Firman Jirami a1d3 12 064
description
Transcript of Firman Jirami a1d3 12 064
Tugas ujian akhir semester
Makalah sastra daerah
“ cerita rakyat “
OLEH :
NAMA : FIRMAN JIRAMI
STAMBUK : A1D3 12 064
KELAS : B
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan semesta alam
karena atas segala nikmat dan ridho-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Cerita Rakyat”.
Terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada sebagai
Pembimbing mata kuliah sastra daerah atas bimbingan, saran, kritik dan nasehat serta
dengan tekun dan penuh kesabaran memberikan petunjuk dan membantu
menyelesaikan makalah kami.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari
kebudayaan, usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan denga
adanya manusia, karena ia diciptakan dan dinikmati manusia. Sastra telah
menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia, baik dari aspek manusia yang
memanfaatkanya bagi pengalaman hidupnya, maupun dari aspek penciptanya,
yang mengekspresikan pengalaman batinnya ke dalam karya sastra.
Ditinjau dari segi pencipta ( pengarang dalam sastra tulis dan pawing atau
pelipur lara dalam sastra lisan), karya sastra merupakan pengalaman batin
penciptanya mengenai kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu dan
situasi budaya tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan
kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta
nilai-nilai yang diamanatkan.
Sastra rakyat ialah kesusastraan yang lahir dikalangan rakyat. Pada
lazimnya, sastra rakyat merujuk kepada kesusastraan rakyat dari pada masa
lampau, yang telah menjadi warisan kepada sesuatu masyarakat. Sastra rakyat
adalah sebagian daripada kehidupan budaya bagi masyarakat lama. Misalnya,
dalam masyarakat Melayu Lama cerita rakyat merupakan satu bentuk hiburan
yang penting untuk orang kampung cipta lewat tokoh-tokoh cerita. Sastra
mempersoalkan manusia dalam berbagai aspek kehidupanya, sehingga karya
sastra berguna untuk mengenal manusia, kebudayaan serta zamannya.
Sastra sering dikatakan (juga sering dituntut) agar mencerminkan
kenyataan (Luxemburg et al., dalam Pasassung dan Ahid Hidayat, 2006:48).
Berpikir tentang sastra, maka perhatian kita akan tertuju pada kenyataan bahwa
sastra sebagai seni. Sastra sebagai cabang dari seni yang kedua unsur integral
dari kebudayaan, usianya sudah semakin tua. Kehadirannya hampir bersamaan
dengan manusia karenanya diciptakan dan dinikmati oleh manusia.
Karya sastra merupakan salah satu sarana untuk mengungkapkan masalah
manusia dan kemanusiaan. Melalui karya sastra, seorang pengarang berusaha
untuk mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah tinggi. Penciptaan
karya sastra dilatarbelakangi oleh keinginan pengarang untuk menyampaikan
sesuatu yang dicita-citakan. Jadi, karya sastra menyelami segala kehidupan
manusia di dunia ini (Kurniawan, 2008:3).
Karya sastra lahir tidak saja karena fenomena-fenomena yang lugas,
tetapi juga dari kesadaran pengarangnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang
imajinatif, fiktif, juga harus mengandung nilai-nilai yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Karya sastra pada dasarnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi
kehidupan sosial. Setiap bangsa atau suku bangsa memiliki kehidupan sosial
yang berbeda dengan suku bangsa lain.. Sastra terlahir atas hasil karya perilaku
manusia dalam kebudayaan yang beranekaragam suku, ras, agama, dan tradisi
yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut memiliki ciri khas tersendiri dan
hal itu memberikan pemasalahan dengan pemahaman serta tanggapan yang
berbeda-beda (Wijayanthi, dalam Kurniawan, 2008: 1).
Karya sastra merupakan hasil dari kreativitas manusia baik secara tertulis
maupun secara lisan. Karya sastra yang tertulis misalnya prosa, cerita pendek,
cerita bersambung, novel dan lain-lain, sedangkan karya sastra lisan adalah
karya sastra yang diwariskan turun-temurun secara lisan, dan salah satu jenis
karya sastra lisan adalah cerita rakyat. Kaitannya dengan ini Soeprapto (dalam
Kurniawan, 2008: 3) menyatakan bahwa salah satu ciri yang membedakan
foklor dengan kebudayaan yang lain adalah cara penyebaran maupun
kelestariannya yang dilakukan secara lisan.
Pemahaman terhadap karya sastra akan memberikan manfaat dalam
kehidupan manusia, misalnya saja mengenai nilai-nilai sejarah, nilai-nilai sosial
dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam karya sastra. Namun, dewasa ini
budaya lokal yang menjadi ciri khas dan jiwa bangsa semakin terkikis oleh
pengaruh budaya asing. Hal itu terjadi karena arus globalisasi yang melibatkan
negara-negara di dunia menjadikan begitu mudahnya budaya-budaya asing
masuk dan berbaur dengan budaya yang secara langsung mempengaruhi tatanan
budaya bangsa. Demikian halnya dengan sastra lisan yang berbentuk cerita
rakyat seolah-olah terlupakan dan enggan dikaji.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan teknologi sekarang ini,
bertambahnya pengetahuan dan berubahnya gaya hidup masyarakat
berpengaruh pada dunia sastra. Banyak bermunculan sastra-sastra modern
dengan asas kebebasan yang sering kali mengabaikan nilai jati diri bangsa.
Bersamaan itu pula cerita rakyat semakin ditinggalkan dan dilupakan dalam
masyarakat. Cerita rakyat sebagai salah satu hiburan dalam masyarakat
tampaknya tenggelam oleh cerita sinetron dan sejenisnya yang disuguhkan di
televisi. Salah satu alasannya karena sinetron lebih nyata alurnya sehingga
mudah dipahami dan dinikmati. Padahal cerita rakyat merupakan tradisi budaya
yang memegang teguh nilai-nilai luhur, didalamnya terdapat terdapat ajaran-
ajaran moral yang bermanfaat bagi generasi penerus untuk menjaga sifat-sifat
budaya bangsa yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Cerita rakyat merupakan sastra lisan yang penyebarannya dilakukan
secara lisan dari mulut ke mulut. Dalam bahasa sehari-hari cerita rakyat lebih
dikenal oleh masyarakat sebagai dongeng. Hutomo (dalam Kurniawan 2008:3)
berpendapat bahwa sastra lisan mengandung nilai budaya nenek moyang, sebab
sastra lisan termasuk bagian dari folklor. Selanjutnya menurut Danandjaja
(1997: 2) folklor adalah sebagian dari kebudayaan suatu kolektif yang tersebar
dan diwariskan secara turun-temurun di antara kolektif macam apa saja secara
tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun disertai
contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Pengertian cerita rakyat.
b. Ciri-ciri cerita rakyat.
c. Jenis-jenis cerita rakyat.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan makalah ini adalah agar makalah ini bisa di jadikan
referensi dan pedoman bagi pembaca.
1.4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut.
1. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang cerita
rakyat.
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang cerita
rakyat yang ada disetiap daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Tentang Sastra
Karya sastra pada dasarnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi
kehidupan sosial. Sastra terlahir atas hasil karya perilaku manusia dalam
kebudayaan yang beranekaragam suku, ras, agama, dan tradisi yang
berbedabeda. Keanekaragaman tersebut memiliki ciri khas tersendiri dan hal itu
memberikan pemasalahan dengan pemahaman serta tanggapan yang berbeda-
beda (Wijayanthi, dalam Kurniawan 2008:1).
Membahas tentang sastra, begitu banyak para ahli mengemukakan
batasan-batasannya. Para ilmuwan mengemukakan versi masing-masing yang
pada umumnya memberikan gambaran kehidupan manusia dalam kurun waktu
tertentu.
Sumardjo (1989:11) mengemukakan bahwa tidak mungkin memberikan
defenisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang
kita jumpai. Sastra adalah sebuah nama dengan alasan tertentu dalam suatu
lingkungan kebudayaan.
Untuk lebih jelasnya berikut pendapat dua para ahli sastra :
1. Jakob Sumardjo; sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat dan keyakinan dalam suatu
bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
2. Perkamin; kesusastraan berdasarkan arti katanya adalah semua tulisan atau
ungkapan yang indah yang arti didalamnya tercapai keseimbangan antara
isinya yang indah dan dilahirkan dengan bahasa yang indah pula
(Zulfahnur, dkk. 1997:3).
Karya sastra merupakan hasil dari kreativitas manusia baik secara tertulis
maupun secara lisan. Karya sastra yang tertulis misalnya prosa, cerita pendek,
cerita bersambung, novel dan lain-lain, sedangkan karya sastra lisan adalah
karya sastra yang diwariskan turun-temurun secara lisan, dan salah satu jenis
karya sastra lisan adalah cerita rakyat.
2.2. Sastra Lisan
Sebagai data kebudayaan, sastra dapat dibedakan menjadi dua yaitu
sastra tulis dan sastra lisan (Sumardjo dan Saini, 1997 : 78-79).
Sejenak mari menjelajahi sejarah. Sastra lisan di Indonesia ternyata
berkembang lebih pesat bila dibandingkan dengan sastra tulisan dan literatur
manapun. Sastra adalah sebuah dunia tersendiri yang diciptakan oleh pengarang
untuk diterima, diserap dan ditanggapi oleh masyarakat. Demikian juga sastra
lisan berkembang di masyarakat karena masyarakat menerimanya.
Mengacu pada rumusan Politik Bahasa hasil seminar politik bahasa pada
tahun 1999 di Bogor, sastra daerah, sastra berbahasa daerah dan merupakan
unsur kebudayaan daerah, merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Sastra
daerah merupakan bukti historis kreativitas masyarakat daerah. Karena itu,
sastra lisan perlu didokumentasikan, sehingga sastra lisan tidak hilang dan
punah ditelan zaman. Sastra lisan didokumentasikan merupakan bagian dari
pelestarian kesusastraan daerah. Sastra lisan hadir sebagai bagian dari sastra
daerah. Etika didalamnya bagian terpenting untuk disajikan kepada
pembacanya.
Cerita rakyat memang terjadi apa adanya, tidak diadakan. Kebenaran itu
merefleksi kehidupan manusia. Sastra adalah ungkapan kreatif terpilih manusia,
mengandung inti pati pikiran, hasrat, suatu cita-cita yang diberi bentuk. Tidak
secara gamblang menunjukkan inti pati. Sastra lisan, hasil dari kultural
masyarakatnya. Realitas kultural dan historis kita sebut karya sastra tidak
berhenti di dalam teks. Teks hanya salah satu unsur dalam suatu relasi. Cerita
rakyat dikembangkan dan didokumentasikan bukan menghilangkan makna
sastra lisan.
2.3. Cerita rakyat
Cerita rakyat adalah cerita zaman dahulu yang hidup di masyarakat dan
diwariskan secara turun-temurun atau secara lisan dan berkembang dalam
masyarakat. Cerita rakyat dibedakan menjadi :
1. Legenda
Legenda merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang punya
cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi.
Contoh, Cerita Si Malin Kundang, Gunung Tangkuban Perahu, Dongeng
Banyuwangi, Dongeng Gunung Batok,Dongeng Rawa pening, dan
sebagainya.
2. Sage
Sage merupakan cerita rakyat yang didasarkan peristiwa sejarah yang sudah
bercampur dengan fantasi rakyat.
Contoh : Hikayat Hang Tuah, Syariah Melayu, Ciungwanana, dan
sebagainya.
3. Mite
Mite merupakan cerita rakyat yang didasarkan peristiwa atau kejadian
dikalangan rakyat yang berdasarkan pada kepercayaan lama, terutama yang
berhubungan dengan dewa-dewi, roh halus, atau kekuatan gaib.
Contoh : Nyi Roro Kidul, Jaka Tarub, dan sebagainya.
4. Fabel
Fabel merupakan cerita rakyat yang menggambarkan watak dan budi
manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang.
Contoh : Cerita Kancil yang Cerdik, Hikayat Kalila danDurina, Hikayat
Bayan Budiman, dan sebagainya.
5. Paralel
Paralel merupakan cerita rakyat yang tokohnya adalah manusia dan hewan.
Contoh : Anjing yang Loba, Semut dan belalang, Hikayat mahabrata,
Hikayat Ramayana, dan sebagainya.
6. Cerita penggeli hati
Cerita penggeli hati merupakan cerita rakyat yang berisikan kisah lucu atau
jenaka.Contoh : Cerita pak kodok, cerita pak belalang, cerita pak pander,
cerita lebai malang dan sebagainy
7. Hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra karya prosa lama yang isinya
berupa cerita, kisah, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan
tentang kepahlawanan seseorang, lengkap dengan keanehan, kekuatan/
kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama.
Macam-macam Hikayat berdasarkan asalnya, diklasifikasikan menjadi 4 :
a) Melayu Asli
Hikayat Hang Tuah (bercampur unsur islam)
Hikayat Si Miskin (bercampur unsur islam)
Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat Malim Deman
b) Pengaruh Jawa
Hikayat Panji Semirang
Hikayat Cekel Weneng Pati
Hikayat Indera Jaya (dari cerita Anglingdarma)
c) Pengaruh Hindu (India)
Hikayat Sri Rama (dari cerita Ramayana)
Hikayat Perang Pandhawa (dari cerita Mahabarata)
Hikayat Sang Boma (dari cerita Mahabarata)
Hikayat Bayan Budiman
d) Pengaruh Arab-Persia
Hikayat Amir Hamzah (Pahlawan Islam)
Hikayat Bachtiar
Hikayat memiliki iri-ciri sebagai berikut :
1. Anonim : Pengarangnya tidak dikenal
2. Istana Sentris : Menceritakan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan
istana/ kerajaan
3. Bersifat Statis : Tetap, tidak banyak perubahan
4. Bersifat Komunal : Menjadi milik masyarakat
5. Menggunakan bahasa klise : Menggunakan bahasa yang diulang-ulang
6. Bersifat Tradisional : Meneruskan budaya/ tradisi/ kebiasaan yang
dianggap baik
7. Bersifat Didaktis : Didaktis moral maupun didaktis religius (Mendidik)
8. Menceritakan Kisah Universal Manusia : Peperangan antara yang baik
dengan yang buruk, dan dimenangkan oleh yang baik
9. Magis : Pengarang membawa pembaca ke dunia khayal imajinasi yang
serba indah.
Sifat Cerita Rakyat
Disampaikan secara lisan. Satu sifat sastra rakyat yang utama terletak pada
cara penyampaiannya. Pada lazimnya sastra rakyat disampaikan melalui
pertuturan. Ia dituturkan secara individu kepada indivdu yang lain atau
sekumpulan individu yang lain. Misalnya seorang datuk akan menuturkan
suatu cerita kepada seorang bapak, seterusnya dari seorang bapak dituturkan
kepada seorang cucu. Selain itu, ia juga disampaikan oleh seorang yang
profesional, yang kerjanya "bercerita" kepada anggota masyarakat yang
lain. Dalam masyarakat melayu, profesional ini dikenali sebagi "tok cerita"
ataupun "pawang", yang telah menghafal cerita-cerita tertentu daripada
seorang guru, untuk menyampaikan cerita dengan cara yang menarik
kepada orang kampung, untuk menghiburkan orang kampung yang
berkenaan.
Seringkali kali mengalami perubahan. Sastra rakyat merupakan suatu yang
dinamik, di mana ia akan mengalami pokok tambah ataupun , menurut
peredaran zaman. Daripada itu, kita boleh menjumpai berbagai variasi
untuk suatu cerita rakyat di tempat yang berlain. Malahan, bagi seorang tok
cerita, beliau mungkin akan melakukan perbuahan ke atas ceritanya secara
spontan, semasa menyampaikan cerita kepada khalayak.
Merupakan kepunyaan bersama. Soal hak cipta tidak wujud pada sastra
rakyat. Tiada siapa-siapa yang akan mengaku bahwa dialah pengarang bagi
cerita rakyat yang tertentu. Bagi tok cerita ataupun pelipurlara yang
kerjanya bercerira, beliau juga tidak mengakui dirinya sebagai pengarang
cerita berkenan, melainkan meletakkan kepengarangan cerita berkenan
kepada seorang individu yang anonmious, yakni Yang punya Cerita.
Sering memiliki unsur irama. Cerita pelipur lara yang disampaikan oleh
pawang ataupun tok cerita senantiasa melindungi unsur irama yang
menarik. Pengaturan ini adalah supaya cerita itu lebih menghibur
bersamping untuk memudahkan tok cerita menghafal.
“Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Anawangguluri dan Oheo”
Dahulu, ada seorang pemuda bernama Oheo. Pekerjaannya sehari-hari adalah
bertani. Pada suatu hari Oheo membuka kebun di hutan. Kebun itu ditanami tebu
yang tumbuh dengan subur. Pada saat tanaman tebunya tua, banyak burung nuri yang
turun mandi di sungai dekat kebun itu. Sebelum mandi, burung-burung itu lebih
dahulu makan tebu. Sehingga ampas tebu berhamburan di tepi sungai. Melihat
kejadian itu Oheo sangat kesal dan jengkel pada burung-burung itu. Suatu ketika
Oheo pergi mengintip burung-burung itu. Namun apa yang dilihatnya sungguh
membuatnya tercengang. Ia melihat tujuh orang bidadari cantik sedang mandi.
Bidadari-bidadari itu turun dari khayangan. Pakaian mereka diletakkan di pinggir
sungai.
Dengan hati berdebar-debar, Oheo merayap menuju ke tempat pakaian-
pakaian itu. Dengan cepat Oheo mengambil sebuah pakaian bidadari itu. Kemudian ia
segera pulang. Disimpannya pakaian itu dalam ujung kasau bambu dekat jendela.
Sesudah itu, Oheo kembali mengintip perilaku para bidadari yang sedang mandi.
Usai mandi, para bidadari bergegas mengenakan pakaian mereka masing-
masing. Yang sudah selesai berpakaian langsung terbang tanpa menunggu yang
lainnya. Satu demi satu mereka terbang. Tinggallah seorang bidadari yang mondar–
mandir mencari pakaiannya. Tentu saja tidak tertemukan. Tidak berapa lama
muncullah Oheo, si biang keladi yang menyebabkan sang bidadari terus berendam di
dalam air. Sambil tetap berendam dalam air karena malu, Anawangguri nama
bidadari itu bertanya kepada Oheo. ?Apakah engkau melihat pakaianku disini??
Tidak,? jawab Oheo.
Anawangguluri semakin sedih. ?Tolonglah aku, Oheo. Kasihanilah daku.
Kakak-kakakku sudah terbang semua,? tutur Anawangguluri.
Lama-kelamaan Oheo merasa iba kepadanya. ?Aku akan memberikan
pakaianmu, asal kau mau kawin denganku,? tuturnya.
Anawangguluri menerima permintaan itu. Namun, Anawangguluri minta
kepada Oheo, ?Bila di kemudian hari kita mempunyai anak, maka kaulah yang
membersihkan kotoran anak kita,? tutur Anawangguluri.
Oheo pun menerima permintaannya. Maka kawinlah mereka. Sejak saat itu
hidup mereka aman dan bahagia.
Pada suatu ketika lahirlah anak mereka. Seperti dalam perjanjian semula
bahwa, setiap anaknya buang air besar maka Oheolah yang membersihkannya.
Begitulah seterusnya.
Sekali waktu, Oheo sedang mengayam atap di halaman rumah. Sementara itu
anak mereka buang air besar lagi. Maka Anawangguluri memanggil suaminya.
Namun, kali ini dia menolak panggilan istrinya. Berkali-kali istrinya memanggil,
tetapi tetap ditolaknya, bahkan Oheo berkeras dan menyuruh istrinya untuk
membersihkan kotoran itu. Anawangguluri sempat berkata, ?Apakah kamu telah
melupakan janjimu dahulu sebelum kita kawin?? Oheo menjawabnya dengan nada
keras, ?Tak usah mengingat lagi yang lama.? Anawangguluri bertambah sedih.
Sambil berderai air matanya, ia membersihkan kotoran anaknya itu.
Kemudian Anawangguluri berdiri ke depan jendela sambil menyaksikan
pemandangan alam. Pandangan matanya dilemparkan kesana kemari, melihat ke
angkasa. Tiba-tiba terlihat olehnya pakaiannya diujung kasau bambu itu. Dengan
tangan yang gemetar, perlahan-lahan ia menarik pakaian itu.
Kiranya pakaian itu masih utuh. Alangkah senang hatinya ia duduk kembali
menggendong anaknya sambil mencumbuinya. Diciumi anaknya, sesudah itu
diletakkannya kembali di lantai seraya memanggil suaminya.
Oheo, jagalah anakmu ini, aku akan kembali ke kayangan.?
Mula-mula dia tidak percaya akan hal itu. Setelah dua kali dipanggilnya, Oheo
beranjak dari duduknya halaman rumah. Sampai di dalam rumah, Anawangguluri
telah terbang lagi dan hinggap di pohon pinang. Oheo mengejarnya terus, tetapi sia-
sia. Anawangguluri terbang terus dan hinggap lagi di pohon kelapa. Akhirnya, ia
terbang ke angkasa kembali ke kayangan. Oheo merasa sedih, menyesali
perbuatannya. Ia merasa bingung karena ditinggali anak kecil. Bagaimana cara
merawat anak kecil, ia sendiri bingung. Itu sebabnya, ia berusaha berkeliling minta
bantuan kepada siapa saja yang mau mengantarkannya ke angkasa. Berhari-hari ia
keliling, tetapi belum ada yang mengaku bisa mengantarnya ke angkasa.
Pada suatu ketika ada sejenis tumbuhan bernama ?Ue-Wai? mengaku mau
mengantarkan Oheo ke khayangan. Tetapi dengan syarat Oheo harus membuatkan
Ue-Wai cincin untuk dipasang pada setiap tangkai daun.
Permintaan Ue-Wai itu dipenuhinya. Ue-Wai menyuruh Oheo duduk di
tangkainya kemudian menggendong anaknya erat-erat. Sebelum tumbuhan itu
menjulang ke angkasa, lebih dahulu, Ue-Wai memberikan petunjuk kepada Oheo. ?
Setelah kita berada di angkasa, kita akan mendengarkan bunyi keras. Bunyi pertama,
tutup matamu erat-erat. Bunyi kedua bukalah matamu!? Petunjuk itu harus diikutinya.
Benar juga, setelah berada diangkasa, bunyi keras meledak. Mata Oheo ditutupnya
erat-erat. Bunyi kedua, membuka mata. Alangkah kagetnya ketika itu sudah berada di
halaman istana raja khayangan. Sementara itu, putri-putri raja sedang berjalan-jalan
disekitar istana. Salah seorang dari putri itu, melihat Oheo sedang duduk di halaman.
Kejadian itu segera dilaporkan kepada ayahnya, Tuan Raja. ?Coba perhatikan
manusia itu, jangan-jangan Oheo bersama anaknya,? titah Raja.
Setelah diperhatikan ternyata benar, bahwa yang datang itu adalah manusia
dari bumi bernama Oheo, yang sedang mencari istrinya. Oheo tidak diperkenankan
bertemu dengan istrinya, Anawangguluri, kecuali kalau lulus dalan ujian berat. Ujian
itu adalah Oheo harus mampu menumbangkan batu besar, sebesar istana, kemudian
harus memungut bibit padi yang dihambur di padang rumput tanpa sisa dan masih ada
ujian berat lainnya. Ujian pertama lulus dengan dibantu oleh tikus, burung dan hewan
lain. Ujian yang terberat lagi, yaitu harus dapat bertemu dengan istrinya dalam sebuah
tempat tidur di waktu malam gelap gulita. Sementara itu tempat tidur sama
bentuknya.
Ia diperintahkan oleh raja. Ia harus menemukan istrinya. Kalau tidak dapat,
jiwanya akan terancam. Disaat itulah ia merasa tidak mampu memecahkan masalah.
Sementara ia termenung, datanglah kunang-kunang seraya bertanya kepada Oheo. ?
Apa gerangan yang membuat engkau bingung??
Aku mempunyai masalah berat. Sulit rasanya mencari istriku di dalam gelap
gulita ini, sementara bentuk tempat tidur sama, muka istriku dengan saudara-
saudaranya yang lain itu sama pula.?Jangan khawatir, ikutilah aku. Aku terbang,
dimana aku hinggap disitulah istrimu.? Hati Oheo sungguh gembira sekali
mendengar petunjuk itu. Ia memperhatikan kunang-kunang terbang. Tiba-tiba
kunang-kunang itu hinggap pada sebuah tempat tidur. Dengan hati gemetar, Oheo
masuk ketempat tidur itu. Ternyata, memang benar disitulah istrinya. Anaknya pun
merasa bahagia dapat tidur bersama ibunya lagi.
Keesokan harinya sang raja memerintahkan mereka untuk segera turun ke
bumi. Anawangguluri merasa sedih hati ketika mendengar perintah ayahnya itu.
Sebaliknya, Oheo merasa gembira sekali. Mereka segera mempersiapkan peralatan
secukupnya untuk segera turun ke bumi. Setelah dipersiapkan segala sesuatunya,
turunlah mereka ke bumi dengan tali. Dalam sekejap saja mereka telah sampai di
bumi dengan selamat.
Sampai dibumi, Oheo bersama keluarganya mulai membentuk kembali
keluarga baru. Oheo mulai membuka kebun baru. Kebun itu ditanami dengan padi
dan tanaman lainnya. Dengan hasil kebun itu, Oheo bersama keluarganya hidup
sejahtera dan bahagia.
Cerita ini erat kaitannya dengan lingkungan hidup. Ketika Oheo dalam
kesulitan ia ditolong oleh tanaman, hewan dan serangga hingga sampai di khayangan.
Ini disebabkan Oheo memang akrab dengan lingkungan hidup dan selalu menjaga
alam sekitar dan melestarikannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat
merupakan cerita zaman dahulu dan di wariskan kepada masyarakat secara
turun temurun. Salah satu sifat sastra rakyat yang utama terletak pada cara
penyampaiannya. Pada lazimnya sastra rakyat disampaikan melalui pertuturan.
Ia dituturkan secara individu kepada indivdu yang lain atau sekumpulan
individu yang lain. Misalnya seorang datuk akan menuturkan suatu cerita
kepada seorang bapak, seterusnya dari seorang bapak dituturkan kepada
seorang cucu. Selain itu, ia juga disampaikan oleh seorang yang profesional,
yang kerjanya "bercerita" kepada anggota masyarakat yang lain. Dalam
masyarakat melayu, profesion ini dikenali sebagai "tok cerita" ataupun
"pawang", yang telah menghafal cerita-cerita tertentu daripada seorang guru,
untuk menyampaikan cerita dengan cara yang menarik kepada orang kampung,
untuk menghibur orang kampung yang berkenan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Grafindo KTSP. 2006. perpustakaan Man 2 Model: Medan.
Bunandra, Murti. 1998. Penulisan Cerita Rakyat. Jakarta: Balai Pustaka.
Danadjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Aksara.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metoologi Penelitian Folklor : Konsep, Teori, dan
Aplikasi, Yogyakarta: Media Press.
Kurniawan, Herlan. 2008. Cerita Rakyat Kahyangan di Kelurahan Dlepih Kecamatan
Tirtomoyo
Kabupaten Wonogiri dan Fungsinya bagi Masyarakat: Tinjauan Resepsi. Surakarta:
Skripsi Universitas Surakarta.
Sumardjo, Jakob. 1998. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.
Suyitno. 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksigegis. Yogyakarta: Balai Pustaka.
Zulfahnur, dkk. 2006. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.i, Yogyakarta: Media Press.