Fiqh_Madzhab_Negara

19
FIQH MADZHAB NEGARA Pembacaan Politik Hukum atas Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Marzuki Wahid Peneliti Fahmina-institute Cirebon dan Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Alamat e-mail: [email protected] & [email protected] A. SIGNIFIKANSI DAN SEJARAH GAGASAN Sebelum Inpres Nomor 1 Tahun 1991 lahir, istilah "kompilasi" belum dikenal luas dalam tata hukum nasional kita. Politik hukum Orde Baru dalam GBHN juga tidak mengenal istilah tersebut. GBHN hanya akrab dengan istilah kodifikasi dan unifikasi. Dengan demikian, kehadiran Kompilas Hukum Islam (KHI) bisa bermakna dalam posisi yang ambigous; menambah khazanah baru bagi perkembangan tata hukum nasional, atau justru sebaliknya dipandang tidak sesuai dengan bangunan politik yang ada. Adakah persamaan dan perbedaan antara istilah kompilasi dengan kodifikasi? Secara etimologis, “kompilasi” berarti suatu kumpulan atau himpunan, 1 atau kumpulan yang tersusun secara teratur. 2 “Kompilasi” diambil dari kata compilare [bahasa latin] 3 yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama. Kata yang berasal dari bahasa latin itu kemudian dalam bahasa Inggris menjadi compilation yang berarti karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain, 4 dan dalam bahasa Belanda menjadi compilatie yang mengandung arti kumpulan dari lain-lain karangan. 5 Dalam kamus Webster's Word University, “kompilasi” [compile] didefinisikan dengan: "mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia ke dalam bentuk yang teratur [baik], seperti dalam bentuk sebuah buku, mengumpulkan berbagai macam data." 6 Sedangkan dalam kamus New Standard yang disusun oleh Funk dan Wagnalls, “kompilasi” [compilation] diartikan sebagai berikut : 1. Suatu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan untuk membuat sebuah buku, tabel, statistik atau yang lain dan mengumpulkannya seteratur mungkin setelah sebelumnya bahan-bahan tersebut diseleksi. 2. Sesuatu yang dikumpulkan seperti buku yang tersusun dari bahan-bahan yang diambil dari sumber buku-buku. 3. Menghimpun atau proses penghimpunan. 7 De Tollenaere dalam kamusnya, Van Dale's Xileuw Groat Waardenbook Der Nederlandse Taal, mengartikan “kompilasi” [compilatie] dengan: "mengumpulkan bagian-bagian dari bahan-bahan yang berserakan ke dalam bentuk baru yang teratur. 8 1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), cet. XVII (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 132. 2 Depdikbud. RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm. 453. 3 C. Kruyskampen F. De Tollenaere, Van Dale's Xileuw Groart Waardenbook Der Nederlandse Taal, (Gravenhage : Martimus Niijhoff, 1950), hlm. 345. 4 S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris, (Jakarta : Hasta, 1982), hlm. 88. 5 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1981), hlm. 123. 6 Lewis Mulfored Adms dkk. (Ed.), Webster's Word University Dictionary, (Washington DC : Publisher Company Inc., 1965), hlm. 213. 7 Funk and Wagnalls, New Standard Dictionary of The English Language, (tp. : ttp., tt.), hlm. 542. 8 C. Kruyskamp en F. De Tollenaere, Van Dale's., hlm. 349.

Transcript of Fiqh_Madzhab_Negara

  • FIQH MADZHAB NEGARA Pembacaan Politik Hukum atas Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

    Marzuki Wahid Peneliti Fahmina-institute Cirebon

    dan Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Alamat e-mail: [email protected] & [email protected]

    A. SIGNIFIKANSI DAN SEJARAH GAGASAN

    Sebelum Inpres Nomor 1 Tahun 1991 lahir, istilah "kompilasi" belum dikenal luas dalam tata hukum nasional kita. Politik hukum Orde Baru dalam GBHN juga tidak mengenal istilah tersebut. GBHN hanya akrab dengan istilah kodifikasi dan unifikasi. Dengan demikian, kehadiran Kompilas Hukum Islam (KHI) bisa bermakna dalam posisi yang ambigous; menambah khazanah baru bagi perkembangan tata hukum nasional, atau justru sebaliknya dipandang tidak sesuai dengan bangunan politik yang ada. Adakah persamaan dan perbedaan antara istilah kompilasi dengan kodifikasi?

    Secara etimologis, kompilasi berarti suatu kumpulan atau himpunan,1 atau kumpulan yang tersusun secara teratur.2 Kompilasi diambil dari kata compilare [bahasa latin]3 yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama. Kata yang berasal dari bahasa latin itu kemudian dalam bahasa Inggris menjadi compilation yang berarti karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain,4 dan dalam bahasa Belanda menjadi compilatie yang mengandung arti kumpulan dari lain-lain karangan.5

    Dalam kamus Webster's Word University, kompilasi [compile] didefinisikan dengan: "mengumpulkan bahan-bahan yang tersedia ke dalam bentuk yang teratur [baik], seperti dalam bentuk sebuah buku, mengumpulkan berbagai macam data."6

    Sedangkan dalam kamus New Standard yang disusun oleh Funk dan Wagnalls, kompilasi [compilation] diartikan sebagai berikut : 1. Suatu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan untuk membuat sebuah buku, tabel,

    statistik atau yang lain dan mengumpulkannya seteratur mungkin setelah sebelumnya bahan-bahan tersebut diseleksi.

    2. Sesuatu yang dikumpulkan seperti buku yang tersusun dari bahan-bahan yang diambil dari sumber buku-buku.

    3. Menghimpun atau proses penghimpunan.7 De Tollenaere dalam kamusnya, Van Dale's Xileuw Groat Waardenbook Der Nederlandse

    Taal, mengartikan kompilasi [compilatie] dengan: "mengumpulkan bagian-bagian dari bahan-bahan yang berserakan ke dalam bentuk baru yang teratur.8

    1John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian Dictionary), cet.

    XVII (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 132. 2Depdikbud. RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1990), hlm. 453.

    3C. Kruyskampen F. De Tollenaere, Van Dale's Xileuw Groart Waardenbook Der Nederlandse Taal,

    (Gravenhage : Martimus Niijhoff, 1950), hlm. 345. 4S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris,

    (Jakarta : Hasta, 1982), hlm. 88. 5S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1981), hlm.

    123. 6Lewis Mulfored Adms dkk. (Ed.), Webster's Word University Dictionary, (Washington DC : Publisher

    Company Inc., 1965), hlm. 213. 7Funk and Wagnalls, New Standard Dictionary of The English Language, (tp. : ttp., tt.), hlm. 542.

    8C. Kruyskamp en F. De Tollenaere, Van Dale's., hlm. 349.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    2

    Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas kompilasi menurut pemahaman bahasa merupakan suatu proses kegiatan pengumpulan berbagai bahan dan data yang diambil dari berbagai sumber buku untuk disusun kembali ke dalam sebuah buku baru yang lebih teratur dan sistematis. Proses pengambilan ini dilakukan dengan seleksi sesuai dengan kebutuhan.

    Memperhatikan aneka ragam pengertian di atas, kompilasi tampaknya tidak mesti selalu berupa produk hukum yang mempunyai kepastian dan kesatuan hukum sebagaimana halnya kodifikasi. Akan tetapi dalam konteks hukum, kompilasi merupakan sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum. Dalam pengertian ini, kompilasi memang berbeda dengan kodifikasi, namun secara substansial keduanya sama-sama sebagai sebuah buku hukum.9

    Perbedaannya terletak pada adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Dalam kodifikasi, undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut dibukukan secara sistematis dan lengkap kemudian dituangkan ke dalam bentuk Kitab Undang-undang [wetboek],10 seperti Kitab Undang-undang Pidana, KUH Perdata, dan lain-lain. Jadi, di samping terjadi kesatuan hukum dan penyederhanaan hukum dalam satu buku, kodifikasi selalu mempunyai kekuatan dan kepastian hukum untuk menciptakan hukum baru atau mengubah yang telah ada.11

    Adapun KHI yang telah ditetapkan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tidak menyebutkan secara tegas makna KHI yang dimaksud. Busthanul Arifin memahami KHI adalah dengan cara mengumpulkan pendapat-pendapat dalam masalah fiqh yang selama ini dianut oleh umat Islam Indonesia. Hasil akhir dari upaya pengumpulan ini diwujudkan dengan bentuk kitab hukum dengan bahasa Undang-Undang. Kitab inilah yang nanti menjadi dasar bagi setiap putusan Peradilan Agama.12

    Untuk pertama kali, gagasan penyusunan KHI di Indonesia, menurut Abdurrahman13 dilontarkan oleh Munawir Sadzali, Menteri Agama saat itu. Ide itu dikatakannya pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sedangkan dalam buku Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang dikeluarkan oleh Ditbinbapera Depag RI, disebutkan bahwa pencetus gagasan KHI adalah Busthanul Arifin, Hakim Agung dan Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI saat itu.14 Gagasannya adalah tentang pembentukan KHI lewat Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Diakuinya bahwa ide itu timbul setelah Mahkamah Agung berjalan dua setengah tahun membina bidang teknis yustisial Peradilan Agama.15

    9H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Akademika Pressindo, 1992),

    hlm. 12. 10

    Kitab UU (wetboek) berbeda dengan UU (wet). Misalnya bentuk Kitab UU Perdata (Burgerlijk

    Wetboek) berbeda dengan UU Perkawinan, UU Pokok Agraria dan lain-lain. UU biasanya hanya mencakup salah

    satu sektor saja dari hukum. Sedangkan kodifikasi meliputi bidang hukum yang lebih luas, seperti KUH Perdata

    berarti meliputi bidang hukum perdata secara keseluruhan. 11

    Lihat J.C.T. Simorangkir, Rudy F. Erwin, dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Cet. IV (Jakarta: Aksara

    Baru, 1987), hlm. 83. Lebih jelasnya baca C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,

    (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hlm. 72-73. 12

    Busthanul Arifin, "Kompilasi: Fiqh dalam Bahasa UU", PESANTREN No. 2/Vol. II/1985, (Jakarta :

    P3M, 1985), hlm. 28-29. 13

    Lihat Bukunya, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hlm. 31. 14

    Ditbinbapera Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Ditbinbapera, 1991/1992),

    hlm. 139. 15

    Busthanul Arifin, Kompilasi: Fiqh dalam Bahasa UU., hlm. 26.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    3

    Berbeda lagi dengan pendapat di dalam buku Prof. Dr. KH. Ibrahim Hosein dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Dalam buku itu tergambar, ide KHI berpangkal dari pemikiran KH. Ibrahim Hossein yang disampaikannya kepada Busthanul Arifin.16

    Dari sini sudah tidak jelas siapa sesungguhnya yang pertama kali mengemukakan ide penyusunan KHI itu. Akan tetapi, dari berbagai literatur yang ada, ide itu muncul sekitar tahun 1985. Pelembagaan ide tersebut dimulai sejak ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Menteri Agama RI tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 21 Maret 1985 di Yogyakarta. Langkah ini merupakan sikap kompromi antara pihak Mahkamah Agung dan Departemen Agama RI.

    Menurut Ismail Sunny, SKB itu adalah prakarsa dari Presiden Soeharto.17 Dalam proyrek ini, kepala negara mempunyai andil yang sangat besar dan cukup menentukan. Sebagai bukti, setelah SKB turun, pada tanggal 10 Desember 1985 Keppres. No. 191/SOSROKH/1985 dan No. 06/SOSROKH/1985 keluar tentang Pelaksanaan Proyek dengan biaya sebesar Rp. 230 Juta. Biaya ini dikeluarkan bukan berasal dari APBN, melainkan dari Presiden Soeharto sendiri.18

    Kemunculan gagasan KHI dilatarbelakangi dan didorong oleh kebutuhan teknis yustisial peradilan Agama. Kebutuhan ini dirasakan oleh Mahkamah Agung selaku pembina teknis yustisial, sejak tahun 1983, saat dimulainya pelaksanaan UU Nomor 14 Tahun 1970 dalam lingkungan peradilan Agama.19 Kebutuhan yang dimaksud adalah adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan peradilan Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, sehingga terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum.20 Di antara hal yang menyebabkannya adalah kesimpangsiuran dan perbedaan pendapat para ulama yang silih berganti mengenai hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama.

    Di samping itu, gagasan itu juga didasari oleh pernyataan Busthanul Arifin, seperti dikutip tim Ditbinbapera, bahwa : 1. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang

    jelas dan dapat dilaksanakan baik oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat. 2. Persepsi yang tidak seragam tentang Syari'ah akan menyebabkan hal-hal :

    a. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam [m anzala Allh].

    b. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan Syari'at itu [tanfdziyyah].

    c. Akibat kepanjangannnya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan lainnya.

    3. Di dalam sejarah Islam pernah dua kali di tiga negara, hukum Islam diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu: a. Di India masa Raja An Rijeb yang membuat dan yang memberlakukan perundang-

    undangan dalam Islam yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri.

    16

    Panitia Penyusunan Biografi, Prof. KH. Ibrahim Hussein dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,

    (Jakarta : Putra Harapan, 1990), hlm. 223-224. 17

    Ismail Sunny, "Kompilasi Hukum Islam Ditinjau Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia",

    Mimbar Hukum No. 04 tahun II 1991, hlm. 2. 18

    PANJI MASYARAKAT No. 502 tahun XXVII, tanggal 1 Mei 1986. 19

    Salah satu alasan tidak dilaksanakannya teknis yustisial ini adalah karena peraturan pelaksanaan UU No.

    14 tahun 1970 bagi lingkungan peradilan Agama belum ada. Sebagai jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan itu

    dibuatkan SKB Ketua MA dan Menag RI No. 01, 02, 03 dan 04/SK/1-1983 dan No. 1, 2, 3 dan 4 tahun 1983.

    Keempat SKB tersebut dijadikan dasar hukum bagi pelaksanan pembinaan itu, sambil menunggu keluarnya UU

    tentang Peradilan Agama. 20

    Ditbinbapera Depag RI, Kompilasi Hukum., hlm. 138-139.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    4

    b. Di Kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majallah Al-Ahkm Al-'Adliyyah.

    c. Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Sudan.21 Jauh sebelum itu, sebetulnya jalan ke arah timbulnya gagasan pembentukan KHI

    telah dilakukan MA bersama Depag RI sejak lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Kebutuhan akan kesamaan pandangan untuk menghindari perbedaan penafsiran terhadap aturan hukum Islam telah dirasakan. Karena itulah, pada tanggal 16 September 1976 dibentuk panitia kerjasama MA-Depag dengan nama Panker Mahagam dengan surat Keputusan Ketua MA No. 04/KMA/1976. Pembentukan kepanitiaan ini untuk mengantisipasi persoalan-persoalan tersebut dan sekaligus untuk mewujudkan kesatuan hukum dan bentuk hukum tertulis bagi hukum Islam yang berlaku dalam masyarakat yang sebagian masih dalam bentuk hukum tidak tertulis. Kerja-kerja yang dilakukan untuk mendekatkan kepada tujuan itu, antara lain : 1. Penyusunan buku himpunan dan putusan peradilan Agama pada tahun 1976. 2. Lokakarya tentang pengacara pada pengadilan Agama pada tahun 1977. 3. Seminar tentang hukum waris Islam pada tahun 1978. 4. Seminar tentang pelaksanaan UU Perkawinan pada tahun 1979. 5. Simposium beberapa bidang hukum Islam pada tahun 1982. 6. Simposium sejarah peradilan agama pada tahun 1982. 7. Penyusunan himpunan nash dan hujjah Syar'iyyah pada tahun 1983. 8. Penyusunan kompilasi peraturan perundang-undangan peradilan agama pada tahun

    1981. 9. Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama I pada tahun 1984. 10. Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama II pada tahun 1985. 11. Penyusunan kompilasi hukum acara peradilan agama III pada tahun 1986. 12. Penyusunan kompilasi hukum NTCR I dan II pada tahun 1985.22

    Dengan demikian, tampak bahwa kemunculan gagasan KHI yang tercatat dalam sejarah dan yang kita terima adalah berada dalam lingkaran pemegang kekuasaan politik (elit politik), yakni kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung) dan kekuasaan eksekutif (Departemen Agama). MA adalah lembaga yudikatif yang bertanggungjawab terhadap teknis yustisial peradilan. Sedangkan Depag saat itu berposisi sebagai lembaga eksekutif yang bertanggungjawab terhadap organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan Agama.23 "Persenyawaan" kebutuhan MA dan kepentingan Depag itulah yang kemudian menghasilkan gagasan pembentukan KHI.

    Akan tetapi, apabila kemunculan KHI ini dipandang sebagai suatu model bagi fiqh yang bersifat khas ke-Indonesia-an, maka jelas gagasan ini diilhami oleh ide-ide pembaharuan hukum Islam Hazairin (1905-1975) dan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy (1906-1976). Baik Hazairin maupun Hasbi terlampau sering melontarkan pendapatnya mengenai perlunya disusun semacam fiqh Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia sebagaimana juga pernah berkembang di negeri lain seperti adanya fiqh Hijziy, Mishriy, Irqiy, dan lain lain.24

    21

    Ditbinbapera, Kompilasi Hukum Islam., hlm. 139-140. 22

    Ibid., hlm. 134-135. 23

    Lihat pasal 11 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970. 24

    Bismar Siregar, "Prof. Dr. Hazirin, Seorang Mujahidin Penegak Hukum Berdasar Ketuhanan Yang

    Maha Esa", dalam Pembaharun Hukum Islam di Indonesia in Memorium Prof. Dr. Hazairin, (Jakarta: UI Press,

    t.t.), hlm. 4. Bandingkan dengan Yudian W. Asmin, "Reorientation of Indonesian Fiqh", dalam Yudian W. Asmin

    (Ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta : Forum Studi Hukum Islam Fak. Syari'ah IAIN Suka, 1994), hlm.

    17-29 ; Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, cet. IV (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm. 117-136. Lihat juga

    TM. Hasby Ash-Shiddieqy, Syari'at Islam Menjawab Tantangan Zaaman, (Jakarta : Bulan Bintang, 1966), hlm.

    43.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    5

    B. PROSES PEMBENTUKAN 1. Pelaksana Proyek

    Seperti tersebut di atas, gagasan KHI berasal dari MA RI yang kemudian didukung penuh oleh Depag RI. Sebagai realisasi dari gagasan tersebut, MA RI bersama Depag RI memprakarsai adanya Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, suatu proyek yang akan bertanggungjawab atas pembentukan KHI. Dengan demikian, pembentukan KHI dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan SKB Ketua MA dan Menag RI25 Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 pada tanggal 25 Maret 1985.

    Pembentukan tim ini, seperti tersebut dalam konsideran SKB, didasarkan pada fungsi pengaturan MA RI terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya terhadap lingkungan peradilan Agama. Penjabaran dari fungsi itu salah satunya adalah mengadakan KHI yang selama ini menjadi hukum materiil di Pengadilan Agama.26 Selain itu juga didasarkan pada UU Nomor 13 tahun 1965 dan UU Nomor 14 Tahun 1970.27 Atas dasar hal tersebut, SKB menunjuk dan mengangkat para pejabat MA dan Depag RI sebagai pelaksana proyek tersebut.28

    Berdasarkan susunan pelaksana proyek seperti termaktub dalam SKB, tampak bahwa penempatan personil didasarkan pada jabatan struktural yang bertanggungjawab terhadap pembinaan Peradilan Agama, dengan menggunakan asas perimbangan [equilibrium] dari dua instansi pemrakarsa, yakni keseimbangan personil di Depag dan MA RI. Dari 16 personil yang menduduki 11 jabatan, 8 personil dari MA RI dan 7 personil dari Depag RI. Sedangkan 1 personil, sisanya, dari MUI, yakni KH. Ibrahim Husein, LML. 2. Pihak-pihak yang Dilibatkan dan Intensitas Keterlibatannya

    Selain para birokrat dari Depag dan Hakim Agung dari MA RI yang turut terlibat dalam proses penyusunan KHI adalah para ulama, dan para cendikiawan/intelektual muslim. Kedua pihak yang disebut terakhir masuk dalam lingkaran proses penyusunan, karena sengaja dilibatkan oleh Tim Pelaksana Proyek atau kedua pihak yang disebut pertama. Dari sini, intensitas keterlibatan mereka dalam proses pembentukan KHI mempunyai nilai yang berbeda-beda. Peran dan fungsi dalam pengambilan keputusan juga berlainan. Berikut ini deskripsi peran, fungsi dan intensitas keterlibatan masing-masing.

    a. Birokrat Depag dan Hakim Agung MA RI Kedua pihak ini selain sebagai penggagas dan pemrakarsa pembentukan KHI, peran

    yang terpenting adalah sebagai penentu kebijaksanaan.29 Karena posisi mereka sebagai Tim Pelaksana Proyek, maka segala kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan KHI ditanganinya.30 Peluang-peluang strategis dalam proses penyusunan KHI dikuasainya.

    Dengan demikian, kedua pihak inilah tim inti pembentuk KHI, pemeran paling dominan dan pihak yang terlibat paling intensif. Sedangkan pihak-pihak lain yang turut

    25

    Ketua MA RI saat itu adalah Ali Said, SH. dan Menteri Agamanya adalah H. Munawwir Sadzali, MA. 26

    Konsideran menimbang pada SKB Ketua MA RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25

    Tahun 1985. 27

    Konsideran mengingat, Ibid. 28

    Susunan Pelaksana Proyek tercantum dalam dictum pertama pada SKB Ketua MA RI dan Menteri

    Agama tersebut. 29

    Akan tetapi M. Yahya Harahap mengatakan bahwa finalnya rumusan KHI bukan ditentukan secara

    mutlak di tangan panitia. Sebab, untuk menetapkannya dimintakan justifikasi dari para Ulama melalui Seminar

    yang bersifat Nasional. Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No.

    7 Tahun 1989 (Jakarta : Pustaka Kartini, 1990), hlm. 95. 30

    Seperti penyelenggaraan wawancara, perumusan dari hasil penelitian dan pengkajian kitab, lokakarya,

    studi banding dll. Adapun pihak-pihak lain yang terlibat dalam kegiatan tersebut bersifat membantu.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    6

    terlibat hanya bersifat menunjang, membantu, dan melengkapi terutama dalam memberikan inputs data.

    b. Ulama Ulama yang dimaksud dalam pengertian ini adalah mereka yang mempunyai

    otoritas untuk mengambil keputusan31 di bidang agama, baik secara personal maupun kolektif. Mereka ini biasanya berada dalam naungan organisasi sosial keagamaan seperti MUI, NU, Muhamadiyyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah dan sebagainya, atau di luar organisasi formal, akan tetapi karena kapasitas keilmuan dan integritas moralnya diakui masyarakat sebagai ulama. Ulama dalam klasifikasi ini lebih diartikan bukan mereka yang menjadi pegawai negeri (birokrat) atau hakim (pemegang kekuasaan yudikatif), bukan pula yang bekerja di Perguruan Tinggi.32

    Dari pihak ulama yang masuk dalam Tim Pelaksana Proyek hanya satu, yakni KH. Ibrahim Husein, LML (dari MUI). Ia duduk dalam pelaksana bidang kitab-kitab/yurisprudensi. KH. Ibrahim Husein, di samping lebih disebut ulama karena wakil dari MUI saat itu, ia juga dalam sisi yang lain adalah pegawai negeri (dari Depag RI) dan intelektual (Rektor IIQ Jakarta saat itu). Ini artinya secara kuantitatif peran ulama dalam pengambilan keputusan hukum Islam dalam KHI hanya 1/16 saja.

    Keterlibatan lain dalam proses penyusunan KHI, pihak ulama dijadikan sebagai responden33 dan diundang sebagai peserta lokakarya Pembangunan Hukum Islam melalui Yurispudensi. Menurut catatan pelaksana proyek, wawancara terhadap para ulama dilakukan di 10 lokasi wilayah PTA, dengan melibatkan 185 ulama dengan rincian sebagai berikut:

    1. Wilayah Banda Aceh; 20 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan). 2. Wilayah Medan; 19 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan). 3. Wilayah Padang; 20 ulama (hanya 1 orang perempuan). 4. Wilayah Palembang; 20 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan). 5. Wilayah Bandung; 16 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan). 6. Wilayah Surakarta; 18 ulama (hanya 1 orang perempuan). 7. Wilayah Surabaya; 18 ulama (hanya 2 orang perempuan). 8. Wilayah Banjarmasin; 15 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan). 9. Wilayah Ujung Pandang; 19 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan). 10. Wilayah Mataram; 20 ulama (semuanya laki-laki, tidak ada perempuan).

    Wawancara dilakukan oleh Tim pelaksana Proyek ditambah dengan wakil dari PTA wilayah responden. Semua pewawancara adalah laki-laki, tak seorang pun perempuan dilibatkan.

    Sedangkan dalam lokakarya selain sebagai peserta, para ulama terlibat pula dalam tim perumus komisi, antara lain : 1. Komisi A tetang Hukum Perkawinan adalah KH. Ali Yafie dan KH. Nahji Ahyad. 2. Komisi B tentang Hukum Kewarisan adalah KH. Azhar Basyir. 3. Komisi C tentang Hukum Wakaf adalah KH. Ibrahim Husein dan KH. Aziz Masyhuri.

    31

    Maksudnya adalah semacam mengeluarkan fatwa, mengeluarkan hasil ijtihad dll. 32

    Artinya, dalam proses penyusunan KHI Ulama yang dilibatkan selain dari unsur organisasi Islam juga

    diutamakan mereka yang mengasuh Pondok Pesantren, atau yang sering dikenal dengan istilah "Kyai". Lihat M.

    Yahya Harahap, "Tujuan KHI", dalam IAIN Syarif Hidayatullah, Kajian Islam tentang Berbagai Masalah

    Kontemporer, (Jakarta : Hikmat Syahid Indah, 1988), hlm. 92-93. 33

    Kualifikasi Ulama yang masuk dalam daftar responden adalah ulama-ulama pilihan yang benar-benar

    diperkirakan berpengetahuan cukup dan berwibawa. Di samping itu, dipertimbangkan juga kelengkapan geografis

    dari jangkauan wibawanya.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    7

    c. Intelektual/Cendikiawan Muslim Intelektual/cendikiawan Muslim yang dimaksud dalam klasifikasi ini adalah

    mereka yang diakui karena kepakaran ilmunya, terutama di bidang hukum Islam. Mereka ini biasanya mengajar di sebuah Perguruan Tinggi (Islam), semisal UIN/IAIN/STAIN/PTAIS atau sejenisnya.

    Dalam proses penyusunan KHI, pihak intelektual/cendikiawan Muslim mempunyai peran sebagai peneliti kitab-kitab kuning dan peserta lokakarya Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprundesi. Kitab-kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab dengan 160 rincian masalah pokok hukum materiil dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah). Penelitian kitab-kitab yang maksud dilakukan oleh 10 IAIN se-Indonesia, yaitu: 1. IAIN Arraniri Banda Aceh meneliti 6 kitab, yaitu al-Bjriy, Fath al-Mu'n, Syarqwiy 'al

    al-Tahrr, Mughny al-Muhtj, Nihyat al-Muhtj dan al-Syarqwiy. 2. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta meneliti 6 kitab, yaitu I`nat al-Thlibn, Tuhfah, Targh-

    bal-Musytq, Bulghah al-Slik, Syamsri fi al-Far`id, al-Mudwanah. 3. IAIN Antasari Banjarmasin meneliti 6 kitab yaitu, Qalybiy/Mahalliy, Fath al-Wahb

    dengan Syarahnya, al-Umm, Bughyat al-Mustarsyidn, Bidyat al-Mujtahid, al-'Aqdah wa al-Syar'ah.

    4. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta meneliti 5 kitab, yaitu al-Muhalla, al-Wajz, Fath al-Qadr, al-Fiqh 'al Madzhib al-Arba'ah, Fiqh as-Sunnah.

    5. IAIN Sunan Ampel Surabaya meneliti 5 kitab, yaitu Kasyf al-Qin', Majm'ah Fatw Ibn Taimiyah, Qawnn al-Syar'iyyah Li al-Sayyid Utsmn bin Yahy, al-Mughniy, al-Hidyah Syarh al-Bidyah Taymiyyah al-Mubtadi.

    6. IAIN Alauddin Ujung Pandang meneliti 5 kitab, yaitu Qawnn al-Syar'iyyah L al-Sayyid Sudqah Dahln, Nawb al-Jall, Syarh Ibn 'bidn, Al-Muwaththa', Hsyiyah Syamsuddn Muh. 'Irfn Dasqiy.

    7. IAIN Imam Bonjol Padang meneliti 5 kitab, yaitu Bad'i al-Shaniy, Tabyn al-Haq`iq, al-Fatw al-Hindiyyah, Fath al-Qadr, Nihyah.34

    Penelitian tersebut memakan waktu selama 3 bulan, mulai tanggal 7 Maret sampai dengan 21 Juni 1985.

    Sedangkan dalam lokakarya, di samping sebagai peserta para intelektual/ cendikiawan Muslim terlibat dalam tim perumus, yakni tim perumus komisi C tentang hukum wakaf. Yang terlibat adalah H. Rahmat Djatmika dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

    C. METODE PENDEKATAN DAN SUMBER DATA

    Dalam tata kerja "Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi" dijelaskan bahwa KHI dibentuk dengan cara-cara: 1. Pengumpulan data 2. Wawancara 3. Lokakarya 4. Studi perbandingan.35

    Keempat cara tersebut sekaligus merupakan tugas pokok yang harus realisasikan oleh tim pelaksana proyek. Artinya, cara-cara tersebut adalah cara minimal yang harus dilakukan oleh tim dalam upaya menyusun Kompilasi Hukum Islam. Tujuannya tidak lain adalah merumuskan hukum materiil bagi Pengadilan Agama.

    Dengan demikian boleh dikatakan bahwa metode pendekatan yang dilakukan dalam menyusun KHI adalah dengan empat jalur tersebut. Secara lebih jelas metodologi yang digunakan adalah sebagai berikut:

    34

    Ditbinbapera, Kompilasi Hukum Islam., hlm. 166-168. 35

    Lampiran SKB Ketua MA dan Menag. RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    8

    1. Penelitian a. Penelitian Kitab-Kitab Kuning

    Sebelum KHI lahir, Badan Peradilan di lingkungan Peradilan Agama telah menetapkan 13 kitab36 sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara.37 Di samping untuk memperoleh kepastian hukum secara materiil, diberlakukannya ke-13 kitab ini juga merupakan langkah ke arah unifikasi hukum Islam.

    Karena KHI bukan proyek yang a-historis, maka salah satu sumber pencarian data-data materi hukum Islam yang dianggap akurat, acceptable dan kontekstual adalah kitab-kitab tersebut. Pencarian data dilakukan dengan menggunakan penelitian, penelaahan/pengkajian oleh akademisi di lingkungan perguruan tinggi Islam.

    Jumlah total kitab-kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab.38 Pokok hukum materiil yang diteliti terbatas pada bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah dan waqaf serta sadaqah), dengan rincian sebanyak 160 masalah, suatu bidang hukum yang selama ini menjadi wilayah kewenangan materiil Peradilan Agama. Penelitian ini dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia, seperti telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Kemudian, hasil penelitiannya diolah lebih lanjut oleh tim proyek bagian pelaksana bidang kitab dan yurisprudensi.

    Di samping itu, sasaran kitab-kitab yang dijadikan obyek penelitian adalah kitab-kitab kuning yang langsung dikumpulkan dari imam-imam mazhab dan syarah-syrahnya yang dianggap mempunyai otoritas [mu'tabarah], terutama di Indonesia. Hal yang dicari adalah kaidah-kaidah hukum dari imam mazhab tersebut beserta dalil-dalil/argumentasinya, untuk kemudian disesuaikan dengan klasifikasi bidang-bidang hukum menurut ilmu hukum umum.

    b. Penelitian Yurispundensi39 Peradilan Agama Selain meneliti kitab-kitab kuning yang dahulu di"sakral"kan sebagai referensi

    formal-normatif umat Islam, juga obyek lain yang diteliti adalah yurisprudensi, yakni produk-produk putusan peradilan Agama yang empiris. Dua dimensi, normatif dan empiris, dalam hukum Islam terkandung makna psikologis tersendiri yang bisa dijadikan indikator sosiologis dalam penegakan hukum.

    Penelitian terhadap yurisprudensi putusan Peradilan Agama ini dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Depag RIsekarang telah pindah ke Mahkamah Agung. Ada 16 buku himpunan yurisprudensi yang menjadi bahan penelitian, yaitu : 1. Empat buah buku Himpunan Putusan PA/PTA, yaitu terbitan tahun 1976/1977,

    1977/1978, 1978/1979 dan 1980/1981. 2. Tiga buah buku Himpunan Fatwa, yaitu buku terbitan tahun 1978/1919, 1979/1980, dan

    1980/1981.

    36

    Ketiga belas kitab tersebut adalah (1) al-Bjriy (2) Fath al-Mu'n (3) Syarqwiy 'al al-Tahrr (4)

    Qalybiy/Mahalliy (5) Fath al-Wahb dan Syarh-nya (6) Tuhfah (7) Targhb al-Musytq (8) Qawnn

    al-Syar'iyyah L al-Sayyid bin Yahy (9) Qawnn al-Syar'iyyah L al-Sayyid Sadqah Dahln (10) Syamsriy f

    al-Far'idl (11) Bughyah al-Musytarsyidn (12) al-Fiqh 'al Madzhib al-'Arba`ah (13) Mughniy al-Muhtj. 37

    Huruf b Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/739 tanggal 18 Pebruari 1958. Surat Edaran ini

    merupakan pelaksanaan dari PP. 1945 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyyah

    di luar Jawa dan Madura. 38

    Rincian kitab-kitab tersebut telah diuraikan pada sub 3, Intelektual/Cendikiawan Muslim. 39

    Yurisprudensi yang dimaksud adalah jurisprudentie (Belanda), bukan Jurisprudence (Inggris), yakni

    putusan-putusan pengadilan yang dapat dianggap sebagai satu sumber hukum. Karena bila sudah ada suatu

    jurisprudentie yang tetap, maka hal ini akan selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam

    soal yang serupa. Lihat J.C.T. Simorangkir, dkk., Kamus Hukum., hlm. 78 ; Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum.,

    hlm. 927-928. Sedangkan Jurisprudence (Inggris) berarti ilmu hukum. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily,

    Kamus Inggris Indonesia., hlm. 338.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    9

    3. Lima buah buku Yurisprudensi PA, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, 1982/1983 dan 1983/1984.

    4. Empat buah buku Law Report, yaitu buku terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982 dan 1983/1984.40

    2. Wawancara [Interview]

    Untuk membuktikan kebenaran norma hukum yang hidup di masyarakat, selain meneliti teks-teks kitab kuning dan yurisprudensi tim juga melakukan wawancara kepada 185 ulama di 10 lokasi PTA se-Indonesia.41 10 lokasi dan 185 ulama dalam wilayah tersebut dipandang sebagai representasi atau mewakili Indonesia baik dari segi responden maupun letak geografisnya. 185 ulama yang dijadikan responden adalah ulama-ulama pilihan yang dipandang mampunyai kapabilitas yang memadai dan karena kharismanya yang mampu mempengaruhi masyarakat sekitarnya (dalam mengikuti fatwa-fatwanya).

    Wawancara ini dilakukan dengan dua cara: dengan mengajukan pokok-pokok masalah kepada responden secara bersama-sama dalam satu tempat atau dengan mewawancarai mereka secara terpisah, jika cara pertama tidak memungkinkan dilaksanakan.42 Pokok masalah yang dimaksud disusun dan disajikan dalam sebuah buku guidance questioners yang berisi 102 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah serta wakaf).

    3. Studi Perbandingan

    Karena rencana pembentukan KHI semacam ini bukan yang pertama kali dilakukan dalam sejarah peradaban Islam, maka proses pembentukan KHI di Indonesia tidak bisa mengesampingkan begitu saja sejarah yang ada. Keberadaannya adalah mata rantai dari sejarah perkembangan hukum Islam secara positif di dalam suatu bentuk negara modern. Studi perbandingan terhadap produk-produk hukum Islam di negara lain, dengan demikian menjadi penting untuk dilakukan sebagai bahan pertimbangan.

    Studi perbandingan dalam rangka pembentukan KHI di Indonesia dilaksanakan ke Timur Tengah, yaitu ke negara-negara : 1. Maroko, dilaksanakan pada tanggal 28 dan 29 Oktober 1986. 2. Turki, dilaksanakan pada tanggal 1 dan 2 November 1986. 3. Mesir, dilaksanakan pada tanggal 3 dan 4 November 1986.

    Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh sistem atau kaidah-kaidah hukum satu dengan yang lain, terutama yang paling tepat [aplicable dan acceptable] untuk konteks Indonesia. Untuk itu, pihak-pihak yang dihubungi di negara Maroko adalah: 1. Direktur Institut Kehakiman Nasional. 2. Sekretaris Jenderal Kementrian Wakaf dan Urusan Islam. 3. Penasehat Menteri Wakaf dan Urusan Islam. 4. Ketua Supreme Courts. 5. Ketua Badan Kerja Sama UNESCO-ALESCO.

    Di negara Turki hanya dua lembaga yang dijadikan sasaran studi perbandingan. Selain pihak Supreme Court, yang saat itu diwakili oleh Attorney General, fokus studi lainnya adalah ketua Islamic Centre.

    Sedangkan di negara Mesir lebih luas lagi. Di samping pihak pengadilan dan pemerintah yang berwenang terhadap hukum Islam, juga dihubungi pihak-pihak Perguruan Tinggi Islam terbesar di negeri itu. Yakni, selain Ketua Supreme Court, Mufti Negeri dan Menteri Wakaf Mesir, pihak lain seperti Rektor al-Azhar, Majelis Tinggi al-

    40

    Ditbinbapera, Kompilasi Hukum Islam., hlm. 152. 41

    Rinciannya, lihat pada sub 2, Ulama. 42

    Busthanul Arifin, Kompilasi : Fiqh dalam Bahasa UU., hlm. 29.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    10

    Azhar, Grand Syekh al-Azhar, dan Dekan Fakultas Dakwah al-Azhar adalah partner studi yang tak ditinggalkan dalam menggali dan mengkaji materi-materi perbandingan.

    Paling tidak, ada 3 materi perbandingan yang diperoleh sebagai inputs bagi penyusunan KHI dari studi tersebut. Ketiga materi itu adalah mengenai : 1. Sistem peradilan. 2. Masuknya syari'ah law dalam arus tata hukum nasional. 3. Sumber-sumber hukum dan hukum materiil yang menjadi pegangan/terapan hukum di

    bidang ahwl syakhsyiyyah yang menyangkut kepentingan Muslim. Studi perbandingan ini dilaksanakan oleh dua orang, yaitu H. Masrani Basra,

    Hakim Agung MA RI, selaku Pimpinan Pelaksana Proyek dan H. Muchtar Zarkasyi, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Depag RI, dalam Tim Pelaksana Proyek berkedudukan sebagai Wakil Pimpinan Proyek.

    4. Bahtsul Mas`il dan Seminar

    Bahtsul Masail dilakukan oleh NU dan Seminar dilaksanakan oleh Muhamadiyyah. Dua kegiatan ini adalah di luar garis-garis kerja yang telah ditetapkan SKB Ketua MA dan Menteri agama RI. Oleh karena itu, dalam "sejarah penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia" yang diterbitkan Ditbinbapera Depag RI disebutnya sebagai masukan-masukan spontan.43

    Bahtsul Masa`il diselenggarakan oleh Syuriah NU Jawa Timur. Bahtsul Masail dilakukannya selama 3 kali di dalam tiga Pondok Pesantren di Jawa Timur, yaitu di PP. Tambakberas, PP. Lumajang dan PP. Sidoarjo.

    Sedangkan Seminar diselenggarakan oleh Majlis Tarjih PP. Muhamadiyyah di kampus Universitas Muhamadiyyah Yogyakarta pada tanggal 8-9 April 1986. Pokok persoalan yang dikaji adalah seputar kompilasi hukum Islam,44 yang meliputi perkawinan, wanita hamil karena zina, masalah li'an, syiqq, ruj, talq al-thalq, pembagian waris, harta bersama (gono gini) dalam perkawinan dan penjualan harta wakaf.45

    5. Lokakarya

    Seluruh data yang diperoleh dari penelitian bidang kitab, penelitian yurisprudensi, wawancara, studi perbandingan, bahtsul mas`il dan seminar kemudian diolah dan dirumuskan oleh tim besar.46 Hasil rumusan tim besar ini kemudian dibahas dan dirumuskan kembali oleh tim kecil yang merupakan tim inti. Yang termasuk dalam tim inti adalah H. Busthanul Arifin, H. MD. Kholid, H. Masrani Basran, HM. Yahya Harahap, H. Zaeni Dahlan, H.A. Wasit Awlawi, H. Muchtar Zarkasyi, H. Amiruddin Noer, H. Marfuddin Kosasih.

    Pada tanggal 29 Desember 1987, tim kecil berhasil merumuskan 3 buku naskah rancangan KHI yang terdiri dari hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan.47 Pada hari itu juga naskah tersebut oleh pemimpin proyek "Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi" diserahkan kepada Ketua MA RI dan Menteri Agama RI.48

    Sebagai realisasi dari komitmen keumatan dalam pembentukan KHI, rancangan naskah KHI hasil rumusan tim kecil itu dibahas dan dikaji ulang oleh para ulama dan cendikiawan muslim dalam forum Lokakarya Pembangunan Hukum Islam Melalui

    43

    Ditbinbapera, Kompilasi Hukum., hlm. 155. 44

    Seminar ini juga dihadiri oleh Menteri Agama dan Ketua MUI, KH. Hasan Basri. 45

    PANJI MASYARAKAT No. 502 tahun XXVII/1986. 46

    Tim Besar merupakan tim pelaksana proyek, yang susunannya sebagaimana ditetapkan dalam SKB

    tersebut. 47

    Rancangan KHI berhasil dirumuskan setelah Tim Kecil mengadakan rapat sebanyak 20 kali. 48

    Dengan demikian bila dihitung dari tanggal ditetapkannya SKB, maka rancangan KHI selesai disusun

    dalam jangka waktu 2 tahun 9 bulan.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    11

    Yurisprudensi.49 Lokakarya tersebut diselenggarakan pada tanggal 2-6 Februari 1988, di Hotel Kartika Candra dan diikuti oleh 124 peserta. Acaranya dibuka oleh Ketua MA RI saat itu, Ali Said, SH. dan ditutup oleh Menteri Agama RI, H. Munawir Sadzali, MA.

    Para peserta lokakarya terdiri dari para ketua umum MUI propinsi, para ketua PTA seluruh Indonesia, beberapa Rektor IAIN, beberapa orang Dekan Fakultas Syariah IAIN, sejumlah ulama dan cendikiawan muslim, baik di daerah maupun di pusat, tidak ketinggalan pula wakil organisasi wanita.50 Ulama dan cendikiawan muslim yang diundang pada lokakarya tersebut adalah wakil-wakil yang representatif dari daerah penelitian dan wawancara dengan mempertimbangkan luas jangkauan pengaruhnya dan bidang keahliannya.

    Operasionalisasi pembahasan naskah rancangan KHI pada lokakarya dibagi ke dalam sidang pleno dan sidang komisi. Sidang komisi terdiri dari komisi hukum perkawinan, komisi hukum kewarisan dan komisi hukum wakaf. Masing-masing komisi kemudian membentuk tim perumusnya. Pada akhir sidang pleno, wakil dari MUI (KH. Hasan Basri), wakil dari NU (KH. Ali Yafie) dan wakil dari Muhammadiyah (KH. AR. Fachruddin) masing-masing menyampaikan kata akhir justifikasi, sebagai legalitas rumusan KHI di Indonesia.

    Secara sederhana, proses pembentukan KHI dapat dijelaskan dalam bagan berikut:

    KHI

    TIM PELAKSANA

    PROYEK

    (Depag, MA, MUI laki2 = 15 org

    Prempuan=1 org)

    MA

    DEPAG

    Wawancara dgn185 Ulama

    (laki2=181, pr=4 org)

    PTA (10 daerah, Pewawancara

    semuanya laki-laki)

    IAIN (7 IAIN)

    Penelitian38 Kitab Kuning,

    160 Masalah

    DitbinperaDepag RI

    Bahtsul Masail NU

    Seminar MuhamadiyahTIM

    KECIL

    LOKAKARYA

    Semuanya laki-laki Peserta118 laki2,

    5 pr

    Studi PerbandinganMaroko, Turki, Mesir

    PenelitianYurisprudensi

    Putusan Per. Agama16 buku

    D. SISTEMATIKA DAN GARIS BESAR NASKAH Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa KHI ini hanya memuat tiga

    ketentuan hukum materiil Islam, yakni ketentuan-ketentuan hukum perkawinan [munkaht], hukum kewarisan [mawrits], dan hukum perwakafan [waqf]. Ketiga pengelompokan bidang hukum tersebut ditulis di dalam KHI secara terpisah, masing-masing dalam buku tersendiri. Dalam setiap buku, ketentuan spesifikasi bidang hukum terbagi ke dalam bab-bab, dan masing-masing bab dirinci lagi ke dalam bagian-bagian dan pasal-pasal. Teknik penomoran bab-bab dan bagian-bagian diurutkan sesuai dengan

    49

    Kalau dalam "Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia" disebutkan, bahwa lokakarya

    ini dimaksudkan untuk mendengarkan komentar akhir para ulama dan cendekiawan muslim. Jadi, bukan mengkaji

    ulang secara kritis terhadap naskah rancangan KHI tersebut. Lihat Ditbinbapera, Kompilasi Hukum., hlm. 157. 50

    Sinar Darussalam No. 166/167 1988, hlm. 11.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    12

    pengelompokkan buku. Sedangkan penomoran pasal diurutkan secara keseluruhan dari buku pertama hingga buku ketiga.51

    Dengan demikian sistematika KHI terdiri dari : I. Tiga buku, dan 229 pasal, yaitu :

    1. Buku I : Hukum Perkawinan, yang terbagi atas : a. XIX (sembilan belas) bab. b. 170 pasal (dari pasal 1 - 170)

    2. Buku II : Hukum Kewarisan, yang terbagi : a. VI (enam) bab. b. 44 pasal (dari pasal 171 - 214).

    3. Buku III : Hukum Perwakafan, yang terbagi: a. V (lima) bab. b. 15 pasal (dari pasal 215 - 229)

    II. Penjelasan atas buku Kompilasi Hukum Islam 1. Penjelasan Umum 2. Penjelasan Pasal demi Pasal

    Berdasarkan sistematika tersebut di atas, tampak dengan jelas bahwa posisi terbesar dan muatan terbanyak ada pada buku pertama hukum perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan yang paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena ruang lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena tingkat intensifitas dan uraian masing-masing ketentuan tersebut. Untuk bidang hukum perkawinan tidak sekadar pada dimensi hukum substantif saja yang diatur, akan tetapi teknis prosedural yang berkenan dengan tata cara pelaksanaan pun diatur secara gamblang.52 Tidak demikian rinci diatur pada kedua buku yang lain.53

    Secara garis besar substansi KHI mengatur mengenai hal-hal sebagai berikut :

    I. Hukum Perkawinan, fokus perhatian dalam pengaturannya adalah pada : 1. Penjelasan istilah-istilah yang berhubungan dengan perkawinan. 2. Dasar-dasar dan prinsip-prinsip perkawinan seperti tujuan, legalitas dan hakekat

    diselenggarakannya perkawinan. 3. Peminangan dan akibat hukumnya. 4. Syarat dan hukum perkawinan yang meliputi calon mempelai, wali nikah, saksi nikah

    dan akad nikah. 5. Mahar; besar dan tata cara pemberiannya. 6. Larangan kawin. 7. Perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya. 8. Kawin hamil dan hukumnya. 9. Poligami (beristri lebih satu orang); syarat dan tata caara perkawinan. 10. Pencegahan perkawinan; sebab dan tata cara pencegahan. 11. Batalnya perkawinan; sebab dan akibat hukumnya. 12. Hak dan kewajiban suami isteri yang meliputi kedudukan suami istri, kewajiban suami,

    tempat kediaman, kewajiban suami yang beristeri lebih dari seorang dan kewajiban isteri.

    51

    Inilah yang menurut H. Abdurrahman disebutnya sebagai sebuah peraturan perundang-undangan yang

    tidak menggambarkan sebuah sistematika yang "baik". Selain tersebut di atas, KHI tidak mencantumkan adanya

    ketentuan umum yang berlaku untuk semua bidang hukum yang diaturnya. Ketentuan umum hanya ada pada

    masing-masing buku. Itu pun isinya lebih banyak berupa keterangan mengenai beberapa istilah saja yang terkadang

    tidak lengkap, seperti pasal 229 yang seharusnya tergolong pada ketentuan umum justeru dimasukkan ke dalam

    ketentuan penutup. Lihat H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum., hlm. 64. 52

    Di sini lalu terjadi "pembengkakan" dan tumpang tindih antara aturan-aturan hukum pada UU No. 1

    Tahun 1974 dan PP. No. 9 Tahun 1975 di satu pihak dengan KHI di pihak yang lain, suatu pengulangan yang

    kurang baik. 53

    Bandingkan dengan. H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam., hlm. 63-64.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    13

    13. Harta kekayaan dalam perkawinan ; status dan ketentuan bagiannya. 14. Pemeliharaan anak; status pemegang tanggungjawabnya. 15. Perwalian. 16. Putusnya perkawinan yang meliputi sebab dan tata cara perkawinan. 17. Akibat putusnya perkawinan, meliputi akibat talak, waktu tunggu, akibat perceraian,

    mutah, akibat khulu dan akibat li'an. 18. Rujuk; hak-hak dan tata cara rujuk. 19. Masa berkabung.

    II. Hukum Kewarisan, hal yang diatur adalah sebagai berikut : 1. Penjelasan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum kewarisan. 2. Ahli waris; kualifikasi, hak dan kewajibannya. 3. Besarnya bahagian masing-masing ahli waris. 4. Apabila terjadi Awl dan Radd ; tata cara pembagiannya. 5. Wasiat. 6. Hibah.

    III. Hukum Perwakafan, yang diatur dalam perwakafan adalah : 1. Penjelasan istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum perwakafan. 2. Tujuan, unsur-unsur dan syarat-syarat melakukan wakaf serta kewajiban dan hak-hak

    nadzir. 3. Tata cara perwakafaan dan pendaftaran benda wakaf. 4. Perubahan, penyelesain dan pengawasan benda wakaf 5. Ketentuan perwakafan yang meliputi ketentuan penutup.

    E. STATUS HUKUM

    Di atas telah disebutkan bahwa instrumen hukum yang digunakan sebagai justifikasi diberlakukannya KHI di Indonesia adalah Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Sesuai dengan organ hukumnya, Inpres ini berisi instruksi kepada menteri Agama untuk melakukan dua hal : 1. Menyebarluaskan KHI untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat

    yang memerlukannya. 2. Melaksanakan instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.

    Dictum pertama dari Inpres itu adalah instruksi "penyebarluasan". Oleh karenanya dapat dipahami bila dalam Inpres tersebut tidak ada penegasan mengenai kedudukan dan fungsi KHI secara jelas.

    Kemudian, dasar hukum ini ditindaklanjuti dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Keputusan Menteri tersebut menetapkan 4 hal : 1. Seluruh instansi Depag dan instansi pemerintahan lainnya yang terlibat agar

    menyebarluaskan KHI. 2. Seluruh lingkungan instansi Depag di samping menggunakan peraturan perundang-

    undangan lainnya sedapat mungkin menerapkan KHI dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

    3. Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanan keputusan Menteri ini.

    4. Keputusan ini berlaku sejak tanggal 22 Juli 1991. Pada level operasional, Inpres dan Keputusan Menteri tersebut selanjutnya

    dilaksanakan oleh Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama dengan surat edaran tanggal 25 Juli 1991 Nomor 3694/EV/HK. 00. 3/A2/91. Surat edaran ini ditunjukkan kepada Ketua PTA dan Ketua PA seluruh Indonesia untuk menyebarluaskan dan melaksanakan sebagimana mestinya.

    Karena menggunakan instrumen hukum "Inpres" inilah, terjadi dua pandangan yang bertolak belakang dalam menilai status kekuatan hukum KHI dan implikasinya terhadap

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    14

    instansi pemerintah dan masyarakat; mengikat secara imperatif atau fakultatif. Bila melihat instrumen hukumnya saja, tampak bahwa Inpres tidak termasuk dalam tata urutan perundang-undangan yang ditetapkan TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 juncto TAP MPR Nomor V/MPR/1973 juncto TAP MPR Nomor III/MPR/2000. Dengan argumentasi tersebut, pandangan pertama menganggap bahwa KHI tergolong hukum yang tidak tertulis, karena Inpres itu tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia.

    Akan tetapi, bila melihat konsideran mengingat dalam Inpres tersebut persoalannya menjadi lain. Landasan hukum Inpres Nomor 1 tahun 1991 --sebagaimana disebutkan dalam konsideran mengingat-- adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Dalam pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa "Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD". Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, Presiden berkewajiban untuk menjalankan UU, untuk itu ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintahan [pouvoir reglementair].54

    A. Hamid S. Attamimi dalam disertasinya membagi materi muatan keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan itu ke dalam : 1. Materi muatan keputusan Presiden berfungsi pengaturan yang delegasian Peraturan

    Pemerintah. 2. Materi muatan Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri.55

    Ismail Sunny dengan mendasarkan pada thesis A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden mempunyai kedudukan hukum yang sama.56 Kendatipun Inpres tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, akan tetapi ia merupakan implementasi program legislatif nasional yang mempunyai kemampuan mandiri dan bisa berlaku efektif bersanding dengan instrumen hukum lainnya.57

    Dengan nalar demikian, pandangan lain berpendapat bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyaai kekuatan hukum pemberlakuan sebagai pedoman, baik bagi instansi pemerintahan ataupun masyarakat yang memerlukannya. Terlebih lagi menurut A. Hamid S. Attamimi bahwa Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan yang mandiri --termasuk Inpres menurut Ismail Sunny-- mempunyai posisi yang sama dengan UU.58 Oleh karena itu, KHI menurut pandangan ini mempunyai kekuatan hukum imperatif.

    Di samping nalar tersebut, keberadaan KHI dalam tata hukum Indonesia ditopang oleh 3 UU yang merupakan pilar berlakunya hukum Islam di Indonesia, yakni UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU Nomor 7 tahun 1989 (dan perubahannya UU Nomor 3 Tahun 2006) tentang Peradilan Agama.

    Kompilasi Hukum Islam bisa dikatakan sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 7 tahun 1989. Ia merupakan hukum materiil yang disusun karena dibutuhkan untuk melaksanakan UU Nomor 7 tahun 1989. Presiden sebagai mandataris dalam melaksanakan UU memandang perlu adanya KHI itu, maka lahirlah Inpres Nomor 1 tahun 1991.

    Peranan UU Nomor 14 Tahun 1970 sebagai pilar adalah karena UU tersebut merupakan dasar atas eksistensi Peradilan Agama (UU Nomor 7 tahun 1989).59 Sedangkan

    54

    Penjelasan pasal 4 dan pasal 5 ayat (2) UUD 1945. 55

    Lebih jelas mengenai ini baca A. Hamid S. Attamimi, "Peranan Keputusan Presiden RI dalam

    Penyelenggaraan Negara", Disertasi pada Fak. Pascasarjana UI Jakarta, tidak diterbitkan, 1990, hlm. 235-241. 56

    Ismail Sunny, "Kompilasi Hukum Islam Ditinjau dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia",

    Mimbar Hukum No. 4 tahun II 1991, hlm. 3-4. 57

    Abdul Gani Abdullah, "Pemasyarakatan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam",

    Mimbar Hukum No. 5 Tahun III 1991, hlm. 1. 58

    A. Hamid S. Attamimi, "Peranan Keputusan Presiden"., hlm. 352-357. 59

    Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    15

    UU Nomor 1 tahun 1974 selain mengakui kedudukan hukum Islam dalam perkawinan, juga hampir semua isinya dipengaruhi oleh hukum Islam.60

    Dalam Inpres Nomor 1 tahun 1991 maupun Keputusan Menag RI Nomor 154 tahun 1991 tak terdapat satupun dictum yang menegaskan kedudukan dan fungsi KHI. Secara umum, Inpres dan Keputusan Menteri itu hanya berisi instruksi untuk menyebarluaskan KHI.

    Secara tekstual, KHI yang hendak disebarluaskan bukan merupakan bagian integral dari Inpres tersebut. Karena, dalam Inpres hanya disebutkan : "Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari : (a) Buku I tentang Hukum Perkawinan, (b) Buku II tentang Hukum Kewarisan, (c) Buku II tentang Hukum Perwakafan, sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam lokakaryanya di Jakarta pada tanggal 2 - 5 Pebruari 1988 ",61 tidak ada penegasan bahwa "Kompilasi itu merupakaan lampiran yang tak terpisah dari Inpres" dimaksud sebagaimana lazimnya tata peraturan perundangan yang lain.62

    Hanya saja dalam konsideran menimbang tersirat maksud dan fungsi KHI ini. Pada point b konsideran menimbang, dinyatakan :

    Bahwa Kompilasi hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukaannya dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah di bidang tersebut.63

    Teks tersebut sacara implisit menunjukan bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan pedoman bagi instansi pemerintahan dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang itu. Pedoman yang dimaksudkan tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Inpres. Akan tetapi dari susunan kata : 1. "...dapat dipergunakan sebagai pedoman...." dalam Konsideran Inpres64 2. "...untuk digunakan oleh Instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang

    memerlukannya" dalam dictum Inpres.65 3. "...sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut...." dalam dictum

    Keputusan Menag..66 menunjukkan bahwa KHI tidak mengikat sacara imperatif. Para pihak dapat menjalankannya dan dapat pula meninggalkannya, sesuai dengan kebutuhan dan keperluannya. Jadi, pedoman dalam lingkup KHI bersifat fakultatif.

    E. KARAKTER HUKUM

    Hukum Islam dalam wujud KHI dalam tata hukum Indonesia diakui sebagai hukum positif. Secara konfiguratif, politik hukum Islam di Indonesia, terutama masa Orde Baru, mempunyai karakter-karakter hukum yang spesifik, yang berbeda dengan karakter produk hukum pada umumnya, dan juga berlainan dengan karakter dasar hukum Islam yang ideal. Munculnya spesifikasi karakter ini adalah akibat logis (pengaruh implikatif) dari konfigurasi politik hukum Orde Baru, sebuah bingkai politik di mana hukum Islam dilegislasikan. Dengan kata lain, konfigurasi politik hukum Islam merupakan hasil perbenturan antara kepentingan implementasi [amaliyyah] hukum-agama (Islam) dengan kehendak-kehendak sosial-politik hukum-negara. Masing-masing mempunyai dan berdiri di atas paradigmanya sendiri. KHI yang saat ini dianggap sebagai bentuk maksimal dan

    60

    Baca H. Zaenal Abidin Abubakar, "Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia", Mimbar

    Hukum No. 9 Tahun IV 1993, hlm. 58-59. 61

    Dictum pertama Inpres No. 1 Tahun 1991. 62

    Bandingkan dengan H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam., hlm. 54-55. 63

    Konsideran menimbang poin b pada Inpres No. 1 Tahun 1991. 64

    Ibid. 65

    Dictum pertama Inpres No. 1 Tahun 1991. 66

    Dictum kedua pada Keputusan Menag. No. 154 Tahun 1991.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    16

    akumulasi dari aturan-aturan hukum Islam di dalam tata hukum Indonesia, adalah wujud konkret dari perbenturan dan perjuangan politik tersebut.

    Berdasarkan studi kasus pada KHI, paling tidak ada 4 (empat) buah karakter politik hukum Islam di Indonesia. Tentu saja keempat karakter politik ini adalah akibat interaktif pengaruh politik hukum yang dibangun rezim Orde Baru. Dengan perspektif yang berbeda, 4 (empat) karakter politik hukum Islam dimaksud adalah sebagai berikut :

    1. Dari perspektif strategi pembentukan hukum, KHI berkarakter Semi-Responsif.

    Sejak munculnya ide hingga pada perumusan akhir, pembentukan KHI berada dalam penguasaan Tim Pelaksana Proyek "Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi" yang sebagian besar terdiri dari Hakim Agung Mahkamah Agung RI (yudikatif) dan birokrat Departemen Agama RI (eksekutif). Peran para ulama dan intelektual/cendikiawan muslim sebagai representasi masyarakat Islam, berada dalam posisi peripheral. Sementara DPR (legislatif) selaku perwakilan-formal Rakyat Indonesia tidak terlibat sama sekali. Karena pihak yudikatif dan eksekutif mempunyai peran yang hampir seimbang, ditambah dengan peran marginal dari perwakilan masyarakat Islam, maka politik pembentukan hukumnya disebut Semi-Responsif.

    2. Dari perspektif materi hukum, KHI berkarakter Otonom, Reduksionistik dan

    Konservatif. Materi hukum Islam pada KHI secara substansial diakui sebagai fiqh. Sebab dalam

    proses penyusunannya, pasal-pasal itu diambil dari berbagai pendapat ulama dan yurisprudensi Islam. Hanya saja ada beberapa pasal yang diserap dari norma-norma hukum adat yang telah diterima baik oleh masyarakat Islam Indonesia. Politik hukum demikian bisa disebut otonom, sesuai dengan karakter dasar substansi hukum Islam itu sendiri. Otonomi di sini tentu saja dengan tetap mempertimbangkan norma-norma hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini. Namun, karena hanya sebagian kecil materi hukum Islam yang dilegislasikan oleh Orde Baru [yakni, perkawinan, kewarisan, dan perwakafan], maka secara politis materi ini bersifat reduksionistik. Paralel dengan politik reduksi Orde Baru, formulasi bahasa yang digunakan dalam KHI bersifat kaku dan paten [sebagaimana karakter dasar bahasa undang-undang]. Prosedur teknis pelaksanaan hukum Islam juga dalam implementasinya lebih banyak mengkaitkan dengan lembaga-lembaga yang karikatif. Karena itu, materi hukum Islam dalam politik pelaksanaan bersifat konservatif, kecuali disertai kearifan penggunanya.

    3. Dari perspektif implementasi hukum, KHI berkarakter Fakultatif.

    Instrumen hukum yang menjadi justifikasi formal keberadaan KHI adalah Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Kekuatan hukum "memaksa" dan "mengikat" dari Inpres dalam tata hukum Indonesia masih sangat lemah. Selain karena dikeluarkan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, bukan Kepala Negara, posisi Inpres secara struktural tidak termasuk dalam hirarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi kekuatan hukum positif tertulis. Selaras dengan itu, isi Inpres Nomor 1 Tahun 1991 adalah instruksi penyebarluasan KHI, bukan penerapan atau pelaksanaan hukum Islam, juga tidak secara tegas dinyatakan sebagai sebuah ketetapan hukum yang harus dilaksanakan. Mempertimbangkan hal itu, dapat dikatakan bahwa politik implementasi hukum Islam di Indonesia masih bersifat fakultatif. Artinya, tidak secara a priori harus ditaati dan memaksa warga negara, terutama umat Islam untuk melaksanakan ketentuan hukum Islam [positif]. Keberadaannya hanya bersifat tawaran alternatif dari sebuah hasil ijtihad kolektif [ijtihd jamiy].

    4. Dari perspektif fungsi hukum, KHI berkarakter Regulatif dan Legitimatif.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    17

    Kehadiran KHI di tengah-tengah tata hukum Indonesia lebih didorong oleh motif-motif yuridis dan teknis-yustisial, bukan moral-keagamaan yang murni. Oleh karena itu, fungsinya bukan pada legalitas dan antisipasi sosial, akan tetapi lebih pada regulasi dan legitimasi. Disebut berkarakter regulasi secara fungsional, karena bentuk ketentuan hukumnya lebih dominan bersifat teknis-prosedural dan praktis-operasional daripada strategis-konsepsional dan teoritik. Bisa dikatakan, bentuk KHI ini adalah penjabaran [derivative] dari aturan perundang-undangan sebelumnya. Karena itu, pada saat yang sama ia melakukan pembenaran-pembenaran [legitimitas] terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif yang menjadi rujukan dan institusi-institusi yang dijadikan birokrasi bagi pelaksanaan hukum Islam, yakni institusi-institusi de facto bentukan negara.

    Karakter-karakter politik hukum Islam di atas tidak lain adalah bentuk implikatif dari pengaruh politik hukum Orde Baru. Ada 5 [lima] politik hukum Orde Baru yang secara dominan mempengaruhi dan membentuk spesifikasi karakter politik tersebut, yaitu [1] cita hukum Pancasila, [2] visi pembangunanisme, [3] dominasi negara atas masyarakat, [4] wawasan pembangunan hukum nasional, yaitu wawasan nusantara, wawasan kebangsaan dan wawasan Bhineka Tunggal Ika, dan [5] politik kodifikasi dan unifikasi.

    Berkenaan dengan konfigurasi politik hukum Islam tersebut, sebagai konsekuensi dari konstruknya yang sekarang, maka KHI tepat disebut sebagai fiqh Islam berwawasan Pancasila. Sebutan ini didasarkan pada kenyataan bahwa secara substansial KHI bisa disebut fiqh, akan tetapi pembahasaan, struktur, logika, dan kehendak-kehendak sosial-hukumnya sangat dipengaruhi oleh, bahkan mengikuti, wawasan Pancasila, baik sebagai sebuah ideologi negara maupun pandangan hidup bangsa [way of life]. Akhirnya, hukum Islam bergeser dari otoritas hukum agama [divine law] menjadi otoritas hukum negara [state law].

    E. FIQH MADZHAB NEGARA

    Dalam kata pengantar buku Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia terbitan LKiS Yogyakarta, saya menjelaskan istilah Fiqh Madzhab Negara dengan tanda tanya. Saat itu saya masih ragu dengan penerapan istilah atau idiom yang tepat dari analisis yang saya lakukan. Tetapi kini timbul keyakinan bahwa itulah barangkali persilangan kata dan pertalian makna yang pas untuk menandai KHI dalam lanskap politik hukum di Indonesia.

    Meski sebagai suatu wacana masih perlu didiskusikan terus, idiomatik ini penting dimunculkan, setidaknya, untuk menjelaskan sisi lain dari materi hukum Islam yang dihadirkan KHI dalam keseluruhan proses pembentukan dan pilihan wadah legitimasinya. Saya sebut sisi lain, karena sementara ini dalam banyak studi hukum Islam (positif) di Indonesia--di mana KHI menjadi rujukan utamanya--selalu saja bernada memuji dan menganggapnya sebagai suatu prestasi besar aparatus negara Orde Baru dalam memperjuangkan penegakan hukum Islam di Indonesia. Mereka lupa bahwa dalam setiap legislasi oleh negara, apalagi negara Orde Baru yang saat itu sistem politiknya berwatak otoritarian, ada suatu kehendak-kehendak sosial-politik negara tersembunyi yang menyertainya. Tentu saja demikian karena tak ada hukum yang bebas nilai, bebas kepentingan, dan bebas kuasa. Termasuk dalam pernyataan ini adalah hukum Islam ketika disentuh oleh urusan politik.

    Mengapa disebut madzhab negara? Sebetulnya sederhana saja, karena elemen-elemen konstruksi hukum Islam dalam KHI mulai dari inisiatif, proses penelitian, penyusunan, hingga penyimpulan akhir dari pilihan-pilihan hukumnya semuanya dilakukan oleh suatu suatu tim yang dibentuk oleh negara dan beranggotakan hampir seluruhnya orang-orang negara. Latar belakang pembentukan, logika hukum yang digunakan, hingga pola redaksi yang diterapkan juga sebagaimana lazimnya digunakan oleh hukum positif yang diakui negara. Lebih dari itu, legitimasi hukum pemberlakuannya juga bergantung pada keputusan negara melalui (sementara ini) Instruksi Presiden (Inpres).

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    18

    Walhasil, semuanya berwarna serba negara, paralel dengan langgam politik Orde Baru yang sangat otoritarian, suatu bingkai politik di mana KHI dilahirkan.

    Kenyataan inilah yang membedakan dengan pemaknaan fiqh sebelumnya--di mana fiqh madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafii, madzhab Hanbali, madzhab Jafari, madzhab Dhohiri, dan seterusnya, biasa diletakkan. Fiqh dalam konteks itu biasa didefinisikan sebagai (kumpulan) hukum Islam praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci. Pihak yang paling otoritatif untuk mengambil kesimpulan hukum Islam dari sumber hukumnya, al-Quran dan al-Sunnah, sejak dulu hanyalah para ulama fiqh (fuqah`). Mungkin akibat dominannya penafsiran pribadi ulama itu (ijtihd fardy), maka keputusan hukumnya selalu dinisbatkan kepada nama tokoh ulama itu secara personal. Nyaris tak terdengar fiqh pada masa lalu dinisbatkan kepada suatu institusi atau ideologi tertentu, meski institusi atau ideologi itu juga dominan mempengaruhinya, bahkan secara nyata turut mewarnai hasil penafsirannya.

    Sebagai bentuk pertanggungjawaban intelektual, saatnya kita berani mengatakan madzhab di luar person. Yakni, menyatakan secara tegas dan argumentatif madzhab fiqh yang dinisbatkan pada suatu institusi atau ideologi tertentu yang memang secara nyata terlibat dalam wacana dan penafsiran terhadap sumber Islam dan melahirkan produk hukum Islam (fiqh). Misalnya, penyebutan Fiqh Madzhab Negara (lebih tegas lagi Madzhab Orde Baru), Fiqh Madzhab Kapitalisme, Fiqh Madzhab Sosialisme, Fiqh Madzhab Nahdlatul Ulama, Fiqh Madzhab Muhammadiyyah, dan seterusnya. Penyebutan ini penting dilakukan, setidaknya, karena tiga hal:

    Pertama, adalah suatu kenyataan yang tak bisa dibantah bahwa institusi atau ideologi tersebut, terutama negara, dewasa ini telah menjadi subyek yang mendominasi banyak orang. Nyaris tak seorang pun merdeka atas jaring-jaring ideologi dan aturan institusi negara.

    Kedua, diakui atau tidak keberadaan institusi atau ideologi tersebut sekarang ini juga telah mempribadi (menjadi subyek yang mempengaruhi) melebihi kemampuan pribadi ulama, baik jaman dahulu maupun sekarang. Institusi atau ideologi tadi bukan saja secara nyata terlibat dalam penafsiran, melainkan juga turut mengarahkan angan-angan sosial orang yang berada dalam kungkungannya.

    Ketiga, dalam kenyataannya rumusan fiqh hasil ijtihad person-ulama itu tidak diikuti dalam keseluruhannya oleh umat Islam sekarang. Banyak Muslim sekarang mengikuti fiqh secara talfiq (eklektik, campur aduk) sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang. Dengan kata lain, sebagian pendapat satu ulama ditinggalkan dan mengambil pendapat ulama lain untuk sebagian masalah yang lain. Ini berarti banyak orang mengikuti fiqh secara lintas madzhab atau membentuk madzhab baru sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.

    Penyebutan nama fiqh di luar person dilakukan bukan untuk kepentingan penyebutan semata, melainkan sebagai bentuk pertanggunganjawaban ilmiah dan moral. Dengan begitu, kita berharap setiap orang bisa dengan jelas untuk mengikuti atau tidak mengikuti, setuju atau tidak setuju, secara rasional dan berkesadararan atas rumusan hasil ijtihad yang dinisbatkan pada suatu institusi atau ideologi tersebut. Pertanggunganjawab pun menjadi jelas. Dalam konteks ini, penisbatan fiqh pada suatu kawasan tertentu, seperti Fiqh Indonesia, Fiqh Mishry, Fiqh Hijazy, dan sejenisnya, yang pernah populer beberapa waktu lalu menjadi tidak relevan lagi. Sebab, tidak jelas kepada siapa pertanggunganjawaban ilmiah dan moral itu ditujukan. Lagi pula, penamaan berdasarkan kawasan cenderung bernuansa homogenisasi daripada membiarkan pluralitas ijtihad itu tumbuh seperti adanya. Ini juga bertentangan dengan karakter fiqh dalam maknanya yang genuine. Sebab, watak dasar fiqh yang tidak boleh digantikan oleh sejarah manapun adalah adanya ketersediaan pilihan-pilihan hukum lebih dari satu (dz wujhin) dalam satu masalah sosial keagamaan. Fiqh dalam sejarahnya tidak pernah tunggal dan tidak bisa ditunggalkan. Hanya karena intervensi arogansi politik dan pemaksaan kepentingan kelompok dominanlah watak demokratis bangunan fiqh itu terpasung dalam sejarah.

  • [email protected]

    FIQH MADZHAB NEGARA

    19

    Adalah karena dorongan kesadaran sejarah itu, saya mencoba mendudukkan secara proporsional posisi paradigmatik KHI dalam konfigurasi politik hukum di Indonesia. Kita tentu saja tidak menghendaki apabila atas nama kekuasaan terjadi penunggalan warna fiqh. Sebutan Fiqh Madzhab Negara kiranya tidak berlebihan apabila kita membacanya secara kritis dari keseluruhan proses pembentukan, pilihan materi hukum, logika politik hukum, hingga strategi legislasi yang digunakannya. Nomenklatur yang terasa asing ini juga bisa dimaknakan sebagai simbol dari kenyataan intervensi negara atas otoritas dan watak fiqh yang genuine. Negara melalui aparatusnya memang telah menafsir dan memutuskan kesimpulan hukum Islam yang terumuskan dalam KHI. Pemberian label ini tidak berarti bahwa saya mengafirmasi (menyutujui) kehadiran Fiqh Madzhab Negara dengan berbagai karakter yang melekat padanya. Malahan dalam banyak hal, saya selalu memberikan catatan-catatan kritis atas model dan cara-cara negara melakukan intervensi terhadap agama dan wilayah keagamaan, yang seharusnya diserahkan kepada masyarakat penganut agama itu secara independen.

    Dengan menggunakan nomenklatur ini, saya sebetulnya sedang mencoba menjelaskan sedikit dari kehendak-kehendak sosial-politik negara Orde Baru berikut beberapa konsekuensi politik dari legislasi hukum Islam, baik dalam cerminan sejarah maupun pantulan kekinian. Peran negara dan cara-cara kerja ideologi yang dianutnya juga coba disertakan dalam pembacaan KHI ini. Semua itu dibidik dalam kacamata politik hukum dengan pendekatan kritis. Saya memang berpretensi menghadirkan nomenklatur ini sebagai eksperimentasi aplikatif dari paradigma hukum kritis, dengan menunjukkan suatu praksis kajian hukum Islam dalam kompleksitas latar proses pembentukannya yang selalu tidak steril dari kepentingan-kepentingan politik di dalamnya. KHI yang telah mendapatkan justifikasi yuridis Inpres Nomor 1 Tahun 1991 adalah suatu contoh kasus yang mudah dikemukakan untuk ini. KHI dalam studi politik hukum adalah fiqh madzhab negara.

    Cirebon, 31 Januari 2009 MW