fip.upgris.ac.idfip.upgris.ac.id/.../uploads/2017/11/Tantangan-profesi-BK-abad-21.docx · Web...

45
TANTANGAN PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING DI ABAD KE-21 Disajikan Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling di Universitas PGRI Semarang Tanggal 11 November 2017 oleh Prof.Dr. MUNGIN EDDY WIBOWO, M.Pd.,Kons. Profesor Bimbingan dan Konseling UNNES Ketua Umum PB-ABKIN Diselenggarakan oleh: PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

Transcript of fip.upgris.ac.idfip.upgris.ac.id/.../uploads/2017/11/Tantangan-profesi-BK-abad-21.docx · Web...

TANTANGAN PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING

DI ABAD KE-21

Disajikan

Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling di Universitas PGRI Semarang Tanggal 11 November 2017

oleh

Prof.Dr. MUNGIN EDDY WIBOWO, M.Pd.,Kons. Profesor Bimbingan dan Konseling UNNES

Ketua Umum PB-ABKIN

Diselenggarakan oleh:

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PGRI SEMARANG

TAHUN 2017

ABSTRACT

Indonesia faces the challenge of the nation's competition in the globalization era of the 21st century, demanding improved quality and productivity of educated people. Competitiveness can only be realized by an independent nation, a nation capable of implementing policies and development programs by relying on its own strength. Independence of the nation comes from a nation's ability to survive in a changing environment, whether the natural environment, society or the environment between nations without sacrificing identity. Therefore, all the professions are competing to make science and technology as the basis of their profession. Challenges, expectations, promises, and continuous competition as a reality faced by human beings in various settings of life, namely family, school, youth and community organizations, the potential for the emergence of various problems. This condition makes focus, attention and the field of counseling services wider, not only limited to the school environment, but also enter the wider community environment. Counseling as part of the education program in schools, so counseling as a life process has a very strategic role in the effort to help the quality of human life related to personal life, social, learning, career, family, and religious.Future counseling, is a future-looking counseling, counseling that anticipates the future, that is looking far ahead and ready to navigate the future of life so that will still exist in the running profession counseling. The anticipation of far ahead is very important given that in this modern age the changes in economic, social, and political life are happening very quickly. This is due to the rapid development in science and technology. The 21st century professional counselors in running the aid profession must be able to become effective counselors. An effective counselor is a counselor who in performing his duties produces benefits and earns trust for the people he serves. The effectiveness of the counselor in carrying out his profession because it has a convincing accountability with the support of personality ownership, formal education obtained by counselors, and the ability of the counselor is convincing through practice of evidence-based counseling and action research. 21st century professional counselors are counselors who have professional identity identity) counselor is obtained through education in the counseling profession, and has competence in the theory and practice of counseling. Through a process of professional acculturation, students and graduates adopt an identity that supports the philosophy, views, and value of the counseling profession they choose. Therefore the professionalism of the counselor is very important, because it is an absolute requirement in global life of the 21st century. Globalization alters the nature of amateurism's work towards professionalism whose performance is based on the mastery of science, cultural transformation into dynamic culture, creativity, innovation, high productivity, and quality of performance and competitive work

Keywords: national independence, counseling, counselor, competition, 21st century

A. PENGANTAR

Dunia abad ke-21 milenium ketiga merupakan era kemajuan teknologi luar biasa yang akan mengubah cara berpikir dan visi mengenai kehidupan manusia serta mengalami akselerasi perubahan yang sangat besar. Kemajuan teknologi komunikasi akan melahirkan suatu dunia terbuka tanpa sekat, baik di dalam arti harfiah maupun dalam arti yang luas. Kemajuan teknologi begitu pesat sehingga teknologi dengan aplikasinya akan mengubah bentuk dan cara hidup manusia yang sama sekali berlainan dibandingkan dengan kehidupan manusia dewasa ini. Jarak dan waktu menjadi sangat pendek atau dapat dikatakan tidak merupakan penghalang bagi komunikasi antarmanusia.

Perubahan global yang terjadi dimulai pada abad ke-20 begitu besar, dahsyat, dan mengglobal. Indonesia adalah bagian dari perubahan global itu. Manusia yang hidup di dalam abad ke-21 milenium ketiga berada di dalam dunia yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya, memasuki fase baru dalam kehidupan umat manusia, dimana kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi, telah terjadi perubahan dalam berbagai kehidupan. Teknologi dan kecanggihan serta kedinamisan akal pikiran manusia perlu bagi membuat penduduk dunia melihat keberadaan di muka bumi ini dalam bentuk yang berbeda, namun merayakan perbedaan dan memanfaatkan persamaannya. Sudah tentu perubahan-perubahan saat memberi kesan kepada posisi dan kekukuhan ekonomi, politik, teknologi dan budaya. Tantangan yang dihadapi dunia sama dengan yang dihadapi negara ini, mengingat Indonesia tidak akan dapat hidup dalam isolisasi.

Indonesia menghadapi tantangan persaingan bangsa di era global di abad ke-21 menuntut peningkatan mutu dan produktivitas manusia terdidik. Daya saing hanya dapat diwujudkan oleh sebuah bangsa yang mandiri, yaitu bangsa yang mampu melaksanakan kebijakan dan program pembangunan dengan mengandalkan kekuatan sendiri. Perwujudan kemandirian bangsa hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan bermutu, relevan,dan berkeadilan. Pendidikan harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan nasional di berbagai bidang. Sebagai bagian integral dari suatu sistem perekonimian negara,pendidikan harus dapat menghasilkan tenaga terdidik yang cakap,kreatif,dan profesional agar menjadi pelaku ekonomi yang produktif dan berkelanjutan.Sebagai manusia produktif, tenaga terdidik harus memiliki bekal kemampuan yang memadai baik untuk bekerja maupun berusaha sendiri.

Kita sebagai bangsa, warga negara dan masyarakat Indonesia, sekarang hidup dalam dunia yang kompleks, sibuk, terus berubah, dan penuh tantangan dalam upaya untuk mencapai perkembangan diri yang optimal, kemandirian, dan kebahagiaan dalam kehidupan. Di dunia ini, ada banyak pengalaman yang sulit dihadapi oleh seseorang dalam kehidupannya, namun terus menjalani hidup ini, meskipun ada saatnya terhenti oleh sebuah peristiwa atau situasi yang tidak dapat dipecahkan pada saat itu.. Pada saat itulah, profesi konselor merupakan pilihan yang tepat dan sangat berguna dalam memenuhi kebutuhan individu dalam mencapai perkembangan optimal, kemandirian, dan kebahagiaan dalam kehidupan, sehingga dapat diwujudkan kehidupan efektif dan normatif dalam keseharian. Konselor berada di banyak tempat baik dalam setting pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal yang murah biayanya, bahkan terkadang gratis.

Konselor sebagai pendidik profesional melakukan pelayanan konseling sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap perkembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling sebagai profesi

bantuan diperuntukan bagi individu-individu normal yang sedang menjalani proses perkembangan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan agar mencapai perkembangan optimal, kemandirian dan kebahagiaan dalam menjalani berbagai kehidupan. Konseling membantu individu mengaktualisasikan dirinya secara optimal dalam aspek kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan kinestetik, sehingga akan dapat diwujudkannya manusia yang berhasil sebagai pribadi mandiri (mahluk individu), sebagai elemen dari sistem sosial yang saling berinteraksi dan mendukung satu sama lain (mahluk sosial), dan sebagai pemimpin bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di muka bumi (mahluk Tuhan). Konseling sebagai profesi bantuan (helping profession) adalah konsep yang melandasi peran dan fungsi konselor di masyarakat dewasa ini.

Pelayanan bimbingan dan konseling di satuan pendidikan akan dapat diwujudkan oleh Kinerja Guru bimbingan dan konseling (Guru BK) atau konselor profesional, bermartabat dan berwawasan masa depan sehingga akan mampu memberdayakan dan membudayakan manusia memasuki sebuah wilayah kesatuan pasar bebas dan basis produksi dengan kompetisi di semua sektor yang sangat tinggi yaitu globalisasi di abad ke-21. Guru BK atau Konselor dalam kinerjanya harus dapat menjamin tumbuh suburnya profesi dan menjadikan profesi konseling menjadi profesi yang bermartabat, yaitu pelayanan yang diberikan benar-benar bermanfaat, pelaksana bermandat, dan diakui secara sehat oleh pemerintah dan masyarakat. Guru BK atau konselor harus berusaha memenuhi standar profesi guru BK atau konselor agar pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh Guru BK atau konselor dapat merebut kepercayaan publik (public trust) melalui peningkatan kinerja Guru BK atau konselor dalam pelayanan bimbingan dan konseling bermartabat. Hasil yang diharapkan dari pelayanan konseling adalah kemandirian dan kemampuan manusia Indonesia untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat global di abad ke-21 sehingga akan tetap eksis dalam kehidupannya sepanjang masa. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pelayanan konseling untuk selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan, keinginan, permasalahan pihak yang dilayani dan juga tuntutan lingkungan dalam berbagai kehidupan baik di kawasan masyarakat Indonesia, masyarakat modern, dan masyarakat abad ke-21 serta menjadi lokomotif dari proses pemberdayaan dan pembudayaan bangsa Indonesia.

B. MASYARAKAT MASA DEPAN DI ABAD KE-21

Perkembangan teknologi dan informasi, kecenderungan ekonomi global, dan perubahan struktur dunia kerja dibarengi dengan tumbuhnya abad ke-21 yang berbasis pengetahuan (learning society) menuntut peningkatan mutu dan produktivitas manusia terdidik agar tetap eksis dan mampu berkompetisi dalam berbagai kehidupan. Masyarakat berbasis ilmu pengetahuan merupakan wajah masyarakat dunia masa depan. Masyarakat seperti ini memiliki kebutuhan untuk menciptakan pendidikan dan pelatihan dalam sistem belajar sepanjang hayat (lifelong learning) yang menawarkan kepada setiap warga masyarakat fasilitas belajar untuk beradaptasi kepada pengetahuan dan keterampilan mutakhir.

Kemuktakhiran ini menjadi amat penting, karena dunia kerja dan kehidupan menuntut semua orang, baik secara perseorangan maupun organisasi untuk selalu memutakhirkan pengetahuan, wawasan, dan keterampilannya agar bisa tetap eksis dan memiliki ketahanan di dalam dunia global ini. Masyarakat yang tidak menguasai ilmu pengetahuan akan tercecer bahkan menjadi budak dari masyarakat yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkembang, yaitu berada dalam masa transisi dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern. Masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh arus globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi, serta arus pasar bebas di kawasan Asia tenggara, sehingga kemungkinan bertemunya orang-orang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga antar budaya dengan berbagai keragamannya. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural yang kesadaran akan kehidupan sangat terbatas dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Dengan pengaruh arus globalisasi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang dapat menembus kehidupan tanpa batas, tanpa waktu, dan tanpa batas geografis. Namun, ketermelekan masyarakat modern atas kehidupan yang berubah cepat juga membawanya pada rasa keterasingan, dan mungkin kegelisahan menghadapi perubahan-perubahan yang begitu cepat. Keberadaan manusia modern ialah keberadaan di dalam suatu masyarakat yang penuh risiko, masyarakat yang berubah dengan cepat meminta manusia mengambil sikap, mengadakan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau dia hanyut bersama-sama dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya konselor yang mampu memberikan pelayanan konseling dalam menyiapkan manusia Indonesia berkualitas untuk menghadapi masa depan.

Masa depan yang dibawa oleh proses globalisasi di abad ke-21 adalah masyarakat yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based society). Masyarakat masa depan tersebut adalah masyarakat yang berubah dan didasarkan pada penemuan-penemuan yang meningkatkan taraf hidup manusia. Sikap inovatif merupakan syarat yang perlu dikembangkan dalam pendidikan termasuk juga dalam konseling. Sikap inovatif memerlukan manajemen waktu (time management) dalam bekerja, kualitas terkontrol dalam pekerjaan, serta sikap keterbukaan untuk mencari yang lebih baik. Suatu masyarakat berdasarkan ilmu pengetahuan adalah suatu masyarakat komunikatif. Oleh karena itu penguasaan bahasa dunia serta bahasa komputer merupakan syarat mutlak dalam kemajuan suatu masyarakat.

Menghadapi perubahan kehidupan yang begitu cepat di era globalisasi abad 21 di masa depan, manusia dituntut untuk mampu melakukan kompetisi dan bahkan mega-kompetisi di dalam seluruh kehidupan manusia. Mega-kompetisi tersebut adalah dorongan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, dengan kualitas tersebut orang saling bersaing satu dengan yang lain. Manusia modern yang hidup dalam masyarakat yang penuh risiko, harus cepat mengambil sikap, mengadakan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau dia hanyut bersama-sama dengan perubahan tersebut. Suatu masyarakat yang berisiko adalah ciri utama masyarakat masa depan. Dalam menghadapi masyarakat yang penuh risiko tersebut kita dapat mengambil sikap yang ragu-ragu atau pesimis atau sikap optimisme untuk menghadapi perubahan.

Masyarakat masa depan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi belum cukup untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan damai. Masyarakat itu adalah masyarakat madani yang berkembang berdasarkan kehidupan yang mengakui akan hak asasi manusia dan partisipasi setiap anggotanya di dalam membangun masyarakatnya. Inilah masyarakat demokratis yang mengakui akan hak-hak asasi manusia, hidup penuh toleransi dan saling menghargai. Dengan demikian penguasaan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi tidak diarahkan kepada pemusnahan peradaban manusia tetapi terarah kepada kehidupan dunia yang lebih baik, aman, saling pengertian,dan saling menghargai.

Ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah diarahkan kepada kehidupan bermoral manusia. Oleh karena itu esensi nilai dalam masyarakat global di abad ke-21 menjadi amat penting, dalam kondisi manusia menghadapi ketidakpastian (uncertainty) dan bahkan kesemrawutan (chaos) yang bisa membuat nilai-nilai rujukan yang ada menjadi amat rentan terhadap pengaruh nilai-nilai baru yang dangkal dan instrumental. Di sinilah manusia perlu belajar memahami dan memaknai nilai agar nilai rujukan yang diikutinya tidak semata-mata nilai transformasi kultural tetapi dimaknai secara kontekstual. Dikatakan oleh Frankl (1985) bahwa pencarian makna pada diri manusia merupakan motivasi primer di dalam kehidupannya dan bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan instinktif. Makna ini unik dan spesifik yang harus dan hanya bisa dipenuhi oleh dirinya sendiri; dan terjadi dalam semua aspek kehidupan (Zohar & Marshall,2000).

Pada abad ke 21 Indonesia menghadapi berbagai tantangan dari dalam dan dari luar akibat dampak globalisasi, liberalisasi dan tantangan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Indonesia menghadapi pelbagai tantangan internal dan eksternal akibat dampak globalisasi, liberasisasi dan tantangan teknologi, informasi dan komunikasi.Implikasi dari tantangan ini memicu kebutuhan negara untuk membangun sumber daya yang berciri produktif, cerdas, terampil TIK, mantap spiritual dan emosional, mampu bersaing diperingkat lokal,global serta memiliki jati diri bangsa yang tinggi.

Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin mendunia yang diiringi berbagai perubahan dan kemajuan serta masalah-masalah yang melekat di dalamnya menimbulkan berbagai tantangan dan sekaligus menumbuhkan harapan bagi seluruh warga masyarakat. Tantangan,harapan,kesenjanjangan, dan persaingan yang terus menerus sebagai suatu kenyataan yang dihadapi manusia dalam berbagai setting kehidupan,yaitu keluarga, sekolah, organisasi pemuda dan kemasyarakatan, menjadi potensi timbulnya berbagai permasalahan. Kondisi semacam ini menjadikan fokus,perhatian serta medan pelayanan konseling semakin lebar,tidak hanya terbatas pada lingkungan persekolahan,melainkan juga memasuki lingkungan masyarakat luas.

C. PROFESI KONSELING DI ABAD KE-21

Dalam upaya untuk memperkokoh eksistensi profesi konselor dan kepercayaan publik di era MEA dan masyarakat terbuka di era globalisasi abad ke-21, profesi konselor sebagai profesi bantuan kemanusiaan harus selalu mengembangkan diri dan melakukan inovasi-inovasi dalam upaya untuk membantu kehidupan individu yang dilayani menjadi lebih baik. Kehidupan manusia adalah amanah Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak boleh dibiarkan berjalan apa adanya, berlalu begitu saja, atau sia-sia saja. Kehidupan

manusia yang penuh fitrah harus diperkembangan, dipelihara, dan diberdayakan untuk memberikan manfaat bagi kemuliaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia. Keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan yang Maha Esa ditunaikan melalui kepribadian yang tulus dan ikhlas; citra kesempurnaan dan keindahannya diwujudkan melalui penampilan budaya dan peradaban yang terus berkembang; ketinggian derajatnya ditampilkan melalui upaya menjaga kehormatan dan menolak hal-hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaannya; kekhalifahan diselenggarakan melalui penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kehidupan yang damai dan sejahtera dalam alam yang nyaman dan tentram; dan hak asasi manusia dipenuhi melalui saling pengertian, saling memberi dan saling menerima serta saling melindungi, mensejahterakan dan membahagiakan. Manusia selalu dalam proses “menjadi”, ia tidak hanya “being”, tetapi “becoming”, suatu gerak, proses, transisi, yang tidak selesai. Kemanusiaan yang dicapai manusia sampai tahap ini belum merupakan kemanusiaan yang sudah selesai atau definitif sebagaimana sekarang ini.

Kemampuan yang memungkinkan seseorang dapat meningkatkan mutu kehidupan antara lain, adalah: kemampuan berkerja; kemampuan berpikir logis dan sistemik; kemampuan memecahkan masalah; kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi yang terus berubah; kemampuan untuk belajar; kemampuan untuk berkembang secara mandiri; kemampuan untuk bekerjasama; kemampuan untuk mematuhi peraturan; kemampuan untuk menguasai diri; kemampuan untuk berdisiplin diri, disiplin sosial, dan disiplin nasional; dan kemampuan untuk memahami dunianya

Segala pengetahuan,keterampilan, dan sikap yang dipelajari di satuan pendidikan adalah wahana bagi berkembangnya kemampuan. Karena itu untuk mengukur mutu pendidikan dalam kaitannya dengan fungsi pendidikan nasional seyogyanya bukan hanya mengukur tingkat penguasaan pengetahuan, apalagi pengetahuan yang tidak relevan dengan berkembangnya kemampuan, melainkan kemampuannya menggunakan pengetahuan, keterampilan, sikap untuk bekerja, memecahkan masalah dan kemampuan daya saing yang tinggi.

Konseling identik dengan kehidupan. Konseling adalah kehidupan itu sendiri. Konseling adalah proses kehidupan dan bukan proses untuk mempersiapkan hidup. Hidup yang sewajarnya adalah hidup di mana manusia dapat mengembangkan diri dan mewujudkan diri sebagai mahluk individu, sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk beragama. Pendidikan adalah perwujudan diri (Wilds & Lottich,1961:246) ini berarti bahwa konseling sebagai bagian pendidikan juga berusaha untuk membantu manusia untuk dapat memberdayakan dirinya dalam melakukan perwujudan diri sehingga akan menjadi eksis dalam kehidupan. Konseling adalah upaya untuk membantu individu-individu yang sedang dalam proses perkembangan untuk mencapai tugas perkembangannya sehingga akan menjadi manusia yang berdaya dan berbudaya bangsa Indonesia. Tugas perkembangan adalah suatu tugas yang muncul pada atau kira-kira pada saat tertentu dalam jalan hidup individu, yang apabila tugas itu dapat dilaksanakan dengan berhasil akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas selanjutnya; sedangkan kegagalan melaksanakannya menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, membawakan penolakan masyarakat

pada dirinya, dan kesulitan-kesulitan dalam melaksanakan tugas berikutnya (Havighurst,1961:2).

Konseling sebagai bagian dari program pendidikan di sekolah, sehingga konseling sebagai proses kehidupan mempunyai peran sangat strategis dalam upaya untuk membantu mutu kehidupan manusia yang berkaitan dengan kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir, keluarga,dan keberagamaan. Konseling merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam kehidupan setiap individu, yang mempengaruhi perkembangan fisiknya, mentalnya, emosionalnya, sosialnya, dan etiknya. Dengan kata lain konseling merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi seluruh aspek kepribadian dan kehidupan individu secara umum dan sangat mendasar. Konseling mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai warga negara atau warga masyarakat. Meningkatnya mutu kehidupan setiap manusia sebagai warga masyarakat dan warga negara dengan sendirinya akan dapat mengembangkan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia.

Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidupan masyarakat modern di era globalisasi abad ke-21 yang penuh dengan risiko dalam kehidupannya. Konseling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan bermasyarakat dimana individu-individu yang dilayani hidup dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya. Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya, karena dalam proses konseling akan terjadi perjumpaan budaya antara budaya konselor dan budaya klien. Namun, konsep maupun praksis mengenai konseling dan kebudayaan belum semuanya melihat keterkaitan yang organis antara konseling dan kebudayaan

Konseling adalah proses pemberdayaan dan pembudayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakat. Konsekuensinya adalah proses konseling itu harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia. Terkandung makna disini bahwa melalui proses konseling diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Konseling adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Konseling tidak akan pernah terlepas dari dan bahkan akan selalu terkait dengan manusia yang sedang berada dalam proses berkembang dengan segala dimensi keunikannya. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses konseling diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika konseling ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka konseling harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Konselor perlu memahami manusia dalam segala hal aktualisasinya, kemungkinannya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi pada diri manusia

Konseling sebagai proses pemberdayaan, yaitu berbagai kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh konselor terhadap klien untuk membantu membangun berbagai daya kekuatan berikut ini.

a. Daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseorang agar memiliki kemampuan berpikir, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan.

b. Daya kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, konseling juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia. Pestalozzi sebagai ahli pendidikan mengatakan,”hakikat pelatihan kodrat manusia adalah mendidik bangsa manusia untuk memahami cinta kasih... Cinta kasih adalah satu-satunya dasar yang abadi untuk melatih kodrat manusias menjadi manusia”. Dapat dikatakan konseling bertujuan menciptakan suatu caring society, suatu komunitas persaudaraan yang memperhatikan kepentingan semua pihak.

c. Daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Tanpa adanya harga diri, tidak mungkin manusia membangun kemampuan kreativitasnya dalam berbagai bidang. Perkembangan intelektual, moral, dan emosional dalam pendidikan hanya mungkin atas dasar harga diri, kepercayaan, dan harapan masa depan yang harus ditanamkan sejak dini.

Konseling adalah pembudayaan, tanpa kebudayaan manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidupan manusia dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, dan konseling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannnya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Konseling sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda :memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Konseling harus memberi wahana kepada individu (klien) untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” (“diferensial”) dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan kecerdasan masing-masing. Proses konseling harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dari keberlangsungan jagat besar.

Konseling harus memberi wahana kepada individu sasaran layanan sebagai generasi muda penerus bangsa untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama melalui olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Konseling harus dirancang dengan tetap mengunggulkan derajat dan martabat manusiawi generasi muda penerus bangsa agar menjadi bangsa yang bermartabat dan mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman yang penuh risiko.

Konseling membantu individu (klien) membangun sistem nilai budaya bangsa Indonesia untuk dapat menjadi manusia yang bermartabat sehingga mampu bersaing dan bersanding dalam era masyarakat modern di abad ke-21. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman bagi kelakukan manusia. (Koentjaraningrat,2002:27). Meskipun masyarakat Indonesia memasuki masyarakat modern di abad ke-21, harus berpegang teguh dengan sistem nilai budaya bangsa Indonesia yang telah berakar dalam alam jiwa manusia yaitu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Menurut Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat,2002:30), bahwa semua sistem nilai budaya dalam kebudayaan di dunia itu sebenarnya mengenai lima masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu masalah:

1. Hakikat dari hidup manusia.2. Hakikat dari karya manusia.3. Hakikat dari kehidupan manusia dalam ruang waktu.4. Hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.5. Hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya.

Konselor melalui pelayanan konseling membantu individu (klien) untuk membangun sistem nilai budaya yang berkaitan dengan permasalahan kehidupan manusia, karya manusia, kehidupan manusia dalam ruang waktu, hubungan manusia dengan alam sekitar, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan Maha Pencipta.Dengan lima masalah pokok yang menentukan orientasi nilai budaya tersebut, dapat ditanamkan dan dikembangkan nilai-nilai kebudayaan yang bersumber dari budaya, agama, dan Pancasila yang melekat pada kehidupan bangsa menjadi basis dalam pelayanan konseling seperti pandangan hidup, kejujuran, kebaikan, estetika, dan berbagai nilai lain yang dipandang berharga dalam kehidupan. Konselor membantu individu (klien) untuk menanamkan dan mengembangkan sistem nilai dan norma yang menjadi patokan untuk sikap mental dan perilaku yang benar, baik, dan pantas serta menjauhi hal-hal yang salah, buruk, dan tidak pantas. Disinilah konseling dalam membudayakan individu(klien) yang akan menjadikan mansuia Indonesia yang mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sehari-hari maupun dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya. Sistem nilai ini harus dibangun secara holistik sehingga menjadi keutuhan dalam kehidupan manusia dalam masyarakat yang penuh risiko,yaitu masyarakat modern dan masyarakat globalisasi di abad ke-21.

Sistem nilai budaya masyarakat Indonesia yang harus dibangun juga melalui konseling yaitu sistem nilai gotong royong, ini mempunyai nilai tinggi apabila manusia suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Sistem nilai budaya gotong royong mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena hampir semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerja sama dengan orang lain. Koentjaraningrat (2015:69) menyatakan bahwa sistem nilai budaya orang Indonesia mengandung empat konsep, ialah: (1) manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh

komunitasnya, masyarakatnya dan alam sekitarnya; (2) dalam segala aspek kehidupannya, manusia pada hakikatnya tergantung kepada sesamanya; (3) manusia selalu berusaha untuk memelihara hubungan dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata,sama rasa,dan (4) selalu berusaha untuk bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama-tinggi-sama-rendah.

Konseling berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Proses konseling adalah proses yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Oleh karena itu konseling selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, mengembangkan dirinya secara optimal, juga memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini.

Konseling untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik. Oleh karena itu konseling harus mengembangkan kehidupan individu peserta didik dalam beragama, seni, kreativitas, berkomunikasi, nilai dan berbagai dimensi inteligensi yang sesuai dengan diri seorang peserta didik dan diperlukan masyarakat, bangsa dan ummat manusia.

Pelayanan konseling mengupayakan pengembangan segenap potensi individu secara optimal pada setiap tahap perkembangan, dan berperan aktif dalam pembentukan manusia produktif. Pengembangan ini akan dilengkapi dan meningkatkan pengembangan kemampuan intelektual dan keterampilan dengan pengembangan nilai dan sikap (Mungin Eddy Wibowo, 2002:25-26). Potensi dasar kemanusiaan yang perlu dikembangkan melalui pelayanan konseling disebut pancadaya yang meliputi lima unsur, yaitu (a) daya takwa, (b) daya cipta, (c) daya rasa, (d) daya karsa, dan daya karya. (Prayitno,2015; Dewantara K.H,2004).

Dari sudut pandang profesi bantuan pelayanan konseling diabdikan bagi peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan dengan cara-cara menfasilitasi perkembangan individu atau kelompok individu sesuai dengan kekuatan, kemampuan potensial dan aktual serta peluang-peluang yang dimilikinya, dan membantu mengatasi kelemahan dan hambatan serta kendala yang dihadapi dalam perkembangan dirinya. Tujuan konseling terfokus kepada memberikan kemudahan berkembang bagi peserta didik. Sosok perkembangan manusia diharapkan menjadi arah dan tonggak sasaran bagi perwujudan misi dan pencapaian tujuan. Tujuan akhir pelayanan konseling adalah kemandirian, perkembangan optimal, dan kebahagiaan dalam kehidupan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkembang, yaitu berada dalam masa transisi dari masyarakat tradisional menuju ke masyarakat modern. Masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh arus globalisasi dan perkembangan teknologi dan informasi, sehingga kemungkinan bertemunya orang-orang dari berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang bukan hanya antar orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga antar budaya dengan berbagai keragamannya. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural yang kesadaran akan kehidupan sangat terbatas dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Dengan pengaruh arus globalisasi masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang dapat menembus kehidupan tanpa batas, tanpa waktu, dan tanpa batas geografis. Namun, ketermelekan masyarakat modern atas kehidupan yang berubah cepat juga membawanya pada rasa keterasingan, dan mungkin kegelisahan menghadapi perubahan-perubahan yang begitu cepat. Keberadaan manusia modern ialah keberadaan di dalam suatu masyarakat yang penuh risiko, masyarakat yang berubah dengan cepat meminta manusia mengambil sikap, mengadakan pilihan yang tepat untuk hidupnya atau dia hanyut bersama-sama dengan perubahan tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya konselor masa depan yang bermartabat.

Masa depan ialah suatu masa atau kondisi yang berada di depan manusia, akan tetapi kondisi tersebut biasanya digunakan untuk waktu yang panjang, mungkin juga tidak terbatas dan kadang-kadang masih bersifat abstrak. Masa depan untuk jangka pendek biasanya digunakan istilah besok, besok lusa, bulan depan atau tahun depan. Masa depan adalah masa yang penuh perubahan, penuh risiko, sangat kompleks, penuh tantangan, dan penuh peluang yang harus kita hadapi dengan kualitas dirinya dan mampu berkompetisi.

Konseling masa depan, adalah konseling yang menatap masa depan, konseling yang mampu mengantisipasi masa depan, yaitu melihat jauh kedepan dan siap mengarungi kehidupan masa depan sehingga akan tetap eksis di dalam menjalankan profesi konseling. Antisipasi jauh ke depan sangat penting mengingat bahwa dalam zaman modern ini perubahan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik terjadi dengan sangat cepat. Ini akibat dari cepatnya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Konseling masa depan yang bermartabat sangat dibutuhkan untuk dapat melaksanakan pekerjaan atau karir yang bersifat pelayanan bantuan keahlian dengan tingkat ketepatan yang tinggi untuk kebahagiaan pengguna berdasarkan norma-norma yang berlaku. Kekuatan eksistensi profesi konseling muncul sebagai akibat interaksi timbal balik antara kinerja konselor bermartabat dengan kepercayaan publik (public trust). Masyarakat percaya bahwa pelayanan konseling yang diperlukan itu hanya dapat diperoleh dari konselor yang dipersepsikan sebagai seorang yang kompeten dan bermartabat untuk memberikan pelayanan konseling yang bermartabat

Persaingan antarprofesi dalam MEA dan globalisasi di abad ke-21 menuntut penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menjalankan profesi. Oleh sebab itu, semua profesi berlomba-lomba untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar profesinya. Profesi konseling menjadi pilihan yang sangat menarik karena akan membantu kehidupan manusia menjadi lebih efektif dalam kehidupan keseharian

berdasarkan norma-norma yang berlaku. Hal ini tentunya profesi konseling atau profesi konselor akan menarik putra-putra terbaik dari bangsa untuk menjadi konselor masa depan. Apabila salah satu syarat suatu profesi dalam MEA relatif telah dapat dipenuhi, tugas dan tanggung jawab pembinaan akademik merupakan tugas selanjutnya yang tidak kurang berat tanggung jawabnya, bahkan yang paling menentukan. Pembinaan profesi konselor dalam rangka untuk meningkatkan keunggulan dan daya saing dalam MEA merupakan keniscayaan untuk meningkatkan mutu konseling, sehingga profesi konselor tetap terhormat dan bermartabat dalam persaingan antarprofesi dan persaingan antar bangsa.

Pengembangan dan inovasi-inovasi dalam rangka mengokohkan dan mempromosikan identitas, kelayakan dan akuntabilitas profesi konselor profesional secara nasional maupun internasional sangat penting dan harus dilakukan oleh konselor dalam menjalankan profesi konseling. Mengapa harus dilakukan? Karena konseling merupakan profesi yang dinamis, selalu berkembang, dan menyenangkan, yang berhubungan dengan tragedi manusia dan kemungkinan dalam cara yang intensif, personal dan perhatian. Profesi konseling merupakan profesi yang didedikasikan terhadap pencegahan, perkembangan, eskplorasi, pemberdayaan, perubahan dan remediasi di dunia yang semakin kompleks. Menjadi konselor adalah sebuah proses seumur hidup (Gladding,2002). Proses ini terus berlangsung melampaui pendidikan pendidikan formal tingkat master maupun doktoral dan termasuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang terkait dengan bidang konseling profesional. Konselor harus terus belajar dengan mendapatkan Continuing Education Units agar terus mendapatkan pembaharuan informasi mengenai bidang konseling, mendapatkan supervisi untuk memastikan pelayanan yang sempurna, dan advokasi untuk klien mereka dan profesi konseling itu sendiri. Selain itu, konselor harus belajar dan terus berusaha mendapatkan informasi terbaru mengenai peraturan pemerintah terkait dengan profesi konseling dan pendidikan.

Konseling masa depan dalam menghadapi masyarakat global di abad ke-21 adalah konseling yang berorientasi kepada manusia yang hidup di dalam dunia terbuka, kawasan perdagangan bebas diwilayah Asia Tenggara, tetapi bukan berarti manusia hidup di dalam dunia tanpa fundasi di mana seseorang itu dilahirkan. Peran konseling adalah membantu menyiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia ini. Masa depan yang selalu berkembang menuntut pelayanan konseling untuk selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan, keinginan, permasalahan pihak yang dilayani dan juga tuntutan lingkungan dalam berbagai kehidupan baik di kawasan masyarakat Indonesia, masyarakat modern, dan masyarakat MEA serta menjadi lokomotif dari proses pemberdayaan dan pembudayaan bangsa Indonesia. Konseling harus bisa membantu dalam membentuk masa depan bangsa melalui berbagai jenis layanan konseling bermartabat yang dilakukan oleh konselor-konselor yang profesional yang kompeten dalam menjalankan tugasnya (Wibowo,2015).

Dalam konteks globalisasi abad ke-21, konseling perlu membantu individu-indiivdu yang dilayani (klien) untuk memahami eksistensi bangsa dalam kaitannya dengan eksistensi bangsa-bangsa lain dan segala persoalan dunia. Indonesia tidak bisa lagi menutup diri dan menghalangi masuknya pengaruh masyarakat dunia dan masyarakat kawasan asia tenggara terkait dengan pasar bebas. Ini tidak berarti, kita membiarkan diri hanyut dalam arus dunia

dan menerima segala pengaruh asing. Seperti yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “Saya tidak ingin rumah saya ditemboki pada semua bagian dan jendela saya tutup. Saya ingin budaya-budaya dari semua tempat berembus di seputar rumah saya sebebas mungkin. Tetapi saya menolak untuk terbawa dan terhempaskan” (seperti dikutip dalam Kachru,1983). Masyarakat Indonesia tidak dapat meninggalkan tradisi, tetapi terbuka untuk transformasi dirinya dan kebudayaannya melalui proses akulturasi dan enkulturasi dalam kebudayaannya sendiri.

Konseling adalah proses pemberdayaan dan pembudayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakat sehingga akan mampu berkompetisi dalam kehidupan masyarakat global di abad ke-21. Konsekuensinya adalah proses konseling itu harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia untuk mencapai perkembangan optimal, kemandirian dalam kehidupan, serta kemampuan untuk melakukan kompetisi dalam kehidupan masyarakat global di abad ke-21. Terkandung makna disini bahwa melalui proses konseling diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika konseling ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka konseling harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Konselor perlu memahami manusia dalam segala hal aktualisasinya, kemungkinannya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi pada diri manusia.

Konseling sebagai proses pemberdayaan, yaitu berbagai kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh konselor terhadap klien untuk membantu membangun berbagai daya kekuatan berikut ini.

d. Daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseorang agar memiliki kemampuan berpikir, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan.

e. Daya kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, konseling juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia. Pestalozzi sebagai ahli pendidikan mengatakan,”hakikat pelatihan kodrat manusia adalah mendidik bangsa manusia untuk memahami cinta kasih... Cinta kasih adalah satu-satunya dasar yang abadi untuk melatih kodrat manusias menjadi manusia”. Dapat dikatakan konseling bertujuan menciptakan suatu caring society, suatu komunitas persaudaraan yang memperhatikan kepentingan semua pihak.

f. Daya kekuatan batin dalam diri klien, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Tanpa adanya harga diri, tidak mungkin manusia membangun kemampuan kreativitasnya dalam berbagai bidang. Perkembangan intelektual, moral, dan emosional dalam pendidikan hanya mungkin atas dasar harga diri, kepercayaan, dan harapan masa depan yang harus ditanamkan sejak dini.

Konseling adalah pembudayaan, tanpa kebudayaan manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidupan manusia dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, dan konseling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannnya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Konseling sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan berorientasi ganda :memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Konseling harus memberi wahana kepada individu (klien) untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” (“diferensial”) dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan kecerdasan masing-masing. Proses konseling harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dari keberlangsungan jagat besar.

Konseling identik dengan kehidupan. Konseling adalah kehidupan itu sendiri. Konseling adalah proses kehidupan dan bukan proses untuk mempersiapkan hidup. Hidup yang sewajarnya adalah hidup di mana manusia dapat mengembangkan diri dan mewujudkan diri sebagai mahluk individu, sebagai mahluk sosial dan sebagai mahluk beragama. Pendidikan adalah perwujudan diri (Wilds & Lottich,1961:246) ini berarti bahwa konseling sebagai bagian pendidikan juga berusaha untuk membantu manusia untuk dapat memberdayakan dirinya dalam melakukan perwujudan diri sehingga akan menjadi eksis dalam kehidupan. Konseling adalah upaya untuk membantu individu-individu yang sedang dalam proses perkembangan untuk mencapai tugas perkembangannya sehingga akan menjadi manusia yang berdaya dan berbudaya bangsa Indonesia. Tugas perkembangan adalah suatu tugas yang muncul pada atau kira-kira pada saat tertentu dalam jalan hidup individu, yang apabila tugas itu dapat dilaksanakan dengan berhasil akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam melaksanakan tugas selanjutnya; sedangkan kegagalan melaksanakannya menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, membawakan penolakan masyarakat pada dirinya, dan kesulitan-kesulitan dalam melaksanakan tugas berikutnya (Havighurst,1961:2).

Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidupan masyarakat modern di abad ke-21 yang penuh dengan risiko dalam kehidupannya. Konseling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan bermasyarakat dimana individu-individu yang dilayani hidup dalam lingkungan masyarakat yang berbudaya. Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya, karena dalam proses konseling akan terjadi perjumpaan budaya antara budaya konselor dan budaya klien. Namun, konsep maupun praksis mengenai konseling dan kebudayaan belum semuanya melihat keterkaitan yang organis antara konseling dan kebudayaan

Konseling adalah proses pemberdayaan dan pembudayaan manusia yang sedang berkembang menuju kepribadian mandiri untuk dapat membangun dirinya sendiri dan masyarakat. Konsekuensinya adalah proses konseling itu harus mampu menyentuh dan mengendalikan berbagai aspek perkembangan manusia. Terkandung makna disini bahwa

melalui proses konseling diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Jika konseling ini dipandang sebagai suatu upaya untuk membantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, maka konseling harus bertolak dari pemahaman tentang hakikat manusia. Konselor perlu memahami manusia dalam segala hal aktualisasinya, kemungkinannya, dan pemikirannya, bahkan memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi pada diri manusia.

Konseling bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan mencerahkan, serta proses perkembangan yang normatif. Konseling juga menciptakan kemandirian baik pada individu maupun bangsa. Konseling yang menumbuhkan jiwa kemandirian sangat penting untuk dapat bertahan dalam menghadapi pasar bebas. Oleh karena itu konseling harus menjadi bagian dari proses perubahan bangsa menuju masyarakat madani, yakni masyarakat demokratis, taat, hormat, dan tunduk pada hukum dan perundang-undangan, melestarikan keseimbangan lingkungan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Wibowo (2015) menyatakan bahwa dalam masyarakat modern di abad ke-21, konseling mempunyai peranan penting untuk membantu individu (klien) membangun budaya baru yang didasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu:

1. Budaya berpikir bebas. Bagi generasi tua terdapat banyak sekali rambu, apakah rambu yang diberikan oleh tradisi, agama, adat istiadat, cara hidup yang feodal, yang keseluruhannnya dapat merupakan penghalang bagi kemerdekaan berpikir. Dengan teknologi informasi, seseorang mempunyai akses untuk mengembara (roaming) mencari sebaya atau ahli ilmu pengetahuan dalam mendiskusikan sesuatu. Dengan teknologi informasi, seseorang dengan bebas dapat mengakses berbagai jenis informasi sehingga kemungkinan untuk memperkaya, membandingkan, dan menarik kesimpulan menjadi terbuka lebar. Konseling akan membantu individu (klien) untuk berpikir bebas atau merdeka akan membawa pada terbentuknya pribadi-pribadi yang independen,sehingga dapat mengembangkan kemampuan untuk kreatif dan produktif.

2. Budaya keterbukaan emosional dan intelektual. Dengan akses tanpa batas terhadap jalan raya informasi dan teknologi, seseorang tidak dapat lagi menutup diri dari dunia luar tanpa batas. Pintu informasi terbuka lebar, sehingga pandangan seseorang menjadi tidak terbatas. Hal ini akan mendorong untuk membuka diri bagi sumber-sumber ilmu pengetahuan yang lain dan seterusnya melatih emosinya untuk lebih berpandangan luas. Kebenaran yang selama ini dianggap satu-satunya kini dipercaya dengan berbagai jenis pandangan dariu berbagai jenis dimensi sehingga membuat seseorang menjadi matang secara emosional dan intelektual. Konselor membantu individu (klien) membangun kedewasaan dengan cara meningkatkan kemampuan untuk menganalisis serta menyintesikan berbagai jenis informasi, dan mengambil keputusan serta sikap sendiri, baik secara intelektual maupun emosional.

3. Budaya inklusivisme. Dengan terbukanya dunia tanpa batas tidak mungkin seseorang menutup diri dan beranggapan dirinya yang paling pintar. Konselor akan membantu dalam memperoleh pengalaman bahwa apa yang diketahuinya hanya apabila dia bekerja sama dalam membagikan informasi dengan yang lain dan mengembangkan apa yang disebut

kerjasama. Budaya eksklusivisme akan mendorong ke arah toleransi dan kerja sama yang lebih baik antara manusia serta antarkebudayaan dan peradaban.

4. Budaya kebebasan untuk menyatakan sesuatu. Dengan teknologi informasi akan lahir kesadaran yang dapat membentuk suatu pemikiran bersama yang lebih kuat karena didukung oleh kemerdekaan berpendapat dan kases terhadap berbagai jenis informasi. Konseling akan membantu individu (klien) untuk melakukan hubungan interaktif yang dimungkinkan oleh teknologi informasi modern, akan terbuka kesempatan untuk kebebasan menyatakan sesuatu melalui diskursus yang begitu kaya karena ditopang oleh sikap individu (klien) yang semakin matang, baik secara emosional maupun intelektual.

5. Budaya Inovasi dan pengambilan risiko. Dengan kekebasan untuk mengakses berbagai jenis informasi yang terus menerus terbuka karena adanya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, akan didorong oleh suatu sikap untuk terus menerus mencari sesuatu yang baru. Konseling akan membantu individu (klien) mengembangkan budaya inovasi dan pengambilan risiko dengan cara mendorong untuk kreatif dan membangkitkan gagasan baru serta berani mengambil risiko dari hasil inovasinya.

6. Budaya kematangan. Kematangan seseorang, kemandirian seseorang baik secara emosional maupun intelektual ditentukan oleh seberapa jauh konstribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk bertindak. Konseling membantu individu (klien) untuk menjadi matang dan mandiri dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan kemampuan untuk bertindak dalam menjalani suatu kehidupan sehingga akan mampu berkompetisi dan eksis dalam masyarakat ekonomi asean di abad ke-21.

7. Budaya investigasi. Kebenaran dalam era informasi bukanlah kebenaran yang mutlak. Ilmu pengetahuan akan terus menerus mencari sesuatu yang baru. Konseling akan membantu invdu (klien) untuk membangun sikap investigasi dan mencari yang lebih baru sehingga tidak akan ketinggalan dan akan tetap eksis dalam kehidupan masyarakat modern dan masyarakat ekonomi asean di abad ke-21..

8. Budaya unggul. Membangun keunggulan dalam menghadapi masyarakat modern dan masyarakat ekonomi asean di abad ke-21 adalah penting bagi manusia yang ingin hidup eksis dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Setiap manusia harus mampu meningkatkan daya saingnya apabila tidak ingin digilas oleh persaingan yang semakin ketat. Untuk dapat mempunyai daya saing,maka setiap manusia harus memiliki kelebihan dibanding dengan pesaingnya. Atau dengan kata lain, untuk dapat memenangkan persaingan, maka manusia harus mampu membangun keunggulan. Konseling akan membantu individu (klien) untuk mengembangkan dirinya mencapai keunggulan secara optimal, yaitu dengan berusaha keras secara berkelanjutan untuk menjadi yang terbaik (the best), menjadi yang pertama (the first), dan menjadi berbeda (being different) di dalam menghadapi masyarakat modern dan masyarakat ekonomi asean di abad ke-21.

9. Budaya Berprestasi. Membangun budaya berprestasi dalam menghadapi masyarakat modern dan masyarakat ekonomi asean di abad ke-21 adalah penting agar tetap eksis dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Konseling membantu individu (klien) untuk membangun budaya berprestasi dengan memberdayakan individu terpercaya untuk cocok dengan apa yang sedang dipelajari atau dikerjakan. Untuk membangun budaya berprestasi diperlukan adanya delapan core values atau nilai inti yang kuat (Victor S.L,Tan,2002:31),yaitu (1) orientasi pada hasil (result oriented); (2) pelayanan unggul

(superior customer service); (3) inovasi (innovation); (4) kejujuran (fairness); (5) rasa hormat (respect); (6) responsif terhadap perubahan(change responsive); (7) akuntabilitas (accountability); dan (8) keinginan besar (passion).

10. Budaya entrepreneur. Membangun budaya entrepreneurship sangat penting untuk melahirkan ide-ide, teori-teori yang baru untuk mengubah cara berpikir dan bertindak di dalam masyarakat modern dan masyarakat ekonomi asean di abad ke-21. Manusia berbudaya entrepreneur, yaitu manusia yang menginginkan perubahan, berpikir kritis yang tidak puas dengan keadaan yang berlaku. Mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik dan lebih maju. Konseling membantu individu (klien) untuk membangun dirinya menjadi manusia entrepreneur yaitu menjadi pribadi yang berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan berani mengambil keputusan sehingga perbuatannya melahirkan berbagai jenis kemungkinan yang apabila dilaksanakan akan menghasilkan suatu perubahan, sikap berani mengambil risiko untuk suatu perubahan, serta gandrung akan perubahan. Kreativitas dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia karena kreativitas merupakan faktor utama dalam proses pengembangan yang dapat menghasilkan inovasi. Kreativitas dan inovasi berperan dalam memberdayakan dirinya menjadi manusia berbudaya mutu, budaya unggul dan budaya berprestasi.

Persaingan antarprofesi dalam era globalisasi di abad ke-21 menuntut penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menjalankan profesi. Oleh sebab itu, semua profesi berlomba-lomba untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar profesinya. Profesi konseling menjadi pilihan yang sangat menarik karena akan membantu kehidupan manusia menjadi lebih efektif dalam kehidupan keseharian berdasarkan norma-norma yang berlaku. Hal ini tentunya profesi konseling atau profesi konselor akan menarik putra-putra terbaik dari bangsa untuk menjadi konselor masa depan. Apabila salah satu syarat suatu profesi dalam abad ke-21 relatif telah dapat dipenuhi, tugas dan tanggung jawab pembinaan akademik merupakan tugas selanjutnya yang tidak kurang berat tanggung jawabnya, bahkan yang paling menentukan. Pembinaan profesi konselor dalam rangka untuk meningkatkan keunggulan dan daya saing dalam abad ke-21 merupakan keniscayaan untuk meningkatkan mutu konseling, sehingga profesi konselor tetap terhormat dan bermartabat dalam persaingan antarprofesi dan persaingan antar bangsa.

Berbagai upaya pengembangan profesi konseling yang mengarah pada terwujudnya standarisasi profesi konseling. Kegiatan-kegiatan itu dapat berupa program-program pengembangan yang secara langsung diimplementasikan berdasarkan otoritas dan kebijakan yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berwenang, kolaborasi dengan stakeholders dan pihak-pihak pengguna layanan profesi konseling, validasi standarisasi profesi yang berbasis kebutuhan lapangan baik secara nasional maupun internasional, dan kredensial. Upaya dan tindak lanjut tersebut dilakukan baik oleh LPTK, Ditjen Kemenristekdikti, Kemendikbud, maupun asosiasi profesi konseling (ABKIN) dalam porsi kewenangan dan tanggung jawab masing-masing.

Pengembangan dan inovasi-inovasi dalam rangka mengokohkan dan mempromosikan identitas, kelayakan dan akuntabilitas profesi konseling secara nasional maupun internasional sangat penting dan harus dilakukan oleh konselor dalam menjalankan profesi konseling. Mengapa harus dilakukan? Karena konseling merupakan profesi yang dinamis, selalu

berkembang, dan menyenangkan, yang berhubungan dengan tragedi manusia dan kemungkinan dalam cara yang intensif, personal dan perhatian. Profesi konseling merupakan profesi yang didedikasikan terhadap pencegahan, perkembangan, eskplorasi, pemberdayaan, perubahan dan remediasi di dunia yang semakin kompleks. Menjadi konselor adalah sebuah proses seumur hidup (Gladding,2002). Proses ini terus berlangsung melampaui pendidikan pendidikan formal tingkat master maupun doktoral dan termasuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang terkait dengan bidang konseling profesional. Konselor harus terus belajar dengan mendapatkan Continuing Education Units agar terus mendapatkan pembaharuan informasi mengenai bidang konseling, mendapatkan supervisi untuk memastikan pelayanan yang sempurna, dan advokasi untuk klien mereka dan profesi konseling itu sendiri. Selain itu, konselor harus belajar dan terus berusaha mendapatkan informasi terbaru mengenai peraturan pemerintah terkait dengan profesi konseling dan pendidikan.

Pelayanan konseling yang mendunia di abad ke-21 menuntut standar profesi yang memenuhi persyaratan nasional dan internasional. Dalam hal ini,pelayanan dan program-program pendidikan tenaga profesi konseling harus didasarkan pada standar profesi konseling yang tidak hanya memperoleh pengakuan nasional tetapi juga internasional. Di Indonesia “internasionalisasi” profesi konseling memiliki dua arah,yaitu kemampuan membawa profesi konseling Indonesia ke kancah percaturan profesi konseling internasional pada satu arah, dan kemampuan merespon secara proporsional-profesional rangsangan dan pengaruh yang datang dari luar negeri terhadap profesi konseling di tanah air . Profesi konseling di Indonesia dituntut untuk memenuhi standar persyaratan konseling internasional, dan para tenaga profesionalnya dapat bersaing dengan tenaga profesional konseling dari negara-negara lain.

D. KONSELOR DI ABAD KE-21

Konselor profesional abad ke-21 adalah konselor yang menyadari bahwa di Indonesia, juga pada tingkat global, konseling dan penyadaran paham multikultural amat urgen dilakukan bersamaan dengan derasnya arus globalisasi informasi dan mobilitas penduduk sehingga perjumpaan dengan orang lain (encounter with the others) semakin intens. Untuk bisa menghargai semua keragaman etnis,budaya, dan agama tentu diperlukan beberapa prasyarat. Pertama, secara teologis-filosofis diperlukan kesadaran dan keyakinan bahwa setiap individu dan kelompok etnis itu unik,namun dalam keunikannya,masing-masing memiliki kebenaran dan kebaikan universal, hanya saja terbungkus dalam wadah budaya,bahasa,dan agama yang beragam dan bersifat lokal. Kedua,secara psikologis memerlukan pengkondisian terhadap orang lain atau kelompok berbeda. Cara paling mudah untuk menumbuhkan sikap demikian adalah melalui contoh keseharian yang ditampilkan orang tua, guru,konselor di sekolah dan pengajaran agama. Ketiga,desain kurikulum pendidikan,program konseling, dan kultur sekolah harus dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik mengalami secara langsung makna multikultural dengan panduan guru dan konselor yang memang sudah disiapkan secara matang. Keempat,pada tahap awal hendaknya diutamakan untuk mencari persamaan dan nilai-nilai universal dari keragaman budaya dan agama yang ada sehingga aspek-aspek yang dianggap sensitif dan mudah menimbulkan konflik tidak menjadi isu dominan. Kelima, dengan berbagai metode yang kreatif dan inovatif

hendaknya nilai-nilai luhur Pancasila ditegakkan kembali dan ditanamkanpada peserta didik khususnya konseli agar sense of citizenship dari sebuah negara,bangsa semakin kuat.

Konselor profesional abad ke-21 dalam melaksanakan konseling lintas budaya penting untuk memahami pengaruh nilai budaya, keyakinan, perilaku dan hal-hal lain terhadap klien dari latar belakang budaya yang berbeda dalam upaya membangun hubungan dan memahami sa tu sama lain (Gibson & Mitchel,2011). Di sini klien tidak hanya dipahami dalam terminologi psikologis murni tapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah budaya. Perasaan ,pengalaman,dan identitas dari klien dipandang dibentuk oleh lingkungan budaya. Ramirez (1991) berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling beragam budaya adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat beragam budaya. Dia menyatakan bahwa tujuan utama dalam menghadapi konseli dari berbagai kelompok etnis adalah mengembangkan “fleksibelitas kultural”.Ramirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota kelompok kultur yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil oleh Ramirez (1991) menggunakan penyesuaian gaya dan pemahaman kultural konseli oleh konselor di pertemuan awal,kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku kultural. Jelas pendekatan ini menuntut fleksibelitas kultural dan kesadaran diri tingkat tinggi dalam diri konselor.

Dalam menghadapi tantangan global di abad ke-21 dan dalam masyarakat Indonesia yang multikultural, konselor harus melihat peluang bagi profesi konseling untuk menjadi profesi bantuan sesungguhnya, yang harus mampu merespon kebutuhan masyarakat multikultural dan masyarakat masa depan serta mengantisipasi masa depan. Oleh karena itu, profesi konseling harus berupaya untuk mengokohkan dan mempromosikan identitas, kelayakan,dan akuntabilitas konselor profesional secara nasional maupun internasional,serta menegaskan identitas profesi konseling dan masyarakat konselor yang secara nasional telah memenuhi standar profesi konseling, sehingga dapat memenuhi tuntutan dinamika perkembangan masyarakat global.

Konselor profesional abad ke-21 dalam melaksanakan konseling lintas budaya penting untuk memahami pengaruh nilai budaya, keyakinan, perilaku dan hal-hal lain terhadap klien dari latar belakang budaya yang berbeda dalam upaya membangun hubungan dan memahami sa tu sama lain (Gibson & Mitchel,2011). Di sini klien tidak hanya dipahami dalam terminologi psikologis murni tapi juga dipahami sebagai anggota aktif dari sebuah budaya. Perasaan ,pengalaman,dan identitas dari klien dipandang dibentuk oleh lingkungan budaya. Ramirez (1991) berpendapat bahwa tema umum yang terdapat dalam semua konseling beragam budaya adalah tantangan untuk hidup dalam masyarakat beragam budaya. Dia menyatakan bahwa tujuan utama dalam menghadapi konseli dari berbagai kelompok etnis adalah mengembangkan “fleksibelitas kultural”.Ramirez (1991) menekankan bahwa bahkan anggota kelompok kultur yang dominan atau mayoritas merasakan ketidaksesuaian antara siapa diri kita dan apa yang diharapkan orang lain dari kita. Pendekatan yang diambil oleh Ramirez (1991) menggunakan penyesuaian gaya dan pemahaman kultural konseli oleh konselor di pertemuan awal,kemudian mendorong untuk mencoba berbagai bentuk perilaku kultural. Jelas pendekatan ini menuntut fleksibelitas kultural dan kesadaran diri tingkat tinggi dalam diri konselor.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terjadinya globalisasi, meningkatnya mobilitas penduduk dari suatu tempat ke tempat lain, dan bertambahnya jumlah imigran dan pekerja dari suatu negara ke negara lain sangat erat kaitannya dengan konteks merentas budaya. Demikian juga dengan mudahnya akses orang terhadap jaringan internet melahirkan kecenderungan baru dalam konseling yang dikenal dengan Cyber Counseling, yang pada saat sekarang semakin populer. Komunikasi konselor dengan klien menggunakan e-mail, bisa juga secara interaktif (on-line) dan melibatkan lebih dari dua orang. Proses konseling seperti ini sangat kental dengan isu-isu merentas budaya, dan sangat mungkin akan berkembang dalam pelaksanaan konseling di Indonesia

Konselor profesional abad ke-21 dalam menjalankan profesi bantuan harus mampu menjadi konselor efektif. Konselor efektif adalah konselor yang dalam menjalankan tugasnya menghasilkan manfaat dan mendapatkan kepercayaan bagi orang yang dilayani. Keefektifan konselor dalam menjalankan profesinya karena memiliki akuntabilitas yang meyakinkan dengan didukung kepemilikan kepribadian, pendidikan formal yang didapat oleh konselor, dan kemampuan konselor yang meyakinkan melalui praktik konseling berbasis bukti dan riset tindakan. Baker (2012) menyatakan bahwa tingkat akuntabilitas profesi pertolongan yang dilakukan oleh konselor meyakinkan apabila dilakukan melalui praktik berbasis bukti/evidence-based practice –EBP dan riset tindakan. Konselor yang efektif akan bertahan dalam menjalankan profesi konseling apabila dalam menjalankan profesi konseling mempunyai alasan yang masuk akal, dan menganggapnya sebagai “panggilan hati” (Foster,1996). Oleh karena itu seorang konselor dan konselor yang masih berada dalam masa pelatihan harus mempertanyakan pada dirinya, yaitu siapa diri mereka, dan apa yang mereka lakukan agar menjadi konselor yang efektif.

Keefektifan seorang konselor dan sebuah konseling ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut: (a) kepribadian dan latar belakang konselor, (b) pendidikan formal yang didapat oleh konselor, (c) kemampuan konselor untuk terlibat dalam kegiatan konseling profesional seperti melanjutkan pendidikan,supervisi, advokasi, dan membangun portofolio (Gladding,T.S (2009). Konselor dan proses konseling mempunyai efek yang dinamis terhadap orang lain; kalau tidak bermanfaat,kemungkinan besar justru memberikan dampak yang tidak diinginkan. Kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling. Seorang konselor haruslah dewasa,ramah,dan berempati. Mereka harus altruistik dan tidak mudah marah atau frustasi. Sayangnya masih ada saja beberapa orang yang ingin terlibat dalam profesi konseling dengan alasan yang salah.

Pada era globalisasi dan abad ke-21 sekarang ini, konselor diharapkan untuk mampu berbuat lebih banyak, serta mampu mengatasi berbagai macam tantangan global seperti terorisme, bencana alam, sekaligus stresor dan gangguan dalam kehidupan sehari-hari. Saat konselor bertukar nilai harapan dan pandangan optimis mereka dengan klien, perspektif ini akan mulai berpindah pada klien dan menegaskan relasi pertolongan yang ada (Smith,2006:42). Bagaimana kita sebagai konselor harus bertahan selama masa kerja yang berat padahal konselor masih harus memberikan dukungan dan membantu klien? Jawaban atas pertanyaan tersebut ditemukan pada literatur perspektif berbasis kekuatan dan literatur resiliensi, yang menemukan bahwa resiliensi paling dekat terkait dengan efikasi diri dan emosi positif (Lee, Nam,Kim, Kim,Lee, & Lee,2013).

Dalam era modern dan semakin canggih di abad ke-21 ini,setiap praktisi konseling (konselor) bertanggungjawab untuk menganalisis aspek-aspek penting dalam kita menjalankan tugas sebagai konselor profesional. Beberapa pertanyaan diajukan dan dijawab oleh konselor (tentang diri sendiri) adalah:

a. Siapakah saya?b. Apakah kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan saya?c. Apakah kecakapan utama saya?d. Siapakah yang diberi layanan?e. Apakah yang saya perlukan dari orang lain?f. Bantuan apakah yang perlu saya tawarkan kepada orang lain?g. Apakah yang saya yakini baik untuk orang lain?h. Apakah saya bisa melakukan layanan konseling dengan hebat?Selain menganalisis diri sendiri, konselor juga perlu melihat isu-isu lain yang dapat

dilontarkan kepada kita dan persoalan berikut dapat dijawab:a. Sekuat manakah pasaran kita?b. Adakah kita mempunyai arah yang strategik?c. Apakah budaya kita dalam pratek konseling?d. Apakah sumber-sumber kita?e. Bagaimanakan kita membedakan keunggulan kita berbanding dengan pesaing kita?Apabila calon konselor atau seorang konselor dapat menganalisis beberapa isu tersebut

di atas, maka akan dapat membuka pikiran untuk membuat analisis lebih lanjut yang melihat kelemahan dirinya dan peluang bagi mengukuhkan kedudukan dirinya dalam profesi konseling. dalam analisis kelemahan dalam dirinya yang dapat dijadikan tumpuan ialah persoalan yang berkaitan dengan:

a. Apakah yang dapat saya perbaiki? b. Apakah yang saya lakukan dengan lemah? c. Apakah yang harus saya hindari? d. Apakah yang ingin saya ubah? e. Apakah yang lebih baik ingin saya lakukan? f. Apakah yang pernah diminta oleh klien atau organisasi profesi untuk saya lakukan

tetapi tidak berupaya saya lakukan?Setelah konselor dapat mengenal pasti kelemahan dalam dirinya, maka konselor dapat

menilai peluang-peluang luaran (eksternal) yang mungkin akan memberdayakan kemampuan dirinya. Antara pemikiran yang dapat membantu konselor merintis kemungkinan untuk menjadi pesaing global ialah persoalan seperti:

a. Apakah tren terkini dalam bidang konseling? b. Apakah peluang baik yang sedang saya hadapi? c. Adakah perubahan teknologi memberi peluang baru kepada saya? d. Adakah perubahan kebijakan pemerintah berkaitan dengan kerja dan peranan saya

sebagai konselor? e. Adakah perubahan dalam pola sosial memberi peluang baru kepada saya? f. Apakah langkah selanjutnya jika saya memajukan diri dalam konseling? g. Apakah peluang yang telah ditawarkan kepada saya? h. Adakah pasaran baru?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering sulit dijawab dan mungkin jawabannya dapat memedihkan hati sendiri.Persoalan-persoalan tersebut di atas menuntut keberanian, keyakinan dan efikasi yang jitu dan tinggi bagi menyediakan konselor menjadi pemain dalam kancah global. Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, malah merupakan gaya baru dan cara terkini untuk melaksanakan tugas kita dalam era yang semakin modern. Konselor akan menjadi eksis, jika berusaha untuk terus melakukan pembangunan dalam dirinya untuk menjadi konselor yang hebat, yang kompeten, yang profesional, dan yang bermartabat dalam menjalankan profesi konseling. Bagaimanapun juga konselor yang efektif hendaknya terus menerus berusaha mengenal diri sendiri. Konselor harus bertekad untuk terus menerus memperkembangkan dirinya baik melalui latihan maupun dalam kehidupan nyata sehari-hari, serta harus pula mempunyai keberanian dan keteguhan hati untuk melakukan analisis pribadi yang mendalam tentang dorongan-dorongannya mengapa ia ingin membantu klien. Hal ini perlu ditekankan mengingat perkembangan pribadi adalah suatu proses tanpa henti.

Sehubungan dengan hal itu, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan jawaban baru (tidak selalu tetap sama), sehingga memungkinkan konselor untuk secara berkala menjawab pertanyaan-pertanyaan: ”Seharusnyakah saya menjadi konselor?” Mengapa?”; dan juga untuk menyadari bahwa kesiapan dan kelayakannya sebagai konselor berubah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri pribadinya. Konselor perlu melakukan hal ini berkali-kali bila dia ingin mengenali dan menghindarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sebelum dia berusaha lagi melakukan konseling terhadap orang lain. Disinilah pentingnya konselor untuk meningkatkan dalam mengenali diri sendiri dan dorongan-dorongan yang ada pada dirinya akan memungkinkan konselor dapat mewujudkan kinerjanya efektif dalam menjalankan profesi bantuan yaitu konseling serta memperkokoh identitas profesional.

Kinerja konselor pada era globalisasi abad ke-21,menuntut konselor profesional yang memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Kinerja (performance). Kemampuan ini merupakan seperangkat perilaku nyata yang ditunjukkan oleh seorang konselor profesional pada waktu melaksanakan tugas profesionalnya/keahliannya.

2. Penguasaan landasan profesional/akademik. Kemampuan ini mencakup pemahaman dan penghayatan yang me mencakupndalam mengenai filsafat profesi/kepakaran di bidang konseling.

3. Penguasaan materi akademik/profesional. Kemampuan ini mencakup sosok tubuh disiplin ilmu konseling beserta bagian-bagian dari disiplin ilmu terkait dan penunjang yang melandasi kinerja profesional konseling.

4. Penguasaan keterampilan/proses kerja. Kemampuan ini mencakup keterampilan khusus yang diperlukan oleh konselor profesional dalam melaksanakan kinerja profesional sejak perencanaan sampai akhir proses pelaksanaannya dalam bentuk penampilan hasil kinerjanya.

5. Penguasaan penyesuaian interaksional. Kemampuan ini mencakup cara-cara untuk menyesuaikan diri dengan suasana hubungan kerja pada saat melaksanakan tugas profesi konselor profesional. Suasana lingkungan kerja yang dimaksud yaitu suasana lingkungan dimana klien memperoleh layanan, suasana sosial budaya tempat kerja, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut dan sebagainya.

6. Kepribadian. Kemampuan ini mencakup sifat-sifat dan keyakinan yang perlu dimiliki oleh konselor profesional, termasuk ke dalamnya adalah sikap, nilai, moral dan etika profesi terkait.

Keenam kemampuan dasar profesi konselor itu tidak boleh dipandang sebagai pilahan-pilahan yang terpisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu keterpaduan yang menjelma dan bermuara pada kualitas kinerja konselor. Di samping itu,proporsi setiap kemampuan dasar dalam keseluruhan profil kemampuan konselor itu tidak sama besar tergantung penekanannya. Dengan demikian kualitas kemampuan lulusan program studi bimbingan dan konseling setidak-tidaknya dapat dilihat dari kemampuannya dalam melakukan tugasnya, dengan memperlihatkan perilaku nyata yang didasari olehketahanan profesional-akademik, penguasaan bahan akademik/profesi/ kepakaran, penguasaan proses yang diperlukan, dan kemampuan menyesuaikan diri dalam suasana interaksional yang dilandasi oleh kepribadian yang sehat, mantap, dan produktif.

Konselor profesional abad ke-21 adalah konselor yang memiliki identitas profesional (professional identity) konselor diperoleh melalui pendidikan dalam profesi konseling, dan telah memiliki kompetensi dalam teori dan praktik konseling. Melalui proses akulturasi profesional, para mahasiswa dan lulusan mengadopsi identitas yang mendukung filsafat,pandangan, dan nilai profesi konseling yang mereka pilih. Konselor yang telah memiliki identitas profesional akan dapat menjawab pertanyaan “Siapakah saya seharusnya?” kepemilikan identitas profesional, dimana mereka dapat menyatakan dengan keyakinan “Saya adalah seorang konselor”. Pengakuan diri sebagai seorang profesional pertolongan dan anggota profesi pertolongan tertentu dapat dinyatakan secara dikotomi diakui secara sehat oleh masyarakat sebagai tenaga profesional yang telah memiliki identitas yang kuat dalam profesi konseling. Oleh karena itu pendidikan profesi konselor harus dirancang untuk membangun dasar bagi identitas profesional yang kuat. Jelas bahwa hampir semua program pendidikan tinggi untuk melatih konselor harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh masing-masing departemen pendidikan negara.

Konselor abad ke-21 harus memenuhi pelatihan dan kredensial minimal meliputi tiga aktivitas,yaitu (a) lulus dari program pendidikan yang terakreditasi, (b) memperoleh sertifikat atau ijazah, dan (c) memperoleh lisensi (izin praktik) ( Vacc & Loesch,2000:304). Semua calon konselor dilatih melalui program pendidikan yang berlandaskan kompetensi dan standar profesi tertentu. Selain tenaga profesional memperoleh gelar untuk konseling atau bidang terkait, konselor juga berusaha memperoleh lisensi (izin praktik) setelah pendidikan dan pelatihan selesai. Lisensi (izin praktik) adalah penetapan kredensial secara legislatif yang dianggap jauh lebih bernilai daripada sertifikat,karena tidak hanya mengatur gelar, namun juga praktik profesinya.

Identitas profesional konselor akan dibuktikan oleh sertifikasi, akreditasi, dan lisensi. Sertifikat profesi yaitu pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan konseling setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan profesi konseling yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Akreditasi memberikan derajat penilaian terhadap kondisi yang dimiliki oleh satuan pengembang dan/atau pelaksana konseling seperti jurusan/program studi konseling di LPTK yang dinyatakan kelayakan program satuan pendidikan. Lisensi memberikan izin kepada konselor untuk melaksanakan praktik pelayanan konseling.

Konselor profesional abad ke-21, dalam praktik konseling, penggunaan teori oleh konselor harus dilihat sebagai upaya untuk memahami klien, dimana pemahaman konselor juga bersumber dari perasaan dan pengalaman pribadi mereka serta dari ide dan konsep.Beberapa teori yang digunakan oleh konselor didesain untuk membantu mereka mengklasifikasi dan memahami apa yang sedang terjadi dalam sesi konseling. Pemahaman teoretis memungkinkan konselor untuk menyelidiki jauh ke dalam informasi yang diberikan dan mengembangkan perspektif yang digunakan untuk memahami klien, proses konseling itu sendiri dan reaksi terhadap klien. Teori konseling harus diintegrasikan dengan pengalaman pribadi konselor, dan akan menjadi lebih baik lagi apabila teori tersebut dipandang sebagai seperangkat alat heuritis pembanding yang apabila digunakan secara bijak akan mengarahkan kepada pemahaman dan pendalaman hubungan terapeutik(McLeod,2009).

Konselor masa depan di abad ke-21 adalah konselor yang dalam menjalankan profesi konseling kreatif, inovatif, produktif dan menyenangkan untuk menjadikan profesi konseling menjadi kuat dan eksis sehingga akuntabilitas konselor profesional secara nasional di Indonesia ini dapat diwujudkan. Konselor yang kreatif, inovatif dan menyenangkan akan menjadikan proses konseling hidup, berkembang, dinamis, dan menyenangkan bagi pihak yang dilayani,sehingga menimbulkan kepercayaan publik (public trust). Profesi konselor akan menjadi kokoh, banyak dicari orang,dan menjadi pilihan yang sangat berguna bagi individu yang hidup dalam dunia yang kompleks,sibuk,dan terus berubah sehingga banyak pengalaman yang sulit dihadapi seseorang untuk segera diselesaikan. Pada saat itulah konseling merupakan pilihan yang tepat dan sangat bermanfaat.

Konselor di abad ke-21 adalah seorang profesional di dalam masyarakat terbuka, dan sebagaimana dengan profesi-profesi lain,profesi konselor di masyarakat terbuka adalah suatu profesi yang kompetitif. Artinya,profesi konselor haruslah benar-benar mempunyai identitas profesional dan karakteristik profesional karena sifat dari pekerjaannya, tetapi juga profesionalisme profesi konselor harus berhadapan dan bersaing dengan profesi-profesi lain di dalam masyarakat terbuka di abad ke-21. Masyarakat terbuka di abad ke-21 hanya menerima tenaga profesional dalam berbagai bidang kegiatan,termasuk konselor. Artinya, barang siapa yang tidak profesional tidak akan survive karena tidak dapat berkompetisi dengan profesi atau orang lain yang lebih kompeten dan kompetitif. Apabila profesi konselor tidak kompetitif,tidak profesional, hal itu dapat berakibat matinya profesi tersebut, tidak terjadi public trust, dan tidak memiliki makna bagi kehidupan manusia yang sedang menjalani proses perkembangan. Oleh karena itu profesionalisme konselor sangat penting, karena merupakan syarat mutlak di dalam kehidupan global abad ke-21. Globalisasi mengubah hakikat kerja amatirisme menuju profesionalisme yang kinerjanya didasarkan pada penguasaan ilmu pengetahuan, tranformasi kebudayaan ke arah budaya yang dinamis, kreativitas, inovasi, produktivitas yang tinggi, dan kualitas kinerja dan karya yang kompetitif.

Konselor profesional di abad ke-21 dalam menjalankan profesi konseling harus didasarkan bukti sebagai akuntabilitas suatu profesi. Akuntabilitas adalah menganalisis, mengolah, dan membagikan hasil usaha evaluasi. Dalam proses akuntabilitas, data evaluasi dianalisis untuk (a) lebih memahami bagaimana waktu digunakan, (b) menguraikan proses yang ada, (c) menangkap persepsi stakholder, dan (d) memberikan bukti efek intervensi berbasis tujuan. Praktik berbasis bukti berarti bahwa perilaku konselor sekolah saat memberikan layanan profesional kepada orang lain didasarkan pada dan didukung oleh bukti

empiris. Ada dua sumber bukti bagi konselor sekolah. Salah satu sumbernya adalah laporan yang diterbitkan dalam literatur profesional yang menyediakan landasan ilmiah dan empiris untuk intervensi dan program yang disampaikan oleh konselor sekolah dan teori yang mereka gunakan. Menemukan dan mengumpulkan laporan yang terkait langsung dengan usaha sehari-hari, konselor sekolah dapat memakan waktu yang tidak produktif dalam beberapa kasus. Sumber bukti kedua adalah data evaluasi yang dihasilkan oleh konselor sekolah profesional sendiri. Oleh karena itu, data evaluasi yang diidentifikasi sebelumnya yang diperoleh untuk populasi akuntabilitas juga berpotensi menjadi tempat penyimpanan bukti lokal untuk praktik berbasis bukti seseorang. Cara evaluasi ini juga disebut sebagai penelitian praktisi, yaitu penelitian yang dilakukan oleh konselor sekolah untuk konselor sekolah untuk menginformasikan praktik bersosialisasi di sekolah (Foxx,Baker, & Gerler,2017:53-54).

E. PENUTUP

Keberhasilan profesi konseling di abad ke-21ditandai terjadinya peningkatan keunggulan mutu pelayanan sehingga profesi konseling mampu berkompetisi di era globalisasi abad ke-21. Layanan konseling harus memuaskan stakeholders-nya, dengan mengembangkan kemampuannya untuk tumbuh menjadi keunggulan dan memiliki daya saing tinggi dalam kancah masyarakat global di abad ke-21. Semuanya itu mengisyaratkan tidak hanya perubahan paradigma tetapi juga perubahan kebijakan, peraturan perundang-undangan terkait, dan praksis yang berintikan profesionalisme profesi konseling serta pemberdayaan semua kekuatan yang ada dan.dikelola secara profesional dan akuntabel.

Motor penggerak profesi konseling adalah orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan konseling yaitu konselor yang bekerja secara profesional, komitmen tinggi, penuh pengabdian, dengan mengutamakan pelayanan prima dalam kinerjanya. Kerja keras, budaya mutu, kegigihan dalam membangun dan mengembangkan profesi konseling akan dapat menghasilkan keunggulan dan daya saing yang tinggi yang pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan dari pemerintah dan masyarakat secara sehat terhadap profesi konseling dan profesi konselor.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander,A. & kempe,R. (1984). The role of the lay therapist in long term treatment. Child Abuse and Neglect, 6: 329-334.

Baker, S. B., & Gerler, E. R. (2004). School Counseling for the Twenty-firstCentury. Upper Saddle River, NJ:Merrill/Prentice Hall.

Baker,S.B. (2012). A New View of Evidence-Based Practice. Counseling Today. 55(6),42-43.

Belkin, G.S. (1975). Practical Counseling in The School. Dubuque, Iowa:W.C.Brown Company Publishers.

Blocher,Donald H. (1974). Developmental Counseling. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Blocher,Donald H (1987) The Profession Counselor. New York: Macmillan Publishing Company.

Bradley T.Erford. (2004). Professional School Counseling A Handbook of Theories, Programs & Practices. Texas: PRO-ED An International Publisher.

Brown,Steven D. & Lent,Robert W. (1984). Handbook of Counseling Psychology. New York: John Wiley & Sons

Chris Jenks (2013). Culture: Studi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Coffone,R.Rocco & Tarvydas, Vilia M. (1998). Ethical and Professional Issues in Counseling. New Jersey: Prentice-Hall,Inc.

Corey, Gerald & Corey, M. Schneider. (1984) Issues & Ethics in the Helping Profession. Menterey. California: Brooks/Cole Publishing Co.

Ed Neukrug (2007). The Word of The Counselor,An Introduction to the Counseling Professional.USA: Thomson Brooks/Cole.

Elfiky,Ibrahim (2017). Terapi Berpikir Positif. (terjemahan). Jakarta: Serambi.

Foxx,S.P, Baker,S.B,& Berler E.R. Jr. (2017). School Counseling in the 21st Century. New-York: Routledge

Gibson R.L & Mitchell M.H. (2008). Introduction to Counceling and Guidance. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

H.A.R. Tilaar (2012). Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalam Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas Gramedia.

John McLeod.(2009). An Introduction to Counselling.England: McGraw-Hill Education.

Kachru, B. (1983). Instroduction : The Other Side of English. Dalam Braj Kachru (Ed). The Other Tongue: English Across Cultures. Oxford: Pergamon Press.

Koentjaraningrat (2015). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Kompas Gramedia.

Lee,J.H.,Nam,S.K.,Kim, A. meta-analytic approarch. Journal of Counseling and Development, 91, 269-279.

Lewis,Michael D. et.al (1986). An Introduction to the Counseling Profession. Illinois: F.E. Peacock Publisher,Inc.

McLeod, John (2011). An Introduction to Counseling. New York: McGraw Hill.

McLeod,J & McLeod,J (2011). Counselling Skills: A Practical Guide for Counsellor and Helping Professionals. Maidenhead: Open University Press.

Myrick,R.D., & Witner., J. (1972). School Counseling: Problems and Methods. California: Goodyear Publ.Coy.

Myers,J.E.,Sweeney,T.J., 7 White, V.E. (2002). Advocacy for counseling and counselor: A professional imperative. Journal of Counseling and Development; 80, 394-402.

Nelson R. & Jones. (2010). Practical Counseling and Helping Skills.London: SAGE Publications.Ltd.

Nelson R. & Jones (2016). Theory and Parctice of Counselling and Therapy. London: SAGE Publications.Ltd

Nugent, F.A. (1981). Profesional Counseling. Moterey, California: Brooks/Cole Publ.

Parker, Clyde A. et.al eds. (1978). New Direcitiona for Student Service. San Francisco: Joseey-Bass.

Ramirez,M.III (1991). Psychoteraqpy and Counseling with Minorities:A Cognitive Approach to Individual and Cultural Differences. Oxford:Pargamon Press.

Ron Kraus,George Stricker,and Cedric Speyer (2011). Online Counseling: A handbook for Mental Health Professionals. London: Elsevier Inc.

Samuel.T.Glading.(2012) Konseling:Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: INDEKS.

Samuel.T.Glading.(2012) Konseling:Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: INDEKS.Schmidt, J. J. (2008). Counseling in schools: Comprehensive programs of responsive

services for all students (5th ed.).Boston: Allyn & Bacon.

Sweeney,T.J. 91995). Acreditation, Credentialing, Professionalization: The role of specialties. Journal of Counseling and Development,74, 117-125.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Jakarta: Depdiknas.

Vacc,N.A., & Loesch,L.C. (2000). Professional Orientation to Counseling. Philadelphia,PA: Brunner-Rotledhe.

Wibowo,Mungin Eddy (2002). Konseling Perkembangan :Paradigma Baru dan Relevansinya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang

Bimbingan dan Konseling pada FIP-UNNES tanggal 13 Juli 2002. Semarang: Depdiknas UNNES

Whiteley, John M. & Fretz, Bruce R. (1980). The Present and Future of Counseling Psychology. Monterey,California: Brooks/Cole Publishing Co.