Filosofi Waktu

19
Filosofi Waktu: Kalender itu Bukan Waktu Oleh: Husein Ja'far Al Hadar * Sejatinya, waktu itu bukan tentang detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Waktu juga bukan kalender. Itu hanyalah hitungan tentang waktu yang kemudian menjadi formal di tengah peradaban manusia. Kalender merupakan karya kreativitas manusia, sedangkan waktu itu sendiri merupakan ciptaan Tuhan. Karenanya, jika waktu bersifat universal, maka tak begitu dengan kalender. Beragam jenis kalender bisa ditemui di dunia ini. Ada yang disebut dengan "Kalender Masehi" yang menjadikan kematian Isa Al Masih sebagai titik pembeda; sebelum kematiannya disebut "Sebelum Masehi" dan setelah wafatnya disebut dengan "Masehi". Selain itu, ada pula "Kalender Cina", "Kalender Thailand" dan tentu saja "Kalender Islam" yang didasarkan pada hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Karena sifatnya yang parsial, maka saat ini, ketika kita merayakan Tahun Baru Hijriyah 1434, maka tahun ini justru 2012 di Kalender Masehi, 2563 menurut Kalender Cina, serta 2555 dalam konteks Kalender Thailand. Dalam suasana Tahun Baru Hijriyah kali ini, penulis hendak membahas tentang sesuatu yang lebih mendasar dan substansial dari sekadar kalender, yakni tentang waktu itu sendiri. Penulis hendak mengurai filosofi waktu guna menjadi renungan bagi kita di suasana Tahun Baru Hijriyah ini. Sehingga, waktu kita menjadi kembali independen, bebas dan penuh makna. Kita tahu bahwa waktu sangatlah penting dalam kehidupan kita. Karenanya, banyak kita temui kata-kata mutiara seperti time is money (waktu adalah uang), guna mendorong kita agar memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Namun, bukan itulah filosofi waktu. Sebab, jika waktu diandaikan sebagai uang, maka waktu bukan hanya tak lagi independen, melainkan menjadi sangat kapitalistik; waktu

Transcript of Filosofi Waktu

Page 1: Filosofi Waktu

Filosofi Waktu: Kalender itu Bukan WaktuOleh: Husein Ja'far Al Hadar *

Sejatinya, waktu itu bukan tentang detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Waktu juga bukan kalender. Itu hanyalah hitungan tentang waktu yang kemudian menjadi formal di tengah peradaban manusia.

Kalender merupakan karya kreativitas manusia, sedangkan waktu itu sendiri merupakan ciptaan Tuhan. Karenanya, jika waktu bersifat universal, maka tak begitu dengan kalender. Beragam jenis kalender bisa ditemui di dunia ini. Ada yang disebut dengan "Kalender Masehi" yang menjadikan kematian Isa Al Masih sebagai titik pembeda; sebelum kematiannya disebut "Sebelum Masehi" dan setelah wafatnya disebut dengan "Masehi". Selain itu, ada pula "Kalender Cina", "Kalender Thailand" dan tentu saja "Kalender Islam" yang didasarkan pada hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah. Karena sifatnya yang parsial, maka saat ini, ketika kita merayakan Tahun Baru Hijriyah 1434, maka tahun ini justru 2012 di Kalender Masehi, 2563 menurut Kalender Cina, serta 2555 dalam konteks Kalender Thailand.

Dalam suasana Tahun Baru Hijriyah kali ini, penulis hendak membahas tentang sesuatu yang lebih mendasar dan substansial dari sekadar kalender, yakni tentang waktu itu sendiri. Penulis hendak mengurai filosofi waktu guna menjadi renungan bagi kita di suasana Tahun Baru Hijriyah ini. Sehingga, waktu kita menjadi kembali independen, bebas dan penuh makna.

Kita tahu bahwa waktu sangatlah penting dalam kehidupan kita. Karenanya, banyak kita temui kata-kata mutiara seperti time is money (waktu adalah uang), guna mendorong kita agar memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Namun, bukan itulah filosofi waktu. Sebab, jika waktu diandaikan sebagai uang, maka waktu bukan hanya tak lagi independen, melainkan menjadi sangat kapitalistik; waktu dinilai bermanfaat jika diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menhasilkan uang semata. Ironi!

Kita juga telah mengkotak-kotakkan waktu kita sesuai dengan kalender. Kita memahami Senin sebagai hari yang menyebalkan, karena Senin adalah hari aktif pertama setiap pekan, baik untuk bekerja, belajar atau melakukan rutinitas lainnya. Dan, tentu, yang kita selalu harapkan adalah akhir pekan (weekend), karena di hari itu kita libur dan bebas melakukan aktifitas yang menghibur. Padahal, dalam salah satu perkataan mulianya, Sayyidina Ali Bin Abi Thalib menegaskan bahwa bagi seorang Muslim seharusnya setiap waktunya adalah membahagiakan. Sebab, bagi seorang Muslim, seharusnya segala aktifitasnya dipahami dalam konteks ibadah. Dan, sejatinya, kebahagiaan sejati didapat dalam praktek ibadah. Karenanya, sebenarnya setiap waktu Muslim adalah sakral dan karenanya membahagiakan. 

Waktu kita terasa banal dan tak sakral. Sehingga, kita isi waktu kita dengan berbagai rutinitas yang tak bermakna, atau bahkan membuang-buangnya untuk sesuatu yang negatif. Sehingga, pada akhirnya, hidup kita 'pun ikut banal. Sebab, waktu terkait erat dengan keber-Ada-an manusia. Singkatnya, mustahil hidup manusia menjadi bermakna jika mereka tak mampu

Page 2: Filosofi Waktu

memaknai waktunya. Itulah setidaknya hipotesa Martin Heidegger, filosof Jerman tersohor itu, yang kemudian ditulisnya dalam bukunya yang berjudul "Sein und Zeit" (Ada dan Waktu).

Oleh karena itu, untuk menghindari banalitas waktu, setiap manusia patut terus merasa cemas (sorge). Sebab, dengan begitu, kita bisa menghayati waktu secara otentik dan bermakna. Menurut Soren Kierkegaard, filsuf Denmark yang juga Bapak Eksistensialisme, kecemasan bersifat ontologis dan signifikan karena akan menggiring manusia pada iman. Sebab, ketika merasa cemas, manusia akan melompat kepada iman. Sehingga, kecemasan itu akan mendorong manusia modern ini untuk kembali beriman dan taat terhadap keimanannya. Pada ujungnya, mereka akan kembali menghayati setiap kegiatannya sebagai ibadah. Maka, waktunya 'pun akan kembali sakral dan bermakna. 

Sebagaimana ditegaskan pula oleh Heidegger, dengan suasana hati yang selalu cemas, setiap individu akan menghayati setiap detik waktunya secara otentik dan bermakna. Dengan kecemasan, manusia tak akan melewati waktunya kecuali untuk sesuatu yang otentik dan bermakna. Mereka akan menghabiskan waktunya sebagaimana seorang anak yang sedang berada di dalam ambulans yang sedang mengantar ibunya yang sedang sekarat ke rumah sakit. Setiap detik menjadi sangat penting dan berarti.

Dan, bagi Heidegger, kecemasan yang paling otentik yaitu kecemasan akan kematian. Sebab dengan suasana hati yang selalu cemas akan kematian, seseorang akan selalu memanfaatkan dan mengisi waktunya dengan otentik dan penuh makna. Persis seperti nasehat Sayyidina Ali Bin Abi Thalib yang menganjurkan manusia agar selalu mengingat dan membayangkan seolah-olah ia akan mati esok hari.

Inilah seharusnya renungan kita dalam momentum pergantian tahun. Filosofi waktu seperti di atas yang patut kita terapkan dalam melihat dan menghayati waktu kita. Sehingga, waktu kita menjadi bermakna. Dan, pada akhirnya, kita tak menjadi seseorang yang oleh Qur'an disebut sebagai "manusia merugi" dalam QS. Al ‘Ashr. Wallahu a'lam.

 

* Peminat Studi Keagamaan & Filsafat. Penulis buku "Islam "Madzhab" Fadlullah"

Page 3: Filosofi Waktu

Filosofi Kepahlawanan: Mati Untuk Sejarah!Oleh: Husein Ja'far Al Hadar *

Begitu banyak orang besar merelakan hidupnya demi masa depan. Mereka rela mati bukan untuk masanya, tapi untuk masa depan. Mereka mati untuk menjadi sejarah besar yang menginspirasi, mengontrol, dan memastikan masa lalu yang kelam tak terulang di masa depan. Itulah benang merah yang akan kita dapatkan jika membaca sejarah para pahlawan, baik di negeri ini atau di manapun saja.

Di zaman saat mereka mati, mungkin mereka mati sebagai seorang yang kalah dan bahkan dianggap sebagai pecundang oleh masyarakat di zamannya. Karenanya mereka mati, dan sebagaian besar karena terbunuh. Namun, waktu kemudian secara perlahan tapi pasti mengadili masa lalu dan menarik garis tegas secara jujur dan jernih tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Sekaligus juga tentang siapa yang sebenarnya pahlawan dan siapa yang pecundang. 

Filosofi itulah yang bisa kita petik, misalnya, dari kisah hidup dan mati dari salah satu pahlawan terbesar dalam Islam, yakni Sayyidina Husain (putra Khalifah Ali Bin Abi Thalib). Di zamannya, ia kalah dan dibunuh secara menyedihkan di Padang Karbala (kini salah satu kawasan di Irak) oleh Yazid Bin Muawiyah. Namun, seperti yang disadari dan ditegaskannya sejak sebelum ia mati olehnya, bahwa ia memang rela tertindas dan mati untuk sejarah. Sebuah sejarah yang kemudian membuktikan tentang kebenaran, kebesaran dan kepahlawanannya menentang kediktatoran dan penindasan Yazid dan menginspirasi serta menyuntikkan semangat revolusioner bagi begitu banyak tokoh dunia setelahnya, baik di Islam (seperti Imam Khomaeni di Iran) maupun non-Muslim (seperti Mahatma Gandhi di India).

Filosofi persis seperti itu pula yang akan kita dapatkan dari sejarah Yesus dari Nazaret. Ia mati sebagai yang kalah di masa lalu dengan disalib secara menyedihkan. Namun, waktu kemudian yang menjelaskan tentang siapa sebenarnya Yesus dari Nazaret itu, sehingga kini ia menjadi tokoh yang diikuti oleh jutaan orang di dunia.

Yang dicari oleh seorang pahlawan bukanlah kemenangan sesaat. Mereka juga tak takut oleh kekalahan sesaat. Sebab, mereka hidup bukan untuk ke-sesaat-an, tapi keabadian. Yang mereka cita-citakan adalah keabadian dan kesejatian. Mereka ingin menjadi pemenang sejati dan abadi, walau harus melalui babak kekalahan sesaat, bahkan hingga mengorbankan nyawanya.

Oleh karena itu, menurut penulis, jika meminjam terminologi Islam, kepahlawanan itu berbanding lurus dengan ke-syahid-an. Seorang pahlawan takkan mati kecuali sebagai syahid. Dan, menurut Qur’an, seorang syahid itu tak pernah mati. Dia terus ‘hidup’ dan abadi. Dia ‘hidup’ dengan menginspirasi dan menyuntikkan semangat kebaikan yang revolusioner bagi umat manusia.

Maka, dalam suasana Hari Pahlawan (10 September) seperti saat ini, filosofi kepahlawanan seperti itulah yang harus benar-benar disadari, dipahami, dan dihayati oleh kita sebagai generasi selanjutnya dari bangsa ini. Kita harus terus mengingat dan meraih inspirasi serta spirit

Page 4: Filosofi Waktu

revolusioner yang tak terhingga dari pahlawan negeri ini. Sebab, pada dasarnya, mereka bukan hidup di- dan untuk masa lalu, melainkan masa kini. Mereka rela berjuang dan mati di masa lalu untuk ‘hidup’ abadi di masa kita sebagai inspirasi, pendobrak dan penggerak kita untuk terus memperjuangkan kebaikan bangsa.

Akhirnya, bertolak dari filosofi di atas, maka pada dasaranya musuh sejati para pahlawan kita bukanlah para penjajah kolonialis itu, namun kita yang melupakan mereka. Sebab, mereka berjuang dan mati untuk sejarah. Jika kita kemudian tak ‘menghidupkannya’ di masa kini, kita lebih kejam dari para penjajah kolonialis di masa lalu itu. Kita ‘lah musuh sejati para pahlawan kita sendiri.

Oleh karena itu, salah pesan Presiden Soekarno kepada generasi penerus bangsa adalah “Jas Merah!” alias “Jangan Melupakan Sejarah!”, apalagi lupa untuk sekedar memberikan gelar pahlawan bagi para pahlawan itu. Sebab, pahlawan berjuang dan mati untuk sejarah. Kita ‘pun ada karena sejarah yang diukir oleh para pahlawan itu. Dan jika kita ingin menjadi sejarah, maka berjuanglah sehingga menjadi pahlawan.    

 

* Peminat Studi Keagamaan & Filsafat. Penulis buku "Islam "Madzhab" Fadlullah"

Page 5: Filosofi Waktu

Rabu, 05 September 2012Psikologi Kematian : Ubah Ketakutan jadi Optimisme

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata "kematian" ? Sebuah kata yang bisa saja gambaran tiap orang hampir seragam. Tak jauh dari suatu kejadian yang mengerikan dan orang cenderung enggan membicarakannya bahkan mungkin malah menjauhinya. Ya, ada yang mengganggapnya tak pantaslah atau lainnya. Tapi di Islam kita diajarkan bahwa kita harus meyakini bahwa suatu hari kita pasti akan mati dan kembali kepada yang menciptakan kita, Allah.

Buku karya Rektor saya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, yang berjudul "Psikologi Kematian" ini menggambarkan kematian sebagai suatu yang berbeda dari pandangan banyak orang. Bahwa kematian selain pasti kita hadapi juga harus kita lewati dengan rasa optimisme. Sebuah topik menarik yang membuat saya memutuskan membeli buku ini, selain merasa punya kewajiban untuk mengenal lebih dekat Rektor saya tentunya (hahaha..). Tujuan buku ini pada akhirnya adalah merubah paradigma berpikir kebanyakan ummat mengenai kematian, dari ketakutan menjadi optimisme.

Ada bagian yang menarik dalam buku ini, ada sebuah ungkapan barat yang sesuai dengan makna kematian dalam Islam.

"Segala sesuatu yang pasti akan terjadi, berarti dekat"

Kita sebagai manusia sudah pasti tahu bahwa kita akan mati. Sehingga kematian adalah kepastian. Maka mati adalah dekat, bahkan lebih dekat dari kemungkinan-kemungkinan yang ada didunia. Mengapa? Karena waktu mati tidak ada seorangpun yang tahu.

Prof. Komaruddin yang bidang keahliannya memang di bidang filsafat agama menjabarkan hakikat kematian juga dari sisi filsafat. Beliau bercerita bagaimana filsuf Yunani, Socrates, dihukum mati karena keyakinannya, dan juga beberapa tokoh lainnya. Disini yang ditekankan adalah bagaimana orang-orang ini punya kebermaknaan sendiri dalam menghadapi kematian.

Hal lain yang menarik..

Sungguh aneh jika setiap manusia akan berakhir disuatu titik bernama kematian. Jika demikian adanya maka tak ada artinya orang jadi orang baik dan jahat. Mereka semua akan berakhir sama, mati. Tidak ada timbal balik yang setimpal. Maka, kehidupan setelah kematian adalah jawabannya. Itu merupakan sebuah kepastian bahwa ada kehidupan setelah kematian yang akan menjadi mahkamah agung yang menilai apa yang dikerjakan oleh manusia.

Sangat menarik menelaah hakikat hidup manusia dibalik setiap lembaran buku ini. Ada baiknya kalian juga membacanya.. Recommended!

=============================================

Walau sebenarnya sedang disibukan dengan riset dan sebentar lagi akan sidang, Saya tetap memaksakan diri untuk membahas buku yang saya baca. Bukan tidak konsisten dan tidak ingin fokus. Tapi sebab waktu yang mendesak pencapaian mimpilah yang membuatnya demikian.

Page 6: Filosofi Waktu

Risiko Manusia yang TerbesarOPINI | 10 March 2010 | 23:51 Dibaca: 514 Komentar: 10 Nihil

Hal apakah yang paling buruk yang mungkin dapat menimpa seorang manusia, seperti Anda dan saya? Apakah Anda pernah memikirkannya?

Terkena penyakit berat yang tak tersembuhkan, sakit kanker, kesakitan yang amat sangat, menjadi cacat, tubuh yang rusak, buta, tuli, buntung, buruk rupa, kehilangan harta benda, menjadi sangat miskin, dipermalukan, dihina, kehilangan nama baik, depresi, merasa hidup tak berguna, kesepian, tak punya harapan apa-apa, kesedihan yang sangat, dikhianati orang yang dicintai, kegelisahan yang sangat, dst.

Jenis-jenis penderitaan yang disebutkan di atas sangat berat. Satu penderitaan saja mungkin sudah cukup untuk membuat orang-orang tertentu ingin mengakhiri hidupnya. Tetapi seberat dan sebanyak apapun penderitaan kita di dunia ini pasti ada batas waktunya, ada batas ukurannya, dan ada jalan keluarnya.

Dalam dunia ini, jika tubuh mengalami penderitaan yang terlalu berat ia menjadi pingsan atau mati. Demikian juga halnya dengan jiwa, jika mengalami tekanan yang terlalu berat ia menjadi kehilangan kesadaran atau menjadi gila. Seberat apapun masalah kita di dunia ini pasti ada jalan keluarnya. Sekalipun jalan keluarnya ( yang paling buruk ) adalah kematian. Waktu pasti akan berlalu dan kematian akan mengakhiri segala penderitaan itu.

Tetapi apakah ada hal yang lebih buruk lagi?

Jawabannya : ada! Yaitu jika Tuhan itu ada. Jika firman-Nya itu benar. Jika neraka dan surga itu benar-benar ada.

Hal yang paling buruk yang dapat menimpa manusia ialah jika ia dimasukkan ke dalam neraka! Ini adalah suatu resiko yang melekat pada diri seorang manusia.

Dan hal yang paling bodoh yang dapat dilakukan untuk menghindari resiko itu adalah dengan melakukan tepat seperti apa yang dilakukan oleh seekor burung unta. Seekor burung unta, yang berbadan besar tetapi mempunyai leher yang panjang dan kepala yang kecil, menghadapi bahaya ditembak oleh para pemburu. Oleh karena itu ia mencoba menyembunyikan dirinya. Tetapi hanya kepalanyalah yang disembunyikannya. Sedangkan tubuhnya yang besar sama sekali tidak tersembunyi. Dapat ditebak bahwa para pemburunya dapat dengan mudah menghabisi makhluk bodoh yang mencoba menipu dirinya sendiri itu.

Adalah bodoh mencoba lolos dari api neraka dengan cara menyangkali keberadaan neraka itu sendiri. Mencoba lari dari Tuhan dengan menyangkali keberadaan-Nya adalah perbuatan yang sangat berbahaya! Dan itulah yang dilakukan oleh banyak orang, termasuk kaum ateis dan darwinis. Juga orang-orang yang agnostik ( tidak peduli).

Jika neraka ada, maka seseorang yang masuk ke tempat itu benar-benar menghadapi masalah besar. Itu adalah masalah atau penderitaan yang tidak ada jalan keluarnya. Waktu tidak lagi dapat menjadi jalan keluar. Penderitaannya akan terjadi terus menerus tanpa batas waktu. Di sana dia dipisahkan dari Allah dan dari segala yang baik selama-lamanya; karena ia telah menolaknya. Hanya yang tidak baiklah yang

Page 7: Filosofi Waktu

akan menjadi bagiannya seterusnya. Sesungguhnya semua jenis penderitaan di dalam dunia ini hanyalah semacam bayangan atau gambaran dari yang terdapat di neraka itu sendiri.

Di dalam neraka penderitaan apapun yang menimpanya, seberat apapun, tidak akan membuatnya kehilangan kesadaran. Sehingga ia benar-benar dapat merasakan sampai sepenuh-penuhnya rasa sakit dari penderitaan itu. Dan penderitaan itu adalah penderitaan yang benar-benar lengkap dan nyata. Murka Allah tertimpa atas tubuh dan jiwanya!

Dia akan berada di tempat yang benar-benar sangat buruk. Tempat itu adalah tempat yang gelap total dan berbau sangat busuk yang lebih busuk dari bau yang paling memuakkan di dunia ini. Tempat itu sangat panas, sangat tandus dan pengap yang sangat menyesakkan nafas. Binatang-binatang yang sangat menjijikkan merayap memenuhi tempat itu. Juga ada makhluk-makhluk yang luar biasa jelek dan bengis rupanya.

Tubuhnya akan terbakar oleh api sampai meleleh, disertai rasa sakit yang luar biasa. Ulat-ulat yang tidak bisa mati menggerogoti tubuhnya. Tubuhnya begitu jelek, mengerikan, menjijikkan dan berbau sangat busuk. Rasa sakit, nyeri, panas, haus, lapar, sesak nafas menyiksanya tanpa henti. Tidak ada waktu istirahat barang sebentarpun dari semuanya itu. Telinganya akan terus mendengar jeritan histeris kesakitan dari jiwa-jiwa yang disiksa. Semua indranya berfungsi dengan sangat baik, kesadarannya tetap terjaga selamanya, untuk dapat merasakan semua penderitaan itu secara sempurna. Tak ada ketenangan dan istirahat barang sedikitpun bagi tubuh, pikiran dan jiwanya.

Jiwanya begitu gelisah dan tersiksa. Ingatan-ingatannya pada kehidupannya dulu di dunia menimbulkan rasa sesal yang sangat mendalam. Ada rasa keterpisahan, kesepian, kesedihan, kemarahan, kebencian dan kehampaan yang sangat nyeri. Rasa malu dan hina yang amat sangat dia rasakan sepenuh-penuhnya. Di sana ingatan akan Tuhan akan terhapus dari pikirannya sehingga dia merasa tidak punya harapan apa-apa lagi. Di sana dia bukan apa-apa, bukan milik siapa-siapa, tidak memiliki siapa-siapa lagi dan tidak memiliki apa-apa lagi. Dia tidak mempunyai harga diri dan martabat sedikitpun. Dia tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Penderitaan yang benar-benar lengkap sehingga depresi yang paling berat di dalam dunia tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang sedemikian itu!

Dan bayangkan jika selama kita hidup di muka bumi ini kita selalu senang dan bahagia. Kita mempunyai tubuh yang indah dan sehat, wajah yang cantik atau tampan. Kita begitu cerdas, bijaksana dan penuh dengan bakat-bakat alami. Kita mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Kita mempunyai pembawaan sifat-sifat yang baik dan dikagumi manusia, seperti ramah, pandai bergaul, menarik, menyenangkan, dsb.

Di samping itu semua kita adalah seorang yang terkenal karena kepandaian, kekayaan dan karya-karya dan pengabdian kita. Kita mempunyai reputasi yang begitu tinggi dan begitu dikagumi oleh semua orang. Kita mempunyai teman-teman yang menyenangkan dan menikmati pergaulan yang indah dengan mereka. Kita mempunyai rumah besar nan indah menyenangkan, dengan keluarga yang bahagia, istri atau suami yang dicintai dan anak-anak yang membanggakan. Karir kita begitu cemerlang. Dan kita adalah orang yang sudah banyak berjasa bagi bangsa dan negara. Pendeknya kita mempunyai segala hal yang terbaik yang mungkin dalam hidup ini.

Tetapi bayangkan, bagaimana jika untuk mendapatkan kehidupan yang seperti itu di bumi, selama 70 atau 80 tahun, kita harus menukarnya dengan ini : setelah kita mati, kita ditentukan untuk masuk ke dalam neraka. Jika ada klausula seperti itu yang berlaku bagi hidup kita, masihkah hidup yang semacam

Page 8: Filosofi Waktu

itu adalah hidup yang berharga bagi kita? Kita sekarang mempunyai gambaran barang sekilas mengenai betapa fananya kita. Betapa pentingnya bagi kita untuk mendapatkan jaminan ( asuransi ) keselamatan terhadap kemungkinan tertimpa bencana yang tak tertanggungkan oleh siapapun tersebut.

Pertama, jangan sekali-kali meremehkan atau mengabaikan suatu resiko yang begitu serius akibatnya kalau itu benar-benar terjadi, apalagi yang bahkan tidak dapat kita tanggung. Kalau ada suatu hal yang bisa memperbesar resiko seseorang masuk ke dalam suatu masalah serius, itu tidak lain adalah sikap meremehkan masalah tersebut itu sendiri. Sikap meremehkan bukannya menghindari atau mengurangi resiko tetapi justru memperbesar kemungkinan terjadinya resiko tersebut.

Sering kita mendengar kata ‘neraka’ diucapkan dengan nada ringan bahkan gurau, bukannya ditanggapi dengan serius. Bahkan kata-kata yang kedengarannya seriuspun sebenarnya sangat meremehkan kenyataan yang sebenarnya : “ Insya Allah saya bisa masuk surga.” Atau “ Semoga dosa-dosanya diampuni dan dia diterima di sisi-Nya” Bukankah jika tidak masuk surga berarti masuk neraka?! Tidak ada pilihan lain.

Jika saya sedang dalam proses seleksi untuk menjadi seorang karyawan, saya dapat berkata : “Mudah-mudahan ( insya Allah ) saya diterima bekerja.” Kemungkinan terburuknya adalah saya tidak dapat diterima. Memang menyedihkan dan mengecewakan tetapi saya masih dapat menanggungnya. Saya masih bisa mencoba lagi melamar ke perusahaan lain, bisa berwiraswasta, dan lain sebagainya. Pendeknya resikonya masih mampu saya tanggung.

Atau misalnya masalahnya lebih berat. Saya harus menjalani operasi yang, kalau tidak berjalan dengan baik saya bisa menjadi cacat atau bahkan meninggal. Saya dalam hal ini masih bisa berkata : “Insya Allah operasi ini akan berhasil.” Kalaupun tidak berhasil, walau resikonya sangat berat, saya pasrah, toh saya masih bisa menanggungnya. Resiko terbesar situasi tersebut adalah kematian, yang justru bisa juga menjadi jalan keluar yang terakhir.

Tetapi yang ini masalahnya lain. Bagi saya, sangat mengerikan untuk berkata : “ Mudah-mudahan saya lolos dari neraka dan masuk surga.” Sungguh, saya benar-benar tidak sanggup untuk menanggung resiko terburuknya : masuk neraka! Saya memerlukan dan menginginkan jaminan penuh. Bukan mudah-mudahan. Dari Tuhan sendiri tentunya.

Ada ajaran yang mengatakan bahwa dengan berbuat baik, melakukan amal dan ibadah dengan sebanyak-banyaknya akan membuat ‘neraca’ kita menjadi positif, dan membuat kita masuk surga. Jadi seolah kita mempunyai semacam ‘rekening bank rohani’ yang menampung segala perbuatan baik dan jahat kita. Perbuatan-perbuatan baik, amal dan ibadah berarti penyetoran dan berbuat dosa adalah penarikan. Jika rekening kita positif kita masuk surga, sebaliknya jika rekening minus masuk neraka.

Tidakkah hal demikian benar-benar merupakan tindakan spekulatif dengan resiko yang tak tertanggungkan. Bagaikan berjudi dengan resiko kalah yang sangat besar. Alangkah bodohnya jika seseorang tetap memaksa diri menempuh jalan yang diketahui dengan pasti mengandung resiko yang sangat besar. Di neraka tidak ada jalan lagi untuk berbalik.

Letak masalahnya, pertama, perbuatan baik manusia tidak sempurna dan tidak murni karena datang dari hati dan pikiran yang cenderung berbuat dosa. Jika manusia berbuat baik belum tentu didasari motivasi yang baik, dan di samping itu dia sendiri cenderung untuk tidak menyadari motivasi hatinya sendiri. Jadi

Page 9: Filosofi Waktu

perbuatan baik manusia itu bisa menjadi seperti kain kotor di hadapan Tuhan yang mahasuci tanpa dia sendiri menyadarinya.

Kedua, tidak seperti rekening bank biasa, siapakah yang dapat mengetahui dengan pasti ‘mutasi’ dan ‘saldo’ dari ‘rekening bank rohaninya’? Siapa yang tahu bahwa rekening bank rohaninya dalam keadaan minus atau plus? Saldo kita baru akan dilaporkan pada waktu kita sudah berakhir di dunia ini. Dan pada waktu itu sudah sangat terlambat untuk melakukan tindakan penyelamatan apapun. Akibatnya adalah ini : ketidak pastian keselamatan itu masih tetap ada. Resiko besar itu masih tetap mengancam. Keselamatan tetap akan dikatakan ‘ Insya Allah ‘, yang artinya tidak lebih daripada ke-tidakpasti-an.

Saya minta maaf jika perenungan saya ini mengusik ketenangan Anda, bahkan menimbulkan rasa takut.

Page 10: Filosofi Waktu

Psikologi KematianOPINI | 20 April 2010 | 14:09 Dibaca: 1176 Komentar: 7 1 Inspiratif

Hidup dan ada didunia ini hingga saat ini tidak pernah berpesan pada Tuhan sebelumnya dan hingga menjadi apa nanti, terlahir dari rahim siapa pun tak pernah berpesan pada Tuhan sebelumya. Hingga kekurangan dan kelebihan yang diberikan Tuhan itupun bukan barang pesanan. Karena mungkin kita sudah tahu Tuhan menerapkan sistem dagang ala supermarket atau plaza yang tidak mungkin untuk ditawar dan tidak dapat dipesan sebelumnya.

Mungkin setiap dari kita sudah tahu dan mengerti akan barang dagangan Tuhan yang tidak dapat ditawar – tawar lagi oleh satupun mahluk-Nya didunia ini, seperti ; lahir dan menghilang “maut atau ajal”, jodoh dan rejeki yang kesemuanya itu dibalut dan dirangkai dalam suatu paket produk yang dinamakan takdir.

Berbicra mengenai takdir “kematian” …

Kematian merupakan hal yang sangat ditakuti oleh siapa pun “manusia” yang hidup, termasuk kalian “pembaca” dan mungkin saya “penulis”. Karena dalam benak kita yang hidup, kematian merupakan suatu proses berhentinya fungsi – fungsi tubuh secara keseluruhan baik fisik atau pun non fisik yang bersifat permanent “selamanya”. Dalam hal ini mati lahir dan mati bathin.

Kematian merupakan suatu fenomena alam yang sudah pasti dan akan datang pada setiap partikel – partikel yang memiliki nyawa dan hidup, baik hewan, tumbuhan dan kita manusia. Karena pada dasarnya bagi kita yang hidup telah melakukan perjanjian khusus denga Sang Khalik bahwa stelah kita dihembuskan nafas kehidupan maka akan diambil kembali kapan waktu dan setelah kita dicukupkan atau disempurnakan baik akal, pengetahuan hingga usia yang diberikan. Mau atau tidak mau, bisa atau tidak bisa da suka atau tidak suka.

Jika kita yang hidup tidak mati, maka dunia ini akan muak dan sumpek karena tidak mampu menopang kita yang selalu beregenerasi dan menghasilkan keturunan – keturunan baru. Dunia ini pun akan terasa sempit karena volume dunia yang terbatas dan tidak sebandingnya dengan kapasitas manusianya yang semakin bertambah. Bayangkan…

Dan jika kita yang hidup akan tetap hidup dan tidak mati, maka Tuhan dengan segala kuasa dan kekekalan-Nya patut untuk dipertanyakan. Karena Tuhan itu sendiri pun sudah patut untuk dipertanyakan ke-eksistensian-Nya yang ditopang oleh dimensi “ruang dan waktu”.

Pernah penulis bertanya ketika penulis duduk dibangku kuliah di salah satu kampus islami ternama di Jakarta. Pertanyaan yang mungkin nyeleneh dan sedikit sedehana tetapi sulit untuk mendapatkan penjelasan yang berawal dari sebuah kue putih yang mengatas namakan penebusan dosa.

Pertanyaannya adalah :

Jika kita umat islam diajarkan tentang hari pembalasan serta akhirat, yang mengartikan bahwa disana kita akan dimasukan kedalam surga jika kita beramal shaleh selama hidup didunia dan kita akan dimasukan kedalam neraka jika kita banyak berbuat maksiat selama hidup. Begitu pula diajaran umat nasrani yang mengatakan jika kita makan kue putih yang cerita atau mungkin riwayatnya penebusan dosa dari Isa Almasih, maka umat Nasrani pun akan masuk kedalam surga. Diajaran agama lain seperti

Page 11: Filosofi Waktu

Hindu dan Budha pun juga mengenal satu dimensi setelah kita meninggalkan dunia ini dan menuju alam kekal, yaitu surga dan neraka. Intinya sederhana kesemua agama mengajarkan kebaikan dan mengatakan tentang satu alam kekal setelah kita bermutasi dari alam fana ini dan meninggalkannya menuju alam kekal.

Sedangkan yang menjadi pertanyaannya adalah …

Jika setelah kita semua mati dan ternyata disana tidak ada yang surga atau neraka, disana hanyalah ruang hampa dan gelap serta tak ada apa – apa. Kita bagaikan setitik cahaya dalam kegelapan tanpa siapaapun dan tanpa apa pun dan tiba – tiba kita kembali lagi kedunia fana ini untuk menebus dosa masa lalu “reinkarnasi”

Jawaban yang sangat tidak memuaskan dan berkecendrungan memvonis itu terlontar dari mulut sang nara sumber yang mengatakan itu adalah faham kosong “Nihilsme” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut meski setelah seminar itu bubar sang nara sumber datang dan mengusap – usap punggung ku seraya berkata pertanyaan bagus hanya waktunya saja yang tidak tepat. Mungkin ada dimensi – dimensi lain dibelahan dunia ini atau mungkin dibelahan ruang dan waktu yang mungkin memilki celah untuk diamati serta dikaji lebih dalam lagi

Ada satu hal yang penulis ingin sampaikan melalui bingkai karikarur pemikiran penulis pada kalian “pembaca” sekaligus teman belajar ku… Bahwa kematian itu adalah sesuatu yang wajar dan akan menghampiri serta datang pada setiap mahluk yang bernyawa. Tetapi bagaimana kita menghadapi kematian itu ketika datang…

Jika boleh penulis menganalogikan konsep tentang datangnya kematian maka akan tervisualisaikan dua konsep kematian yang ada dibenak penulis, yaitu

Kematian akan datang dalam perwujudan wanita cantik dengan senyuman serta membawa kopi hitam dengan sebatang samsu. Jika memang kematian seperti itu datangnya maka tidak akan ada yang merasa takut untuk mati.. Ketakutan – ketakutan akan kematian yang datang adalah karenakan oleh kitanya saja belum siap untuk mati karena kita masih banyak doasa dan mungkin kita terlalu mencintai dunia yang semu ini.

Kematian akan datang dalam perwujudan laki – laki berkumis tebal layaknya debt kolektor yang datang membawa berkas utang piutang yang seakan – akan menagih dan akan menyita jika kita tidak membayarnya. Jika memang kematian seperti itu datangnya maka tidak ada ynag siap intuk mati meski ia mendertia didunia. Karena jangankan untuk melihat, untuk membayangkannya saja kita sudah enggan

Ada satu hal yang lebih menakutkan dari penjelmaan kematian pada versi yang ke dua (2), yaitu matinya eksistensi diri serta jati diri. Karena kematian jenis ini merupakan kematian psikis yang menyebabkan matinya identitas diri kita.

Siapa kita ?

Dari mana kita?

Dan Akan Kemana kita

Page 12: Filosofi Waktu

Dari ketiga pertanyaan yang mendasar tersebut timbul satu pernyataan tentang konsep KITA yang mengatakan bahwa KITA berfikir maka KITA ada

Kematian jenis inilah yang seharusnya lebih ditakuti dan di antisipasi bukan kematian fisik melainkan kematian karakter…maka gunakanlah akal pikiran serta nurani selama hidup sehingga jika kita mati nanti “fisik” karakter kita akan tetap hidup dalam diri dan pikiran orang lain.

Page 13: Filosofi Waktu

Komaruddin Hidayat: Mencari Makna Hidup

Buku Man’s Search for Meaning karangan Victor Frankl telah terjual lebih dari sembilan juta eksemplar. Buku itu mengingatkan kita semua bahwa setiap orang selalu mencari makna di balik semua tindakan dan peristiwa yang menyangkut dirinya.

Frankl pernah tinggal di Kamp Nazi selama tiga tahun. Di situlah dia terhentak dan tersadarkan, untuk apa dan siapa seseorang rela mengambil risiko dalam hidupnya. Pasti ada sesuatu makna yang sangat berharga sehingga seseorang rela hidup menderita. Pada awalnya mungkin sekali hidup ini kita jalani sekadar mengikuti dorongan insting. Seperti perasaan lapar lalu menggerakkan untuk makan. Rasa kantuk mendorong mencari tempat tidur. Haus membuat kita mencari minum.Tetapi ketika kebutuhan insting secara rutin sudah terpola ritme pemenuhannya, kita lalu bertanya lebih lanjut.

Untuk apa semua ini saya jalani? Pasti kita menjalani hidup tidak semata didorong oleh kinerja insting. Selalu saja kita dibuat gelisah oleh berbagai pertanyaan, seperti: Bagaimanakah meraih hidup yang bermakna (meaningful life)? Setiap pribadi memiliki cara pandang dan penilaian masingmasing atas apa yang dilakukan atau hendak dilakukan. Bagi anak-anak yang sedang menjalani masa puber, apa yang dianggap bermakna dan berharga tentu berbeda dari kalangan orang tuanya.Artikel Terkait

Mari Tebarkan Cinta Talkshow Buku: “Puncak Makrifat Jawa” Sudah Benarkah Shalat Anda? Filosofi Waktu: Kalender itu Bukan Waktu Filosofi Kepahlawanan: Mati Untuk Sejarah!

Seorang pemain sinetron pemula di televisi mungkin saja memandang prestasi yang paling bermakna dan menjadi obsesinya adalah ketika ratingpenontonnya naik. Ada lagi orang yang menempatkan rumah dan mobil mewah atau jabatan sebagai simbol dan ukuran keberhasilan hidup. Apa iya begitu? Filsafat hidup, keyakinan, dan ajaran agama akan selalu hadir menjadi rujukan bagi seseorang dan masyarakat untuk menentukan bagaimanakah hidup yang bermakna.Mereka yang menganut paham hedonisme berpandangan bahwa sukses dan kenikmatan hidup adalah ketika mampu memanjakan kenikmatan dan kelezatan fisikal-emosional.

Pendeknya, hidup menjadi bermakna dan berharga ketika terpenuhinya dengan mudah kebutuhan dan kenikmatan badani.Penganutpahamhedonismeadayang permanen sebagai keyakinan hidup,namun ada yang menjadi gaya hidup sementara dan mengalami perubahan ditengah jalan, mungkin setelah usia lanjut ketika gemerlap dunia tak lagi setia menemani. Profesi juga sangat berpengaruh bagi seseorang dalam membayangkan, mengejar, dan membangun hidup bermakna yang menjadi sumber kebanggaan dan kebahagiaan.

Sumber Foto: blog.iese.eduSumber Foto: blog.iese.eduSeorang seniman, atlet, penulis, militer, dan profesi lainnya lagi masing-masing memiliki gambaran dan memori peristiwa-peristiwa serta prestasi hidup yang dianggap paling bermakna bagi hidupnya.Hidup mereka yang memiliki kejelasan konsep tentang hidup bermakna dan merasa tertantang untuk meraihnya lebih dinamis dan terarah. Seberapa besar makna hidup yang membanggakan seseorang berkaitan dengan seberapa besar perjuangan dan pengorbanan yang dilakukannya.

Page 14: Filosofi Waktu

Mereka yang hidupnya datar-datar saja tanpa perjuangan dan pengorbanan mungkin tingkat kebahagiaan dan kebanggaan terhadap dirinya juga rendah, datar-datar saja.Kebalikan dari penganut filsafat hidup hedonisme-materialisme adalah mereka yang menganut paham idealisme spiritualisme. Mereka memandang hidup yang pantas dibanggakan dan bermakna itu bukan terletak dalam terpenuhinya kenikmatan badani-duniawi yang mendatangkan self-glory, melainkan prestasi yang mendekati pada nilai-nilai kehidupan ideal yang berguna bagi sebanyak mungkin masyarakat.

Sejarah memiliki banyak catatan, siapa-siapa saja pemimpin bangsa dan dunia yang masuk kategori penganut filsafat dan ideologi hedonisme dan yang masuk kategori idealismespiritualisme. Penghadapan kategori ini tidak mesti kelompok hedonis berarti kaya raya, lalu pendukung idealisme adalah orang-orang yang miskin.Faktor utama yang membedakan adalah sistem nilai yang diyakini dan diperjuangkannya. Dari situ akan muncul perbedaan dalam membuat agenda hidup dan menentukan prioritas serta kesiapan untuk berkorban dalam mencapai target yang dipandang bermakna dan berharga bagi hidupnya.

Orang yang meyakini dan punya agenda memperjuangkan kejujuran dan kebenaran, mereka siap hidup sederhana demi memelihara hidup yang halal.Minimal untuk kebaikan dirinya.Namun, jauh lebih bagus lagi jika mereka juga mengajak dan menggerakkan orang lain agar menjalani hidupnya dengan baik dan benar. Banyak tokoh sejarah dunia maupun nasional mengajarkan bahwa harga diri dan kebanggaan sebuah bangsa itu selalu dibangun dan dijaga oleh para pejuang idealisme-spiritualisme.

Mereka menjadi inspirator dan penggerak masyarakat untuk selalu menjalani hidup dengan tetap setia pada nilainilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan. Namun,mereka yang menganut paham dan gaya hidup hedonistis kurang tertarik berbicara moralitas yang berakar pada paham idealisme-spiritualisme. Hidup ini begitu singkat, mengapa tidak dinikmati secara optimal? Kalaupun mereka taat hukum dan menjalani hidup sehat, pertimbangannya semata untuk kenikmatan dan kepentingan dirinya.

Dengan demikian,paham hidup hedonisme dan pragmatisme memang bersaudara. Tetapi, banyak pula sisi positif paham ini. Misalnya saja, karena mereka meyakini puncak kehidupan hanya berlangsung di dunia, mereka berusaha menciptakan kehidupan duniawi dan lingkungan alam setertib dan seindah mungkin, tidak perlu menunggu taman surga di akhirat nanti. [Diambil dari "Kolom Rektor" www.uinjkt.ac.id]