Filsafat_kota Dan Kerja Teks

6
Rangkaian Studium Generale KOTA DAN KERJA Oleh: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ Kerjasama Goethe-Institut Jakarta dan STF Driyarkara Jakarta, 16 April 2009 2 KOTA DAN KERJA oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ Pengantar Apakah orang datang ke Jakarta untuk bekerja, atau untuk berfoya-foya, atau karena taruhan bahwa akan ada kesempatan? Barangkali semua jawaban itu benar sekaligus. Jakarta itu sebuah maknit yang secara magis menarik orang-orang untuk datang – betapa pun Pemerintah DKI mencoba untuk mencegah mereka. Seperti laron tertarik ke cahaya lampu, begitu orang-orang tertarik untuk mengadu nasib di Jakarta. Dan ada yang seperti laron lalu terbakar sayapnya dan menjadi lemas. Tetapi ada juga yang berhasil. Katanya, orang yang ulet di Jakarta selalu akan berhasil, sekurang- kurangnya ia akan bisa hidup, barangkali hidup lebih baik daripada di desanya. Tetapi bekerja? Jelaslah, orang Jakarta rata-rata termasuk pekerja yang keras. Apakah ia kantoran di Jl. Sudirman atau jualan sayuran dengan keretanya: Mereka semua bekerja dan, itulah yang menarik, mereka juga berhasil. Mari kita lihat orang Jakarta bekerja dan lalu berpikir apakah itulah yang diharapkan dari suatu kehidupan yang manusiawi. Ada segala macam pekekerjaan yang dilakukan orang di Jakarta. Pembedaan yang paling tajam, yang dalam pandangan hampir semua orang membedakan mereka yang beruntung dari mereka yang 'biasa" atau tidak beruntung adalah perbedaan antara pekerja krag putih dan krag biru (istilah orang Amerika). Krag biru adalah mereka yang bekerja dalam arti bisa menjadi kotor karena pekerjaannya, jadi mereka yang harus memegang tanah, logam, tetumbuhan, yang secara fisik bekerja berat (tentu dokter yang termasuk krag putih secara fisik juga bisa bekerja berat, tetapi beratnya tidak terletak dalam kegiatan langsung [memeriksa pasien, memotong kulit perut dsb.] melainkan dalam ketegangan, ketelitian yang dituntut, dan tak jarang dalam waktu panjang ia bekerja). Para pekerja krag putih bekerja dengan

description

Apakah orang datang ke Jakarta untuk bekerja, atau untuk berfoya-foya, atau karena taruhan bahwa akan ada kesempatan? Barangkali semua jawaban itu benar sekaligus. Jakarta itu sebuah maknit yang secara magis menarik orang-orang untuk datang – betapa pun Pemerintah DKI mencoba untuk mencegah mereka. Seperti laron tertarik ke cahaya lampu, begitu orang-orang tertarik untuk mengadu nasib di Jakarta. Dan ada yang seperti laron lalu terbakar sayapnya dan menjadi lemas. Tetapi ada juga yang berhasil. Katanya, orang yang ulet di Jakarta selalu akan berhasil, sekurangkurangnya ia akan bisa hidup, barangkali hidup lebih baik daripada di desanya.Tetapi bekerja? Jelaslah, orang Jakarta rata-rata termasuk pekerja yang keras. Apakah ia kantoran di Jl. Sudirman atau jualan sayuran dengan keretanya: Mereka semua bekerja dan, itulah yang menarik, mereka juga berhasil. Mari kita lihat orang Jakarta bekerja dan lalu berpikir apakah itulah yang diharapkan dari suatu kehidupan yang manusiawi.Ada segala macam pekekerjaan yang dilakukan orang di Jakarta. Pembedaan yang paling tajam, yang dalam pandangan hampir semua orang membedakan mereka yang beruntung dari mereka yang 'biasa" atau tidak beruntung adalah perbedaan antara pekerja krag putih dan krag biru (istilah orang Amerika). ...

Transcript of Filsafat_kota Dan Kerja Teks

Page 1: Filsafat_kota Dan Kerja Teks

Rangkaian Studium Generale

KOTA DAN KERJA

Oleh:Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ

KerjasamaGoethe-Institut Jakarta dan STF Driyarkara

Jakarta, 16 April 2009

2

KOTA DAN KERJA

olehProf. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ

PengantarApakah orang datang ke Jakarta untuk bekerja, atau untuk berfoya-foya,

atau karena taruhan bahwa akan ada kesempatan? Barangkali semuajawaban itu benar sekaligus. Jakarta itu sebuah maknit yang secara magismenarik orang-orang untuk datang – betapa pun Pemerintah DKI mencobauntuk mencegah mereka. Seperti laron tertarik ke cahaya lampu, begituorang-orang tertarik untuk mengadu nasib di Jakarta. Dan ada yang sepertilaron lalu terbakar sayapnya dan menjadi lemas. Tetapi ada juga yangberhasil. Katanya, orang yang ulet di Jakarta selalu akan berhasil, sekurang-kurangnya ia akan bisa hidup, barangkali hidup lebih baik daripada didesanya.

Tetapi bekerja? Jelaslah, orang Jakarta rata-rata termasuk pekerja yangkeras. Apakah ia kantoran di Jl. Sudirman atau jualan sayuran dengankeretanya: Mereka semua bekerja dan, itulah yang menarik, mereka jugaberhasil. Mari kita lihat orang Jakarta bekerja dan lalu berpikir apakah itulahyang diharapkan dari suatu kehidupan yang manusiawi.

Ada segala macam pekekerjaan yang dilakukan orang di Jakarta.Pembedaan yang paling tajam, yang dalam pandangan hampir semua orangmembedakan mereka yang beruntung dari mereka yang 'biasa" atau tidakberuntung adalah perbedaan antara pekerja krag putih dan krag biru (istilahorang Amerika). Krag biru adalah mereka yang bekerja dalam arti bisamenjadi kotor karena pekerjaannya, jadi mereka yang harus memegangtanah, logam, tetumbuhan, yang secara fisik bekerja berat (tentu dokter yangtermasuk krag putih secara fisik juga bisa bekerja berat, tetapi beratnya tidakterletak dalam kegiatan langsung [memeriksa pasien, memotong kulit perutdsb.] melainkan dalam ketegangan, ketelitian yang dituntut, dan tak jarangdalam waktu panjang ia bekerja). Para pekerja krag putih bekerja dengan

Page 2: Filsafat_kota Dan Kerja Teks

3

abstrak, dengan komputer, dengan menulis, dengan omong, termasuk guru,dosen, penyiar, wartwaran, CEO dan menejer, rohaniwan dst.

Perbedaan lain yang amat relevan adalah antara mereka yang bekerjadi sektor formal dan yang bekerja di sektor informal. Yang bekerja di sektorformal mempunyai aturan, pendapatan yang dipastikan , masuk statistik, dimana apa yang mereka kerjakan tergantung dari seorang atasan dan/atausebuah sistem (di mana ia bekerja, pada hari dan jam berapa, apa yangdilakukannya), sedangkan di sektor informal ada lebih banyak kebebasan. Disektor informal yang paling penting - dan menciptakan nilai ekonomis yangtak pernah masuk statistik - adalah mereka yang menjalankan rumahtangga, jagi hampir 100 persen ibu-ibu. Mereka bekerja dari pagi sampaimalam, tujuh hari per minggu dan tidak dibayar kecuali apa yang diberikansuami yang mempunyai pekerjaan yang biasanya dianggap sungguh-sungguh - dalam arti; terpisah dari rumah tangga. Banyak dari ibu rumahtangga masih mempunyai pekerjaan sampingan, misalnya membuat danmenjual kue-kuean atau melakukan perdagangan kecil-kecilan - kadang-kadang juga gede - macam-macam.

Majikan ada yang putih dan ada yang hitam, artinya usahawan yangbiasa dan preman (yang misalnya menguasai siapa yang bisa menjaditukang parkir atau barangkali menentukan di mana seseorang masih bebasmengemis - artinya mereka harus mendapat potongan).

Mereka yang sudah dewasa dan tidak lagi dalam salah satu tahappendidikan bekerja semua. Hanya segelintir orang dari keluarga sangat kayayang bisa hidup sebatgai playboy yang dapat duitnya dari orang lain (dariorangtua, atau sebagai rentenir), lalu mengisi waktu malam hari denganpelbagai kemungkinan yang dapat dibaca dalam dua jilid Jakarta undercover di mana kebanyakan orang yang hidup dalam pekerjaan-pekerjaanmalam ini memang juga bekerja keras.

Mari kita berikan sedikit definisi tentang pekerjaan, mengikuti yangdiberikan Gert Haeffner (Haeffner, G dll. 1999, Arbeit im Umbruch, Stuttgart:Kohlhammer, h. 5) (di mana lantas "pekerjaan" dalam arti "punya kerja", jadimempersiapkan dan menjalankan pesta atau "pekerjaan" yang dilakukanoleh sebuah mesin dikesampingkan):

Pekerjaan adalah "kegiatan manusiawi yang secara teratur dilakukandalam bentuk yang sangat mirip, yang sering berat, yang menghabiskansebagian cukup besar waktu kehidupan yang bisa dipakai untuk bergiat danyang pertama-tama dilakukan demi tujuan luarnya."

4

Tidak hanya ada pekerjaan rfisik, melainkan juga pekerjaan non-fisik.Seorang ilmuwan, wartawan atau doktor pun bekerja, tetapi tidak denganmengubah materi.

Nah, sebelum berefleksi tentang bagaimana orang bekerja di Jakartadan apakah ada maknanya, mari kita cek sebentar apa yang dikatakanfilsafat tentang pekerjaan.

1. Filsafat tentang PekerjaanFilsafat Yunani

Baru di zaman modern pekerjaan mendapat perhatian dalam filsafat.Dalam filsafat Yunani - 2400 tahun lalu - pekerjaan dianggap rendah. Dalammasyarakat kota (polis) hanya mereka yang tidak perlu bekerja kerasdianggap warga negara dalam arti yang sebenarnya. Jadi mereka yangmempunyai waktu luang. Aristoteles membedakan dengan tajam antarakegiatan yang mengembangkan manusia dan pekerjaan. Yang pertamaadalah kegiatan ilmiah (theoria) dan kegiatan sosial-politis (praxis). Kegiatanitu menurut Aristoteles membawa maksud dan nilainya dalam dirinya sendiridan mengembangkan manusia dan karena itu merupakan bagian pentingkehidupan yang bahagia. Sedangkan pekerjaan (poesis) dilakukan untukmembuat sesuatu, misalnya membuat rumah atau busur. Kegiatanpembuatan itu sendiri tidak mempunyai nilai apa-apa. Maka pekerjaansebenarnya tidak pantas untuk manusia dan manusia baru betul-betulmanusiaapabila ia tidak perlu bekerja lagi. Maka sedapat-dapatnyapekerjaan dalam arti pekerjaan fisik diserahkan kepada para budak saja. .

ModernitasPandangan tentang pekerjaan berubah dengan fajar modernitas. Filosof

Inggris John Locke (1632-1702) untuk pertama kali menyadari bahwa nilaiekonomis diciptakan oleh pekerjaan. Dengan demikian pekerjaan mulaidihargai - meskipun hanya dalam teori. Pekerjaan dianggap sebagai sumberhak milik pribadi. Pandangan ini kemudian diambil alih oleh Adam Smith(1723-1790) dan ahli ekonom David Ricardo (1772-1823).

Kalau para filosof Inggris terutama memperhatikan nilai ekonomis yangdiciptakan oleh pekerjaan, maka filsafat Jerman menemujkan bahwapekerjaan membentuk kepribadian manusia dan sifat historisnya. Hegel(1770-1831) melihat bahwa melalui pekerjaan "manusia menciptakan diri"(Marx). Melalui pekerjaan manusia di satu pihak mengembangkankemampuannya, ia belajar menguasai alam dan dengan demikian membuat

Page 3: Filsafat_kota Dan Kerja Teks

5

nyata potensi-potensinya. Di lain pihak pekerjaan membuat alam alamimenjadi alam manusiawi karena alam semakin mencerminkan kemampuanmanusia. Pikiran ini menjadi inti filsafat Karl Marx (1818-1883). Bagi Marxpekerjaan adalah (satu-satunya) sarana manusia menciptakan diri, baiksecara individual, maupun secara sosial dan sebagai makhluk historis.Secara individual karena ia membuat nyata kemampuan-kemampuannya.Secara sosial karena pekerjaan selalu mengandaikan orang lain: Orangdaripadanya ia mendapat alat kerja, orang baginya ia bekerja dandaripadanya ia mendapat pengakuannya, dan melalui pembagian kerjaorang dari pekerjaannya ia sendiri mendapat yang diperlukan. Tetapisekaligus manusia melalui pekerjaan membangun diri sebagai makhlukbersejarah. Satu generasi "berdiri di pundak generasi sebelumnya" (Marx)karena kita selalu bekerja dengan alat-alat kerja dan pengetahuan teknologisyang kita terima dari pekerjaan generasi-generasi sebelumnya. Dansebaliknya pekerjaan kita mewujudkan alam serta alat-alat kerja yang akanmenjadi lingkungan di mana generasi mendatang bekerja.

Yang kritis terhadap pengertian pekerjaan seperti "pemanusiaan alamdan pengalaman manusia" itu adalah Martin Heidegger (1889-1976). BagiHeidegger alam tidak mungkin kita kuasai betul, alam itu selalu "yang lain"dan dalam pekerjaan kita bertabrakan dengan realitas yang tidak dapat totalkita taklukkan. Batas-batas alam selalu menjadi batas-batas kita juga.

Makna PekerjaanSesudah kita melihat sedikit apa yang dalam filsafat dikatakan tentang

pekerjaan, apakah kita dapat menarik sebuah kesimpulan? Yang jelas:pekerjaan itu amat penting. Dengan kekecualian beberapa orang yangteramat kaya - yang dalam masyarakat modern dianggap benalu - semuaorang harus bekerja keras untuk bisa hidup. Itu tidak selalu demikian. Dalammasyarakat feodal orang kelas atas, para bangsawan dan priai, dianggaptidak bekerja dan jangan bekerja. Di Jerman saja saya mengalamibangsawan yang meskipun bekerja keras - misalnya dalam mengurus tanah-tanah pertanian dan perhutanan milik mereka yang luas, secara ekonomis -namun masih mau memberi kesan seakan-akan mereka tidak bekerja.Tetapi itu tempo dulu, juga di Indonesia. Dalam masyarakat modernpekerjaan yang menentukan segala-galanya. Dalam bahasa Jermanmasyarakat modern disebut „Arbeitsgesellschaft“ (working society).Maksudnya: „pembagian nilai-nilai sosial, kesempatan-kesempatankehidupan, wibawa sosial serta perasaan harga diri individual untuk

6

sebagian besar diatur melalui pekerjaan yang dibayar“ (Haeffner, dlmHaeffner dll., h. 18).

Kalau kita turun dari abstraksi tinggi para filosof maka kita dapatmembedakan tiga fungsi antropologis pekerjaan (Zinn, dlm Haeffner dll.,h. 66): (1) reproduksi material, (2) integrasi sosial, (3) danpengembangan diri. Yang pertama itu jelas: manusia bekerja karena hanyadengan bekerja ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan material agar iatidak mati kelaparan, kehausan, kedinginan dsb. Pekerjaan yang lama-kelamaan membangun kebudayaan manusia seperti diuraikan Marx.Sekaligus pekerjaan memberikan tempat kepada seseorang dalammasyarakat serta menjamin bahwa ia menjadi anggota masyarakat. Melaluipekerjaan seseorang memperoleh hak untuk dapat mempergunakan hasilpekerjaan orang lain dan ia diakui sebagai anggota masyarakat yangbermanfaat. Dan melalui pekerjaan manusia memenuhi kebutuhan untukmelakukan sesuatu, untuk bergiat, untuk menciptakan, untuk kreatif, dandalam itu mengembangkan diri.

Dilema Pekerjaan Pada Zaman GlobalisasiDari pertimbangan di atas sudah menjadi jelas bahwa makna pekerjaan

bagi setiap orang dalam umur yang sesuai adalah luar biasa. Bukan hanyapekerjaan merupakan cara ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhanhidupnya, melainkan juga kedudukan dalam masyarakat dan penghargaanyang diterimanya, dan karena itu harga dirinya, ditentukan daripekerjaannya.

Keindahan pekerjaan itu terancam, selalu sudah, dan sekarang apalagi.Dia terancam kalau ia harus melakukan pekerjaan yang dianggap hina:Hina karena di bawah standartnya (insinyur diminta menyapu jalan), karenapekerjaan teramat berat dan imbalannya kurang, atau karena dalamkenyataan merupakan pekerjaan budak. Kalau kita membaca JakartaUnder Cover yang mencolok betapa gampang para "tamu" bergaul segalamacam dengan perempuan-perempuan penghibur yang, sekurang-kurangnya di buku itu, muncul sebagai friendly, halus, mengenakkan, tetapibanyak dari mereka tak kurang dari budak yang bukan hanya sebagianbesar dari yang dibayar langganan masuk kantong "mami" atau germonya,tetapi uang yang dia dapat sendiri pun ditahan sehingga ia tidak bebas pergi.

Yang tidak kalah buruknya adalah kalau orang tidak menemukanpekerjaan. Itu betul-betul bisa menghancurkan harga diri. Menulis ratusansurat lamaran - tanpa hasil, kalau di Eropa puluhan kali ke kantor tenaga

Page 4: Filsafat_kota Dan Kerja Teks

7

kerja - dan tidak dapat pekerjaan, amat memberi perasaan rendah diri.Mereka merasa seperti orang yang hakekatnya adalah mengemis,memohonkan belaskasihan, merendahkan diri terus menerus. Orang yangtidak mempunyai pekerjaan, langsung merasa kurang berharga karenadalam masyarakat modern orang memang dinilai dari pekerjaannya. Kalaupun tak ada orang yang menyindir dan teman-teman serta anggota keluargalain tetap ramah dan akrab dengannya, ia tahu bahwa ia adalah orang luar,orang yang hidup atas dasar pekerjaan orang lain, orang yang merasa tidakmenyumbangkan sesuatu apa pun terhadap sesama. Ia tahu bahwa kalau iamendadak mati, hanya dua tiga orang yang akan merasa sedih, yang lain-lain merasa "good riddance", karena ia sebagai tuna kerja hanyamembebani komunitas! Orang merasa tidak diakui, dihina, tidak lagi berakardalam masyarakat (menjadi tamu dan outsider) dan merasa minder.

Lebih gawat lagi kalau itu terjadi dengan orang muda, misalnya sudahlulus SMA atau bahkan perguruan tinggi, lalu tak pernah ada pekerjaan.Jangan heran kalau mereka itu lalu atau menjadi preman, artinya,menawarkan diri kepada seorang bos-bos preman menjadi anak buahnya,atau menjadi laskar gerakan ideologis (dulu: komunis) maupun religius.Yang terakhir malah lebih berbahaya karena dalam ideologi atau agama itumereka untuk pertama kali menemukan arti bagi hidupnya yang di luar tidakdiberikan kepadanya.

Mengapa dilema? Karena kemajuan teknologi membuat pekerjaankurang dibutuhkan. Itu jelas berlaku bagi segala macam industri, tetapi,berbeda dengan perkiraan beberapa puluh tahun lalu, juga bagi services,jadi pekerjaan dalam bidang pelayanan (misalnya dengan online bookingtravel agencies mengalami pengurangan bisnis). Untuk negara-negaradengan tingkat perupahan tinggi negara-negara dengan perupahan rendah -Cina, Bangladesh, Indonesia - menjadi saingan (untuk Indonesia saja Cinadan Vietnam sudah menjadi saingan karena tingkat perupahan di sana lebihrendah).

Bagi negara-negara industri maju Zinn (Haeffner dll., h. 65s)menggariskan tiga senario.atau opsi. Opsi pertama: Agar industri dapatbersaing, berdasarkan ideologi neo-liberalisme - negara sejahtera (yangpernah lazim di Eropa) terus dibongkar. Akibatnya adalah de-solidarisasimasyarakat. Pekerja/karyawan yang tidak dibutuhkan diberhentikan,pelayanan-pelayanan sosial dipotong. Akibatnya adalah jumlah orang tanpapekerjaan bertambah, kemiskinan bertambah dan suasana dalammasyarakat semakin ditentukan oleh kekerasan dan ketak-pedulian sosial.

8

Opsi kedua sebaliknya menghidupkan kembali cita-cita negarasejahtera. Negara harus intervensi dalam pasar keuangan, ekonomi danpekerjaan, penjaminan pekerjaan bagi semua menjadi tujuan perpolitikan,jaminan-jaminan sosial dipertahankan. Waktu kerja diperpendek supayalebih banyak orang bisa bekerja, dalam lalulintas internasional kepentingannasional diperhatikan dengan proteksi seperlunya.

Opsi ketiga oleh Zinn disebut senario malapetaka. Massa orang tanpapekerjaan, kemiskinan sosial, hilangnya moralitas sebagai acuan kehidupanbersama menciptakan situasi eksplosip yang membuka jalan bagi pihak-pihak ekstremistik.

Jelas sekali bahwa situasi abad ke-21 ini menghadapkan negara-negaradan masyarakat-masyarakat pada tantangan-tantangan yang berat, yangtidak akan bisa dipecahkan dengan cara-cara lama. Barangkali krisisperekonomian global yang pecah dari situasi di ngera induk kapitalisme,Amerika Serikat, malah akan mempermudah penyusunan kembaliperekonomian. Sudah jelas bahwa motivasi untung pribadi - yang dariperhatian wajar pimpinan perusahaan terhadap kemajuan perusahaan ituberkembang menjadi kerakusan pribadi [ingat akan bonus-bonus sebesarpuluhan juta yang dibayarkan kepada pimpinan bank atau perusahaan, padasaat perusahaan mereka sudah minta bantuan negara]. Tantangan itu lebihbesar bagi Indonesia.

Di Indonesia, di JakartaUntung budaya

Ada keuntungan: Masyarakat Indonesia belum sebuahArbeitsgesellschaft di mana nilai seseorang hampir 100 % ditentukan olehpekerjaannya. Pengaruh tradisional - termasuk unsur feodal - masihsedemikian kuat sehingga orang lebih dihormati sesuai dengan kedudukansosial (secara tradisional priai, kiai, ulama, guru, orang kaya setempat,sekarang: kekayaan, dosen, intelektual, tak perlu kerja manual, kedudukandalam masyarakat setempat, tokoh keagamaan, dan seterusnya). Orangyang duduk-duduk dan tidak bekerja tidak langsung dianggap hina.

Meskipun situasi ini pun ada masalahnya, akan tetapi perludipertahankan bahwa nilai manusia tidak identik dengan pekerjaannya."Pekerjaan bukan segala-galanya". Jadi betapa pun benar pemikiran Marxtentang pekerjaan, akan tetapi manusia bukan hanya hasil pekerjaannyasendiri.

Page 5: Filsafat_kota Dan Kerja Teks

9

Kita juga melihat sesuatu: Orang Indonesia suka bekerja secara rilek.Banyak tertawa. Buruh Indonesia dan orang kecil pada umumnya amatmudah puas. Ia tidak menuntut banyak. Asal ia bisa menghidupkankeluarganya, membiayai pendidikan anak-anaknya ia bersedia hidup dalamgubug. Orang Indonesia tidak mengiri, jadi bahwa ada orang yang kaya,bahkan superkaya, diterima - asal saja ia sendiri dengan kebutuhan-kebutuhan yang jauh lebih rendah dihormati. Yang menjadi masalah seriusadalah apabila orang kecil yang bersedia hidup amat sederhana, tanpabanyak fasilitas enak, lalu bahkan digusur dari gubuknya atau dari tanahgarapannya atau tempat kerjanya (di kaki lima) dirusak begitu saja. Itu yangmelanggar perasaan keadilannya: Kalian yang kami izinkan hidup secaramewah dan berfoya-foya malah tidak menghormati "milik" kami yang hanyasedikit , yang kami butuhkan untuk bisa hidup.

Kekerasan di Kota JakartaJakarta kota keras. Persaingan menguasai semua dimensi, dari mereka

yang mencari tempat kerja dalam perusahaan-perusahaan dengan kantor-kantor mentereng - para krag putih, - dan mereka yang mencari pekerjaanapa pun. Selalu orang harus bayar. Tidak berhati-hati bisa kena, bisakehilangan tempat kerja. Aturan-aturan yang berlaku di pasar-pasar, diterminal-terminal, di tempat-tempat parkir dst. adalah keras.

Tetapi keras atau tidak keras, biasanya orang di Jakarta bisa survive.Kalau mau, umumnya ia akan menemukan pekerjaan. Dan akanmenemukan tempat tinggal dan kelompok orang dengannya ia dapatmembangun hubungan. Dan tentu hubungan dengan mereka yang masih didaerah asal berjalan terus. Karena itu Jakarta juga kota harapan. Orangpunya harapan. Dan karena orang di Jakarta punya harapan, mereka itupada umumnya tidak rusuh, tidak keras - meskipun kalau ditawarkankesempatan mereka akan ikut dengan gembira dan kadang-kadang denganbringas. Kedamaian sosial di Jakarta relatif luar biasa baik, tentu hanyakarena orang merasa masih bisa hidup di Jakarta, masih punya masa depandi Jakarta. Kalau harapan itu mati, kita akan mengalami kekerasan dalamtingkat yang jauh akan melampaui apa yang sudah kita alami.

Beberapa kesimpulanKita dapat menarik beberapa kesimpulan dari pertimbangan-

pertimbangan di atas.

10

Penciptaan tempat kerja dan kondisi-kondisi yang mendukungpembentukan tempat kerja baru harus diberi prioritas. Karena di Jakarta punorang hanya bisa hidup kalau ia bekerja. Dan orang akan damai dan baik-baik apabila ia mempunyai pekerjaan daripadanya ia dapat memenuhikebutuhan-kebutuhannya yang - pada orang kecil - sama sekali tidakberlebihan.

Maka proyek-proyek yang dilaksanakan harus sedapat-dapatnya labourintensive. Itu berlaku bagi semua proyek di mana tidak ada persaingan dariluar negeri.Sebuah pabrik tekstil memang harus memperhatikan situasi dipasar kerja di Vietnam, Bangladesh dan Kenia. Tetapi pekerjaaninfrastruktur misalnya harus meresapkan sebanyak mungkin pekerjaan, danmekanisasi bukan tujuan primer.

Pekerjaan yang mutu hanya dapat diharapkan apabila pekerja dalampekerjaannya merasa terdukung dalam harga dirinya. Maka upah/gaji harusmencerminkan penghargaan terhadap pekerjaan itu. Barangkali upah tidakbisa sangat tinggi, tetapi tidak boleh dibiarkan jatuh di bawah suatuminimum. Membangun industri atas dasar upah yang tak mencukupi tidakakan berhasil. Angkatan kerja mutu tidak murah, tetapi akhirnya produksi,karena mutu para pekerja, menjadi lebih murah juga.

Yang paling penting: Perlu perubahan pandangan terhadap sektorinformal. Bukan hanya sektor itu meresapkan dan menghidupkan jutaanmanusia di Jakarta - kalau sektor itu dihapus, apa negara mau memberimakan kepada mereka? - melainkan sektor itu juga menciptakan nilaiekonomis milyardan per hari dan mampu meresapkan mereka yang di-PHK-kan secara menakjubkan. Sektor informal berkembang menjadi bidangpekerjaan terpenting di Indonesia. Meskipun di jangka panjang diharapkansektor ini dikurangi demi sektor formal, akan tetapi peralihan itu harusdijalankan dengan pelan-pelan, sesuai kondisi di lapangan.

Di tingkat atas korupsi, di tingkat bawah premanisme harusdiberantas. Karena perusahaan-perusahaan harus membayar begitu banyak"uang siluman" mereka tidak dapt membayar upah/gaji yang wajar. Korupsiitu sama dengan pelestarian pembayaran tenaga manusia yang tidakmanusiawi. De-premanisasi itu perlu sehingga orang kecil bisa bekerja tanpaahrus membayarkan sebagian pendapatannya kepada seorang boss.

Negara harus secara besar-besaran mendukung asuransi-asuransisosial: Asuransi kesehatan bagi semua, asuransi hari tua, asuransi tunakerja, asuransi kecelakaan, serta harus memberi "asuransi" bahwa anak

Page 6: Filsafat_kota Dan Kerja Teks

11

orang berpendapatan kecil pun akan memperoleh pendidikan dasar sertapelayanan medis dasar.

Kata terakhirSebagai rangkuman: Perlakukan buruh dan karyawan sebagai manusia,

dengan pembayaran yang memungkinkan dia hidup sebagai manusia, makaAnda akan mendapat tenaga kerja yang mutu.

12