Filsafat Administrasi Teori Organisasi
-
Upload
ichsanalquluby -
Category
Documents
-
view
41 -
download
2
Transcript of Filsafat Administrasi Teori Organisasi
FILSAFAT ADMINISTRASI TEORI ORGANISASI
FILSAFAT ADMINISTRASI
TEORI ORGANISASI
PENDAHULUAN
1. BIROKRASI
Pertama-tama perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalahpahaman umum bahwa
pengertian birokrasi diberikan kepada hal-hal seperti jika seseorang ingin mendapatkan informasi
tertentu dikirim dari pejabat satu ke pejabat yang lainnya, tanpa mendapatkan informasi yang
diinginkan. Demikian pula keharusan pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih.
Sehingga birokrasi malahan dihubungkan dengan kemacetan-kemacetan administrasi atau tidak
adanya efisiensi.
Birokrasi di sini dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang
harus dilakukan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang
dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.[1]
2. TEORI BIROKRASI MAX WEBER
Salah seorang pemikir pertama mengenai konsep birokrasi adalah Max Weber (1864-
1920).[2] Dalam dua buku yang ditulisnya Parliament and Government in the Newly Organized
Germany (terbit tahun 1918) dan Wirtschaft and Geselschaft (terbit tahun 1921 setelah ia
meninggal). Weber menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang organisasi rasional (birokrasi)
setelah menganalisis gejala-gejala buruk dari dominasi kekuasaan para pejabat pemerintahan dan
staf administrasi pada abad ke-19.
Pemikiran Weber tentang birokrasi sebenarnya sangat dipengaruhi oleh teori administrasi
Jerman, pemikiran Robert Michels, pemikiran Karl Marx dan pemikiran ahli sejarah ekonomi
dan sosial Gustav Schmoller. Sekalipun Weber tidak semua setuju pada pemikiran mereka,
namun gagasan-gagasan yang ia susun tidak lepas dari kehadiran pemikiran mereka. Dalam
Wirtschaft and Geselschaft misalnya, Weber sangat menaruh perhatian pada gagasan tentang
verband yang terjemahannya paling jelas adalah tentang “organisasi”. Namun Weber di sini
memiliki konotasi khusus sehingga diartikannya sebagai suatu tatanan hubungan-hubungan
sosial, suatu pemeliharaan yang dengannya individu-individu tertentu memiliki tugas-tugas
khusus. Kemudian ia pun menaruh perhatian pada pentingnnya ordnung (aturan-aturan) sebagai
dasar yang membatasi dan mengatur hubungan-hubungan sosial dan kekuasaan/otoritas
(kewenangan).
Dalam analisis sosiologisnya Weber melihat fakta bahwa tingkah laku manusia dalam
verband diorientasikan oleh seperangkat aturan. Adanya seperangkat aturan yang mengarahkan
tingkah laku tersebut merupakan satu hal yang hakiki bagi konsep organisasi, yang olehnya
disebut tatanan administrasi. Aspek penting dari tatanan administrasi ini ditunjukkan oleh siapa
yang memberikan perintah dan kepada siapa perintah diberikan, sehingga antara administrasi dan
otoritas sangat berhubungan erat. Di sini Weber mengemukakan apa yang disebutnya koordinasi
imperatif, perintah dan aturan, sebagai faktor yang sama penting dalam tatanan administrasi di
mana aturan akan mengatur ruang lingkup dan kepemilikan otoritas.
Selanjutnya Weber menjelaskan bahwa untuk sebuah organisasi rasional, setiap pejabat
dan anggota staf administrasi berada dalam kedudukan memberi dan menerima tatanan-tatanan
administrasi karena itu perlu struktur otoritas dan legitimasi. Dalam kaitan ini Weber
menganalisis ada 3 bentuk otoritas dengan legitimasi yang berbeda untuk dipilih sebagai
berikut :
1. kepatuhan kepada semua perintah dibenarkan (sah) karena orang yang berada dalam
tatanan itu memiliki beberapa kesucian atau karakteristik yang terkenal. Otoritas ini
disebut otoritas kharismatik.
2. kepatuhan pada semua perintah karena menghormati terhadap pola tatanan lama yang
telah mapan. Otoritas ini disebut otoritas tradisional.
3. kepatuhan kepada yang memberi perintah karena semata-mata tugas sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang ditetapkan. Otoritas ini disebut otoritas legal dan
rasional.
Dari ketiga bentuk otoritas tersebut yang terakhirlah yang dipilih dan menjadi perhatian
Weber dalam menyusun konsep dan gagasan-gagasannya mengenai organisasi rasional
(birokrasi). Menurut Weber, administrasi yang dapat mencapai tingkat rasionalitas, jika disusun
berdasarkan sistem otoritas (kewenangan) legal, bukan otoritas kharismatik atau tradisional.
Berdasarkan sistem otoritas legal ini, maka Weber mengemukakan 8 proposisi sebagai berikut :
1. tugas-tugas pejabat diorganisir berdasarkan aturan yang berkesinambungan.
2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang dibedakan menurut fungsi masing-masing
dilengkapi dengan syarat otoritas dan sangsi-sangsi.
3. jabatan-jabatan tersusun secara hierarkhis, hak-hak control dan komplain diantara mereka
terperinci.
4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal.
Dalam kasus tersebut manusia terlatih diperlukan.
5. sumber-sumber daya organisasi dibedakan dengan yang berasal dari anggota sebagai individu
pribadi.
6. pemegang jabatan tidak sesuai dengan jabatannya (maksudnya setiap orang dapat menduduki
jabatan tidak harus tergantung dari latar belakang pendidikannya).
7. administrasi didasarkan kepada dokumen-dokumen tertulis, dan untuk hal ini kantor (biro)
dijadikan sebagai pusat organisasi modern.
8. sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya ialah
di dalam staf administrasi birokratik (maksudnya sistem otoritas legal hanya berlaku di dalam
staf administrasi yang birokratik).
Dengan berpijak pada 8 proposisi di atas kemudian Weber mengusulkan model
organisasi rasional yang disebut organisasi birokrasi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. kegiatan-kegiatan regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organsasi dibagi
dalam cara yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Pembagian kerja yang jelas ini
memungkinkan untuk mengerjakan tenaga-tenaga spesialisasi dalam tiap jabatan, dan
membuat mereka bertanggungjawab untuk pelaksanaan efektif dari tugasnya tersebut.
Tingkat spesialisasi yang tinggi menjadi bagian daripada kehidupan sosial-ekonomis
banyak negara-negara dewasa ini (terutama di negara maju).
2. pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hierarki, yaitu jabatan yang lebih
rendah berada di bawah pengawasan daripada jabatan yang lebih atas. Setiap pejabat di
dalan hierarki administratif ini dapat diminta pertanggungawabannya oleh atasannya
mengenai keputusan atau kegiatan pejabat yang di bawah pimpinannya itu. Supaya ia
dapat memimpin bawahan seseorang mempunyai kewenangan atas bawahan tersebut,
yaitu mempunyai hak untuk mengeluarkan petunjuk dan bahwa atas kewenangan itu,
bawahan diminta kesediaannya untuk menuruti. Kewenangan tersebut hanyalah terbatas
kepada pemberian petunjuk/instruksi yang relevan dengan tugas atau fungsi jabatan.
Penggunaan dari prerogatif status untuk memperluas kekuasaan terhadap bawahan tidak
dibenarkan karena tidak sesuai dengan pelaksanaan kewenangan birokratis yang sah
(legitimate).
3. operasi-operasi atau pelaksanaan kegiatan dikendalikan oleh suatu sistem peraturan yang
konsisten dan pelaksanaan daripada peraturan-peraturan ini terhadap kejadian atau kasus
tertentu. Sistem dari standar ataupun peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk
menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan, tanpa melihat
jumlah orang yang terlibat didalamnya, serta untuk koordinasi berbagai tugas. Peraturan
atau tata-cara tersebut juga memberikan pembatasan wilayah tanggungjawab setiap
anggota organisasi dan hubungan antar mereka. Pelaksanaan kegiatan yang mendasarkan
diri kepada peraturan atau standar-standar tersebut dipakai untuk jabatan-jabatan di
tingkat bawah yang bersifat rutin, tetapi juga untuk jabatan-jabatan tinggi ada standar
untuk menjadi dasar pelaksanaan kegiatannya.
4. pejabat yang ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban di dalam semangat
“formalistic impersonality”[3] (formal non-pribadi). Artinya tanpa perasaan simpati atau
tidak simpati. Supaya standar-standar rasional dapat berjalan dalam pelaksanaan kegiatan
tanpa gangguan pertimbangan yang bersifat pribadi, maka suatu pendekatan yang non-
pribadi harus berlaku di dalam suatu organisasi. Dengan menghilangkan pertimbangan
yang bersifat pribadi dalam urusan jabatan, berarti suatu prakondisi untuk sikap tidak
memihak dan juga untuk efisiensi. Dan sebetulnya hal ini adalah untuk keuntungan
mereka yang dilayani. Dengan sikap pelayanan yang sama berarti juga membina
demokrasi dalam administrasi.
5. penempatan kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan
dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Di dalam suatu organisasi
birokrasi penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karier. Ada sistem promosi,
entah atas dasar senioritas atau prestasi. Kebijakan kepegawaian demikian dimaksudkan
untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan tumbuhnya “esprit de corps” (jiwa
korps) di antara anggotanya. Identifikasi anggota organisasi dengan organisasinya
membuat mereka mengusahakan tujuan dan kepentingan organisasi secara lebih baik.
6. pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi
administrasi dilihat dari penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisiensi tingkat
tertinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efisien daripada
organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya. Birokrasi
memecahkan masalah organisasi yang utama, yaitu memaksimalkan efisiensi organisasi
dan bukan dari masing-masing anggota organisasi tersebut. Untuk itulah dikembangkan
spesialisasi dan pengadaan, serta penempatan kerja pegawai atas dasar kualifikasi teknis.
CATATAN ANALISIS
Apa yang dikemukakan oleh Weber tentang birokrasi adalah apa yang ia sebut tipe ideal.
Konsep metodologi ini tidak mewakili secara rata-rata dari birokrasi yang ada, tetapi suatu tipe
murni yang diambil dengan cara abstraksi dari segi dan ciri birokrasi yang paling menonjol dari
organisasi-organisasi yang diketahui. Karena birokratisasi tidak pernah direalisasikan, maka
tidak ada suatu organisasi yang secara empiris sesuai dengan konstruksi ilmiah tersebut.
Tetapi ada hal yang perlu mendapat perhatian utama, tentang konsep tipe ideal birokrasi
Weber tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Blau dan Page.[4] Pandangan Weber adalah
pengamatan dari birokrasi dalam bentuk organisasi formal. Birokrasi demikian, perlu bagi
pengorganisasian tugas kegiatan yang besar untuk meningkatkan efisiensi. Sesuatu yang tidak
sesuai dengan konsep ini dianggap tidak relevan untuk pengetahuan organisasi. Sedangkan studi-
studi empiris akhir-akhir ini ternyata bahwa hubungan formal dan praktek-praktek yang kurang
resmi berkembang antara anggota-anggota birokrasi dan seringkali berbentuk suatu organisasi
tersendiri tanpa mendapat sanksi resmi. Chester I. Barnard malahan mengemukakan: “informal
organization are necessary to the operations of formal organizations”.[5] Pola-pola informal ini
berkembang menjadi penting untuk diperhatikan dalam analisa organisasi. Jika struktur formal
yang dikemukakan Weber dianggap satu-satunya yang mendukung efisiensi, maka kenyataannya
adalah bahwa hubungan informasi dan praktek-praktek kurang resmi seringkali memberikan
sumbangan yang besar terhadap pelaksanaan kegiatan yang efisien.
Birokratisasi dapat menjadi kekuatan yang baik untuk pertumbuhan sebagai hasil
pelaksanaan kegiatan yang efisien, tetapi juga dapat menjadi alat yang menghambat perubahan-
perubahan. Dalam hal ini birokrasi memang dapat berkembang ke arah salah satu diantaranya.
Birokrasi dapat menghambat perubahan sosial, jika yang lebih menonjol adalah apa yang oleh
Blau dan Page[6] disebut sebagai sikap “ritualis”. Sikap birokrasi di sini adalah mengembangkan
standard dan prosedur tata-kerja dan memperinci kewenangan secara detail, kemudian dijadikan
suatu yang rutin dan dilaksanakan secara ketat. Tidak ada tempat bagi suatu kebijakan
administratif yang mungkin sedikit menyimpang, tetapi memberikan pemecahan masalah.
Melaksanakan kegiatan berdasarkan standar maupun aturannya menjadi tujuan dan bukan
alat untuk mencapai suatu tujuan administratif. Seringkali hal ini terkait erat dengan disiplin
pelaksanaan kerja sesuai dengan wilayah kewenangan masing-masing. Karena para anggota
birokrasi kemudian hanya merupakan bagian dari mesin yang ketat yang seringkali juga
menumpulkan inisiatif dan gagasan-gagasan baru. Keadaan seperti itu akan tidak sesuai dengan
kebutuhan proses perubahan sosial yang cepat atau tidak memberikan dorongan bagi usaha
perubahan di mana standar serta aturan-aturan rutinnya itu sendiri perlu secara terus menerus
disempurnakan.
Di lain pihak birokrasi dapat menjadi alat pembaharuan. Hal ini terlaksana, jika tujuan-
tujuan organisasi memang diarahkan bagi suatu strategi pembaharuan dan pembangunan.
Kecuali itu elite birokrasi bersikap mudah menerima pemikiran-pemikiran pembaharuan dan
pembangunan.
Dengan demikian birokrasi adalah suatu alat untuk dapat merealisasikan pembangunan
sosial, ekonomi dan politik. Karena bagaimanapun juga, tujuan-tujuan perubahan tersebut di
dalam masyarakat modern perlu dilembagakan dalam bentuk birokrasi. Kemudian dengan
adanya perkembangan apa yang disebut teknokrasi, maka birokrasi mendapatkan darah baru
dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk proses perubahan dan
pembangunan yang dilembagakan dalam birokrasi.
[1] Peter Al Blau dan Charles H. Page, Bureaucracy in Modern Society, (New York: Random House, 1956)[2] H.H. Gerth dan R. Wright Mills, (eds.&translator), From Max Weber: Essays in Sosiology, (NewYork: Oxford University Press, 1958)[3] ibid. [4] Peter M. Blau dan Charles H. Page, op.cit. diambil pula dari Max Weber, Theory of Social an Economic Organization, (NewYork: The Free Press, 1964)[5] Chester I. Barnard, The Function of the Executives, (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1938), hal.123.[6] Peter M. Blau dan Charles H. Page, op.cit.
Sumber: http://tengkumahesakhalid.blogspot.com/2012/05/filsafat-administrasi-teori-organisasi.html