gastrocnemeus

53
EFEKTIFITAS GEL LENDIR BEKICOT GALUR JAWA ( Achantina Fulica ) PADA PROSES PENYEMBUHAN ULKUS TRAUMATIKUS MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN Usulan Penelitian Untuk Karya Tulis Ilmiah Diajukan oleh : Hanna .J Mahardhika 112090079 Kepada : FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

description

good

Transcript of gastrocnemeus

EFEKTIFITAS GEL LENDIR BEKICOT GALUR JAWA ( Achantina Fulica ) PADA PROSES PENYEMBUHAN ULKUS TRAUMATIKUS MUKOSA MULUT TIKUS PUTIH JANTAN

Usulan Penelitian Untuk Karya Tulis Ilmiah

Diajukan oleh :Hanna .J Mahardhika112090079

Kepada :FAKULTAS KEDOKTERAN GIGIUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNGSEMARANG2012

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangPerkembangan perekonomian yang kurang menentu , secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kesehatan mulut masyarakat pada umumnya, serta mempengaruhi kesehatan di dalam rongga mulut pada khususnya. Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau rangsangan-rangsangan yang bersifat merusak. Pada keadaan normal di dalam rongga mulut terdapat bermacam-macam kuman yang merupakan bagian daripada flora mulut dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman-kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit dan infeksi (Chiego dkk 2008). Masalah kesehatan dalam rongga mulut yang sering ditemukan pada masyarakat adalah kasus ulserasi mukosa mulut misalnya ulkus traumatikus , Ulkus traumatikus sangat lazim dijumpai dan diderita oleh sekitar 10-25% dari seluruh jumlah penduduk yang ada , tetapi kebanyakan dari kasus penyakit ini tergolong ringan dan dialami dengan sedikit keluhan. Gejalanya dapat berupa gangguan bicara, mengunyah, menelan. Merupakan sejenis penyakit mukosa mulut yang disebabkan dari trauma fisik antara lain tergigit ketika mengunyah , komponen gigi tiruan , restorasi berlebih pada gigi (Regezi , 2008). Ulkus traumatikus ditandai dengan ulser yang bewarna kekuningan , tepi berwarna merah dan tidak ada indurasi , sakit dan tanpa adanya tanda penyakit lain. Sebagian besar ulkus traumatikus terjadi pada mukosa bukal dan labial, setelah penyebabnya dihilangkan lesi ulsernya mulai sembuh dalam waktu 7- 14 hari (Gandolfo dkk., 2006). Pengobatan penderita ulkus traumatikus bersifat simptomatis yang bertujuan mengurangi inflamasi, mengurangi rasa sakit di daerah lesi dan mempercepat penyembuhan (Cawson2002). Ulkus traumatikus yang parah dapat diberikan perawatan topical , misalnya topical kortikosteroid (Regezi ,2008). Antibiotik dapat diberikan juga untuk menghindari infeksi yang berkelanjutan ( Houston ,2009). Dan juga dapat di terapi dengan asam hialuronat merupakan salah satu obat untuk terapi ulkus traumatikus yang akhir akhir ini sering digunakan. Asam hialuronat dapat merangsang penyembuhan luka. Migrasi dan mitosis dari fibroblast dan sel epitel ( Douglas ,2003).Melihat kondisi ekonomi saat ini diperlukan obat alternatif yang jauh lebih murah dan lebih mudah didapat serta mempunyai efektivitas yang cukup baik dalam mengobati ulserasi yang berkhasiat dalam mengurangi dan menyembuhkan rasa sakit. Selain harganya relatif dapat dijangkau masyarakat, mudah diperoleh dan penggunaannya cukup praktis (Farmakope Indonesia, 1995). Negara yang beriklim tropis seperti Indonesia memiliki potensi alam yang sangat besar untuk digali, salah satunya adalah pemanfaatan flora dan fauna dibidang kesehatan. Masyarakat desa terpencil tidak tergantung sepenuhnya pada obat modern karena faktor geografis yang tidak memungkinkan ketersediaan obat-obatan. Mereka mewarisi pengobatan tradisional secara turun temurun, bahan alam yang dipercaya berkhasiat sebagai bahan antimikroba salah satunya adalah lendir bekicot (Grahacendikia, 2009 ). Pengobatan tradisional dengan menggunakan beberapa jenis hewan telah lama di kenal, penggunaan lendir bekicot untuk pengobatan rasa sakit pada karies gigi, yang dilakukan pada siswa SMP hasilnya signifikan mengeliminasi rasa sakit pada gigi karies dengan diagnosis pulpitis (Agung, et al, 2009) , namun di sebagian daerah binatang ini banyak dimanfaatkan sebagai penutup luka baru bekas senjata tajam dan sejenisnya, bekicot dikeluarkan lalu dioleskan pada luka, hanya perlu menunggu beberapa saat, luka yang tadinya mengalirkan darah sudah menutup dan rapat tidak berdarah lagi (Anonim, 2011).Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Pontjo Priosoeyanto tahun 2005 dari Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran hewan Institut Pertanian Bogor membuktikan bahwa lendir bekicot atau Achatina fulica mampu menyembuhkan luka dua kali lebih cepat (Ali, 2010).Bekicot (Achantina fulica) sebagai salah satu obat tradisional dari bahan hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara tradisional, bekicot digunakan oleh masyarakat sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah pernah diiakukan penelitian tentang kemampuan lendir bekicot sebagai antimikroba (Ernawati dan Sunari,1994). Pada lendir bekicot terdapat peptida antimikroba yang dapat mempengaruhi viabilitas ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram positif melalui perubahan ultrastruktur sel (Berniyanti, 2007). Lendir bekicot mempunyai nilai biologis yang tinggi dalam penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi (Ernawati dan Sunari, 1994). Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang efektifitas pemberian gel lendir bekicot ( achantina fullica ) dalam proses penyembuhkan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat , terutama dalam penggunaan obat tradisional untuk penyembuhan ulkus traumatikus.

1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah di bahas maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana keefektivitasan gel lendir bekicot dalam proses penyembuhan ulkus traumatikus pada mukosa mulut tikus putih jantan

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan umumUntuk mengetahui efek pemberian gel lendir bekicot ( achantina fullica ) dalam proses penyembuhan ulkus traumatikus mukosa mulut tikus putih jantan.

1.3.2 Tujuan khusus1.3.2.1. Untuk mengetahui proses penyembuhan ulkus traumatikus pada mukosa mulut tikus putih jantan saat tidak diberi perlakuan sebagai kontrol negative.1.3.2.2. Untuk mengetahui proses penyembuhan ulkus traumatikus pada mukosa mulut tikus putih jantan saat diberi olesan Povidone Iodine sabagai kelompok kontrol positif.1.3.2.3. Untuk mengetahui proses penyembuhan ulkus traumatikus pada mukosa mulut tikus putih jantan saat diberi olesan gel lendir bekicot ( achantina fullica gel )

1.4 Manfaat Penelitian1.4.1 Manfaat ilmiahPenelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang kesehatan tentang potensi gel lendir bekicot ( achantina fullica ) dalam menyembuhkan ulkus traumatikus.

1.4.2. Manfaat klinis1.4.2.1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan bagi peneliti lain jika pemberian gel lendir bekicot (achantina fullica ) dapat menyembuhkan ulkus traumatikus untuk dan dapat dijadikan dasar acuan penelitian lebih lanjut.

1.4.3. Manfaat sosial1.4.3.1 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam membantu menemukan salah satu obat alternatif dari berbagai terapi pilihan pengobatan ulkus traumatikus.1.4.3.2 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam membantu menemukan obat tradisional yang murah dan mudah didapat berkaitan dengan kemampuan daya beli masyarakat

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mukosa MulutJaringan lunak mulut terdiri dari mukosa pipi, bibir, ginggiva, lidah, palatum, dan dasar mulut. Struktur jaringan lunak mulut terdiri dari lapisan tipis jaringan mukosa yang licin, halus, fleksibel, dan berkeratin atau tidak berkeratin. Jaringan lunak mulut berfungsi melindungi jaringan keras di bawahnya; tempat organ, pembuluh darah, saraf,alat pengecap dan alat pengunyah. Secara histologis jaringan mukosa mulut terdiri dari 3 lapisan (Avery dan Chiego, 2006; Balogh dan Fehrenbach, 2006) :

2.1.1. Lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari berlapislapis sel mati yang berbentuk pipih (datar) dimana lapisan sel-sel yang mati ini selalu diganti terus-menerus dari bawah, dan sel-sel ini disebut dengan stratified squamous epithelium. Struktur stratified squamous epithelium dari mukosa mulut meliputi kedua permukaan, yaitu mukosa mulut tidak berkeratin (mukosa pipi, bibir, palatum mole, dasar rongga mulut) dan mukosa berkeratin (palatum dan alveolar ridges). Terdiri dari stratum corneum, stratum granulosum, stratum spinosun dan stratum basale.2.1.2. Membrana basalis, yang merupakan lapisan pemisah antara lapisan ephitelium dengan lamina propria, berupa serabut kolagen dan elastis. Terdiri dari lamina lucida dan lamina densa.2.1.3. Lamina propria, pada lamina propria ini terdapat ujung-ujung saraf rasa sakit, raba, suhu. Selain ujung-ujung saraf tersebut terdapat juga pleksus kapiler, jaringan limfa dan elemen-elemen penghasil sekret dari kelenjar-kelenjar ludah yang kecil-kecil. Kelenjar ludah yang halus terdapat di seluruh jaringan mukosa mulut, tetapi tidak terdapat di jaringan mukosa gusi kecuali di mukosa gusi daerah retromolar.Disamping itu lamina propria ini sebagian besar terdiri dari serabut kolagen, serabut elastin dan sel-sel fibroblas, makrofag, mast sel, sel inflamatori serta sel-sel darah yang penting untuk pertahanan melawan infeksi. Jadi mukosa ini menghasilkan sekret, bersifat protektif dan sensitif.Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau rangsangan-rangsangan yang bersifat merusak. Mukosa mulut dapat mengalami kelainan yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan kondisi herediter. Pada keadaan normal di dalam rongga mulut terdapat bermacam-macam kuman yang merupakan bagian daripada flora mulut dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan disebut apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka kuman-kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit/infeksi. Daya tahan mulut dapat menurun karena gangguan mekanik (trauma,cedera), gangguan kimiawi, termik, defisiensi vitamin, anemia dan lain-lain. Pada individu tertentu dapat terjadi reaksi alergi terhadap jenis makanan tertentu sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa mulut, begitu juga dengan faktor psikis dan hormonal. Mukosa mulut adalah jaringan yang melapisi permukaan rongga mulut. Selain berfungsi untuk proteksi, mukosa mulut juga berfungsi untuk pertahanan terhadap antigen dengan adanya sel PMN, limfosit plasma dan makrofag (Nanchi,2008).

2.2 Ulkus Traumatikus Ulkus adalah suatu lesi dimana terjadi perubahan pada lapisan epithelium sampai lamina basalis, yang berbatas jelas dan berbentuk cekungan ( Greenberg, 2003 & Regezi, 2008). Ulkus dapat terjadi pada semua usia dan pada kedua jenis kelamin , lokasinya adalah mukosa pipi , mukosa bibir , palatum , dan tepi perifer dari lidah ( Langlais,2000). Trauma merupakan penyebab utama dari ulkus traumatikus pada mulut baik trauma fisik maupun kimia. Kerusakan yang berasal dari trauma fisik pada mukosa dapat disebabkan antara lain oleh komponen pada gigi tiruan, kontak gigi patah , pelat ortodonsia, restorasi berlebih pada gigi dan mukosa tergigit secara tidak sengaja (Regezi, 2008). Kerusakan dari trauma kimia biasanya seperti terbakar pada mukosa mulut yang disebabkan bahan bahan kimia aspirin umumnya batasnya tidak jelas dan mengandung kulit permukaan yang terkoagulasi dan mengelupas ( Langlais,2000). Ulkus traumatikus pada gambaran histologi tampak epitel terkelupas dengan korium di bawahnya yang terbuka dan permukaan yang ditutupi dengan selapis fibrin dan polimononuklear limfosit. Infiltrasi sel radang kronis yang luas terlihat pada dasar ulkus traumatikus (Lee, 1989). Gambaran klinis berupa lesi yang soliter, ukurannya bervariasi, bulat, dan berbentuk bulan sabit. Dasar lesi bewarna kekuningan, tepi berwarna merah, dan tidak ada indurasi. Setelah pengaruh traumatic hilang , ulkus akan sembuhn dalam waktu 14hari jika tidak maka penyebab lain harus dicurigai dan perlu dilakukan biopsy ( Langlais,2000)

Gambar: 2.1 Ulkus Traumatikus akibat tergigit (Cawson dan Odell, 2002)

2.3 Histopathologi Ulkus TraumatikusAdanya infiltrasi limfosit secara dini yang diikuti oleh kerusakan epithelium dan infiltrasi jaringan oleh neutrofil. Sel-sel mononuclear dapat pula menyelimuti pembuluh darah (perivasculer cuffing) (Cawson Odell, 2002). Ditemukan proliferasi limfosit dalam merespon sejenis antigen tertentu (Sonis dkk.,1995).

2.4 Terapi Ulkus TraumatikusTujuan terapi pada dasarnya untuk menekan peradangan, mengurangi rasa perih dan mempercepat penyembuhan. Perawatan yang sering dilakukan adalah sebagai berikut (Cawson dan Odell, 2002 (Greenberg, 2003):2.4.1 Triamcinolon dental pasteAdalah suatu pasta kortikosteroid yang dapat melekat pada mukosa yang basah, perlekatannya mulai berlangsung dari satu sampai beberapa jam. Biasanya digunakan untuk ulser yang tidak banyak dan mudah dijangkau. Obat kortikosteroid ini dapat mereduksi peradangan yang menimbulkan rasa perih sehingga penderita mudah makan dan pasokan nutrisi cukup yang selanjutnya mempercepat penyembuhan. Obat topikal ini berfungsi protektif terhadap ulser sehingga penderita merasa nyaman. Triamcinolon in ora base dapat diaplikasikan secara topical pada lesi ulser empat kali sehari, setelah makan dan pada waktu hendak tidur.2.4.2 Obat kumur TetracyclineBerbagai uji coba telah dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa obat kumur tetracycline dapat mereduksi secara signifikan frekwensi dan keparahan dari ulser. Dengan cara melarutkan isi dari kapsul 250 mg dalam 50 ml air kemudian campuran ini digunakan sebagai obat kumur sebanyak empat kali sehari dan dikumur selama 2-3 menit. Pemakaian tetracycline harus diwaspadai terhadap resiko terjadinya reaksi alergi dan candidiasis oral.2.4.3 Obat kumur ChlorhexidineLarutan chlorhexidine 0,2% juga telah digunakan sebagai obat kumur untuk mengobati ulser. Larutan ini digunakan 3 kali setiap hari setelah makan dan dipertahankan didalam mulut selama kurang lebih 1 menit, hal ini dapat mengurangi rasa tidak enak dalam rongga mulut.

2.4.4 Preparat Salicylate TopikalSalicylate mempunyai efek lokal anti radang. Preparat cholin salicylate dalam bentuk gel dapat diaplikasikan pada ulser.

2.4.5 Ekstrak Sanguin 5% - Polidocanol 1%Obat ini dalam bentuk pasta dapat mengaktifkan transportasi oksigen dan nutrien dalam sel, serta merangsang metabolisme energi dalam sel, meningkatkan regenerasi sel, sehingga mempercepat perbaikan jaringan. Polidocanol dalam kadar yang rendah dapat mengurangi rasa sakit dengan cepat dan untuk waktu yang lama.

2.5. Fase Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.2.5.1. Fase InflamasiTahap ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari. Inflamasi berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri, menghilangkan debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan.

2.5.2. Fase ProliferasiTahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3 minggu. Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam fase proliferasi.2.5.3. Fase MaturasiTahap ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka (Mansjoer,2000)

2.6. Proses Penyembuhan Ulkus Traumatikus

Penyembuhan ulkus terlihat jelas pada gambaran histologi, yang ditandai dengan banyaknya sel fibroblas yang tersebar pada daerah tersebut (Cockbill, 2002). Fibroblas adalah sel yang paling banyak padajaringan ikat dan bertugas untuk mensintesis komponen matriks ekstrasel (Junqueira, 2007). Matrik ekstraseluler terdiri dari protein fibrin (kolagendan elastin), protein adesif (fibronektin dan laminin), serta gel proteoglikandari hialuronat. Matrik ekstraseluler berfungsi mendukung motilitas sel dalam jaringan ikat, mengatur proliferasi sel, bentuk, dan fungsisedemikian rupa sehingga nutrisi dan bahan bahan kimia dapat berdifusi dengan bebas (Revianti, 2009)

2.8. Bekicot

2.8.1. Sejarah dan macam-macam bekicot

Bekicot diperkirakan berasal dari Afrika Timur, dan bukan merupakan satwa asli Indonesia. Bekicot (Achatina fulica), diperkirakan tiba di Indonesia sekitar tahun 1922, selain jenis bekicot tersebut yang ada di Indonesia adalah Achatina Variegata, yang diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1942, yaitu bersamaan dengan masuknya Jepang ke Indonesia (Santoso, 1989).Secara biologi bekicot termasuk binatang lunak (Mollusca), dari division mollusca diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam kelas Gastropoda atau binatang berkaki perut. Lebih rinci lagi binatang ini termasuk dalam genus Achatina. Bekicot apabila dibedakan berdasarkan jenisnya dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu : Achatina variegate, Achatina fulica, helix pomatia, dan Helix aspersa. Keempat jenis bekicot tersebut menurut (Santoso, 1989) adalah sebagai berikut :2.8.1. Achatina variegate yang memiliki cirri-ciri : mempunyai rumah (cangkang) lebih mencolok berwarna coklat lenggak lenggok, berat berat badan sekitar 150 sampai 200 gram, dengan ukuran antara 90 sampai 130 mm, jumlah telur sekitar 100 sampai 300 butir dengan masa bertelur tiga sampai empat kali setahun.2.8.2. Achatina fulica, yang memiliki cirri-ciri : memiliki cangkang tidak begitu mencolok dan bentuk cangkang cenderung meruncing, berat badan antara 150 sampai 200 gram dengan ukuran antara 90 sampai 130 mm, jumlah telur antara 100 sampai 300 butir dengan masa bertelur antara tiga sampai empat kali setahun.2.8.3. Helix pomatia, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang yang kuat dengan warna cokelat keputih-putihan, berat badan antara 15 sampai 25 gram dengan ukuran antara 40 sampai 50 mm, jumlah telur antara 30 sampai 50 butir dalam sekali bertelur.2.8.4. Helix aspersa, yang memiliki cirri-ciri : mempunyai cangkang yang lemah dengan warna cokelat muda sampai kehitam-hitaman dengan garis-garis tidak teratur, berat badan antara 4 sampai 20 gram dengan ukuran antara 30 sampai 45 mm, jumlah telur antara 50 sampai 170 butir dengan masa bertelur satu sampai tiga kali dalam satu musim.2.9. Kandungan Kimia

Lendir bekicot ( achantina fullica ) mengandung peptida anti mikroba. Lendir yang diproduksi kelenjar dinding tubuh bekicot, maupun zat getah bening yang mengalir dalam tubuh bekicot mempunyai aktivitas penggumpalan serta pembasmian bakteri dan benda asing. Mungkin komponen itu pula yang berfungsi dalam penutupan luka. Achasin ditengarai berperan penting sebagai peptida antimikroba. Peptida sebagian besar merupakan antimikroba yang poten merupakan molekul penting mampu memperbaiki fagositosis , merangsang lepasnya prostalglandin , menetralkan efek septic dari LPS (Berniyati , 2007). Resistensi obat terhadap mikroorganisme patogen yang banyak terjadi sebagai akibat antimikroba konvensional , menyebabkan peptidan antimikroba merupakan kandidat yang muncul sebagai agen antibakteri baru terkait dengan spektrum antimikroba yang luas , toksisitas selektif tinggi dan kesulitan bagi bakteri untuk mengembangkan resistensi. (Berniyati , 2007 )Lendir bekicot ( achantina fulica ) diketahui mengandung acharan sulfate yaitu suatu glycosaminoglycan ( GAGs ) yang diisolasi dari lendir bekicot ( Achantina Fullica ). Acharan sulfate mempunyai struktur yang unik. Glycosaminoglycan ini mempunyai berat molekul 29 kDa dan mempunyai disacharide utama yang berulang 4)-2achetyl , 2-deoxy--d-glucopyranose ( 14 )-2 sulfo--lidopyranosy-luronic acid ( 1 sehingga menyebabkan bergabungnya heparin dan heparan sulfat secara struktural. (Kim et.al 1996 , Vieira et.al 2004)

2.10. Lendir bekicot sebagai obat tradisional penyembuh luka

Menurut Berniyanti (2007), pada lendir bekicot terdapat peptida antimikroba yang dapat mempengaruhi viabilitas ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram positif melalui perubahan ultrastruktur sel. Bekicot (Achatina fulica) secara turun temurun digunakan sebagai obat penyembuh luka ringan, penyakit kuning, penyakit kulit, serta lendirnya digunakan untuk mengurangi rasa sakit gigi. Lendir bekicot menghilangkan rasa nyeri dengan menghambat mediator nyeri, sehingga nyeri tidak terjadi, hal ini disebabkan oleh mediator nyeri terhalangi untuk merangsang reseptor nyeri, sehingga nyeri tidak diteruskan ke pusat nyeri. Lendir bekicot juga dapat digunakan untuk meredakan sakit gigi, yaitu dengan menempelkan lendir bekicot pada gigi yang sakit dengan bantuan kapas (Mutiarawati, 2009).Lendir bekicot memberikan reaksi positif dan nilai biologis yang tinggi, yaitu dalam penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi (Ernawati dan Sunari, 1994). Bekicot sebagai salah satu obat tradisional dari bahan hewan, perlu diteliti dan dikembangkan. Secara tradisional, bekicot digunakan oleh masyarakat sebagai obat penyembuh luka baru. Secara ilmiah pernah diiakukan penelitian tentang kemampuan lendir bekicot sebagai antimikroba Eschericia coli, Streptococcus haemoliticus, Salmonella typii, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans (Ernawati dan Sunari, 1994) dan efek cairan atau lendir, ekstrak air dan ekstrak etanol daging bekicot terhadap penyembuhan luka terbuka (Ibrahim dkk,1995). Hasil penelitian Tripurnomorini et al (2000), lendir bekicot mempunyai kemampuan sebagai antiinflamasi yang relatif sama dengan daya antiinflamasi asetosal.

2.11. Kegunaan Lendir Bekicot (achantina fullica) diketahui mengandung glycosaminoglycan yaitu acharan sulfate yang berfungsi untuk menyembuhkan luka ( wound healing ) ( Im dan Kim , 2009). Acharane Sulfate berfungsi untuk angiogenesis , inhibisi vascular endhotelial growth factor atau menurunkan aktifitas mitogen dari fibroblast growth factor ( Viera et.al 2004 ) dan sebagai anti-cancer ( Chickhale,2007).Achantina Fullica diketahui dapat membuat bactericidal glycoprotein yang ditemukan pada lendir yang bersifat melindungi dan mengandung heparin yang berfungsi sebagai antibakteri (Kim et.al 1996). Lendir bekicot dapat meningkatkan tingkat migrasi sel makrofag yang berperan penting dalam proses perbaikan jaringan luka (Nurinsiyah,2010, cit. Berbudi 2008). Selain itu , lendir bekicot mengandung protein yang memiliki aktivitas antibakterial terhadap staphylococcus aureus (Nurinsiyah,2010, cit.Rosyidi dkk,2001) dan pseuomonas aeruginosa (Nurinsiyah,2010,cit.Sudiyono,1992). Kedua bakteri tersebut merupakan bakteri penyebab nanah pada luka. Dalam masyarakat ekstrak daging bekicot dan lendirnya sangat bermanfaatuntuk mengobati berbagai macam penyakit seperti abortus, sakit waktu menstruasi, radang selaput mata, sakit gigi, gatal-gatal, jantung dan lain lain (Anonim, 2005)

2.12. Tikus Putih (Rattus Norvegicus)Tikus putih atau mencit adalah tikus rumah dan binatang asli Asia, India dan Eropa Barat. Jenis ini sekarang ditemukan diseluruh dunia karena pengenalan oleh manusia.Klasifikasi dari tikus putih (Kusumawati, 2004) :Kingdom : AnimaliaPhylum : ChordataSubphylum : VertebrataClass : MammaliaOrder : RodentiaFamily : MuridaeGenus : RattusSpecies : NorvegicusTikus laboratorium adalah spesies tikus rattus norvegicus yang dibesarkan dan disimpan untuk penelitian ilmiah. Tikus laboratorium telah digunakan sebagai model hewan yang penting untuk penelitian dibidang psikologi, kedokteran dan bidang lainnya.Selama bertahun-tahun, tikus telah digunakan dalam banyak penelitian eksperimen yang telah menambah pemahaman kita tentang genetika, penyakit, pengaruh obatobatan, dan topik lain dalam kesehatan dan kedokteran. Para ilmuwan telah memunculkan banyak strain atau galur tikus khusus untuk eksperimen. Sebagian besar berasal dari tikus Wistar albino, yang masih digunakan secara luas (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

2.13. HipotesisAda keefektifitasan gel lendir bekicot ( achantina fullica ) pada proses penyembuhan ulkus traumatikus pada mukosa mulut tikus jantan putih.

Mukosa Mulut2.14. Kerangka Teori

Gel Achantina FullicaUlkus Traumatikus

Fase Inflamasi

AntibakteriCalsiumAchasin

Fase Proliferasi

Fase Maturasi

Penyembuhan Ulkus Traumatikus

2.15. Kerangka Pikir

Gelachantina fullica

Faktor Internal :Gangguan ImunologiGangguan HormonalGeneticGangguan PenceranaanFaktor Eksternal : Trauma mekanis , chemis , termisinfeksiDefisiensi Nurtrisi

Penyembuhan Ulkus Traumatikus

BAB III

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian dan Rancangan PenelitianDesain penelitian ini adalah True-experiment posttes dengankelompok ekperimen dan dua kelompok kontrol. Rancangan ini, kelompok control negative tidak diberi perlakuan, kelompok control positif diberi perlakuan dengan olesan povidone iodine 10% , dan kelompk eksperimen diberi olesan gel lendir bekicot . Pengukuran hanya dilakukan setelah pemberian perlakuan selsesai (Nursalam,2003)3.2. Variabel dan Definisi Operasional3.2.1. Variable 3.2.1.1. Variable BebasSebagai variabel bebas dalam penelitian ini adalah gel lendir bekicot ( achantina fullica )3.2.1.2. Variable TerikatSebagai variabel terikat dalam penelitian ini adalah penyembuhan ulkus traumatikus padaa mukosa mulut tikus putih jantan. 3.2.1.3. Variable terkendaliAdalah variable yang dapat dikendalikan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini variable terkendalinya adalah :

a. Jenis hewan coba ( tikus putih jantan rattus norvegicus )b. Usia hewan coba (4 bulan) c. Berat badan hewan coba (250-300 g)d. Jenis makanan hewan coba Pellet broiler-11 dan air (Comfeed PT. Japta Comfeed Indonesia)e. Waktu pemaparan HCl (80%) 15 detik (anonim)f. Pengolesan 2 kali sehari dengan interval 12 jam, tiap oles 0,02 ml (Duarte, 2011)g. Cara pengolesan dengan menggunakan pinset dan kapash. Gambaran histopatologik

3.2.1.4. Variabel tak terkendalia. Imunitas b. Mikroorganismec. Suhu ruang

3.2.2. Definisi operasional 3.2.2.1. Achantina Fulicca GelAchantina Fulicca gel adalah gel yang dibuat dari lendir bekicot yang di ambil dari ujung cangkang dengan menggunakan spuit kemudian di elektrik shock aliran listrik 5-10 volt , selama 30-60detik lalu lendir di maserasi dengan air selama 24 jam didalam suhu 40C. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut tertentu dengan atau tanpa pengadukan ( List , 1989 ). Lendir yang larut dalam air WSF ( Water Soluble Fraction) didapat dari prosedur mencampur air sebanyak dua kali jumlah sampel yang ditambahkan pada lendir tersebut. Supernatan yang didapat dikatakan sebagai WSF ( Water Soluble Fraction ). Lendir dari WSF didapatkan dengan menggunakan etanol prespitasi yaitu mencampur supernatant hasil maserasi dengan air dengan etanol absolute dengan perbandingan 1:3 yang merupakan metode isolasi umum dari lendir. WSF dan campuran tersebut disentifuse pada 2900g selama 30 menit. Prespitasi yang didapat dilarutkan kembali dengan Tris-Cl dan didapatkan fraksi mucin ( Berniyati,2007). Kemudian gel sebanyak 0,02 ml di oleskan dengan pinset dan kapas pada daerah ulkus traumatikus 2 kali setiap hari, dengan interval 12 jam selama 10 hari. Skala yang digunakan adalah skala penelitian nominal.3.2.2.1.1. Ulkus Traumatikus : lesi berupa bercak putih kekuningan, bentuk bulat atau oval, dengan diameter antara 2-3 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang kemerahan. Pada penelitian ini lesi dibuat dengan pengolesan bahan hidrogen peroksida (H2O2) 30% menggunakan mikrobrush (diameter 2mm) pada bagian mukosa labial di bawah frenulum insisivus sentral rahang bawah sehingga terjadi iritasi mukosa labial tikus.3.2.2.2. Penyembuhan Ulkus Traumatikus : proses penyembuhan yang terjadi pada ulserasi mukosa mulut yang dinilai dengan skor radang sebagai berikut :3.2.2.2.1. 0: jaringan tampak normal , lapisan epitel utuh , ukuran pembuluh darah normal3.2.2.2.2.1: lapisan epitel utuh , tampak adanya pelebaran pembuluh darah dan mulai terdapat sel radang kronik3.2.2.2.3.2: lapisan epitel tidak utuh , tampak adanya pelebaran pembuluh darah dan mulai terdapat sel radang kronik.3.2.2.2.4.3: lapisan epitel tidak utuh , tampak adanya pelebaran pembuluh darah dan terdapat sel radang kronik dalam jumlah sedang dan berkelompok disekitar epitel.3.2.2.2.5.4: lapisan epitel tidak utuh , tampah adanya pelebaran pembuluh darah dan terdapat sel radang kronik yang memadat hampir pada semua jaringan , serta ada terobosan sel radang kronik ke jaringan sub mukosPenetapan skor diatas merupakan kombinasi dari skor yang digunakan Eda dan Schloossberg

3.3. Subyek Penelitian3.3.1. Batasan populasiPopulasinya adalah Rattus Norvegicus yang dipelihara di laboratorium FMIPA UNNES Semarang. Dengan batasan sebagai berikut :a. Rattus Norvegicus b. Berat 200-250 gram (Kanter, M. Dkk, 2005)c. Usia 4 buland. Tikus tidak dalam keadaan sakit (sehat)

3.3.2. Sampel Perhitungan besar sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer (Hanafiah2004) :t adalah jumlah kelompok/perlakuan. Kelompok 1(X1) sebagai kontrol negatif, kelompok 2 (X2) sebagai kelompok povidone iodine (positif), dan kelompok kelompok 3 (X3) sebagai kelompok GAF.n adalah benyaknya sampel pada tiap kelompok.Rumus :(n 1) (r 1) 15(n 1) (4 1) 15(n 1) 5n 6

Keterangan :n : jumlah ulangan (replikasi)r : jumlah perlakuan

Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 per kelompok. Untuk menghindari drop out pada sampel ditambahkan 20 % sehingga jumlah sampel menjadi 7,2 dan dibulatkan menjadi 8 ekor per kelompok. Jadi jumlah sampel seluruhnya adalah 24 ekor.

3.3.3. Metode pengambilan sampelSampel diambil dari tikus jantan yang genetik yang sifatnya sama. Untuk menghindari bias karena faktor variasi umur dan berat badan maka pengelompokan sampel dilakukan secara acak dan dilakukan penimbangan tikus sebelum dan sesudah perlakuan.Sebelum digunakan penelitian, 24 tikus diadabtasikan selama 1 minggu. Setelah menjalani adabtasi masing-masing di olesi hidrogen peroksida (H2O2) 30% menggunakan mikrobrush (diameter 2mm) pada bagian mukosa labial di bawah frenulum insisivus sentral rahang bawah sehingga terjadi iritasi mukosa labial tikus dan dibiarkan 24 jam (Abu-Zinadah, 2009. dan Al-Douri A.S. dan Al-kazaz S.Gh.A, 2010). Kemudian tikus dibagi menjadi 3 kelompok secara Simple Random Sampling, masing-masing terdiri dari 8 ekor yaitu kelompok X1 (kontrol), X2 (povidone iodine) dan X3 (GAF).

4.6 Instrumen dan Bahan Penelitian

4.6.1. Bahan penelitian

4.6.1.1. Bahan utama :4.6.1.1.1. Mukosa labial tikus4.6.1.1.2. Gel Lendir Bekicot ( achantina fullica )

4.6.1.2. Bahan penunjang4.6.1.2.1. Anastesi (Xylonor dan Chloroform)4.6.1.2.2. Hidrogen Peroksida (H2O2)30%4.6.1.2.3. Akuades steril (kontrol)4.6.1.2.4. Cat Harris Hematoxcylin Eosin4.6.1.2.5. Alkohol 70 %4.6.1.2.6. Larutan formaldehid 10 %

4.6.2 Alat penelitian :4.6.2.1. Mikroskop elektrik(Olympus Type CX 21)4.6.2.2. Scalpel4.6.2.3. Pinset4.6.2.4. Cotton buds4.6.2.5. Mikro brush ( diameter 2mm)4.6.2.6. Gunting bedah4.6.2.7. Stop watch4.6.2.8. Dan lain-lain.

Skema jalannya penelitian

rattus norvegicus

Adaptasi 1 minggu

Anastesi dengan meggunakan Chloroform

Desinfeksi mukobukal menggunakan alcohol 70%

Dibuat ulkus traumatikus dengan diolesi hidrogen peroksida 30%, 2x5 menit dengan menggunakan mikrobush (2mm)

Irigasi dengan aquades

Kontrol 8 ekor (X1)Pengolesan Achantina Fulicca Gel 8 ekor (X3)Pengolesan Povidone Iodine 8 ekor (X2)

10hari10hari7 hari5 hari3 hari

5 hari3hari

7hari5 hari3hari10hari7hari

dimatikan

Pembuatan Preparat dengan pewarnaan H-E

Pemeriksaan histologik sel ulkus traumatikus dengan Menggunakan Mikroskopik Elektrik

Analisis Data

4.7 Jalannya PenelitianPenelitian ini memakai 28 ekor tikus putih jantan umur 3 bulan yang dibagi dalam kelompok kontrol (8 ekor), kelompok perlakuan I (8 ekor), kelpompok perlakuan II (8 ekor) dan kelompok perlakuan III (8 ekor). Kelompok kontrol dan kelompok perlakuan mendapat pengolesan hidrogen peroksida 30% dengan menggunakan mikrobrush pada jaringan mukosa labial mulut sebanyak 2 kali 5 menit dalam satu hari yang diberikan selama 6 hari berturut- turut bertujuan untuk membuat ulkus traumatikus. Pada penelitian ini, bahan obat yang dipakai adalah gel lendir bekicot ( achantina fullica ). Gel lendir bekicot didapat dengan cara memecah ujung cangkang bekicot kemudian disedot dengan menggunakan kemudian ditambah etanol 70% diaduk selama 30 menit dengan stirrer magnetic dan didiamkan selama 48 jam. Hasil maserasi disaring sebanyak 3 kali dengan corong buctner yang dilapisi kertas saring dan ditampung dengan erlenmeyer. Filtrat hasil penyaringan diuapkan dengan vacum rotary evaporator (Voigt, 1994).Pemberian perlakuan dilakukan mulai pada hari ke 3 , 5 , 7 , 10 sebanyak 3 x 5 menit berturut-turut dengan menggunakan cotton buds. Kelompok control tidak diberi perlakuan .Pada kelompok perlakuan II diolesi povidone iodine 3 x 5 menit , kelompok perlakuan III diolesi gel lendir bekicot ( achantina fullica ) 3 x 5 menit. Pada kelompok I tidak diberi perlakuan , setelah pengolesan ditunggu sampai dengan hari ke 3 tikus dimatikan sama halnya pada hari ke 5 , 7 dan 10Pengolesan selama 5 menit karena dengan waktu tersebut obat sudah dapat berpenetrasi atau meresap ke dalam jaringan mukosa rongga mulut. Pengobatan dengan bahan ini selama 3 , 5 , 7 dan 10 hari diharapkan sudah terjadi penurunan jumlah sel inflamasi dari ulkus traumatikus setiap hari ke 3 , 5 , 7 dan 10 bahkan penyembuhan ulkus traumatikus pada jaringan mukosa rongga mulut tikus. Kemudian dibuat spesimen mukosa labial rahang bawah, selanjutnya jaringan difiksasi dengan formaldehid 10% dan dibuat sediaan mikroskopik. Untuk semua spesimen, pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 5 mikron, diambil untuk diwarnai dengan Harris Hematoxcylin Eosin.Perbandingan antar kelompok dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran 400x dan masing-masing sediaan dinilai dengan menghitung jumlah inflamasi pada lima lapang pandang pada setiap sediaan mikroskopis

4.8 Analisis DataData yang diperoleh akan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :4.8.1. Analisis Deskriptif.4.8.2. Uji normalitas dengan uji Shapiro-Wilk.4.8.3. Uji homogenitas dengan Levenes test.4.8.4 Uji Efek Perlakuan

Karena data berdistribusi normal dan homogen maka digunakan uji statistikparametrik yaitu One Way Anova.Untuk mengetahui beda nyata terkecil dilakuan uji lanjut dengan LeastSignificant Difference test (LSD) Post Hoc Test.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, G.D.1995. Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. MWilson,Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit.4th.ed. (Anugerah, P. penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992). Hal 35-61.Aristiawati dkk., 2001. Pembahasan Pengaruh Pemutih Gigi Hidrogen PeroksidaTerhadap Mukosa Rongga Mulut.Jakarta. hal 35 36.Avery, J.K. dan Chiego,D.J. 2006. Essentials of Oral Histology And Embryology: A Clinical Aproach. 3 ed. By Mosby, Inc. Hal 177-183.Balogh, M.B. Fehrenbach, M.J. 2006.Dental Embryology, Histology, and Anatomy.Second Edition.Certified Medical Illustrator, AMI. Oak Park, Illinois. Hal 105-114.Burkit, H.G. Young, B. Heath, J.W. 1995. Histologi Fungsional. Edisi 3. Alih Bahasa Jan Tambajong. Jakarta: EGC. Hal 42-60.Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2002.Disease Of the Oral Mucosa: Non-infective stomatitis, Oral Patologi and Oral Medicine, Churchill Livingstone 192-195.Eda, S dan Fukuyama, H. 1990. A Laboratory Manual For General and Oral Pathology.Tokyo; Quintessence Publishing.Farmakope Indonesia.1979.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Edisi ketiga, hal275-276.Farmakope Indonesia.1995.Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Edisi keempat,hal.414-416.Gandolfo, Scully C, Carrozzo. 2006. Oral Medicine. Published by Unione Tipografico- Editrice Torinse. Hal 44-56.Ganiswara, S. G. Setiabudy, R. Suyatna, F.D. Purwantyastuti, Nafraldi. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed 4 th. Jakarta. FK UI 210 219.Gifford, L. 2005. PATHOPHYSIOLOGY: An Essential Text For The Allied Health Prosfession. Oxford Philadelphia St Louis Sydney Toronto.ISBN 07506 52349.Greenberg, M.S. 2003. Ulcerative, vesicular and Bulloys Lesions.Dalam Lynch MA, Brigman VJ, Greenberg MS. Burket Oral Medicine. Diagnosis and Treatment,eight edition hal.163-208. 84Hanafiah, K.A. 2004. Rancangan Percobaan: teori dan aplikasi. Ed. Rev., Cet 9.Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada. Halaman 9.Haskell, R dan Gayford, J.J. 1990.Edisi kedua. Alih Bahasa drg Lilian Yuwono, Hal 1-11.Insel, P.A. (1991). Analgesic-Antipyretics and Antiinflammatory Agents: Drugs Employedin the Treatment of Rheumatoid Arthritis and Gout. Dalam: Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. Ed 8. Editor: Gilman, A.G.etal. New York: Pergamon Press. Vol. I. Halaman 639,648,665,667.Joseph, A.R dan James, J.S. 1989.Apthous Ulcers.Oral Patology. Clinical-PathologicCorelations, WB Saunders Company, hal 46-49.Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Yogyakarta: UGM Press.Kerr, D.A & Ash M. 1978. Oral Pathology, 4 th ed. Philadelphia : Lea & Febriger 69 79.Korolkovas, A. 1988.Essentials of Medicinal Chemistry. Ed 2. New York: A Wileylnterscience Publ. Halaman 1052-1053.Leeson, C.R. Leeson, S.T. Paparo, A.A. 1996. Atlas Histologi. Edisi 5. Alih Bahasa JanTambajong dkk.Jakarta: EGC. Hal 67-78.Lewis, A.O. 1998. Clinical Oral Medicine. Butterworth-Heinemann Ltd. Hal 47-51.Martindale. 1982.The Extra Pharmacopecia twenty-eight Edition, Edited by Jemes E.F.Reynolds, London Hal: 691-692.Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. 2003. Acute and chronic inflammation. Dalam S. L. Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology.7th ed.Philadelphia: Elsevier Saunders.pp33-59.Mutschler, E. 1991.Arzneimittelwirkungen, Terjemahan: Dinamika obat oleh: Mathilda B.dan Anna S.R. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 194-195, 359, 388, 401-402.Nanci, A. 2008. Ten Cates Oral Histology: Development, Structure, and Function. ByMosby, Inc.,an affiliate of Elsevier Inc.Navia, J.M. 1997.Animal Modelsin Dental Research.The Univ. of Alabama Press.Paris, P. Charles, F.S. Carl, M. Michael, F.B dan John, R.K. 2002.Celiac disease and recurrent aphtous stomatitis; A report and review of the literature.OralSurgery, Oral Medicine, Oral Patology, Oral Radiology and Endodontic. Vol 94 Number 4, Oktober 2002, Published by Mosby, Inc St Louis, USA. P 474-478.Price, S.A. Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Alih Bahasa Brahm U Pendit dkk. Jakarta: EGC. Hal 57-71. Robbins, S.L. & Kumar, V. 1995. Buku ajar patologi I.4th ed.(Staf pengajar laboratoriumpatologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan1987).Sudiono, J. Kurniadi, B. Hendrawan, A. Djimantoro,B. 2003. Ilmu Patologi. Editor Janti Sudiono, Lilian Yuwono-Jakarta: EGC. Hal 81-96.Sudrajat,I. 2005. Skor Histologi CD8+ Pada Proses Penyembuhan Luka Tikus wistar(tesis). Semarang: Universitas Diponogoro.Sonis, S.T. Facio, R.C, Fang, L. 1995.Oral Ulcerative Disease, Principles and Practice ofOral Medicine, 2nd Ed. WB Saunders Co. 345-349Scully, C. 2006.Clinical Practise.Aphthous Ulceration. N Engl J Med 355(2): 165-172.Ship, J.A, Chaves, E.M, Doerr, P.A. Henson, B.S. and Sarmadi, M. 2000.ReccurentAphthousStomatitis. Departement of Oral Medicine, Pathology, Oncology,University of Michigan, School of Dentistry, Ann Arbor, Michigan [email protected] diakses 10 Maret 2012.Smith, D. 1990.(ATN)Glycyrrizin : Research Still Promising, Still Limited AIDSTreatmentNews No 103- May 18. Availablefrom:http://www.aegis.com/pubs/atn/1990/ATN10302.html diakses 10 Maret 2012.Smith, J.B., Mangkoe Widjoyo.1988. Pemeliharaan, pembiakan dan penggunaan HewanPercobaan di daerah Tropis. Penerbit UI, Jakarta. Hal 1-18.

Steven, L.B. Robert, P.L dan Craig, S. 1994.Ulcerative Lesions. Oral Diagnosis, OralMedicine, and Treatment Planning 2nd Ed, A Waperly Co. Hal 719-725.Ten Cate, A.R. Oral Histology Development, Structure, and Function. St. Louis: TheMosby Co. 1980:340-5.Trowbridge H.O. Emling RC. 1997. Inflammation a review of process 5 th ed. Illinois;Quintessence Pub. Co; 52 53, 129 136.Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan Noerono, S., edisi V.Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal 551-564.Widurini, M. 2003. Pengaruh Daun Lidah Buaya Terhadap Peradangan Jaringan MukosaRongga Mulut. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia: edisi 10: 473-477.Wray, D. Lowe, G.D.O. Dagg, J.H. Felix, D.H dan Scully, C. 2003.Oral Ulceration, Textbook of General and Oral Medicine, Churchill Livingstone.Hal. 225 227.Agung A.A., Gejir N., Kencana S. 2009. Efektivitas Cairan Bekicot DalamMengurangi Rasa Sakit Pada Karies Gigi. Badan PPSDM Depkes RI tahun 2009.Ali GP. Findrawaty. 2002. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka BersihAntara Penggunaan Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Dengan Povidone IodineDalam Perawatan Luka Bersih pada Marmut (Cavia Porcellus). Avalable at(online) http://digilib.unimus.ac.id .Berniyanti. 2007. Analisis Hambatan Achasin Bekicot Galur Jawa Sebagai Faktor Antibakteri Terhadap Viabilitas Eschericia coli dan Streptococcus mutans.