikan insight dan pemahaman yang memadai tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam aktivitas terorisme.

Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini disusun secara sistematis berdasarkan susunan bab-bab yang

diatur sedemikian rupa. Laporang ini terdiri dari beberapa bab, yaitu:

Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan latarbelakang masalah penelitian,

permasalahan penelitian, pertanyaan penelitian, dan manfaat serta kegunaan penelitian.

Bab II berisi landasan teori dan kerangka konseptual. Dalam bab ini diuraikan teori-

teori yang menjadi dasar teoritis dan analisis penelitian, kemudian dilanjutkan dengan

pembahasan mengenai kerangka konseptual penelitian yang menjadi dasar paradigma

penelitian dalam menguraikan tema dan variabel penelitian serta hubungan antar tema dan

variabel.

Bab III berisi metodologi penelitian. Dalam bab ini diuraikan metode yang digunakan

peneliti dalam mengumpulkan data, tehnik analisa, dan juga penjelasan tentang subjek dan

objek penelitian.

Bab IV berisi pembahasan dan analisa data. Dalam bab ini diuraikan data dan temuan

penelitian, kemudian analisa terhada data dan temuan penelitian serta kesimpulan.

Bab V berisi diskusi dan rekomendasi penelitian. Dalam bab ini dibuka ruang diskusi

mengenai hasil penelitian dan kesimpulannya, serta posisi hasil penelitian ini dalam konteks

penelitian terdahulu. Kemudian bab ini diakhir dengan rekomendasi, baik yang bersifat

teoritis-metodologis maupun praktis-pragmatis kepada stakeholder.

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

Pada bab ini peneliti menguraikan landasan teori yang digunakan dalam mengkaji

dan menganalisa data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen tentang teroris dan

terorisme, sekaligus membuat kerangka konseptual atau paradigma yang digunakan

peneliti dalam melaksanakan penelitian ini.

Landasan Teori

Dalam penelitian ini, ada beberapa hal yang dijadikan pijakan teoritis dalam

mengkaji psikologi teroris, tetapi sebelum membahas lebih lanjut tentang landasan

teoritis atau penjelasan konseptual tentang proses seseorang menjadi teroris, akan

dijelaskan lebih dahulu batasan dan pengertian tentang terorisme.

Definisi Terorisme

Kata teroris berasal dari kata terere yang berarti mengancam, atau membuat

ketakutan. Sehingga secara harfiah, terorisme berarti adalah tindakan yang dilakukan

dengan tujuan untuk menciptkan atau menimbulkan ketakutan atan ancaman.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para

pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak

menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Sedangkan pengertian atau batasan

terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan

perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi

terorisme adalah tindakan yang tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti, waktu

pelaksanaan (yang selalu tiba-tiba) dan target /korban jiwa (yang acak serta seringkali

merupakan warga sipil). Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan

teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh

karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan

"terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang

pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam

pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh

dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam

perang". Padahal Terorisme sendiri seringkali dilakukan dengan mengatasnamakan agama.

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya

adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism

(Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: ―Terrorism means the use of

violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the

public or any section of the public in fear”.

Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa

ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau

suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat

ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata

psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak

percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau

kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan

langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan

terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku

teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat

dikatakan lebih sebagai psy-war. Dalam penelitian ini, batasan teroris merujuk pada

aktifitas atau tindakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan untuk

membuat ketakutan kepada masyarakat.

Terorisme mencerminkan pertemuan antara : Pertama, suatu identitas kultural

yang berbasis kuat pada kolektivisme dan pemahaman fundamentalis tentang prinsip

agama dan budaya.Kedua, suatu identitas sosial yang berbasis pertentangan yang tajam

antara kelompok sendiri dan kelompok-kelompok yang dipersepsikan sebagai ancaman.

Ketiga, identitas personal yang tertutup dan otoritarian atau identitas personal yang

berlebihan dan tanpa tujuanii.

Karakteristik Perilaku Teror

Para ahli sepakat bahwa terdapat ciri-ciri perilaku terorisme yang dapat

digunakan untuk membedakannya dengan perilaku kekerasan lainnya, yaitu: Pertama,

terorisme memiliki tujuan yang jelas dan terencana. Artinya, teror yang dilakukan bukan

semata-mata untuk tujuan teror itu sendiri tetapi ada tujuan di balik perilaku teror

yang dilakukan.

Kedua, motivasi terorisme bisa bersifat patologis tetapi bisa juga bersifat

politik, walaupun penelitian mutakhir yang dilakukan oleh sejumlah psikiater dan psikolog

menyimpulkan bahwa para teroris umumnya adalah kumpulan orang-orang yang normal

yang sama sekali jauh dari karakteristik abnormal atau patologis. Ketiga, selalu

ditujukan kepada khalayak yang besar atau massa dalam jumlah yang banyak. Hal itu

dsebabkan karena semakin banyak korban semakin cepat pesan teroris sampai ke target

utama atau lawan utama. Keempat, terorisme dirancang untuk tujuan melakukan

perubahan sosial dan politik. Kelima, terorisme melibatkan suatu kelompok yang terdiri

dari para pemimpin dan para pengikut.

Mozarth (2006) menyebutkan ada dua perspektif yang berkembang di kalangan

komunitas pengkaji terorisme dalam melihat aksi teror, yaitu :

Pertama, sudut pandang sindrome, yaitu pandangan yang menyebutkan bahwa

terorisme bersifat patologis. Pandangan ini menegaskan bahwa teror dilakukan oleh

orang-orang yang mengidap penyakit atau gangguan patologis. Menurut para penggagas

dan pendukung perspektif ini, aktivitas teror yang dilakukan oleh orang-orang yang

tergabung dalam kelompok teror memenuhi syarat patologis, baik pada tingkat individu

maupun pada tingkat kelompok dengan tujuan untuk mencari penyebab.

Kedua, sudut pandang alat, yaitu pandangan yang menyebutkan perilaku teror

sebagai alat atau media untuk meraih tujuan yang lain sebagai solusi. Pandangan ini

menegaskan bahwa para pelaku teror sangat jelas memiliki tujuan strategis dengan ciri-

ciri yang dapat diidentifikasi, yaitu bila dilihat dari sisi psikologi alat dan tujuan, teror

digunakan untuk meraih tujuan ketika alat lain tidak efektif untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan; serta trait individu dan kelompok sangat sulit untuk dikenali.

Dalam konteks ini, psikologi agama berperan penting dalam menjelaskan motivasi

kekerasan keagamaan dan upaya pencegahannya. Tindakan teroris dan relijiusitas kaum

fundamentalis tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau

patologi sosial. Justeru proses psikologi sosial yang normal, seperti reduksi

ketidakpastian, manajemen teror, identitas sosial, dan pencarian makna melalui agama

berkombinasi dengan faktor-faktor kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas

integratif yang rendah, memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai

radikalisasi kaum muda yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap

anggota kelompok lain.

Melihat Sisi Proses Psikologi Teroris

Jika penelitian psikologi tentang terorisme pada tahap awal sebagian besar

berpusat pada upaya untuk menjawab kenapa individu-individu menjadi teroris atau

terlibat dalam terorisme? Maka pertanyaan yang diajukan para peneliti psikologi

terorisme kontemporer lebih fokus dan lebih fungsional. Horgan dan lain-lain membantu

membuat kerangka penelitian masa depan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan

yang lebih baik.

Di dalam pertanyaan ―kenapa‖ terkandung asumsi bahwa menjadi teroris

mencakup pilihan diskrit untuk mengubah status. Observasi sosial dan operasi terhadap

sejumlah teroris dan kelompok teroris menyimpulkan bahwa rekrutmen dan keterlibatan

dalam terorisme tidak terjadi seperti itu. Horgan dan Tylor (2001) mencatat,‖Apa yang

kami ketahui tentang teroris aktual menyatakan bahwa tidak banyak keputusan sadar

yang dibuat untuk menjadi teroris. Hampir sebagian besar keterlibatan dalam terorisme

terjadi melalui paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim.‖

Sebagai upaya menjadi kerangka konseptual untuk menguji pertanyaan tentang

kenapa seseorang menjadi teroris, Crenshaw menyatakan bahwa isu tentang kenapa

teroris bertahan dalam terorisme walaupun penuh resiko dan tanpa balasan yang jelas

merupakan satu pertanyaan yang penting. Kemudian lebih lanjut ia mengatakan bahwa

ada pertanyaan yang lebih penting lagi, yaitu kenapa dan bagaimana seseorang keluar

dari kelompok teroris?

Psikolog John Horgan dan Max Tylor (2001) kemudian membahas terorisme dari

sisi proses yaitu fase sebelum menjadi teroris, fase menjadi teroris (bisa dikonstruksi

dengan : 1) tetap terlibat dan, 2) terlibat dan keluar dari terorisme. Mereka

menyebutkan bahwa ada suatu distingsi mendasar yang dapat dibuat dalam menganalisa

faktor-faktor yang berpengaruh pada tahap-tahap yang berbeda-beda, yaitu tahap

menjadi, tahap bertahan, dan tahap meninggalkan atau mengakhiri keterlibatan.

Motif dan Vulnerabilitas. Di antara faktor psikologi utama dalam memahami

bagaimana dan individu seperti apa dalam suatu lingkungan akan memasuki proses

menjadi teroris adalah faktor motivasi dan vulnerabilitas. Secara definisi, yang

dimaksudkan dengan motif adalah emosi, hasrat, kebutuhan psikologis, atau impuls yang

menjadi pendorong utama tindakan. Sedangkan vulnerabilitas adalah kecenderungan

untuk terpengaruh oleh bujukan atau ajakan.

Motivasi seseorang untuk terlibat dalam terorisme seringkali diduga adalah

sebab kelompok atau ideologi kelompok. Kendati demikian, sebagaimana Crenshaw

sebutkan bahwa kesan umum teroris sebagai individu yang termotivasi secara eksklusif

oleh komitmen politik yang dalam dan kuat merupakan suatu realitas yang kompleks.

Realitasnya adalah bahwa motif bergabung ke dalam suatu organisasi teroris dan motif

terlibat dalam terorisme beragam sesuai dengan keragaman tipe kelompok dan

keragaman di dalam kelompok serta berubah sesuai perubahan zaman.

Marta Crenshaw (1985) sebagai contoh, menyebutkan paling tidak ada empat

kategori motivasi di kalangan para teroris, yaitu : Pertama, peluang bertindak. Kedua,

kebutuhan untuk diakui. Ketiga, hasrat terhadap status sosial, dan keempat, usaha

mendapatkan balasan materi. Post (1990) lebih jauh menyebutkan bahwa terorisme akan

berakhir dengan sendirinya, tanpa terikat oleh tujuan politik atau ideologi. Alasannya

adalah penyebab terorisme bukanlah penyebab itu sendiri (the cause is not the cause).

Penyebab sebagaimana dikodifikasi dalam ideologi kelompok, menurut jalur argumen

tersebut, menjadi rationale bagi tindakan kaum teroris adalah didorong untuk bertindak.

Dengan kata lain, sebenarnya argumen utama pendekatan ini adalah bahwa individu

menjadi teroris karena bergabung ke dalam kelompok teroris dan melakukan tindakan

terorisme.

Ketiga faktor psikologis yaitu ketidakadilan, identitas dan kepemilikan ditemukan

ada pada kaum teroris dan mempengaruhi pengambilan keputusan secara kuat untuk

memasuki organisasi teroris dan terlibat dalam aksi terorisme. Sebagian analis

terorisme berpendapat bahwa ketiga faktor tersebut saling bersinergi satu sama lain

dan dinamika di antara ketiganya merupakan akar penyebab terorisme, di luar faktor

ideologi. Luckabaugh dan kolega (1997) menyimpulkan bahwa penyebab riil atau motivasi

psikologis untuk bergabung dalam terorisme adalah kebutuhan yang besar untuk diakui,

suatu kebutuhan untuk mengkonsolidasi identitas. Kebutuhan untuk diakui sejalan

dengan identitas personal yang tidak lengkap merupakan suatu faktor yang sama pada

semua kelompok teroris. Dalam rumusan yang sama, Jerold Post (1984) berteori bahwa

kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk memiliki identitas yang stabil, untuk mengatasi

keterpecahan dan menyatu dengan diri sendiri dan dengan masyarakat merupakan

konsep menjembatani yang penting dan membantu menjelaskan kesamaan perilaku para

teroris yang berasal dari berbagai kelompok dengan motivasi dan komposisi yang

berbeda satu sama lain.

Bruce (1997) berpendapat bahwa untuk memahami proses menjadi seorang

teroris dengan baik, motif tidak dapat dipisahkan dari peluang. Dalam pernyataan yang

sederhana, orang-orang mengikuti jalur tertentu menuju radikalisasi, terorisme dan

organisasi teroris. Jalur menuju terorisme mungkin berbeda antara satu orang dengan

orang lain, dan semuanya sangat dipengaruhi oleh faktor yang beragam. Bandura (1990)

melihat bahwa jalur menuju terorisme dapat terbentuk oleh faktor-faktor yang

bersifat sengaja, pengaruh rasa suka personal yang terjadi secara bersamaan, dan

dorongan sosial.

Transisi menuju proses menjadi teroris tidak pernah terjadi secara tiba-tiba dan

serta-merta. Horgan mengatakan bahwa proses menjadi teroris melalui proses yang

panjang: paparan dan sosialisasi bertahap terhadap perilaku ekstrim. Pandangan yang

sama dikemukakan oleh Luckabaugh dan rekan-rakan yang menegaskan bahwa proses

menjadi teroris tidak terjadi dalam waktu semalam. Mereka yang menjadi teroris

mengikuti suatu progres umum, dari alineasi sosial sampai kejenuhan sosial, kemudian

ketidaksetujuan dan protes, sebelum akhirnya benar-benar berubah menjadi teroris.

McCormick (2003) menyebut proses tersebut dengan istilah pendekatan

perkembangan. Terorisme dalam perspektif pendekatan perkembangan bukanlah produk

dari suatu keputusan tunggal, tetapi hasil akhir dari suatu proses dialektis yang

mendorong seseorang secara bertahap menuju komitmen terhadap kekerasan sepanjang

waktu. Proses tersebut terjadi pada lingkungan politik yang lebih luas yang meliputi

negara, kelompok teroris, dan konsituen politik. Interaksi di antara variabel-variabel

tersebut dalam suatu seting kelompok digunakan untuk menjelaskan kenapa individu

berubah menjadi pelaku kekerasan dan pada akhirnya dapat menjustifikasi tindakan

kaum teroris.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana ideologi ekstrim berkembang menjadi

radikalisasi dan pada akhirnya diterjemahkan menjadi justifikasi atau imperatif untuk

menggunakan kekerasan teroris? Frederick Hacker (1983) menjelaskan progresi

tersebut dalam tiga tahap, yaitu : Tahap pertama meliputi kesadaran akan penindasan;

kedua, pengakuan bahwa penindasan tersebut bersifat sosial dan karenanya tidak dapat

dihindarkan; ketiga, impetus atau realisasi yang memungkinkan bertindak melawan

penindasan.

Erick Shaw (1986) menjelaskan eksistensi jalur perkembangan umum yang dilalui

para teroris memasuki profesi mereka. Ada empat tahap proses menjadi teroris, yaitu:

Pertama, proses sosialisasi dini; kedua, luka narsistik, misalnya, peristiwa hidup yang

negatif dan secara negatif mempengaruhi citra diri atau harga diri; ketiga, peristiwa-

peristiwa yang bersifat eskalatif (seringkali konfrontasi dengan polisi yang

menyebabkan provokasi yang dipersepsikan; dan keempat, koneksi personal dengan

anggota kelompok teroris yang meningkatkan peluang, akses, dan insentif untuk

memasuki kelompok teroris.

Berdasarkan analisa terhadap kelompok ekstrimis militan yang beragam dengan

ideologi yang juga beragam, Borum (2003) berpendapat bahwa terdapat beberapa tahap

proses yang dialami individu anggota kelompok teroris dalam menganut ideologi ekstrim,

baik luar negeri maupun domestik. Proses tersebut diawali dengan persepsi tentang

peristiwa yang tidak memuaskan atau kondisi yang tidak adil. Ketidakadilan kemudian

dicela dan dikaitkan dengan kebijakan target, person atau bangsa.

Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi memiliki sejarah yang panjang dalam

menjelaskan perilaku menyimpang sebagai suatu fungsi psikopatologi (misalnya

penyakit mental, gangguan, atau disfungsi) atau sindrom kepribadian malasuai.

Menurut Schmid dan Jongman (1988), asumsi umum yang mendasari banyak teori

psikologi adalah bahwa para teroris dalam satu hal atau beberapa hal merupakan

orang yang tidak normal, dan bahwa pemahaman dari psikologi dan psikiatri

menjadi kunci yang memadai untuk memahaminya. Pada kenyataannya,

psikopatologi terbukti hanyalah faktor penentu yang umum bagi kekerasan biasa,

tetapi tidak relevan untuk memahami terorisme. Dalam realitasnya, ide tentang

terorisme sebagai produk gangguan mental atau psikopati tidak tepat lagi.

Penelitian tentang psikologi terorisme hampir seragam menyimpulkan

bahwa penyakit mental dan abnormalitas secara tipikal bukanlah faktor penting

dalam perilaku kaum teroris. Studi-studi yang dilakukan peneliti dari kalangan

psikolog menemukan bahwa tingkat penyakit mental di kalangan sampel teroris

yang tertangkap adalah rendah atau lebih rendah dibandingkan populasi umum.

Lebih lanjut, walaupun kaum teroris seringkali melakukan tindakan yang gila

tetapi jarang sekali mereka dicap sebagai psikopat klasik. Secara tipikal kaum

teroris memiliki keterkaitan dengan prinsip atau ideologi, termasuk teroris lain

atau orang lain yang berbagi dengan mereka. Padahal, psikopat tidak memiliki

bentuk hubungan seperti itu dan tidak pula mau mengorbankan diri termasuk

bunuh diri atau mati untuk suatu sebab.

Trait kepribadian secara konsisten telah gagal dalam menjelaskan sebagian besar

tipe perilaku manusia, termasuk perilaku kekerasan. Pendekatan tidak dapat memberikan

sumbangan yang lebih banyak dan lebih signifikan dibandingkan faktor situasi atau

faktor konteks. Crenshaw (2001) misalnya menyebutkan bahwa komitmen ideologi

bersama dan solidaritas kelompok merupakan determinan yang lebih penting bagi

perilaku kaum teroris dibandingkan karakteristik individual. Bandura agaknya sepakat,

sebagaimana tercermin dalam sejumlah tulisannya, bahwa diperlukan kondisi sosial yang

kondusif dibandingkan orang-orang gila untuk melakukan tindakan yang gila. Oleh karena

itu, metode yang paling efektif untuk menjelaskan perilaku adalah dengan

mengkombinasikan antara faktor personal dan faktor situasi.

Sejumlah literatur secara tegas menyebutkan bahwa tidak ada kepribadian

teroris dan tidak ada pula profil psikologis atau profil lainnya tentang teroris. Bahkan,

kepribadian sendiri cenderung tidak bisa menjadi prediktor yang sangat baik terhadap

perilaku. Upaya memahami terorisme dengan mengkaji trait kepribadian teroris

merupakan bidang yang tidak produktif untuk menghasilkan investigasi dan studi

selanjutnya.

Pengaruh Pengalaman Hidup Terhadap Terorisme

Pengalaman hidup tertentu secara umum cenderung ditemukan pada kaum teroris.

Sejarah pengalaman kekerasan dan trauma agaknya sesuatu yang umum pada mereka.

Selain itu, tema-tema persepsi tentang ketidakadilan dan keterhinaan seringkali

mengemuka dalam biografi kaum teroris dan sejarah personal mereka. Namun, tidak ada

satupun dari semua itu yang memberikan kontribusi yang banyak terhadap penjelasan

sebab-akibat mengenai terorisme, tetapi bisa terlihat sebagai penanda vulnarebilitas,

sebagai sumber motivasi atau sebagai mekanisme untuk memperoleh atau menguatkan

ideologi kaum militan.

Peran Ideologi Dalam Terorisme

Ideologi seringkali didefinisikan sebagai serangkaian aturan yang umum dan

disepakati secara luas serta menjadi patokan individu yang membantunya mengatur dan

menentukan perilaku. Ideologi-ideologi yang mendukung terorisme yang sangat beragam

agaknya mengandung tiga karakteristik struktural yang umum. Karakteristik-

karakteristik tersebut mencakup: Satu, harus memberikan sehimpunan keyakinan yang

membimbing dan menjustifikasi serangkaian mandat perilaku. Kedua, keyakinan-

keyakinan tersebut harus dihargai dan tidak boleh dipersoalkan atau dipertanyakan.

Ketiga, perilaku-perilaku tersebut harus memiliki tujuan yang terarah dan terlihat

memberikan sebab tertentu dan sasaran yang bermakna. Budaya merupakan faktor

penting dalam perkembangan ideologi, tetapi dampaknya terhadap ideologi kaum teroris

secara khusus belum dipelajari. Ideologi membimbing dan mengendalikan perilaku dengan

memberikan satu himpunan penghantar perilaku yang menghubungan perilaku langsung

dan aksi terhadap hasil dan ganjaran yang positif atau dilihat sebagai satu bentuk

aturan perilaku yang berdasarkan aturan.

Untuk menjelaskan tahapan-tahapan atau proses psikologis yang dialami

seseorang dari seorang yang biasa atau bukan teroris menjadi seorang teroris, akan

digunakan teori ―Staircases to terrorism‖ dari Fathali Moghaddam (2005). Tangga

menuju terorisme adalah metafor yang digunakan Moghaddam untuk menggambarkan

dan menjelaskan proses menjadi terorisme. Tangga-tangga menuju terorisme terdiri

dari :

1. Ground floor: Search for meaning. Mencari makna diri dan sosial menjadi

awal atau modal dasar menjadi terrorisme, walaupun tidak semua orang

yang sedang mencari makna akan terjerumus ke dalam aktivitas terorisme.

Pada tahap ini, ada kekecewaan dan deprivasi atas kondisi pribadi

terutama kondisi kelompok lain yang lebih baik dari kelompok sendiri.

Kondisi seperti ini sering disebut dengan istilah krisis identitas yang

melahirkan persepsi ketidakadilan terhadap kelompok sendiri yang

dilakukan oleh kelompok lain.

2. First floor : Presenting the ideology. Pada saat ini, muncul semangat untuk

mencari musuh dan melawan pihak (kambing hitam) yang dianggap

melakukan ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Maka, pertanyaan

yang muncul adalah bagaimana melawan ketidakadilan tersebut?

3. Second floor: Cultivation stage. Pada tahap ini terjadi proses pengolahan

ideologi untuk melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang telah

membuat ketidakadilan terhadap kelompok sendiri. Bentuk dasarnya

adalah displacement aggression. Aktifitas yang sering muncul adalah dalam

bentuk pencelaan dan pengutukan pihak-pihak yang telah dianggap menjadi

penyebab ketidakadilan tersebut.

4. Third floor : yaitu aktifitas yang dilakukan dalam bentuk melihat dunia

sebagai hal yang hitam dan putih. Hanya ada benar atau salah. Dimana

penilaian benar dan salah didasarkan pada ―fatwa leader‖. Leader

melakukan control, Control over member, dalam bentuk penanaman ide dan

keyakinan moral yang bersifat benar vs salah. Pada tahap ini, semua cara

dihalalkan asalkan bisa digunakan untuk mencapai tujuan.

5. Fourth floor : Moral engagement. Pada tahap ini terjadi proses polarisasi

kelompok kawan dan lawan. ―Mereka adalah lawan yang hendak menyerang

dan menghancurkan kita.‖ Identitas sosial terbentuk secara mantap, yaitu

identitas sebagai mujahid, dan orang/kelompok yang tidak sejalan adalah

musuh.

6. Fifth floor : Recruitment. Pada tahap ini seseorang mulai terlibat dalam

aksi terorisme yang mencengangkan dunia. Keterlibatan secara aktif mulai

dari perencanaan, penentuan target, penentuan tehnik, waktu dan

tempat/lokasi sasaran, hingga yang aktifitas yang menentukan dalam

rekrutmen pelaksana.

Basis Dukungan Terorisme

Selama ini persepsi publik selalu mengaitkan terorisme pada pelaku teror yang

terlibat secara langsung dalam kegiatan destruktif, padahal terorisme tidak hanya

melibatkan orang atau kelompok tertentu yang teridentifikasi oleh pihak intelijen atau

aparat. Terorisme melibatkan suatu jaringan luas yang terdiri dari berbagai lapis. Bila

merujuk kepada pendapat Mozarth M.A (2006), basis dukungan terorisme terdiri dari :

Teroris aktual yaitu pelaku teror yang terlibat secara langsung di

lapangan.

Pendukung aktif, yaitu orang-orang yang menjadi perencana, mentor dan

pengatur tenaga lapangan.

Pendukung pasif yaitu orang-orang yang tidak terlihat atau tidak

terdeteksi oleh aparat atau intelijen tetapi memiliki kontribusi yang besar

atas terlaksananya aksi teror. Kelompok ini terdiri dari penyandang dana

atau ideolog.

Simpatisan, yaitu orang-orang yang sefaham dengan kelompok teroris

tetapi tidak terlibat secara langsung dalam aksi teror. Mereka umumnya

adalah kelompok radikal yang mengusung ideologi yang sama dengan para

teroris.

Islam dan Radikalisme

Ada tiga prinsip kunci ideologi radikal, yaitu intoleransi relijius, sentralitas jihad

militan terhadap penerapan Islam, dan upaya formalisasi syariat dalam hukum

kenegaraan. Argumen teologis berbasis penafsiran radikal terhadap suatu keimanan

melegitimasi, menjustifikasi dan mendorong tindakan terorisme. Walaupun kaum Muslim

mainstream di seluruh dunia mengutuk ideologi radikal tersebut, satu sekte kecil kaum

ekstrimis telah berusaha menggunakan agama sebagai senjata perang selama satu abad.

Mereka bukan musuh dalam bentuk individu atau kelompok tetapi dalam bentuk jaringan

organisasi transnasional yang kompleks. Ideologi tersebut membuat radikal individu dari

berbagai macam ras, etnik, status sosial-ekonomi, dan tingkat pendidikan, serta

mengubah menjadi kaum militant.iii

Kerangka Konseptual

Penelitian ini dilakukan berdasarkan kerangka konseptual sebagai berikut:

Perilaku teror dilakukan oleh para teroris yang memilih jalan ini sebagai alat untuk

meraih tujuan jangka panjang. Para teroris memilih jalan teror karena mereka tidak

menemukan jalan lain yang memungkinkan untuk dilakukan dalam melawan ―musuh‖ yang

dianggap bertanggungjawab atas kesulitan, nestapa dan malapetaka yang menimpa

kaumnya.

Siapa saja bisa menjadi teroris. Artinya, orang biasa yang tidak berdosa sama

sekali bisa terlibat dalam aksi teror, karena proses menjadi teroris merupakan

rangkaian panjang dari sebuah proses sosial dan psikologis. Tahap awal kemungkinan

seseorang menjadi teroris ketika ia mengalami semacam krisis identitas sosial yang

ditandai oleh upaya pencarian jati diri dan kelompok. Pada tahap ini seseorang

merasakan ketidakadilan telah dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap kaumnya, lalu ia

akan mencari siapakah sesungguhnya yang bertanggungjawab atas ketidakadilan dan

kezaliman yang menimpa kaumnya? Setelah diperoleh informasi tentang siapa yang

bertanggungjawab atas ketidakadilan dan kezaliman yang ada di depan mata –biasanya

informasi ini diperoleh dari seorang tokoh atau pemimpin kharismatik—maka terjadi

proses pengolahan ideologi atau kaderisasi atau ideologisasi atau pencucian otak oleh

sang ideolog atau pemimpin yang bertugas merekrut dan mengkader para pelaku teror.

Pada saat itu, mentalitas lawan dan kawan atau ingroup dan outgroup yang sangat

bernuansa hitam-putih dalam menilai segala hal. Proses penempaan terus berlangsung

sampai tiba saatnya seseorang berkomitmen untuk menjadi bagian dari jaringan perilaku

teror. Pada saat ini, seseorang sudah pantas dianggap sebagai teroris yang tunduk pada

normal dan moral yang berlaku di kelompok teroris. Setelah itu, tentu saja ada dua

kemungkinan yang terjadi, yaitu terus bertahan sebagai teroris atau berubah menjadi

orang biasa melalui beragam cara. Bila digambarkan dalam bentuk bagan maka prosesnya

sebagai berikut:

Praradicalisation RadicalisationPre-involvement

searchingViolent

radicalisation

Remaining involved and

engaged

Disengagement Deradicalisation

Keterangan:

Pra radikalisasi: orang biasa

Radikalisasi : Orang biasa berubah menjadi radikal

Pra pencarian keterlibatan : Orang yang radikal mencari cara dan

kelompok untuk melakukan aksi teror.

Radikalisasi kekerasan: Orang yang radikal memilih jalan teror,

menemukan kelompok teroris dan mulai melakukan teror.

Tetap terlibat dalam kelompok teroris : seorang teroris tetap bertahan

dalam kelompok teroris dan konsisten memilih jalan teror.

Disengagement: Seorang teroris mulai berubah menjadi bukan teroris atau

orang biasa.

Deradikalisasi: Seorang mantan teroris yang mulai mengubah ideologinya

menjadi ideologi yang moderat dan tidak memilih jalan teror dan

kekerasan.

Penelitian ini akan menggunakan teori staircases to terrorism dari Moghaddam

(2005). Teori ini dikembangkan setelah Moghaddam mengamati bahwa penelitian

psikologi tentang terorisme mengalami dua kelemahan, yaitu: Pertama, kurangnya

kerangka kerja konseptual yang kuat dan ketergantungan reduksionis-positivistik pada

data yang dikumpulkan atas dasar asumsi bahwa data tersebut akan memungkinkan kita

untuk meniru kesuksesan sain murni seperti fisika.

Kedua, kecenderungan para peneliti psikologi untuk terpecah ke dalam dua kubu,

yaitu kubu disposisi dan kubu kontek (aliran kepribadian dan aliran situasi). Faktor

disposisi dan faktor konteks memiliki pengaruh yang relatif terhadap perilaku manusia.

Artinya, mereka yang menganut kubu disposisi terlalu berlebihan dalam menganggap

trait dan kepribadian sebagai satu-satunya faktor yang kuat dari perilaku teror.

Sebaliknya, kubu situasi atau konteks terlalu berlebihan juga menganggap kekuatan

situasi atau konteks tidak bisa dilawan oleh siapapun. Jalan tengah yang baik adalah

melakukan sinergi atas kedua pandangan tersebut, yaitu membangun suatu asumsi

teoritis yang mencakup kedua kubu, yaitu bahwa perilaku teror adalah sinergi antara

kekuatan disposisi dan kekuatan situasi.

Konsep derajat kebebasan memperjelas isu pertentangan antara kedua kubu,

dalam hal ini, Mogadham menggunakan metafora ―staircase to terrorism‖ (tangga menuju

terorisme). Ada 5 lantai menuju terorisme, yaitu : Pertama, lantai dasar (interpretasi

psikologis tentang kondisi materil, persepsi terhadai kejujuran dan adekuasi identitas.

Kedua, lantai pertama (tahap mencari cara untuk meningkatkan kondisi yang dipengaruhi

oleh peluang mobilitas dan suara individual). Ketiga, lantai kedua ( pengaruh pesan

persuasif yang menyatakan bahwa akar persoalan mereka adalah musuh luar yang

dipimpin Amerika), Keempat, lantai ketiga, mulai menganut moralitas yang mendukung

terorisme; mereka mulai terpisah dari moralitas mainstream umat Islam. Mereka mulai

menganut moralitas ―the end justify the mean‖. Kelima, lantai keempat, menganut gaya

berpikir kategoris : kita lawan mereka, kebaikan melawan kejahatan, hitam dan putih.

Muncul legitimasi psikologis untuk menyerang kekuatan-kekuatan setan dengan segala

cara. Keenam, lantai kelima, mengambil peran dan secara langsung mendukung aksi

terorismeiv

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, menyesuaikan

dengan objek penelitian, dimana objek penelitian ini adalah isi dari buku atau

tulisan tentang biografi teroris. Pada mulanya, metode penelitian yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa disebut dengan istilah

mixed methode (metode campuran). Metode campuran ini adalah sebuah

pendekatan baru yang menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif baik

dalam hal pengambilan data, pengolahan dan analisa. Tetapi karena keterbatasan

peneliti dari sisi waktu, tenaga dan biaya maka pendekatan yang akhirnya

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif saja. Sedangkan

untuk penelitian kuantitatifnya akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari

penelitian ini.

Dalam penelitian gabungan ini metode penelitian kualitatif dan kuantitatif

dilakukan secara bertahap. Metode pertama adalah pendekatan kualitatif, dan

selanjutnya hasil dari penelitan pertama digunakan sebagai data untuk penelitian

tahap ke-2 (kuantitatif).

Metode pertama yang digunakan adalah metode kualitatif digunakan

dengan pendekatan Analisa isi dari Tulisan (juga dikenal sebagai

Documentary Hypothesis). Teknik yang digunakan adalah penelitian

biografi. Penelitian biografi adalah studi tentang individu dan

pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan

arsip-arsip.. Pendekatan ini menekankan pada analisa terhadap isi atau

konten suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor

analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol

coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian

diberi interpretasi. Tujuan penelitian ini adalah mengungkap turning point

moment atau epipani yaitu pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi

atau mengubah hidup seseorang Dimana analisa isi biografi dibatasi pada

factor-faktor psikologis dan situasi/lingkungan yang secara teoritis

dianggap memiliki pengaruh terhadap perilaku terorisme.. Peneliti

menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya

sendiri.

Metode ini digunakan untuk menganalisa data-data yang dihasilkan dari

metode analisa isi biografi. Hasil yang ditemukan dengan metode analisa isi,

faktor-faktor tersebut kemudian di jadikan variabel yang akan dianalisa. Teknik

analisa regresi digunakan dalam metode ini. Analisa digunakan untuk menjelaskan

hubungan dan interaksi antar variabel dan pengaruhnya terhadap terorisme.

Teknik analisa ini menggunakan soft ware SPSS dan Lisrel.

Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah buku tentang pelaku terorisme, yang terdiri

dari 3 buku, yaitu:

1. Temanku teroris oleh Noor Huda Ismail (2010), yang secara umum berisi

tentang Apa sebenarnya yang terjadi ketika dua santri menerapkan ilmu

agama pada jalan hidup masing-masing? Penulis buku mengangkat kisah

dirinya dan pelaku teroris (Fadlullah Hasan) dengan empati dan simpati,

menyisakan perenungan tentang terorisme, jihad Islam dan arti sebuah

persahabatan.

2. Demi Allah aku seorang teroris oleh Damien Dematra adalah kisah tentang

pencarian kebenaran yang dilakukan seorang anak manusia namun malah

dipelintir oleh sejumlah oknum dengan mengatasnamakan agama.

Dalam kerinduannya mencari Tuhan, seseorang bergabung dengan sebuah

kelompok pengajian dan diminta mengucapkan janji setia pada sebuah

organisasi dan mulai mempercayai pandangan bahwa negara yang benar

adalah negara yang berlandaskan hukum syariat agama. Ia pun percaya

bahwa perlakuan orang-orang non-Muslim di Indonesia adalah kafir,

apalagi mereka yang berasal dari negara barat.

3. Aku melawan teroris ditulis oleh Imam Samudra. Berisi tentang proses

dan ungkapan-ungkapan kesadaran mengenai jalan yang ia tempuh, dari

sekian ragam jalan yang ditempuh oleh umat Islam. Agaknya ungkapan ini

mewakili metode pemahaman yang ia anut.

4. Fuad Hussein

Generasi Kedua Al-Qaidah; Apa dan Siapa Zarqawi, Ikon Kelompok

Perlawanan Iraq Masa Kini/ Fuad Hussein; Penerjemah, Ahmad Syakirin;

Editor, Tony Syarqi, -- Solo:Jazeera, 2009

5. Noor Huda Ismail(2010). Temanku, Teroris?. Jakarta: Penerbit Hikmah

6. N. Bin Laden, O. Bin Laden, Sasson, J. Growing Up Bin Laden (2010).

Jakarta:Penerbit Literati

7. Ed Husain (2007). The Islamist. London: Penguin Book

8. Al-Maqdisi, Abu Muhammad Mereka Mujahid tapi Salah Langkah/Abu

Muhammad Al-Maqdisi; Penerjemah, Abu Sulaiman; Editor, Fahmi Suwaidy

– Solo: Jazeera, 2007

9. Damien Dematra (2009). Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit

Gramedia Pustaka Utama

10. Imam Samudra (2004). Aku Melawan Teroris. Jakarta: Jazeera

11. Ali Imron (2007). Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Penerbit Republika

Instrument Penelitian

1. Metode kualitatif

Instrument dalam penelitian tahap pertama ini adalah panduan analisa isi

buku, biografi.

Teknik analisa

Analisa dilakukan dengan mengumpulkan informasi atau data yang terkati

deng hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi teroris, tentunya dalam ranah

psikologi. Informasi yang didapatkan dari satu pelaku dengan pelaku yang lain

kemudian dicari karakteristik yang mirip/sama. Kemudian dijadikan tabulasi

factor psikologis yang dominan dari tokoh-tokoh tersebut.

BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Pada bab ini tim penulis akan menguraikan profil singkat teroris, sejumlah

data dan informasi terkait tema dan tujuan penelitian, serta temuan penting

yang hendak dibahas berdasarkan pendekatan ilmu psikologi.

Profil Singkat Teroris

Profil singkat para teroris sengaja dikemukakan dalam laporan penelitian

ini dengan tujuan agar penelitian memiliki kekuatan utama yang berpijak pada

aspek kepribadian atau psikologi. Dengan mengemukakan profil singkat teroris

ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran awal tentang aspek

psikologis dari para teroris.

Ada dua tokoh yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu Abu Musab dan

Utomo Pamungkas. Pemilihan kedua tokoh ini dasarkan atas argumentasi bahwa

yang pertama mewakili profil teroris dari Timur Tengah dan yang kedua mewakili

profil teroris dari Indonesia. Pemilihan teroris dari Timur Tengah dan teroris

dari Indonesia dimaksudkan untuk melihat bagaimana pengaruh latarbelakang

kondisi geografis dan corak keagamaan mempengaruh keterlibatan seseorang

dalam terorisme.

Argumen di atas didasarkan atas keinginan untuk menguji gagasan seorang

peneliti psikologi sosial atau ahli psikologi lintas budaya dari negeri Belanda,

yaitu Geert Hofsted yang sangat berpengaruh dalam hal pengujian konsep

psikologi berdasarkan perbedaan budaya. Pada tahun 1960an sampai tahun

1970an, Hofsted terlibat dalam suatu penelitian besar dengan ruang lingkup

penelitian yang sangat besar, yaitu melibatkan lebih dari 60 negara di seluruh

dunia. Proyek penelitian massif ini menghasilkan akumulasi respon sebanyak

116.000 respon sehingga memungkinkan bagi Hofstede untuk melakukan analisa

data yang ekstensif yang kemudian ia publikasikan dalam bentuk buku yang

berjudul ―Culture’s Consequence” pada tahun 1980.

Penelitian Hofsted mendukung hasil penelitian dua peneliti dari Amerika,

Alex Inkles, seorang sosiolog dan Daniel Levinson seorang psikolog, yaitu bahwa

semua masyarakat menghadapi empat tantangan berikut ini:

Ketidakadilan sosial, termasuk hubungan dengan penguasa.

Hubungan antara individu dan kelompok

Konsep maskulinitas dan feminitas : implikasi sosial dan emosional akibat

terlahir sebagai laki-laki dan perempuan.

Cara menghadapi ketidakpastian dan ambiguitas dikaitkan dengan kontrol

terhadap agresi dan ekspresi emosi.

1. Abu Mus’ab Al-Zarqawi

Abu Musab al-Zarqawi (bahasa Arab: أبومصعب الزرقاوي‎) (± Oktober 1966 – 7

Juni 2006) adalah pemimpin kelompok militan Islam Al-Qaeda di Irak. Zarqawi

termasuk daftar orang yang sangat dicari di Yordania dan Irak karena telibat

dalam serangkaian serangan, termasuk pembunuhan tentara dan polisi, serta

beberapa penduduk sipil. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan hadiah 25

juta USD untuk penangangkapan Zarqawi, jumlah yang sama dengan yang

ditawarkan untuk penangkapan Osama bin Laden sebelum Maret 2004. Zarqawi

terbunuh di suatu serangan udara AS di Baquba pada 7 Juni 2006. Sebagai

penggantinya, Al-Qaeda di Irak telah menunjuk Syeikh Abu Hamza al-Muhajir

sebagai penggantinya.

Dilahirkan di Zarqa, Yordania pada tanggal 20 Oktober 1966 dengan nama

Ahmad Fadil Nazal Al Khalaylah dalam sebuah lingkungan pemukiman yang kumuh

dan didominasi pemandangan kemiskinan. Zarqowi pernah mendekam di penjara

selama beberapa waktu karena beberapa kasus kriminal ringan yang pernah ia

lakukan. Setelah beberapa lama mendekam di sel, ia mengalami transformasi

personal yang mengejukan banyak orang. Selanjutnya ia berubah menjadi seorang

Islamis militan yang menganut ajaran Islam radikal dan garis keras. Zarqowi

pernah ikut bergabung bersama mujahidin Afganistan untuk berperang melawan

aneksasi Uni Sovyet. Pergaulannya bersama kaum mujahidin lainnya di Tanah

Afganistan membentuk karakter dan kepribadian khas pada diri Zarqowi. Nilai-

nilai jihad dan perlawanan terhadap kaum yang dipandang kafir, munafik dan

sesat amat mendarah daging pada dirinya sehingga ia tampil sebagai sosok yang

menonjol di antara kawan-kawannya.

Abu Musa Al-Zarqawi, adalah salah seorang tokoh terkenal dalam deretan

kelompok teroris kelas dunia dan cukup ditakuti karena sepak terjangnya dalam

dunia teror yang mencemaskan banyak pihak. Untuk memudahkan penulisan tokoh

ini selanjutnya disebut Al-Zarqawi saja. Ia dilahirkan di negeri Yordania, Timur

Tengah. Bayi Al-Zarqawi dilahirkan di sebuah pemukiman miskin dan sangat

kumuh di tengah padang pasir yang panas yang bernama Al-Zarqa.

Masa kecil Al-Zarqawi sangat sarat dengan nilai-nilai budaya dan

kehidupan Kaum Badui yang dicirikan dengan watak yang baik, misalnya, gampang

memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain, termasuk gampang suka dan

menyayangi orang lain. Al-Zarqawi juga dikenal sebagai pribadi yang berakhlak

mulia, pemberani dan sangat ramah kepada siapa saja, kendati ia dikenal juga

sebagai orang yang sangat pendendam.

Ada beberapa faktor penting yang membentuk pribadi dan karakter Al-

Zarqawi sehingga ia tumbuh menjadi sosok dengan karakter khas Badui yang

melekat pada dirinya. Kekentalan karakter Badui pada diri Al-Zarqawi tercermin

pada hal-hal berikut ini, yaitu :

Pertama, nilai, pola dan gaya hidup Kaum Badui yang sangat kental dengan

ketangguhan, keberanian dan ketegasan. Karakteristik umum yang melekat pada

Kaum Arab Badui sangat melekat pada diri Al-Zarqawi sehingga ia dikatakan

sebagai prototipe Arab Badui modern. Ketangguhannya tercermin dari

resiliensinya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup yang

mendera sejak masa kanak-kanak sampai ia dewasa. Selain itu, ia dikenal pula

sebagai orang yang pemberani dalam menyampaikan sikap dan pandangannya

terhadap suatu persoalan dan tegas dalam segala hal.

Ia juga memiliki sifat mulia, berani, dan ramah layaknya seorang badui.

Seorang badui juga di kenal dengan sikap balas dendam, sama sekali ia tidak

melupakan perlakuan buruk musuhnya sampai kapanpun. Dan kebanyakan, seorang

badui mempuyai tingkat kesabaran yang tinggi untuk membalaskan keinginan

balas dendamnya (hal: 11).

Kedua, didikan yang sangat ketat dan penuh disiplin dari kedua orang

tuanya. Salah satu ciri khas para orang tua Kaum Badui adalah konsistensi

mereka dalam menerapkan disiplin yang ketat kepada anak-anak mereka. Dalam

hal ini, Al-Zarqawi termasuk anak yang mendapatkan pola asuh yang sangat

disiplin dan ketat dari orang tuanya sehingga hal itu mempengaruhi cara dia

bersikap dan berperilaku di kemudian hari setelah ia beranjak dewasa.

Ketiga, pengaruh Sosial terutama pengaruh rekan sebaya terasa kental

pada diri Zarqawi. Teman-teman Zarqawi pada saat belajar di Perguruan tinggi,

mayoritas berasal dari berbagai kelompok Islam garis keras yang secara umum

selalu mendorong kaum muda untuk melakukan jihad di berbagai kawasan Islam

yang menurut mereka dikuasai kaum kafir. Saat muda, ide jihad dan mati syahid

tumbuh subur dalam sanubari Zarqawi.

Kehidupan badui adalah pilar utama dalam pembentukan watak Zarqawi.

Orang badui adalah orang yang berwatak baik, cepat melupakan masalah orang,

cintanya kepada orang lain bersifat sepintas lalu, demikian juga ketika ia mau

menerima bantuan dari orang lain sifatnya sepintas lalu (hal: 9).

2. Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok alias Amin

Utomo Pamungkas lahir dari keluarga yang relijius dan cukup terpandang di

masyarakat. Ayahnya yang bernama Harsono adalah seorang guru agama yang

memiliki karakter yang keras dan tegas. Karenanya, pola asuh yang diterapkan di

tengah keluarga adalah pola asuh yang sangat otoriter, keras, tegas dan kaku.

Semenjak dimarahi sang ayah karena meminta sesuatu di kereta yang

sedang berlalu cepat, Utomo kecil menjadi orang yang sangat serius dan kaku

dalam pergaulan. Karakternya yang serius dan tegas justeru membuatnya

kharismatik di depan teman-temannya sehingga ia dipilih menjadi pemimpin. Jiwa

kepemimpinannya, orientasinya pada tindakan yang progresif, dan kemauannya

yang keras menjadi ciri khas yang sangat menonjol pada diri Utomo, setidaknya

dalam persepsi teman-teman terdekatnya saat di pondok pesantren..

Didikan yang kental dengan nilai-nilai Islam ia peroleh dari ayahnya,

seorang guru agama di sekolah Muhammadiyah. Sang ayah mendidik Utomo

Pamungkas dan saudara-saudaranya dengan nilai-nilai Islam yang sangat kuat.

Itulah sebabnya kenapa Tomo kecil tumbuh menjadi pribadi yang memiliki minat

kuat di bidang ilmu agama Islam (hal: 285).

Utomo menjadi jihadis bermula ketika ia ditawari untuk belajar di

Pakistan. Sesampai di pakistan, dia diberi dua pilihan: belajar mendalami ilmu

agama Islam atau berjihad di medan jihad Afghanistan. Utomo memilih jihad

setelah melihat kondisi Afghanistan yang sangat menyedihkan dan

memprihatinkan di matanya. Akhirnya Utomo mengikuti latihan militer atau

tadrib di Akademi Militer Afghanistan di bawah pimpinan Abdul Rabbi Rasul

Sayyaf. Jiwa pemberaninya muncul ketika harus ikut di medan perang. Tank,

pesawat, dan suara morir menjadi familiar baginya. Cita-citanya sebagai syahid

atau martir belum bisa tercapai di Afghanistan karena sampai perang berakhir,

ia masih tetap sehat wal-afiat.

Analisa Psikologis

Menganalisa sisi psikologis para teroris adalah pekerjaan yang tidak

mudah karena bidang ini relatif baru. Selain itu, keterlibatan seseorang dalam

terorisme tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor psikologis tetapi juga oleh

faktor-faktor lain seperti ekonomi, sosial dan politik. Kendati demikian, dapat

dikatakan bahwa analisa psikologis terhadap para teroris, baik yang masih hidup

maupun yang sudah mati, dapat membantu menjelaskan kenapa seseorang terlibat

dalam terorisme dan bagaimana mengakhiri keterlibatan mereka.

Sebagai suatu ilmu yang mempelajar perilaku, psikologi sangat tepat untuk

digunakan dalam mengkaji terorisme karena ia berkaitan dengan perilaku teror.

Mengkaji perilaku teror tanpa melibatkan ilmu psikologi sama dengan

mendiagnosa suatu penyakit tanpa menggunakan alat yang tepat. Ilmu psikologi

dengan segala variannya bisa memberikan perspektif yang menarik dalam

mengkaji perilaku teror. Misalnya, psikologi klinis, psikologi sosial dan psikologi

agama.

Psikologi agama sebagai salah satu cabang psikologi berperan penting

dalam menjelaskan motivasi kekerasan keagamaan yang dilakukan oleh individu-

individu yang menggunakan agama sebagai inspirasi, dan upaya pencegahannya,

termasuk misalnya bagaimana mengubah seorang yang radikal atau teroris

sekalipun menjadi tidak lagi terlibat dalam radikalisme dan perilaku teror.

Tindakan teroris dan relijiusitas kaum fundamentalis tidak dapat

dijelaskan semata-mata melalui patologi psikologis atau patologi sosial karena

sejumlah penelitian membuktikan bahwa para teroris bukanlah kaum abnormal

yang tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Bahkan, penelitian menegaskan

bahwa mereka adalah kumpulan orang normal yang menyadari sepenuhnya

tindakan mereka karena aksi teror mereka didasarkan atas ideologi dan

keyakinan tertentu, serta digerakkan oleh tujuan tertentu.

Menurut para ahli dan pakar di bidang psikologi, justeru proses psikologi

sosial yang normal, seperti reduksi ketidakpastian, manajemen teror, identitas

sosial, dan pencarian makna melalui agama berkombinasi dengan faktor-faktor

kognitif seperti intratekstualitas dan kompleksitas integratif yang rendah,

memberikan pemahaman yang lebih memadai mengenai radikalisasi kaum muda

yang sebagian menjadi pelaku kekerasan dan kebencian terhadap anggota

kelompok lain.

Artinya, menyimpulkan para teroris sebagai kumpulan orang-orang yang

tidak normal dan tidak waras adalah suatu kesalahan besar. Mungkin, ada satu

atau dua kasus individu yang terlibat dalam tindak teror karena faktor

abnormalitas atau psikopati tetapi tidak bisa kemudian dijadikan sebagai dasar

penyimpulan bahwa semua teroris adalah orang gila. Pandangan ini pada mulanya

dianut oleh sejumlah peneliti psikologi terorisme, tetapi mereka kemudian

menarik pandangan tersebut karena data-data empirik dan fakta psikologis yang

diperoleh melalui kajian trait dan pribadi teroris tidak mendukung pernyataan

tersebut.

Proses Menjadi Teroris Ibarat Menaiki Tangga Gedung

Proses menjadi teroris ibarat menaiki anak tangga dalam sebuah bangunan

yang tinggi. Anda bisa bayangkan bagaimana menaiki anak tangga dalam sebuah

ruang bangunan tinggi. Prosesnya cukup panjang dan kadang-kadang agak

melelahkan. Bagaimana menjelaskan hal itu? Fattali Mohammad Moghaddam

(2007), seorang guru besar psikologi sosial keturunan Iran di University of

Washington menyebutkan bahwa terdapat beberapa tahap atau anak tangga

menuju terorisme. Tahapan-tahapan tersebut menggambarkan rentang proses

psikologis keterlibatan seseorang dalam aktivitas teror yang destruktif,

mematikan dan merugikan masyarakat, baik materil maupun psikologis.

Tahapan-tahapan psikologis tersebut mencakup lima tangga atau tahapan,

yaitu: Pertama, lantai dasar atau tahap pencarian makna yang ditandai dengan

awal krisis identitas diri dan krisis identitas kelompok. Pada tahap ini, seseorang

mengalami krisis identitas, baik pada level individu maupun kelompok sebagai

akibat interpretasinya atas realitas materil terkait dirinya dan kelompoknya vis

a vis orang lain dan kelompok lain. Oleh karena terorisme merupakan fenomena

kelompok atau suatu proses pembentukan identitas yang terjadi dalam kelompok

maka yang paling ditekankan dan diutamakan adalah identitas kelompok.

Biasanya, pada tahap ini muncul kecenderungan deprivasi relatif, yaitu

perasaan kecewa dengan kondisi kelompok ketika dibandingkan dengan kelompok

lain yang lebih maju atau lebih sukses. Ketika perbandingan antara kelompok

sendiri yang lemah dan tidak berdaya dibandingkan dengan kelompok lain yang

lebih kuat dan lebih berdaya maka perasaan kecewa muncul, lalu seseorang akan

mencaritahu penyebab semua perbedaan dan kesenjangan tersebut. Penyebab

kesenjangan umumnya dikaitkan dengan ketidakadilan atau kezaliman yang

dilakukan kelompok lain terhadap kelompok sendiri.

Kedua, lantai pertama yaitu ketika seseorang mulai memasuki tahap

psikologis tertentu yang ditandai dengan persepsi bahwa ketidakadilan telah

menimpa dirinya dan kelompoknya sehingga ada dorongan psikologis untuk

mencaritahu penyebab ketidakadilan atau kezaliman tersebut; Pertanyaan yang

muncul pada tahap ini adalah seputar pertanyaan apa bentuk ketikadilan yang

dialami kelompok? Kenapa kelompok lain melakukan kezaliman kepada kelompok

sendiri?

Ketiga, lantai kedua, yaitu tahap berikutnya yang ditandai dengan tindakan

agresi yang biasanya dilakukan dengan mencari kambing hitam penyebab

terjadinya kezaliman dan ketidakadilan. Biasanya pada tahap ini terjadi

mekanisme pengalihan target agresi dari pihak yang dipersepsikan

bertanggungjawab ke pihak yang berkaitan dengan pihak yang dipersepsikan

bertanggungjawab;

Keempat, keterlibatan moral seseorang dalam menilai kebaikan dan

keburukan dari tindakan yang dia lakukan dalam kelompok teroris. Penilai moral

dalam tahap ini tentu saja bertentangan dengan penilaian moral yang dianut

mainstream masyarakat. Penilaian moral didasarkan atas justifikasi moral

tertentu yang mendukung perasaan ketidakadilan yang menimpa kelompok.

Kelima, berpikir kategoris yang ditandai dengan upaya identifikasi siapa

lawan dan siapa kawan. Pada tahap ini, seseorang mulai memasuki kelompok

teroris yang telah memiliki persepsi dan pandangan tersendiri tentang siapa

kawan yang harus dibela dan siapa lawan yang harus dilawan. Permusuhan dan

perlawanan akan menjadi semakin kuat manakala kelompok lain atau representasi

kelompok lain yang dipersepsikan sebagai penyebab ketidakadilan yang menimpa

kelompok sendiri juga melakukan kategorisasi yang sama.

Keenam, tahap tindak teroris. Pada tahap ini seseorang melakukan

tindakan teroris atas dasar keyakinan yang sangat kuat bahwa apa yang dia

lakukan merupakan misi penting dan suci bagi penyelamatan kelompoknya

(Moghaddam, 2003)

Mencari Makna dan Identitas Diri

Bagi Fathali Moghaddam (2007), pencarian makna dan identitas diri dan

identitas kolektif di tengah dominasi budaya Barat terutama Amerika dalam

berbagai bidang kehidupan, merupakan salah satu dasar psikologis keterlibatan

kaum muda dalam tindak teror, terutama yang berasal dari kelompok garis keras

dan kelompok teroris yang dipengaruhi oleh ideologi salafi-jihadis. Gambaran

tersebut nampak jelas dari sekian banyak tokoh teror dari kelompok Islam garis

keras, seperti Az-Zarqawi maupun Utomo Pamungkas yang menjadi sampel

penelitian ini.

Sebagai salah satu tokoh teroris terkenal dan paling dicari oleh berbagai

pihak termasuk Amerika Serikat, latarbelakang kehidupan dan dinamika

psikologis yang dia alami sebagai seorang pemuda Muslim patut dilihat dan dikaji.

Dalam perspektif psikologi secara umum, perilaku seseorang dalam hidupnya

sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor lingkungan dan

kepribadian. Faktor lingkungan mencakup banyak hal seperti lingkungan keluarga,

lingkungan pergaulan sebaya, lingkungan pendidikan, lingkungan tempat tinggal,

dinamika kaum dan umat, serta kondisi ekonomi, sosial, politik dan keagamaan

seseorang. Sedangkan faktor kepribadian mencakup seperti tipe kepribadian,

keyakinan ideologi, dan dimensi-dimensi psikologi internal lainnya.

Az-Zarqowi lahir di tengah Distrik Ramzi yang seperti ―tidak bertuan‖

alias tak terurus. Oleh karena itu, kota ini tidak memiliki pelayanan umum yang

memadai dan memicu banyak persoalan yang melanda masyarakat kota. Salah

satu masalah sosial yang muncul akibat tidak terurusnya kota adalah banyak

kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi. Fenomena kejahatan dan kemaksiatan

dapat disaksikan secara nyata oleh siapapun yang ada di masa itu, termasuk Al-

Zarqowi. Patut dicatat pula, di tengah merajalelanya keburukan dan kemaksiatan

ada juga orang-orang yang berusaha bertahan dalam kebaikan dan kesalehan.

Dalam suasana pertarungan antara kemaksiatan dan kesalehan; serta antara

kebaikan dan keburukan, Zarqawi menikmati masa remaja yang penuh dengan

pencarian jati diri. (Hussein, 2008).

Dalam perspektif psikologi, pencarian jati diri berkaitan dengan

pertanyaan siapakah saya? Dari kelompok manakah saya berasal? Kenapa kondisi

saya seperti ini sedangkan kondisi orang lain lebih baik dari kondisi saya?

Kelompok kelompok saya bernasib seperti ini sedangkan kelompok lain bernasib

lebih baik? Kenapa bangsa saya lebih buruk kondisinya dibandingkan nasib bangsa

lain? Dalam kaitannya dengan para teroris dari kalangan kelompok garis keras

Islam, pertanyaan kejatidirian umumnya berkisar pada kondisi umat (bangsa,

peradaban, atau budaya) Islam yang lebih buruk dibandingkan kondisi umat yang

lain.

Beruntung, ketika memasuki usia sekolah menengah atas, Zarqowi diminta

orang tuanya untuk bersekolah di pusat Kota Zarqo yang banyak memiliki masjid-

masjid yang megah. Akhirnya, ia memilih Masjid Abdullah bin Abbas sebagai

pusat kegiatan pencarian jati dirinya. Masjid tersebut memang terletak

berdekatan dengan rumahnya sehingga ia tidak kesulitan untuk pulang-pergi dari

rumah ke masjid atau sebaliknya.

Dalam pandangan ahli psikologi sosial, dinamika antara dimensi kepribadian

dan dimensi lingkungan selalu dimenangkan oleh dimensi lingkungan. Sebaliknya,

menurut para ahli psikologi kepribadian, dimensi lingkungan tidak akan berarti

apa-apa di hadapan seseorang yang memiliki kepribadian dan karakter yang kuat.

Penulis sendiri mengambil pandangan jalan tengah yang mengkombinasikan antara

keduanya, yaitu bahwa perilaku seseorang, termasuk para teroris adalah

perpaduan pengaruh dan kontribusi antara dimensi kepribadian dan dimensi

lingkungan. Semua anasir kepribadian dan anasir psikologi lingkungan bersinergi

membentuk dan mendorong seseorang dalam mewujudkan perilaku. Artinya,

seorang teroris yang melakukan aksi teror, bukanlah gambaran patologis yang dia

alami tetapi bukan pula semata-mata tindakan normal yang tidak dipengaruhi oleh

hal-hal yang bersifat abnormalitas.

Bila merujuk kepada teori-teori psikologi pada umumnya dan ―teori

staircases to terrorism‖ yang digagas Fathali Moghaddam (2003), pencarian

identitas dan makna diri yang bersifat sosial adalah pintu masuk pertama

keterlibatan seseorang dalam dunia teror yang sangat panjang. Hal yang sama

juga dialami oleh Utomo Pamungkas, seorang pelaku teror dari Tanah Jawa yang

pernah menimba ilmu di Ngruki dan Afganistan. Banyak peristiwa masa kecil dan

masa remaja yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang keras, tegas dan

amat rentan dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Islam garis keras. Hal itulah

yang kemudian mendorongnya bergabung dalam kelompok teror paling ditakuti di

Asia Tenggara, bahkan di dunia. Kelompok Jamaah Islamiyah yang mengusung

ajaran salafi jihadis dan bercita-cita hendak mendirikan khilafah Islamiyah yang

membentang dan mencakup seluruh kawasan Asia Tenggara.

Berdasarkan perspektif psikologi, sebagaimana yang telah dikemukakan

sebelumnya, keterlibatan seseorang dalam suatu perilaku atau aksi sesungguhnya

ditumbuhkembangkan oleh modalitas kepribadian yang khas pada diri seseorang.

Modalitas kepribadian tersebut kemudian dipicu oleh pengalaman-pengalaman

tidak mengenakkan yang dialami seseorang. Pengalaman secara psikologis tidak

selalu merujuk kepada sesuatu yang pernah dialami seseorang, tetapi juga

sesuatu yang pernah disaksikan dan dirasakan dalam hidup. Apa yang dilihat,

dirasakan dan dialami seseorang itulah yang membentuk struktur pengalamannya

yang kemudian mempengaruhi kepribadian dan cara pandangnya dalam melihat

persoalan-persoalan sosial yang ada di sekitarnya.

Hal yang demikian juga tergambar dengan jelas pada diri Utomo

Pamungkas sebagaiman diceritakan oleh Nurhuda, ―Pengalaman demi pengalaman

yang telah Tomo dapatkan sejak kecil mengukuhkan kepribadiannya yang keras.

Kemiskinan di depan mata yang menimpa orang-orang sekitarnya yang umumnya

beragama Islam adalah persoalan yang harus segera dituntaskan menurutnya.‖

(hal: 284). Pengalaman nestapa, tertekan dan tidak mengenakkan yang menimpa

orang-orang di sekitar Utomo membentuknya mejadi pribadi unik dengan

identitas sosial yang diidentifikasi secara kuat oleh dirinya. Ia berubah menjadi

pribadi yang merasa mewakili kenestapaan umat yang ada di sekitarnya.

Mekanisme psikologis yang seperti ini adalah ciri khas yang terjadi pada

inividu-individu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat

yang sangat kolektivis, jika kita merujuk kepada konsep nilai individualis-

kolektivis yang dikembangkan oleh Hofstede. Individu yang hidup dan mengalami

tumbuh-kembang di tengah masyarakat dengan nilai-nilai yang didominasi

semangat kolektivis cenderung memiliki empati yang tinggi terhadap apa yang

dirasakan orang-orang di sekitarnya. Sehingga pada titik tertentu ia merasa

berhak menjadi wakil bagi masyarakatnya yang tertindas dan terzolimi.

Krisis identitas jati diri yang terjadi akibat kemiskinan dan keterzaliman

yang dipersepsikan menimpa umat Islam semakin menguat manakala Utomo

Pamungkas memasuki Pesantren Ngruki yang sebagian tokohnya menggelorakan

perlawanan terhadap pihak lain terutama dalam hal ini adalah Amerika dan Israel

yang dipersepsi sebagai biang keladi kehancuran umat Islam terutama di

berbagai belahan dunia Islam. Hal itu tampak jelas dari pernyataan Utomo

Pamungkas sebagaimana diceritakan oleh Nurhuda dalam buku ―Temanku

teroris?‖ seperti berikut ini:

“Barangkali saya termasuk beruntung, saat masuk Ngruki masih sempat

bertemu langsung dengan Ustaz Abdullah Sungkar dan Ustaz Abu Bakar

Ba’asyir” tutur akhi Fadlul kepadaku. “Saya masih sempat mendapat

pengajaran dari Ustaz Dullah dan Ustaz Abu.” (hal: 289)

Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Baasyir adalah dua tokoh

pendiri Jamaah Islamiyah yang sangat membenci Amerika dan Israel karena

dianggap sebagai penyebab berbagai bentuk kezaliman dan penindasan yang

dialami umat Islam di berbagai belahan dunia terutama di Afganistan dan

Palestina.

Ideologi Islam garis keras yang tertanam pada diri Utomo Pamungkas

sebagai hasil indoktrinasi Ustad Abdullah Sungkar dan Ustad Abu Bakar Baasyir

selama berada di pesantren dan masa panjang pengkaderan di Malaysia dan

Afganistan telah membentuk cara pandangnya tentang Islam dan bagaimana

ajaran Islam ditegakkan. Cara pandang Islam garis keras tersebut kemudian

menjadi semacam ideologi dan keyakinan yang berharga mati, sebagaimana

diungkapkan Nurhuda mengenai teman masa kecilnya di pesantren.

―Doktrin “Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan” sangat terpatri

dalam kesadarannya. Baginya, musuh Islam ada di mana-mana sehingga setiap

muslim harus membekali dirinya dengan fisik yang kuat dan ilmu beladiri yang

baik. Jika sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memnuhi

panggilan untuk membela kebenaran” (hal: 134).

Kekuatan ideologi tampak jelas pada diri Utomo. Ideologi Islam garis keras

yang diajarkan para gurunya betul-betul menggerakkan pikiran, perasaan dan

perilakunya. Memang, ideologi bukan penarik utama keterlibatan seseorang dalam

dunia teror, tetapi ketika seseorang telah memasuki kelompok teror maka

ideologi menjadi bahan bakar yang menggerakkan aksi teror seseorang. Hal itu

diperkuat juga oleh pandangan Grugklanski dkk (2009) ketika menjelaskan

tentang motivasi bom bunuh diri, salah satu bentuk aksi teror yang mulai marak

digunakan di Indonesia. Krukglanski dkk mengatakan bahwa motivasi bom bunuh

diri adalah mencari kebermaknaan. Ada beberapa faktor penyebab bom bunuh

diri yaitu faktor personal (trauma, perasaan terhina, isolasi sosial dan lain-lain)

yang kemudian mendapatkan pembenaran dari berbagai alasan ideologis seperti

melakukan pembebasan dari pendudukan bangsa asing, membela agama dan

bangsa, serta didorong kuat oleh faktor tekanan sosial. Terorisme bunuh diri

merupakan cermin dari restorasi makna, pencapaian makna, dan usaha

mempertahankan diri dari kehilangan maknav.

Deprivasi Relatif dan Persepsi Tentang Kezaliman

Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga bisa menjadi lokus

pertukaran ide dan gagasan. Oleh karena itu, masjid bisa juga menjadi lahan

subur tumbuhnya ideologi garis keras. Pandangan ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta (2011) yang menyimpulkan

bahwa masjid-masjid yang ada di Bekasi, Bogor dan Pandeglang, --terutama untuk

dua wilayah yang pertama—adalah tempat konsolidasi kaum radikalis dalam

menghimpun ide, kekuatan dan dana untuk menggerakkan aksi, misi dan visi

mereka dalam menyebarkan faham yang radikal dan keras.

Masjid Abdullah bin Abbas banyak menghimpun para pemuda dari

berbagai mazhab dan kelompok yang ada di Yordania. Mereka umumnya kelompok

pemuda Islam yang menganut faham wahabi dan aliran Islam garis keras lainnya.

Oleh karenanya, Zarqowi seperti menemukan dunia baru, yaitu dunia anak muda

yang sama-sama mencari makna dan jati diri dalam hidup. Menurut Hussein

(2008), hampir semua pemuda yang ada di masjid ini sangat terpengaruh dengan

ide jihad dan kesyahidan yang didengungkan oleh para guru dan mentor. Maka,

tidak heran jika ide jihad dan kesyahidan menjadi sistem kedirian Zarqawi yang

paling dalam dan paling kokoh. Saat itu, Zarqowi berpikir bahwa jihad

memberikan makna yang besar bagi dirinya dan kehidupannya.

Ideologi jihad dalam pengertian perang melawan kaum kafir, murtad dan

munafik berkecamuk dalam diri Zarqowi. Terjadi pertarungan batin di dalam

dirinya antara memilih berjihad di tanah Palestina atau di tanah Afganistan. Di

satu sisi, Palestina adalah asal-usul nenek moyangnya sehingga pantas untuk

dibela dan diperjuangkan, sedangkan di sisi lain, tanah Afganistan sedang

dianeksasi Uni Soviet yang komunis. Pertarungan batin tersebut berakhir ketika

ia memilih Afganistan sebagai medan jihad atas pengaruh sejumlah tokoh seperti

Abdullah Azzam dan Usamah bin Ladin.

Gambaran pergolakan batin yang menimpanya tercermin dalam sebuah

surat yang ditujukan kepada saudara-saudaranya. Bunyi surat yang dimaksudkan

adalah demikian:

“Wahai saudara-saudaraku, kembalilah kepada Islam yang tidak lain adalah

kejayaan dan kehormatan kalian. Islam adalah kejayaan nenek moyang yang

pernah berjuang bersama Salahuddin Al-Ayyubi dalam merebut dan

membebaskan Jerussalem.... Wahai saudara-saudaraku, nenek moyang kita

pada masa itu telah menjaga dan melindungi tanah Jerussalem. Sekarang,

giliran kita yang harus merebut dan menjaganya.”vi

Suasana psikologis yang sama juga dialami oleh Utomo Pamungkas alias

Fadlullah Hasan, terdakwa Bom Bali I, 2002, yang dijatuhi hukum penjara seumur

hidup. Dalam catatan yang ditulis oleh Noor Huda Ismail, Utomo Pamungkas

menceritakan perasaannya yang tercabik-cabik saat mengetahui kondisi umat

Islam di Afganistan.

“Ketika di hadapanmu terjadi pembantaian yang dilakukan oleh kekuatan

yang tak pernah berpikir dan bertindak untuk keadilan, apa yang akan

kamu lakukan? Ketika di hadapanmu terpapar pemandangan rumah-rumah

dihancurkan bom, anak-anak tewas bersimbah darah dengan peluru kaum

penjajah bersarang di perutnya, para ibu dan gadis-gadis mereka dirampas

kehormatannya, ayah-ayah mereka dibunuh tanpa kesalahan dan

dipenjarakan tanpa pengadilan, apa yang menjalari perasaanmu? Jika

dirimu menyaksikan suatu bangsa dipecah-belah oleh kepentingan kaum

imperialis dan kolonialis, relakah kamu menyaksikan kehancurannya?”vii

Nurhuda, seorang aktivis LSM yang bergerak dalam kegiatan dan program

deradikalisasi sekaligus sahabat Utomo Pamungkas saat nyantri di Ngruki Solo,

menggambarkan bagaimana Utomo Pamungkas mengalami kecamuk pikiran dan

perasaan tentang kondisi generasi muda Islam di Indonesia. Katanya:

“Bagi akhi Fadlul, masyarakat Indonesia telah mengalami dekadensi moral.

Kalau dibiarkan terus, generasi muda akan semakin meninggalkan Islam.

Oleh karena itu, diperlukan kader-kader muda untuk memperdalam ilmu

agama. Akidah Islam tengah menghadapi tantangan besar. Modernisasi di

segala bidang, perkembangan teknologi informasi, dan berbagai perubahan

tengah melanda dunia. Maka, umat Islam saat ini berhadapan dengan

zaman yang cepat berubah. Anak-anak muda progresif seperti akhi fadlul

diperlukan untuk menyambut panggilan jihad Islam (hal: 298).

Cara pandang Utomo yang cenderung keras dan tegas tidak terlepas dari

pola asuh dan gaya pendidikan yang diterapkan orang tuanya terhadap Utomo

kecil sebelum masuk ke dunia pesantren. Hal itu misalnya, diceritakan Utomo

kepada sahabatnya, Nurhuda. Lalu Nurhuda menceritakan kembali apa yang

pernah dialami sahabatnya di waktu masa kanak-kanak.

Tomo kecil menjalani kehidupan seperti halnya anak-anak kampung lainnya.

Namun, anak seorang guru tentu tidak sebebas anak-anak lain dalam

menentukan pergaulan. Tomo kecil dididik ayahnya dengan keras. Kendati

hidupnya sederhana, Tomo dan keluarganya termasuk cukup terpandang,

orang kampung memanggil ayahnya dengan sebutan pak Guru (hal: 280).

Figur-figur yang menjadi sorotan dalam dunia terorisme umumnya

menganut suatu pandangan bahwa dunia tidak adil terutama terhadap

kelompoknya. Pandangan ini mencerminkan bahwa para teroris menganut suatu

keyakinan yang disebut dengan istilah BIUW atau Belief in Unjust World.

Keyakinan psikologis ini begitu terpatri sehingga mengendalikan hampir semua

perilaku dalam kehidupan sehari-hari para teroris. Setiap fenomena dan

peristiwa buruk yang menimpa umat Islam dilihat oleh mereka sebagai suatu

bentuk ketidakadilan dunia yang sengaja diciptakan dan ditujukan kepada

kelompok identitasnya. Mereka cenderung merepresentasikan diri mereka

sebagai pembela kaum mereka yang tertindas sehingga seluruh jiwa dan raga

mereka sepenuhnya dimaksudkan untuk membela umat.

Menghadirkan Ideologi

Ideologi seringkali menjadi sumber justifikasi untuk melawan

ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi pada diri seseorang. Konsekuensi dari

ketidakadilan tersebut adalah mencari penyebab ketidakadilan dan diskriminasi,

atau mencaritahu aktor yang menyebabkan berbagai ketidaknyamanan yang

dialami seseorang atau komunitasnya. Pada saat itulah akan ada batas demarkasi

antara siapa yang pantas disebut kawan dan siapa yang pantas disebut lawan. Hal

itu umumnya terjadi tidak lama setelah seseorang mengalami masa-masa krisis

pencarian makna diri (Moghaddam, 2004). Hal seperti itu misalnya tercermin

pada suasana psikologis yang dialami oleh Utomo Pamungkas alias Fadlullah

Hasan.

“ Saya masih muda waktu itu, menjelang usia dua puluhan. Kedatangan ke

Malaysia bagi saya adalah awal dari pelajaran hijrah. Perjalanan yang kami

tempuh dengan jalur darat dari Solo merupakan perjalanan yang

mengesankan. Dari Jawa ke Sumatera, berhari-hari saya habiskan di dalam

bus dan berhenti di berbagai persinggahan. Sempat saat itu saya teringat

rumah di Kulon Progo. Terbayang Stasiun Kedundang di desa saya. Kereta

api yang datang dan pergi di stasiun itu tak pernah mengajak saya hijrah

sejauh tempat ini. Bagaimanapun, jauh dari Ibu, Bapak, dan keluarga adalah

hal yang biasa saya alami sejak mengenyam pendidikan di pesantren. Lagi

pula, di tempat itu, saya tidak merasa sendiri. Faturrahman Al-Ghozi,

Ustad Dullah, dan ikhwan-ikhwan yang saya jumpai adalah keluarga baru

yang menyatu dalam persaudaraan Islam yang kokoh. Kami sering bersama-

sama dalam berbagai kegiatan pengajian dan dakwah Islam. Di Malaysia,

saya merasa tengah mempersiapkan diri saya untuk berjihad, tetapi jihad

yang saya pikirkan saat itu adalah mencari sekolah dan mendalami ilmu

Islam di negeri-negeri jauh.”

Tahap ini juga ditandai dengan munculnya dorongan untuk melawan

penindasan dan kezaliman yang terjadi di depan mata. Pada tahap ini, emosi

seseorang akan terpancing untuk terlibat dalam berbagai kondisi, dan kemudian

menggerakkannya untuk bertindak, sebagaimana yang dinyatakan Utomo

Pamungkas:

“Tetapi saya tidak mau menjadi Muslim yang hanya duduk-duduk

menyaksikan saudara seiman ditindas, tak mau hanya berteori dan

berwacana, sementara bayi-bayi dan perempuan, masjid dan rumah-rumah

kaum Muslim Afghanistan dihancurkan oleh mesin-mesin pembunuh Rusia”

(hal: 19).

Ketika emosi tergerak, lalu seseorang yang sudah memasuki tahap ini akan

mencari justifikasi dari berbagai sumber untuk membenarkan tindakan dan

ideologi yang dianut. Dalam kasus para teroris yang mengatasnamakan agama,

justifikasi jihad sebagai alat untuk berjuang melawan kezaliman dan penindasan

mendapatkan energi dari berbagai inspirasi para tokoh pemikir keagamaan atau

tokoh ulama terkemuka yang kharismatik, sebagaimana yang diungkapkan oleh

Utomo Pamungkas:

“Siapa bilang Islam tidak mengajarkan revolusi? Siapa bilang Islam tidak

melahirkan anak-anak revolusioner? Dalam buku catatan pemikiran jihad,

ulaam As-Suri mencatat Al-Maududi sebagai bagian dari pemikir jihad

yang cukup berpengaruh pada masa kini. Al-Maududi mendefinisikan jihad

sebagai perjuangan revolusioner untuk mencapai kekuasaan, demi kebaikan

dan kemaslahatan umat manusia. Jihad dapat diterjemahkan ke dalam

berbagai bentuk: melalui karya tulis, dakwah, bekerja, belajar, tetapi

setiap muslim harus siap memasuki perjuangan senjata” (hal: 41).

Pernyataan Utomo Pamungkas di atas mewakili radikalisme Islam modern.

Menurut sejumlah ahli, seperti Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. (2010),

radikalisme Islam modern berpijak pada suatu ideologi yang digagas oleh

Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) yang menyeru kepada pemurnian

Islam dan ingin mencipakan suatu masyarakat yang berdasarkan penafsiran ulang

yang radikal tentang Islam. Penafsiran ekstrim tentang Islam menurut doktrin

Muhammad bin Abdul Wahhab saat ini dikenal dengan sebutan Wahhabisme yang

sangat mempengaruhi organisasi-organisasi radikal seperti Taliban, Al-Qaida dan

lain-lainviii.

Yang menarik untuk ditelaah, menghadirkan ideologi dalam perjuangan

tidak semata-mata dilandasi oleh emosi dan krisis identitas, tetapi –pada kasus

teroris tertentu—juga dilandasi oleh argumen yang terkesan sangat cerdas dan

intelektual, sebagaimana yang diungkapkan Utomo Pamungkas berikut ini.

“Pasca perang dunia II, ketika banyak Negara mencari identitas

kebangsaan dan sibuk merumuskan ideology perjuangan, jihad dalam

pandangan saya adalah solusi dari kebuntuan teori-teori gerakan social.

Terutama di timur tengah, yang merupakan pusat dari peadaban Islam.

Jihad merupakan inspirasi kebangkitan perlawanan terhadap hegemoni

barat yang telah lama menanamkan paham imperialism dan kolonialisme”

(hal : 42).

Intinya, ideologi menjadi kekuatan penting bagi seorang teroris, walaupun

ideologi bukan faktor pendorong pertama yang menarik seseorang ke dalam dunia

teror. Memang, sejumlah penelitian seperti Crenshaw (2001) menyatakan bahwa

ideologi bukanlah anasir pertama yang menarik seseorang menjadi bagian dari

jaringan teror, tetapi ideologi menjadi bahan bakar utama yang memantik

keberanian seseorang melakukan teror dan pengrusakan yang tidak pernah

terbayangkan sebelumnya.

Untuk konteks terorisme yang menggunakan Islam sebagai baju dan

sumber inspirasi gerakan, dapat dikatakan bahwa salafisme, suatu aliran yang

diusung oleh tokoh-tokoh Islam konservatif yang ingin mengembalikan pola dan

gaya hidup di zaman Rasulullah. Tetapi tentu saja, harus dikatakan bahwa

salafisme itu beragam dan mengalami perubahan dan kontekstualisasi yang luar

biasa. Salafisme yang menjadi sumber ideologi kaum Islam garis keras adalah

salafisme yang menekankan ajaran jihad sebagai bentuk perlawanan dan cara

untuk meraih kejayaan Islam.

Gerakan kaum salafi (seringkali disebut Kaum Wahabi) merupakan gerakan

keagamaan yang berisi banyak figur dan faksi, mulai dari Osamah bin Laden

sampai para mufti di Saudi Arabia serta mencerminkan banyak posisi terkait

isu-isu politik dan kekerasan. Terdapat sumber kesatuan yang menghubungkan

antara kaum salafi ekstrimis garis keras dan kaum puritan non kekerasan.

Walaupun menganut ajaran yang sama, tetapi mereka berbeda dalam melihat

masalah kontemporer dan bagaimana ajaran Salafi diterapkan. Perbedaan dalam

hal penafsiran konteks atau situasi menciptakan tiga faksi dalam gerakan salafi,

yaitu purits (kaum pemurni), politicos (pengusung Islam politik) dan jihadis

(pengusung jihad)ix.

Dalam rentetan proses menjalankan aksi teror, seorang teroris kerapkali

mengalami kegundahan atau mungkin kekecewaan akibat banyak hal yang

dipandang tidak jelas atau abu-abu dalam menjalankan amaliah jihad (aksi teror),

misalnya seperti sumber pendanaan yang tidak jelas sehingga menimbulkan

perbedaan pendapat atau membuat korban yang tidak sepantasnya menjadi

korban. Hal itu tergambar misalnya dari pernyataan Utomo Pamungkas dalam

salah satu dialog dengan Nurhuda:

―Faktor pendanaan aksi pengeboman ini juga membuat saya berpikir ulang.

Rasanya ada yang salah dalam aksi itu sebab sebagaian uang operasionalnya

berasal dari hal yang masih abu-abu, yaitu hasil rampokan sebuah toko

emas. Mungkin karena kekurangbersihan dalam masalah dana ini, banyak

madharat (kerusakan) yang kita terima setelah aksi. Banyak ikhwan yang

sebenarnya tidak setuju dan tidak tahu menahu soal aksi ini tetapi kena

pulutnya. Saya sering mengalami pergulatan batin tentang dampak yang

mesti mereka tanggung. Mereka sesungguhnya juga korban dari perbuatan

kami ini” (hal: 258).

Mencari Kambing Hitam

―Ini adalah jihad kami, untuk memberi pelajaran kepada Amerika, Negara

Koran tempat antum bekerja itu agar mereka tidak menzalimi Islam”, jawab

Utomo (hal: 261). Pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana dan kepada

siapa Utomo mengarahkan kesalahan dan penyebab kezaliman yang dirasakan

umat Islam di berbagai belahan dunia. Dalam pernyataannya, Utomo secara tegas

menunjuk Amerika sebagai biang keladi berbagai kondisi buruk yang menimpa

umat Islam terutama di Timur Tengah. Pertanyaan yang patut diajukan dalam hal

ini adalah kenapa tindak teroris tidak dilakukan langsung kepada Amerika secara

langsung, tetapi ditujukan kepada pihak lain yang dipersepsikan berkaitan dengan

Amerika, misalnya seperti yang terlihat dari sasaran tindak teroris yang dipilih?

Hal itu dijawab secara terang-benderang oleh teori kambing hitam atau

scapegoat theory yang diambil dari kalangan ahli psikologi sosial atau sosiologi,

dan mekanisme displacement yang dikemukakan oleh para penganut psikoanalisa

terutama Sigmund Freud. Dalam perspektif teori kambing hitam, ketika

seseorang mengalami suasana krisis yang menimpa dirinya atau kelompoknya,

mekanisme psikologis yang biasa dilakukan adalah mencari pihak lain sebagai

penyebab berbagai krisis yang terjadi. Hal itu terjadi karena seseorang tidak

memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol diri, dan biasanya ada pihak lain

yang dipilih untuk dijadikan sebagai penyebab berbagai krisis dan kekecewaan

yang dirasakan. Namun karena ia tidak mampu melakukan perlawanan secara

langsung kepada target yang dipersepsi sebagai pihak yang bertanggungjawab

maka mekanisme psikologis displacement of aggression dilakukan, yaitu dengan

memilih target lain yang memiliki ikatan atau hubungan nyata atau simbolik

terhadap target utama.

Mulai Berpikir Kategoris dan Cenderung Kaku

Salah satu ciri seseorang yang sudah memasuki dunia yang radikal dan

teroris adalah kecenderungan bermental ―kami‖ versus ―mereka‖ serta kaku

dalam memahami dan teks agama dan kehidupan. Hal itu tidak lepas dari

pengaruh doktrin atau ajaran kaku yang diperoleh dari seorang guru yang

dipandang kharismatik sebagaimana gambaran Utomo tentang para mentor dan

guru yang telah menggembelengnya.

―Ustaz Abu bukan seorang orator seperti Ustaz Dullah. Retorika beliau

cenderung seperti mengajar guru kepada muridnya. Tenang, datar, dan

dogmatis. Beliau lebih banyak bicara masalah syariah atau hokum-hukum

dalam islam. Beliau sering berkata: “Ini kata Al-Quran –nya begini, ya, kita

harus mengikutinya. Tidak ada jalan tengah. Karena di dunia ini hanya dua,

hizbullah, golongan Allah, atau hizbusy syaithan, golongan setan. Tinggal

kita mau pilih yang mana. Orang islam tidak bisa abu-abu‖ (hal: 292).

Pada tahap ini tergambar dengan jelas bahwa berfikir fundamentalis dan

radikalis yang dipengaruhi oleh ajaran tertentu adalah ciri khas seorang yang

potensial melakukan tindak terorisme, walaupun radikalisme dan

fundamentalisme tidak otomatis akan mengarah kepada terorisme.

Pandangan yang cenderung memilah antara lawan dan kawan, atau antara

ingroup dan outgroup, yang disertai dengan kecenderungan lebih bersikap positif

kepada kawan dan lebih bersikap negatif kepada lawan atau pengutamaan

terhadap anggota kelompok sendiri dan pengakhiran atau pengabaian terhadap

anggota kelompok lain berkaitan erat dengan seberapa besar tingkat identifikasi

seseorang terhadap kelompoknya.

Dalam hal ini, terlihat juga bagaimana mekanisme dehumanisasi orang lain

atau kelompok lain sangat dominan pada diri seorang yang penganut ideologi

radikal dan garis keras. Mekanisme dehumanisasi mencakup anggapan bahwa

orang lain atau kelompok lain bukanlah manusia atau kumpulan manusia, tetapi

iblis atau kumpulan iblis yang harus dienyahkan dari muka bumi. Pembatasan garis

demarkasi yang memilah antara kemanusiaan dan ketidakmanusiaan menjadi ciri

khas yang menonjol pada penganut ajaran radikal, atau dalam bahasa psikologi

sosial, ingroup (kelompok sendiri) adalah kumpulan orang baik, sedangkan

outgroup (kelompok lain) adalah kumpulan orang jahat.

Mentalitas ingroup dan outgroup akan semakin kuat bila dipengaruh oleh

faktor orientasi budaya sebagaimana dikatakan oleh Hofstede, seorang ahli

psikologi sosial lintas budaya yang berasal dari negeri Belanda. Menurutnya, ada

dua orientasi budaya yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam konteks

interaksinya sebagai individu dan sebagai kelompok, yaitu orientasi kolektivis dan

orientasi individualis. Masyarakat dapat dianggap berorientasi kolektivis jika

anak-anak mereka menumbuhkan dan mengembangkan belajar untuk

mengkonsepsi diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok ―kami‖, yaitu suatu

hubungan yang tidak sukarela tetapi muncul secara alamiah. Individu-individu

yang lahir dari masyarakat yang berorientasi kolektivis cenderung dengan mudah

melakukan kategorisasi antara kita dan mereka; antara kawan dan lawan; antara

baik dan buruk.

Pandangan Hofstede tersebut dapat menjelaskan kenapa para teroris yang

berasal dari kelompok masyarkat kolektivis cenderung membuat garis demarkasi

yang tajam antara kebaikan dan keburukan, kesalehan dan kemaksiatan, manusia

dan setan, serta musuh dan lawan. Dalam beberapa sesi wawancara, Merari

(2007) dan Crenshaw (2005) menemukan bahwa para teroris umumnya

mengkategorikan musuh-musuh mereka sebagai setan yang harus dihancurkan

atau golongan kafir yang harus dimusnahkan.

Melakukan tindakan teroris dengan Keyakinan Penuh

Ketika seseorang telah memasuki tangga terakhir proses menjadi teroris,

setiap tindakan teror yang dilakukan dilandaskan atas keyakinan tertentu dan

kesetiaan penuh terhadap organisasi, sebagaimana yang dikatakan oleh Utomo

dalam suatu sesi wawancara dengan Nurhuda Ismail:

“Apapun keputusan organisasi harus ditaati dan dijalankan sebaik-baiknya.

Itu adalah syarat mutlak seorang anggota jamaah. Ketika jamaah menetapkan

bahwa saya harus bergerak maka saya harus bergerak. Tidak ada kata’ tidak’

dalam hidup berjamaah” (hal: 65).

Pada titik ini, kesatuan seorang teroris dengan organisasinya tidak bisa

dipisahkan lagi kecuali oleh kematian. Tetapi sudah barang tentu bahwa

pernyataan ini tidak menegasikan kemungkinan seorang teroris untuk berubah

menjadi ―bukan teroris‖ atau mengalami deradikalisasi dan disengagement dari

tindak teroris atau keluar dari organisasi teroris.

Satu hal yang patut ditegaskan bahwa moral atau pandangan tentang

kebaikan dan keburukan yang ada di benak kebanyakan orang tidak lagi menjadi

pegangan bagi kaum teroris. Mereka mengalami apa yang disebut dengan

mekanisme ―moral disengagement” yaitu lepasnya nilai-nilai moral mainstream

dalam berpikir dan bertindak. Sebaliknya, mereka menganut moral sendiri yang

berbeda dengan nilai moral yang dianut kebanyakan orang.

Bila merujuk kepada konsep ―disengagement moral” yang dikembangkan

oleh Albert Bandura, seorang ahli psikologi sosial terkemuka dari Benua Amerika,

maka ada beberapa mekanisme disengagement moral yang dilakukan para teroris

dalam melakukan teror dan dalam melihat kerusakan dan korban.

Cerdas dan Menjadi Teladan

Penelitian para ahli terorisme dan kekerasan politik menemukan data yang

cukup mencengangkan yaitu bahwa hampir semua pelaku teror bom di berbagai

belahan dunia adalah kumpulan orang-orang yang berpendidikan tinggi dan

memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Misalnya, Dr. Azahari adalah seorang

dosen bidang sains yang sangat cerdas di sebuah perguruan tinggi di Malaysia

atau Yaonis Tsaoli, seorang anak muda Muslim dari Inggris yang dikenal dalam

dunia maya dengan kode ―Irhabi 007‖ adalah seorang ahli komputer yang sangat

cerdas dan brilian. Dalam rentang waktu dua tahun ia dikenal di dunia maya

sebagai pendekar teroris internet yang tak tertandingi. Tsaoli kemudian berhasil

ditangkap oleh kepolisian Inggris dengan tuduhan yang tidak berkaitan sama

sekali dengan dunia maya.

Bagaimana dengan para tertuduh teroris di Indonesia? Apakah mereka

tergolong orang-orang yang berpendidikan dan cukup cerdas? Bagaimana pula

dengan Utomo Pamungkas yang menjadi subjek penelitian ini? Apakah ia

tergolong berpendidikan dan cerdas? Apakah ia memiliki wawasan dan

pengetahuan yang tinggi?

Utomo adalah figur seseorang yang cerdas dan bahkan menjadi contoh

atau inspirasi bagi yunior-yuniornya semasa belajar Pondok Pesantren Al-Mukmin

Ngruki Solo. Ia terbilang anak yang istimewa dari segi prestasi dan keterampilan.

Dalam waktu yang relatif singkat ia berhasil menghafal Al-Quran, memiliki

pengetahuan dan pemahaman hadis Nabi yang luas serta menguasai dua bahasa

asing, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Hal itu setidaknya seperti

tergambar oleh cerita Nurhuda tentang seniornya semasa di pesantren dulu.

Katanya:

“Untuk anak seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat

beribadah. Lebih-lebih, kudengar, akhi fadlul terbilang anak yang sangat cerdas.

Hafal Al-Quran, fasih menafsirkan hadis, lancer berbahasa arab dan inggris,

juara kelas pula. Pengamatanku itu sudah cukup memberi alasan untuk

menyematkan label “senior yang karismatik dan patut dicontoh” kepadanya” (hal:

135).

Gambaran karakteristik psikologis Utomo di atas setidaknya menguatkan

pandangan bahwa para teroris bukanlah kumpulan orang-orang yang bermasalah

di masa lalu atau dalam bahasa psikologi, bukanlah orang yang mengalami

psikopatologis. Utomo adalah orang yang sangat normal, bahkan pada konteks

tertentu sangat cerdas dan menonjol dari segi kepemimpinan. Oleh karena itu,

temuan di atas menolak kesimpulan penelitian sebelumnya bahwa para teroris

adalah kumpulan orang gila, dan sekaligus memperkuat kesimpulan penelitian yang

lain bahwa mereka adalah kumpulan orang normal yang sangat sadar akan

tindakan dan tujuan yang ingin mereka raih di balik tindakan teror tersebut.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan dalam penelitian ini berisi

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dikemukakan pada bab

sebelumnya, sedangkan saran dalam penelitian lebih banyak berkaitan dengan

saran teoritis, metodologis atau kebijakan yang diambil dari hasil telaah,

ekstraksi dan pemahamaman atas temuan-temuan penelitian yang dikemukakan

pada bab terdahulu.

Kesimpulan

Penelitian ini akan menyimpulkan atau menjawab beberapa pertanyaan yang

dikemukakan pada bab sebelumnya, yaitu:

4. Variable apa sajakah yang memiliki peran dalam terbentuknya seseorang

hingga menjadi teroris?

5. Dari variable yang ada, bagaimanakah peran variable-variabel tersebut

terhadap proses terbentuknya teroris?

6. Bagaimanakah interaksi antar variabael yang menyebabkan seseorang

menjadi teroris?

Dari paparan dan analisa teori beserta data empirik yang telah

dikemukakan peneliti maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut, yaitu:

1. Pada umumnya, ada dua variabel penting yang membentuk seseorang

menjadi teroris, yaitu variabel disposisi atau kepribadian dan variabel

situasi atau lingkungan. Kedua variabel ini bersinergi membentuk kekuatan

psikologis yang mendorong individu bergabung ke dalam kelompok teroris

dan melakukan teror.

2. Kedua variabel tersebut sangat kuat mempengaruhi terbentuknya

seseorang menjadi teroris melalui tahapan-tahapan psikologis atau tangga-

tangga menjadi teroris sebagaimana disampaikan oleh Fathali Moghaddam

(2005).

3. Interaksi antar-variabel terjalin cukup kuat dalam sebuah proses yang

panjang dengan melibatkan berbagai anasir seperti sosial, politik, ekonomi,

budaya dan psikologi.

Saran

Berdasarkan temuan dan kesimpulan penelitian yang telah diperoleh

peneliti maka disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Penelitian ini sebaiknya ditindaklanjuti dengan melakukan penelitian

kuantitatif karena penelitian ini baru sampai pada tingkat membangun dan

meperkuat teori yang dikembangkan oleh Fathali Moghaddam. Penelitian

berikutnya diharapkan dapat membuktikan secara kuantitatif kebenaran

teori yang dikemukakan oleh Moghaddam.

2. Bila pendekatan penelitian yang sama dilakukan di masa yang akan datang

maka sebaiknya jumlah subjek diperbanyak agar data dan temuan

penelitian semakin memperkaya teori yang telah ada.

3. Perlu dilakukan penelitian profil tentang para teroris Indonesia sebagai

sumber data penting untuk mengkaji lebih dalam dan lebih jauh tentang

psikologi terorisme di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Imron (2007). Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Penerbit Republika

Al-Maqdisi, Abu Muhammad. Mereka Mujahid tapi Salah Langkah/Abu

Muhammad Al-Maqdisi; Penerjemah, Abu Sulaiman; Editor, Fahmi Suwaidy

– Solo: Jazeera, 2007

Damien Dematra (2009). Demi Allah, Aku Jadi Teroris. Jakarta: Penerbit

Gramedia Pustaka Utama

Ed Husain (2007). The Islamist. London: Penguin Book

Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism.

Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009

Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism.

Journal of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009

Fuad Hussein. 2008. Generasi Kedua Al-Qaidah: Apa dan Siapa Zarqawi; Apa

Rencana Mereka Ke Depan?. Solo: Penerbit Jazeera.

Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to

countering radicalization: A partnership for America.Washington DC:

World Organization for Resource Development and Education.

Hussein. F. 2009. Generasi Kedua Al-Qaidah; Apa dan Siapa Zarqawi, Ikon

Kelompok Perlawanan Iraq Masa Kini/ Fuad Hussein; Penerjemah, Ahmad

Syakirin; Editor, Tony Syarqi, -- Solo:Jazeera.

Imam Samudra (2004). Aku Melawan Teroris. Jakarta: Jazeera

Ismail. N.H., 2010. Temanku, Teroris?. Jakarta: Penerbit Hikmah

Kruglanski A.W & Chen X & Dechesne M & Fishman S & Orehek E, 2009. Fully

Committed: Suicide Bombers’ Motivation and the Quest for Personal

Significance. Political Psychology, Vol. 30, No. 3, 2009

N. Bin Laden, O. Bin Laden, Sasson, J. Growing Up Bin Laden (2010).

Jakarta:Penerbit Literati

Noor Huda Ismail. 2010. Temanku, Teroris? : Saat Dua Santri Ngruki Menempuh

Jalan Berbeda. Jakarta : Penerbit Hikmah

Schwartz, S.J & Dunkel, C.S. & Waterman, A.S. (2009). Terorism: An identity

theory perspective. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 32:537–

559,

Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomi of the salafi movement. Journal of Studies in

Conflict & Terrorism, 29:207–239

Lampiran 1

GENERASI KEDUA AL-QAIDAH

Kehidupan badui adalah pilar utama dalam pembentukan watak Zarqawi. Anda akan

mendapati orang badui sebagai orang yang berwatak baik, cepat melupakan masalah

orang, cintanya kepada orang lain bersifat sepintas lalu, demikian juga ketika ia mau

menerima bantuan dari orang lain sifatnya sepintas lalu (hal: 9).

Ia juga memiliki sifat mulia, berani, dan ramah layaknya seorang badui. Seorang

badui juga di kenal dengan sikap balas dendam, sama sekali ia tidak melupakan

perlakuan buruk musuhnya sampai kapanpun. Dan kebanyakan, seorang badui

mempuyai tingkat kesabaran yang tinggi untuk membalaskan keinginan balas

dendamnya (hal: 11).

Zarqawi kecil, sedari dini, telah tumbuh kesadaran tentang hidup bersama kejahatan

dan kebaikan sekaligus. Ia bisa hidup dengan dua hal yang kontradiktif ini. Selain

masa kecil yang lama dia habiskan diantara kuburan-kuburan itu, menumbuhkkan

perasaan “berdamai” dengan nilai-nilai kontradiktif antara kematian dan kehidupan

(hal: 11).

Namun sebagaimana pada pemuda Yordania muslim yang lain, Zarqawi mempunyai

semangat pergi ke Afghanistan di akhir tahun 1980-an. Di sanalah para pemimpin

seperti Abdullah Azzam dan Usamah bin Ladin berada. Di kalangan mujahidin

Afghan, ia dipandang sebagai pemimpin. Ia juga dipandang sebagai pemberi ilham

bagi setiap sukarelawan Arab dan Muslimin. Abdullah Azzam merupakan pemimpin

bersejarah utama jamaah Ikhwan Muslimin di Yordania (hal: 13).

Saat berada di Afgahanistan, Zarqawi tak lupa membuat hubungan yang erat dengan

masyarakat Afghan – Arab. Seorang saudari kandungnya dinikahi salah seorang

mereka, sebagai bentuk penghargaan Zarqawi atas keberanian lelaki itu yang

kehilangan salah satu kaki dalam perang melawan Soviet (hal: 14).

Ia mendirikan organisasi dan mengembangkan pandangan-pandangannya. Ia

bersepakat dengan Al-Maqdisi. Tujuannnya mendirikan organisasi keagamaanyang

secara pemikiran ia maksudkan, pertama-tama, untuk menggalang para pemuda dan

mendoktrinnya dengan pemikiran yang selama ini ia yakini. Selanjutnya diikuti

dengan langkah mengumpulkan senjata dan bom untuk latihan terlebih dahulu, lalu

melakukan operasi militer terhadap Israel (hal: 15).

Abu Muhammad Al-Maqdisi sang arsitek utama organisasi ini – yang mereka

namakan sebagai Jamaah At-Tauhid – mulai memberikan pelajaran dan kuliah di

masjid-masjid dan tempat-tempat perkumpulan pemuda. Tujuannya menarik

mereka menjadi anggota organisasi baru itu (hal: 15).

Didirikannya Jamaah At-Tauhid bersama Al-Maqdisi yang menggiringnya ke penjara

selama lima tahun,merupakan langkah praktis pertama dalam perjalanan Zarqawi

berikutnya. Demikian pula, penjara menjadi terminal terpenting dalam pembentukan

kepribadiannya (hal: 16).

Mayoritas kelompok Al-Maqdisi dan Zarqawi tidak rampung kuliah, kecuali Al-

Maqdisi yang selesai kuliah di salah satu universitas Saudi Arabia pada jurusan ilmu-

ilmu agama dan Abu Muntashir yang memperoleh gelar sarjana sastra (hal: 18).

Selama tiga tahun pertama usianya hidup di penjara, Zarqawi di bawah bimbingan

Al-Maqdisi. Semua buku-buku dan pemikiran Al-Maqdisi dia lalap. Ia kuping seluruh

dialog antara Al-Maqdisi dengan tokoh-tokoh pemikir Islam Yordania lainnya yang

sama-sama mendekam di penjara. Pada saat inilah, Zarqawi mengembangkan

pengetahuan agamanya. Di penjara tersebut, ia bahkan mampu menghafal seluruh

Al-Quran di luar kepala (hal: 19).

Di dalam penjara, Zarqawi adalah seorang yang sederhana, kalem dan banyak diam.

Jika diajak bicara dia akan bicara, jika tidak diajak bicara tidak mengeluarkan sepatah

katapun. Ia menghabiskan waktu-waktu luangnya untuk menghafal Al-Quran dan

membaca buku-buku agama yang lain. Ia penuh perhatian dengan shalat fardhu dan

qiyamullail, dan segala hal yang berkaitan dengan nutrisi spiritual. Tiada tempat di

hatinya bagi bacaan sastra, politik atau bacaan yang jauh dari masalah agama. Ia juga

sangat memperhatikan latihan fisik. Ia begitu menjaga vitalitas badan (hal: 23).

Di dalam penjara, Zarqawi berperilaku sebagai dua karakter. Pertama adalah

karakter yang ia pakai dalam berinteraksi dengan jamaahnya. Dalam hal ini, ia

dianggap sebagai ayah yang kasih, pemurah, sayang, lagi lembut. Zarqawi adalah

tokoh yang mempunyai sifat leadership cukup kuat. Sifat-sifat seperti itulah yang

kemudian memungkinkan dirinya membangun jaringan yang terkuat di kawasan

timur tengah (hal: 24).

Kepribadian Zarqawi yang kedua adalah kepribadian yang dilakukan ketika

berinteraksi dengan pihak berwenang di dalam penjara. Ia orang yang sangat serius,

bertampang menyeramkan. Membatasi interaksi dengan mereka hanya pada hal-hal

resmi (hal: 24).

Ibunda Zarqawi adalah pilar kedua dalam pembentukan karakternya. Ayahanda dan

ibunda, keduanya dalam satu waktu banyak berpengaruh dalam masa kecilnya,

keduanya telah mendidik Zarqawi dengan cara konservatif (hal: 24).

Dalam membangun jaringannya, Zarqawi mengandalkan unsur-unsur sumber daya

manusia yang berbeda dengan unsure yang diandalkan Bin Ladin dan Adh-Dhawahiri

– yang memfokuskan pada para sukarelawan dari Jazirah Arab dan Mesir secara

khusus dan pendanaan keduanya yang mengandalkan aliran dana dari Jazirah Arabia.

Dalam membangun jaringannya, Zarqawi mengandalkan unsure dari negeri Syam

(Yordania, Palestina dan Suria) sehingga anggota jaringan ini dinamakan Jund Asy-

Syam (tentara Syam ) (hal: 34).

Zarqawi dalam membangun jaringannya bertumpu pada asa hubungan family (hal:

35).

Sikap keras Zarqawi tidak saja terbataas dengan Syiah saja, tetapi juga terhadap

muslimin Sunni baik Arab maupun Kurdi, dengan alasan ketakutan perang antar faksi

atau kelompok tiada lain merupakan seruan untuk diam terhadap penjajahan (hal:

43).

Zarqawi berkata kepada sang hakim bahwa dirinya tidak mengakui Musyarri’

(legislator) selain Allah. Meskipun musyarri’ itu seorang alim, penguasa, parlemen

atau sesepuh klan. Ia menganggap semua yang menghukumi dengan selain syariat

Allah dan bekerja sesuai undang-undang konvensional di mana pemerintah

melaksanakannya, telah musrik kepada Allah (hal: 51).

Zarqawi tidak mengakui hukum konvensional dan tetap komitmen dengan syariat

Allah (hal: 51).

Dari sini kita pahami, dari balik suratnya kepada anggota klannya, Zarqawi

bermaksud menasehati agar orang-orang yang menyimpang kembali ke jalan yang

benar dan lurus (hal: 54).

Banyak berdalil dengan teks-teks agama, Zarqawi bermaksud ingin menunjuk akan

kepastian berdirinya Negara Islam atau khilafah Islamiyah (hal: 64).

Meski demikian, menurut Zarqawi, tidak mungkin menentukan waktu yang pasti

berdirinya khilafah atau Negara islam – karena hal itu bukanlah tugasnya. Tugas yang

ia emban adalah bekerja untuk agama dan menegakkan syariat, dan berusaha sekuat

tenaga untuk hal itu. Sedangkan hasilnya, “Kita serahkan kepada Allah SWT” (hal:

65).

Zarqawi mengingatkan mujahidin, bahwa mereka harus bersyukur kepada Allah atas

cobaan (mihnah) yang pada hakikatnya adalah karunia (minhah) besar lagi mulia dari

Allah. Inilah fitnah yang di dalamnya terkandung nikmat besar. Ia juga berkata,

“seandainya pada pendahulu pertama dari Muhajirin dan Anshar seperti Abu Bakar,

Umar, Utsman, Ali dan lainnya hadir pada zaman ini, tentu sebaik-baik amal yang

mereka kerjakan adalah jihad melawan kaum yang berbuat jahat itu” (hal: 71).

Zarqawi menertawakn sikap sebagian ulama yang menganggap aksi penyembelihan

sandera Amerika Berg – yang dilakukan sendiri dengan tangan Zarqawi – sebagai aksi

yang mencoreng citra islam di Barat. Ia berkata, “sebagian mediator berusaha untuk

menolong keledai keras kepala ini – maksudnya Nicholas Berg, sndera Amerika itu.

Meski akan berikan semua uang yang kami minta. Meski kami sangat membutuhkan

uang untuk menjalankan roda jihad, namun kami lebih memilih untuk membalas

dendam demi ikhwan dan umat kami” (hal: 74).

Problem yang saya hadapi adalah tergesa-gesanya akhi Zarqawi. Ia ingin segala

sesuatu engan cepat. Seolah-olah ia ingin mewujudkan semua yang diinginkannya

dalam beberapa bulan saja, bahkan kalau bisa dalam hitungan jam. Ketergesa-

gesaan ini merupakan factor ancaman yang mengintai dakwah kami (hal: 87).

Allah SWT telah menjadikan penjara sebagai terminal untuk belajar dan mengajar

ikhwan saya di dalam dan luar penjara. Di sana, Dia bukakan kepada kami futuhat

(kemenangan-kemenangan) yang seandainya musuh-mush Allah mengetahuinya,

tentu mereka sejenak pun mereka tidak akan memenjadrakan kami. Alhamdulillah

atas karunia dan nikmatNya (hal : 112).

Sedangkan Zarqawi, ia selalu berkata kepada orang-yang mengingatkan

kepergiannya meninggalkan negeri: bahwa ia adalah seorang yang mencintai jihad, ia

tak sabar untuk menuntut ilmu, mengajarkannya, dan berdakwah kepada Allah (hal:

113).

Zarqawi, menurut yang kami yakini, adalah pengikut akidah Ahlusunnah wal Jamaah.

Sesuai dengan manhaj kami dalam dakwah menuju tauhid, yaitu menampakkan dan

menyatakan agama Ibrahim dan bara’ah dari thaghut dan para pendukung mereka,

dan mengkafirkan mereka (hal: 119).

Poin –poin perbedaan dengan Zarqawi bukanlah hal baru bagi kami dan bukan satu-

satunya. Ratusan ikhwan yang dating kepada kami dari berbagai tempat di dunia

sebelumnya, juga berbeda pendapat dengan kami dalam beberapa hal. Semua itu

ujung pangkalnya pada pemahaman yang beragam akan beberapa sisi akidah yang

berkaitan dengan masalah Al-Wala’ wal Bara yang nantinya akan terkait dengan

masalah At- Takfir dan Al- Irja. Masalah kedua adalah soal metode amal dan interaksi

dengan realita yang melingkupi. Masing-masing sesuai ruang lingkup dan tanah

airnya (hal: 135).

Kini pola pikirnya bersifat global, mencakup seluruh realita umat islam secara umum;

Gigih, teliti dan berupaya untuk segera mewujudkan suatu tujuan menjadi salah satu

dari cirri sifatnya;

Gemar membaca dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia kini selalu

menjadi perhatiannya;

Zarqawi sangat mengagumi Nuruddin Zanki, sosok pemimpin Islam yang cerdas yang

memimpin proses pembebasan dan perubahan yang kemudian diteruskan oleh

pahlawan Salahuddin Al- Ayyubi;

Perhatian Zarqawi dengan orang-orang di sekelilingnya bertambah. Ia selalu

berdiskusi denganku tentang metode-metode yang bisa memperkokoh hubungan

social dan psikologis di antara mereka. Lalu ia mengambil sampel Rasulullah SAW

yang menikahi putri dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar; Aisyah dan Hafsha sebagai

tauladan yang seharusnya diikuti. Maka ia pun menikahi putri salah satu temannya

dari Palestina yang bergabung dengannya dari Yordania. Ia juga menghimbau teman-

temannya untuk menikahi putri teman-teman mereka yang lain dan sebaliknya,

padahal umur-umur putrid-putri mereka sangat kecil jika dibandingkan dengan umur

perempuan sebaya lain ketika menikah di dunia Arab. Dengan demikian, Zarqawi dan

ikhwannya menjadi satu keluarga yang saling asih dan asuh, dari semua segi; akidah,

social, dan ekonomi;

Dua tahun setelah bekerja dan membangun di Heart, Zarqawi mulai berpikir untuk

mengirimkan teman-teman terbaik yang dipercayanya ke luar Afghanistan untuk

berusaha di bidang penggalangan massa dan pengumpulan dana. Upaya ini, seingat

saya, dimulai dengan mengirim kader ke Turki dan Jerman. Karena ikhwan dari

Suriah yang bergabung dengannya mempunyai jangkauan yang baik di dua Negara

ini;

Zarqawi termasih salah satu ikhwan yang pernah saya temui, yang paling mempunyai

ghirah (sensifitas pembelaan) dengan kehormatan,darah, dan nama baik muslimin

(hal: 149).

Lampiran 2

Sekilas Profil Abu Mus’ab Al-Zarqawi

Zarqawi lahir di Yordania, di sebuah tempat kumuh bernama Zarqa. Kehidupan kecilnya

merupakan kehidupan badui, yang terkenal dengan watak baik, cepat melupakan kesalahan,

cintanya kepada orang sepintas lalu. Selain itu dia memiliki sifat mulia, berani, ramah dan

pendendam. Ada beberapa pilar yang membentuk wataknya. Diantaranya adalah kehidupan

baduinya, ibundanya, dan Abu Muhamad Al-Maqdisi. Zarqawi kecil merupakan anak yang

moderat, hidup dalam kesadaran tentang hidup bersama kejahatan dan kebaikan sekaligus.

Didikan yang diberikan oleh orang tuanya dengan cara konservatif. Setelah melakukan jihad

di afghanistan, ia mendirikan jamaah Tauhid yang isinya berupa doktrin jihad di masjid-

masjid dan tempat perkumpulan pemuda. Karena kegiatan tersebut, ia dan al-Maqdisi

dimasukkan ke penjara oleh keamanan Yordania. Dan dari penjaralah dia banyak belajar.

Konstruk Deskripsi Keterangan

Moderat - Pada masa kecil, Zarqawi merupakan orang yang moderat, karena ia tumbuh dengan kesadaran tentang

hidup bersama kejahatan dan kebaikan sekaligus

Hal.11

Konformitas

kelompok - Teman-teman baru Zarqawi pada masa sekolah tingkat atas mayoritas berasal dari berbagai jamaah

islam, dengan berbagai ijtihad yang berbeda, sama-sama mendorong kaum muda untuk berjihad,

sehingga ide jihad dan mati syahid tumbuh berkembang.

Hal. 11

Religius - Belajar agama di penjara dan menghafal Al-quran di penjara.

- Zarqawi adalah orang yang sederhana, kalem, banyak diam, ia menghabiskan waktu luangnya untuk

menghafal Alquran, penuh perhatian kepada shalat fardu dan qiyamullail.

- Mencintai ibunya dan menempatkan ibunya di tempat yang Agung (Taat orang tua)

Hal.19

Hal.23

Hal.25

Pengambil

keputusan - Sikap tegas dan kharismatik mampu menarik anggota organisasi penjara untuk tunduk dan

menyerahkan tongkat kepemimpinan sehingga ia menjadi pengambil keputusan

Hal.20

Agresif - Membunuh seorang tahanan Amerika, Nicholas Berg, dengan cara menggorok lehernya.

- Zarqawi tidak puas dengan Al-Qaidah dan Taliban. Keduanya kurang keras dalam memukul musuh-

musuh Allah. Baginya, aksi-aksi harus lebih berdarah dan menyakitkan.

- Melakukan serangan bom mobil thd Izzudin Salim

- Menyerang kantor-kantor polisi dan tentara Iraq dan menyatakan siap membunuh Iyad Alawy (PM

Iraq) dengan menyiapkan racun yang mematikan dan pedang yang tajam

Hal.44

Hal.29

Hal.76

Hal.61, 69

Radikal - Menganggap kafir orang-orang yang mengambil selain Allah sebagai legislator, baik itu ulama,

parlemen, ketua suku dll.

- Zarqawi tidak mengakui hukum konvensional dan tetap komitmen dengan syariat Allah.

- Menganggap kepastian berdirinya negara islam atau khilafah Islamiyah

- Menganggap bahwa tugas yang ia emban adalah bekerja untuk agama dan menegakkan syariat dan

berusaha sekuat tenaga untuk hal itu.

Hal.27

Hal. 66

Hal.51

Hal.64

Hal.65

Leadership - Zarqawi bermaksud menasihati agar orang-orang yang menyimpang, kembali ke jalan yang benar dan

lurus

- Memimpin kelompok di penjara

Hal.54

Hal.20

Ambisius - Zarqawi ingin segala sesuatu dengan cepat, seolah-olah ia ingin mewujudkan semua yang

diinginkannya dalam beberapa bulan saja

Konservatif - Orang tua Zarqawi mendidiknya dengan cara konservatif, di tengah-tengah situasi ekonomi yang

sempit dengan jumlah keluarga besar.

Hal. 25

Sekilas tentang Buku Abu Muhammad Al-Maqdisi (Mereka Mujahid, Tapi Salah Langkah)

Rentetan kejadian bom bunuh diri sempat mewarnai headline koran ibu kota. Setelah beberapa hari,

diketahui pelakuknya memiliki nama islam. Mereka menyebut diri mereka sebagai jihadis. Cara

mereka seperti itu dianggap salah oleh Abu Muhammad Al-Maqdisi, penulis buku “waqafaat ma’a

tsamrati jihad”. Isi buku tersebut adalah kekeliruan-kekeliruan para mujahid muda yang bermodalkan

semangat, tidak punya taktik dan strategi untuk melakukan jihad. Mereka tidak memikirkan jihad itu

sendiri secara mendalam. Karena yang ada hanya memperburuk citra jihad dan umat. Isi buku tersebut

adalah nasehat dan renungan bagi mereka yang ingin berjihad, bahwa berjihad tidak selalu

menggunakan bom jika targetnya 1 atau 2 orang. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan pistol.

Selain itu, jihad mestinya dilakukan dengan target yang lebih besar, yang bisa melumpuhkan orang

kafir, thaghut, dan salibis.

Selain itu, ancaman-ancaman teror yang nyatanya tidak terbukti hanya membuat orang kafir malah

tidak takut. Seharusnya teror diumumkan sesuai dengan kekuatan yang ada, sehingga para thaghut

takut dan memperhitungkan ancamannya.

Hal yang saat ini menjadi fokus jihadis adalah nikayah atau melukai, menyerang, dan melumpuhkan

orang kafir. Padahal yang paling penting adalah tamkin yaitu menguasai sebuah wilayah dengan

pemimpin yang paham ilmu syar’i dan fiqhul waqi’.

Para teroris dalam buku ini dijelaskan memiliki semangat yang tinggi dan tidak memiliki strategi.

Seharusnya mereka mengisi terlebih dahulu keilmuwan mereka sehingga serangan-serangan yang

dilancarkan bisa efektif.

Al-Maqdisi merupakan orang yang memiliki keyakinan radikal, bahwa membunuh muslim yang

dijadikan tameng oleh musuh, jika mafsadat lebih besar lebih besar ketika mereka hidup daripada mati

(dhawabith Al-Maqdisi). Al-Maqdisi juga merupakan orang yang tegas, mempunyai jiwa leadership

yang tinggi, serta mempunyai pemikiran yang agresif.

Sekilas Profil Utomo Pamungkas alias Fadhlullah Hasan alias Mubarok alias Amin (Temanku,

Teroris?)

Lahir dari keluarga yang relijius, Bapaknya seorang guru agama yang memiliki karakter keras dan

tegas. Karena keras dan tegas itulah, maka pola asuh yang diterapkan adalah pola asuh yang otoriter.

Semenjak dimarahi ayahnya karena telah meminta sesuatu di kereta yang sedang lewat, Utomo kecil

menjadi orang yang serius. Ketika sudah di pondok menjadi orang yang karismatik, mempunyai jiwa

leadership, berorientasi pada tindakan progresif, dan punya kemauan yang keras.

Awal mula menjadi mujahid adalah ketika ditawari belajar di pakistan. Sesampai di pakistan, dia

diberi dua pilihan, mau belajar atau berjihad di afghanistan. Melihat kondisiAfghanistan yang

menyedihkan dan memprihatinkan, akhirnya fadhlul terpanggil untuk ikut latihan di Akademi Militer

Afghanistan di bawah pimpinan Abdul Rabbi Rasul Sayyaf. Jiwa pemberaninya muncul ketika harus

ikut di medan perang dan menjadikan tank, pesawat, dan suara morir familiar baginya. Cita-citanya

sebagai syuhada belum bisa tercapai di Afghanistan karena Allah belum memanggil dia.

Prinsip dan doktrin serta bai’at organisasi “sami’na wa atha’na membuat dia rela menjadi supir untuk

melakukan perjalanan teror Bom Bali I bersama Amrozi Cs. Padahal diketahui bahwa uang yang

digunakan untuk mendanai kejahatan tersebut berasal dari harta rampokan.

Konstruk Deskripsi Keterangan

Konformitas

kelompok

- Dari seluruh jamaah yang berangkat dari Indonesia, tak ada satupun yang berminat masuk

jamiah, sehingga memutuskan untuk ikut ke kamp pelatihan militer Afghanistan

- ....Sulit rasanya menolak permintaan seorang teman apalagi rumah kami bersebelahan.

- Sesungguhnya niat awal keberangkatan saya ke pakistan adalah untuk memperdalam ilmu

agama. Namun setelah di Peshawar, keinginan untuk menimba ilmu tak menarik lagi.

Saya lebih memilih untuk menuju kamp militer berjihad

- Sebagai mujahidin yang taat kepada atasan dan setia pada perintah organisasi....

Hal.19

Hal.257

Hal. 19

Hal. 29

Paham agama - Belajar agama di pesantren, sering ceramah

- Mengajar di almamater

Hal. 7

Leadership - Sering memberikan arahan kepada juniornya

- Akhi Fadlul banyak mengajarkan pada kami perihal teknis bagaimana menjalani

kehidupan sebagai santri

- Akhi fadhlul bisa memahami persoalan yang kami hadapi dan mencarikan solusi

- Aura seorang pemimpin tidak pernah surut

Hal.125, 127, 129

Hal.255

Keras - Laa islaama illa bil quwwah, tidak ada islam kecuali dengan kekuatan

-

Peduli - Deraan terhadap saudara seumat itu serasa mengiris-iris hati saya, maka tidak lain

menyambut panggilan jihad

Hal. 6

Radikal - Jihad adalah jalan satu-satunya untuk membaktikan dirinya untuk umat dalam arti yang

sesungguhnya

Hal. 6

Akademis - Dahaga untuk mempelajari ilmu islam semakin hari semakin mengental dalam diri saya.

Ingin rasanya saya melakukan hijrah ke mersir atau Madinah sebab disanalah letak mata

air ilmu-ilmu islam

Hal. 7

Ambisius - Setiap kali usai shalat saya selalu memanjatkan permohonan kepada Allah, semoga

dimudahkan setiap jalan bagi diri saya untuk menuju Pakistan secepatnya

- Setiap kali menjalankan ibadah sholat, saya memanjatkan doa memohon syahid.

- Tidak ada kerinduan dengan keluarga, yang ada hanyalah kerinduan akan menjadi

syuhada

Hal. 9

Hal. 37

Hal. 37

Sebelum Jadi Teroris

Bersahabat - Sikapnya yang bersahabat membuatnya seperti telah lama mengenalku Hal. 118

Bijaksana - Sebagai ketua kamar sekaligus senior kami, dia cukup bijaksana Hal. 119

Leadership - Sebagai ketua kamar sekaligus senior kami, dia cukup bijaksana

- Dia adalah kakak kelas yang dapat memberikan motivasi bagi adik-adiknya. Kami sering

memanggilnya dengan akhi. Bagiku panggilan itu tidak hanya menempatkannya sebagai

kakak yang layang dihormati, tetapi sekaligus menempatkannya sebagai guru muda dan

pemimpin kami.

- Sebagai santri senior aku harus memberikan arahan kepada junior. Tidak ada yang lebih

atau kurang, semua berlaku sama. Membantu junior dan membantu memahami kehidupan

pesantren itu kewajibanku. Itu sudah panggilan jiwa

- Akhi fadlul selalu bisa memahami persoalan yang kami hadapi

Hal. 119

Hal. 126

Hal. 127-128

Hal. 129

Tegas - Dengan nada tegas, akhi Fadlul menyampaikan amanat pondok kepada kami

- Menegaskan peraturan pesantren

Hal, 120

Hal. 125

- Jika mengajar, maka sikapnya menjadi tegas, suaranya keras Hal. 132

Kuat - Dalam masalah beladiri, kemampuannya tak diragukan lagi. Beberapa kali aku melihat

akhi fadlul melatih pukulan, tendangan, dan tangkisan

Hal. 133

- Doktrin Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan sangat terpatri dalam kesadarannya.

Baginya musuh islam ada di mana-mana sehingga setiap muslim harus membekali dirinya

dengan fisik yang kuat dan ilmu bela diri yang baik. Jika sewaktu-waktu situasi

membutuhkan, kita harus siap sedia memenuhi panggilan untuk membela kebenaran

Relijius - Untuk orang seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat beribadah Hal. 135

Konsisten - Dia betul-betul konsisten dengan pilihan dan niatnya yaitu ingi menjadi ahli agama, dia

semata ingin mengabdikan dirinya untuk mushola di desanya.

Hal. 163

Sekilas profil Ali imron (Ali Imron sang Pengebom)

Konstruk Deskripsi Keterangan

Religius - Mulai saat itu saya berusaha untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dari

sebelumnya. Mulai berusaha rajin belajar, memperbaiki pemikiran, memperbaiki

amala sehari

Hal.4

Konformitas

kelompok - Sebagai orang yang pernah belajar ilmu perang, sebenarnya saya tidak menghendaki

bertugas di pondok, karena latar belakang bukan dari pesantren. Namun karena hal

itu adalah tugas, maka saya harus menaati dan melaksanakan tugas tersebut sesuai

dengan kemampuan saya

Hal.25

Berani - Menanyakan kepada Ali Ghufron terkait rencana bom bali, apakah disetujui oleh

anggota

- Menanyakan kembali apakah Bom Bali akan benar-benar dilakukan karena

diberitakan bahwa AS mencurigai di Indonesia ada teroris

- Melawan aparat dengan pistol

Hal.34

Hal.84

Hal.132-137

Agresif - Menempatkan Amerika sebagai musuh utama yang harus diperangi pasca runtuhnya

uni soviet

- Terlibat dalam pengeboman Kedubes Filipina,

- Membalas kaum kafir

- Merakit bom dengan pupuk dan bahan kimia lainnya

- Mendambakan medan jihad dengan menjadikan peristiwa Ambon sebagai lahan

berjihad

- Membalas kaum kafir

- Ingin sekali berjihad di Ambon dengan mencari-cari kerusuhan antaragama

- Merencanakan bom manado ketika akan ada pertemuan Kristen

- Mengebom Gereja pada malam Natal

- Persiapan melawan aparat ketika hendak dikejar

Hal.38

Hal.54

Hal. 53

Hal. 57

Hal. 59-61

Hal. 6-4-71

Hal. 132-135

Radikal - Tidak ada cara yang efektif untuk mengubah semua kerusakan di Indonesia kecuali

dengan adanya medan Jihad yaitu terjadinya peperangan antara kebenaran dan

kebatilan. Adanya jihad akan mudah menyelesaikan masalah krisis multidimensi

yang menimpa negara ini.

- Saya senang mengajarkan kepada anak-anak murid tentang jihad dan selalu

mengobarkan jihad kepada mereka

- Dalam keyakinan saya, apabila dalam hati seorang muslim tidak ada keinginan untuk

berperang lalu ia meninggal, maka dalam dirinya ada sifat kemunafikan

- Syariat Allah harus diberlakukan secara menyeluruh

Hal.51

Hal. 27

Hal. 42-43

Tidak kerasan - Pindah-pindah sekolah walaupun baru sebentar Hal. 3

Peduli - Saya juga mempunyai keinginan untuk ikut andil dalam berjuang membela agama

islam dan kaum muslimin dari musuh-musuhnya seperti yang terjadi di Palestina dan

Afghanistan

Hal. 4

Keinginan kuat - Berusaha untuk berangkat ke Afghanistan untuk menjadi Mujahid Hal. 5

Patuh - Karena sudah menjadi keinginan diri saya sendiri untuk terjun di tempat seperti itu

(kamp militer.pen), maka konsekuensinya sya harus menaati semua peraturan yang

ada dan harus menaati semua peraturan yang ada dan harus mengikuti semua

program sekalipun terasa berat

- Sebagai lulusan akademi perang, sebenarnya saya tidak ingin mengajar di pesantren,

tapi karena itu tugas, maka saya harus menaati dan melaksanakan tugas tersebut

sesuai dengan kemampuan saya

- Sebenarnya saya hanya ingin bertugas di tempat yang memungkinkan bisa

memegang senjata dan menggunakan bom, bukan di pondok pesantren. Namun

karena itu tugas dari atasan, maka mau tidak mau saya harus taat dan melaksanakan

tugas yang diperintahkan

Hal. 15

Hal. 25

Hal. 31

Tekun - Beban berat tersebut selalu tidak kami hiraukan karena meyakini bahwa itu semua

adalah ujian di medan I’dad (pelatihan)

Hal. 21

Pintar - Saya menjadi tempat untuk bertanya terkait masalah jihad

- Berkali-kali lolos dari pengejaran polisi

- Pintar melobi orang-orang yang membantunya untuk melakukan pelarian dan

persembunyian

Hal. 26

Hal. 150-156

Aktif - Sejak akhir 1996 saya sudah aktif ikut membantu mengurusi dan mengajar di pondol

pesantren Al-Islam, selain itu mengikuti kegiatan di Jamaah Islamaiyah

Hal. 31

Sekilas Profil Ed Husain (The Islamist)

Ed Husain merupakan penganut islam radikal kurang lebih selama lima tahun. Setelah menolak faham

ekstrimis, dia sekarang tinggal di London bersama dengan istrinya dan sedang menjalani Doktornya.

Konstruk Deskripsi Keterangan

Kesepian/dikucilkan - We grew up oblivious of the fact that large numbers of us were somehow different

- Pakis! Pakis! F___ off back home!

- I continued to be a loner at school, occasionally bullied, frequently sworn at, and

regularly ignored in most classes

Hal. 2

Hal. 8

Moderat - My mother would take us to see santa Clauss every year after the school

christmast party

Hal. 3

Tertutup - We are extremely close family Hal. 8

Sederhana - We were not particularly wealthy, nor especially poor Hal. 8

Relijius - I had attended Koran classes at weekends, studied with my mother at home, but

not with any pasticular intention to recite in public

- I now wanted everything to do with islam

- Membaca buku-buku islam ideologis

Hal. 11

Hal. 20

Hal. 36

Puritan - Mengidam-idamkan negara islam

- Diracuni pemikiran bahwa orang yang tidak mengikuti Mawdudi bukan muslim

sesungguhnya

Hal. 34

Hal. 45

Pemberontak - Kabur dari rumah

- Merasa bebas ketika orang tua melepas kepergiannya

Hal. 47

Sekilas Profil Imam Samudera (Aku Melawan Teroris.Pdf)

Konstruk Deskripsi Keterangan

Fanatisme - Sedari awal telah kukatakan kepada segenap Tim Pengacara Muslim (TPM) bahwa, tidaklah

layak aku menulis autobiografi, karena memang tidak layak. Orang-orang yang ditakdirkan

telah ditinggikan dan diharumkan namanya oleh Allah semisal Syaikh Usamah bin Ladin, atau

Syaikh Maulawi Mullah Umar, dan tokoh-tokoh mujahidin lainnya –hafizhahumullah– itulah

yang patut ditulis dan dikenang biografi mereka

Pengantar

Relijius

(sebelum jadi

teroris)

- Pertama kali beliau mengajakku ke masjid ketika umurku empat tahun.

- Masih tetap datang ke masjid meskipun kakek sudah meninggal.

- Sekolah di madrasah sepulang dari SD

Hal.15

Hal. 16

Pintar - Sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Ingin sekali sekolah meskipun belum cukup

umur

- Menjadi bintang pelajar

- Menjuarai cerdas cermat SD tingkat kecamatan

Hal. 16

Hal. 18

Puritan - Tidak ada teguran sekalipun aku telah bergaul dengan bukan mahram. Kalau di kota yang

terkenal religius saja sudah seperti itu, bagaimana pula pergaulan di kota lain?

- Membenci para wanita

Hal.21

Hal.23

Membaca

buku jihadis

- Semangat membacaku menggila Hal.

Tertutup - Kebanyakan membaca buku membuatku kuper Hal.26

Sekilas tentang Kemala (Demi Allah, Aku jadi Teroris)

Kemala merupakan seorang teroris yang ingin melakukan bom bunuh diri di salah satu kafe di

Jakarta. Masa kecilnya memang kurang bahagia. Ia lahir dari hubungan gelap. Ibunya meninggal saat

dia berumur 3 tahun. Setelah itu ayahnya meninggal karena kecelakaan sesaat setelah menengok

Kemala di rumahnya. Dia merupakan orang yang tertutup, namun banyak teman, pintar menari. Awal

mula perkenalan dia dengan dunia teror adalah saat ia mengikuti pengajian bersama temannya saat

kuliah dulu. Dalam pengajian tersebut, ia didoktrin dengan hukum Allah, negara Islam dan keindahan

surga. Dia ikut menjadi jamaah dan membayar beberapa jumlah uang untuk pembaiatan. Awalnya

Kemala curiga dengan mekanisme pembaiatan. Karena dia menolak, dia lalu diperkosa oleh anggota

jamaah. Setelah diperkosa kemudian harapannya untuk hidup layak pudar, tidak bersemangat hidup.

Tapi pada saat itu ada nggota Jamaah perempuan yang menyemangati, mengajari agama, diberikan

tayangan-tayangan jihad, sehingga setelah setengah tahun menjadi wanita militan.

Dia ingin mati syahid, akhirnya, gurunya menawarkan untuk melakukan bom bunuh diri untuk

menghancurkan orang kafir. Dia awalnya, menyamar menjadi penari striptease kafe. Untung saja ada

pria yang menggagalkan aksi terornya itu, seorang polisi yang jatuh cinta kepadanya. Akhirnya

Kemala dipenjara dan hidup tenang dengan polisi terserah setelah kemala bebas dari penjara.

Konstruk Deskripsi Keterangan

Kesepian dan

butuh kasih

sayang

- Sejak kecil sudah piatu karena ditinggal ibunya karena sakit. Kemudian ditinggal oleh

Ayahnya.

- Madewi tidak pernah memberikan cukup baginya (kemala), menemani putrinya, dan juga

tidak sebuah figur ayah

Hal.37-42

Hal. 49-50

- Kemala merindukan figur seorang ayah

- Kemala: “Tante, aku mohon. Jangan tinggalkan aku sendiri, “tangisnya waktu

Hal. 53

Sensitif - “oom boleh dateng lebih sering ke sini,” kata Kemala perlahan, mulai melangkah pelan. Ia

merasa yakin bahwa pria ini memiliki hubungan dengan ibunya.

Hal.49

Tidak ingin

dikasihani - Sekarang, semua orang menatapnya dengan pandangan kasiha – sebuah pandangan yang tidak

disukai kemala, dan ia merasa menjadi merasa terasing di rumahnya sendiri.

Hal.37

Pintar - Kemala merupakan mahasiswa kedokteran yang mendapatkan beasiswa, yang haus akan

siraman keagamaan.

Hal.53, hal.

Relijius - Sering mengikuti pengajian di kampungnya.

- Kemauannya untuk mengaji sangat tinggi pada saat kuliah. Sehingga dia mencari ustaz untuk

ikut pengajian bersama temannya

- Sholat adalah salah satu ibadah rutin yang dilakukannya, dan kemala sangat menyukai saat-

saat itu, ketika ia berkomunikasi dengan Allah.

Hal. 57

Hal.70

Hal.80

Introvert - Ia memiliki banyak teman dan kepribadiannya tertutup, dia sangat tertutup kuhusunya kepada

laki-laki.

Hal.58, 85

mudah

terdoktrin - Didoktrin tentang negara Islam dan pembaiatan, mendambakan satu hukum Allah (puritan),

setelah melihat film perang di Afghanistan, setelah satu tahun menjadi wanita militan. Ia tidak

yakin ia mengenal dirinya. Dirinya telah ia selimuti dengan sebuah keyakinan kuat bahwa

yang dilakukan adalah suci...

- Didoktrin mengenai kehidupan ideal surga

- Konsep hijrah

- Kemala semakin aktif membaca buku-buku yang diberikan Fatima. Semakin lama,

pemikirannya semakin mengarah pada sebuah paham. Kebencian yang semula dirasakannya,

mulai dapat dikendalikannya. Ia telah menjadi pribadi yang baru

- Setelah satu bulan dijejali film-film peperangan. Saat film-film itu kembali diputar dan

kesakitan itu dieksploitasi dalam satu sisi, kemala pun akhirnya bangkit berdiri. “kita harus

memerangi ketidakadilan ini

Hal. 78, 201

Hal. 79

Hal. 97

Hal. 143

Hal. 148

Assertif - Tidak mau menanggapi laki-laki sekalipun laki-laki itu sangat hebat

-

Hal. 59

Leadership - Mengajar tari anak-anak SD

- Kemala tersenyum dan bertepuk tangan untuk memberikan apresiasi pada upaya kerja keras

mereka dan mengangguk

Hal. 63

Hal. 66

Traumatis

diperkosa - Kemala diperkosa oleh tiga orang dari aliran sesat tersebut Hal. 119-120

Militan - Setelah lebih dari setengah tahun, Kemala telah menjadi wanita militan

- Kemala: “Saya siap melakukan apaun (termasuk bom bunuh diri) demi Allah”

Hal. 151

Hal. 154

Sekilas tentang Biografi Osama bin Laden (Growing Up bin Laden)

Awal mula keterlibatan Osama dengan dunia jihadis ketika pada tahun 1979, Uni Soviet memerangi

Afghanistan. Melihat kondisi semacam itu, Osama hatinya terenyuh dan memulai untuk membantu

saudara-saudaranya di sana. Dimulai dari pengumpulan dana untuk membeli persediaan makanan dan

obat. Terpengaruh oleh pemikiran Abdullah Azzam, mereka bertemu di peshawar, memikirkan

metode pengiriman makanan, obat-obatan dan senjata.

Konstruk Deskripsi Keterangan

Kurang kasih

sayang - Yatim dalam usia 10 tahun

- Osama: kakekmu tewas pada saat aku berusia 10 tahun

Hal.13

- Dan aku tak punya kesempatan kedua untuk bertemu secara pribadi dengannya Percaya diri,

lembut, serius - ... bahwa dia pemuda yang percaya diri, tapi tak arogan. Dia lembut, tapi tak lemah. Dia serius,

tapi tak bengis,

- Akhirnya, suamiku menatap ke arahku. Dia tidak berteriak, tapi berbicara dengan lebih lembut

dari biasany, suaranya selembut sutra. “Najwa, Omar itu anak lelaki. Pakaikan pakaian anak

laki-laki padanya. Potong rambut panjang ini.

- ...dikenal sebagai anak bin Laden yang serius..

- Tak pernah aku mendengar ayahku menaikkan suaranya karena marah pada ibuku.

- Dia sangat jarang tertawa..

- Ayah begitu serius sehingga jarang sekali membicarakan tentang peristiwa kehidupan

pribadinya

Hal.53

Hal.68

Hal.69

Hal. 274

Kuat, tegas dan

keras - Meskipun sikapnya tenang, tak ada yang pernah menganggap osama lemah, karena karakternya

kuat dan tegas, osama selalu menyukai jalan kaki.

- Ayahku yang keras kepala menampik dengan kasar ajakan mereka untuk dialog yang rasional,

memperbesar keluhannya sampai luka kecil akhirnya bernanah menjadi borok yang membusuk.

- ..Aku percaya bahwa begitu dia tahu putra-putranya berada dekat dengan anak-anak perempuan

yang dekat dengan anak perempuan yang bukan dari keluarga kami, kami akan segera ditarik

dari sekolah

- Menolak keinginan raja Fahd

- Ayah begitu keras........

Hal.13, 14

Hal. 181

Hal. 210

Hal. 269

Berani - Menghadapi gangguan dua orang yang sedang marah kepadanya

- Siap secara mental untuk merespons invasi soviet di Afghanistan

Hal.15

Hal. 49

Pendiam dan

pemalu - Sikap dia osama membuatku gusar...” ia lebih pemalu daripada “perawan di balik cadar”

- Ayah punya kebiasaan mengalihkan pandangannya kapanpun dia berada di tempat umum.

Apakah ini karena sifat pemalunya atau karena dia berhati-hati untuk tidak memandang wanita

yang bukan keluarganya

Hal. 20

Hal. 253

Konservatif - Osama begitu konservatif sehingga aku juga akan tinggal di Purdah, atau pengasingan, jarang

meninggalkan rumah baruku

- Kami tidak punya televisi karena suamiku tidak ingin keluarganya dirusak dengan tayangan-

tayangan dalam televisi.....

- Osama: Ajaran islam dikorupsi oleh modernisasi. Tidak ada AC, kulkas, pemanas ruangan..

- Suamiku tak percaya pada mainan moderen untuk anak-anak kami

- Ayah kami melarang minuman ringan dari Amerika

- Ayah tetap yakin sebagai muslim, kami harus hidup sesederhana mungkin, mencela kehidupan

modern

- Ayah tampak menikmati melihat kami menderita, mengingatkan kami bahwa hal yang bagus

bagi kami untuk mengetahui rasanya lapar atau haus., tak punya apa-apa saat yang lain punya

banyak.

- Ayah melarang kami untuk bergaul dengan orang kristen

- Ayah menyuruhku berobat dengan pengobatan tradisional

- Ayah menolak modernisasi kompleks itu, menegaskan prinsipnya bahwa keluarganya dan para

pejuangnya harus hidup dengan sederhana

Hal.21

Hal.54

Hal.71

Hal.

Hal. 182

Hal. 190

Hal. 191

Hal. 196

Hal. 257

Hal. 351

Menghargai istri - Kata Osama: “ bagiku kau adalah mutiara yang berharga yang harus dilindungi Hal.27

Relijius - ... aku tahu suamiku adalah seorang ahli agama

- Ayahku dikenal oleh semua orang di dalam dan di luar keluarga sebagai anak bin Laden yang

serius, yang semakin tenggelam dalam pelajaran agama

Hal.27

Hal. 67

Tenang - Aku mengenal ayahku sebagai orang yang sangat tenang, tak peduli apapun yang terjadi

- Tetap tenang walaupun dihina oleh Mullah Umar

Hal. 63

Hal. 416

Penyayang - Menyayangi binatang

- Menyayangi anak-anaknya..

Hal. 73

Hal.74

- Tidak membunuh kuda walaupun kuda tersebut ingin membunuhnya Hal. 188-189

Galak - Menjadi galak dan kejam terhadap anak-anaknya

- Ayah kami selalu mencela segala sesuatu yang mewah jika menyangkut keluarganya, sering

menyatakan bahwa kami tak boleh manja, dan kami memang tidak.

- Dia sangat mudah marah dan mencapai titik kekerasan dalam seketika

- Marah kepada Omar ketika Omar bersikap kritis

Hal.78

Hal. 177

Hal.

Hal. 410

Leadership - Setelah Osama menjadi pemimpin gerakan ini, ada ketegangan diantara sebagian

pengikutnya......

- Para pegawai dan veteran perang mengikuti instruksi ayahku untuk dengan tenang ..........

- Mengajari anak-anaknya untuk berani menghadapi dunia yang begitu liar

- Aku perhatikan bahwa para lelaki yang menemani ayahku adalah para pejuang Mujahidin dari

hari-harinya di Afghanistan, sementara yang lain adalah pengikut setia keyakinan ayahku

sehingga semuanya bersikap hormat padanya.

- Banyak tentara yang mengeras hatinya menjadi penjaga keamanan ayah, dengan tekun

melindungi ayah dan keluarganya,.. mereka memperlakukan ayah dengan kekaguman dan

hormat, berdiri merendah di belakang

- Zawahiri akan meminta izin pada ayah saat hendak bicara

Hal. 131

Hal. 163-164

Hal. 175

Hal. 186

Hal. 359

Loyal - Kesetiaan ayah pada kerajaan.... (pada awalnya) Hal. 140

Kitis - Aku kini tahu bahwa ayahku yang memulai pertikaian dengan keluarga kerajaan

- Ayahku bahkan mengaku bahwa keluarga kerajaan menawarinya beberapa posisi penting di

pemerintahan dengan syarat hanya agar ayah menghentikan kritik pedasnya kepada keuarga

kerajaan

Hal. 143, paragraf 2

Pintar loby - Ayahku meyakinkan salah seorang pangeran untuk membolehkannya meninggalkan Saudi

dalam rangka keperluan bisnis yang penting di Pakistan, berjanji pada pangeran yang baik hati

itu bahwa dia akan kembali ke saudi sebelum orang-orang menyadari kepergiannya

- Melobi ayahnya untuk mendapatkan mobil

- Dapat memohon kepada Mullah Omar untuk tinggal satu setengah tahun lebih lama lagi ketika

diusir oleh Mullah Umar

Hal. 144

Hal. 282

Hal. 419

Kreatif - Dia benar-benar memeras otaknya untuk menemukan cara baru memproduksi bunga matahari

terbesar dunia

Hal. 159

Egois - ...Entah karena alasan apa suamiku berubah pikiran dan memutuskan ladin harus diganti

namanya menjadi Bakr.

Hal. 172

Tepat janji - Para veteran Mujahidin itu memberi tahu kakak dan aku bahwa ayah adalah salah satunya yang

tak pernah melupakan mereka dan tak pernah mengingkari janjinya.

-

Hala. 186

Agresif - Dunia islam harus menyerang dulu sebelum diserang... untuk pertama kalinya aku merasakan

bahwa ayah kecanduan pola berpikir yang agresif sehingga bisa membahayakan kami semua.

- Marah karena harus meninggalkan Saudi selamanya, dia menyalahkan Amerika dan keluarga

kerajaan Saudi. Kemarahan ini meningkatkan tekadnya untuk melakukan serangan teroris di

Amerika Serikat dan Arab Saudi

- Sangat membenci Amerika

- Ingin memusnahkan Amerika

- Osama terbiasa dengan semangat para prajuritnya, orang-orang yang berpegang pada setiap

kata-katanya, yang tidur, makan, dan minum hanya untuk menghancurkan orang lain

- Osama: Muslim harus menyerang sebelum diserang

- Ayahku tak menyesali perbuatannya, bahkan tidak dengan kematian muslim, Kita sedang

berperang. Jika musuh membuat dinding dari warga sipil di depan kantor militer, mereka harus

dibunuh lebih dulu

Hal.

Hal. 238

Hal. 261

Hal. 294

Hal. 295

Hal. 324

Hal. 401

Introvert - Ayahku tak pernah terbuka tentang perenungannya

- Ayahku tidak pernah mengenalkan aku pada teman-temannya

Hal. 232

Hal. 246

- Ayahku sangat tertutup Hal. 284

Peduli - Ayah sedih dengan kenyataan bahwa bangsa Afghan tidak bersatu untuk menyatukan kepingan-

kepingan negara mereka menjadi satu kembali

- Osama menganggap misinya mengubah dunia lebih penting daripada tugasnya sebagai suami

dan ayah

Hal. 255

Hal. 295

Lampiran 3

TEMANKU TERORIS?

Tetapi saya tidak mau menjadi Muslim yang hanya duduk-duduk menyaksikan

saudara seiman ditindas, tak mau hanya berteori dan berwacana, sementara bayi-

bayi dan perempuan, masjid dan rumah-rumah kaum Muslim Afghanistan

dihancurkan oleh mesin-mesin pembunuh Rusia (hal: 19).

Siapa bilang islam tidak mengajarkan revolusi? Siapa bilang islam tidak melahirkan

anak-anak revolusioner? Dalam buku catatan pemikiran jihad, ulaam As-Suri

mencatat Al-Maududi sebagai bagian dari pemikir jihad yang cukup berpengaruh

pada masa kini. Al-Maududi mendefinisikan jihad sebagai perjuangan revolusioner

untuk mencapai kekuasaan, demi kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Jihad

dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk: melalui karya tulis, dakwah, bekerja,

belajar, tetapi setiap muslim harus siap memasuki perjuangan senjata (hal: 41).

Pasca perang dunia II, ketika banyak Negara mencari identitas kebangsaan dan sibuk

merumuskan ideology perjuangan, jihad dalam pandangan saya adalah solusi dari

kebuntuan teori-teori gerakan social. Terutama di timur tengah, yang merupakan

pusat dari peadaban islam. Jihad merupakan inspirasi kebangkitan perlawanan

terhadap hegemoni barat yang telah lama menanamkan paham imperialism dan

kolonialisme (hal : 42).

Apapun keputusan organisasi harus ditaati dan dijalankan sebaik-baiknya. Itu ada

syarat mutlak seorang anggota jamaah (hal: 65).

Kenyataan yang sedemikian menggembirakan itu tidak didapat secara tiba-tiba. Allah

membukakan ilmu bagi umat yang belajar. Kedisiplinan juga merupakan factor

penting untuk mendukung keberhasilan proses belajar mengajar. Mendidik orang

biasa menjadi paramiliter sesungguhnya cukup sulit. Sebagai kadet-kadet, mereka

harus mengenal dan menerapkan disiplin militer. Latar belakang sebagai masyarakat

sipil menjadikan mereka terbiasa tidak menjaga kewaspadaan dan keamanan.

Padahal untuk menggunakan senjata, perilaku disiplin harus diterapakan. Kalau

tidak, bisa saja mereka baku tembak dan mencederai ikhwan yang ada di sekitarnya.

(hal: 71).

Akhi fadlul banyak mengajarkan kepada kami perhal teknis bagaimana menjalani

kehidupan sebagai santri. Sikap kepemimpinannya menciptakan rasa segan pada diri

kami. Di antara kami, tak ada yang berani menyangkal atau memprotes akhi fadlul.

Tanpa harus dipaksa, kami merasa perlu menaati dan menjadikannya pemimpin yang

harus senantiasa dihormati segala keputusannya (hal: 125).

Doktrin “Islam harus ditegakkan tidak sebatas ucapan” sangat terpatri dalam

kesadarannya. Baginya, musiuh islam ada di mana-mana sehingag setiap muslim

harus membekali dirinya dengan fisik yang kuat dan ilmu beladiri yang baik. Jika

sewaktu-waktu situasi membutuhkan, kita harus siap sedia memnuhi panggilan

untuk membela kebenaran (hal: 134).

Untuk anak seusianya, dia terlihat sempurna. Sabar, disiplin, dan taat beribadah.

Lebih-lebih, kudengar, akhi fadlul terbilang anak yang sangat cerdas. Hafal Al-Quran,

fasih menafsirkan hadis, lancer berbahasa arab dan inggris, juara kelas pula.

Pengamatanku itu sudah cukup memberi alasan untuk menyematkan label “senior

yang karismatik dan patut dicontoh” kepadanya (hal: 135).

Di pondok, kami betul-betul dididik untuk disiplin, menghargai waktu dengan

berlatih dan bekerja tanpa melupakan ibadah dan kewajiban sebagai muslim. (hal:

138).

Kerap dalam kesendirian yang pekat ini, saya juga mengingat kembali keterlibatan

saya dalam aksi jihad bom bali. Sebenarnya saya tidak terlibat langsung, hanya

rekening bank saya yang dipakai lewat untuk transfer dana. Disamping itu, karena

kuat menyetir ajrak jauh, saya diajak mengantar mobil yang akan dipakai dalam aksi

sampai ke Bali. Sulit rasanya menolak permintaan seorang teman, apalagi jika rumah

kami bersebelahan. Barangkali Amrozi juga senang mengajak saya karena saya jarang

bertanya-tanya, terutama menngenai hal yang bukan urusan saya. Itu adalah bagian

dari doktrin yang saya terima selama saya di organisasi JI (hal: 257-268).

Saya memang tahu teman-teman Amrozi cs akan melakukan aksi jihad di Bali. Tetapi

saya tidak tahu secara detail aksi mereka akan seperti apa. Karena saya “diam” dan

“tidak melapor” kepada polisi inilah, saya diputuskan bersalah dan dimasukan dalam

kategori pelaku penting. Apalagi polisi melihat background saya sebagai veteran

afghan dan pelatih militer di Mindanao, Filipina (hal: 258).

Factor pendanaan aksi pengeboman ini juga membuat saya berpikir ulang. Rasanya

ada yang salah dalam aksi itu sebab sebagaian uang operasionalnya berasal dari hal

yang masih aabu-abu, yaitu hasil rampokan sebuah took emas. Mungkin karena

kekurangbersihan dalam masalah dana ini, banyak madharat (kerusakan) yang kita

terima setelah aksi. Banyak ikhwan yang sebenarnya tidak setuju dan tidak tahu

menahu soal aksi ini tetapi kena pulutnya. Saya sering mengalami pergulatan batin

tentang dampak yang mesti mereka tanggung. Mereka sesungguhnya juga korban

dari perbuatan kami ini (hal: 258).

“Ini adalah jihad kami, untuk member pelajaran kepada Amerika, Negara Koran

tempat antum bekerja itu agar mereka tidak menzalimi islam”, jawabnya (hal: 261).

Tomo kecil menjalani kehidupan seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Namun,

anak seorang guru tentu tidak sebebas anak-anak lain dalam menentukan pergaulan.

Tomo kecil dididik ayahnya dengan keras. Kendati hidupnya sederhana, Tomo dan

keluarganya termasuk cukup terpandang, orang kampung memanggil ayahnya

dengan sebutan pak Guru (hal: 280).

Sebagai seorang guru, Pak Suharsono mendidik anaknya dengan keras dan tegas.

Beliau tidak ingin anak-anaknya mempunyai mental sebagai pengemis. Kejadian itu

tentu saja membuat beliau marah bukan kepalang (hal: 282).

Pengalaman demi pengalaman yang telah Tomo dapatkan sejak kecil mengukuhkan

kepribadiannya yang keras. Kemiskinan di depan mata adalah persoalan yang harus

segera dituntaskan. Maka pendidikan adalah jalan keluar (hal: 284).

Sebagai guru di sekolah Muhammadiyah, Pak Harsono mendidik anak-anaknya

dengan nilai-nilai islam yang kental. Tak heran jika Tomo kecil kemudian memiliki

minat kuat pada ilmu agama Islam (hal: 285).

“Barangkali saya termasuk beruntung, saat masuk Ngruki masih sempat bertemu

langsung dengan Ustaz Abdullah Sungkar dan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir” tutur akhi

Fadlul kepadaku. “Saya masih sempat mendapat pengajaran dari Ustaz Dullah dan

Ustaz Abu.” (hal: 289)

Kedua tokoh penting Ngruki ini mempunyai hubungan yang mirip dengan hubungan

Soekarno dan Hatta. Keduanya mempunyai karakter yang sangat berbeda, namun

mereka akur dan saling melengkapi. Perbedaan pendapat pasti terjadi. Tapi

kesamaan fikroh (pola pikir) membuat hubungan mereka sangat solid (hal : 289).

Ustaz Abdullah Sungkar adalah seorang orator ulung. Khotbahnya selalu memotivasi

para santri untuk bersemangat. Pesan-pesan yang beliau sampaikan kepada para

santri seingkali sangat berkesan. Akhi fadlul selalu mengingat pesan Ustaz Dullah

yang mengajak santri untuk belajar sungguh-sungguh karean diharapkan menjadi

pemimpin umat atau al ulama amilina fi sabililah: ‘seorang ulama yang menjalankan

misinya di jalan Allah’ (hal : 290).

Ustaz Abu bukan seorang orator seperti Ustaz Dullah. Retorika beliau cenderung

seperti mengajar guru kepada muridnya. Tenang, datar, dan dogmatis. Beliau lebih

banyak bicara masalah syariah atau hokum-hukum dalam islam. Beliau sering

berkata: “Ini kata Al-Quran –nya begini, ya, kita harus mengikutinya. Tidak ada jalan

tengah. Karena di dunia ini hanya dua, hizbullah, golongan Allah, atau hizbusy

syaithan, golongan setan. Tinggal kita mau pilih yang mana. Orang islam tidak bisa

abu-abu” (hal: 292).

Sebagai santri muda yang haus akan ilmu agama, akhi Fadlul semakin tekun menggali

ilmu Islam. Ngruki bagaikan ladang ilmu yang subur untuknya. Pemahaman akan

jihad islam di tuainya dari pondok pesantren yang dimusuhi orde baru ini. Ustaz-

ustaz Ngruki sering menyampaikan pembahasan jihan kepada para santri, tak

terkecuali akhi fadlul. “La islama illa bil quwwah, tidak ada islam tanpa kekuatan,”

pesan ustaz. “Pandai ilmu saja tidak cukup. Kita harus kuat secara fisik.” Kalimat

itulah yang membentuk akhi Fadlul menajdi remaja pemberani. Mulailah dirinya

mengikuti latihan beladiri di pondok. “Menguasai ilmu beladiri itu penting untuk

menjaga diri sendiri dan kehormatan islam. Kita para santri tidk akan gentar

menghadapi preman dan musuh-musuh islam.” Tegas akhi Fadlul kepadaku (hal:

296-297).

bagi akhi fadlul, masyarakat Indonesia telah mengalami dekadensi moral. Kalau

dibiarkan terus, generasi muda akan semakin meninggalkan islam. Oleh karena itu,

diperlukan kader-kader muda untuk memperdalam ilmu agama. Akidah islam tengah

menghadapi tantangan besar. Modernisasi di segala bidang, perkembangan

teknologi informasi, dan berbagai perubahan tengah melanda dunia. Maka, umat

islam saat ini berhadapan dengan zaman yang cepat berubah. Anak-anak muda

progresif seperti akhi fadlul diperlukan untuk menyambut panggilan jihad islam (hal:

298).

Sebagai santri, dirinya hanya mampu sami’na wa atha’na: ‘mendenga dan taat’ (hal:

299).

Anak-anak yatim yang ayahnya tewas karena serangan bom bunuh diri mengatakan

bahwa ayahnya dibunuh teroris. Sedangkan anak-anak yang ayahnya tertangkap

sebagai pelaku peledakan mengatakan ayahnya adalah jihadis, bukan teroris. Anak-

anak itu sama-sama beragama islam. Mereka membaca kitab yang sama,

menjalankan sholat yang sama, mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang

tiada berbeda, mereka berkiblat ke arah sama. Tidak ada perbedaan antara mereka

dalam hal keislaman (hal: 329).

Islam mengajarkan perdamaian kepada umat manusia dengan berbagai cara.

Persoalan jihan atau bukan jihad telah memicu perseteruan pendapat dan perang

dalil antar-alaim ulama dan merembes ke kalangan umat secara luas. Perdamaian

akan membawa suasana tenang untuk membuka lembaran penyelesaian. Bom

bunuh diri yang terjadi di Indonesia tidak hanya melahirkan anak-anak yatim.

Mereka yang direkrut telah meninggalkan rumah dan orangtua yang mencintai

mereka, tindakan para pelaku telah melahirkan stigma public terhadap suatu

keluarga, bahkan persoalan baru muncul manakala sebagian anggota jaringan pelaku

kemudian berhadapan dengan realitas hidup tanpa pekerjaan saat keluar penjara.

Sebagian mereka yang dihukum mati meninggalkan persoalan-persoalan yang tidak

sepele bagi anak-anak mereka yang masih kecil dalam mengarungi kehidupan

mereka yang panjang kemudian waktu nanti (hal: 330).

Kemenangan jihad adalah kemenangan semangat pembebasan umat manusia untuk

membangun perdamaian seluas-luasnya. Perdamaian diperlakukan untuk menata

kembali dunia yang telah porak poranda akibat peperangan (hal: 330).

“Para pelaku bom bunuh diri itu, kok , nggak pernah mencerna apa yang menjadi

keinginan mereka. Selama ini kami hidup dalam kedamaian dengan saudara kami

yang beragama Hindu”(hal: 340).

“Apakah manfaat aksi peledakan bom itu bagi islam? Bukankah kami ini muslim yang

kemudian menjadi korban dari satu pihak yang mengatasnamakan islam?” cecar

Mbak Laksmi. “Sebaiknya mereka tidak melakukan itu, sebab islam kemudian

dituding sebagai agama yang mengizinkan setiap orang untuk membinasakan satu

sama lain” (hal: 342).

Anak-anak itu menjadi “pengungsi” di negeri sendiri. Mereka harus menjalani

kehidupan yang asing. Ibu-ibu mereka menghadapi stigma miring sebagai janda atau

istri teroris di dalam lingkungan social mereka. Sementara, dengan segenap

kemampuan, mereka harus mengawal masa depan anak-anaknya (hal: 373).

i Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal

of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009 ii Schwartz, S.J & Dunkel, C.S. & Waterman, A.S. (2009). Terorism: An identity

theory perspective. Journal of Studies in Conflict & Terrorism, 32:537–559, iii Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to

countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World

Organization for Resource Development and Education.

iv Fathali M. Moghaddam, 2009. The new global American Dilemma and terrorism. Journal

of Political Psychology, Vol. 30. No.3. 2009

v Kruglanski A.W & Chen X & Dechesne M & Fishman S & Orehek E, 2009. Fully

Committed: Suicide Bombers’ Motivation and the Quest for Personal Significance.

Political Psychology, Vol. 30, No. 3, 2009

vi Fuad Hussein. 2008. Generasi Kedua Al-Qaidah: Apa dan Siapa Zarqawi; Apa

Rencana Mereka Ke Depan?. Solo: Penerbit Jazeera. vii Noor Huda Ismail. 2010. Temanku, Teroris? : Saat Dua Santri Ngruki

Menempuh Jalan Berbeda. Jakarta : Penerbit Hikmah viii Hediah Mirahmadi & Mehreen Farooq. 2010. A community based approach to

countering radicalization: A partnership for America.Washington DC: World

Organization for Resource Development and Education.

ix Wiktorowicz, Q. (2006). Anatomi of the salafi movement. Journal of Studies in

Conflict & Terrorism, 29:207–239