GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH DALAM TINJAUAN … · 2013. 4. 29. · dibicarakan hari baik untuk...
Transcript of GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH DALAM TINJAUAN … · 2013. 4. 29. · dibicarakan hari baik untuk...
GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH
DALAM TINJAUAN SOSIOLOGIS
(Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo
Kecamatan Rimbo Ilir Jambi)
Oleh:
Siti Nurhayati
Nim: 106043201353
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH
DALAM TINJAUAN SOSIOLOGIS
(Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo
Kecamatan Rimbo Ilir Jambi)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Siti Nurhayati
NIM. 106043201353
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing
Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA
NIP: 19560906 198203 1 004
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Ganti Rugi Pembatalan Khitabah Dalam Tinjauan Sosiologis
(Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi) telah
diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada 1 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).
Jakarta, 1 Maret 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag (…………………...)
NIP: 196511191998031002
2. Sekretaris : Fahmi M. Ahmadi, S. Ag. M.Si (…………………...)
NIP: 197412132003121002
3. Pembimbing : Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA (…………………...)
NIP: 195609061982031004
4. Penguji I : Drs. Noryamin Aini, MA (…………………...)
NIP: 19630305199103002
5. Penguji II : Dr. Euis Nurlaelawati, MA (…………………...)
NIP: 197007041996032002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Siti Nurhayati
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain
ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang
diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
juga kepada kelurga, sahabat dan umatnya yang senantiasa mengikiti jejak langkah
beliau sampai hari akhir nanti, amiin.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang
penulis hadapi. Namun, berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan hati dan kerja
keras disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak langsung maupun tidak
langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya dan
akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menghaturkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM., Dekan
Fakkultas Syari’ah dan Hukum
2. Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag, selaku ketua program studi perbandingan
madzhab dan hukum, dan Bpk. Fahmi Muhammad Ahmadi S.Ag, M.Si,
selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang
telah memberikan arahan, bimbingan dan motifasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
ii
3. Bapak Dr. H. Afifi Abbas, MA selaku Dosen Pembimbing, yang telah sabar
membimbing dan memotivasi Penulis dalam menyelesaikan skripsi.
4. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas
kepada penulis untuk mengadakan studi pustaka
5. Ucapan terima kasih ini juga penulis haturkan secara khusus kepada
Ayahanda Marino dan Ibunda tercinta Sutini yang senatiasa berjuang dan
berdo’a dan mendukung penuh secara materi dan imateri hingga penulis dapat
menyelesaikan studi ini
6. Kakak- kakakku yang selalu memberikan nasehat dan kepada adikku tercinta
Wifi, Syahrul yang memberikan kecerian dalam hidupku dan seluruh keluarga
di rumah yang senantiasa mengisi warna indah dalam ruang kehidupan
penulis, semoga kami akan selalu bersama mewarnai indahnya hidup ini
hingga mentari tak bersinar lagi.
7. Kepada seluruh teman-teman seperjuanganku PMH angkatan 2006 serta
semua pihak yang telah tersita waktu maupun tenaganya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu. Hanya kepada Allah jua lah Penulis serahkan
semoga dapat dibalas dengan pahala yang setimpal.
Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Saran dan kritik penulis sangat harapkan demi perbaikan ke depan.
Jakarta, 18 Januari 2011
15 Shafar 1432
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8
D. Riview Terdahulu ............................................................................ 9
E. Objek Penelitian .............................................................................. 10
F. Metode Penelitian............................................................................ 11
G. Sistematika Penulisan...................................................................... 14
BAB II PROSES KHITBAH MASYARAKAT DESA PULUNG REJO
KECAMATAN RIMBO ILIR JAMBI
A. Sekilas tentang Khitbah dalam presfektif Fiqih .............................. 16
B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Pulung Rejo ........................... 31
C. Pelaksanaan Khitbah Desa Pulung Rejo Kecamatan
Rimbo Ilir Jambi ............................................................................. 36
BAB III BEBERAPA PENYEBAB PEMBATALAN KHITBAH DESA
PULUNG REJO KEC. RIMBO ILIR JAMBI
A. Faktor Adanya Pihak Ketiga............................................................. 47
B. Faktor Pendidikan ............................................................................ 49
iv
C. Faktor Ekonomi ................................................................................ 51
D. Faktor Ketaatan................................................................................. 52
E. Faktor Kematian .............................................................................. 55
BAB IV GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH PADA
MASYARAKAT DESA PULUNG REJO
A. Pengetahuan Masyarakat Desa Pulung Rejo Tentang Ganti Rugi
Dalam Pembatalan Khitbah .............................................................. 57
B. Tinjauan Sosiologis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat
Desa Pulung Rejo ............................................................................. 67
C. Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Desa Pulung Rejo ........... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 77
B. Saran ............................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 81
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pergaulan hidup manusia diatur antara lain oleh kaedah-kaedah yang
merupakan pedoman atau patokan dalam batas-batas perikelakuan manusia.
Secara sadar maupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari manusia dibatasi
perikelakuannya, agar dia tidak merugikan pihak lain. Pelanggaran terhadap
batas-batas yang ditentukan oleh kaedah-kaedah tersebut, akan menyebabkan
terjadinya pertentangan kepentingan yang mungkin sekali akan menggoncangkan
seluruh masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat. 1
Dalam masyarakat maupun kelompok-kelompok sosial lainnya, senantiasa
dikenal apa yang disebut dengan pengendalian sosial (social control). Sistem
pengendalian sosial (disebut juga “pengendalian sosial” saja atau “kontrol sosial”
atau kadang-kadang juga dinamakan “pengawasan sosial”) adalah, suatu proses
baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak,
membimbing, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai
dan kaedah-kaedah yang berlaku. 2
1 Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h. 47.
2 Ibid., h. 48.
2
Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif. Pada
pengendalian sosial yang bersifat preventif, merupakan usaha yang dilakukan
sebelum terjadi pelanggaran, tujuannya untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
Sedangkan pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah
terjadi pelanggaran dan berusaha hendak memulihkan keadaan pada situasi
semula atau sebelum pelanggaran itu terjadi.3
Pengalaman-pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu
dihadapkan pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan
membentuk pola tingkah laku masyarakat, yang secara umum harus diindahkan
dan dihormati oleh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup
yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk
norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuanya untuk mengatur
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dinamakan dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan adat istiadat.4
Kata “adat” sebenarnya berasal dari bahas Arab, yang berati kebiasaan.
Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta
“a” (berarti “bukan”) dan “dato” (yang artinya “sifat kebendaan”). Dengan
demikian, maka adat sebenarnya bersifat immaterial: artinya, adat menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.5
3 Ibid., h. 49.
4Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47.
5 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV Rajawali,
1981), h. 83.
3
Adapun kenyataan yang hidup di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir
Jambi, yang moyoritas masyarakatnya merupakan transmigran dari pulau Jawa.
Maka mereka pun tetap mengembangkan tradisi atau kebiasan yang mereka
lakukan pada saat masih tinggal di Jawa. Salah satu kebiasaan adat yang tidak
ditinggalkan adalah dalam masalah pelaksanaan pernikahan yang termasuk di
dalamnya tentang khitbah atau lamaran. Bagi masyarakat Pulung Rejo ini orang
yang akan menikah harus melakukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak
perempuan.
Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu di antara pria dan
wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini
orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang
apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa
dibicarakan hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama.
1. Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang
tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang
lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul
oleh empat orang pria.
2. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain: Jadah (dodol),
wajik, rengginang dan sebagainya.
3. Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari
bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan
kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket, Jawa).
4. Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak keluarga laki-laki dan
perempuan, merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara pening
setan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari dalam
baik untuk upacara pening setan dan hari ijab pernikahan.6
6 http//Id. Wikipedia.Org/Wiki/Upacara_Pernikahan, diakses pada tanggal 23 juli 2010.
4
Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara dua pihak yang
saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian. Suatu
perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah disepakati.
Supaya perjanjian disepakati dapat mengikat harus ada tanda ikatan. Tetapi
dengan adanya tanda ikatan belum tentu suatu perjanjian itu dapat dipenuhi.
Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak, di mana kedua pihak berkewajiban memenuhi perjanjian yang telah
disepakati itu. Istilah yang terkenal dalam adat Jawa sebagai tanda jadi adalah
panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun terkadang juga dipakai
dalam hubungan perkawinan.7 Namun secara umum yang terkenal dalam istilah
perjanjian dalam hubungan pernikahan adalah peningsetan.
Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat,
peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan
sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon
pengantin wanita.
Menurut tradisi peningsetan terdiri dari: Kain batik, bahan kebaya,
perhiasan emas seperti cincin, gelang, kalung, dan uang yang lazim disebut tukon
(imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah
(dodol), wajik, rengginang, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu
jenjang (satu karung) kelapa, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut
7 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), h.
92.
5
kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur. Biasanya penentuan hari
baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara
peningsetan.8
Cincin merupakan paningsetan yang sering dipergunakan dalam
masyarakat Pulung Rejo dalam pelaksanaan lamaran. Pemberian cincin dilakukan
pada saat proses lamaran itu dilaksanakan, atau setelah lamaran diterima sebagai
tanda ikatan dan keseriusan, serta setelah lamaran diterima oleh pihak keluarga
wanita maka, selanjutnya dibicarakan masalah palang atau ganti rugi bila kelak
ada salah satu pihak yang menyalahi janji atau membatalkan khitbahnya. Dengan
jumlah uang yang telah disepakti dan ditentukan oleh keluarga kedua belah pihak,
serta disaksikan oleh tokoh desa dan para sesepuh desa serta tetangga-tetangga
terdekat. Dikarenakan ada pihak yang merasa dirugikan baik berupa moril
maupun materil. Dalam segi moril misalnya, nama baik keluarga tercoreng dan
adanya anggapan bahwa orang yang lamarannya dibatalkan akan sulit kembali
untuk mendapatkan jodoh. Sedangkan dari segi materil dapat dilihat dari biaya-
biaya yang telah dikeluarkan dalam acara lamaran. Selain itu dalam masalah
waktu yang hanya terbuang sia-sia karena menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Adapun yang sering djiadikan sebagai alasan masyarakat Pulung Rejo
dalam pembatalan khitbah, dikarenakan ketidakcocokan dari dua keluarga besar
yang diketahui setelah proses lamaran itu terjadi. Banyak juga dikarenakan
lamanya waktu antara masa peningsetan atau tunangan dengan akad nikah yang
8 http//Id. Wikipedia. Org/Wiki/Upacara_Pernikahan, diakses tanggal 23 juni 2010.
6
akan dilaksanakan. Sehingga banyak hal yang mungkin terjadi diantaranya:
adanya lamaran dari pihak lain bagi pihak perempuan yang lebih siap dan mapan
dari segi ekonomi dan dari pihak laki-laki pun dimungkinkan karena jatuh hati
lagi kepada perempuan lain yang menyebabkan keraguan untuk melanjutkan
pertunangannya ke jenjang pernikahan atau merasa bahwa diri mereka belum
cukup mapan untuk menghidupi sebuah keluarga.
Pada dasarnya, khitbah belum mengakibatkan hukum apapun sehingga
bila terjadi pembatalah dibolehkan. Akan tetapi, dari realitas yang terjadi dalam
masyarakat Desa Pulung Rejo orang yang membatalkan khitbah akan diberi
sanksi ganti rugi, sebenarnya masyarakat mempunyai tujuan baik dalam segi
norma dan nilai-nilai sosiologis yang akan dicapai dan dipertahankan dalam
kehidupan bermasyarakat. Dan salah satunya upaya masyarakat untuk
mengantisifasi terjadinya konflik setelah pembatalan.
Konflik-konflik terbuka dalam masyarakat harus dicegah dan setiap
pangkat, kedudukan yang ada di masyarakat harus diakui, melalui sikap saling
menghormati. Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo yang ingin
mempertahankan hidup rukun, adil, damai, saling menghormati, menghargai
sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera.
Maka berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengkaji lebih dalam
sebuah skripsi yang terjudul “Ganti Rugi Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan
Sosiologis” (Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo
Ilir Jambi).
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Kembali kepada latar belakang di atas, penulis mengidentifkasi seputar
masalah faktor-faktor serta akibat dari pembatalan khitbah, jika dilihat atau
ditinjau sebagai wilayah kajian sosiologis. Maksud dari dibebankanya ganti rugi
kepada pihak yang membatalkan khitbah dengan sejumlah uang yang telah
disepakati kedua belah pihak, dikarenakan masalah khitbah itu bukan persoalan
kecil. Disanalah nama keluarga besar diikut sertakan dan jika terjadi sesuatu yang
tidak baik maka nama keluarga juga yang akan tercoreng.
Disini penulis lebih melihat bahwa masyarakat Desa Pulung Rejo Kec.
Rimbo Ilir Jambi, menginginkan suatu kehormatan keluarga seseorang itu terjaga.
Selain itu, masyarakat juga mengharapkan suatu kehidupan yang harmonis antara
satu sama lain dengan tidak ada perpecahan dan kesalah pahaman yang
menyebabkan rasa dendam serta konflik yang berkepanjangan.
Melihat dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,
maka dapat diidentifikasikan bahwa permasalan pokok yang akan diteliti dan
diuraikan dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan khitbah di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir
Jambi.
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pembatalan khitbah di Desa
Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.
3. Apa tujuan masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi
membebankan ganti rugi pembatalan khitbah.
8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Dalam skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis,
adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pelaksanaan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo
Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.
2. Mengetahui faktor penyebab pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa
Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.
3. Mengetahui tujuan masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir
Jambi membebankan ganti rugi pembatalan khitbah.
Adapun manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah:
Dapat diketahui bahwa nilai suatu penelitian tergantung pada
metodologinya, juga tentunya dalam hal ini ditentukan pula besarnya manfaat
penelitian tersebut. Untuk itu dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan
adanya manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh:
1. Bagi penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata SI
dan menjadikan wawasan serta ilmu pengetahuan dalam masalah ini.
2. Sebagai bahan kajian dalam dunia akademis.
3. Bagi mahasiswa hasil penelitian dan tulisan ini dapat dijadikan referensi dan
tambahan pemikiran dalam dunia akademik.
Bagi masyarakat penelitian ini, dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan pencerahan pemikiran khususnya dalam masalah khitbah kepada
masyarakat.
2. Supaya masyarakat memikirkan terlebih dahulu dampak positif dan negatif
dalam setiap ingin melakukan sebuah tindakan.
9
D. Review Kajian Terdahulu
Penelitian seputar khitbah (pinangan) belum banyak penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sebelumnya, apalagi penelitian tentang khitbah dalam
keterkaitannya dengan ganti rugi pembatalan khitbah. Dari hasil penelusuran,
penulis menemukan tema tentang peminangan, diantaranya skripsi berjudul:
“Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum Islam (studi
Kasus Kelurahan Rawajati Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan” disusun oleh
Hoirum Kodriasih, mahasiswa jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Skripsi ini, membahas
tentang praktek khitbah khusus masyarakat Betawi di Desa Rawajati. Bahwa ada
sebagian praktek budaya meminang yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
agama Islam.9
Ada juga skripsi yang berjudul “Peminangan dalam Perspektif Fikih dan
KHI (Kompilasi Hukum Islam) disusun oleh Nurkhairiyati Hernia, jurusan
Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008. Dalam skripsi ini, penulis menjelaskan konsep peminangan
menurut Fikih dan KHI, serta membandingkan persamaan dan perbedaan
diantara keduanya.10
9 Hoirum Kodriasih. Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum Islam
(Studi Kasus di Kelurahan Rawajati Kec. Pancoran Jakarta Selatan), Jurusan Ahkwal Al-Syakhsiyah,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
10 Nurkhairiyati Hernia. Peminangan dalam Perspektif Fikih dan Kompilasi Hukum Islam,
Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.
10
Selanjutnya ada juga skripsi yang berjudul “Prosesi Peminangan Menurut
Adat Bima dalam Prespektif Islam (Studi Kasus di Kec. Danggo Kab. Bima
Nusa Tenggara Barat), disusun oleh Toty Citra Warsita, Jurusan Administrasi
Keperdataan Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2010. Skripsi ini menjelaskam adat peminangan Bima yang dianggap
sedikit menyimpang dari ajaran agama Islam, karena masyarakatnya masih
dipengaruhi tradisi nenek moyang.11
Sedangkan dalam skripsi ini, penulis membedakan pembahasan penelitian
dari skripsi yang sudah ada di atas dengan perbedaan, yaitu terkait dengan
konteks pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah yang ditinjau dari
aspek sosiologis, yang merupakan studi kasus masyarakat Desa Pulung Rejo
Jambi. Dengan alasan bahwa tinjauan terhadap aspek sosiologisnya yang lebih
relevan sebagai pertimbangan untuk mencegah kegagalan dalam pernikahan.
E. Objek Penelitian
Penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat Desa
Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi, khususnya dalam permasalahan ganti
rugi terhadap pembatalan khitbah.
11
Toty Citra Warsita, Prosesi Peminangan Adat Bima dalam Perspektif Islam (Studi kasus di
Kec. Danggo Kab. Bima Nusa Tenggara Barat), Jurusan administrasi Keperdataan Islam, Fakultas
Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010.
11
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Sifat dan Pendekatan
Penelitian ini adalah penelitian empiris yang bersifat deskriptif, di mana
penulis bertujuan memberikan gambaran terhadap keadaan masyarakat Desa
Pulung Rejo, dalam masalah ganti rugi pembatalan khitbah, berdasarkan
faktor-faktor, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial dan adat yang
nampak dan berpengaruh dalam situasi yang diselidiki. Pendekatan yang
peneliti gunakan yaitu, metode penelitian hukum sosiologis yang dinyatakan
sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan.12
Seperti,
melihat unsur-unsur sosial yang mempengaruhi pembebanan ganti rugi
pembatalan khitbah Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo ilir Jambi.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data
yang primer dan sumber data yang skunder. Adapun sumber data yang primer
adalah:
a. Responden, yakni orang atau keluarga yang dijadikan objek penelitian,
dalam hal ini adalah pelaku yang khitbahnya dibatalkan maupun yang
membatalkan (HY, SP, WD, WG, SK, A) tokoh adat (Bpk. Dainuri),
12
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), h.
76.
12
tokoh agama (Bpk. H. Sudayat), yang dianggap relevan dimintai
keterangan.
b. Informan, yakni orang yang memberikan informasi mengenai situasi dan
kondisi obyektif wilayah daerah yang diteliti yang terdiri dari aparatur
pemerintahan (Bpk. Sakiyo) sesepuh Desa Pulung Rejo (Bpk.
Somorejono).
Sedangkan sumber data yang sekunder adalah buku-buku yang berkaitan
dengan persoalan perkawinan terutama yang membahas khitbah (Upacara
Perkawinan Adat Jawa, karangan Thomas Wijaya Bratawijaya) dan buku-
buku yang terkait dengan adat-istiadat (Hukum Perkawinan Adat, karangan
Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Indonesia). Selain itu buku pengantar
sosiologi (Memperkenalkan Sosiologi, Sosiologi Suatu Pengantar, karangan
Soerjono Soekanto), serta masih banyak lagi buku-buku yang berkaitan
dengan pembahasan skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Dilakukan oleh penulis kepada sejumlah responden sebanyak 4 orang
yang merupakan pelaku pembatalan khitbah di Desa Pulung Rejo ( SP,
SK, WG, A). Dan 2 orang yang khitbahnya dibatalkan (HR, WD) sebagai
sampel dan wawancara dengan Sesepuh Adat (Bpk. Somorejono), tokoh
agama (Bpk.H. Sudayat), tokoh adat (Bpk. Dainuri), Kepala Desa Pulung
13
Rejo (Bpk. Sakiyo), (masing-masing satu orang). Dalam hal ini penulis
menggunakan metode interview terpimpim dengan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses
interview terfokus pada permasalahan yang dimaksud.
b. Studi kepustakaan
Studi ini dilakukan untuk mencari data melalui buku-buku tentang
perkawianan khususnya yang membahas khitbah, (Upacara Perkawinan
Adat Jawa), adat-istiadat perkawinan orang Jawa,(Hukum Perkawinan
Adat, Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa, Hukum Adat Indonesia)
dan buku sosiologi seperti, Memperkenalkan Sosiologi, Sosiologi Suatu
Pengantar, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Hukum dan
Masyarakat, Sosiologi Kontemporer, serta buku lainya sebagai literatur
yang berkaitan dengan persoalan yang penulis bahas.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam pengolahan data penulis menguraikan pendapat responden tentang
ganti rugi pembatalan khitbah dalam bentuk kata-kata atau kalimat bedasarkan
pertanyaan yang penulis ajukan, kemudian penulis juga menganalisis apa
yang menjadi faktor-faktor serta tujuan yang melatar belakangi masyarakat
Desa Pulung Rejo membebankan ganti rugi pada pihak yang membatalkan
khitbah. Dan setelah seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan
kepustakaan diseleksi, disusun, diklasifikasikan serta direduksi lalu diadakan
analisis data dalam bentuk analisis deskriptif yang disajikan dalam uraian.
Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan
14
jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi
yang biasa disebut editing.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan
skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta tahun
2007.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari sub-sub
pokok sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan yang mencakup dari latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, objek
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Pada bab kedua ini menguraikan sekilas tentang khitbah dalam
prespektif Fiqih, kondisi monografi, kondisi demografi, kondisi
sosiologi dan gambaran adat yang digunakan oleh masyarakat Desa
Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi.
BAB III Bab ketiga ini penulis akan menjelaskan, beberapa penyebab
masyarakat membatalkan khitbahnya bila dilihat dari sosial
masyarakat Desa Pulung Rejo.
BAB IV Sedangkan dalam bab empat ini penulis akan menjelaskan,
pengetahuan masyarakat Desa Pulung Rejo tentang ganti rugi dalam
15
pembatalan khitbah, tinjauan sosiologis pembatalan khitbah serta
analisis dari penulis yang merupakan hasil penelitian.
BAB V Pada bab lima ini yang merupakan hasil akhir dari penelitian yang
berisikan penutup dan kesimpulan dari pembahasan bab-bab
sebelumnya.
16
BAB II
PROSES KHITBAH MASYARAKAT DESA PULUNG REJO
KECAMATAN RIMBO ILIR JAMBI
A. Sekilas Tentang Khitbah dalam Perspektif Fiqih
1. Pengertian dan Dasar Hukum Khitbah
Kata Khitbah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai sinonim
dengan peminangan, yang berasal dari kata “pinang” atau “meminang” (kata
kerja)1 atau bersinonim juga dengan melamar.
Secara etimologis meminang atau melamar artinya (antar lain)
“meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”.
Sedangkan, secara terminologis peminangan adalah “ kegiatan atau upaya ke
arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang
wanita “2 atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk
menjadi isteri dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Dalam pelaksanaan khitbah biasanya masing-masing pihak saling
menjelaskan keadaan dirinya atau keluarganya. Tujuannya tidak lain untuk
menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak.3 Khitbah
1Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 73.
2 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Perssindo,
1992), h. 113.
3 Dahlan Idhamy, Azas-azas Fiqih Munakahat (Surabaya: AL-Ikhlas, 1984), h. 15.
17
merupakan pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, disyari‟atkan
sebelum ada ikatan suami isteri dengan tujuan agar memasuki perkawinan
didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing
pihak. Adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa
yang jelas dan tegas (syarih) atau dapat juga dilakukan dengan sindiran
(kinayah).4
Adapun dasar nash al-Quran tentang khitbah atau lamaran:
2235 Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang
ma'ruf]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah (2): 235)
Dasar nash hadits yaitu hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu
Daud:
4 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu ( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984) juz III,
h. 10.
18
5
Artinya:
“Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika
ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk
menikahinya, maka laksanakanlah” (HR.Abu Daud).
Demikianlah makna khitbah ditinjau dari segi bahasa Arab adalah
lamaran atau permohonan seorang laki-laki kepada perempuan yang dipinang
untuk dinikahinya. Maka pinangan dalam pandangan syari’at Islam bukanlah
suatu transaksi (akad) antara laki-laki yang meminang dengan perempuan
yang dipinang atau walinya. Akan tetapi, itu tidak lebih dari pada lamaran
atau permohonan untuk menikah.
Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Tidak dalam pinangan orang lain.
b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang
dilangsungkannya pernikahan.
c. Perempuan itu tidak pada masa iddah karena thalak raj’i.
d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena thalak ba’in, hendaklah
meminang dengan cara siryy ( tidak terang-terangan ). 6
2. Tujuan Khitbah atau Lamaran
Setiap orang yang melakukan peminangan sebelum akad pernikahan,
adalah untuk merealisasikan tujuan yang sangat banyak, yang terpenting
diantaranya tujuan-tujuan itu adalah :
5 Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud ( Beirut:
Daar Ibnu Hazm, 202 H), Jilid, II, h. 480.
6 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 74.
19
a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang
serta keluarga kedua belah pihak. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang
(mawaddah) selama masa pinangan, setiap salah satu dari salah satu pihak
akan memanfaatkan momen ini secara maksimal dan penuh kehati-hatian
dalam mengenal pihak yang lain, berusaha untuk menghargai dan
berinteraksi dengannya.
b. Ketentraman jiwa, karena sudah merasa cocok dengan masing-masing
calon pasangannya, maka memunginkan bagi keduanya merasa tentram
dan yakin dengan calon pasangan hidupnya. 7
Sedangkan hikmah disyariatkanya pinangan, meskipun hukumnya
tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah.
Adapun hikmah dari adanya syariat pinangan adalah untuk lebih menguatkan
ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan pinangan itu
kedua belah pihak dapat saling mengenal.
3. Hukum Melihat Calon Pinangan
Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan
kesenangannya, semestinya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan
dipinangnya, sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan
atau dibatalkan. Melihat orang yang akan dijadikan teman hidup sebagai
bentuk ibadah harus dilakukan dengan teliti dan melalui berbagai
pertimbangan normal seperti isyarat hadits:
8
7 Abd. Nashir Taufiq, Saat Anda Meminang (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 19-21.
8 Muhammad Nasruddin Al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (Beirut: Al-Maktab Al-
Islami), h., 175.
20
Artinya:
“Seorang perempuan dinikahi (dijadikan isteri) atas dasar empat
pertimbangan yaitu: karena kecantikannya hartanya, keturunannya, agamanya,
maka menangkanlah pilihan agama dan engkau akan beruntung”
Begitu pula dengan seorang perempuan, secara tersirat hadits tersebut
menyebutkan kata “laki-laki” untuk diterima khitbahnya dengan empat
pertimbangan:
a. Karena ketampanannya
b. Karena hartanya
c. Karena keturunannya
d. Karena agamanya
Karena adanya kesetaraan kedudukan antara pria dan wanita di
hadapan Allah, maka hak melamar dan dilamar akan terealisasikan secara
proposional berdasarkan keadaan yang memungkinkan9. Karena kita ketahui
tujuan dari pernikahan itu mulia, yaitu untuk mendapatkan keturunan,
memelihara kehormatan, merealisir segi-segi ibadah, kesehatan moral,
kemasyarakatan dan sebagainya. Islam mengharapkan agar kita sampai pada
cita-cita yang dimaksud, maka tidak ada salahnya apabila laki-laki berupaya
menyelidiki perempuan yang hendak dinikahinya, agar dapat dirasakan
keserasian yang sebenarnya.10
Sebagian ulama berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan
dipinang itu hukumnya sunnah. Keterangannya adalah sabda Rasulullah
SAW:
9 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Mazhab (
Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 137-138.
10
Thoriq Ismail Kahiya, Matakuliah Menjelang Pernikahan, Hukum Melamar Perempuan
yang Sudah Dilamar Orang Lain ( Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), h. 86.
21
11
Artinya:
“Apabila salah seorang kamu meminang seorang perempuan,
sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga
bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat
Ahmad dan Abu Daud)
Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak
tangan. Fuqaha yang lain membolehkan melihat seluruh bagian badan kecuali
dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali.
Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan
dua telapak tangan.12
Perbedaan pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini
terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan
secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka
dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan
dengan firman Allah SWT pada surat an-Nur; 31
(
Artinya:
“Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya (Qs An-Nur : 31)
11
Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud, ( Beirut:
Daar Ibnu Hazm, 202 H), jilid,II, h. 480.
12
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid. Penerjemah Imam
Ghhazali Said, (Jakarta : Pustaka Amani, 1989) jilid II, h. 395.
22
Pengertian “perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka
dan telapak tangan. Karena diqiyaskan pada waktu berhaji.13
Selain itu
Jumhur juga berpendapat bagian yang boleh dilihat yitu muka dan telapak
tangan. Dikarenakan dengan melihat muka dapat diketahui cantik atau jelek
dan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak.14
Izin untuk melihat ini tidak harus dengan persetujuan perempuan
tersebut, dan sebaiknya dilakukan tanpa sepengetahuannya, karena hal itu
mutlak diizinkan oleh Rasulullah SAW, tanpa syarat keridhaannya. Biasanya
perempuan akan malu untuk memberikan izin. Hal ini hanya untuk menjaga
agar tidak melukai perasaannya, kalau setelah melihatnya laki-laki itu
mengundurkan diri. Karena itulah dianjurkan untuk melihat tanpa
sepengetahuan si perempuan sebelum melakukan peminangan.
Bilamana seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak
menarik hati, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang
menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya itu
akan disenangi orang lain.15
4. Permasalahan dalam Khitbah
Khitbah merupakan pendahuluan untuk melakukan pernikahan dan
merupakan perbuatan mubah, memiliki tata cara tertentu yang diatur oleh
13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2009), h. 25.
14
M. Bukhori, Hubungan Seks menurut Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 18.
15
Tihami dan Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 27
23
Islam. Hal-hal tersebut terkait dalam permasalahan yang akan dibahas sebagai
berikut antara lain :
a. Meminang Pinangan Orang Lain
Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti
merampas hak dan menyakiti hati orang lain, memecahkan hubungan
kekeluargaan, menganggu ketentraman. Maksud dari meminang pinangan
orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima
pinangan laki-laki yang pertama dan Walinya dengan terangan-terangan
mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan
semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau laki-laki yang
kedua belum tahu ada orang lain yang sudah meminangnya, atau pinangan
pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama
mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya maka yang demikian
diperbolehkan.16
Alasan secara umum adanya larangan melamar perempuan yang
sudah dilamar orang lain karena akan mengakibatkan terlukanya perasaan
pelamar pertama, sehingga akan menimbulkan perseteruan dan kemarahan
serta rasa sakit hati yang berlebihan.
b. Meminang Wanita yang dalam Masa Iddah
Diharamkan bagi orang yang meminang mantan istri orang lain
atau wanita yang sedang iddah, baik dalam masa iddah kematian
16
Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat ( Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 78.
24
suaminya, karena talaq raj’i maupun talak ba’in. Jika perempuan yang
sedang Iddah talaq raj’i haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan
mantan suaminya, dan suaminya masih berhak merujuknya kembali
sewaktu-waktu ia suka.17
Adapun, melakukan lamaran kepada perempuan
dalam keadaan talak ba‟in (talak tiga), tidak boleh dengan terang-
teranganberdasar kesepakatan. Sedang, fuqaha berbeda pendapat tentang
lamaran yang dilakukan cara sindirian kepada perempuan karena talak
ba‟in. 18
Sedangkan bagi perempuan yang sedang iddah kematian boleh
dipinang secara sindiran, walaupun kalangan ulama fikih masih berbeda
pendapat, karena perempuan yang sedang iddah kematian hubungan suami
istri terputus sehingga hak suami terhadap istri hilang sama sekali.
Meskipun demikian, pinangan yang diajukan kepada perempuan tersebut
hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai mencemarkan namanya
dimata tetangga atau kerabatnya.19
Sebagaimana firman Allah SWT:
17
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengakap (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2009), h., 30.
18
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab
(Jakarta: PT Heza Lestari, 2006), h., 117.
19
Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h, 30.
25
)2235
Artinya:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-
nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap
hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah
bahwasanya Allah SWT mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka
takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah (2): 235)
c. Menyendiri dengan Tunangan
Tidak boleh seseorang menyendiri dengan tunangannya, karena
mereka belum menikah dan belum menjadi suami isteri. Mereka masih
tetap dianggap orang lain sampai adanya akad yang pernikahan
dengannya.20
Hal ini karena menyendiri dengan pinangan mendorong
melakukan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila ditemani
oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya maksiat-
maksiat, maka diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kaitannya dengan
hadits Rasulullah SAW :
20
Abu Muhammad Asraf bin Abdul Maqsud, Curhat Pernikahan (Bandung : Pustaka
Rahmat, 2009), h. 16.
26
21
Artinya:
“Dari Amir bin Robi‟ah, Rasulullah bersabda: “Diharamkan
kepada laki-laki berdua dengan wanita yang bukan mahramnya karena
yang ketigannya adalah setan kecuali ada mahram” (HR. Ahmad).
d. Tukar Cincin dalam Tunangan
Bertukar cincin yang dilakukan sebagai tanda adanya ikatan antara
seorang perempuan dengan seorang lak-laki sebagai tunangannya bukan
merupakan cara Islam. Tukar cincin juga bukan cara bangsa-bangsa Asia,
melainkan cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari
gereja. Jadi, tukar cincin ini mulanya bukan pula cara umat Kristiani,
melainkan warisan kebudayaan Romawi.
Tukar cincin diadakan sebagai ikatan akan kawin, bukan sebagai
tanda sudah kawin. Orang yang baru bertukar cincin belum dikatakan
punya ikatan sah sebagai suami isteri sebelum dilakukannya akad nikah.
Mereka masih sama-sama orang asing. Walaupun sering terjadi di tengah
masyarakat antara perempuan dan laki-laki yang bertukar cincin bebas
bergaul berduaan, pergi bersama-sama seperti layaknya suami isteri.22
21
Ahmad Ibnu Hambal, Almusnad lil Imam Ahmad Ibnu Hambal (Beirut-Libanon: Darul
Fikri, 1994 H/ 1414 M), h. 450.
22
Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawianan Islami (Bandung : Irsyad Baitus
Salam, 1995), h. 75.
27
Adapun khilafiyah hukum laki-laki memakai cincin emas,
dikarenakan adanya larangan dari Rasulullah bagi lak-laki menggunakan
cincin yang terbuat dari emas :
23
Artinya:
“Dari Addullah bin Umar, Nabi SAW pernah menyaksikan
sebagian sahabat mengenakan cincin emas, maka beliau berpaling dari
padanya, lalu dilemparkannya, akhirnya mengenakan cincin dari besi.
Kemudian, Rasul SAW bersabda : Ini jelek dan ini perhiasan penduduk
neraka, lalu dilemparkan. Maka, mereka mengenakan cincin dari perak.
Dan beliau diam, tidak lagi memberi komentar (HR. Abu Daud dan
Baihaqy)
5. Akibat Hukum Khitbah
Khitbah adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah.
Kadang-kadang seorang laki-laki yang akan mengkhitbah seorang wanita
memberikan hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan
baru antara mereka. Tetapi harus diingat bahwa semua perkara adalah
wewenang Allah SWT, Dia berbuat sekehendak-Nya, bagaimanapun dan
waktu kapanpun kadang-kadang terjadi sesuatu diluar perhitungan manusia,
23
Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud (Beirut:
Daar al-Haris, 202 H), Jil. II, h. 214.
28
seperti ada pihak keluarga yang ingin membatalkan rencana perkawinan. Ini
pernah terjadi dan sering terjadi.24
Khitbah hanya bermaksud memperlihatkan atau mengumumkan akan
diadakan pernikahan, jangan ditambah-tambah keadaanya, diperkuat, dan
ditetapkan kedudukannya. Bagaimanapun juga, khitbah tidak menyebabkan
adannya ketentuan bagi si wanita untuk secara bebas menjadi hak bagi yang
meminangnya. Ada yang penting ditekankan disini adalah bahwa perempuan
yang dipinang tetap merupakan orang lain bagi laki-laki yang meminang,
sampai pernikahannya dengan perempuan itu terlaksana dengan baik.
Perempuan statusnya belum dapat berubah menjadi istri sebelum akad syara’
yang benar dilangsungkan. Rukun dasar dalam akad nikah adalah ijab qobul.
Ijab dan qobul berupa lafazh-lafazh perjanjian yang sudah diketahui menurut
adat dan syara.25
Wajib kita ketahui bahwa kitbah hanyalah janji untuk mengadakan
perkawinan tetapi bukan akad nikah yang mempunyai kekuatan hukum.
Memenuhi janji untuk menikah adalah kewajiban bagi kedua belah pihak
yang berjanji. Agama tidak menetapkan hukum tertentu bagi pelanggarnya
tetapi melanggar janji adalah temasuk perbuatan yang tercela, pelanggaran
24
H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani,
1989), h. 27.
25
Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, Qardhawi MenJawab (Bandung,
Trigenda Karya, 1995), h. 489.
29
janji adalah salah satu sifat munafik.26
Akan tetapi walaupun khitbah hanyalah
sebagai pendahuluan sebelum dilaksanakannya akad nikah, tetapi ada akibat
yang ditimbulkan jika khitbah tersebut dibatalkan. Biasanya dalam
melaksanakan khitbah pihak laki-laki seringkali sudah memberikan
pembayaran mahar seluruh atau sebagiannya dan memberikan macam-macam
hadiah serta pemberian-pemberian guna memperkokoh pertalian dan
hubungan yang masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi bahwa pihak
laki-laki atau wanita ataupun kedua-duanya kemudian membatalkan rencana
pernikahannya.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa khitbah semata-mata baru
merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah. Dan membatalkannya
adalah menjadi hak masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat
perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janjinya Islam tidak mejatuhkan
hukuman materil, sekalipun perbuatan ini dipandang umat tercela dan
dianggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalau
ada alasan-alasan yang benar yang menjadi sebab tidak dipatuhinya
perjanjianya tadi.
Pemberian yang telah diberikan oleh peminang yang berupa mahar
harus dikembalikan, karena mahar adalah dalam rangka perkawinan. Sebelum
perkawinan berlangsung pihak wanita belum berhak meminta mahar, mahar
itu wajib dikembalikan karena mahar itu masih milik si peminang. Adapun
26
Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, h. 27.
30
hadiah-hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah, karena itu tidak perlu
diminta kembali sebab sudah menjadi milik wanita yang dipinang dan ia
sudah boleh memanfaatkannya. Orang yang menuntut kembali pemberiannya
berarti mencabut milik orang lain tanpa kerelaanya, perbuatan ini bathil
menurut syara’. Kecuali apabila peminang memberikan sesuatu minta ditukar
dengan barang lainnya kemudian yang diberi belum memberi ganti maka ia
berhak meminta kembali pemberiannya, karena pemberiannya itu
dimaksudkan untuk menukar dan apabila perkawinan tidak jadi berlangsung
maka ia berhak meminta kembali pemberiannya.27
6. Hukum pembatalan Khitbah
Khitbah atau lamaran adalah permulaan sebagai pembuka pintu
menuju pernikahan. Sebagai pembuka disini dapat diasumsikan janji untuk
menikah dan bukan sebagai pelegalan hubungan antara laki-laki dan
perempuan.28
Walaupun pandangan sering kita saksikan ditengah masyarakat
yang baru bertunangan. Mereka bebas bergaul berduaan, pergi bersama-sama
layaknya suami isteri, bahkan berbincang dan bercengkrama tanpa bersama
mahramnya.
Dan karena khitbah itu merupakan janji yang direncanakan, maka
tidak mengikat hubungan antara keduanya sehingga ada kemungkinan
27
Ibid., h. 27-28.
28
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab
(Jakarta, PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 91.
31
dibatalkan oleh sebab-sebab tertentu.29
Terhadap orang yang menyalahi janji
Islam tidak menentukan hukuman tertentu, sekalipun perbuatan itu dipandang
tercela dan dianggap sebagai salah satu sifat kemunafikan.30
Islam membolehkan pembatalan pinangan dengan syarat dalam
melakukan pembatalan pinangan harus didasarkan dengan alasan yang
rasional, tidak boleh apabila pembatalan dilakukan tanpa alasan yang tidak
dibenarkan oleh syara’ karena akan mengecewakan salah satu pihak.
B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Pulung Rejo
1. Kondisi Geografis Masyarakat Desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Desa Pulung Rejo
Kec. Rimbo Ilir Jambi. Yang mempunyai luas desa 1,137.HA, dengan batas
wilayah :
Sebelah Utara : berbatasan dengan desa Karang Dadi
Sebelah Selatan : berbatasan dengan desa Simpang Babeko
Sebelah Barat : berbatasan dengan PTP. Nusanrata VI.Rimbo Bujang
Sebelah Timur : Berbatasan dengan desa Sido Rejo
Adapun terletak pada ketinggian tanah dan permukaan laut 500m,
banyaknya curah hujan 3000mm/th suhu udara rata-rata 32 cc. Orbitasi atau
29
Ibid,. h. 91.
30
Agus Salim, Risalatun Nikah, ( Jakarta, Pustaka Amani, 1989), h. 27
32
jarak pusat pemerintahan desa dari pusat pemerintahan kecamatan 4km, jarak
ibu kota kabupaten 44km, dan jarak dari ibu kota propinsi 254 km.31
Dengan luas tanah yang ada maka pemerintahan desa Pulung Rejo
membagi-baginya menjadi beberapa fasilitas umum:32
Jalan sepanjang : 12 km
Bangunan umum : 6 Ha
Pemukiman atau perumahan seluas : 42, 5 Ha
Kuburan : 2 Ha
Perkantoran : 2 Ha
Pasar desa : 4 Ha
Perkarangan : 420 Ha
Perkebunan rakyat seluas : 630 Ha
2. Kondisi Demografi desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi
Wilayah Desa Pulung Rejo sama halnya dengan wilayah-wilayah lain
setiap tahun penduduk Desa Pulung Rejo bertambah, dan dari segi
pembangunan fisik pun terus berkembang mengikuti arus perkembangan.
Berdasarkan buku laporan kegiatan kecamatan 2010 dapat diketahui bahwa:
Jumlah penduduk : 2309 orang
Laki-laki : 1179 orang
Perempuan : 1130 orang
Jumlah kk : 584 orang
31
Sumber Data Monografi desa Pulung Rejo Tahun 2010, h. 1.
32
Ibid. h., 2.
33
Adapun mata pencaharian penduduk Desa Pulung Rejo pada
umumnya sebagai petani.
Untuk melihat berbagai mata pencaharian penduduk Desa Pulung Rejo
dapat dilihat tabel 1 berikut ini:
Tabel 2.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No. Pekerjaan Jumlah
1 PNS 39 orang
2 Swasta 20 orang
3 Pedagang 82 orang
4 Tani 725 orang
5 Pertukangan 14 orang
6 Nelayan 7 orang
7 Buruh tani 300 orang
Jumlah 1187 orang
Sumber: Data Desa Pulung Rejo, Tahun 2010
Melihat dari tabel diatas pada tahun 2010 penduduk desa Pulung Rejo
mayoritas bekerja sebagai petani.
3. Kondisi Sosiologis Masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi
a. Bidang keagamaan
Kehidupan beragama di Desa Pulung Rejo cukup baik. Hal ini
dapat dibuktikan bahwa sejak dahulu sampai sekarang tidak pernah terjadi
benturan-benturan yang bersifat keagamaan.
Keberadaan sarana ibadah mutlak dibutuhkan di tengah
masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk di dalamnya
masyarakat desa Pulung Rejo. Untuk menjelaskan sarana tempat
34
peribadatan yang ada di desa Pulung Rejo, dapat dilihat pada Tabel 2
dibawah ini:33
Tabel 2.2
Jumlah Sarana Peribadatan
No Sarana Peribadatan Jumlah
1 Masjid 1buah
2 Mushola 9 buah
Jumlah 10 buah
Sumber: Data Desa Pulung Rejo, 2010
Bangunan fisik sarana peribadatan baik masjid maupun musholah
sudah cukup untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan
aktifitas keagamaanya seperti shalat, pengajian, dan bentuk peribadatan
lain.
Untuk data penduduk menurut penganut agama di Desa Pulung
Rejo dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah:
Tabel 2.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepercayaan Beragama
No Jenis agama Volume Prosentase
1. Islam 2308 orang 99,9567%
2. Kristen 1 orang 0,0433%
Jumlah 2309 orang 100%
Sumber Data : Monografi Desa Pulung Rejo
Penduduk desa Pulung Rejo mayoritas memeluk agama Islam
bahkan penduduk yang menganut agama Kristen hanya satu orang.34
33
Ibid., h. 3.
34
Ibid., h. 4.
35
b. Bidang Pendidikan
Pada tahun 2010 berjumlah 328 siswa dengan tingkat klasifikasi
pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:
Tabel 2.4
Jumlah Penduduk Berdasarkan Golongan Usia Pendidikan
No Sarana pendidikan Jumlah murid
1 Taman kanak-kanak 37 orang
2 Sekolah dasar 185 orang
3 Mandrasah iftidaiyyah 106 orang
Jumlah 329 orang
Sumber Data : Hasil Laporan Tahunan desa Pulung Rejo, tahun 2010
Hanya ada tiga tempat pendidikan yang dapat memfasilitasi
masyarakat pulung rejo khususnya dalam pendidikan, dan jika mereka
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus
kota kecamatan atau Propinsi. Hal ini, yang meyebabkan mereka tidak
mau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan
alasan jauhnya lokasi sarana pendidikan.
Tabel 2.5
Jumlah sarana pendidikan di desa Pulung Rejo
No Sarana pendidikan Jumah
1 Taman kanak-kanak 1 gedung
2 Sekolah Dasar 1 gedung
3 Madrasyah iftida‟iyyah 1 gedung
4 SLTP/Sederajat -
5 SLTA -
Jumlah 3 gedung
Sumber Data : Laporan Tahunan desa Pulung Rejo Tahun 2010
36
Sarana pendidikan di Desa Pulung Rejo memang belum memadai,
sekolah yang ada hanya sampai tingkat sekolah dasar padahal banyak anak
yang bersekolah hingga perguruan tinggi.
c. Bidang Kemasyarakatan
Masyarakat desa Pulung Rejo itu sendiri terdapat 16 kelompok
majlis ta‟lim dengan jumlah anggota 320 orang, sedangkan organisasi
sosial lainya seperti, karang taruna, PKK sebagaimana table dibawah ini:
Tabel 2.6
Organisasi Sosial Masyarakat Desa Pulung Rejo
No Nama Organisasi Jumlah Anggota
1 Majlis Ta‟lim 16 Kelompok 320 orang
2 Karang Taruna 1 Kelompok 170 Anggota
3 Kelompok PKK 1 Kelompok 16 Anggota
Sumber Data : Laporan Tahunan Desa Pulung Rejo Tahun 2010
C. Pelaksanaan Khitbah atau Lamaran di Desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir
Jambi
1. Adat Istiadat Masyarakat Desa Pulung Rejo
Masyarakat pulung Rejo menganut sistem kekerabatan bilateral
sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Kelompok kekerabatan
bilateral seseorang ditelusuri melalaui garis keturunan dari pihak ayah
maupun ibu. Seluruh kerabat yang berasal dari garis keturunan yang sama,
baik laki-laki maupun perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau
sepupu dimasukkan kategori saudara (sedulur).
37
Dalam sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah
diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga yang tidak dikenal oleh
masyarakat Jawa akan tetapi “percabangan” dari kedua sisi. Dengan kata lain,
setiap orang memiliki dua garis nenek-moyang, yakni garis nenek moyang
dari bapak dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk
jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek-
nenek, yakni orang tua bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut „kakek-
nenek pangkuan.35
Masyarakat Pulung Rejo menganut agama Islam. Mereka juga terikat
oleh aturan-aturan adat yang mereka warisi dari nenek moyang dahulu. Adat
istiadat diwarisi secara turun temurun dan tetap diakui serta ditaati oleh
masyarakat.
Masyarakat Pulung Rejo dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya
masih terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang dianggap
luhur dan keramat. Mereka masih percaya pada hal-hal yang bersifat mistis
atau klenik seperti kemenyan dan sesajen. Hal tersebut tidak bisa
ditinggalkan ketika ada suatu hajat (seperti membangun rumah, slametan,
acara perkawinan, dll) yang menurut mereka suatu syarat wajib dilakukan
sehingga hajatnya dapat terkabul.36
35
H. Geert, Keluarga Jawa ( Jakarta: PT. Temprint, 1985), Cet-3, h. 28.
36
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi. Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
38
Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang berati kebiasaan.
Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa
sansekerta a berarti bukan dan dato yang artinya sifat kebendaan. Dengan
demikian, maka adat sebenarnya sifat immaterial : artinya, adat menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan 37
Adapun adat atau kebiasaan yang dipakai oleh masyarakat desa Pulung
Rejo adalah adat yang berasal dari pulau Jawa, dikarenakan mayoritas
masyarakatnya besaral dari Jawa yang ditransmigrasikan secara bersamaan
atau dikenal dengan istilah bedol desa pada tahun 1978. Jadi walaupun
mereka telah menetap lama di Propinsi jambi akan tetapi kebiasaan yang telah
tumbuh dalam jiwa itu susah untuk diubah bahkan, anak cucu mereka pun ikut
mewarisi tradisi-tradisi nenek moyang mereka.
Dalam permasalahan khitbah atau lamaran yang dipraktekan juga
berasal dari tradisi Jawa dahulu. Jika sesorang ingin melaksanakan pernikahan
maka mereka harus melakukan proses lamaran terlebih dahulu sebelum
melanjutkan ke akad pernikahan. Seperti halnya pada proses lamaran pada
adat lainnya yang harus melalui berbagai tahapan maka lamaran adat desa
Pulung Rejo pun melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang.
37
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV Rajawali,
1981), h. 83.
39
2. Pengertian Khitbah atau Lamaran di Masyarakat Desa Pulung Rejo
Istilah meminang (ngelamar) mengandung arti permintaan yang dalam
hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu pihak
kepada pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.38
Bagi orang Jawa ngelamar dilakukan oleh orangtua pihak perjaka
kepada orangtua gadis setelah acara nontoni yaitu melihat dari dekat antara
pihak perjaka dan pihak gadis. Lamaran dilakukan sendiri oleh orangtua sang
perjaka secara lisan yaitu langsung datang ke rumah orangtua sang gadis. Ada
resiko bila orangtua perjaka langsung melamar secara lisan, kerena belum
tentu diterima pada saat itu juga.39
Hal ini disebabkan oleh pihak keluarga sang gadis perlu berunding
dulu dengan para sesepuh yaitu kakek, nenek dan keluarga lainnya.
Akan tetapi, pada zaman sekarang lebih mudah, sebab keragu-raguan
sudah tidak ada lagi, sebab antara sang perjaka dan sang gadis sudah saling
cinta dan cocok. Namun demikian, untuk resminya perlu diadakan tatacara
melamar. Jadi apabila sang perjaka dan sang gadis sudah saling cinta dan
cocok, maka orangtua perjaka dapat langsung melamar secara lisan kepada
orangtua sang gadis.40
38
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1983), h. 27.
39
Thomas Wijaya Bratawijaya, Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), h. 8.
40
Ibid., h. 9.
40
Setelah lamaran sang perjaka diterima maka dilakukan acara pening
setan atau dalam bahasa Indonesia disebut Tanda Kasih. Tanda pengikat
adalah pemberian sejumlah barang dari sang perjaka kepada sang gadis
pilihanya guna memantapkan ikatan cinta antara calon mempelai pria dan
calon mempelai wanita. Dengan adanya pemberian pening setan tersebut
sebagai tanda bahwa sang perjaka dan sang gadis sudah bertungangan secara
resmi tetapi belum sah sebagai pasangan suami isteri.
Dalam pengertian adat Jawa masa pertunangan adalah bila lamaran
sang perjaka sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua belah pihak
oranngtua dengan ditandai ikatan kasih. Masa pertunangan ini bukan lagi
dikatakan masa pacaran akan tetapi masa dimana masa penantian atau
menuggu datangnya hari peresmian perkawinan mereka berdua. Di samping
itu masa pertunangan untuk saling mengenal sifat dan karakter masing-masing
dalam rangka saling menyesuaikan diri antara mereka berdua dan mungkin
disertai rencana-rencana yang akan dilakukan setelah mereka sah menjadi
suami istri. Selain itu dalam masa pertunangan untuk mengadakan
pertimbangan-pertimbangan agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.41
Dalam adat yang dipakai oleh masyarakat desa Pulung Rejo dalam
masa penig setan kedua belah pihak sepakat untuk menentukan palang atau
ganti rugi bila kelak ada diantara salah satu pihak menyalahi janji atau
41
Ibid., h. 19.
41
melakukan pembatalan lamarannya. Dengan sejumlah uang tertentu yang
telah disepakati sebelumnya dan disaksikan para sesepuh-sesepuh desa. 42
Apabila masa pertunangan mulus, lancar dan tidak timbul masalah
serius, maka masa penantian terlampaui, yang selanjutnya perkawinan mereka
dapat dilangsungkan. Namun demikian bila dalam masa pertunangan timbul
hal-hal yang sekiranya kurang pas, maka pertunangan dapat dibatalkan,
dengan membayar sejumlah palang yang telah disepakati sebelumnya.
Pembatalan boleh dari pihak perjaka maupun dari pihak gadis. Apabila
pembatalan dari pihak gadis, maka barang-barang tali pengikat atau
peningsetan harus dikembalikan. Akan tetapi bila dari pihak laki-laki maka
barang-barang tali pengikat tidak etis bila diminta kembali, kecuali bila pihak
perempuan yang mengembalikan boleh diterima.43
3. Akibat Hukum Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo
Hubungan hukum yang berlaku antara perjaka dan gadis, walaupun dapat
dibuktikan dengan adanya pemberian tanda mau, baik berupa barang ataupun
uang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita, diantara mereka belum ada ikatan
hukum. Oleh karena itu hubungan diantara mereka itu baru tahap memadu cinta-
kasih yang dalam istilah sehari-hari disebut pacaran.44
42
Sudayat Jambi, Tokoh Agama Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 14
september 2010.
43
Bratawijaya, Upacara Pernikahan Adat Jawa, h. 20. 44
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1983), h. 47.
42
Dalam pengertian adat masyarakat Jawa masa pertunangan adalah bila
lamaran sang perjaka sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua pihak
orangtua dengan ditandai ikatan kasih. Yang dimaksud dengan masa pertunangan
adalah masa penantian atau menunggu datangnya hari peresmian perkawinan
mereka berdua. Akan tetapi, dalam masyarakat desa Pulung Rejo seseorang yang
telah melamar dan diterima mereka telah terikat dengan perjanjian untuk menikah
dan jika terjadi pembatalan di antara salah satu pihak kelak, dapat dikenakan
denda atau ganti rugi bagi pihak yang mengikari janjinya itu.
Adapun akibat hukum yag ditimbulkan setelah dilakukanya peminangan
itu hubungan antara pihak keluarga si gadis dengan keluarga sang jejaka akan
semakin akrab. Namun si gadis dan sang jejaka justru harus lebih hati-hati
menjaga diri. Sebab, walaupun hubungan mereka telah mendapat restu dari
keluarga kedua belah pihak, mereka tetap harus menjaga kehormatan keluarga
masing-masing.
Dengan adanya ikatan pertunangan maka berlakulah ketentuan tata tertib
adat pertunangan yang antara lain meliput hal-hal sebagaimana di bawah ini:
1) Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk
memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk
melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai.
2) Baik pria maupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunagan, begitu pula
orangtua / keluarga dan kerabat ke dua pihak dilarang berusaha mengadakan
hubungan dengan pihak lain yang maksudnya untuk melakukan peminangan,
pertunangan dan perkawinan. Melakukan hubungan dengan yang lain dalam
maksud yang sama dapat berakibat putusnya pertungan dan batalnya
perkawinan yang telah direncanakan dan disepakati.
43
3) Kedua pihak keluarga harus saling mengawasi gerak-gerik dan tindak-tanduk
dari para calon mempelai yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat
watak perilaku dari mereka.
4) Apabila pertunangan tidak dapat diteruskan ke jenjang perkawinan
dikarenakan salah satu pihak atau kedua belah pihak memutuskan hubungan
pertunangan itu, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali barang-
barang dan uang serta kerugian lainya pada pihak yang bersalah atau yang
telah menerima barang-barang pemberian selama pertunangan itu. Dalam
penyelesaian perselisihan yang terjadi, maka para pemuka adat yang
melakukan penyelesaiannya secara damai.45
4. Tatacara Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo
Tata cara khitbah yang dilakukan oleh masyarakat desa Pulung Rejo tidak
jauh beda dengan pelaksanaan khitbah yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada
umumnya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh masyarakat desa
Pulung Rejo dalam pelaksanaan khitbah:
a. Pihak keluarga perjaka mengutus seseorang yang dipercayai ke rumah sang
gadis, untuk menanyakan tentang hubungan putrinya dengan sang perjaka
karena pada zaman sekarang anak telah saling mengenal lebih dahulu maka
tinggal izin orangtualah yang diperlukan.
b. Setelah keluarga gadis menyetujui tentang hubungan mereka, maka utusan
dari keluarga perjaka menentukan hari dan waktu yang tepat untuk datang
kembali bersama pihak orangtua laki-laki untuk mengadakan lamaran secara
resmi.
45
Ibid., h. 61-63.
44
c. Pada hari dan waktu yang ditentukan tiba, maka pihak keluarga gadis,
mengundang tetangga satu RT, dan para aparat desa serta sesepuh desa untuk
menyaksikan lamaran yang akan dilaksanakan.
d. Pihak keluarga laki-laki datang kembali bersama keluarga terdekatnya untuk
melamarkan putranya secara resmi dengan wanita pilihannya.
e. Pihak keluarga laki-laki dan perempuan mempunyai juru bicara masing-
masing untuk mewakili pernyataan lamaran dan penerimaan dari pihak
perempuan. Setelah lamaran diterima, maka pemberian tanda ikatan pun
langsung diberikan kepada wanita biasanya berupa cincin. Hal ini dijadikan
sebagai tanda bahwa recara resmi hubungan mereka direstui oleh keluarga dan
akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu, para ketua adat atau sesepuh
merembuk beberapa hal yang menjadi kesepakatan dari kelurga kedua belah
pihak.46
antara lain sebagai berikut :
1) Dibicarakan jumlah palang atau ganti rugi yang akan dibayarkan jika
terjadi pembatalan atau mungkir janji dari salah satu pihak yang
bertunangan.
2) Dibicarakan masalah penentuan atau perhitungan hari baik untuk
pelaksanaan pernikahan, walaupun waktu antara tunangan dan pernikahan
masih lama.
46
Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21
September 2010.
45
3) Setelah semua pihak sepakat tentang hari dan waktu yangdianggap tepat
untuk melaksanakan pernikahan. Yang terakhir dibicarakan masalah gol
47yaitu suatu kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga tentang hari
pelaksanaan pernikahan, jika terjadi kematian dari salah satu keluarga
dekat seperti, orangtua, adik, kakak, kakek, nenek, maka pernikahan akan
tetap dilaksanakan atau ditunda sampai mendapatkan pergantian hari yang
lebih tepat lagi.48
47
Gol adalah kesepakatan antara kedua keluarga apakah pernikahan akan tetap dilaksanakan
atau ditunda ketika mendekati hari pelaksanaan pernikahan ada keluarga dekat yang meninggal dunia.
48
Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21
september 2010 .
46
BAB III
BEBERAPA PENYEBAB PEMBATALAN KHITBAH DI DESA PULUNG
REJO KEC.RIMBO ILIR JAMBI
Putusnya hubungan berpacaran biasanya diselesaikan antara pria dan wanita
yang bersangkutan tanpa dicampuri orang tua, kecuali jika penyelesaian di antara
mereka tidak tercapai dan menimbulkan perselisihan. Namun jika terjadi putus
pertunangan maka penyelesaiannya secara damai dilakukan oleh orangtua, keluarga
dan kepala adat dari kedua pihak, dan penyelesaiannya dilakukan berdasarkan azas
kesepakatan, kerukunan dan kekeluargaan.1
Adapun latar belakang yang menyebabkan putusnya ikatan pertunangan
secara umum antara lain adalah dikarenakan:
a. Salah satu pihak atau kedua pihak, baik si pria atau si wanita yang bertunangan
ataupun kerabat mereka mungkir janji, tidak memenuhi perjanjian untuk
perkawinan, misalnya dalam masa pertunangan itu terjadi si pria melakukan
pertunangan atau perkawinan dengan wanita lain atau si wanita berlainan untuk
kawin dengan orang lain atau dikawinkan dengan orang lain.
b. Salah satu pihak, atau kedua belah pihak menolak untuk meneruskan pertunangan
dikarenakan adanya cacat cela pribadi dari pria atau wanita yang bertunangan,
misalnya cacat cela sifat watak perilaku budi pekerti dan kesehatannya. Ataupun
cacat cela dari orang tua/keluarga dan kerabat salah satu pihak, sebagai akibat
penilaian selama masa pertunangan.
c. Salah satu pihak menolak untuk diteruskannya ikatan Pertunangan dikarenakan
pihak yang melamar tidak mampu memenuhi permintaan pihak yang dilamar atau
sebaliknya pihak yang dilamar merasa permintaannya tidak dapat dipenuhi.
d. Terjadi pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh salah satu pihak
sehingga menyebabkan timbulnya perselisihan selama berlakunya masa
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1983), h. 63.
47
pertunangan di antara para pihak, baik yang sifatnya pelanggaran kesopanan dan
kesusilaan maupun yang perbuatannya dapat dituntut K.U.H. Pidana. 2
Begitu pula sebab pembatalan khitbah yang dilakukan oleh masyarakat desa
Pulung Rejo tidak jauh berbeda dengan sebab-sebab putusnya pertunangan secara
umum yang telah disebutkan di atas. Karena masyarakat desa Pulung Rejo termasuk
masyarakat yang menjunjung adat, dan hukum adat berlaku terhadap anggota-anggota
warga masyarakat adat serta orang-orang di luarnya yang terkait akibat hukumnya.
Dari hasil penelitian, penulis mendapati beberapa hal yang menjadi faktor
penyebab pembatalan khitbah atau lamaran dalam masyarakat desa Pulung Rejo
antara lain:
A. Faktor Adanya Orang Ketiga
Dalam masa peningsetan atau tunangan ini banyak hal yang mungkin
terjadi, bahkan sesuatu yang di luar logika sekalipun. Dikarenakan waktu tunggu
yang terkadang telalu lama, sehingga mengakibatkan salah satu dari dua pihak
mengingkari janjinya yang disebabkan adanya wanita idaman lain bagi seorang
perjaka dan bagi seorang gadis disebabkan karena ada godaan pria lain atau
adanya lamaran dari laki-laki lain, yang dianggapnya lebih siap untuk segera
menikahinya dari pada tunangannya.3
Dikarenakan adanya gangguan dari pihak ketiga baik dari seorang laki-
laki atau perempuan maka mereka merasa ragu untuk melanjutkan hubungannya
2 Ibid., h. 64-65.
3 Dainuri, Ketua Adat Kec. Rimbo Ilir. Wawancara Pribadi, Karang dadi, 13 Agustus 2010
48
ke jenjang pernikahan, Sehingga memutuskan untuk membatalkan khitbah yang
pernah dilaksanakan dengan dalih ketidaksiapan untuk menikah terlalu cepat.
Penulis mengambil contoh dari calon pasangan HR (perempuan) dan BD
(laki-laki), setelah BD mengkhitbah HR dengan selang waktu 1 tahun untuk
melanjutkan pernikahan. Akan tetapi selama 1 tahun BD berubah sikapnya
terhadap HR bahkan sering tidak berkomunikasi. Karena kekhawatiran orang tua
HR, akhirnya menanyakan BD tentang hubungan mereka apakah akan dilanjutkan
atau akan diakhiri saja. Dengan adanya pernyataan dari orang tua HR maka BD
memilih untuk membatalkan khitbah yang pernah dilaksanakan dengan dalih
“belum siap untuk menikah terlalu cepat”. Berdasarkan kesepakatan awal bagi
pihak yang menyalahi janji maka dikenakan palang atau ganti rugi sebesar 5 juta.
Karena BD yang membatalkan khitbah maka BD yang membayar palang atau
ganti rugi tersebut. Namun, setelah 3 bulan berlalu BD menikah dengan wanita
lain.4 Ketidaksiapan untuk menikah sering dijadikan dalih untuk membatalkan
khitbah yang disebabkan adanya wanita atau adanya laki-laki lain yang
menggoyahkan hati mereka untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Selain pasangan HR dan BD, penulis mendapati calon pasangan WG
(perempuan) dan AN (laki-laki). WG dan AN telah bertunangan selama 1 Tahun
akan tetapi, selang waktu tunggu untuk melangsungkan pernikahan (tunangan)
WG menikah dengan DY yang merupakan tetangga WG. Setelah diketahui,
keluarga WG telah meninggalkan rumah dengan DY ke Medan, akhirnya orang
4 Sukinem, orang tua Hariyati. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September 2010.
49
tua WG menyetujui pernikahan mereka dikarenakan malu dengan tetangga
terlebih calon besan yang telah melamar anaknya. Keluarga WG meminta maaf
dengan pihak keluarga AN, dan penyelesaiannya dilakukan secara damai yang
dibantu oleh ketua adat setempat. Berdasarkan kesepakatan di awal bagi pihak
yang mungkir janji akan dikenakan palang atau ganti rugi sebesar 10 juta.5 Maka
akhirnya pihak WG membayar palang dengan jumlah yang telah disepakati
awalnya.
B. Faktor Pendidikan
Alasan sosial seseorang memang cukup dominan sebagai suatu yang
melatar belakangi beberapa pihak untuk melakukan pembatalan khitbah atau
lamarannya. Hal ini penulis mengambil satu contoh pihak yang membatalkan
khitbah atau lamarannya yaitu: pasangan SK (laki-laki) & DW (perempuan) , JR
(laki-laki) dan SY (perempuan).
Pendidikan seseorang merupakan gambaran status sosial dalam
masyarakat dikarenakan tingkat pendidikan di desa Pulung Rejo masih rendah.
Sehingga bagi orang yang merasa telah mempunyai pendidikan tinggi mereka
sangat hati-hati untuk memilih pasangan dalam hidupnya.
Secara tidak langsung masyarakat desa Pulung Rejo mempunyai prinsip
kesepadanan dalam memilih pasangan hidup. Sedangkan dalam Islam prinsip ini
5 Anto, Orang tua WG. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 22 Agustus 2010.
50
disebut dengan kafa’ah. Secara etimologi, kafa’ah berarti sepadan, seimbang dan
serupa, sedangkan secara terminologi, kafa’ah berarti kesepadanan, keseimbangan
dan keserasian antara calon isteri dan suami baik dalam fisik, kedudukan, status
sosial, ahklak maupun kekayaannya. Sehingga masing-masing calon merasa
nyaman dan cocok serta tidak merasa terbebani untuk melangsungkan pernikahan
dan mewujudkan tujuan pernikahan.6
Jadi, dibenarkan bila masyarakat mempertimbangkan suatu kesepadanan
dalam memilih calon pendamping hidupnya, daripada mereka harus menyesal
setelah pernikahan terjadi atau menjalani rumah tangga yang tidak harmonis,
dikarenakan banyaknya perbedaan baik dalam hal pemikiran dan cara pandang
dalam suatu kehidupan.
SK membatalkan khitbahnya dengan DW karena merasa tidak sepadan
atau sekufu dalam masalah pendidikan. SK yang bekerja sebagai Polisi merasa
tidak cocok menikah dengan DW yang hanya berpendidikan SLTP, hal ini
diketahuinya setelah pelaksanaan khitbah dan akhirnya SK memilih untuk
membatalkan khitbahnya, walupun harus membayar palang atau ganti rugi
sebesar 20 juta dengan alasan tidak sepaham dalam masalah pemikiran. Namun
setelah 4 bulan SK melamar seorang mahasiswa dan akhirnya menikahinya.7 Dari
6 Asrorun Ni’am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Elsas, 2008), h.
12.
7 Sarmi, adik dari ibu SK.. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 17 September 2010.
51
fenomena inilah penulis menyimpulkan bahwa, faktor pendidikan juga
berpengaruh pada pembatalan khitbah seseorang.
C. Foktor Ekonomi
Materi memang gambaran kemapanan ekonomi seseorang, sehingga
kehidupan sosialnya akan terlihat sempurna di depan semua orang. Banyak orang
beranggapan bahwa uang memang bukan segala-galanya tapi semua kehidupan
ini membutuhkan uang.
Di desa Pulung Rejo sendiri menilai seorang lelaki yang telah bekerja dan
dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dianggap telah mampu untuk membina
suatu rumah tangga, sehingga mereka diberi izin jika akan menikah. Akan tetapi,
jika ada seseorang lelaki yang ingin melamar seorang perempuan dia belum
bekerja bahkan masih bergantung kepada orang tua, maka secara langsung orang
tua pihak perempuan tidak menerima lamarannya. Hal inilah yang menyebabkan
khitbah seorang laki-laki dibatalkan dari seorang perempuan karena seorang laki-
laki dinilai belum bisa bertanggung jawab jika kelak menjadi seorang suami
untuk menghidupi kebutuhan isteri dan anaknya. Maka dengan alasan-alasan itu
banyak dari pihak perempuan yang membatalkan khitbahnya dikarenakan takut
tidak bisa hidup layak dan bahagia.
Secara langsung pengakuan mereka memang sulit, tetapi setelah penulis
menjelaskan tujuan penelitian serta meminta izin secara baik-baik akhirnya
52
mereka bersedia. Karena masalah ini merupakan hal pribadi seseorang dan sangat
sensitif untuk dibicarakan secara umum. Dengan itu, informan meminta penulis
untuk disamarkan namanya dengan inisial A. A (perempuan) mengaku setelah
bertunangan selama 1 tahun dengan B (laki-laki), dia telah cukup untuk mengenal
sifat dan watak B secara keseluruhan bahkan sampai sifat-sifat keluarga B, yang
dirasakan dan dilihat sangat baik hati. Akhirnya sampailah pada masalah material
keluarga B, yang memang dari keluarga kurang berada. Karena rasa cinta si A,
maka waktu B melamar A langsung menerimanya. Akan tetapi, selang waktu 1
tahun “saya merasa takut jika kelak menikah dengan B, dia tidak dapat memenuhi
kebutuhan keluarga kami, karena B juga merupakan tulang punggung
keluarganya”. Dari hal itu saya mulai mempertimbangkan kembali jika harus
menikah dengan B, dan akhirnya saya memilih untuk memutuskan lamaran atau
tunangan B, dan berharap ada laki-laki lain yang lebih baik dari kondisi B yang
akan melamarnya.8
D. Faktor Ketaatan Kepada Orangtua
Faktor keluarga banyak juga dijadikan alasan seseorang untuk
membatalkan khitbahnya karena keluarga merupakan orang terdekat yang akan
mempengaruhi kehidupan mereka kelak. Perkawinan merupakan langkah awal
yang menentukan dalam proses membentuk keluarga bahagia dan hamonis. Di
samping itu, perkawinan bagi pasangan muda-mudi adalah melakukan
8 A, Pelaku Pembatalan Khitbah. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21 Agustus 2010.
53
pengintegrasian manusia dalam tatanan hidup bermasyarakat. Hal ini untuk
menjaga tidak adanya penyesalan di kemudian hari.9
Peran orang tua dalam menentukan calon menantu dapat dibagi menjadi
dua periode, yaitu:
1. Periode kira-kira sekitar Tahun 1925-2000-an,
Pada zaman istilah “Gudel Nyusu Kebo” artinya, Gudel adalah anak
kerbau, sedangkan kerbau yaitu kerbau. Jadi arti Gudel Nyusu Kebo adalah
sesuatu yang yang sudah wajar, artinya yang terkandung dalam ungkapan itu
adalah bahwa anak dalam mencari dan menentukan jodoh harus menurut
kehendak orangtua.
Dalam menentukan calon menantu atau jodoh bagi putra-putrinya
tidak terlepas dari landasan pokok yaitu bibit, bebet, dan bobot. Ada yang
agresif mencarikan jodoh buat putar-putrinya adalah orangtua sedangkan
perjaka dan sang gadis tinggal menurut dan menerima saja.
2. Pada Zaman Era Baru 2000-an
Perkembangan zaman membawa pengaruh adanya pergeseran nilai-
nilai tata kehidupan. Bila zaman dulu pepatahnya Gudel Nyusu Kebo seperti
yang diuraikan. Sekarang sudah berbalik 180% pepatahnya menjadi “Kebo
Nyusu Gudel”, maknanya orangtua hanya mengikuti kemauan anak saja.
Peranan orangtua sudah bergeser kearah “Tut Wuri Handayani” saja. Sang
9 Thomas Wiyasa Bratawijaya, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), h. 3.
54
perjaka dan sang gadis bebas dalam menentukan jodohnya sedangkan orang
tua merestui. Namun demikian prinsip-prinsip dalam menentukan jodoh yaitu,
bibit, bebet dan bobot masih memegang peranan penting. 10
Ada sementara yang berpendapat bahwa bibit masih dapat
dipertimbangkan, karena mungkin juga sang perjaka dan gadis dari keluarga yang
kurang baik, namun ternyata budi pekertinya baik. Begitu juga dengan yang ada
dalam masyarakat desa Pulung Rejo dalam menentukan jodoh peranan orangtua
tidak terlalu dominan, sehingga sering terjadi kesalahpahaman setelah masa
tunangan terjadi dapat berakibat pembatalan lamaran dari salah satu kedua belah
pihak. Ini salah satu penyebab seseorang dalam membatalkan lamarannya ketika
pihak keluarga melihat dari calon menantu mereka yang tidak bagus dari salah
antara bibit, bebet dan bobot yang diketahuinya setelah pertunangan terjadi.
Dalam masalah alasan keluarga ini penulis mendapatkan informan yang
telah bertunangan dan akhirnya membatalkan atau memutuskannya kembali
karena selama masa pertunangan, dia menemukan cacat cela dari sifat
tunangannya.
SP (laki-laki) dan RS (perempuan), telah bertunangan sekitar 1 tahun 3
bulan. Dikarenakan SP masih bekerja jauh dari rumah, maka SP jarang bertemu
dengan RS. Setelah lamanya bertunangan SP diminta oleh orangtuanya untuk
memutuskan pertunangannya dengan RS, karena orangtua SP tidak menyukai
akhlak dari RS yang dianggap kurang sopan oleh orangtua SP, baik ketika
10
Ibid., h. 5-8.
55
bertutur kata maupun bertingkah laku. Karena RS takut mengecewakan
orangtuanya maka SP mengikuti perintah kelurganya. Sebelum semuanya
terlambat hingga akhirnya menikah. Maka, hal itu akan menyebabkan hubungan
yang tidak baik antara menantu dan mertua.11
E. Faktor Kematian
Kematian seseorang memang menyebabkan terputusnya semua
kehidupannya di dunia. Semua hal yang pernah dia janjikan dengan sendirinya
akan batal secara hukum karena ajal manusia hanya Tuhan yang mengetahuinya.
Jadi, ketika ada seorang yang telah bertunangan kemudian meninggal dunia maka
salah satu pihak, baik pihak perjaka maupun gadis dengan sendirinya pertunangan
itu batal. Akan tetapi dalam masalah pembebanan ganti rugi atau yang dikenal
oleh masyarakat Pulung Rejo dengan palang kedua belah pihak tidak dikenakan
karena keduanya tidak dapat dikatakan menyalahi janji.
Ini terjadi pada pasangan (perempuan) dan WR (laki-laki) setelah lamaran
terjadi, ST menderita sakit selama 2 bulan yang akhirnya menyebabkan kematian.
Maka WR selaku pihak yang mengkhitbah ST dengan palang sejumlah 5 juta
dikarenakan ST meninggal, secara otomatis khitbah itu batal. Dikarenakan
meninggalnya salah satu pihak, akan tetapi palang atau ganti rugi yang disepakati
sebelumnya tidak perlu dibayarkan kepada WR karena ST tidak menyalahi
11
Supriyono, Pelaku Pembatalan Khitbah. Wawancara Pribadi, Pulung rejo 24 Agustus
2010.
56
janjinya dan palang atau ganti rugi hanya berlaku bagi pihak yang menyalahi janji
untuk menikahi seseorang setelah mengkhitbahnya.
Alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, mendorong mereka melakukan
pembatalan khitbah sebagai alternatif mencari kebahagian dalam rumah tangga
setelah menikah. Berharap mendapatkan pasangan yang lebih baik dan bisa
memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam rumah tangga. Serta alasan-alasan
itu pula yang dijadikan dalih untuk membatalkan khitbah walaupun terkadang
fakta yang terjadi sesungguhnya hanya pribadi mereka saja yang mengetahuinya.
Karena penulis hanya dapat melihat fakta sosial yang mereka ungkapkan dan
yang terlihat dalam masyarakat.
57
BAB IV
GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH PADA MASYARAKAT
DESA PULUNG REJO
A. Pengetahuan Masyarakat Desa Pulung Rejo Tentang Ganti Rugi Dalam
Pembatalan Khitbah
Masyarakat Desa Pulung Rejo ditinjau dari etnis adalah mayoritas Jawa,
hal tersebut dinyatakan berdasarkan sejarah Desa Pulung Rejo yang berdiri pada
tahun 1978, yang penduduknya berasal dari transmigran Bedol Desa Pulau Jawa
(Wonogiri) pada saat itu ada sebanayak lima Desa yang bertransmigran ke Desa
Pulung Rejo.1
Adat yang digunakan oleh masyarakat Desa Pulung Rejopun adalah adat
Jawa, bahkan hampir 99% jumlah masyarakat yang menggunakan adat Jawa.
Walaupun adat Jambi juga dipakai tetapi hanya berkisar 1% saja yang
menggunakan adat Jambi.
Masyarakat Desa Pulung Rejo sangat menjunjung tinggi adat atau tradisi
sebagaimana yang dikatakan oleh Dainuri sebagai Lembaga Adat Kecamatan
Rimbo Ilir, bahwa masyarakat Desa Pulung Rejo menginginkan kehidupan yang
rukun berdasarkan aturan adat atau norma yang telah disepakati.2
1 Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
2 Dainuri, Ketua Adat Kec. Rimbo Ilir, Wawancara Pribadi, Karang Dadi, 13 Agustus 2010.
58
Pengaruh yang terjadi dari penghormatan sebuah adat pada masyarakat
Desa Pulung Rejo yaitu adanya ritual-ritual yang berlaku pada saat menjalani
proses lamaran. Ritual yang digunakan biasanya acara syukuran dengan
mengundang keluarga, para tokoh masyarakat dan tetangga terdekat. Dengan
tujuan mendapat berkat dari yang Maha Kuasa serta disaksikan oleh banyak
orang.3
Dalam sebuah prosesi lamaran yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa
Pulung Rejo terdapat Palang (ganti rugi yang dikenal masyarakat Desa Pulung
Rejo). Palang adalah janji untuk mengikat suatu perjanjian akan menikah yang
disaksikan oleh masyarakat biasanya selang waktu satu tahun untuk melaksanakan
pernikahan.4
Somorejono sebagai sesepuh Desa Pulung Rejo mengartikan Palang
adalah suatu ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak yang mungkir janji dari
pernikahan dan besarnya sesuai kesepakatan ketika proses lamaran.5 Sama halnya
pengertian yang dijelaskan oleh Hariyati yaitu seseorang yang khitbahnya pernah
dibatalkan, menurutnya Palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar
janjinya untuk menikah.
Asal-usul Palang (ganti rugi) yang dikenal oleh masyarakat Desa Pulung
Rejo menurut bapak H. Sudayat itu berasal dari ninik mamak atau sering dikenal
3 Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 13 Agustus 2010.
4 Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 13 Agustus 2010.
5 Somorejono, Sesepuh Desa Pulung rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 21 September
2010.
59
dengan istilah nenek moyang. Namun, pada praktek yang diterapkan pada
masyarakat Desa Pulung Rejo bahwa Palang (ganti rugi) dalam pembatalan
khitbah itu merupakan hasil musyawarah para sesepuh dan disepakati oleh
keluarga kedua pihak sebelumnya jika ada yang membatalkan khitbahnya guna
untuk mendapatkan keadilan.6
Tujuan dari adanya Palang yaitu sebagai pengikat dan pagar atau batasan
agar salah satu pihak tidak mungkir janji untuk melaksanakan pernikahan
sehingga dapat mencegah adanya kegagalan pernikahan. Untuk jumlah nominal
yang sering dijadikan sebagai Palang menurut sesepuh Desa Pulung Rejo yaitu
bapak Somorejono mengatakan jumlah Palang tidak ada ketetapan pasti akan
tetapi sesuai kesepakatan biasanya berkisar dari Rp. 5.000.000 sampai dengan Rp.
20.000.000.
Jumlah nominal tersebut dibenarkan oleh seorang pelaku yang pernah
membatalkan khitbahnya yaitu bapak Supriyono. Pada saat Supriyono
membatalkan khitbah beliau membayar Palang sebesar Rp. 15.000.000.7 Begitu
pula dengan salah seorang pelaku yang khitbahnya dibatalkan yaitu ibu Hariyati
yang menerima Palang sebesar Rp. 5.000.000 dari keluarga mantan calon
suaminya yang membatalkan khitbahnya.8
6 Sudayat, Tokoh Agama Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo14 September
2010.
7 Supriyono, Pelaku Pembatalan Khitbah. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 24 Agustus
2010.
8 Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16
September 2010.
60
Ada beberapa hal yang dijadikan alasan oleh seseorang baik orang yang
membatalkan khitbah ataupun yang khitbahnya dibatalkan. Menurut Supriyono
(orang yang membatalkan khitbah) alasan beliau karena orang tua tidak menyetujui.
Orang tua Supriyono kurang menyukai tindak-tanduk calon menantunya yang kurang
sopan ketika dia bertutur kata atau bertindak. Demikian halnya dengan Hariyati yang
khitbahnya dibatalkan dengan alasan karena ketidaksiapan calon suami untuk segera
menikah. Namun, selang waktu tiga bulan mantan calon suaminya itu menikah
dengan orang lain, alasan ketidaksiapan unt9uk segera menikah hanya dijadikan
alasan agar keluarganya tidak sakit hati.
1. Faktor Pembebanan Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Desa Pulung Rejo
a. Pencegahan terjadinya kegagalan untuk melaksanakan pernikahan
Kepala desa Pulung Rejo menjelaskan, adanya penetapan ganti rugi
pembatalan khitbah dilaksanakan berdasarkan musyawarah Perangkat Desa
dengan pemuka-pemuka masyarakat seperti, sesepuh adat, tokoh agama, ketua
RT, RW yang dipimpin oleh anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa).
Kemudian hasilnya disamapaikan kepada masyarakat, setelah mendapat
persetujuan dari masyarakat, barulah dilaksanakan. Hal ini disebabkan, supaya
tidak ada yang membatalkan khitbah. Beliau mengungkapkan “kalau disuruh
bayar ganti rugi pasti yang mau batalin juga mikir lagi, sehingga ketika mau
melakukan khitbah mereka akan mempertimbangkan lagi keseriusannya itu,
apakah benar-benar dari hati atau kah ada hal lain”
9 Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 16
September 2010.
61
Bapak Dainuri, menambahkan tentang alasan mendasar
diberlakukannya ganti rugi bagi pihak yang membatalkan khitbah. “Alasan
mendasarnya untuk mencegah terjadinya kegagalan pernikahan. Karena, jika
terjadi pembatalan biasanya sedikit banyaknya pasti menimbulkan
kesalapahaman yang berakibat konflik dan menjadikan hubungan mereka
renggang bahkan bisa manjadi musuh antara dua kelurga tersebut”.10
Ganti rugi pembatalan khitbah merupakan suatu sistem pengendalian
sosial yang dilakukan oleh masyarakat Desa pulung Rejo, yang bersifat
gabungan yaitu merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan penyimpangan
yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial (represif). Usaha pengendalian
ini, dengan memadukan ciri preventif dan represif dimaksudkan agar suatu
periaku tidak sampai menyimpang dari norma-norma dan kalaupun terjadi
penyimpangan tidak sampai merugikan yang bersangkutan maupun orang
lain.11
b. Adanya konflik dalam masyarakat
Supriyono mengungkapkan setelah membatalkan khitbahnya, sempat
terjadi kesalahpahaman dari keluarga yang khitbahnya dibatalkan. “ karena
dari keluarga tunangan saya tidak menerima dengan adanya pembatalan
10
Dainuri, Ketua Adat Kec. Rimbo Ilir, Wawancara Pribadi, Karang Dadi, 13 Agustus 2010.
11
Wayan Suartawa, “Pengendalian atau Kontrol Sosial”, artikel diakses pada 8 Juli 2008 dari
http://organisasi.org/jenis-macam-pengendalian-sosial-dan-pengertian-pengendalian-sosial-
pengetahuan-sosiologi.
62
yang saya sampaikan”. Setelah selang satu hari saya datang kembali dengan
meminta bantuan bapak Kepala Desa, akhirnya beliau menjelaskan duduk
perkara dengan baik-baik, beliau berkata “jodoh itu kan sudah ada yang
mengatur, mungkin kalian belum ditakdirkan hidup bersama dan kalaupun
dipaksakan nanti malah tidak baik. Saya mewakili keluarga Supriyono
meminta maaf yang sebesar-besarnya dan saya juga dititipkan palang yang
telah kalian sepakati kemarin, mungkin ini tidak bisa mengganti rasa kecewa
keluarga kalian, tapi ini bisa buat ganti biaya yang telah di keluarkan waktu
peleksanaan khitbah kemarin dan masalah paningset, tidak usah
dikembalikan”. Dan akhirnya keluraga mantan calon isteri saya menerima
walaupun masih dengan keterpaksaan dan kekecewaan memaafkan saya dan
menerima palang yang diberikan.12
Hal yang sama dialami oleh Hariyati, selaku orang yang khitbahnya
pernah dibatalkan mengungkapkan, “ tiba-tiba khitbah yang saya terima
dibatalkan secara sepihak tanpa ada kesalahan yang saya perbuat”. Setelah
kami bertemu orang tua dari keluarga mantan calon suami saya akhirnya
mereka meminta maaf dan menjelaskan kalau anaknya belum bisa untuk
segara menikah. Awalnya orang tua saya marah dan tidak mau bertemu
12
Supriyono, Pelaku Pembataln Khitbah, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 24 Agustus
2010.
63
dengan mereka, akan tetapi akhirnya beliau sadar jodoh itu tidak bisa
dipaksakan.13
Penjelasan di atas sama dengan yang dikemukakan oleh Chamblis dan
Seidman dalam bukunya berjudul law, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo
ada dua model masyarakat dalam pembuatan hukum. Model masyarakat yang
pertama berdasarkan pada basis kesepakan akan nilai-nilai (value concensus).
Masyarakat yang kedua yaitu, suatu masyarakat dengan model konflik. Di sini
bukanlah kemantapan dan kelestarian ciri masyarakat, melainkan perubahan
serta konflik-konflik sosial. Maka pada model masyarakat yang kedua ini,
berdirinya masyarakat dilihat sebagai perhubungan di mana sebagian
warganya mengalami tekanan-tekanan sementara oleh warga lainya.14
2. Dampak Pembebanan Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa
Pulung Rejo
Pada dasarnya setiap pelanggaran ada sanksinya, demikian dengan
pembatalan khitbah yang telah disepakati atau merupakan janji untuk
melangsungkan pernikahan dengan seseorang. Ada dua dampak atau akibat yang
akan dimunculkan dari pembebanan ganti rugi pada pembatalan khitbah yaitu
dampak positif dan negatif.
13
Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan, wawancara Pribadi. Pulung rejo, 16
September 2010.
14
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1984), h. 50.
64
Untuk dampak positif, dijelaskan secara lansung oleh seorang tokoh
agama yaitu bapak H. Sudayat bahwa dampak positif dari pembayaran ganti rugi
ini akan membuat seseorang menepati janjinya dan pihak yang dirugikan
mendapatkan keadilan. Begitu halnya bapak Dainuri mengatakan tentang dampak
positif dari pembebanan ganti rugi yaitu orang tidak akan main-main dengan
lamaran, akan menjaga ikatan perjanjiannya atau tidak lepas tanggung jawab yang
telah disepakati.
Dampak positif lain menurut Hariyati yaitu dapat menambah saudara serta
keluarga karena sebelumnya tidak saling mengenal antar dua keluarga, walaupun
tidak jadi menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi
hubungan ini kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja.
Begitu halnya dengan dampak positif yang dirasakan seseorang yang
berperan sebagai pelaku pembatalan khitbah, menurutnya dampak positif yang
dirasakan Palang (ganti rugi) ini dapat mengatasi permasalahan antara dua
keluarga, serta tidak adanya pihak yang merasa dirugikan.15
Selain berdampak positif bagi pribadi seseorang maka ganti rugi
pembatalan khitbah ini dapat juga berdampak positif bagi Desa, dikarenakan
dalam pembagian ganti rugi yang berupa uang tidak sepenuhnya diberikan kepada
pihak yang dibatalkan khitbahnya, tetapi pembagian tersebut menurut bapak
Somorejono selaku sesepuh adat Desa Pulung Rejo adalah 50% untuk keluarga
atau pihak yang dibatalkan khitbahnya, 25% diberikan untuk Desa, dan 25%
15
Supriyono, Pelaku pembatalan khitabah, Wawancara Pribadi, 24 Agustus 2010.
65
diberikan untuk saksi yang menyaksikan adanya lamaran tersebut biasanya terdiri
dari sesepuh Desa masyarakat sekitar tempat tinggal mereka.16
Selain dampak positif ternyata terdapat pula dampak negatif dari
pembebanan ganti rugi pembatalan khitbah. Menurut H. Sudayat dampak
negatifnya itu adanya paksaan untuk menikahi seseorang. Sedangkan menikah itu
merupakan hak asasi dan ketentuan jodoh itu hanya Allah lah yang maha
mengetahui. Bapak Dainuri pun sepakat dengan pendapat H. Sudayat bahwa
jodoh itu Allah yang mengaturnya, akan tetapi jika diberlakukan ganti rugi ini
terkesan memaksakan kehendak seseorang. Karena tidak semua orang mampu
membayar ganti rugi walaupun sebelumnya telah disepakati, dikarenakan kondisi
perekonomian seseorang tidak selamanya selalu stabil.
Menurut Hariyati dampak negatifnya itu adalah rasa malu dan kecewa
karena hal ini sudah disaksikan oleh banyak orang. Dan hilangnya kepecayaan
seseorang kepada dirinya dikarenakan prasangka negatif tentang dirinya, sehingga
terjadi pembatalan khitbah tersebut.17
Suatu masalah sosial akan terjadi, apabila kenyataan yang dihadapi oleh
warga masyarakat berbeda dengan harapannya. Terjadinya masalah sosial, dapat
ditinjau dari berbagai sudut yang sejalan atau mungkin tidak sesuai. Kadang-
kadang suatu masalah dianggap demikian atas dasar ilmu sosial, artinya atas dasar
16
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi. Pulung Rejo 13 Agustus 2010.
17
Hariyati, Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan, Wawancara pribadi. Pulung Rejo, 16
September 2010.
66
ilmiah. Bagian-bagian tertentu dari suatu masyarakat juga dapat menentukan,
bahwa suatu peristiwa merupakan masalah sosial yang perlu diatasi. Dilain pihak,
pemegang kekuasaan atau para pemimpin juga dapat menentukan terjadinya
masalah, demikian pula warga-warga masyarakat sebagai pribadi atau individu,
maupun kelompok-kelompok tertentu.18
Dalam masalah pembatalan khitbah, mungkin hal ini tidak menjadi suatu
masalah di daerah lain. Akan tetapi, pembatalan khitbah yang terjadi dalam
masyarakat Desa Pulung Rejo menjadi permasalahan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh bapak Sakiyo selaku Kepala Desa yaitu pembatalan khitbah
sering terjadi ketika seseorang akan melaksanakan suatu pernikahan yang telah
direncanakan. Hal ini, meyebabkan suatu permasalahan bagi pihak yang
khitbahnya dibatalkan seperti yang dikatakan oleh Hariyati “ saya malu, sakit
hati, kecewa karena telah disaksikan orang banyak. Hilangnya kepercayaan
seseorang kepada saya, sehingga saya sulit kembali untuk mendapatkan
pasangan hidup saya dikarenakan prasangka negatif dari orang kepada saya”.
Dan akibat pembatalan khitbah ini, akan lebih tampak jika yang
melakukan pembatalan dengan orang yang berbeda daerah karena mereka akan
dengan mudah mungkir janji tanpa alasan yang logis. Kepala Desa Pulung Rejo
menjelaskan tentang praktek ganti rugi pembatalan khitbah “telah berjalan dengan
baik untuk masyarakat Desa Pulung Rejo sendiri, akan tetapi untuk pembatalan
yang dilakukan oleh orang di luar daerah kurang berjalan baik, biasanya diawali
18
Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologis (Jakarta: CV Rajawali, 1982), h. 97.
67
dengan konflik antar keluraga dahulu baru mereka menyerahkannya pada Desa
dan orang yang menjadi saksi ketika khitbah terjadi, saksi berfungsi untuk
menguatkan jika pihak tersebut berusaha memungkiri janjinya untuk membayar
jika terjadi pembatalan”.19
Ini pun dibenarkan oleh Sudarsono yang pernah
menjadi saksi ketika pelaksanaan khitbah, dengan orang yang berbeda daerah
ketika pembatalan terjadi salah paham dan pihak yang membatalkan tidak mau
membayar khitbah yang telah disepakati, sehingga “saya diminta untuk
melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu menyelesaikanya”. Dengan
adanya ganti rugi ini, akan menghindarkan pembatalan khitbah secara sepihak,
sehingga dapat mencegah terjadinya konflik antar keluarga yang berkepanjangan.
Karena pembayaran ganti rugi pembatalan khitbah ini harus diserahkan oleh
keluarga yang membatalkan khitbah dan disertai alasan yang jelas, barulah
kelurga yang dibatalkan bisa menerima ganti rugi tersebut. 20
B. Tinjauan Sosiologis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa
Pulung Rejo
Berdasarkan pembagian hasil pembayaran ganti rugi pembatalan khitbah,
dalam masyarakat Desa Pulung Rejo yang dijelaskan oleh Somorejono selaku
sesepuh Desa Pulung Rejo. Ada dua unsur nilai yang penulis dapati, adanya unsur
19
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
20
Sudarsono, Saksi pelaksanaan Khitbah, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September
2010.
68
materil dan unsur politik. Adanya unsur materil sebagaimana yang dikatakan oleh
Dainuri tujuan ganti rugi pembatalan khitbah diharapakan” menggantikan
kerugian ketika pelaksanaan khitbah”.21
Bagi pihak laki-laki ganti rugi ini dapat
berfungsi menggantikan barang-barang pemberian yang dibawa ketika proses
pelaksanaan khitbah. Hal tersebut, jika yang membatalkan khitbah adalah dari
pihak perempuan. Sedangkan, bila terjadi pembatalan dari pihak laki-laki, ganti
rugi ini diharapkan dapat menggantikan biaya-biaya pelaksanaan upacara adat
ketika khitbah berlangsung, yang biasanya dilaksanakan di rumah pihak
perempuan.
Sedangkan adanya unsur materil bagi Desa dan para saksi, seolah mereka
mengharapkan imbalan jasa yang diberikan ketika membantu untuk
menyelesaikan ketika terjadi permasalahan atau kelasah pahaman setelah terjadi
pembatalan. Hal ini dibenarkan oleh Sudarsono salah seorang saksi khitbah ketika
ditanya tetang alasanya mendapatkan bagian dalam ganti rugi pembatlan khitbah
“, katanya saya sudah mau ikut manjadi saksi ketika khitbah terjadi dan
membantu menyelesaikan permasalahan ketika terjadi pembatalan antara kelurga
tersebut karena adanya salah paham, dan saya sebagai saksi sekaligus tetangga
terdekat diminta untuk melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu
penyelesaianya”.22
21
Dainuri, Ketua adat Kec. Rimbo Ilir, Wawancara Pribadi, Karamg Dadi, 13 Aguatus 2010.
22
Sudarsono, Saksi khitbah, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 16 September 2010.
69
Maka, unsur materil yang dirasakan oleh masyarakat tentunya dalam
pembagian hasil pembayaran khitbah tersebut. Mungkin, pembagian ini terlihat
tidak adil, akan tetapi kepada Desa dan para saksi yang bersedia untuk membantu
menyelesaikan masalah ketika terjadi pembatalan. Karena pihak Desa akan
datang bersama orang yang membatalkan khitbah untuk membantu menjelaskan
alasan supaya tidak terjadi kesalahpahaman dan bila yang membatalkan tidak
bertanggung jawab pihak yang dibatalkan khitbahnya akan meminta bantuan Desa
dan saksi untuk mendatangi keluarga yang membatalkan khitbahnya, untuk
meminta kejelasan tentang alasan pembatalan tersebut.23
Dan biasanya saksi juga
akan memberi tahu jika dia melihat ada salah satu pihak yang menjalin hubungan
dengan orang lain, jadi tugas saksi juga sebagai pengawas dua pihak yang telah
melakukan khitbah agar tidak melakukan penyelewengan.
Selain ada unsur materi, ganti rugi pembatalan khitbah juga terdapat unsur
politik yang dilakukan oleh pihak Desa, khususnya dalam hal pembagian hasil
pembayaran ganti rugi tersebut. Walaupun pembagian tersebut juga merupakan
hasil musyawarah akan tetapi, pihak Desa seolah memanfaatkan adanya
kekuasaan sehingga Desa pun tetap mendapat bagian untuk penambahan kas, hal
ini digunakan untuk menunjang pembangunan yang belum terpenuhi.24
Hal ini
dapat disandingkan dengan pendapat Hobbes yang dikutip oleh Margaret M.
poloma dalam bukunya Sosiologi Kontemporer menyatakan bahwa “tindakan
23
Sakiyo, Kepala Desa Pulung Rejo, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 13 Agustus 2010.
24
Sudayat, Tokoh Agama, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo 14 September 2010.
70
manusia itu ditentukan oleh nafsu dan ketamakan, yang mewujudkan diri dalam
situasi konflik yang keras”.25
Adapun manfaat yang terbesar bagi masyarakat adalah tercapainya
kehidupan yang rukun dan damai, serta tidak adanya permusuhan antara satu
keluarga dalam masyarakat khususnya setelah terjadi pembatalan khitbah.
sebagaimana yang ungkapkan oleh tokoh agama Desa Pulung Rejo “Ganti rugi
pembatalan khitbah ini berpengaruh terhadap, kerukunan, perdamaian dan bagi
pihak yang dibatalkan mendapatkan kadilan”26
C. Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap kasus ganti rugi
pembatalan khitbah pada masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi,
dapat dikemukakan bahwa pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung
Rejo dianggap sebagai masalah sosial, sehingga masyarakat sepakat untuk
membebankan ganti rugi bagi pelaku yang membatalkan khitbah. Dikatakan
sebagai masalah sosial, karena sesuatu yang diinginkan tidak sesuai dengan yang
diharapakan. Seperti keinginan untuk menikah dengan seseorang yang awalnya
telah sepakat, tetapi dalam keadaan tertentu ada salah satu pihak yang
membatalkan dengan berbagai alasan. Seperti, adanya orang ketiga, masalah
25
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.
9.
26
Sudayat, Tokoh Agama, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 14 September 2010.
71
keluarga yang tidak menyukai akhlak dari calon menantunya yang diketahui
setelah khitbah terjadi, serta masalah kafa’ah atau kesetaraan dalam hal
pendidikan dan kekayaan. Kesepakatan adanya ganti rugi pembatalan khitbah ini
dilakukan setelah khitbah itu diterima, maka dalam hal ini masyarakat telah
mengantisifasi jika pembatalan khitbah itu terjadi. Karena tujuan dari ganti rugi
tersebut adalah untuk mencegah adanya pembatalan yang berarti pelanggaran
perjanjian untuk melakukan pernikahan. Jika pembatalan tetap terjadi ganti rugi
juga diharapkan dapat menjadi suatu penyelesaian masalah untuk mengembalikan
kepada kondisi semula, yaitu menghilangkan kesalah pahaman antara kedua
keluarga yang terjadi setelah pembatalan khitbah. Secara sosiologis dapat pula
dikatakan ganti rugi merupakan suatu alat pengendalian sosial dalam masyarakat.
Somorejono, yang merupakan sesepuh desa masyarakat Desa Pulung Rejo
menyatakan bahwa pembebanan ganti rugi itu dilakukan berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak yang hanya sebatas sebagai ikatan agar tidak terjadi
pengingkaran diantara salah satu pihak. Dan kesepakatan ini dilakukan
berdasarkan atas keputusan bersama dalam masyarakat, maka ganti rugi ini juga
merupakan suatu norma yang harus ditaati oleh setiap orang yang hidup di
masyarakat Desa Pulung Rejo. Karena pembebanan ganti rugi ini terjadi jika
pembatalan khitbah itu dibatalkan yang berarti harapan untuk menikah pun
dibatalkan. Fungsi suatu norma itu untuk menyatakan tentang apa yang
72
seharusnya dilakukaan seseorang dalam hubungan antara sesama manusia. 27
Akan tetapi, jika salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut maka ganti rugi
ini tetap diberlakukan dengan pembayaran sejumlah uang yang mereka sepakati
sebelumnya. Karena khitbah atau lamaran ini bukan hanya melibatkan dua
keluarga tetapi disaksikan oleh para sesepuh desa dan orang-orang yang
bertempat tinggal dekat dengan mereka. Maka untuk menebus rasa malu dan rasa
kecewa diharapkan ganti rugi ini dapat menyatukan kembali dua keluarga yang
merasa sakit hati agar tidak terjadi permusuhan yang berkepanjangan.28
Dari pembagian hasil ganti rugi, maka penulis menyimpulkan adanya
suatu nilai materil. Karena 25% dari hasil ganti rugi diberikan Kepada Desa yang
nantinya akan digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan 25% diberikan
kapada para saksi yang terdiri dari perangkat desa dan tokoh masyarakat serta
karib kerabat yang masih dalam lingkungan satu RT. Pembagian ini,
memperlihatkan bahwa masyarakat ingin mengambil suatu keuntungan dari
adanya pembatalan khitbah, dengan dalih sebagai ganti jasa dalam meyelesaikan
permasalahan secara damai.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum privat dan hukum
publik, ia tidak mengenal pembagian antara hukum perdata dan pidana, oleh
karenanya penyelesaian perselisihan secara damai tidak tertutup kemungkinan di
27
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1984), h., 32.
28
Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi. Pulung Rejo, 21
September 2010.
73
segala bidang perselisihan. Penyelesaian secara damai ini dipandang perlu untuk
menghilangkan rasa dendam antara satu sama lain, selain itu untuk menumbuhkan
kerukunan hidup satu sama lain.
Dengan demikian apa yang dimaksud dengan kerukunan itu erat
hubungannya dengan visi seseorang dalam sikap hidup bermasyarakat
sebagaimana dikehendaki oleh adat guna mewujudkan kedamaian, ketenangan
dan kebahagian dalam kehidupan bersama.
Penyelesaian perselisihan secara damai tidak bergantung ada tidaknya
perundingan desa, tidak tergantung ada tidaknya ketua-ketua adat. Faktor yang
penting dalam acara penyelesaian secara damai ialah ada tidaknya i’tikad baik,
ada tidaknya hasrat keinginan saling memaafkan, ada tidaknya keinginan
memelihara kerukunan dan hubungan kekeluargaan antara satu sama lain.
Untuk penyelesaian konflik secara damai yang dibicarakan dalam
perundingan perdamaian itu antara lain adalah persyaratan yang bagaimana yang
seharusnya dipenuhi oleh pihak yang merugikan untuk berdamai dengan pihak
yang dirugikan, misalnya berapa besar biaya atau denda adat yang harus dibayar
atau dipenuhi. Berapa biaya-biaya obat, penguburan upacara adat dan agama yang
diperlukan, berapa besar ganti kerugian yang dimintai dan adakah diperlukan
nyawa dibayar nyawa.29
Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo membebankan ganti
rugi dikarenakan untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian dengan
29
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat (Bandung: Alumni, 1981), h. 133-137.
74
penyelesaian konfik secara damai, sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan dan rasa keadilan terwujudkan.
Dalam hal pembatalan khitbah harus membayar ganti rugi atau denda
dengan jumlah yang telah disepakati. Ini dimaksudkan untuk mengganti biaya-
biaya upacara adat yang dilakukan pada saat khitbah serta untuk menyatakan
adanya tanggung jawab atas kelalaian yang telah diperbuat oleh salah satu pihak
dalam perjanjian yang menyebabkan pembatalan.
Selain itu, dengan adanya ganti rugi ini diharapkan tidak ada pihak yang
mungkir (ingkar) janji dengan alasan-alasan yang tidak rasional serta masalah-
masalah sepele, dikarenakan pembatalan khitbah ini dapat berpengaruh terhadap
orang yang dibatalkan khitbahnya. Di mana orang akan berprasangka buruk dan
mencari cacat cela yang mungkin dianggap sebab pembatalan sesungguhnya.
Sehingga berakibat sulit kembali bagi orang yang dibatalkan khitbahnya untuk
mendapatkan pasangan hidupnya.
Masyarakat akan berfikir negatif tentang seseorang yang khitbahnya
dibatalkan dan hal ini, akan berakibat hilangnya rasa percaya diri seseorang serta
ketenteraman hidup yang mereka rasakan dalam keluarga akan berkurang atau
bahkan hilang disebabkan adanya penilaian atau pandangan buruk dari
masyarakat umum. Hal ini merupakan dampak negatif yang akan dirasakan oleh
seseorang dalam menghadapi kehidupannya setelah pembatalan khitbah terjadi.
Rasa malu, kecewa serta sakit hati yang dirasakan tidak ada pernah
terbayar dengan jumlah uang yang diterimanya sebagai ganti rugi, karena dalam
75
pelaksanaan khitbah masyarakat Pulung Rejo melibatkan banyak orang seperti
tokoh masyarakat, sesepuh adat, keluarga besar serta tetangga yang masih
terhitung dalam satu RT. Dengan banyaknya orang yang menyaksikan maka
berita pembatalan juga akan tersebar luas yang berakibat menjatuhkan nama baik
keluarga.
Oleh sebab itu, masalah pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa
Pulung Rejo merupakan persoalan yang urgen (penting), karena dampak yang
dirasakan bukan hanya pada individu akan tetapi pada sebuah keluarga. Dengan
ini, masyarakat mengharapkan adanya ganti rugi dapat mencegah seseorang untuk
membatalkan khitbah serta kegagalan dalam pernikahan. Adanya sanksi materil
memang selama ini, berjalan dengan baik dan harapan masyarakat untuk
mencegah serta mengatasi konflik akibat pembatalan khitbah juga tercapai
dikarenakan jumlah yang ditawarkan serta disetujui oleh kedua belah pihak
keluarga cenderung tinggi. Berkisar antara Rp 5.000.000 (lima juta rupiah)
sampai Rp 20.000.000 (dua pulug juta rupiah), sehingga membuat orang berpikir
dua kali jika harus memberikan uang sebesar itu tanpa alasan yang pasti.
Maka dengan besarnya jumlah denda atau ganti rugi dapat berakibat baik
bagi seseorang bahkan juga berakibat buruk bagi seseorang. Tetapi jumlah yang
disepakati tentunya disesuaikan dengan kemampuan material atau kehidupan
ekonomi seseorang. Semakin mapan kehidupan ekonomi seseorang, maka
semakin tinggi pula jumlah palang atau ganti rugi yang ditetapkan.
76
Banyak hal yang dijadikan sebagai alasan seseorang untuk membatalkan
khitbahnya. Maka, dengan ini masyarakat sepakat untuk tetap memberlakukan
palang atau ganti rugi guna sebagai sanksi yang mengakibatkan rasa jera sehingga
tidak ada lagi pihak yang membatalkan khitbah tanpa sebab yang pasti.
Dan adanya ganti rugi ini masyarakat bisa merasakan manfaatnya karena
kerukunan, keadilan dan perdamaian antara dua pihak keluarga setelah terjadi
pembatalan khitbah tetap dapat menyambung hubungan baik, walaupun tidak
sebaik sebelumnya. Tetapi setidaknya rasa dendam dan permusuhan serta kesalah
pahaman dapat diredam dan diselesaikan secara baik melalui ketua-ketua adat.
Selain itu, penulis juga dapat melihat dengan adanya dampak positif ganti
rugi ini, yaitu seseorang akan lebih hati-hati dalam memilih pasangan dalam
hidupnya. Sehingga tidak akan menyebabkan pembatalan yang mengakibatkan
terjadinya kegagalan dalam pernikahan, bahkan perceraian jika pernikahan tetap
dilaksanakan.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai Ganti Rugi
Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan Sosiologis yang didasarkan kepada Kasus
Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. Maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Khitbah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai sinonim dengan
peminangan, yang berasal dari kata “pinang” atau “meminang”. Secara
etimologis meminang atau melamar artinya (antar lain) “meminta wanita
untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Sedangkan, secara
terminologis peminangan adalah “ kegiatan atau upaya kearah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Adapun pelaksanaan khitbah di desa Pulung Rejo, seperti yang ada di bawah
ini:
a. Pihak keluarga perjaka mengutus seseorang yang dipercayai ke rumah sang
gadis, untuk menanyakan tentang hubungan putrinya dengan sang perjaka
karena pada zaman sekarang anak telah saling mengenal lebih dahulu maka
tinggal izin orangtualah yang diperlukan.
b. Setelah keluarga gadis menyetujui tentang hubungan mereka, maka utusan
dari keluarga perjaka menentukan hari dan waktu yang tepat untuk datang
78
kembali bersama pihak orangtua laki-laki untuk mengadakan lamaran secara
resmi.
c. Pada hari dan waktu yang ditentukan tiba, maka pihak keluarga gadis,
mengundang tetangga, dan para aparat desa serta sesepuh desa untuk
menyaksikan lamaran yang akan dilaksanakan.
d. Pihak keluarga laki-laki datang kembali bersama keluarga terdekatnya untuk
melamarkan putranya secara resmi dengan wanita pilihannya.
e. Pihak keluarga laki-laki dan perempuan mempunyai juru bicara masing-
masing untuk mewakili pernyataan lamaran dan penerimaan dari pihak
perempuan. Setelah lamaran diterima, maka pemberian tanda ikatan pun
langsung diberikan kepada wanita biasanya berupa cincin. Hal ini dijadikan
sebagai tanda bahwa recara resmi hubungan mereka direstui oleh keluarga dan
akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu, para ketua adat atau sesepuh
merembuk beberapa hal yang menjadi kesepakatan dari kelurga kedua belah
pihak, yaitu sebagai berikut :
1) Dibicarakan jumlah palang atau ganti rugi yang akan dibayarkan jika
terjadi pembatalan atau mungkir janji dari salah satu pihak yang
bertunangan.
2) Dibicarakan masalah penentuan atau perhitungan hari baik untuk
pelaksanaan pernikahan, walaupun waktu antara tunangan dan pernikahan
masih lama.
79
Setelah semua pihak sepakat tentang hari dan waktu yangdianggap tepat untuk
melaksanakan pernikahan. Terakhir dibicarakan masalah gol yaitu suatu
kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga tentang hari pelaksanaan
pernikahan, jika terjadi kematian dari salah satu keluarga dekat seperti,
orangtua, adik, kakak, kakek, nenek, maka pernikahan akan tetap
dilaksanakan atau ditunda sampai mendapatkan pergantian hari yang lebih
tepat lagi.
2. Penyebab pembatalan didasarkan kepada beberapa faktor yang dilakukan oleh
pelaku yang ada dalam masyarakat desa Pulung Rejo antara lain: Pertama,
adanya pihak ketiga. Kedua, faktor pendidikan. Ketiga, faktor ekonomi.
Keempat, faktor ketaatan pada orang tua. Kelima, faktor kematian.
3. Ganti rugi pembatalan khitbah dimaksudkan untuk mencegah adanya
kegagalan pernikahan. Ini dilakukan sebagai upaya masyarakat untuk
pencegahan terhadap pelanggaran yang telah mereka sepakati sebagai suatu
aturan atau norma dalam kehidupan bermasyarakat. Meredam rasa kecewa,
dendam, mengganti kerugian upacara adat yang dilakukan ketika pelaksanaan
lamaran, menegakkan rasa keadilan serta menjaga agar tidak terjadi konflik
antara keluarga kedua belah pihak. Hal ini, merupakan suatu usaha
masyarakat melakukan pemulihan agar kembali pada keadaan damai, seperti
sebelumnya. Selain itu untuk mewujudkan, prisip hidup rukun dan saling
hormat menghormati antara satu dengan yang lain.
80
B. Saran- saran
Ada banyak hal yang memotivasi pasangan yang ingin tunangan untuk
melakukan pembatalan dengan alasan-alasan tertentu, hal ini mengakibatkan
dampak negatif bukan hanya pasangan yang ingin bertunangan melainkan juga
bagi keluarga mereka. Untuk meminialisir dampak tersebut, penulis menyarankan
sebagai berikut:
1. Khitbah merupakan masalah yang serius, jadi penulis mengharapkan agar
tidak bermain-main ketika melakukan khitbah, sebaiknya khitbah dilakukan
dengan kesadaran tanpa ada paksaan dari pihak manapun sehingga tidak
terjadi penyesalan bahkan pembatalan dikemudian hari.
2. Walaupun dalam pembatalan khitbah seseorang mendapatkan ganti rugi akan
tetapi yang perlu diingat adalah rasa kecewa dan sakit hati seseorang itu tidak
dapat dibayar dengan apapun sekalipun uang dengan jumlah yang sangat
besar. Dengan adanya ganti rugi ini sebaiknya seseorang jangan menanggap
enteng karena merasa sanggup untuk membabayar ganti rugi yang telah
ditetapkan.
3. Pembatalan khitbah memang lebih baik dari pada perceraian setelah
pernikahan, akan tetapi bagi orang yang membatalkan khitbah hendaklah
didasari dengan alasan yang jelas dan masuk akal. Ini akan berdampak negatif
dibatalkan karena akan menimbulkan prasangka buruk terhadap salah satu
pihak.
81
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Al-Huda, 2002.
Abbas, Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Madzhab.Jakarta:
PT.Prima Heza Lestari, 2006.
Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2009.
Ahmad Soebani, Beni. Sosiologi Agama. Bandung: PT Refika Aditama, 2007.
As’ad, Musifin. Perkawinan dan Masalahnya. Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1993.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. Upacara Pernikahan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006.
Bugin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kibijakan, Publik dan
Ilmu Sosisl Dasar. Jakarta: Kencana, 2009.
Bukhori. Hubungan Seks Menurut Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Data Monografi Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Alumni, 1981.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1983.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni, 1989.
Halim, Ridwan. Hukum Adat Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989.
Handikusuma, Hilman. Hukum Perjanjian Adat,. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti,1990.
http//Id.Wikipedia.Org/ Wiki/ Upacara_Pernikahan
Khalil, Ahmad. Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa. Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Mahayana, Maman S dan Nuradji Totok Suhardiyanto. Kamus Ungkapan Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia W idiasarana Indonesia, 1997.
Mahfud, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta dan Pustaka
Pelajar Yogyakarta, 1994.
82
Mitchell, Duncan, Sosiologi Suatu Analisis Sistem Sosial. Penterjemah Sahat
Simamora, Jakarta: PT Bina Aksara, 1984.
Muchtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1993.
Muhammad Asraf bin Abdul Masqsud, Abu. Curhat Pernikahan. Bandung: Pustaka
Rahmat, 2009.
Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: PT Pradnya Pramita, 1988.
Narwoko, J. Dwi dan Suyanto, Bagong. Sosiologi Teks Pengatar dan Terapan:
Jakarta, Kencana, 2004.
Nasution. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: PT Tarsito, 2003.
Nazir, Mohammad. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Ni’am Sholeh, Asrorun. Fatwa-fatwa Masalah Pernkahan dan Keluarga. Jakarta:
Elsas, 2008.
Poloma, Margaret.M. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004.
Philipus dan Nurul Aini. Sosiologi dan Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung,
1991.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung,
1960.
Purwadi. Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka
Yogyakarta, 2007.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1984.
Rusdyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.
Salim, Agus. Risalatun Nikah. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.
Salim. Hukum Kontrak. Jakarta:Sinar Grafika, 2006.
Setiandi, Muhammad Elly. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana, 2008.
Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung: Binacipta, 1987.
83
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1990.
Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Jakarta: Rajawali, 1982.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2008.
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Thalib, Muhammad. 20 Macam Pernikahan yang Diharamkan. Yogyakarta:
Ma’alimul Usroh, 2006.
Thalib, Muhammad. 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami. Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1995.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta:
Bumi Aksara, 2009.
Wahyudi Asmin Zaenal Muhtadin,Yudia. Keluarga Bahagia dalam Islam.
Yogyakarta: CV. Pustaka Mantiq, 1993.
Wawancara pribadi dengan A. Jambi 21 Agustus 2010
Wawancara pribadi dengan Dainuri. Jambi 13 Agustus 2010
Wawancara Pribadi dengan H.Sudayat. Jambi 14 September 2010
Wawancara Pribadi dengan Hariyati. Jambi 16 September 2010
Wawancara Pribadi dengan Sudarsono. Jambi 16 September 2010
Wawancara pribadi dengan Sakiyo. Jambi 13 Agustus 2010
Wawancara Pribadi dengan Sarmi. Jambi 17 September 2010
Wawancara Pribadi dengan Sukinem. Jambi 16 September 2010
Wawancara Pribadi dengan Supriyono. Jambi 24 Agustus 2010s
Wawancara Pribadi dengan Somorejono. Jambi 21 September 2010
Wawancara Pribadi dengan Windra. Jambi 23 Agustus 2010
Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan :
Nama : Hariyati
Tgl : 16 September 2010
Usia : 26 Tahun
Tingkat Pendidikan : SLTP
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
1. Apakah anda telah menikah?
Iya, saya sudah menikah.
2. Sebelumnya pernakah lamaran yang anda terima dibatalkan?
Iya, Pernah.
3. Apa yang dijadikan alasan sehingga khitbah anda dibatalkan?
Alasannya, hanya belum siap saja untuk segera menikah. Tapi setelah selang
waktu tiga bulan mantan calon suami menikah lagi dengan orang lain.
Ketidaksiapan itu hanya alasan supaya saya dan keluarga tidak sakit hati, karena
sebelum terjadi pambatalan dia (mantan calon suami), sudah jarang sekali
menghubungi dan menemui saya. Dan setelah orang tua saya menanyakan
masalah pernikahan, ternyata dia malah memilih untuk membatalkan khitbahnya.
Saya rasa pembatalan ini sebenarnya dikeranakan adanya wanita lain.
4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang digunakan dalam lamaran
masyarakat Desa Pulung Rejo?
Tahu, palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar janjinya untuk
menikah, yang sebelumnya disepakati antara kedua belah pihak, kesepakatan itu
terjadi dengan adanya musyawarah yang dipimpin oleh sesepuh desa.
5. Berapa jumlah palang yang anda terima sebagai ganti rugi?
Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah).
6. Sebelum anda menerima palang atau ganti rugi, apakah sempat terjadi
konflik antara kedua pihak keluarga?
Iya, karena dengan tiba-tiba khitbah yang saya terima dibatalkan tanpa ada
kesalahan yang saya perbuat. Tetapi setelah keluarganya datang bersama sesepuh
adat dan kepala desa, dengan bantuan mereka untuk menjelaskan
permasalahannya kalau saat ini belum bisa segera untuk menikah karena belum
punya kerjaan yang menetap, menjelaskan alasannya dengan membawa palang
yang kami sepakati sebelumnya. Saya coba untuk menerima dan mungkin belum
berjodoh.
7. Apakah anda setuju, dengan adanya palang atau ganti rugi bagi orang yang
menbatalkan khitbah (lamaran)? Apa alasannya?
Setuju, karena dengan adanya palang atau ganti rugi ini bisa mengganti biaya-
biaya yang telah saya keluarkan ketika acara pelaksanaan khitbah.
8. Menurut anda, apa dampak positif dan negatif dalam pembebanan ganti
rugi atau palang bagi pihak yang membatalkan khitbah atau lamaran?
Dampak positif yang saya rasakan, yaitu dapat menambah saudara serta keluarga
karena sebelumnya belum saling mengenal antar keluarga walaupun tidak jadi
menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi hubungan ini
kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja.
Sedangkan dampak negatif yang saya rasakan adalah rasa malu, sakit hati, dan
kecewa karena hal ini sudah disaksikan oleh banyak orang. Hilangnya
kepercayaan seseorang terhadap saya, sehingga saya merasa sulit kembali untuk
menemukan pasangan hidup dikarenakan prasangka negatif dari orang.
Hasil Wawancara Dengan Tokoh Agama Desa Pulung Rejo:
Nama : H. Sudayat
Tgl : 14 September 2010
Usia : 66 Tahun
Tingkat Pendidikan : SLTA
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan PNS
1. Apakah bapak mengetahui istilah palang dalam pembatalan khitbah di Desa
Pulung Rejo? Dari mana asal usul palang (ganti rugi) dalam pembatalan
khitbah tersebut?
Iya, saya mengetahui, palang itu suatu ganti rugi yang dibayarkan ketika terjadi
pembatalan khitbah, yang sebelumnya disepakati oleh kedua belah pihak yang
merupakan perjanjian untuk setia dalam menjaga hubungan hingga
berlangsungnya pernikahan.
2. Bagaimana pendapat bapak tentang praktek pembebanan ganti rugi dalam
pembatalan khitbah yang berlangsung di Desa Pulung Rejo?
Menurut saya, palang atau ganti rugi dalam pembatalan khitbah itu merupakan
hasil musyawarah para sesepuh, dan disepakati oleh keluarga kedua belah pihak
sebelumnya jika ada yang membatalkan khitbahnya guna untuk mendapatkan
keadilan. Maka hal itu dibolehkan saja demi menjaga hubungan setelah khitbah
supaya tidak terjadi pengingkaran diantara mereka.
3. Bagaimana pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat dengan adanya
ganti rugi ketika terjadinya pembatalan khitbah?
Ganti rugi pembalataln khitbah ini berpengaruh terhadap, kerukunan, perdamaian
dan bagi pihak yang dibatalkan mendapatkan kadilan. Sedangkan pengaruh
terhadap Desa sendiri, bartambahnya kas Desa yang dikarenakan adanya
pemasukan dari hasil pembayaran bagi orang yang membatalkan khitbah. Hal ini
dapat dimanfaatkan sebagai penunjang pembangunan Desa yang belum terpenuhi.
4. Apakah bapak mengetahui apa alasan masyarakat dalam pembebanan ganti
rugi terhadap pembatalan khitbah?
Alasan diadakan pembebanan ganti rugi pembatalan khitbah ini, karena sebelum
ditetapkan adanya ganti rugi banyak orang melakukan pembatalan khitbah
sepihak dan tanpa alasan yang jelas. Dan pihak yang khitbahnya dibatalkan
merasa dirugikan materil bahkan moril.
5. Faktor apa yang mendorong masyarakat membatalkan khitbah atau
lamaran ?
Menurut hemat saya, pembatalan khitbah sering terjadi karena adanya gangguan
pihak ketiga, baik dari laki-laki maupun perempuan. Terkadang juga dikarenakan
adanya perbedaan dalam hal pendidikan dan kekayaan dari keluarga mereka,
sehingga terjadi ketidak nyamanan antara mereka.
6. Bagaimana tingkat kesadaran hukum masyarakat Pulung Rejo dalam
pembayaran ganti rugi pembatalan khitbah?
Untuk masalah pembayaran khitbah jika terjadi pembatalan masyarakat yang ada
di Desa Pulung Rejo berjalan dengan baik. Akan tetapi, jika terjadi pembatalan
dengan orang yang beda daerah maka hal ini, kurang berjalan dengan baik.
7. Berdasarkan pengamatan bapak, dampak apa yang terjadi dalam
masyarakat dengan adanya pembebanan ganti rugi ini ?
Dampak positif dari pembebanan ganti rugi ini yaitu akan membuat seseorang
menepati janjinya dan pihak yang dirugikan mendapatkan keadilan. Serta dapat
menyelesaikan koflik jika terjadi permasalahan setelah pembatalan. Sedangkan
dampak negatifnya, adanya paksaan untuk menikahi seseorang karena menikah
itu merupakan hak asasi dan ketentuan jodoh itu hanya Allah lah yang Maha
mengetahui.
8. Bagaimana fungsi adanya ganti rugi bagi masyarakat Pulung Rejo, jika
terjadi konflik setelah pembatalan khitbah?
Ganti rugi atau palang ini, pasti dapat mengatasi masalah atau konflik antar dua
keluarga, karena rasa dendam dan kecewa, tetapi jika alasan penyerahan ganti
rugi itu diberikan secara baik-baik pula.
Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Pulung Rejo :
Nama : Sakiyo
Tgl : 13 Agustus 2010
Usia : 55 Tahun
Tingkat Pendidikan : SLTP
Agama : Islam
Pekerjaan : Kepala Desa
1. Bagaimana sejarah Desa Pulung Rejo ?
Desa Pulung Rejo, berdiri pada tahun 1978’an yang penduduknya berasal dari
transmigran bedol Desa Pulau Jawa ( Wonogori ), sebanyak lima desa.
2. Bagimana adat istiadat masyarakat Desa Pulung Rejo ?
Adat istiadat yang dipakai 99 % menggunakan adat jawa, walaupun adat jambi
juga dipakai tapi hanya 1% saja.
3. Ritual-ritual apa saja yang masih dijalani masyarakat dalam proses
pelaksanaan lamaran?
Ritual yang digunakan biasanya acara syukuran, dengan mengundang keluarga,
para tokoh masyarakat, dan tetangga terdekat. Dengan tujuan mendapat berkat
dari yang Maha Kuasa serta disaksikan oleh banyak orang.
4. Apa yang dimaksud dengan istilah palang dalam pelaksaaan lamaran adat
jawa?
Palang adalah janji untuk mengikat suatu perjanjian akan menikah yang
disaksikan oleh masyarakat biasanya selang waktu 1 tahun untuk menikah.
5. Bagaimana pandangan bapak, terhadap praktek ganti rugi pembatalan
khitbah atau lamaran?
Prakteknya bagus, khususnya untuk masyarakat yang berada di Desa Pulung
Rejo, karena dapat menjaga agar terlaksanannya pernikahan sehingga tidak ada
pihak yang dirugikan. Tetapi jika pembatalan dengan orang yang berbeda daerah,
maka ini masih sulit untuk dipraktekkan dengan baik sehingga dibutuhkan
bantuan Perangkat Desa dan saksi yang menyaksikan pelaksanaan khitbah
tersebut.
6. Apakah bapak setuju pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah
atau ganti rugi dapat mengatasi konflik? Apa alasan bapak terhadap hal
tersebut?
Sangat Setuju. Karena pada saat terjadi pembatalan yang salah satu pihak berasal
dari daerah lain, mereka seolah lari dari tanggung jawab untuk membayar ganti
rugi tersebut. Sehingga keluarga yang berada di masyarakat Desa Pulung Rejo
melaporkan kepada Kepala Desa, setelah itu barulah pihak desa yang
menyelesaikan permasalahan itu, sekaligus minta keluarga mereka untuk bertemu
dan memberikan pembayaran palang yang telah menjadi kesepakatan.
7. Bagaimana masyarakat luas menilai ganti rugi (dalam hal positif dan
negatif)?
Kebanyakan masyarakat menilai positif karena hal ini dapat menjaga seseorang
dari kegagalan untuk menikah. Dengan adanya palang mereka lebih bisa berfikir
panjang ketika mau melakukan khitbah dan ketika menerima khitbah. sedangkan
dalam hal negatif mereka menilai palang ini membatsi hak-hak asasi mereka.
8. Apa penyebab yang sering terjadi dalam pembataln khitbah?
Menurut yang saya perhatikan selama ini, kebanyakan yang dijadikan alasan
pembatalan khitbah itu karena faktor adanya pihak ketiga baik dari pihak laki-laki
ataupun perempuan, tapi mereka sering berdalih dengan mengatakan belum siap
untuk segera menikah makanya memutuskan untuk membatalkan khitbahnya dan
selang waktu beberapa bulan, mereka melaksanakan pernikahan dengan orang
lain. Selain itu ada juga, karena orang tua yang kurang suka dengan calon
menantunya, terkadang juga dikarenakan ekonomi dan pendidikan yang dianggap
tidak seimbang.
Hasil Wawancara dengan Lembaga Adat Kecamatan Rimbo Ilir:
Nama : Dainuri
Tgl : 13 Agustus 2010
Usia : 50 Tahun
Tingkat Pendidikan : S1
Agama : Islam
Perkerjaan : Sebagai Ketua Adat Kec.Rimbo Ilir
1. Adat apa yang digunakan pada masyarakat Desa Pulung Rejo?
Adat Jawa.
2. Apakah masyarakat Desa Pulung Rejo sangat menjunjung tinggi adat atau
tradisi?
Iya. Karena masyarakat Desa Pulung Rejo menginginkan kehidupan yang rukun
dalam bermasyarakat berdasarkan aturan adat atau norma yang telah disepakati.
3. Dalam proses lamaran apakah bapak pernah mendengar istilah palang? Apa
yang bapak ketahui tentang palang tersebut?
Iya, Pernah. Palang itu sejumlah uang yang dijadikan kesepakatan antara dua
pihak kelurga laki-laki dan perempuan ketika khitbah terjadi, berfungsi sebagai
ganti rugi ketika ada pembatalan dari salah satu pihak.
4. Benarkah dalam masa pertunangan, jika ada pihak yang membatalkan
khitbah atau lamarannya maka akan dikenakan pembayaran palang atau
ganti rugi sesuai dengan kesepakatan?
Iya, jika ada salah satu yang membatalkan lamarannya maka dikenakan palang
atau ganti rugi yang telah mereka sepakati sebelumnya.
5. Apa tujuan diadakannya palang (ganti rugi) ketika terjadi pembatalan
khitbah?
Sebenarnya palang itu sebagai pencegahan agar tidak terjadi pembatalan
pernikahan karena kesepakatannya juga dilakukan ketika khitbah seseorang
diterima. Namun, ketika telah terjadi pembatalan diharapkan uang yang dijadikan
palang tersebut dapat mengganti kerugian ketika terjadi pelaksanaan khitbah.
6. Apakah bapak mengetahui alasan mendasar kenapa masyarakat Desa
Pulung Rejo sepakat dengan adanya ganti rugi dalam pembatalan khitbah?
Alasan mendasarnya untuk mencegah terjadinya kegagalan pernikahan. Karena
jika terjadi pembatalan biasanya sedikit banyaknya pasti menimbulkan kesalah
pahaman yang berakibat konflik dan menjadikan hubungan mereka renggang
bahkan bisa manjadi musuh antara dua keluarga tersebut.
7. Apa dampak yang terlihat dalam masyarakat dengan adanya pembebanan
ganti rugi dalam pembatalan khitbah?
Dampak positif orang tidak akan main-main dengan lamaran, akan menjaga
ikatan perjanjianya atau tidak lepas tanggung jawab yang telah disepakati.
Sedangkan dampak negatif karena semua jodoh itu sebenarnya Tuhan yang
mengaturnya, dan Dia yang Maha mengetahui segala sesuatu, jadi jika terjadi
pembatalan sebelum nikah mungkin mereka belum jodoh tetapi jika diberlakukan
denda ini terkesan memaksakan kehendak seseorang karena tidak semua orang
mampu membayar palang atau ganti rugi, walaupun sebelumnya telah disepakati,
dikarenakan kondisi perekonomian seseorang tidak selamanya selalu stabil.
8. Bagaimana dengan kehidupan sosial masyarakat terhadap yang pernah
mengalami ganti rugi pembatalan khitbah?
Kehidupan sosial bermasyarakat, dengan adanya ganti rugi ini tidak ada pihak
yang merasa dirugikan karena memang telah menjadi kesepakatan. Menciptakan
perdamaian dan menghindarkan permusuhan antara kedua keluarga tersebut.
Sehingga terwujudlah suatu kerukunan dan saling menghormati antara satu
dengan yang lainya.
Hasil Wawancara Dengan Sesepuh Desa Pulung Rejo :
Nama : Somorejono
Tgl : 21 September 2010
Usia : 67 Tahun
Tingkat Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Petua Adat Desa Pulung Rejo
1. Adat apa yang digunakan masyarakat Desa Pulung Rejo?
adat jawa.
2. Dalam proses lamaran apakah yang dimaksud dengan istilah “palang”?
Palang itu merupakan ganti rugi yang harus dibayarkan oleh pihak yang mungkir
janji dari pernikahan dan besarnya sesuai kesepakatan ketika proses lamaran.
3. Apa tujuan dari adanya palang?
Untuk menjaga kelangsungan hubungan hingga ke jenjang pernikahan yang
diinginkan, bisa juga berfungsi sebagai pengikat agar tidak terjadi pembatalan
sepihak. Sebagai pengikat dan pagar atau batasan agar salah satu pihak tidak
mungkir janji untuk melaksanakan pernikahan, sehingga dapat mencegah adanya
kegagalan pernikahan.
4. Berapa jumlah nominal yang sering dijadikan sebagai palang?
Jumlah palang tidak ada ketetapan pasti akan tetapi sesuai kesepakatan. Biasanya
berkisar Rp.5.000.000 (lima juta rupiah) sampai Rp.20.000.000 (dua puluh juta
rupiah).
5. Dalam pembayaran palang apakah seluruhnya diberikan kepada pihak yang
dibatalkan khitbahnya?
Dalam pembayaran palang tidak sepenuhnya diterima oleh pihak yang khitbahnya
dibatalkan, karena ketika pelaksanaan khitbah melibatkan banyak orang.
Sehingga ketika terjadi pembatalanpun orang yang terlibat akan mendapatkan.
6. Siapa saja yang akan terlibat ketika adanya pembayaran palang? Apakah
ada pihak-pihak yang terlibat dalam penerimaan pembayaran palang
tersebut?
Yang terlibat dalam pembayaran palang adalah dua keluarga yang pernah
melakukan khitbah, Kepala Desa dan Sesepuh yang telah menyaksikan terjadinya
khitbah tersebut. Terkadang ada keluarga yang langsung mewakilkan kepada
Perangkat Desa atau Sesepuh Adat saja. Pihak-pihak lain seperti saksi karena
ketika pelaksanaan mareka dijadikan saksi dan ketika pembatalanpun mereka
dijadikan saksi pembatalan. Agar tidak ada penuntutan disalah satu pihak.
Adapun pembagiannya:
a. 50 % untuk keluarga atau pihak yang dibatalkan.
b. 25 % diberikan kepada Desa.
c. 25 % diberikan untuk saksi yang menyaksikan adanya lamaran tersebut.
7. Apakah aturan adat ini telah berjalan sebagaimana yang diinginkan?
Menurut hemat saya, aturan ini telah berjalan sebagaimana mestinya dan tujuan
untuk menciptakan kerukunan, perdamaian, dan keadilanpun telah dirasakan.
8. Adakah masyarakat yang tidak menyetujui dengan palang atau ganti rugi
ini?
Sampai sekarang belum ada yang dengar secara langsung.
9. Berdasarkan pengamatan bapak, apa alasan yang sering dijadikan
seseorang dalam pembatalan khitbahnya?
Alasan yang sering saya lihat, yaitu adanya lamaran dari pihak lain yang dianggap
lebih dalam masalah kekayaan atau fisik. Ada juga dari keluarga yang tidak
menyetujui setelah mengetahui sifat, tindak tanduk calon menantunya yang
kurang baik.
Hasil Wawancara Dengan Seorang Saksi Khitbah Desa Pulung Rejo
Nama : Sudarsono
Tgl : 16 September 2010
Usia : 35 tahun
Tingkat Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Tukang Bangunan
1. Apakah bapak mengetahui adanya palang dalam pembatalan khitbah?
Iya, saya mengetahui.
2. Apakah bapak pernah menyaksikan proses khitbah seseorang secara
langsung pada masyarakat Desa Pulung Rejo?
Iya, saya pernah menyaksikan proses khitbah di Desa Pulung Rejo secara
langsung.
3. Dalam proses khitbah yang bapak saksikan, apakah benar setelah khitbah
itu diterima disepakati adanya palang antara kedua belah pihak?
Iya, benar. Saya menjadi saksi ketika mereka menetapkan jumlah palang yang
disepakati, yang biasanya dipimpin oleh Sesepuh Desa ketika akan dibicarakan
masalah palang tersebut.
4. Berapa jumlah nominal yang dijadikan palang ketika bapak menjadi saksi
dalam proses khitbah tersebut?
Waktu itu saya menyaksikan jumlah palang sebesar Rp 5.000.000 (Lima Juta
Rupiah).
5. Apakah khitbah yang bapak saksikan pada saat itu kemudian ada salah satu
pihak yang membatalkan khitbahnya? Apakah bapak mengetahui yang
menjadi alasan pembatalan tersebut?
Setelah khitbah itu berjalan satu tahun, akan tetapi pernikahan belum juga
dilaksanakan. Ketika, pihak perempuan menanyakan pernikahan tetapi, pihak
laki-laki belum mau untuk segera menikah dan memutuska untuk melakukan
pembatalan saja.
6. Setelah terjadi pembatalan apakah benar bapak juga mendapatkan bagian
dari pembayaran palang tersebut? Berapa jumlah nominal yang bapak
terima pada saat itu?
Iya saya mendapatkan bagian karena ketika terjadi pembatalan mereka
mengundang saya kembali untuk menjadi saksi pembatalan. Saya mendapat
bagian Rp.100.000 (seratu ribu rupiah).
7. Apa yang menjadi alasan bapak mendapatkan bagian dari pembayaran
palang tersebut?
Ya, katanya saya sudah mau ikut manjadi saksi ketika khitbah terjadi dan
membantu menyelesaikan permasalahan ketika terjadi pembatalan antara keluarga
tersebut karena adanya salah paham, dan saya sebagai saksi sekaligus tetangga
terdekat diminta untuk melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu
penyelesaiannya, karena keluagra yang dibatalkan sudah kecewa dan tidak mau
menemui mereka lagi karena merasa anaknya dipermainkan.
Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan :
Nama : Hariyati
Tgl : 16 September 2010
Usia : 26 Tahun
Tingkat Pendidikan : SLTP
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
1. Apakah anda telah menikah?
Iya, sudah.
2. Sebelumnya pernakah lamaran yang anda terima dibatalkan?
Iya, Pernah.
3. Apa yang dijadikan alasan sehingga khitbah anda dibatalkan?
Alasannya, hanya belum siap saja untuk segera menikah.
4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang digunakan dalam peningsetan
atau lamaran dalam adat Jawa?
Tahu, palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar janjinya untuk
menikah.
5. Berapa jumlah palang yang anda terima sebagai ganti rugi?
Rp 5.000.000 (Liima Juta Rupiah
6. Sebelum anda menerima palang atau ganti rugi, apakah sempat terjadi
konflik antara kedua pihak keluarga?
Iya, karena dengan tiba-tiba khitbah yang saya terima dibatalkan secara sepihak
tanpa ada kesalahan yang saya perbuat. Tetapi setelah keluarganya datang dan
menjelaskan alasannya dengan membawa palang yang kami sepakati sebelumnya.
Saya coba untuk menerima dan mungkin belum berjodoh.
7. Apakah anda setuju dengan adanya palang atau ganti rugi bagi orang yang
menbatalkan khitbah (lamaran)?
Setuju. Karena dengan adanya ganti rugi ini dapat menggantikan biaya-biaya
yang dikeluarkan ketika pelaksanaan khitbah.
8. Menurut anda, apa dampak positif dan negatif dalam pembebanan ganti
rugi atau palang bagi pihak yang membatalkan khitbah atau lamaran?
Dampak positif yang saya rasakan, yaitu dapat menambah saudara serta keluarga
karena sebelumnya belum saling mengenal antar keluarga walaupun tidak jadi
menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi hubungan ini
kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja.
Sedangkan dampak negatif yang saya rasakan, rasa malu dan kecewa karena hal
ini sudah disaksikan oleh banyak orang.
Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Membatalkan Khitbahnya:
Nama : Supriyono
Tgl : 24 Agustus 2010
Usia : 32 Tahun
Tingkat Pendidikan : SLTA
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
1. Kapan anda menikah?
Empat tahun yang lalu.
2. Apakah sebelumnya anda pernah membatalkan khitabah?
Iya, saya pernah membatalkan khitbah atau lamaran.
3. Apakah alasan anda membatalkan khitbah?
Alasanya karena orangtua tidak menyetujui, karena beliau kurang menyukai
tindak tanduknya yang kurang sopan ketika dia bertutur kata atau bertindak.
4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang berlaku dalam pelaksanaan
lamaran?
Iya, saya mengetahuinya.
5. Berapa jumlah nominal uang yang anda berikan ketika membayar palang?
Saya membayar Rp 15.000.000 (Limabelas Juta Rupiah).
6. Apakah terjadi konflik sebelum anda membayarkan ganti rugi atau palang
yang telah disepakati?
Iya sempat, karena dari keluarga tunangan saya tidak menerima dengan adanya
pembatalan yang saya sampaikan. Namun setelah saya berbicara baik-baik dan
mengatakan mungkin kita belum berjodoh serta menyerahkan uang yang menjadi
palang atau ganti rugi sesuai kesepakatan. Akhirnya keluarganya mengerti dan
menerima keputusan saya.
7. Setujukah anda dengan adanya palang atau ganti rugi dalam pembatalan
khitbah?
Saya setuju. Karena menurut saya palang atau ganti rugi ini dapat mengatasi
konflik.
8. Dampak apa yang anda rasakan dengan adanya pembebanan ganti rugi ini?
Menurut saya, dampak positif yang saya rasakan palang atau ganti rugi ini dapat
mengatasi permasalahan antar dua keluarga, serta tidak adanya pihak yang merasa
dirugikan. Sedangkan dampak negatif dari palang atau ganti rugi ini adalah
walaupun telah disepakati sebelumnya, akan tetapi karena jumlah yang harus
dibayarkan kadang terlalu besar jadi ada rasa keterpaksaan dalam diri seseorang.