GATRA - Pustaka Ilmiah Universitas...

2
• Kamis 0 Jumat GATRA o Senin 0 Selasa 0 Rabu o Minggu o Sabtu 234567 17 18 @ 20 21 22 8 9 10 11 23 24 25 26 12 13 27 28 14 15 29 30 31 eJan OPeb o Mar OApr OMei OJun OJul 0 Ags OSep OOkt ONov ODes Soft Power clan Desentralisasi diAceh ejarah Aceh banyak diwarnai kekerasan. Sejak pemberontakan Daud Beureueh (1953} hingga Hasan Tiro (1976), pendekatan yang dipilih untuk menyelesaikan konflikAceh lebih banyak hard power, yakni dengan kekerasan dan militer. Padahal, masih ada opsi lain, yaitu penyelesaian konflik secara soft power. Dalam wacana politikinternasional, kon- sep soft power didefinisikan sebagai kapasitas dan upaya satu pihak untuk mempengaruhi pihak lain agar pihak lain tersebut mengikuti apa yang diinginkan pihak pertama. Berbeda dari hard power, soft power lebih banyak menggunakan pendeka tan nir-kekerasan yang mengedepankan daya tarik dan citra, yang dicahayai nilai-nilai yang dikagumi aoseph ye, 2004). Mulanya, soft power diperkenalkan Nye untuk menjelaskan interaksi hubungan politik antarnegara. Bagaimana satu negara dengan segala kehebatannya, baik nilai dan kebijakan di bidang politik, ekonorni, maupun sosial budaya, dapat mempengaruhi negara lain sehingga yang terakhir ini secara sukarela mengikuti keinginan pihak pertama, misalnya mencontoh kebijakan atau bekerja sama karena didorong oleh kekaguman. ]ikasoftpower, per definisi, dirujuksebagai kekuatannonfisik untuk "mempengaruhi" pihak lain, maka ia dapat juga digunakan untuk menjelaskan hubungan pusat-daerah: bagaimana pusat dapat mempengaruhi daerah agar dapat diajak bekerja sama. Dalam konteks Aceh, penerapan soft power dapat dimaknai sebagai upaya pusat dalam mernpengaruhi Aceh sehingga Aceh mau diajak bekerja sama untuk menyelesaikan konflik. Soft power di Aceh diimplementasikan melalui dua instru- men, yaitu "citra" dan "kebijakan". Terkait dengan instrumen citra, penyelesaian konflik Aceh didorong oleh iklim politik yang demokratis pasca-reformasi. SBY-]K terdorong untuk menyelesaikan konflik Aceh melalui soft power dengan dialog dan perundingan, karena mereka adalah pemimpin pertama yang terpilih melalui pernilu langsung yang demokratis sehingga memiliki "utang politik" untuk menyelesaikan konflik Aceh dengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Pendekatan SBY-]K yang lebih mengedepankan dialog dan perundingan ini disambut baik oleh elite GAM karena selama ini kedua tokoh itu, jauh sebelum menjadi presiden dan wakil presiden, memang memiliki citra sebagai tokoh yang selalu mengupayakan penyelesaian damai untuk Aceh. Di mata pimpinan GAM, citra SBY-]K sebagai tokoh yang mengusung nilai-nilai demokrasi dan pendekatan damai sudah cukup menjadi dasar untuk percaya kepada pemerintah. Instrumen kebijakan yang dipakai dalam penerapan soft power di Aceh berupa kebijakan desentralisasi. Desentralisasi diyakini sebagai resep jitu untuk meredarnkonfiik. Sejatinya, kebijakan desentralisasi dapat dijadikan instrumen untuk "menarikdanmempengaruhi" Aceh agarmau bekerja sama dalam menyelesaikan konflik. Proposisi ini senapas dengan pandangan yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat menciptakan stabilitas, kesatuan nasional, dan perdamaian (Rondinelli, 1981). Tetapi desentralisasi untuk Aceh sejak era Soekarno hingga Megawati untuk meredam pemberontakan Aceh ternyata sia- sia. Ada tiga alasan yang menyebabkan kegagalan itu. Pertama, penerapan desentralisasi ditujukan semata untuk menciptakan stabilitas politik itu sendiri, bukan untuk menyelesaikan konflik. Pendekatan stabilitas seperti itu mudah sekali mendorong pemerintah menggunakan hard power. Untuk mencapai stabilitas politik atau perdamaian, kebi- jakan desentralisasi harus diletakkan dalam bingkai penyelesaian konflik dalam bentuk pemberian otonorni khusus melalui dialog dan perundingan. Kedua, kebijakan desentralisasi dalam bentuk otonomi khusus bagi Aceh diberikan terlambat. Dikatakan terlambat, karena pusat memberi Aceh otonorni khusus setelah pemberontakan berkembang menjadi lebih serius, yang semula "hanya" menuntut otonorni di bidang sosial budaya dan agama berkembang menjadi tuntutan untuk merdeka. Ada dua fase dalam politik desentralisasi di Aceh. Fase pertama, ketika Aceh hanya menuntut keistimewaan dalam syariat Islam, seperti tuntutan pemberontakan Daud Beureueh. Alih-alih memenuhi tuntutan penerapan syariat Islam, dengan Undang- Undang (UU) Nomor 24 Tahun1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Perribentukan Provinsi Sumatera Utara, pemerintah hanya memberi Aceh status provinsi tersendiri yang terpisah dari Sumatera Utara. Pada titik ini, terlihat bahwa politik desentralisasi yang dijalankan pusat memang tidak ditujukan untuk menyelesaikan konflik. Fase kedua, ketika tuntutan Aceh berkembang menjadi le- bih serius, yaitu pernisahan dari Indonesia sebagai negara merdeka yang dicanangkan Hasan Tiro pada 1976. Pemberontakan Hasan Tiro lebih disebabkan ketidakadilan ekonorni. Untuk meredam 64 GATRA 25 JANUARI 2012 IUlplng Humaa Onpad 201,..

Transcript of GATRA - Pustaka Ilmiah Universitas...

• Kamis 0 Jumat

GATRAo Senin 0 Selasa 0 Rabu o Mingguo Sabtu2 3 4 5 6 7

17 18 @ 20 21 228 9 10 1123 24 25 26

12 1327 28

14 1529 30 31

eJan OPeb oMar OApr OMei OJun OJul 0 Ags OSep OOkt ONov ODes

Soft Power clan DesentralisasidiAceh

ejarah Aceh banyak diwarnai kekerasan. Sejakpemberontakan Daud Beureueh (1953} hinggaHasan Tiro (1976), pendekatan yang dipilihuntuk menyelesaikan konflikAceh lebih banyakhard power, yakni dengan kekerasan dan militer.Padahal, masih ada opsi lain, yaitu penyelesaiankonflik secara soft power.

Dalam wacana politikinternasional, kon-sep soft power didefinisikan sebagai kapasitas dan

upaya satu pihak untuk mempengaruhi pihak lain agar pihak laintersebut mengikuti apa yang diinginkan pihak pertama. Berbedadari hard power, soft power lebih banyak menggunakan pendeka tannir-kekerasan yang mengedepankan daya tarik dan citra, yangdicahayai nilai -nilai yang dikagumi aoseph ye, 2004).

Mulanya, soft power diperkenalkan Nye untuk menjelaskaninteraksi hubungan politik antarnegara. Bagaimana satu negaradengan segala kehebatannya, baik nilai dan kebijakan di bidangpolitik, ekonorni, maupun sosial budaya, dapat mempengaruhinegara lain sehingga yang terakhir ini secara sukarela mengikutikeinginan pihak pertama, misalnya mencontoh kebijakan ataubekerja sama karena didorong oleh kekaguman.

]ikasoftpower, per definisi, dirujuksebagai kekuatannonfisikuntuk "mempengaruhi" pihak lain, maka ia dapat juga digunakanuntuk menjelaskan hubungan pusat-daerah: bagaimana pusatdapat mempengaruhi daerah agar dapat diajak bekerja sama.Dalam konteks Aceh, penerapan soft power dapat dimaknaisebagai upaya pusat dalam mernpengaruhi Aceh sehingga Acehmau diajak bekerja sama untuk menyelesaikan konflik.

Soft power di Aceh diimplementasikan melalui dua instru-men, yaitu "citra" dan "kebijakan". Terkait dengan instrumencitra, penyelesaian konflik Aceh didorong oleh iklim politikyang demokratis pasca-reformasi. SBY-]K terdorong untukmenyelesaikan konflik Aceh melalui soft power dengan dialogdan perundingan, karena mereka adalah pemimpin pertamayang terpilih melalui pernilu langsung yang demokratis sehinggamemiliki "utang politik" untuk menyelesaikan konflik Acehdengan cara yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.

Pendekatan SBY-]K yang lebih mengedepankan dialogdan perundingan ini disambut baik oleh elite GAM karenaselama ini kedua tokoh itu, jauh sebelum menjadi presiden danwakil presiden, memang memiliki citra sebagai tokoh yangselalu mengupayakan penyelesaian damai untuk Aceh. Di matapimpinan GAM, citra SBY-]K sebagai tokoh yang mengusungnilai-nilai demokrasi dan pendekatan damai sudah cukup menjadidasar untuk percaya kepada pemerintah.

Instrumen kebijakan yang dipakai dalam penerapan softpower di Aceh berupa kebijakan desentralisasi. Desentralisasidiyakini sebagai resep jitu untuk meredarnkonfiik. Sejatinya,kebijakan desentralisasi dapat dijadikan instrumen untuk"menarikdanmempengaruhi" Aceh agarmau bekerja sama dalammenyelesaikan konflik. Proposisi ini senapas dengan pandangan

yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat menciptakanstabilitas, kesatuan nasional, dan perdamaian (Rondinelli, 1981).

Tetapi desentralisasi untuk Aceh sejak era Soekarno hinggaMegawati untuk meredam pemberontakan Aceh ternyata sia-sia. Ada tiga alasan yang menyebabkan kegagalan itu. Pertama,penerapan desentralisasi ditujukan semata untuk menciptakanstabilitas politik itu sendiri, bukan untuk menyelesaikan konflik.Pendekatan stabilitas seperti itu mudah sekali mendorongpemerintah menggunakan hard power.

Untuk mencapai stabilitas politik atau perdamaian, kebi-jakan desentralisasi harus diletakkan dalam bingkai penyelesaiankonflik dalam bentuk pemberian otonorni khusus melalui dialogdan perundingan. Kedua, kebijakan desentralisasi dalam bentukotonomi khusus bagi Aceh diberikan terlambat. Dikatakanterlambat, karena pusat memberi Aceh otonorni khusus setelahpemberontakan berkembang menjadi lebih serius, yang semula"hanya" menuntut otonorni di bidang sosial budaya dan agamaberkembang menjadi tuntutan untuk merdeka.

Ada dua fase dalam politik desentralisasi di Aceh. Fasepertama, ketika Aceh hanya menuntut keistimewaan dalamsyariat Islam, seperti tuntutan pemberontakan Daud Beureueh.Alih-alih memenuhi tuntutan penerapan syariat Islam, denganUndang- Undang (UU) Nomor 24 Tahun1956 tentangPembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan PerubahanPeraturan Perribentukan Provinsi Sumatera Utara, pemerintahhanya memberi Aceh status provinsi tersendiri yang terpisahdari Sumatera Utara. Pada titik ini, terlihat bahwa politikdesentralisasi yang dijalankan pusat memang tidak ditujukanuntuk menyelesaikan konflik.

Fase kedua, ketika tuntutan Aceh berkembang menjadi le-bih serius, yaitu pernisahan dari Indonesia sebagai negara merdekayang dicanangkan Hasan Tiro pada 1976. Pemberontakan HasanTiro lebih disebabkan ketidakadilan ekonorni. Untuk meredam

64 GATRA 25 JANUARI 2012

IUlplng Humaa Onpad 201,..

pemberontakan ini, pus at mengeluarkan DU Nomor 44Tahun 1999 yang memberi keistimewaan bagi Aceh.

Tetapi, sayang, keistimewaan itu hanya di bidangpendidikan, agama, dan adat, tidak untuk bidang ekonorniyangjustrumenjadi tuntutan utama pemberontakanHasanTiro. Pemerintah mereduksi konflikAceh seba tas isu sosio-kultural, bukan keadilan ekonorni. Namun, ketika tuntutanmerdeka oleh GAM semakin meningkat karena didorongsuasana politik domestik yang demokratis, barulah Pusatmengeluarkan DU omor 1812001 yangmemberikanhakatas pembagian pendapatan rnigas sebesar 70%. Namuntuntutan dan tekanan GAM telanjur semakin keras danakibatnya konflik berlanjut.

Penyebab ketiga gagalnya politik desentralisasidi Aceh, karena desentralisasi dalam bentuk otonomikhusus diberikan secara sepihak/unilateral, Dikatakansepihak, karena isi otonorni khusus itu hanya ditentukanpusat, bukan merupakan hasil perundingan dengan GAM.Untuk meredam pemberontakan Aceh, pemerintahanMegawati mengeluarkan DU Nomor 1812001 yangdigunakan sebagai basis bagi perundingan dengan GAM.Artinya, pemerintah mau berunding dengan GAM hanyajika GAM mau menerima otonomi khusus seperti diaturdalam undang-undang itu.

Di sini jelas terlihat, isi otonomi khusus Acehditentukan secara sepihak, tanpa ada perundingan ataunegosiasi dengan GAM. GAM menolak tawaran pe-merintah pusat ini. Lantas, ketika pemerintah mernba-talkan perundingan secara sepihak dan menetapkan da-rurat rniliter di Aceh pada Mei 2003, hard power kembalimenghiasi hari-hari di Aceh.

Belajar dari kegagalan pemerintahan sebelurnnya,pemerintahan SBY-JK mulai melihat perlunya komprorniantara kedua pihak dalam proses dialog dan perundinganmengenai isi otonorni khusus. Soft power mulai dicoba.Berbeda dari pemerintahan sebelurnnya, pemerintahanSBY-JK menjalankan politik desentralisasi denganmengajak GAM berunding mengenai isi otonorni khususuntuk Aceh. SBY-JK bersedia memberi Aceh otonomiyang luas (expanded autonomy) terkait dengan otonomipengelolaan sumber daya alam, penerapan syariat Islam,dan hak poli tik yang dituangkan dalam nota kesepahaman(MoU) Helsinki.

Dari perspektif hukum, kesediaan pemerintahberunding tentang isi otonorni khusus Aceh itu banyakmenuai kritik. Dikatakan, jika pemerintah mau berunding

dengan pemberontak, itu berarti menurunkan derajatPemerintah RI yang berdaulat. Tetapi, bukankah konflikAceh tidakmelulumasalahhukum? Dari perspektifpolitik,ekonorni, dan sosial budaya, konflikAceh adalah ancamanterhadapintegrasi bangsa, penyengsaraan rakyatAceh, danhancurnya peradaban. Karena itu, dibutuhkan keberanianpolitik pemerintah untuk "menurunkan derajat" secarapolitik agar terjadi dialog dan perundingan.

Teori transformasi konflik asimetris Miallmenyatakan bahwa pertikaian antara dua pihak yangasimetris bukan hanya disebabkan oleh perbenturan ke-pentingan, melainkan juga --dan ini yang lebih penting--disebabkan oleh struktur hubungan antara kedua pihakitu sendiri (Hugh Miall, 1999). Jika pemerintah tetapbersikukuh bahwa dirinya Iebih tinggi secara hukumdaripada pemberontak, maka dialog dan perundinganuntuk menyelesaikan konflik tidak akan pernah terjadi.Untuk itu, diperlukan kemauan sekaligus keberanianpolitik pemerintah untuk mengubah struktur hubunganpemerintah-pemberontak agar dapat berunding. Justrukesediaan pemerintah mengubah struktur inilah yangmemungkinkan terjadinya penyelesain konflik.

Selesainya konflikAceh melahli Mo U Helsinki pada2005 setidaknya memberikan dua pelajaran. Pertama,konflik Aceh yang berlarut-larut itu ternyata dapat di-selesaikan dengan pendekatan soft power, yaitu melaluidialog dan perundingan. Kedua, penyelesaian konflikAceh dimungkinkan karena adanya keberanian politikpemerintah untuk berunding dengan pemberontak.

Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, apakahdamai di Aceh akan berkesinambungan pasca-MoDHelsinki? Ada baiknya kita dengar pendapat Ramsbothamyang mengatakan bahwa penyelesaian konflik tidak berartihilangnya konflik itu sendiri (Oliver Ramsbotham, 2005).Pada hakikatnya, penyelesaian konfuk adalah upaya jangkapanjang untuk mentransformasikan keadaan dari konflikyang penuh kekerasan (violent conflict) ke proses perubahansosial dan politik secara damai (peaceful process).

Inilah yang sedang terjadi di Aceh. Konfuk asimetrisantara pemerintah dan pemberontak penuh kekerasankini tinggal sejarah. Yang terjadi sekarang adalah konflikdalam proses politik yang diwarnai dengan tarik-rnenarikkepen tingan antara pusat dan Aceh dalam menerjemahkanisi MoD Helsinki dan DU Pemerintahan Aceh ke dalamaturan perundangan turunannya.

Ketika proses politik dan tarik-ulur kepentinganitu terus terjadi, bukan tidak mungkin akan muncul benihkonflik baru. Benih konflik itu dapat tumbuh subur jika,di satu pihak, elite Aceh tidak dapat mengoptimalkankeistimewaan Aceh di bidang ekonorni berupa hak atas70% pendapatan migas dan, di pihak lain, pusat bersikapsetengah hati serta Iamban dalam mengejawantahkan isiDU Pemerintahan Aceh ke dalam aturan turunannya.

Kini Aceh sedang demam politik menjelang perni-lukada. Entah ada hubungannya atau tidak dengan pestademokrasi lokal itu, kini kekerasan secara sporadik munculkembali. Apa pun motif yang melatarbelakangi aksikekerasan sporadik itu, elite Aceh dan pusat hendaknyatidak melupakan pelajaran berharga yang diperoleh dariproses penyelesaian konflik Aceh beberapa tahun lalu:untuk menyelesaikan konflik, pendekatan soft power harusdikedepankan. III

DarmansjahDjumala

Diplomat RIbertuqasdi Polandia dandoktor bidang ilmupemerintahandari UniversitasPadjadjaran,Bandung

GATRA 25 JANUARI 2012 65