Forensik Visum

4
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik –Medikolegal Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin NAMA : VISTA RIRIN NIM : C11109350 Tugas Resume SURAT KETERANGAN VISUM ET REPERTUM KORBAN HIDUP DAN MATI Dalam memberikan pelayanan kesehatan atau menyelesaikan permasalahan kesehatan, para dokter dan petugas kesehatan harus berpegang pada 5 prinsip dasar moral, yaitu Autonomy, Beneficence, Non-maleficence, Justice, Honesty. Kelima prinsip tersebut sangat penting karna bagaimanapun usaha kesehatan telah dilakukan dengan maksimal berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran yang ada, namun perjalan penyakit / jejas biologis tetap saja berjalan menuju kematian, oleh sebab itu perjalanan manusia mulai dari awal kehidupannya (proses konsepsi) hingga kematiannya ( mortis) memiliki hak azasi manusia yang sama untuk mendapatkan pelayanan dengan 5 Prinsip Dasar Moral tersebut. Terjadinya jejas atau damage tidak selalu sebagai akibat dari perjalan penyakit, namun tidak jarang disebabkan oleh tindakan manusia yang patologis misalnya perkelaian, penikaman, penembakan serta berbagai tindakan kriminal lainnya, yang dapat bermanifestasi dari luka ringan hingga mengakibatkan kematian pada seseorang. Maka demi memberikan rasa aman dan tentram serta mengungkapkan kebenaran, maka tidak jarang penyidik menghubungi seorang dokter yang bertugas di Puskesmas atau di Rumah sakit

description

report visum forensic

Transcript of Forensik Visum

Page 1: Forensik Visum

Bagian Ilmu Kedokteran Forensik –Medikolegal

Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin

NAMA : VISTA RIRIN

NIM : C11109350

Tugas Resume

SURAT KETERANGAN VISUM ET REPERTUM KORBAN HIDUP DAN MATI

Dalam memberikan pelayanan kesehatan atau menyelesaikan permasalahan kesehatan, para

dokter dan petugas kesehatan harus berpegang pada 5 prinsip dasar moral, yaitu Autonomy,

Beneficence, Non-maleficence, Justice, Honesty. Kelima prinsip tersebut sangat penting karna

bagaimanapun usaha kesehatan telah dilakukan dengan maksimal berdasarkan ilmu pengetahuan

kedokteran yang ada, namun perjalan penyakit / jejas biologis tetap saja berjalan menuju

kematian, oleh sebab itu perjalanan manusia mulai dari awal kehidupannya (proses konsepsi)

hingga kematiannya ( mortis) memiliki hak azasi manusia yang sama untuk mendapatkan

pelayanan dengan 5 Prinsip Dasar Moral tersebut.

Terjadinya jejas atau damage tidak selalu sebagai akibat dari perjalan penyakit, namun tidak

jarang disebabkan oleh tindakan manusia yang patologis misalnya perkelaian, penikaman,

penembakan serta berbagai tindakan kriminal lainnya, yang dapat bermanifestasi dari luka ringan

hingga mengakibatkan kematian pada seseorang. Maka demi memberikan rasa aman dan tentram

serta mengungkapkan kebenaran, maka tidak jarang penyidik menghubungi seorang dokter yang

bertugas di Puskesmas atau di Rumah sakit untuk membuat Surat Keterangan Visum et

Repertum untuk menyelesaikan permasalahan seperti ini. Namun hal tersebut memiliki sejumlah

peraturan dan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 133 KUHAP. Dimana dalam pasal

tersebut mengatur tentang hak penyidik untuk melayangkan surat permintaan visum. Kemudian

selanjutnya dalam pasal 134 KUHAP mengatur tentang hak penyidik untuk meminta dokter

melakuan tindakan lebih lanjut yang dirasa perlu yaitu aoutopsi dilakukan terhadap korban mati

(visum et repertum korban mati) dan pasal 135 KUHAP mengatur tentang hak penyidik

melakukan penggalian jenazah (visum et repertum ekhumasi) untuk kepentingan peradilan.

Selanjutnya peraturan bedah mayat baik klinis maupun anatomis serta transplantasi alat atau

jaringan tubuh manusia diatur dalam peraturan Pemerintah Repoblik Indonesia No. 18 tahun

Page 2: Forensik Visum

1981. Dalam PP RI No.18 Tahun 1981 paasal 2, 3 dan 4 mengatur tentang syarat-syarat dalam

melakukan tindakan bedah mayat.

Proximus Mortis Approach (PMA)

Untuk membantu penyidik mengunggkap penyebab terjadinya jejas / damage (cause of

damage) pada korban hidup dan penyebab kematian (cause of death) pada korban mati, sama-

sama dapat dilakukan pembuatan surat keterangan visum et repertum yang dibuat oleh dokter /

dokter gigi (untuk masalah gigi). Dalam menganalisis patomekanisme terjadinya damage pada

korban hidup maupun sebab kematian pada korban mati, maka konsep pemikaran Translating

Pendulum Hipothesis (dikemukakan oleh Gatot S. Lawrence). Dasar pemikiran hipotesis ini

adalah bahwa berbagai gangguan klinis seperti diabetes, obesitas, hipertensi, dislipidemia, dan

penyakit jantung koroner sebenarnya berakar dari satu permasalahn biologic yang sama, yaitu

“inflamasi” (common soil hypothesis) dan perjalanan gangguan tersebut mulai berlangsung sejak

awal kehidupan manusia, yang membawa sejumlah kerentanan genetik dan kerentanan genetic

tersebut akan selalu berinteraksi dengan lingkungan yang direpresentasikan oleh polah hidup

sehat maupun tidak sehat atau kerentanan genetic tersebut dapat pula berinteraksi dengan

medikamentosa, sehingga bilamana dalam proses perjalan hidup manusia yang secara alamiah

terjadi insidens kekerasan yang mengakibatkan perlukaan / jejas atau damage bahkan hingga

kematian, maka patomekanisme damage yang terjadi tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan

biologi manusia yang senantiasa melakukan penyesuaian dengan keadaan yang baru.

Dalam mengungkapkan sebab terjadi damage (cause of damage) maka yang berhak membuat

keterangan visum et repertum adalah dokter spesialis forensik-medikolegal atau dokter yang

telah diberikan pelatihan forensik-medikolegal. Didalam surat keterangan VeR tersebut ditulis

sesuai dengan keadaan pasien yang dilihat pada saat itu, meskipun pasien telah menjalani

pemeriksaan, pengobatan ataupun pembedahan sebelumnya. Begitu pula dalam memberikan

jawaban ilmiah terhadap sebab kematian dari korban, maka seorang dokter spesialis foerensik

atau dokter yang telah diberikan pelatihan khusus forensic diharapkan dapat digunakan seluruh

pengetahuan ilmu kedokteran dan dibantu dengan alat bantu pemeriksaan penunjang lainnya.

Dalam menuliskan diagnosis damage pada korban hidup maupun sebab kematian pada korban

mati, maka digunakan pendekatan Proximus Morbus untuk kasus korban hidup dan Proximus

Mortis untuk kasus korban mati. Kedua pendekatan tersebut meneliti dasar pendekatan yang

Page 3: Forensik Visum

sama yaitu patomekanisme perjalanan jejas / penyakit hingga terjadinya kematian. Sedangkan

cara penulisan kesimpulan sebab perlukaan / jejas / damage, maka digunakan cara Multiple

Cause of Damage (MCOD). Sehingga dituliskan terlebih dahulu keadaan morbid yang

berhubungan langsung dengan damage (A-1), dan keadaan morbid yang mendahuluinya /

penyebab sebelumnya (A-2, A-3), serta penyebab yang mendasari terjadinya kematian (A-4).

Selain itu dituliskan pula semua keadaan morbid lain yang tidak mempunyai hubungan langsung

dengan penyebab langsung damage tersebut, namun memberikan kontribusi terhadap damage

dari korban (B-1, B-2, B-3, B-4, dst).