Formulasi Jeruk Purut sebagai Losion Repellent

download Formulasi Jeruk Purut sebagai Losion Repellent

of 36

Transcript of Formulasi Jeruk Purut sebagai Losion Repellent

BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangIndonesia merupakan Negara beriklim tropis, dengan demikian berbagai jenis penyakit tropis pun sering terjadi. Iklim dapat mempengaruhi penyebaran penyakit, terutama penyakit yang ditularkan atau disebarkan oleh hewan pembawa penyakit atau vektor, umumnya adalah serangga seperti nyamuk dan lalat. Vektor ini mampu berkembang biak dengan baik sepanjang tahun pada daerah beriklim tropis karena suhu dan kelembaban yang sesuai. Lalat dan nyamuk membawa parasit, virus, atau bakteri penyebab penyakit yang ditularkan kepada manusia atau hewan melalui gigitan ataupun sengatan.Penyakit tropis yang umum terjadi di Indonesia antara lain malaria, filariasis, chikungunya, dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit tersebut ditularkan oleh vektor nyamuk. Hal ini menimbulkan perhatian khusus terhadap upaya dalam pengobatan dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh vektor nyamuk tersebut.DBD merupakan salah satu penyakit mematikan di sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk di wilayah Kalimantan Barat. DBD disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, atau DEN-4 yang ditularkan antara manusia dengan manusia melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Barat, pada tahun 1999 kasus DBD secara keseluruhan di Kalimantan Barat sebanyak 1.393 orang dengan kematian 60 orang. Penderita terbanyak berada di Kota Pontianak yakni 831 orang disusul Kabupaten Sambas sebesar 340 orang, Kabupaten Pontianak 19 orang, dan Sanggau 19 orang. Menginjak tahun 2000, kasus itu menurun menjadi 806 orang dengan kematian sebanyak 24 orang. Penderita terbesar tetap ditempati Kota Pontianak sebanyak 631 orang, Kabupaten Bengkayang 80 orang, Sambas 51 orang, dan Kabupaten Pontianak 26 orang. Sedangkan tahun 2001, sampai akhir September penderita mencapai 311 orang dengan kematian sebanyak 8 orang. Kasus itu juga paling banyak terdapat di Kota Pontianak sebanyak 302 orang, dengan kematian 7 orang. Tahun 2002 penderita DBD di Kota Pontianak meningkat menjadi 1.805 kasus dengan korban meninggal dunia 30 orang. Bahkan pada tahun 2006 menjadi 1.811 orang dengan korban meninggal dunia 29 orang dan tercatat sebagai kejadian luar biasa (KLB) di Kota Pontianak. Kondisi cuaca yang tidak menentu sepanjang 2007 ikut mempengaruhi penurunan penyakit DBD di Provinsi Kalimantan Barat menjadi 457 kasus dan 6 orang diantaranya meninggal. Tahun 2009 kembali tercatat sebagai KLB DBD dengan penderita DBD di Kota Pontianak mencapai 3.187 kasus, dan data yang meninggal 62 orang. Tahun 2010, terjadi penurunan sekitar 300 kasus DBD, namun di tahun 2011 kembali mengalami peningkatan sebanyak lebih dari 1.000 kasus dari tahun sebelumnya. Tahun 2012, tercatat penurunan kasus DBD di Kota Pontianak sekitar seperlimanya. Angka kasus DBD di Kalimantan Barat ini terbilang tinggi, sehingga diperlukan perhatian khusus dalam tindakan penanganan, pencegahan, maupun penyembuhan penyakit DBD. Upaya pencegahan yang sering dilakukan adalah penggunaan insektisida kimia sintetis. Namun cara ini menimbulkan berbagai dampak negatif seperti resistensi serangga sasaran, membunuh serangga non sasaran, dan mengganggu kualitas hidup lingkungan. Adapun upaya pencegahan alternatif yaitu dengan penggunaan repellent (zat penolak serangga). Repellent dapat berupa tanaman utuh yang sengaja ditanam untuk mengusir nyamuk ataupun diformulasikan dalam bentuk sediaan losion sehingga lebih efektif dan efisien dalam penggunaannya. Losion repellent yang telah banyak diproduksi dan digunakan oleh masyarakat banyak mengandung bahan kimia sintetis yang dapat menimbulkan berbagai efek samping. Dengan pertimbangan tersebut, perlu dikembangkan sediaan losion dengan menggunakan bahan aktif dari bahan alam sehingga cenderung lebih aman digunakan. Indonesia yang kaya akan flora mempunyai berbagai jenis tanaman yang berpotensi sebagai obat-obatan maupun bioinsektisida, termasuk repellent. Tanaman yang mengandung minyak atsiri dapat digunakan sebagai obat penolak serangga (repellent) (Quanter., 1997 dalam Martini dkk, 2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Martini,dkk (2002), menunjukkan bahwa kandungan minyak atsiri daun Jeruk Purut (Citrus hystrix) lebih potensial dibandingkan dua jenis daun jeruk lain (Citrus sp) sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti. Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh dan Handayani (2010) menunjukkan bahwa ekstraksi minyak atsiri dari daun Jeruk Purut dengan metode sokletasi menggunakan pelarut n-heksana menghasilkan kadar minyak atsiri yang sangat tinggi. Atas ketiga dasar tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan formulasi sediaan losion dari ekstrak n-heksana Jeruk Purut (Citrus hystrix) sebagai repellent alami.1.2. Perumusan Masalah1) Bagaimana metode ekstraksi dan pembuatan tablet salut enterik ekstrak Lidah Buaya sebagai anti-Rheumatoid Arthritis?2) Apakah tablet salut enterik ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) efektif sebagai anti-Rheumatoid Arthritis?

1.3. Tujuan Penelitian1) Mengekstraksi minyak atsiri dalam daun jeruk purut (Cytrus hystrix) dengan metode sokletasi menggunakan pelarut n-heksana.2) Membuat dan melakukan uji evaluasi losion dari ekstrak daun jeruk purut (Cytrus hystrix).3) Menguji efektifitas losion minyak atsiri daun jeruk purut (Cytrus hystrix) sebagai repellent terhadap nyamuk Aedes aegypti.

1.4. Manfaat PenelitianPenelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai minyak atsiri daun Jeruk Purut (Cytrus hystrix) yang dapat dibuat menjadi sediaan losion repelan sekaligus untuk pemanfaatan bahan alam sebagai alternative utama dalam pengembangan formula obat maupun kosmetik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD)Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau DEN-4 (virus dengue dengan tipe 1-4) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD lainnya, menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan pada system pembekuan darah, sehingga mengakibatkan pendarahan. Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu periode sejak virus dengue menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klisis, antara 3014 hari, rata-rata antara 4-7 hari (Ginanjar, 2004).Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari manusia ke manusia. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia, yaitu beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa demam berakhir, biasanya berlangsung selama 3-5 hari. Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita DBD sebelumnya. Selama periode ini, nyamuk Aedes yang telah terinfeksi oleh virus dengue ini akan tetap infektif selama hidupnya dan potensial menularkan virus dengue kepada manusia yang rentan lainnya. Kedua jenis nyamuk Aedes ini, terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut. Nyamuk Aedes aegypti merupakan penyebar penyakit (vektor) DBD yang paling efektif dan utama karena tinggal di sekitar permukiman penduduk. Adapun nyamuk Aedes albopictus, banyak terdapat di daerah perkebunan dan semak-semak (Ginanjar, 2004).Penularan penyakit DBD ini dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor, yaitu sebagai berikut (Ginanjar, 2004) :1. Faktor pejamu (target penyakit, inang), dalam hal ini adalah manusia yang rentan tertular penyakit DBD.2. Faktor penyebar (vektor) dan penyebab penyakit (agen), dalam hal ini adalah virus DEN tipe 1-4 sebagai agen penyebab penyakit, sedangkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus berperan sebagai vektor penyebar penyakit DBD.3. Faktor lingkungan, yakni lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak penularan penyakit DBD.Diagnosis klinis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO terdiri dari (DepKes, 2005) :1. Kriteria klinis, meliputi: a) demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari; b) terdapat manifestasi perdarahan, sekurang-kurangnya uji Tourniquet (Rumple Leede) positif; c) pembesaran hati; d) syok2. Kriteria laboratories, meliputi : a) trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/l); b) hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20%.

2.2. Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD2.2.1. Klasifikasi Ilmiah (Taksonomi) Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan, yaitu (Soegijanto, 2006) :Filum : ArthropodaKelas : InsectaOrdo : DipteraFamili : CulicidaeGenus : AedesSpesies : Aedes aegypti L

2.2.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegyptiNyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm, dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini (Ginanjar, 2004).Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antarpopulasi, bergantung pada konsisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perpedaan nyata dalam hal ukuran. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil daripada betina, terdapat rambut-rambut tebal pada antenna nyamuk jantan. Kedua cirri ini dapat diamati dengan mata telanjang (Ginanjar, 2004).Soegijanto (2006) menjelaskan morfologi telur, larva, pupa, hingga nyamuk dewasa Aedes aegypti. Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, dan permukaan poligonal. Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Larva Aedes aegypti ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air. Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala-dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca koma. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang. Alat pengayuh terdapat berjumbai panjang dan bulu di nomer 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air.Nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun dari tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Alat mulut nyamuk betina tipe penusuk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus), sedangkan nyamuk jantan bagian mulut lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia, karena itu tergolong lebih menyukai cairan tumbuhan (phytophagus). Nyamuk betina mempunyai antena tipe-pilose, sedangkan nyamuk jantan tipe plumose.

2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegyptiNyamuk Aedes aegypti, seperti halnya culicines lain, meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telurnya berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva (Ginanjar, 2004).Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan dari instar datu ke instar empat memerlukan waktu sekitar lima hari, setelah mencapai instar keempat, larva berubah menjadi pupa di mana larva memasuki masa dorman (inaktif/tidur). Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung (Ginanjar, 2004).

2.3. Mekanisme Penularan DBDNyamuk dengue menggigit manusia pada pagi sampai sore hari, biasanya pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00. Nyamuk mendapatkan virus dengue setelah mengigit orang yang terinfeksi virus dengue. Virus dengue termasuk family Flaviviridae, yang berukuran sangat kecil (35-45 nm). Virus ini dapat tetap hidup di alam lewat dua mekanisme (Suharmiati dan Handayani,2007) : Mekanisme pertama, transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk. Virus dapat ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya, yang nantinya akan menjadi nyamuk. Virus juga dapat ditularkan dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui kontak seksual. Mekanisme kedua, transmisi virus dari nyamuk ke dalam tubuh makhluk vertebrata dan sebaliknya. Yang dimaksud dengan makhluk vertebrata disini adalah manusia dan kelompok kera tertentu.Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau berkembang biak), kemudian akan bermigrasi dan akhirnya sampai di keenjar ludah. Empat hari kemudian virus akan mereplikasi dirinya secara cepat. Apabila jumlahnya sudah cukup, virus akan memasuki sirkulasi darah dan saat itulah manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Reaksi tubuh manusia terhadap virus ini berbeda-beda. Perbedaan reaksi ini juga akan mewujudkan perbedaan penampilan gejala klinis dan penyakit (Suharmiati dan Handayani, 2007)Bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan virus dengue sebagai berikut (Suharmiati dan Handayani, 2007):1. Terjadi netralisasi virus, disusul dengan mengendapnya bentuk netralisasi virus pada pembuluh darah kecil di kulot berupa gejala ruam (bercak merah kecil).2. Terjadi gangguan fungsi p[embekuan darah sebagai akibat dari penurunan jumlah dan kualitas komponen-komponen beku darah yang menimbulkan pendarahan. 3. Terjadi kebocoran pada pembuluh darah yang mengakibatkan keluarnya komponen plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah menuju ke rongga perut berupa gejala ascites (adanya cairan dalam rongga perut) dan cairan di rongga selaput paru berupa gejala efusi pleura (adanya cairan di rongga selaput paru).Jika tubuh manusia hanya member reaksi pertama dan kedua, orang itu dikatakan menderita demam dengue. Sementara itu, jika ketiga reaksi terjadi, berarti orang itu mengalami demam berdarah dengue (DBD). 2.4. Upaya Pencegahan DBD Dengan RepellentBerbagai tindakan preventif (pencegahan) terhadap penyakit DBD dapat dilakukan, salah satunya dengan penggunaan repellent. Repellent adalah bahan-bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menjauhkan serangga dari manusia sehingga dapat dihindari gigitan serangga atau gangguan oleh serangga terhadap manusia. Repellent digunakan dengan cara menggosokkannya pada tubuh atau menyemprotkannya pada pakaian, oleh karena itu harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya menyenangkan pemakainya dan orang sekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit, tidak beracun, tidak merusak pakaian dan daya pengusir terhadap serangga hendaknya bertahan cukup lama. DEET (N,N-diethyl-mtoluamide) adalah salah satu contoh repellent yang tidak berbau, akan tetapi menimbulkan rasa terbakar jika mengenai mata, luka atau jaringan membranous (Soedarto, 1992). Repellent yang berbeda bekerja melawan hama yang berbeda pula. Oleh sebab itu, penting untuk memperhatikan kandungan aktif dari suatu repellent pada label produknya. Repellent yang mengandung DEET (N,N-diethyl-m-toluamide), permethrin, IR3535 (3-[N-butyl-N-acetyl]-aminopropionic acid) atau picaridin (KBR 3023) merupakan repellent untuk nyamuk. DEET tidak boleh digunakan pada bayi yang berumur di bawah 2 bulan. Anak-anak yang berumur dua bulan atau lebih hanya dapat menggunakan produk dengan konsentrasi DEET 30% atau lebih (MDPH, 2008).DEET diserap ke dalam tubuh melalui kulit. Penyerapannya melalui kulit tergantung dari konsentrasi dan pelarut dalam formulasi produk repellent tersebut. Konsentrasi DEET sebesar 15% dalam etanol akan diserap ke dalam tubuh rata-rata 8,4%. Penyerapannya ke dalam tubuh akan dimulai dalam 2 jam setelah penggunaan. Penyerapan DEET juga tergantung pada umur dan massa tubuh. Bayi yang berumur