Fungsi konsumsi makro eko islam

24
TEORI DAN FUNGSI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM A. Pengerrtian Konsumsi Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah. Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya. 1 B. Urgensi Konsumsi 1 Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003. Ekonomi Syariah B/V IAIN Sunan Ampel Surabaya Ekonomi Makro Islam Page 1

Transcript of Fungsi konsumsi makro eko islam

Page 1: Fungsi konsumsi makro eko islam

TEORI DAN FUNGSI KONSUMSI DALAM EKONOMI ISLAM

A.    Pengerrtian Konsumsi

Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun

konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi

kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama,

tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan

konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara

pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah. 

Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi

kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam

melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku

konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan

pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan

jasa mereka.  Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia

memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya

(resources) yang dimilikinya.1

B.    Urgensi Konsumsi

Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada

kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah

kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti

mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam

kehidupan.

Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan

mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-

roda perekonomian.2

C.    Tujuan Konsumsi

1 Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.

2 Ibid.,

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 1

Page 2: Fungsi konsumsi makro eko islam

Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah

kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan

stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai

ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa

menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan,

tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi. 

Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa

mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan

manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-

Nya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba

kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)

Karena itu tidak aneh, bila Islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat

menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang

dibebankan Allah kepadanya. 

Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar

dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi

maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut

dengan teori: “Konsumen adalah raja”.3 Di mana teori ini mengatakan bahwa segala

keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk

memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori

tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya

mengkonsumsi apa yang diinginkan.

D.    Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen

Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam

berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:4

1.    Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir. Harta diberikan Allah

SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi

3 Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas

University Press, 2006.

4 Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 2

Page 3: Fungsi konsumsi makro eko islam

digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah.

Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah

diwajibkan.

2.    Tidak melakukan kemubadziran. Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya

untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana

seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya

untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:

a.    Menjauhi berhutang Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan

dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang

sangat terpaksa.

b.    Menjaga asset yang mapan dan pokok. Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak

belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal.

Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk

membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.

3.    Tidak hidup mewah dan boros. Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri

dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini

selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat.

Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi

nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama

karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena

biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.5

4.    Kesederhanaan. Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah

sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan

pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk

menjaga kemaslahatan masyarakat luas.

5.    Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar

bersifat pribadi.

6.    Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah

untuk mewujudkan semangat islam.

5 Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), 1995.

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 3

Page 4: Fungsi konsumsi makro eko islam

7.    Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh

agama islam. 

E.    Konsep Penting dalam Konsumsi

Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau

kepuasan (manfaat).6 Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu

barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam

prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi)

dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan

sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan,

maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas

konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari

kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.

a)    Kebutuhan (Hajat) "manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik

ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang

lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut

atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani,

makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu,

Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi

seluruh unsur tubuh".7

Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang

kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di

sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari

unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan

kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki

manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan

anjing, dan sebagainya dan seterusnya.

Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani

kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus

6 Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

7 Ibid.,

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 4

Page 5: Fungsi konsumsi makro eko islam

berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan

penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan

potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga,

kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya

yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan

menjaga bumi dan isinya.

b)    Kegunaan atau Kepuasan (manfaat) Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini

juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya

sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela

yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan

pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.

Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu

pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu

dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat

tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan

menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri.

Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang

dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.8

Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang

dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an 

mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan.

Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah

barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu,

barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan

tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh

anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya

kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak

negatif di kemudian hari.

8 Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta:

Rajawali Press, 2005.

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 5

Page 6: Fungsi konsumsi makro eko islam

F.    Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami

Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility

atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum

syara' yang paling utama.9

Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang

mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan

dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-

nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga

atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan

terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut

maslahah.

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:

Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing

masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan

bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh

syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang

mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah

telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.

Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini

sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang

tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan

penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

a.    Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu

produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang

individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:

9 Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2006.

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 6

Page 7: Fungsi konsumsi makro eko islam

b.    Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan

berapa untuk maslahah jenis kedua

c.    Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya

yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka

mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat

pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang

menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal

yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang

memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua

barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep

'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita

perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah,

tahsiniyyah dan hajiyyah.

G.    Prinsip-Prinsip Konsumsi

Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:10

1. Prinsip Keadilan Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan

tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak

bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada

dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan.

Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang

tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi

sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran

diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai

makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang

dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

2.    Prinsip Kebersihan Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit

yang dapat merusak fisik dan mental manusia,11 misalnya: makanan harus baik dan cocok

untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam

10 Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas

University Press, 2006.

11 Ibid.,

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 7

Page 8: Fungsi konsumsi makro eko islam

arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang

dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.

“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR

Tarmidzi).  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor

dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup

makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR

Bukhari).

3.    Prinsip Kesederhanaan Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan

merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini

mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan

hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam

menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia

sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.

“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-

orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa

kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan

berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.

4.    Prinsip Kemurahan hati. Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan

minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga harus

dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang

kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada

kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.

Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-

benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi

ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan

dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah

memberikan anugrah-Nya bagi manusia.

5.    Prinsip Moralitas. Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus

dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata

memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk

keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 8

Page 9: Fungsi konsumsi makro eko islam

spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan

menyatakan terimakasih setelah makan. 

H.    Kaidah-Kaidah Konsumsi

Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah konsumsi.

Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau

tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.12

Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum

yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan

konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan

dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.

Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:13

1.    Kaidah Syariah. Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan

konsumsi di mana terdiri dari:

a.    Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/

beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban

khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.

Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu

bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-

Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.

b.    Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang

yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan

sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan

Al-Qur’an dan As-Sunnah.

c.    Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya,

maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu

yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang

lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal

atau syubhat.  

12 Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. 

13 Ibid.,.,

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 9

Page 10: Fungsi konsumsi makro eko islam

2.    Kaidah Kuantitas. Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi

kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas

ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:

a.    Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan

harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit

adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial.

Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal

tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki

dampak-dampak yang buruk.

b.    Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus

disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.

c.    Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan

digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan

itu sendiri.

3.    Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi. Yaitu, di mana konsumen harus

memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi

kemudharatan, yaitu:

a.    Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan

menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni

nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni

memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer

kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan,

minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.

b.    Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang

lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari

kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.

c.    Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam

kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan

kebutuhan primer dan sekunder.

4.    Kaidah Sosial. Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas

dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga

tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 10

Page 11: Fungsi konsumsi makro eko islam

a.    Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya

suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain

juga akan merasakan sakitnya.

b.    Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia

adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.

c.    Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan

memberikan madharat ke orang lain. 

5.    Kaidah Lingkungan. Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi

daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari

sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.

6.    Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru. Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan

konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru

pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka

menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-

hamburkan harta.

I.    Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami14

Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan

maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari

sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam

Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-

elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar

menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal),

keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl).  Semua barang

dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada

setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi,

konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu

‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga

kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat

manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi.

Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari

14 Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 11

Page 12: Fungsi konsumsi makro eko islam

aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam

beragama. 

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:15

1.    Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi

masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau

bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan

oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.

2.    Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini

sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang

tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan

penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.

3.    Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu

produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Berdasarkan kelima elemen di

atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang

menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen

yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan

memiliki dua jenis pilihan:

1.    Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan

berapa untuk maslahah jenis kedua.

2.    Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya

yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka

mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.

Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal

yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim.

Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa

yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua

barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep

‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang  terkandung di dalamnya maslahah), kita

perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah,

tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:

15 Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 12

Page 13: Fungsi konsumsi makro eko islam

1.    Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi

penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen

dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual,  keturunan dan keluarga

serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang

timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.

2.    Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan.

Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi

melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.

3.    Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya.

Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan

yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya

dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah. 

J.    Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku Konsumen Konvensional16

Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya

tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan

sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik

mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus

dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari

ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam,

perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah

(hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).

Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu,

yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi

konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang

disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan

sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat

Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya .

K.    Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi.

16 Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali

Press, 2005.

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 13

Page 14: Fungsi konsumsi makro eko islam

Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat menentukan

tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh factor-

faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:

1.    Selera

2.    Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga.

3.    Kekayaan

4.    Keuntungan atau kerugian capital

5.    Tingkat bunga

6.    Tingkat harga

DAFTAR PUSTAKA

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa

(Pustaka Al-Kautsar Group), 2006.

Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.

Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas

University Press, 2006.

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 14

Page 15: Fungsi konsumsi makro eko islam

Joesron, Tati Suhartati.  Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba Empat, 2003.

Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam),

1995.

Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta:

Rajawali Press, 2005.

Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2006.

Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Siddiqi, Muhammad Najetullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara,

1991.

Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonosia, 2003.

Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1994.

Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro ,Yogyakarta: BPFE, 1998.

Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. 

Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana

Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003

Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve

Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003

Muhammad Zulifan, “Seri Ekonomi Islam: Konsep Kebutuhan (1)”, dalam

http://muhammadzulifan. Multiply.com/journal/item/14 (17 Maret 2010)

Ekonomi Syariah B/VIAIN Sunan Ampel SurabayaEkonomi Makro Islam Page 15