GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

22
1 GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 SEKOLAH DASAR Martha Emma Fredrika dan Wuri Prasetyawati, S.Psi., M.Psi. ABSTRAK Kecurangan akademik adalah perilaku yang menggunakan cara-cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu mendapatkan keberhasilan akademik atau menghindari kegagalan akademik (Bowers, 1966). Sejak penelitian Bowers, penelitian-penelitian tentang kecurangan akademik memberikan konfirmasi bahwa kecurangan akademik terus terjadi di negara-negara di seluruh dunia dan berada pada tingkat yang membahayakan (McCabe 2005; Lin & Wen, 2007; Lambert, Ellen, & Taylor 2006; Diekhoff, Labeff, Shinorhara, & Yasukawa, 1999; McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). Selama ini penelitian tentang kecurangan akademik banyak dilakukan di tingkat universitas dan sekolah menegah. Belum ada penelitian kecurangan akademik pada siswa Sekolah Dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas 6 Sekolah Dasar di Indonesia. Penelitian melibatkan 60 siswa kelas 6 SD yang terdiri atas 26 siswa SD swasta dan 34 siswa SD negri. Penelitian menemukan bahwa kecurangan akademik sudah terjadi pada siswa kelas 6 SD dan berada pada level moderat. Secara umum partisipan penelitian mendapat skor yang sedang untuk kecurangan akademik (Mean=23,81) dari skor minimum 16 dan maximum 38. Kata Kunci: Kecurangan Akademik, Disiplin, Disiplin Sekolah, Sekolah Dasar ABSTRACT Cheating is a manifestation of using illegitimate means to achieve a legitimate end, in this case academic success or at least the avoidance of academic failure (Bowers, 1966). Studies about academic dishonesty conducted since Bowers’ confirmed that academic dishonesty persists at an alarming rate in countries all over the world (McCabe 2005; Lin & Wen, 2007; Lambert, Ellen, & Taylor 2006; Diekhoff, Labeff, Shinorhara, & Yasukawa, 1999; McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). There are many research on academic dishonesty among university or high school students. None has conduct study of academic dishonesty among elementary school 6th grader until now. The objective of this reseach is to give a description of academic dishonesty among the elementary school 6th grader in Indonesia. The research involved 60 elementary school 6th grader, 26 from private school and 34 from public school. The finding is: Academic dishonesty has occured among the 6th grader at the moderate level. Overall participants got medium score for academic dishonesty (M = 23,81) from minimum score of 16 to maximum score of 38. Keywords: Academic Dishonesty, Discipline, School Discipline, Elementary School Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Transcript of GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

Page 1: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

1

GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 SEKOLAH DASAR

Martha Emma Fredrika dan Wuri Prasetyawati, S.Psi., M.Psi.

ABSTRAK

Kecurangan akademik adalah perilaku yang menggunakan cara-cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu mendapatkan keberhasilan akademik atau menghindari kegagalan akademik (Bowers, 1966). Sejak penelitian Bowers, penelitian-penelitian tentang kecurangan akademik memberikan konfirmasi bahwa kecurangan akademik terus terjadi di negara-negara di seluruh dunia dan berada pada tingkat yang membahayakan (McCabe 2005; Lin & Wen, 2007; Lambert, Ellen, & Taylor 2006; Diekhoff, Labeff, Shinorhara, & Yasukawa, 1999; McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). Selama ini penelitian tentang kecurangan akademik banyak dilakukan di tingkat universitas dan sekolah menegah. Belum ada penelitian kecurangan akademik pada siswa Sekolah Dasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas 6 Sekolah Dasar di Indonesia. Penelitian melibatkan 60 siswa kelas 6 SD yang terdiri atas 26 siswa SD swasta dan 34 siswa SD negri. Penelitian menemukan bahwa kecurangan akademik sudah terjadi pada siswa kelas 6 SD dan berada pada level moderat. Secara umum partisipan penelitian mendapat skor yang sedang untuk kecurangan akademik (Mean=23,81) dari skor minimum 16 dan maximum 38.

Kata Kunci: Kecurangan Akademik, Disiplin, Disiplin Sekolah, Sekolah Dasar

ABSTRACT

Cheating is a manifestation of using illegitimate means to achieve a legitimate end, in this case academic success or at least the avoidance of academic failure (Bowers, 1966). Studies about academic dishonesty conducted since Bowers’ confirmed that academic dishonesty persists at an alarming rate in countries all over the world (McCabe 2005; Lin & Wen, 2007; Lambert, Ellen, & Taylor 2006; Diekhoff, Labeff, Shinorhara, & Yasukawa, 1999; McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). There are many research on academic dishonesty among university or high school students. None has conduct study of academic dishonesty among elementary school 6th grader until now. The objective of this reseach is to give a description of academic dishonesty among the elementary school 6th grader in Indonesia. The research involved 60 elementary school 6th grader, 26 from private school and 34 from public school. The finding is: Academic dishonesty has occured among the 6th grader at the moderate level. Overall participants got medium score for academic dishonesty (M = 23,81) from minimum score of 16 to maximum score of 38. Keywords: Academic Dishonesty, Discipline, School Discipline, Elementary School

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 2: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

2

Pendahuluan

Dalam dunia pendidikan, prestasi akademik yang tinggi dianggap sebagai gerbang menuju

kehidupan yang lebih baik: peningkatan status sosial – ekonomi, kehormatan, kekayaan, dan sukses.

Siswa berkompetisi secara ketat untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Inilah esensi dari kesuksesan

siswa di zaman sekarang, kesuksesan diukur dari mendapatkan nilai yang baik, yang akan menolong

siswa diterima di sekolah atau universitas yang mempunyai reputasi terhormat, mendapat pekerjaan

yang baik, dan seterusnya (Khawaja dalam Khan & Khan, 2011).

Ketatnya persaingan untuk berprestasi, membuat masyarakat sering melupakan bahwa tujuan

utama dari pendidikan bukan hanya menjadikan anak cerdas tapi juga berkarakter baik. Sepanjang

sejarah dan pada banyak negara di dunia, pendidikan memiliki dua tujuan besar yang utama: untuk

menolong anak menjadi cerdas dan menjadi baik (Lickona, 1991).

Dengan tujuan untuk dapat diterima pada sekolah atau universitas dengan reputasi terhormat

dan mendapat pekerjaan yang baik, siswa melakukan malpraktek dalam ujian. Segala bentuk

kecurangan yang secara langsung atau tidak langsung memalsukan kemampuan siswa disebut sebagai

malpraktek (Anon dalam Khan & Khan, 2011). Nama lain dari malpraktek adalah kecurangan

akademik. Bowers mendefinisikan kecurangan akademik sebagai perilaku yang menggunakan cara-

cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademik atau

menghindari kegagalan akademik. Ada tekanan-tekanan untuk berbuat curang yang mempengaruhi

perilaku siswa. Diantara tekanan-tekanan itu adalah tuntutan-tuntutan dan kewajiban-kewajiban

akademik. Mereka yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan peran sebagai siswa

akibat dari kebiasaan belajar yang buruk dan nilai-nilai akademik yang rendah, akan lebih cenderung

untuk berbuat curang dibandingkan siswa yang baik (Bowers, 1966).

Masalah kecurangan akademik dapat menghancurkan sebuah bangsa dan landasan dari

perilaku di masa depan dimulai sejak usia remaja (Akaniwor dalam Khan & Khan, 2011). Masalah

kecurangan akademik tidak dimulai di tingkat universitas. Sebuah survey yang dilakukan oleh

Josephson Institute of Ethics menemukan bahwa 74% dari 12.000 siswa sekolah menengah atas

pernah berbuat curang dalam ujian paling tidak sekali dalam jangka waktu setahun. Survey yang

sama mengindikasikan bahwa dibandingkan masa lalu, saat ini siswa lebih cenderung untuk

berbohong kepada orangtua dan guru, bahkan mencuri (Taylor dalam Ferguson, 2010). Lebih dari 35

% siswa sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama setuju dengan pernyataan, “Saya

akan bersedia berbuat curang ketika ujian jika itu bisa menolong saya masuk universitas” (Gomez

dalam Levy & Rakovski, 2006).

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 3: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

3

Data statistik menunjukkan bahwa perilaku kecurangan akademik di kalangan siswa sekolah

menengah dan sekolah tinggi di AS meningkat secara dramatis sepanjang 50 tahun terakhir. Tidak

hanya di Amerika Serikat, fenomena kecurangan akademik sudah terjadi di seluruh dunia (McCabe,

Feghali, & Abdallah, 2008). Peneliti juga menemukan informasi yang mengungkapkan fenomena

kecurangan akademik di Indonesia. Beberapa mahasiswa Fakultas Psikologi UI telah meneliti tentang

kecurangan akademik di kalangan mahasiswa. Yakin (2001) meneliti 70 mahasiswa program

Ekstensi UI dan menyimpulkan bahwa kecurangan akademik di kalangan mahasiswa program

ekstensi tergolong tinggi dan rata-rata partisipan melakukan 24 kecurangan akademik dalam kurun

waktu setahun. Kamarudin (2004) juga mengadakan penelitian kecurangan akademik dengan sampel

mahasiswa Strata 1 Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi baik yang berasal dari perguruan tinggi

swasta maupun negri. Dari 172 kuesioner yang terpakai, didapatkan data bahwa rata-rata mahasiswa

melakukan kurang lebih 10 perilaku kecurangan akademik, dan sebanyak 40,7% mahasiswa memiliki

skor rata-rata kecurangan akademik yang tinggi. Pada tahun 2011, Indrianita melakukan penelitian

terhadap mahasiswa UI dari berbagai Fakultas (Psikologi, Hukum, FIB, FISIP, Teknik, FIK, FKM,

MIPA, Fasilkom, dan Ekonomi). Dari 178 data partisipan didapatkan bahwa sebagian besar

mahasiswa berada dalam kategori kecurangan akademik yang tinggi, yakni dengan prosentasi sebesar

53,4%.

Tidak hanya di kalangan mahasiswa, kecurangan akademik di Indonesia juga terjadi di tingkat

Sekolah Menengah. Majalah remaja HAI edisi 28 Maret – 3 April 2011 memuat artikel hasil

investigasi tentang kebocoran soal Ujian Negara (UN). HAI mengulas proses atau alur terjadinya

kebocoran soal UN dan harga paket soal yang diyakini berisi soal-soal UN. Dibandingkan tahun-

tahun sebelumnya, untuk mendapatkan sumber bocoran soal tergolong mudah dan cukup terbuka.

Menurut narasumber HAI yang lulus ujian SMP dengan mengandalkan bocoran soal, setelah SMA, ia

juga mencoba cara yang sama. Demikian juga ada dugaan bahwa kecurangan akademik di Indonesia

sudah terjadi di tingkat Sekolah Dasar, seperti peristiwa dugaan contek massal yang terjadi di SDN

Gadel, Surabaya pada tanggal 16 Juni 2011.

Penelitian ini dikhususkan pada siswa kelas 6 SD (Sekolah Dasar) karena melihat fenomena

yang terjadi pada murid kelas 6 SD di Indonesia. Dari hasil wawancara dengan tiga orangtua murid

kelas 6 SD dan dua orang Kepala Sekolah SD di Depok dan Jakarta diperoleh informasi bahwa Ujian

Nasional merupakan momen pertama yang menjadi sumber kekhawatiran dan distres bagi siswa kelas

6 SD, orangtuanya, dan pihak sekolah. Siswa kelas 6 SD yang ingin masuk Sekolah Menengah

Pertama (SMP) negeri yang prestisius dan bermutu baik harus mempunyai standar prestasi akademis

yang cukup tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan di SMP tersebut. Prestasi akademik siswa

diukur dari nilai-nilai rapor mulai dari kelas 4 sampai 6 SD dan batas minimal NEM. Sebagai contoh,

dari SDN siswa yang ingin melanjutkan ke SMPN favorit maka harus memiliki NEM minimal 27

(rata-rata 9). Siswa kelas 6 SD yang ingin masuk SMP RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional)

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 4: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

4

harus memiliki prestasi akademis yang baik, memenuhi persyaratan minimal NEM tertentu, dan lolos

beberapa tahap ujian serta wawancara sebelum bisa diterima. Selain itu orangtua siswa SMP RSBI

juga harus lebih mampu secara ekonomi untuk membayar uang sekolah. Dari data di atas dapat

dilihat adanya tekanan dan tuntutan yang relatif tinggi terhadap siswa kelas 6 SD untuk berprestasi

baik dan mendapatkan nilai-nilai yang tinggi. Bukan hanya siswa, orangtunya juga ikut merasakan

tekanan ini.

Utami Munandar dalam Hamidah (2001) mengatakan bahwa sesuai rentang usianya yaitu

antara 10 – 13 tahun maka anak kelas 6 SD termasuk pada masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar

sehingga mereka bersifat amat realistis, ingin tahu, ingin belajar, dan memandang nilai sebagai ukuran

yang tepat terhadap prestasi belajar. Anak kelas 6 SD juga sedang berada dalam tahap perkembangan

psikososial keempat, yaitu Industry versus Inferiority (rentang usia antara 6 tahun sampai masa

pubertas). Erikson mengatakan bahwa pada tahap ini anak-anak mulai memasuki dunia yang lebih

besar tentang pengetahuan dan kerja. “I am what I learn”. Event besarnya adalah memasuki dunia

sekolah. Pengalaman keberhasilan membuat anak merasa kompeten dan ahli, sementara kegagalan

membuat anak merasa tidak mampu dan inferior (rendah diri). Anak berjuang untuk bekerja dengan

baik dan menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. (Erikson dalam Miller, 2011 hal 153)

Nilai-nilai akademik adalah representasi yang terlihat dari prestasi akademik siswa. Jika

mendapat nilai-nilainya bagus, siswa dapat memenangkan pengakuan dan penghargaan dari orangtua,

guru, dan teman selingkungannya. Nilai-nilai bagus juga menambah kesempatan siswa untuk

mendapatkan sekolah yang lebih tinggi dan untuk kesempatan kerja di masa depan (Bowers, 1966).

Perasaan untuk berkompetisi yang sangat besar dan perasaan takut akan kegagalan dapat

mengakibatkan siswa kelas 6 SD mengambil keputusan untuk melakukan kecurangan akademik.

Siswa menuntut ilmu di sekolah. Sekolah adalah institusi yang mempunyai aturan-aturan

yang berlaku di dalamnya, yaitu tata tertib sekolah. Untuk mempertahankan keteraturan di sekolah

maka dibutuhkan suatu sistem yang terdiri dari peraturan-peraturan, hukuman-hukuman dan strategi-

strategi perilaku yang sesuai dengan regulasi anak (Dantje, 1990). Pendisiplinan berhubungan erat

dengan tingkah laku siswa yang menyimpang atau salah. Untuk membuat seseorang menjadi disiplin

maka dilakukan intervensi. (Knoff dalam Dantjie, 1990). Tingkah laku yang menyimpang adalah

tingkah laku seperti terlihat dan dinilai oleh orang lain, misalnya guru atau petugas administrasi di

sekolah yang berada dalam posisi sebagai otoritas. (Charles, 1985, dalam Dantjie, 1990). Kecurangan

akademik yang dilakukan di sekolah dipandang sebagai suatu bentuk pelanggaran dari peraturan-

peraturan yang telah ditentukan atau suatu bentuk pelanggaran dari situasi-situasi standar dalam

melakukan tugas-tugas sekolah dan ujian-ujian yang ada (Cizek dalam Kamarudin, 2004). Dengan

demikian maka siswa yang melakukan kecurangan akademik dikatakan sebagai pelanggar disiplin

sekolah.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 5: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

5

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas

6 SD dan kaitannya dengan peraturan tentang kecurangan akademik di sekolah.

Landasan Teori

Bowers (1966) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai perilaku yang menggunakan

cara-cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademik

atau menghindari kegagalan akademik. Melanjutkan penelitian Bowers, tahun 1993 McCabe dan

Trevino mengukur 12 jenis perilaku kecurangan akademik dengan instrumen Academic Integrity

Survey. Keduabelas jenis perilaku tersebut adalah:

1. Menyimpan catatan contekan saat ujian

2. Mencontek dari siswa lain saat ujian

3. Menggunakan metode yang tidak adil untuk mempelajari bahan ujian, sebelum

ujian diberikan.

4. Mencontek jawaban dari siswa lain saat ujian tanpa sepengetahuannya.

5. Membantu orang lain mencontek saat ujian

6. Mencontek saat ujian dengan menggunakan berbagai cara lainnya

7. Menjiplak materi dari sumber lain dan menyatakannya sebagai karya sendiri.

8. Fabrikasi atau memalsukan bibliografi

9. Menyerahkan hasil pekerjaan orang lain (dan mengakui sebagai karya sendiri)

10. Menerima bantuan yang tidak diperbolehkan dalam jumlah besar dalam

menyelesaikan tugas.

11. Bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, saat pengajar meminta tugas

dikerjakan secara individual.

12. Menjiplak kalimat-kalimat dari sumber yang sudah diterbitkan tanpa membuat

catatan kaki. (Whitley & Keith-Spiegel, 2002)

Hollinger & Lanza-Kaduce dalam Whitley & Keith-Spiegel (2002) menambahkan 3 dimensi

perilaku kecurangan akademik yaitu: misrepresentasi yaitu menyediakan informasi yang salah kepada

guru mengenai tugas akademik, tidak ikut berkontribusi pada tugas kelompok yaitu tidak ikut

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 6: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

6

memberikan sumbang pikiran dan tidak memberikan porsi kerja secara adil dalam tugas kelompok,

dan melakukan sabotase yaitu melakukan aksi-aksi untuk mencegah siswa lain menyelesaikan

tugasnya. Definisi kecurangan akademik yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah definisi

kecurangan akademik Bowers (1966).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecurangan Akademik

Bowers (1966) dan McCabe & Trevino (1997) mengadakan penelitian untuk melihat faktor-

faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku kecurangan akademik. Faktor-faktor ini dibagi menjadi 2

kelompok:

1. Faktor individual: Berdasarkan pada perbedaan individual.Variabel demografis seperti usia, gender,

dan prestasi akademik telah diteliti dengan luas. Walaupun temuan dari penelitian beragam,

kebanyakan mengemukakan bahwa variabel demografis dapat memberikan pengaruh penting pada

kecurangan akademik. Variabel demografis itu antara lain usia, gender, prestasi akademik, pendidikan

orangtua, dan partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Variabel-variabel ini tercakup dalam

Academic Integrity Survey yang dibuat oleh McCabe.

2. Faktor kontekstual: Perilaku kelompok di lingkungan (Peer behavior): Bowers (1964) dan

McCabe dan Trevino (1993) menemukan perilaku kelompok di lingkungan sebagai pengaruh penting

pada kecurangan akademik. Hubungan ini didukung oleh teori social learning (Bandura, 1986) dan

teori differential association (Sutherland, 1947). Teori ini menekankan bahwa perilaku manusia

dipelajari melalui pengaruh dari contoh dan perilaku menyimpang dipelajari dari asosiasi yang dekat

dengan orang yang terlibat dalam penyimpangan. Jadi, melihat kelompok teman selingkungan

berhasil berlaku curang akan meningkatkan kecenderungan observer untuk berperilaku sama.Perilaku

peer juga menyediakan dukungan normatif untuk berbuat curang. Berperilaku curang akhirnya

dipandang sebagai cara-cara yang dapat diterima untuk bisa bertahan dan maju (McCabe & Trevino,

1993).

Faktor-faktor kontekstual lainnya: Ketidaksetujuan kelompok selingkungan (Peer

disapproval), pengaduan teman selingkungan (Peer reporting), berat-ringannya hukuman yang

diterima (The severity of penalties for cheating). Untuk faktor yang disebutkan terakhir, teori

Deterrence juga mengatakan bahwa peningkatan pada konsekuensi beratnya suatu hukum yang untuk

perilaku menyimpang akan mengurangi jumlah individu yang mau meresikokan dirinya (Zimring &

Hawkins, 1973). Argumentasinya adalah, jika hukuman cukup berat maka potensi konsekuensi aksi

akan mengalahkan potensi keuntungan yang diperoleh pelaku kecurangan. Michaels& Miethe (1989)

menunjukkan bahwa logika ini dapat diterapkan pada persepsi siswa tentang berat-ringannya

hukuman bagi perilaku kecurangan akademik. Selain itu ada pula faktor pengertian pihak fakultas /

sekolah dan dukungan mereka atas kebijakan integritas akademik (the faculty understanding and

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 7: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

7

support of these policies). Banyak institusi pendidikan tinggi punya kebijakan tentang integritas

akademik. Beberapa dari kebijakan ini, yang ditemukan pada institusi dengan honor codes yang kuat,

diinformasikan secara luas dan dimengerti oleh anggota dari komunitas akademik, dan menjadi bagian

yang terintegrasi dalam budaya kampus. Ada juga kebijakan yang hanya tercantum dalam buku

pegangan kampus yang jarang dibaca oleh siapapun, baik pihak fakultas / sekolah maupun siswa.

McCabe & Trevino (1993) menyatakan bahwa persepsi siswa akan efektivitas kebijakan-kebijakan ini

berhubungan dengan derajat dimana mereka merasa pihak fakultas / pihak sekolah mengerti dan

mendukung mereka.

Faktor Individual Lain

Ada sebagian siswa yang tidak dengan sengaja terlibat dalam perilaku yang dianggap sebagai

kecurangan akademik. (Whitley & Keith-Spiegel, 2002)

Ada dua alasan mengapa mereka melakukannya: Pertama, kurangnya pengertian akan apa

yang dilarang (lack of understanding of what is prohibited) dan kedua, ketidak sanggupan untuk

menghindari perilaku yang dilarang (inability to avoid prohibited behaviors)

Disiplin dan Disiplin Sekolah

Kata disiplin berasal dari kata bahasa Inggris disciple yang berasal dari kata disciplus dalam

bahasa latin. Webster’s New International Dictionary menyatakan bahwa seorang yang disiplin

adalah seorang yang menerima instruksi dari orang lain, seorang pelajar, khususnya orang yang

menerima doktrin-doktrin dari gurunya dan menolong menyebarkannya, seorang pengikut. Pengertian

disiplin lainnya menurut Webster: Suatu sistem yang berisi aturan-aturan atau metode berperilaku.

Sekolah adalah suatu institusi yang mempunyai aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, yaitu

tata tertib sekolah. Untuk mempertahankan keteraturan di sekolah maka dibutuhkan suatu sistem yang

terdiri dari peraturan-peraturan, hukuman-hukuman dan strategi-strategi perilaku yang sesuai dengan

regulasi anak (Dantje, 1990).

Anak kelas 6 SD berada dalam tahap perkembangan keempat, yaitu Industry versus

Inferiority (rentang usia antara 6 tahun sampai masa pubertas). Erikson mengatakan bahwa pada usia

6 tahun sampai pubertas anak-anak mulai memasuki dunia yang lebih besar tentang pengetahuan dan

kerja. “I am what I learn” Event besarnya adalah memasuki dunia sekolah. Pengalaman keberhasilan

membuat anak merasa kompeten dan ahli, sementara kegagalan membuat anak merasa tidak mampu

dan rendah diri (Erikson dalam Miller, 2011 hal 153). Mahone dalam Hamidah (2001) mengatakan

bahwa adanya harapan-harapan yang tidak realistis yang menuntut anak untuk memenuhi standar

yang diharapkan dan di luar batas kemampuannya, dapat membuat anak merasa tidak berdaya.

Karena ingin diterima dalam kelompok teman sebaya serta perasaan berkompetisi yang sangat besar,

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 8: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

8

anak cenderung akan melakukan usaha-usaha untuk mencapai tujuan tersebut walaupun tidak sesuai

dengan kemampuannya. Salah satu usahanya adalah dengan melakukan kecurangan akademik untuk

meningkatkan prestasi akademiknya dengan mendapatkan nilai-nilai yang baik (tinggi) serta

menghindari kegagalan berprestasi di sekolah.

Metode Penelitian

Masalah Konseptual: Bagaimana gambaran kecurangan akademik pada siswa kelas 6 SD?

Masalah Operasional: Berapakah mean total skor skala kecurangan akademik pada siswa kelas 6

SD?

Variabel Penelitian: Variabel dalam penelitian ini adalah kecurangan akademik. Variabel ini diukur

dengan menggunakan alat ukur Academic Integrity Survey.

Definisi Konseptual: Kecurangan akademik adalah perilaku menggunakan cara-cara tidak sah untuk

mencapai hasil yang sah yaitu untuk mendapatkan keberhasilan akademik atau menghindari

kegagalan akademik.

Definisi Operasional: Definisi operasional dari kecurangan akademik adalah skor total yang

diperoleh dari jawaban masing-masing partisipan berdasarkan enam belas subskala kecurangan

akademik. (Tabel dimensi yang hendak diukur dan indikator-indikatornya berupa item PL1 – PL16

terdapat di lampiran.)

Tipe/Desain Penelitian: Tipe penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian non

eksperimental studi lapangan (ex post facto field study). Artinya penelitian ini menggunakan

pendekatan kuantitatif, dimana data yang diperoleh berupa angka yang akan dianalisis secara statistik.

Pada penelitian ini tidak dilakukan manipulasi dan kontrol terhadap variabel penelitian, dilakukan

dalam situasi alamiah (pada keadaan sehari-hari). Berdasarkan tujuannya, penelitian ini digolongkan

dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-

sifat individu, keadaan, gejala, atau adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain di

masyarakat. Penelitian ini menjelaskan atau mendeskripsikan kecurangan akademik pada siswa kelas

6 SD kemudian menjelaskan hasil temuan serta kaitannya dengan landasan teori yang ada.

Populasi, Sampel dan Karakteristik Partisipan: Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah

siswa kelas 6 Sekolah Dasar. Sampelnya diambil dari dua Sekolah Dasar yang ada di Depok, yang

terdiri dari satu SD negri (34 siswa) dan satu SD swasta (26 siswa). Keseluruhan partisipan adalah 60

siswa kelas 6 SD, terdiri atas 31 laki-laki dan 29 perempuan yang mempunyai rentang usia antara 10 –

13 tahun dan berada pada masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar (fase kanak-kanak akhir). Anak kelas

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 9: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

9

6 SD juga sedang berada pada tahap perkembangan psikososial ke-4 sesuai teori Erikson yaitu berada

pada fase industry versus inferiority.

Metode Pengambilan Sampel: Partisipan penelitian dipilih dengan menggunakan desain random /

probability sampling. Adalah penting bahwa tiap elemen di dalam populasi memiliki kesempatan

yang setara dan independen untuk dipilih sebagai sampel. Setara artinya bahwa kemungkinan

(probabilitas) pemilihan dari tiap elemen dalam populasi adalah sama; yaitu pemilihan dari sebuah

elemen pada sampel tidak dipengaruhi pertimbangan lain, seperti pemilihan pribadi (personal

preference). Konsep independen artinya pemilihan dari satu elemen tidak bergantung pada pemilihan

akan elemen lainnya dalam sampling; yaitu pemilihan atau penolakan dari satu elemen tidak

mempengaruhi inklusi atau eksklusi dari sampel lainnya (Kumar, 2005). Awalnya sampel penelitian

akan diambil pada siswa kelas 6 dari 4 SD. Namun pada pertengahan Desember sebagian SD sudah

memasuki masa liburan Natal, pada akhirnya hanya didapatkan sampel dari 2 SD di Depok, yaitu SD

swasta X dan SDN X. Sampel penelitian terdiri dari seluruh siswa kelas 6 SD swasta X dan siswa

kelas 6 SD negri X. Pada penelitian ini seluruh siswa kelas 6 SDS X dan SDN X mendapat

kesempatan yang sama untuk dipakai sebagai sampel.

Alat Ukur: Alat ukur yang digunakan adalah adaptasi dan modifikasi dari Academic Integrity Scale

(AIS) karya Prof. Donald McCabe. Dari korespondensi dengan beliau diketahui bahwa landasan teori

dari pembuatan alat ukur ini adalah teori William Bowers (1966) tentang kecurangan akademik.

McCabe sudah memberikan izin adaptasi alat ukur ini (email tanggal 9 September 2012). Sesuai

dengan teori yang terdapat dalam jurnal Individual and Contextual Influences on Academic

Dishonesty: A Multicampus Investigation (McCabe dan Trevino, 1997) alat ukur dibuat untuk

mengukur faktor-faktor individual dan kontekstual yang mempengaruhi kecurangan akademik. Faktor

individual yaitu usia, gender, prestasi akademik, kegiatan ekstrakurikuler, pekerjaan orangtua (untuk

mengukur tingkat sosial ekonomi siswa) diketahui dari Data Kontrol. Faktor kontekstual yang diukur

pada alat adalah tingkat berat-ringannya hukuman untuk kecurangan akademik (perceived severity of

penalties for academic dishonesty), persepsi tingkat pengertian dan dukungan pihak fakultas / sekolah

dan siswa akan kebijakan tentang kecurangan akademik (perception of degree of faculty and student

understanding and support for campus academic integrity policies), Peer cheating, Peer reporting of

cheating, Peer disapproval, persepsi tingkat kecurangan (Perception of level of cheating), dan

kecurangan akademik (academic dishonesty). AIS mengukur banyak dimensi persepsi dan perilaku.

AIS diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lalu item-item diadaptasi dan dimodifikasi sesuai

dengan konteks sosial dan budaya anak kelas 6 SD di Indonesia. Sesuai kebutuhan untuk melihat

gambaran kecurangan akademik maka diambil hasil olah data yang mengukur perilaku kecurangan

akademik. Ada bagian-bagian item yang tidak relevan dengan siswa kelas 6 SD, seperti fabrikasi

(memalsukan daftar pustaka) atau memalsukan hasil penelitian. Items yang tidak relevan tidak

dimasukkan dalam alat ukur. Diadakan uji keterbacaan pada beberapa anak SD yang berusia antara

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 10: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

10

10-12 tahun. Didapatkan masukan akan bahasa pada beberapa item yang digunakan masih agak sulit

dimengerti oleh siswa SD, karena item pertanyaan tersebut sebelumnya ditujukan untuk mahasiswa.

Maka gaya bahasa item disesuaikan dengan bahasa yang kira-kira dapat dimengerti oleh siswa SD.

Pembimbing Skripsi 1 dan Pembimbing Skripsi 2 memberi masukan tentang bahasa pada items, lalu

dibuatkan revisi items.

Tabel 3.6.1

Kisi-Kisi Item Kecurangan Akademik

Dimensi No Item Jumlah Item

Mencontek PL3, PL4, PL13, 3

Plagiarisme PL6, PL9, PL10 3

Menggunakan metode yang tidak adil untuk

mendapat nilai bagus

PL1, PL8, PL11, PL12

4

Memfasilitasi kecurangan akademik PL2 1

Menggunakan alat / teknologi untuk berbuat

curang

PL5, PL7, PL14, PL15

4

Misrepresentasi (berbohong untuk

mendapat dispensasi)

PL16

1

Total Item 16

Data Kontrol: Survey juga menyertakan data kontrol berupa: usia, jenis kelamin, nilai rata-rata dan

kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti siswa. Selain itu ditanyakan juga kepada siswa apakah ada

peraturan tentang kecurangan akademik di sekolahnya.

Tahap Persiapan: Sebelum penelitian, yang pertama dilakukan adalah mencari teori dari berbagai

literatur mengenai permasalahan yang akan diteliti lalu dibuatkan latar belakang masalahnya. Setelah

itu mengumpulkan teori-teori yang relevan dengan penelitian. Selanjutnya mencari alat ukur yang

sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian menghubungi sekolah-sekolah untuk meminta izin dan

waktu bagi pelaksanaan penelitian.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 11: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

11

Tahap Pelaksanaan: Setelah didapatkan persetujuan PS maka diadakan pengambilan data pada hari

Senin, tanggal 17 Desember 2012. Pengambilan data di SDS X mendapat 26 partisipan. Penelitian

dimulai pukul 09.10 pagi dan berakhir sekitar pukul 09.30. Rata-rata siswa mengisi survey dalam

jangka waktu 15 menit. Setelah kertas survey diperiksa, ditemukan kalau satu data invalid karena ada

jawaban-jawaban yang dikosongkan atau dijawab asal-asalan oleh siswa laki-laki tersebut. Maka data

ini dikeluarkan. Total data terpakai diperoleh 25. Pada hari Kamis tanggal 21 Desember 2012

diadakan pengambilan data lagi di SDN X, Depok. Didapatkan 34 partisipan siswa kelas 6 SD.

Penelitian dimulai pukul 09.00 pagi dan berakhir sekitar pukul 09.30. Setelah kertas survey diperiksa

didapatkan 34 data terpakai. Izin untuk mengambil data diminta kepada Kepala Sekolah di sekolah-

sekolah tujuan. Saat pengambilan data terlebih dulu disampaikan kepada partisipan tujuan penelitian

dan prosedur pengisian survey. Partisipan juga diberi kesempatan untuk bertanya jika ada hal-hal

yang kurang jelas. Dari 60 kuesioner survey yang diedarkan pada kedua SD, didapatkan total 59 data

terpakai.

Metode dan Prosedur Pengolahan Data: Total keseluruhan item pengukur perilaku kecurangan

akademik (PL) berjumlah 16. Item diukur dengan 3 poin skala likert yaitu Tidak Pernah – Pernah

Sekali – Lebih dari Sekali. Untuk jawaban Tidak Pernah diberikan skor 1, untuk jawaban Pernah

Sekali diberi skor 2 dan untuk jawaban Lebih dari Sekali diberi skor 3. Tabel cara perhitungan skor

terdapat pada lampiran skripsi ini. Total 59 data siswa diinput ke dalam program Excel for Windows

sesuai skoring items pada tabel. Kemudian diolah dengan menggunakan SPSS 21.0 for Windows.

Teknik statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif yaitu untuk mengetahui mean, frekwensi

dan prosentase partisipan berdasarkan data partisipan dalam penelitian. Hasil pengambilan data

pertama di SDS pada tanggal 17 Desember 2012 merupakan data terpakai, karena ternyata setelah

dilakukan olah data, uji reliabilitas dan validitas pada ke-16 item mendapatkan bahwa keseluruhan

item alat ukur perilaku kecurangan akademik reliabel dan valid. Hasil uji realibilitas menunjukkan

bahwa instrumen untuk perilaku kecurangan akademik memiliki angka reliabilitas yang baik

(Cronbach’s Alpha = 0.780). Demikian juga pada saat uji validitas didapatkan bahwa semua indikator

(item) nilai signifikansinya < 0.05 yang berarti indikator-indikator (items) pengukur variabel perilaku

kecurangan akademik dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat ukur (tabel reliabilitas dan

validitas instrumen terlampir). Dengan demikian untuk alat ukur dimensi perilaku kecurangan

akademik pada AIS tidak perlu ada perubahan item. Item-item yang sama dipakai pada pengambilan

data kedua di SDN pada tanggal 21 Desember 2012.

Uji Reliabilitas dan Validitas Item-Item AIS: Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh

mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan atau menunjukkan konsistensi suatu

alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Kaplan & Saccuzzo dalam Mulyaningsih (2011)

menyatakan bahwa perkiraan reliabilitas yang berada pada rentang 0.7 dan 0.8 merupakan reliabilitas

yang baik untuk kebanyakan tujuan dalam penelitian dasar. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 12: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

12

bagian AIS yang mengukur Kecurangan Akademik memiliki angka reliabilitas yang baik yaitu

Cronbach’s Alpha = 0.780. Uji validitas konstruk dilakukan untuk mengukur sah atau valid-tidaknya

suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan kuesioner mampu untuk

mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Untuk menguji validitas

kuesioner digunakan dengan melakukan korelasi antara skor butir pertanyaan dengan total skor

konstuk atau variabel. Berdasarkan tabel hasil olah data (pada lampiran) semua indikator (item) nilai

signifikansinya < 0.05 yang berarti indikator-indikator (items) kuesioner variabel Kecurangan

Akademik dinyatakan valid untuk digunakan sebagai alat ukur.

Temuan

Kecurangan akademik sudah terjadi pada siswa kelas 6 SD dan berada pada level moderat.

Secara umum partisipan penelitian mendapat skor yang moderat (sedang) untuk perilaku kecurangan

(Mean=23,81) dari skor minimal 16 dan maximal 38. Skor yang moderat (sedang) dilihat dari

pembagian skor total mulai dari yang paling kecil 16 (16 x 1) dan paling besar 48 (16 x 3). Nilai

tengahnya adalah 32. Skor 16 – 23 tergolong rendah. Skor 24 – 31 tergolong moderat. Skor 32 – 39

tergolong tinggi. Skor 40 – 48 tergolong sangat tinggi. Mean 23,81 mendekati 24. Mean = 24 masuk

dalam golongan moderat.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku kecurangan akademik sudah terjadi

pada siswa kelas 6 SD tetapi pada level moderat (M = 23, 81) dari skor minimal 16 dan maksimal 38.

Grafik 4.1.6.1

Total Skor Kecurangan Akademik

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 13: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

13

Dari 16 jenis perilaku kecurangan yang diukur, ditemukan 5 jenis perilaku yang paling

banyak dilakukan siswa, yaitu: menjiplak PR siswa lain (74,6%), mencontek jawaban siswa lain

dengan diam-diam waktu ujian (62,7%), mencontek jawaban siswa lain dengan sepengetahuan siswa

yang dicontek waktu ujian (61%), menerima bantuan yang tidak diperbolehkan dalam menyelesaikan

tugas (55,9%) dan menolong orang lain mencontek waktu ujian (54,2%). Hal ini menunjukkan bahwa

jenis perilaku kecurangan yang terbanyak dilakukan siswa kelas 6 SD adalah jenis perilaku

kecurangan tradisional seperti di masa lalu yaitu menjiplak PR siswa lain dan saling mencontek saat

ujian. Sementara untuk jenis perilaku yang berada pada lima urutan terbawah (paling jarang dilakukan

siswa) adalah: menjiplak PR atau tugas dari siswa lain dengan menggunakan SMS,/BBM/email

(22%), menyimpan contekan atau rumus dalam handphone / kalkulator untuk mencontek saat

ujian/ulangan (20,4%), membeli soal ujian (Ujian Nasional) (15,3%), menggunakan teknologi melalui

SMS/BBM/Chat untuk mendapatkan bantuan yang tidak diperbolehkan ketika ujian/ulangan (11,9%)

dan menggunakan alat elektronik / digital sebagai alat bantu yang tidak diperbolehkan saat

ujian/ulangan. Misalnya menggunakan kalkulator saat ujian/ulangan Matematika. (11,9%).

Sehubungan dengan penegakan disiplin sekolah yang berkaitan dengan peraturan sekolah

tentang kecurangan akademik, didapatkan informasi bahwa sebanyak 45,8 % siswa mengatakan tidak

ada / tidak tahu peraturan tentang kecurangan akademik di sekolahnya, sementara 54,2 % mengatakan

ada peraturan tentang kecurangan akademik. Jadi kesimpulannya hampir separuh dari siswa tidak tahu

tentang / menganggap bahwa tidak ada peraturan tentang kecurangan akademik. Ini terlihat pada tabel

4.1.5.1.

Tabel 4.1.5.1

Gambaran Pengetahuan Siswa tentang Peraturan Kecurangan Akademik di Sekolah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Tidak/Tidak tahu 27 45.8 45.8 45.8

Ya 32 54.2 54.2 100.0

Total 59 100.0 100.0

Sebanyak 42,4 persen siswa mengatakan tidak pernah diinformasikan tentang peraturan

kecurangan akademik, sementara 57,6 % mengatakan pernah. Jadi hampir separuh dari siswa

menganggap dirinya tidak pernah diinformasikan tentang peraturan kecurangan akademik. Ini terlihat

pada tabel 4.1.5.2.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 14: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

14

Tabel 4.1.5.2

Gambaran Informasi tentang Peraturan Kecurangan Akademik di Sekolah

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid

Tidak 25 42.4 42.4 42.4

Ya 34 57.6 57.6 100.0

Total 59 100.0 100.0

Diskusi

Informasi yang didapat dari jurnal dan skripsi baik dalam dari dan luar negeri selama ini

hanya menunjukkan perilaku kecurangan yang terjadi di tingkat universitas dan sekolah menengah.

Belum ada penelitian tentang kecurangan akademik pada siswa kelas 6 SD. Dari hasil temuan

didapatkan konfirmasi bahwa perilaku kecurangan akademik sudah terjadi dan dimulai di tingkat SD.

Temuan tentang terjadinya kecurangan akademik pada siswa kelas 6 SD ini dapat menjadi

sumber informasi penting bagi pihak sekolah untuk mencari cara pencegahan agar perilaku ini tidak

terjadi pada anak usia 10 – 13 tahun. Jika fakta ini tidak ditindaklanjuti maka dikhawatirkan semakin

lama semakin banyak terjadi perilaku ini di kalangan siswa SD. Ini bisa menjadi awal terbentuknya

habit berbuat curang di kalangan siswa mulai dari tingkat SD, SMP, SMA, universitas bahkan di

pekerjaannya nanti setelah dewasa. Sebab keputusan siswa untuk berperilaku curang berhubungan

dengan keputusan untuk terlibat dalam perilaku tidak etis di dunia kerja. Siswa yang terbiasa berlaku

curang akan terus berlaku curang dengan semakin tingginya tingkat pendidikannya bahkan sampai

bekerja. (Sims dalam Whitley dan Keith-Spiegel, 2002). Penipuan adalah suatu metode yang dipakai

untuk menghadapi tuntutan dan tanggung jawab sosial, dan ini yang akan dibawa individu dari satu

konteks sosial kepada konteks sosial lainnya. Orang-orang yang meyakini hal ini akan melihat

kecurangan di tingkat college sebagai ancaman terhadap masyarakat yang lebih besar.

Bagaimanapun, orang-orang yang pernah kuliah lebih besar kemungkinannya untuk menempati

posisi kepemimpinan dan memegang tanggung jawab dalam masyarakat. Orang-orang seperti inilah

yang akan membuat standar-standar yang akan dipakai orang lain dan akan memberikan teladan-

teladan yang diikuti orang lain. Maka, kecurangan di tingkat college membawa kepada kecurangan

setelah college dan akan terjadi di antara anggota masyarakat yang terkemuka melalui teladan dan

pengaruh mereka, menyebar kepada masyarakat yang lebih luas (Bowers, 1966).

Pandangan Bowers ini juga sejalan dengan hasil beberapa penelitian yang menemukan

hubungan antara tingkat kecurangan di kampus (the level of college cheating) dan index korupsi

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 15: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

15

negara (Magnus et al. dalam McCabe, Feghali dan Abdallah, 2008). Karena tindak korupsi dan

kurangnya penerapan etika dalam berbisnis telah menjadi penghalang bagi pertumbuhan, maka

mengangkat isu integritas akademis menjadi penting, khususnya di negara-negara berkembang

(Wilhelm dalam McCabe, Feghali, & Abdallah, 2008). Indonesia adalah termasuk negara berkembang

dan memiliki index korupsi yang tinggi. Akar masalahnya dapat ditelusuri dengan meneliti perilaku

kecurangan akademik di kalangan siswa dan mahasiswa di Indonesia. Ada urgensi untuk melakukan

sesuatu yang dapat menjadi katalisator perubahan untuk memperbaiki situasi dan kondisi Indonesia,

yaitu melalui jalur pendidikan.

Hasil penelitian juga menemukan bahwa hampir separuh partisipan mengatakan tidak tahu

dan tidak diinformasikan tentang adanya peraturan tentang kecurangan akademik di sekolahnya. Dari

sini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan akan peraturan dan penegakan disiplin sekolah yang

berhubungan dengan kecurangan akademik masih rendah. Pihak sekolah belum memasukkan

kecurangan akademik sebagai bagian dari peraturan tata tertib sekolah. Walaupun sudah

diinformasikan melalui poster, namun apa itu kecurangan akademik dan peraturan serta hukumannya

belum diinformasikan dengan jelas. Buktinya hampir separuh siswa mengatakan tidak tahu atau

belum diinformasikan peraturan kecurangan akademik. McCabe dan Trevino (1993, 1997) meneliti

hubungan antara kecurangan akademik dan persepsi akan pengertian dan penerimaan terhadap

peraturan tentang kecurangan akademik di kampus. Persepsi siswa tentang pengertian dan

penerimaan terhadap peraturan kampus penting sebab sulit bagi siswa untuk mengikuti peraturan jika

mereka tidak mengerti akan peraturan itu sendiri atau, menganggap peraturan itu tidak adil dan tidak

efektif. McCabe dan Trevino menemukan hubungan yang kuat antara kecurangan akademik dan

persepsi tentang pengertian / penerimaan terhadap peraturan. (McCabe, Trevino, dan Butterfield,

2002). McCabe & Trevino (1993) juga mengatakan sejauh mana peraturan sebuah institusi

dimengerti dan diterima oleh pihak sekolah berpengaruh penting bagi perilaku siswa. Satu isu yang

mereka temukan bahwa ada keengganan anggota pengajar untuk menerapkan peraturan ketika mereka

melihat siswa berbuat curang. Bahkan menurut penelitian Jendrek dan Nuss dalam McCabe &

Trevino (1993) diketahui bahwa ada pengajar yang memilih untuk menangani kasus mencontek antara

si pengajar dan siswanya saja. Akibatnya siswa menganggap pengajarnya lunak dan toleran. Siswa

juga tahu kalau insiden perilaku curangnya tidak tercatat dalam rapor atau laporan prestasi

akademiknya.

Sekolah Dasar adalah pendidikan dasar yang merupakan fondasi siswa sebelum melanjutkan

pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Dobson (1992) menyatakan bahwa penegakan peraturan

yang terstandardisasi dan masuk akal perlu dikembalikan ke sekolah-sekolah yang selama ini kurang

menegakkan disiplin. Kelas dapat dibuat menyenangkan, namun juga terstruktur. Guru SD berada

pada posisi pertama untuk membentuk dasar-dasar sikap positif. Anak-anak yang berada di rentang

usia enam tahun pertama pendidikan (6 – 12/13 tahun) sangat terpengaruh sikapnya oleh otoritas di

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 16: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

16

sekolah yaitu para guru dan iklim pendidikannya. Otoritas para guru dan iklim pendidikan di sekolah

menengah pertama, sekolah menengah atas, dan seterusnya dasarnya adalah di tingkat Sekolah Dasar.

(Dobson, 1992).

Whitley dan Keith-Spiegel dalam bukunya: Academic Dishonesty, an Educator’s Guide hal.

154 (2002) memberikan saran-saran tentang apa yang institusi pendidikan (pihak sekolah) dapat

lakukan untuk meningkatkan kejujuran akademik. Semua institusi harus mempunyai peraturan

tentang kecurangan akademik. Peraturan-peraturan ini harus menyatakan posisi institusional tentang

integritas akademik dan memberi informasi terperinci tentang perilaku-perilaku apa saja yang

dilarang; tanggung jawab para pengajar, siswa, dan administrator (para kepala sekolah); prosedur

untuk menyelesaikan kasus dugaan kecurangan akademik dan hukuman untuk ketidakjujuran,

bagaimana rekam kejadian (record) disimpan; dan tindakan-tindakan yang bisa diambil untuk

mencegah kecurangan akademik. Program integritas akademik lebih dari sekedar pernyataan yang

membahas isu cara mengkomunikasikan peraturan, pelatihan para pengajar, desain kurikulum, dan

bantuan untuk para pengajar dan siswa. Institusi harus berjuang untuk mengembangkan sebuah ethos

yang mempromosikan integritas akademik dengan menekankan kepada integritas institusi,

lingkungan yang berorientasi pada pembelajaran (learning-oriented environments), dan kurikulum

yang berorientasi pada values (values-oriented curricula). Mengubah budaya institusi dengan cara ini

adalah tidak mudah, tetapi jerih payah yang dilakukan tidak akan sia-sia.

Sebagai tambahan informasi dari penelitian terlihat tiga jenis siswa pelaku kecurangan. Jenis

pertama adalah siswa yang berbuat curang karena kurangnya pengertian akan apa yang dilarang (lack

of understanding of what is prohibited) (Whitley dan Keith-Spiegel, 2002). Roth dan McCabe (1995)

menekankan pentingnya ada kesepakatan antara siswa dan pihak sekolah tentang perilaku-perilaku

apa saja yang termasuk dalam kecurangan akademik karena ada sebagian siswa yang tidak mengerti

atau tahu jenis perilaku apa saja yang dilarang. Karena itu harus dibuat aturan-aturan yang jelas

tentang perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang. Hal ini dapat mengurangi kasus kecurangan

akademik (Whitley dan Keith-Spiegel, 2002).

Jenis kedua adalah siswa yang tahu bahwa perilaku tertentu tergolong dalam kecurangan

akademik, tapi memilah-milah perilaku sebagai “curang tidak serius (kecil)” dan “curang serius

(besar)”. Hal ini mengakibatkan siswa cenderung untuk melakukan perilaku yang dianggapnya

sebagai “curang kecil” karena merasa perilaku itu tidak separah “curang besar”. Lim dan See (2001)

meneliti prevalensi dan persepsi tingkat kecurangan di Singapura. Hampir semua siswa mengaku

pernah berbuat curang. Mencontek waktu ujian dipersepsikan sebagai lebih serius (besar) tingkat

kecurangannya dibandingkan dengan plagiarisme. Pelanggaran (kecurangan) yang dipersepsikan

kurang serius (besar) dilakukan lebih sering (McCabe, Feghali dan Abdallah, 2008). Sama halnya

dengan siswa jenis pertama, pada siswa jenis kedua ini pihak sekolah harus menginformasikan dengan

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 17: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

17

jelas tentang jenis-jenis perilaku kecurangan dan menyatakan bahwa semua perilaku kecurangan

dianggap sama seriusnya (sama besarnya). Pihak sekolah mengajar siswa bahwa perilaku curang

adalah perilaku curang tanpa membedakan tingkat keseriusan atau besar-kecilnya tingkat kecurangan

perilaku tersebut.

Jenis ketiga adalah siswa yang berbuat curang dengan konsisten walaupun ia sudah tahu kalau

perilakunya melanggar aturan. Ini karena siswa tersebut mendapatkan reward yaitu nilai-nilai

(prestasi) akademik yang tinggi tanpa harus bersusah payah belajar. Sesuai teori perkembangan moral

Kohlberg, banyak siswa beroperasi pada level preconventional. Mereka mematuhi aturan untuk

menghindari hukuman, bukan karena memikirkan hak-hak orang lain atau level pemikiran yang lebih

tinggi daripada itu (Evans, Forney, & Guido-DiBrito dalam McCabe & Trevino, 2002). Maka perilaku

mereka lebih sering dipengaruhi oleh seberapa besar kemungkinan perilaku kecurangan mereka

ketahuan dan dihukum.

Gibbs dalam McCabe dan Trevino (2002) membuat suatu teori yang dinamakan sebagai the

deterrence theory (teori pencegahan): Untuk mencegah perilaku yang salah, pertama, pelaku

kesalahan harus mempersepsikan bahwa mereka akan ditangkap dan kedua, hukuman yang berat akan

diberikan atas perilaku yang salah itu. Teori ini menjadi salah satu dasar pembuatan alat ukur

Academic Integrity Survey. Tittle dan Rowe dalam McCabe dan Trevino (2002) telah

mendemonstrasikan sebelumnya bahwa ancaman tertangkapnya dan dihukumnya pelaku kecurangan

mencegah perilaku curang di antara mahasiswa. McCabe dan Trevino (1993, 1997) juga melaporkan

dukungan akan hubungan ini.

Bowers (1966) membagi 3 bentuk pengaturan untuk pengendalian kecurangan yang

diterapkan di kampus: Honor system, dimana tanggung jawab kontrol ada di tangan siswa karena

mereka telah berjanji untuk mematuhi peraturan, Faculty-centered control (pengendalian yang

sepenuhnya di tangan pihak pihak sekolah), Judiciary body with students (kombinasi kontrol antara

pihak fakultas dan siswa: organisasi / mahkamah siswa). Selama ini yang terjadi pada banyak institusi

pendidikan di Indonesia adalah pengendalian atau penegakan disiplin yang sepenuhnya di tangan

pihak sekolah (faculty-centered control). Yang disarankan oleh Bowers adalah penerapan honor

system. Sistem honor atau honor codes meletakkan semua siswa pada posisi berkomitmen untuk

bertanggung jawab atas perilakunya. Honor code meminta siswa untuk mengaku bersalah dan lapor

diri jika melakukan kecurangan, atau dalam banyak kasus, untuk melaporkan siswa lain yang

melanggar komitmen ini. McCabe dan Trevino (1993) meneliti pengaruh honor codes pada

kecurangan akademik dan menemukan hal-hal berikut: Pada sistem ini perilaku yang salah lebih jelas

didefinisikan. Ketika definisi dari perilaku yang salah diinformasikan dengan jelas, akan lebih sulit

bagi siswa yang suka berbuat curang untuk merasionalisasi atau menjustifikasi perilaku curangnya.

Hasilnya, insiden kecurangan akademik berkurang.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 18: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

18

Satu hal lagi yang mungkin menjadi faktor yang berpengaruh pada perilaku curang adalah

konteks budaya. Ada budaya individualistik seperti pada negara-negara barat, dan ada budaya

kolektivistik seperti pada negara-negara timur. Budaya Indonesia adalah budaya kolektivistik

sehingga diduga sebagian siswa melihat perilaku kecurangan akademik sebagai bentuk kerjasama dan

saling menolong dengan temannya. Kita tahu bahwa perilaku kecurangan akademik adalah bentuk

kerjasama dan saling tolong yang tidak benar. Sehubungan dengan budaya kolektivistik pada

masyarakat Indonesia, sekolah dapat menyesuaikan pada bentuk dan bahan ujiannya. Ujian yang

selama ini banyak mengandalkan kemampuan menghafal individu dapat divariasikan dalam bentuk

ujian berkelompok, dimana siswa bekerjasama dengan siswa lain untuk menyelesaikan ujian bersama

dan mendapat nilai yang sama.

Saran Metodologis

Berkaitan dengan pelaksanaan penelitian, maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan saran

untuk penelitian selanjutnya. Dalam memilih sampel siswa kelas 6 SD harus diperhatikan waktu

pengambilan sampel yang tepat sesuai dengan jadwal masa belajar, musim ujian, dan jadwal liburan

siswa di sekolah. Ketika diambil data pada pertengahan bulan Desember, siswa kelas 6 SD baru saja

menjalani ujian akhir semester dan bersiap-siap untuk memasuki masa liburan. Akibatnya dari empat

SD yang dimintakan izin penelitian, hanya dua SD yang bersedia. Karena pengambilan data

dilakukan menjelang liburan sekolah maka ada beberapa siswa kelas 6 SD yang absen (tidak hadir) di

sekolah. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dicari tahu terlebih dulu tentang jadwal-jadwal siswa

agar pengambilan data dapat berjalan lancar dan data siswa yang diperoleh lebih banyak. Dengan

perencanaan dan pengaturan waktu yang baik maka bisa didapat pula data siswa yang lokasi

sekolahnya di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia.

Pada saat penelitian ada hal yang belum dilakukan yaitu mengadakan debrief kepada para

partisipan setelah selesai pengisian survey. Pada items pengukuran perilaku kecurangan akademik ada

jenis-jenis perilaku yang mungkin dapat memberikan ide kepada siswa kelas 6 SD untuk ditiru. Apa

yang tadinya tidak terpikir olehnya untuk dilakukan, dapat saja menjadi terpikir untuk dilakukan

akibat membaca item pada pengukuran perilaku kecurangan. Contohnya: pada item PL 14 tertulis:

Menyimpan contekan atau rumus dalam handphone / kalkulator untuk mencontek saat ujian/ulangan.

Disarankan untuk penelitian selanjutnya, setelah survey diberikan bimbingan kepada partisipan bahwa

perilaku-perilaku di dalam survey tidak patut ditiru dan melanggar peraturan.

Pada saat penelitian, dibagikan AIS lengkap yang mengukur seluruh faktor individual dan

kontekstual penyebab perilaku kecurangan akademik. Pada akhirnya data yang diambil dan diolah

untuk mendapatkan gambaran kecurangan akademik siswa hanyalah hasil pengukuran perilaku

kecurangan akademik. Untuk penelitian selanjutnya, terutama pada siswa SD, disarankan untuk

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 19: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

19

mengedarkan bagian AIS yang khusus mengukur apa yang hendak peneliti ukur saja, misalnya pada

bagian perilaku kecurangan akademik saja. Alasannya karena item-item pada AIS lengkap awalnya

didesain untuk mahasiswa sehingga terlalu panjang untuk dikerjakan oleh siswa kelas 6 SD. Waktu

pengisian yang dibutuhkan siswa SD untuk mengisi kuesioner AIS lengkap adalah paling lama 25

menit. Jika ingin meneliti kecurangan akademik pada siswa SD sebaiknya items AIS yang diberikan

lebih difokuskan kepada faktor (faktor-faktor) tertentu yang ingin diukur peneliti saja.

Dari disertasi Bowers (1966) dan jurnal penelitian McCabe & Trevino (1993) didapatkan

bahwa ada faktor kontekstual yang diukur, yaitu persepsi akan perilaku kecurangan teman

selingkungan (perception of peer cheating behavior). Jika ada yang akan melanjutkan penelitian ini,

disarankan untuk mengukur faktor ini karena dapat menunjang fakta tentang perilaku kecurangan

akademik yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Bowers (1966) juga mengatakan bahwa perasaan

teman selingkungan efektif untuk mengurangi perilaku curang siswa. Hal ini diukur dengan faktor

persepsi ketidaksetujuan teman selingkungan (perception of peer disapproval). Siswa yang

mempersepsikan teman selingkungannya sangat tidak setuju dengan perilaku curang cenderung untuk

tidak berperilaku curang dibandingkan dengan siswa yang yakin kalau teman selingkungannya

bertoleransi terhadap perilaku curang. Jika ingin meneliti tentang persepsi siswa tentang penegakan

disiplin di sekolah terhadap kecurangan akademik maka dianjurkan untuk mengukur faktor persepsi

siswa terhadap tingkat berat-ringannya hukuman untuk berperilaku curang (the severity of penalties

for cheating) dan persepsi siswa terhadap pengertian dan dukungan pihak sekolah terhadap peraturan

kecurangan akademik (the faculty understanding and support of academic dishonesty policies).

Saran Praktis

1. Pihak sekolah mulai melakukan tindakan yang dapat mencegah atau mengurangi perilaku

kecurangan akademik. Antara lain: membuat dan memasukkan peraturan khusus tentang

kecurangan akademik (tertulis dalam buku tata tertib) lalu menginformasikan dengan jelas

dan mensosialisasikan peraturan ini kepada seluruh siswa dan jajaran pengajar serta staf

sekolah. Selain dikomunikasikan di setiap awal tahun ajaran, pihak sekolah juga bekerjasama

dengan para guru dan pengawas ujian untuk kembali mengulang informasi ini setiap musim

ujian, sebelum ujian dimulai. Dengan ini diharapkan siswa sadar, tahu, dan mengerti tentang

kecurangan akademik dan konsekuensi perilakunya.

2. Berkaitan dengan kecanggihan teknologi yang dapat digunakan sebagai alat melakukan

kecurangan akademik maka sebaiknya pihak sekolah melarang siswa untuk menggunakan

handphone dan kalkulator selama ujian.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 20: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

20

3. Pihak sekolah mengadakan pelatihan khusus untuk segenap staf sekolah tentang kecurangan

akademik dan cara menanganinya.

4. Ada siswa yang berbuat curang tetapi belum mengetahui apa yang ia lakukan termasuk

kategori kecurangan. Bagi siswa semacam ini penanganannya lebih kepada teguran dan

bimbingan bahwa jenis perilaku yang dilakukannya itu termasuk kecurangan akademik.

Beritahukan siswa apa yang benar untuk dilakukan. Diharapkan siswa yang semacam ini tidak

mengulangi lagi perilaku curang setelah diberitahu dan dibimbing mengenai mana perilaku

yang curang dan mana yang tidak. Ada pula siswa yang memilah-milah perilaku kecurangan

sebagai curang kecil (kurang serius) dan curang besar (serius). Siswa ini terbiasa melakukan

kecurangan yang dianggapnya kecil dan tidak mau melakukan kecurangan yang dianggapnya

besar. Pada siswa jenis ini diinformasikan bahwa semua perilaku kecurangan dikategorikan

sebagai kecurangan tanpa membedakan besar-kecilnya tingkat kecurangan. Diharapkan

setelah mendapat bimbingan perilaku curangnya dapat berkurang. Jenis ketiga adalah siswa

yang sudah tahu perilakunya termasuk curang tetapi mempunyai kecenderungan untuk terus

menerus berbuat curang. Bagi siswa semacam ini sebaiknya dicegah dengan cara ditakuti

ancaman hukuman. Jika ketahuan berbuat curang maka diberikan hukuman yang

sepantasnya. Diharapkan hal ini dapat mencegahnya untuk mengulangi perilaku kecurangan

akademik. Siswa pelaku kecurangan akademik juga dapat dijadikan sebagai contoh bagi peer

(teman sekelasnya) tentang ketegasan pihak sekolah yang tidak mentoleransi perilaku

kecurangan. Dengan melihat ketegasan pihak sekolah maka peer dari si pelaku juga akan ikut

menahan diri dari berperilaku curang.

5. Mengadaptasi model honor system atau honor codes seperti di Amerika Serikat (Bowers;

McCabe & Trevino; McCabe & Pavela, 2004). Honor codes adalah perjanjian antara pihak

sekolah dan siswa yang baru masuk ke sekolah untuk mematuhi aturan-aturan sekolah. Sudah

menjadi tanggung jawab pihak sekolah untuk menegakkan disiplin sekolah termasuk di

dalamnya disiplin tentang kecurangan akademik, namun siswa juga diberi kesempatan untuk

mengambil tanggung jawab dalam mematuhi peraturan. Di awal tahun ajaran siswa sudah

diinformasikan dengan jelas aturan-aturan dan konsekuensi yang ditanggungnya bila

melanggar peraturan. Siswa menandatangani pernyataan berjanji untuk bertanggung jawab

dalam mematuhi aturan. Dengan adanya honor codes, diharapkan kecenderungan siswa untuk

melanggar peraturan, termasuk peraturan tentang kecurangan akademik akan berkurang.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 21: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

21

Daftar Pustaka

Bourassa, Mark J. (2011). Academic Dishonesty: Behaviors and Attitudes of Students at Church-related

Colleges and Universities (Disertasi, The University of Toledo)

Bowers, William Joseph.(1966). Student Dishonesty and Its Control in College. (Disertasi,Columbia

University). Retrieved from ProQuest Research Library.

Dantjie, Benyamin A.M. (1990). Hubungan antara Perilaku Disiplin Siswa di Sekolah dengan Kematangan

Perkembangan Moral dari Kohlberg (Suatu Studi yang Dilakukan pada Siswa SMAN 70, Jakarta).

(Skripsi, Universitas Indonesia).

Dobson, James Dr. (1992). The New Dare to Discipline. USA: Tyndale House Publishers, Inc.

Ferguson, Lauren M. (2010). Student Self-Reported Academically Dishonest Behavior in Two-Year College in

the State of Ohio. (Disertasi, The University of Toledo)

Ghozali, H. Imam. (2006). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro.

Graves, Sharron M., Stephen, F. (2008). Student Cheating Habits: A Predictor of Workplace Deviance. Journal

of Diversity Management.

Hamidah, Siti. (2001). Hubungan antara Persepsi Mengenai Harapan Orangtua terhadap Orientasi Belajar

dengan Goal Orientation pada Siswa Sekolah Dasar.(Skripsi, Universitas Indonesia)

Indrianita, Wenti. (2011). Hubungan antara Orientasi Religius dan Kecurangan Akademis pada

Mahasiswa. (Skripsi, Universitas Indonesia)

Kamarudin, Felicia. (2004). Hubungan antara Moral Judgement dan Kecurangan Akademis pada Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Fakultas Psikologi Swasta dan Negeri di Jakarta dan Depok. (Skripsi,

Universitas Indonesia)

Khan, Iqbal & Khan, Mohammad J. (2011). Socio-economic Status of Students and Malpractices Used in

Examinations in Urban Areas of District Peshawar. European Journal of Scientific Research. Vol. 49

No. 4, pp 601-609

Kumar, Ranjit. (2005). Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners. London, UK: Sage

Publications Ltd.

Lenny, M. Margareta. (1990). Perbandingan Persepsi Guru dan Persepsi Murid tentang Kualitas yang Perlu

Dimiliki seorang Guru. (Skripsi, Universitas Indonesia)

Levy, Elliot S., Rakovski, Carter C. (2006). Academic Dishonesty: A Zero Tolerance Professor and Student

Registration Choices. Research in Higher Education. Vol. 47, No. 6 (September). Retrieved from

Springer.

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013

Page 22: GAMBARAN KECURANGAN AKADEMIK PADA SISWA KELAS 6 …

22

Lickona, Thomas (1991) Educationg for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.

USA: Bantam.

McCabe, Donald L., Trevino, Linda K. (1993) Academic Dishonesty: Honor Codes and Other Contextual

Influences. Journal on Higher Education, Vol. 64.

McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K. (1997). Individual and Contextual Influences on Academic

Dishonesty: A Multicampus Investigation. Research in Higher Education, Vol. 38, No.3.

McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K., Butterfield, Kenneth D. (2001) Dishonesty in Academic Environments:

The Influence of Peer Reporting Requirements. The Journal of Higher Education. Jan/Feb 2001; 72,1;

Retrieved from ProQuest Research Library

McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K. (2002) Honesty and Honor Codes. American Association of University

Professor. Academe, Vol. 88, No. 1 (Jan – Feb, 2002), pp.37 – 41

McCabe, Donald. L., Trevino, Linda K., Butterfield, Kenneth D. (2002) A Replication and Extension to

Modified Honor Code Settings. Research in Higher Education, Vol. 43, No. 3, June 2002.

McCabe, Donald L., Pavela, Gary. (2004) Ten Updated Principles of Academic Integrity. May/June 2004.

Retrieved from JSTOR.

McCabe, Donald. L., Feghali, Tony, Abdallah, Hanin. (2008) Academic Dishonesty in The Middle East:

Individual and Contextual Factors. Res. High Educ (2008) 49: 451 – 467

Miller, Patricia.H. (2011). Theories of Developmental Psychology (5th Ed.). New York: Worth Publishers.

Mulyaningsih, Sri A. (2011). Gambaran Respek pada Anak Usia 10 – 12 tahun Berdasarkan Urutan Kelahiran

dalam Keluarga. (Skripsi, Universitas Indonesia).

Papalia, Diane E., Olds, Sally W., Feldman, Ruth D. (2007). Human Development (10th Ed.). USA: McGraw-

Hill

Peterson, Christopher, Seligman, Martin E.P. (2004). Character Strenght and Virtues: A Handbook and

Classification. UK: Oxford University Press.

Pulvers, Kim & Diekhoff, George M. (1999). The Relationship between Academic Dishonesty and College

Classroom Environment. Springer collaboration with JSTOR retrieved from JSTOR.

Short, Rick Jay, Short, Paula M.(1994). An Organizational Perspective on Student Discipline. retrieved from

source address is missing.

Tim Wartawan majalah HAI edisi XXXV/13/2011 tanggal 28 Maret – 3 April 2011, judul artikel: Ujian

Negara Bocor! Delapan Puluh Persen Pasti Benar.

Whitley Jr., Bernard E., Keith-Spiegel, Patricia. (2002). Academic Dishonesty: Educator’s Guide. Lawrence

Erlbaum Associates Inc, Publishers.

Yakin, Eky Kusnul. (2001). Hubungan antara Sikap Moral Permisif dan Kecurangan Akademis.

(Skripsi, Universitas Indonesia)

Gambaran kecurangan akademik..., Martha Emma Fredrika, FS UI, 2013