Gangguan Elektrolit

28
Gangguan Elektrolit: Kalium, Kalsium dan Klorida oleh : Mohammad Akmal B Abdul Kadir (0810714020) Yeremia Prawiro Mozart Runtu (0810713089) Pembimbing : Dr. Buyung Hartiyo L, SpAn LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2013

description

aaa

Transcript of Gangguan Elektrolit

Page 1: Gangguan Elektrolit

Gangguan Elektrolit: Kalium, Kalsium dan Klorida

oleh :

Mohammad Akmal B Abdul Kadir (0810714020) Yeremia Prawiro Mozart Runtu (0810713089)

Pembimbing :

Dr. Buyung Hartiyo L, SpAn

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWARMALANG

2013

Page 2: Gangguan Elektrolit

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cairan elektrolit dan manajemen merupakan kerja yang sulit sebagian dokter, karena

gambaran klinis pasien sentiasa berubah. Artikel berikut menyajikan fungsi primer dan

mekanisme pengaturan masing-masing elektrolit. Penaksiran taktik dan pedoman pengobatan

juga dikaji.Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan tinjauan menyeluruh tentang cairan dan

elektrolit. Di dalam pengaryaan makalah ini akan difokuskan ke elektrolit clorida, kalium dan

calcium (Rhoda, 2011).

Air merupakan komponen utama dari tubuh manusia. Total air di dalam tubuh (Total

Body Water) merupakan sekitar 45% -60% dari berat badan dan dibagi menjadi cairan

ekstraselular (Extracellular fluid) dan intraseluler cairan (Intracelluar Fluid). ICF merangkumi

dua-pertiga dari TBW, yang menyumbang hingga sekitar 40% dari berat badan, dengan sisa

sepertiga dari TBW menjadi ECF, terhitung sekitar 20% dari berat tubuh. ECF meliputi cairan

intravaskuler, cairan interstitial, dan cairan transelular (yang terkandung dalam rongga tubuh

tertentu). Air bergerak antara ICF dan ECF tergantung pada jumlah zat terlarut sehingga

mencapai keadaan kesetimbangan. Pengukuran ini disebut sebagai osmolalitas dan sering

digunakan bergantian dengan tonisitas. Osmolalitas cairan tubuh dan cairan isotonik adalah

sekitar 280-300 mOsm / kg (Rhoda, 2011)

Hipovolemia, didefinisikan sebagai defisit ECF, dapat terjadi sebagai penurunan

volume air, dengan atau tanpa elektrolit deficit. Hypovolemia biasanya merupakan hasil dari

ketidakmampuan untuk mengatur air asupan (misalnya, hilang dari mekanisme haus atau

terkonsentrasi nutrisi enteral). Tanda-tanda patognomonik hipovolemia termasuk haus, pusing,

hipotensi, takikardia, miskin turgor kulit, dan penurunan natrium urin (Na) konsentrasi (<15 mEq

/ L) . Hypervolemia didefinisikan sebagai expansi dari volume ECF, dan dapat terjadi karena

fungsi ginjal berubah, pemberian cairan yang berlebihan, cairan interstitial plasma pergeseran,

atau pasca-operasi. Hypovolemia sering terlihat setelah operasi dan tindakan anestesi, apabila

ADH dilepaskan sehingga menyebabkan retensi air oleh ginjal(Rhoda, 2011).

Kalium merupakan kation intraseluler yang utama. Total kandungan potasium yang

normal dalam tubuh tergantung pada massa otot dan maksimal pada orang dewasa muda dan

menurun secara progresif dengan berlanjut usia. Kurang dari 1,5% dari total kalium tubuh

ditemukan di ruang ekstraselular. Konsentrasi kalium ekstraseluler dikendalikan oleh distribusi

Page 3: Gangguan Elektrolit

kalium transelular, sedangkan total kalium tubuh diatur terutama oleh ginjal. Lebih dari 90% dari

kalium didapatkan dari diet seharian diekskresikan dalam bentuk urin, dan sisanya dieliminasi

dalam feses. Apabila laju filtrasi glomerulus menurun pada gagal ginjal, maka jumlah kalium

diekskresikan oleh lewat jalur gastrointestinal tubuh meningkat (Hines et all, 2008).

Hanya 1% dari total kalsium tubuh hadir dalam ECF. Sisanya disimpan dalam

tulang. Kalsium dalam ECF 60% bebas atau digabungkan dengan anion dan sisanya 40%

terikat dengan protein, terutama pada albumin. Hanya kalsium terionisasi dalam ruang

ekstraselular aktif secara fisiologi didalam tubuh. Beberapa hormon mengatur metabolisme

kalsium seperti hormon paratiroid, yang meningkatkan resorpsi pada tulang dan reabsorpsi

kalsium pada tubulus renal, kalsitonin yang menghambat resorpsi tulang, dan vitamin D, yang

menambah penyerapan kalsium di usus. Kegiatan hormon ini berubah mengikut perubahan

konsentrasi kalsium yang terionisasi di dalam plasma. Hormon lain termasuk hormon tiroid,

hormon pertumbuhan, dan steroid adrenal dan gonad juga mempengaruhi homeostasis

kalsium, tetapi sekresi masing masing ditentukan oleh faktor lain selain konsentrasi kalsium

plasma(Hines et all, 2008).

Sebagai anion ekstraseluler utama, klorida berfungsi untuk menjaga keseimbangan

asam-basa serum. Hubungan antara klorida dan bikarbonat berfungsi sebagai indikator penting

diagnostik asam-basa, dan spekulasi tentang peran klorida dalam hipertensi(Hines et all, 2008).

1.2 Rumusan Masalah- Apakah proses fisiologi elektrolite (kalium, kalsium dan klorida)?

- Apa saja gangguan elektrolit , penyebab dan gejalanya (kalium, kalsium dan klorida)?

- Bagaimanakah penatalaksanaan dari elektrolite imbalance (kalium, kalsium dan

klorida)?

1.3 Tujuan- Mengetahui proses fisiologi dari elektrolite (kalium, kalsium dan klorida)

- Mengetahui kekacauan, penyebab dan gejala masing masing elektrolit.

- Mengetahui penatalaksanaan dari elektrolite imbalance (kalium, kalsium dan klorida)

Page 4: Gangguan Elektrolit

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kalium

Kalium merupakan kation terutama di intraseluler. Total kalium dalam tubuh pada

dewasa sehat adalah kira – kira 50 mEq/kg, maka jika dewasa dengan berat badan 70 kg akan

mempunyai total kalium dalam tubuh sebesar 3500 mEq. Namun hanya 70 mEq (2% dari

keseluruhan) yang ditemukan di cairan ekstraselular. Karena plasma berperan sebesar 20%

dari cairan ekstraselular, maka kadar kalium dalam plasma sekitar 15 mEq, dimana hanya 0,4%

dari total kalium dalam tubuh. Hal ini menggambarkan bahwa kadar kalium dalam plasma

bukan menjadi pertanda yang sensitif untuk perubahan total kalium dalam tubuh (Marino, 2007;

Stoelting 2008)

Asupan kalium sehari – hari sekitar 80 mEq/hari pada dewasa (dengan rentang, 40 –

140 mEq/hari). Sekitar 70 mEq secara normal diekskresikan di urin, sedangkan 10 mEq

diekskresikan melalui saluran pencernaan. Pada dewasa yang memiliki kadar kalium dalam

plasma yang normal (antara 3,5 hingga 5,5 mEq/L), jumlah total defisit kalium dalam tubuh

sekitar 200 – 400 mEq menghasilkan penurunan 1 mEq/L dalam kadar kalium dalam plasma.

sedangkan kelebihan 100 hingga 200 mEq dalam total kalium dalam tubuh akan menghasilkan

peningkatan 1 mEq/L dalam plasma. Dengan kata lain, deplesi kalium harus dua kali agar

sebanding dengan akumulasi kalium agar mempunyai perubahan konsentrasi kalium yang

signifikan (1 mEq/L). Hal ini disebabkan perbedaan yang besar dari kalium intraselular, yang

dapat menggantikan kalium ekstraselular ketika ia hilang (Marino, 2007; Stoelting 2008).

2.1.1 HIPOKALEMIA

I. Definisi

Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium dalam plasma lebih rendah dari 3,5 mEq/L dan

terjadi karena:

1. Perpindahan antar kompartemen dari kalium

2. Meningkatanya kehilangan kalium. atau

3. Asupan kalium yang tidak adekuat

Page 5: Gangguan Elektrolit

Hubungan Kadar kalium dalam plasma berhubungan kurang baik dengan defisit total

kalium. Menurunnya kadar kalium dalam plasma dari 4 mEq/L menjadi 3 mEq/L biasanya

mereprentasikan defisit 100 – 200 mEq, sedangkan kadar kalium dalam plasma di bawah 3

mEq/L bisa menggambarkan defisit sebesar 200 mEq dan 400 mEq (Morgan, 2006).

II. Etiologi

Tabel 2.1 Penyebab utama hiperkalemia

Excess renal loss 

  Mineralocorticoid excess

    Primary hyperaldosteronism (Conn's syndrome)

    Glucocorticoid-remediable hyperaldosteronism

  Renin excess

    Renovascular hypertension

  Bartter's syndrome

  Liddle's syndrome

  Diuresis

  Chronic metabolic alkalosis

  Antibiotics

    Carbenicillin

    Gentamicin

    Amphotericin B

  Renal tubular acidosis

    Distal, gradient-limited

    Proximal

    Ureterosigmoidostomy

Page 6: Gangguan Elektrolit

Gastrointestinal losses 

  Vomiting

    Diarrhea, particularly secretory diarrheas

ECF - ICF shifts 

  Acute alkalosis

  Hypokalemic periodic paralysis

  Barium ingestion

  Insulin therapy

  Vitamin B12 therapy

  Thyrotoxicosis (rarely)

Inadequate intake 

III. Tanda dan Gejala

Hipokalemia bisa menyebabkan disfungsi organ. Kebanyakan pasien tidak

mempunyai gejala sampai kadar kalium plasma dibawah 3 mEq/L. Efek kardiovaskuler

merupakan yang paling menonjol dan termasuk abnormalitas EKG, aritmita,

menurunnya kontraktilitas jantung dan tekanan darah yang labil karena disfungsi

autonomik. Hipokalemia kronik dilaporkan juga bisa menyebabkan fibrosis miokardial.

Manifestasi yang terdapat dalam EKG disebabkan tertundanya repolarisasi dan

termasuk gelombang T yang mendatar dan terbalik, meningkatnya gelombang U,

depresi segmen ST, meningkatnya amplitudo gelombang P dan interval P-R yang

memanjang. Meningkatnya automatisasi sel miokardial dan tertundanya repolarisasi

menimbulkan aritmia baik atrium maupun ventrikel (Morgan, 2006).

Efek neuromuskular dari hipokalemia termasuk kelelahan otot – otot skelet

(terutama quadriceps), ileus, kram otot, tetani dan yang lebih jarang yaitu

rhabdomyolysis. Hipokalemia disebabkan karena diuretik seringkali berhubungan

dengan alkalosis metabolik; dimana ginjal mengabsorbsi natrium untuk

Page 7: Gangguan Elektrolit

mengkompensasi deplesi volume intravaskular dan dalam diuretik yang disebabkan

hipokloremia, bikarbonat diabsorbsi kembali (Morgan, 2006).

Tabel 2.1 Efek Hipokalemia

Cardiovascular 

  Electrocardiographic changes/arrhythmias

  Myocardial dysfunction

Neuromuscular 

  Skeletal muscle weakness

  Tetany

  Rhabdomyolysis

  Ileus

Renal 

  Polyuria (nephrogenic diabetes insipidus)

  Increased ammonia production

  Increased bicarbonate reabsorption

IV. Terapi

Penggantian secara oral dengan kalium klorida merupakan yang teraman (60 – 80

mEq/hari). Pengganti dengan oral biasanya membutuhkan beberapa hari. Selain kalium klorida,

bisa digunakan cairan kalium fosfat (berisi 4,5 mEq kalium dan 3 μM fosfat per mL) yang dipilih

untuk menggantikan kalium pada penyakit ketoasidosis diabetik (karena deplesi fosfat yang

menyertai ketoasidosis) (Morgan, 2006; Marino, 2007).

Tabel 2.2 Defisit kalium pada Hipokalemia*

Serum Potassium (mEq/L) Potassium Deficit

Hormonal 

  Decreased insulin secretion

  Decreased aldosterone secretion

Metabolic 

  Negative nitrogen balance

  Encephalopathy in patients with liver disease

Page 8: Gangguan Elektrolit

mEq % total body K

3,0 175 5

2,5 350 10

2,0 470 15

1,5 700 20

1,0 875 25

*estimasi defisit pada dewasa dengan berat badan 70 kg dengan total kalium dalam tubuh

sebesar 50 mEq/kg.

Penggantian secara intra-vena dengan kalium klorida biasanya diperlukan untuk pasien

dengan atau tanpa manifestasi kardio yang serius. Tujuan terapi melalui intra-vena adalah

menyelamatkan pasien agar tidak dalam kegawatan dan tidak dibutuhkan koreksi seluruh

defisit kalium. Kecepatan penggantian secara Intravena di vena perifer seharusnya tidak lebih

dari 8 mEq/ jam karena efek iritatifnya pada vena – vena perifer. Dosis bisa dinaikkan hingga

40 mEq/ jam jika memang diperlukan (seperti pada keadaan kadar kalium dalam plasma

dibawah 1,5 mEq/L atau aritmia yang serius). Cairan yang isinya dekstrosa harus dihindari

karena berakibat pada hiperglikemia dan sekresi insulin sekunder akan menyebabkan turunnya

kadar kalium dalam plasma (Morgan, 2006; Marino, 2007).

Kalium Klorida merupakan pilihan saat alkalosis metabolik terjadi karena cairan tersebut

juga meng-koreksi defisit klorida. Kalium bikarbonat atau ekuivalennya (K+ asetat atau K+ sitrat)

lebih dipilih untuk pasien – pasien dengan asidosis metabolik (Morgan, 2006).

V. Perhatian untuk anestesi

Hipokalemia merupakan kondisi yang umum ditemukan saat pre-operatif. Keputusan

untuk pembedahan elektif seringkali semaunya sendiri yang didasarkan pada batasan bawah

yaitu 3 sampai 3,5 mEq/L. Keputusan yang benar harus didasarkan pada tingkat dimana

hipokalemia terjadi beserta ada atau tidaknya disfungsi organ sekunder. Secara umum,

hipokalemia ringan yang kronis (3 – 3,5 mEq/L) tanpa perubahan EKG tidak meningkatkan

resiko anestesi. Untuk pasien yang menerima digoxin, kadar kalium plasmanya harus diatas 4

mEq/L karena dengan menerima digoxin pasien memiliki resiko toksik digoxin dari

hipokalemianya (Morgan, 2006)

Page 9: Gangguan Elektrolit

Manajemen intraoperatif dari hipokalemia membutuhkan monitoring EKG. Kalium intra-

vena harus diberikan jika timbul aritmia atrium atau ventrikel. Cairan bebas glukosa seharusnya

digunakan dan hiperventilasi harus dihindari untuk mencegah turunnya kadar kalium dalam

plasma. Meningkatnya sensitivitas agen inhibisi neuro-muskular mungkin terjadi pada beberapa

pasien. Dosis dari agen tersebut harus dikurangi 25 – 50%, dan stimulator saraf seharusnya

bisa digunakan untuk mengikuti tingkatan paralisa dan tingkat kesembuhannya (Morgan, 2006).

2.1.2 HIPERKALEMIA

I. Definisi

Hiperkalemia didefinisikan jika kadar kalium dalam plasma lebih dari 5,5 mEq/L.

Hiperkalemia jarang terjadi pada individual normal karena kapasitas ginjal untuk

meng-eksresi kalium. Ketika asupan kalium menigkat secara perlahan, ginjal mampu

untuk meng-ekskresi sebanyak 500 mEq kalium per hari. Sistem simpatis dan

sekresi insulin juga berperan penting dalam mencegah meningkatnya kadar kalium

dalam plasma secara akut (Morgan, 2006).

Hiperkalemia bisa terjadi karena

1. Ion kalium yang berpindah antar kompartemen

2. Menurunnya ekstresi kalium dalam urin, atau

3. Meurunnya asupan kalium (jarang)

II. Etiologi

Tabel 2.3 Penyebab Hiperkalemia

Pseudohyperkalemia

Red cell hemolysis

Marked leukocytosis/thrombocytosis

Intercompartmental shifts

Acidosis

Hypertonicity

Rhabdomyolysis

Excessive exercise

Periodic paralysis

Page 10: Gangguan Elektrolit

Succinylcholine

Decreased renal potassium excretion

Renal failure

Decreased mineralocorticoid activity and impaired Na+ reabsorption

Acquired immunodeficiency syndrome

Competitive potassium-sparing diuretics

Spironolactone

ACE1 inhibitors

Nonsteroidal antiinflammatory drugs

Pentamidine

Trimethoprim

Enhanced Cl– reabsorption

Gordon's syndrome

Cyclosporine

Increased potassium intake

Salt substitutes

III. Gejala dan Tanda

Efek yang paling penting dari hiperkalemia adalah pada otot – otot skelet

dan jantung. Kelemahan otot – otot skelet biasanya tidak tampak hingga kadar

kalium plasma lebih dari 8 mEq/L. Kelemahan tersebut disebabkan depolarisasi

spontan dan inaktivasi kanal natrium dari membran otot (mirip seperti

succinylcholine), yang berakibat paralisa asenden. Manifestasi pada jantung

disebabkan tertundanya depolarisasi dan secara konsisten terjadi ketika kadar

kalium plasma lebih dari 7 mEq/L.

Page 11: Gangguan Elektrolit

Perubahan EKG digambarkan dari gelombang T yang memuncak (seringkali

disertai interval QT yang memendek), pelebaran kompleks ORS, P-R interval

memanjang, hilangnya gelombang P, hilangnya gelombang R, depresi segmen ST

(biasanya elevasi), hingga gelombang EKG yang menyerupai sinus, sebelum

menjadi fibrilasi ventrikel dan asistol. Kontraktilitas terlihat relatif baik. Hipokalemia,

hiponatremia dan dan asidosis menonjolkan efek – efek jantung pada hiperkalemia

(Morgan,2006).

IV. Terapi

Karena potensinya yang membahayakan, hiperkalemia lebih dari 6 mEq/L

harus selalu diterapi. Terapi diarahkan mengembalikan manifestasi jantung dan

kelemahan otot – otot skelet dan mengembalikan kadar kalium plasma ke batas

normal. Beberapa modalitas terapi yang tersedia tergantung dari beratnya

manifestasi juga penyebab dari hiperkalemia. Hiperkalemia yang berhubungan

dengan hipoaldosteronisme bisa diterapi dengan penggatian mineralkortikoid. Obat –

obat yang berkontribusi pada hiperkalemia harus dihentikan dan asupan kalium

harus dikurangi atau dihentikan (Morgan, 2006).

Kalsium (5-10 mL dari 10% kalsium glukonas atau 3-5 mL dari 10% kalsium

klorida) menjadi antagonis secara parsial pada efek jantung yang disebabkan

hiperkalemia dan biasanya berguna pada hiperkalemia yang tinggi. Efek – efek

tersebut cepat namun sayangnya hanya bertahan sebentar. Perhatian khusus harus

diberikan pada pasien yang menerima digoksin, yang mempunyai potensi kalsium

toksisitas digoksin(Morgan, 2006).

Saat asidosis metabolik muncul, natrium bikarbonat secara intra-vena

(biasanya 45 mEq) akan memicu ambilan sel akan kalium dan bisa menyebabkan

turunnya kadar kalium plasma dalam 15 menit. β-Agonis memicu ambilan sel akan

kalium dan mungkin berguna pada hiperkalemia akut yang berhubungan dengan

transfusi masif; dosis rendah dari epinephrine (0.5–2 mg/menit) seringkali dengan

cepat menurunkan kadar kalium plasma dan menyediakan dukungan inotropik dalam

kondisi ini. Infus glukosa dan insulin melalui intravena (30 – 50 gram glukosa dengan

10 unit Insulin) juga efektif memicu ambilan sel akan kalium dan menurunkan kadar

kalium dalam plasma tetapi butuh waktu 1 jam untuk mencapi efek puncaknya.

Untuk pasien dengan gangguan ginjal., furosemide bisa digunakan sebagai

Page 12: Gangguan Elektrolit

tambahan untuk meningkatkan ekskresi kalium dalam urin. Pada keadaan tidak

adanya fungsi ginjal, eliminasi kalium yang berlebihan bisa dicapai dengan resin

pertukaran kation yang tidak absorbsi seperti sodium polystyrene sulfonate

(Kayexalate) baik oral maupun per rektal. Tiap gram resin berikatan dengan 1 mEq

kalium dan melepaskan 1,5 mEq natrium; dosis oral adalah 20 gram dalam 100 mL

dalam 20% sorbitol (Morgan, 2006).

Dialisis diidikasikan pada pasien yang bergejala dengan hiperkalemia yang

berat atau refrakter. Hemodialisa lebih cepat dan lebih efektif daripada dialisis

melalui dialisis peritoneal dalam menurunkan kadar kalium plasma. Kadar kalium

yang bisa dibuang menggunakan dialisa mendekati 50 mEq/jam, dibandingkan

dengan dialisa peritoneal yang bisa membuang 10 – 15 mEq/ jam (Morgan, 2006).

V. Perhatian untuk Anestesi

Untuk pasien yang direncanakan naik ke meja operasi harus diturunkan

terlebih dahulu kadar kalium dalam plasma dan mencegah adanya kenaikan kadar

kalium. EKG harus dimonitor secara ketat. Suksinilkolin menjadi kontraindikasi,

begitu juga dengan cairan yag mengandung kalium seperti injeksi ringer laktat.

Ventilasi harus diatur dibawah pengaruh anestesi umum. Fungsi neuromuskular

harus diperhatikan juga, mengingat hiperkalemia bisa memperkuat efek agen inhibisi

neruro-muskular (Morgan, 2006)

2.2 Kalsium

2.1.1 Proses Fisiologi

Kebanyakan kalsium ditemukan dalam tulang dan gigi. Kalsium merupakan kation

ekstraseluler yang bertanggung jawab untuk fungsi fisiologis, seperti metabolisme tulang dan

fungsi neuromuskuler karena kalsium banyak terikat dengan protein. Usus, ginjal, dan tulang

bekerja secara sinergis untuk mengatur keseimbangan kalsium dalam mengatur kadar PTH dan

vitamin D (Rhoda, 2011).

Vitamin D dan PTH bekerja bersama untuk mempertahankan homeostasis kalsium.

Target kadar kalsium bisa mengatur kalenjar paratiroid sama ada menambah atau mengurangi

produksi PTH, yang akan berfungsi penyerapan kalsium pada usus dan ekskresi fosfor (P) dan

kalsium pada ginjal, PTH juga mengubah bentuk tidak aktif dari vitamin D menjadi bentuk

aktifnya (1,25-dihydroxyvitamin D; calcitriol), untuk meningkatkan penyerapan kalsium di GI

tract dan berfungsi dalam pengaturan defisiensi vitamin D. Aktivitas PTH dan calcitriol bersama

Page 13: Gangguan Elektrolit

menargetkan meningkatkan dan / atau mengurangi reabsorpsi kalsium dan fosfor pada

proksimal sel tubulus ginjal sekalian bertanggung jawab untuk mengatur pelepasan rangka

kalsium ke ECF, dalam upaya untuk meningkatkan konsekuensi dari hypocalcemia (Rhoda,

2011).

Hanya 1% dari total kalsium tubuh hadir dalam ECF. Sisanya disimpan dalam

tulang. Kalsium dalam ECF 60% bebas atau digabungkan dengan anion dan sisanya 40%

terikat dengan protein, terutama pada albumin. Hanya kalsium terionisasi dalam ruang

ekstraselular aktif secara fisiologi didalam tubuh (Hines et all, 2008).

2.1.2 Gangguan Kalsium, Penyebab , Gejala dan Penatalaksanaan2.1.2.1 Hipokalsemia

I. Etiologi Hipokalsemia dapat didefinisikan di mana tingkat albumin normal dan nilai kalsium

serum <8,5 mg / dL. Hampir 50% dari serum kalsium terikat protein, dan karena itu, dengan

adanya hipoalbuminemia kalsium dikoreksi atau sebaiknya terionisasi (Rhoda, 2011).

II. Patofisiologi Meskipun definisi hipokalsemia mencerminkan defisit konsentrasi di dalam ECF,

tetapi mayoritas kalsium terikat baik pada tulang atau protein. Karena serum yang tersimpan

diganti melalui aksi PTH, maka hipokalsemia berhubungan dengan fungsi paratiroid. Selain itu,

penyerapan kalsium dari saluran usus, ekskresi dari ginjal, dan tulang menyebabkan kalsium

yang tersimpan digunakani. Sekitar 40% dari total kalsium serum terikat pada protein.

Perubahan tingkat protein plasma akan mempengaruhi jumlah kadar kalsium serum.

Hipoalbuminemia menurunkan total serum kalsium, dan dan kebalikannya meningkatkan kadar

kalsium. Untuk setiap I mg / dl perubahan albumin dari nilai normal akan menyebabkan

perubahan terjadi pada kalsium terionisasi sebanyak 0,8 mg / dl. Pengikatan kalsium protein

dipengaruhi oleh pH dan jika pH normal, sekitar 40% dari total plasma kalsium terikat pada

serum albumin. Peningkatan pH seperti alkalosis meningkatkan pengikatan kalsium pada

albumin tetapi kadar kalsium terionisasi menurun . ( Roberts , 2004)

III. Penyebab Hipoparatiroidisme (primer atau pembedahan diinduksi)

hypomagnesemia

hiperfosfatemia

Defesiensi vitamin D

penurunan asupan

sindrom malabsorpsi

Page 14: Gangguan Elektrolit

protein malnutrisi

Penyakit hati parenkim

terapi antikonvulsan

sindrom nefrotik

gagal ginjal

pankreatitis akut

Luka bakar

Sepsis Gram-negatif

kemoterapi

Obat-obat tertentu: arninoglycosides, glukagon, fenobarbital, fenitoin

IV. Gejala Hipokalsemia dapat meningkatkan produksi PTH dan aktivasi vitamin D dalam

upaya untuk mendapatkan kembali homeostasis. Peningkatan PTH meningkatkan

ekskresi fosfor pada ginjal, memobilisasi tulang, dan meningkatkan penyerapan kalsium

di saluran pencernaan melalui aktivasi vitamin D. Peningkatan ekskresi fosfor pada

ginjal akan menyebabkan penurunan kadar P serum, yang menggerakkan kalsium dari

ekstraselular keluar (Rhoda, 2011).

Tanda-tanda dan gejala hipokalsemia tergantung pada kecepatan dan tingkat

penurunan kalsium yang terionisasi. Sebagian dari tanda-tanda dan gejala yang jelas

adalah pada sistem kardiovaskular dan neuromuskuler dan termasuk parestesia,

iritabilitas, kejang, hipotensi, dan depresi miokard. Laringospasme dapat mengancam

nyawa (Hines et all, 2008).

V. PenatalaksanaanGejala akut hipokalsemia akan menyebabkan kejang, tetani, dan / atau depresi

kardiovaskular dan harus segera diobati dengan kalsium intravena. Lamanya

pengobatan akan tergantung pada pemeriksaan kalsium serial. Pengobatan

hipokalsemia dengan adanya hypomagnesemia tidak akan efektif kecuali magnesium

juga dikoreksi. Metabolik atau respiratori alkalosis harus diperbaiki. Jika metabolik atau

respiratori asidosis muncul bersamaan hipokalsemia, maka tingkat kalsium harus

dikoreksi sebelum respiratori asidosis dikoreksi karena mengoreksi asidosis dengan

bikarbonat atau hiperventilasi hanya akan memperburuk hipokalsemia tersebut.

Page 15: Gangguan Elektrolit

Hipokalsemia kurang akut dan tanpa gejala dapat diobati dengan suplemen kalsium dan

vitamin D (Hines et all, 2008).

Pengobatan hipokalsemia tergantung pada tingkat kalsium dan adanya gejala.

Jika kadar serum Ca adalah> 7,5 mg / dL dan / atau ada tidak adanya gejala, asupan

makanan harus dioptimalkan Meskipun hipokalsemia sejati biasanya berhubungan

dengan diet sumber, pilihan pengobatan ini harus habis sebagai terapi lini pertama.

Gejala mulai berkembang sebagai tingkat turun di bawah 7,5 mg / dL. Dalam kasus ini,

suplementasi IV diperlukan. (Rhoda, 2011).

2.1.2.1 Hiperkalsemia

I. Etiologi Hiperkalsemia (> 10,5 mg / dL) terjadi dari pengaturan katabolisme tulang,

mengakibatkan peningkatan pergerakan kalsium ke ECF. Hal ini dipicu oleh imobilisasi,

keganasan, dan hiperparatiroidisme primer, bersama dengan factor lain. Peningkatan

kadar kalsium akan menekan produksi PTH sehingga kalsium di skeletal berkurang.

Hypercalemia menargetkan kalsium berlebihan mengekskresi ke ginjal lewat urin untuk

mencegah keracunan kalsium (Rhoda, 2011).

Kondisi seperti iatrogenic overtreatrnent hipokalsemia, keganasan

/neoplasma, imobilitas, hypophosphatemia, hiperparatiroidisme, intoksikasi vitamin D,

penggunaan diuretik thiazide, dan hypophosphatasia akan meneyebabkan kalisum

Page 16: Gangguan Elektrolit

dalam badan meningkat. Hal ini paling sering terlihat pada anak sakit kritis bersamaan

dengan hiponatremia dan hiperkalemia dan juga gagal ginjal kronis (Roberts, 2004).

II. Patofisiologi Hiperkalsemia terjadi ketika kalsium masuknya ke dalam kompartemen ECF dan

meregulasi hormon kalsium (PTH dan vitamin D) dan mekanisme ekskresi ginjal .

Protein dan pH juga mempengaruhi tingkat kalsium. Peningkatan albumin juga

menyebabkan peningkatan kadar kalsium serum. Penurunan pH seperti yang terlihat

dengan asidosis meningkatkan kalsium terionisasi. Dalam situasi ini, lebih banyak

kalsium bebas yang tersedia tanpa binding dengan protein untuk partisipasi dalam kimia

reaksi (Roberts, 2004).

III. Gejala Hiperkalsemia dikaitkan dengan tanda-tanda neurologis dan gastrointestinal

contoh seperti gejala kebingungan, hypotonia, depresi refleks tendon dalam, lesu, sakit

perut, dan mual dan muntah terutama jika terjadi peningkatan kalsium serum relative

secara akut. Hiperkalsemia kronis sering dikaitkan dengan poliuria, hiperkalsiuria, dan

nefrolitiasis (Hines et all, 2008).

VI. Penatalaksanaan Pengobatan hiperkalsemia menyababkan peningkatan ekskresi kalsium urin

dan menghambat penyerapan pada tulang dan penyerapan gastrointestinal lanjut .

Karena hiperkalsemia sering dikaitkan dengan hipovolemia sekunder untuk poliuria,

ekspansi volume dengan garam tidak hanya mengoreksi defisit cairan tetapi juga

meningkatkan ekskresi kalsium. Diuretik loop akan meningkatkan ekskresi natrium dan

kalsium. Kalsitonin, bifosfonat, atau mithramycin mungkin diperlukan dalam gangguan

yang berkaitan dengan resorpsi tulang osteoklastik. Hidrokortison dapat mengurangi

penyerapan kalsium dalam pencernaan penyakit granulomatosa, keracunan vitamin D,

limfoma, dan myeloma. Fosfat oral juga dapat diberikan untuk mengurangi penyerapan

gastrointestinal kalsium jika fungsi ginjal normal. Dialisis mungkin diperlukan untuk

hiperkalsemia mengancam jiwa. Operasi pengangkatan kelenjar paratiroid mungkin

diperlukan untuk mengobati hiperparatiroidisme primer atau sekunder (Hines et all,

2008).

Pengobatan hanya ditujukan untuk penyebab yang untuk penyimpanan

kalsium dalam tulang mendasari peningkatan mobilisasi tulang. Di samping itu, setelah

Page 17: Gangguan Elektrolit

timbul gejala atau serum kalsium melebihi 12 mg / dL, perawatan akut diperlukan sepert

di jadwal bawah. Perawatan ini meliputi pembatasan diet, resusitasi cairan, dan

pengurangan obat yang mengandungi kalsium. Dalam kasus yang parah hiperkalsemia

(> 15 mg / dL dengan pemberian NS yang cepat dapat meningkat eksresi kalsium leat

ginjal Ini, diikuti dengan pemberian diuretik, dapat membantu menormalkan serum

kalsium. Dialisis mungkin diperlukan jika NS cepat tidak membantu..

2.2 Klorida2.2.1 Fisiologi

Klorida adalah anion yang paling banyak ditemukan di kompartemen ECF. Peran

utamanya adalah sebagai penyangga dalam pemeliharaan keseimbangan asam-basa. Klorida,

dengan natrium, juga mempertahankan osmolalitas serum. Klorida bersaing dengan bikarbonat

untuk kation dalam kompartemen ECF untuk menetralitas cas listrik. Klorida tertarik dengan cas

bermuatan positif iaitu kation dan menyeimbangkan elektrolit bermuatan positif dalam

kompartemen ECF dengan bergabung menjadi natrium klorida (NACl), asam klorida (HCI),

kalium klorida (KCI), dan kalsium klorida '(CaCI2). Karena klorida biasanya dikombinasikan

dengan salah satu kation utama dalam tubuh maka perubahan kadar klorida serum biasanya

menunjukkan perubahan elektrolit lainnya sealalunya dengan terdapat gangguan

keseimbangan asam-basa (Roberts , 2004).

Ion klorida sangat terkonsentrasi di sekresi lambung dan keringat. Faktor-faktor

yang mempengaruhi ekskresi tersebut adalah gangguan asidosis dan alkalosis karena sebagai

tingkat serum bikarbonat berubah dari sekresi ion hidrogen, timbal balik perubahan dalam

serum klorida umumnya akan terjadi (Roberts , 2004).

Page 18: Gangguan Elektrolit

2.2.2 Gangguan Klorida, Gejala dan Penatalaksanaan2.2.2.1 Hipokloremia

I. Etiologi Hypochloremia adalah defisit klorida dalam kompartemen ECF, yang terjadi ketika

kadar klorida serum di bawah 95 mEqlL. Penyebab paling umum dari hypochloremia

meliputi gangguan GI, gangguan fungsi ginjal, dan hilangnya klorida melalui keringat

berlebihan (Roberts , 2004).

II. Patofisiologi Hypochloremia dapat terjadi degan adanya gangguan alkalosis metabolik.

Ketika kadar klorida menurun, kadar bikarbonat meningkat dalam upaya untuk menjaga

listrik netralitas kompartemen ECF. Jadi apabila klorida menurun, ginjal

mempertahankan ion bikarbonat ekstra untuk menyeimbangkan ion natrium. Hal ini

pada gilirannya menghasilkan sebuah hipokloremia alkalosis metabolik. Penyakit paru-

paru kronis (respiratori asidosis) juga dapat dikaitkan dengan hypochloremia. Hal ini

terjadi dari hasil kompensasi ginjal dan reabsorpsi bikarbonat, yang terjadi karena

kompensasi dari respiratori asidosis. Hypochloremia juga dapat terjadi saat hilangnya

klorida dari tubuh melebihi kehilangan natrium. Ini mungkin disebabkan oleh hilangnya

sekresi lambung berlebihan atau diare berkepanjangan atau sebagai konsekuensi dari

penggunaan berlebihan diuretik kuat. Hypochloremia dapat terjadi sebagai akibat dari

keterbatasan asupan klorida, salt restricted diet, dan berkeringat berlebihan, seperti

yang terlihat dengan anak demam (Roberts , 2004).

III. Gejala Kehilangan natrium dan klorida, akan menemukan hiponatremia dan deficit cairan

dalam tubuh. Nilai laboratorium yang akan terganggu adalah serum klorida, serum

natrium, kadar bikarbonat dan pH. Karakteristik pola hypochloremia adalah serum

klorida menurun, penurunan serum natrium, dan peningkatan pH dan bikarbonat

(Roberts , 2004).

IV. Penatalaksanaan Pengobatan untuk hypochloremia primer termasuk mengobati penyebab

sementara dari menunggu koreksi gangguan elektrolit tersebut. Setelah penyebab

Page 19: Gangguan Elektrolit

primer terkoreksi, gangguang elektrolit klorida biasanya dikoreksi melalui administrasi

natrium klorida, kalium klorida, atau amonium klorida. Tiga perempat dari

ketidakseimbangan ini sering dikoreksi dengan natrium klorida, dan sisanya yang

keempat diganti dengan kalium klorida. Amonium klorida digunakan sekiranya kadar

kalium tinggi . Larutan 0,9% natrium klorida digunakan untuk ketidakseimbangan klorida

yang benar (Roberts , 2004).

2.2.2.2 HiperkloremiaI. Etiologi

Hyperchloremia adalah kelebihan klorida dalam kompartemen ECF dan

terjadi ketika kadar klorida serum melebihi 108 mEqlL. Penyebab hyperchloremia

termasuk asupan klorida yang berlebih, biasanya berhubungan dengan penggunaan

obat, dan kondisi yang menyebabkan metabolic asidosis dengan kehilangan berlebihan

ion bikarbonat, seperti diare, gagal ginjal, dan administrasi solusi saline isotonik yang

berlebihan (Roberts , 2004).

II. Patofisiologi Hyperchloremia dapat terjadi dari proses metabolik asidosis. Metabolik

asidosis terjadi karena hasil dari penurunan bikarbonat sehingga menyebabkan kadar

klorida meningkat. Hyperchloremia mungkin juga bisa terjadi dari kelebihan kadar ion

klorida yang dikosumsi atau tertahan dalam tubuh. Kelebihan asupan klorida

menyebabkan ion bikarbonat akan dibuang dalam tubulus ginjal, sehingga kadar

bikarbonat dalam darah berkurang. Kelebihan kadar klorida juga terjadi sebagai akibat

dari pemberian kortison, yang menyebabkan retensi natrium yang mengakibatkan

hilangnya ion bikarbonat seperti diare berat, cedera kepala dan retensi natrium, dan

gagal ginjal akut (Roberts , 2004).

III. Gejala Ketika klorida didalam tubuh lebih tinggi yang terjadi secara langsung dengan

natrium berlebihan, maka tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan volume

deficit mendominsa atau hipernatremia terjadi . (Roberts , 2004).

IV. Penatalaksanaan

Page 20: Gangguan Elektrolit

Pengobatan atau koreksi dari hyperchloremia meliputi identifikasi penyebab

dasar dan koreksi gangguan asam-basa , elektrolit dan ketidakseimbangan cairan.

Cairan (baik oral atau IV) dapat digunakan untuk mencairkan kelebihan klorida. Dalam

kegawatan darurat, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengoreksi metabolik

asidosis. Diuretik mungkin digunakan untuk mengeksresi klorida, serta natrium yang

berlebihan (Roberts , 2004).

DAFTAR PUSTAKA

1. Hines & Marschall, 2008. Stoelting's Anesthesia and Co-Existing Disease, fifth

edition.Churchill Livingstone Elsevier. Chapter 15.

2. Kathryn E. Roberts , 2004. Fluid and Electrolyte Regulation ,Edisi ke-3.Bab 11

3. Kristen M. Rhoda, 2011 .Fluid and Electrolyte Management : Putting a Plan in Motion JPEN

J Parenter Enteral Nutr 35: 675

4. Marino, Paul L., 2007. The ICU book, third edition. Lippincott Williams and Wilkins. Chapter 33.

5. Morgan Jr., G. Edward, Mikhail, Maged S., Murray, Michael J. 2006. Clinical Anesthesiology, 4th

edition. McGraw-Hill companies. Chapter 28.